Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana (SPP)

(1)

KEDUDUKAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LP)

SEBAGAI SUB SISTEM PERADILAN PIDANA (SPP)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

CHRISTOVEL TAMPUBOLON

NIM: 060200323

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEDUDUKAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LP)

SEBAGAI SUB SISTEM PERADILAN PIDANA (SPP)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

CHRISTOVEL TAMPUBOLON

NIM: 060200323

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH:

Dr. Hamdan, SH. MH NIP:

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Dr. Marlina, SH. M. Hum Liza Erwina, SH. M. Hum

NIP: NIP:

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan atas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas, melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Pelaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi atau keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. Lembaga Permasyarakatan sebagai sub sistem yang paling akhir yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan, mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Permasyarakatan diharapkan mampu merealisasikan tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana yaitu mencegah timbulnya kejahatan.

Permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana, bagaimanakah hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana, dan bagaimanakah hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis

didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data

sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Dalam sistemp peradilan pidana, lembaga pemasyarakatan berperan dalam memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi sosial) warga binaan dengan/ ke dalam masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka melalui suatu proses (proses pemasyarakatan/ pembinaan) yang melibatkan unsur-unsur atau elemen-elemen, petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat”. Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana bertugas melakukan pembinaan bagi narapidana sesuai dengan falsafah pemidanaan yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan bahwa narapidana adalah orang yang tersesat dan masih mempunyai kesempatan untuk bertobat memperbaiki kesalahannya. Hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana yakni dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan sistem peradilan pidana bersifat fragmentatif dan cenderung berjalan berdasarkan fungsinya masing-masing sehingga mempengaruhi tercapainya tujuan sistem peradilan pidana. Ada kecenderungan pemahaman dari masing-masing susbsistem bahwa keberhasilan mereka diukur dari bagaimana mereka menjalankan fungsi dan tugasnya tanpa memperhatikan bagaimana subsistem yang lain menjalankan tugasnya. Akibat lebih jauh kenyataan ini berdampak pada hilangnya kepercayaan publik sebagai stakeholder dalam menjalankan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas kehadirat-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan, ketabahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis penulis adalah “Kedudukan Lembaga Permasyarakatan (LP) Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana (SPP)”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan serta terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut memberikan bantuan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung sejak awal penulis menjalani perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini dan penyelesaiannya.

Dalam kesempatan ini izinkan penulis dengan penuh sukacita menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan. 2. Bp. Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan Fak. Hukum USU

yang juga telah memberikan kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M. Hum, selaku Ketua Pembantu Dekan I Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah


(5)

begitu terbuka memberikan bantuan, masukan, arahan dan dorongan kepada penulis sehingga penulis begitu selalu terdorong untuk menjadi lebih baik lagi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. 4. Bp. Dr. M. Hamdan, SH. MH, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berkenan membantu dan memperhatikan mahasiswanya.

5. Ibu Liza Erwina, SH. M. Hum, selaku Pembimbing satu penulis, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta dorongan kepada penulis agar senantiasa mempergunakan waktu untuk menulis dengan sebaik-baiknya. Kepadanya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

6. Ibu Dr. Marlina, SH, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah begitu sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menulis dengan lebih baik lagi, terima kasih.

7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 8. Seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Kedua orang tua dan saudara-saudara yang telah banyak memberikan

dukungan secara moril dan materil.

10.Seluruh kawan-kawan, khususnya Stb 06 PRM

Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan membuka seluruh cakrawala berfikir yang baru bagi kita semua.

Medan, September 2011 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan... 8

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ... 18

A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana... 18

B. Fungsi dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana... 24

C. Model dan Sistem Peradilan Pidana... 27

D. Peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana... 28

BAB III HUBUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA... 32


(7)

B. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan

Pidana... 35

C. Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan ... 36

D. Hubungan Lembaga Pemasyarakatan di dalam Sistem Peradilan Pidana... 54

BAB IV HAMBATAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENCAPAI TUJUAN SISTEM PERADILAN PIDANA ... 61

A. Hubungan Internal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan Pidana... 61

B. Hubungan Eksternal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan Pidana... 68

C. Kendala Yuridis dalam Pencapaian Tujuan Lembaga Pemasyarakatan dan Upaya Penanggulangannya ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran... 75


(8)

ABSTRAK

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan atas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas, melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Pelaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi atau keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. Lembaga Permasyarakatan sebagai sub sistem yang paling akhir yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan, mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Permasyarakatan diharapkan mampu merealisasikan tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana yaitu mencegah timbulnya kejahatan.

Permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana, bagaimanakah hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana, dan bagaimanakah hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis

didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data

sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Dalam sistemp peradilan pidana, lembaga pemasyarakatan berperan dalam memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi sosial) warga binaan dengan/ ke dalam masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka melalui suatu proses (proses pemasyarakatan/ pembinaan) yang melibatkan unsur-unsur atau elemen-elemen, petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat”. Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana bertugas melakukan pembinaan bagi narapidana sesuai dengan falsafah pemidanaan yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan bahwa narapidana adalah orang yang tersesat dan masih mempunyai kesempatan untuk bertobat memperbaiki kesalahannya. Hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana yakni dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan sistem peradilan pidana bersifat fragmentatif dan cenderung berjalan berdasarkan fungsinya masing-masing sehingga mempengaruhi tercapainya tujuan sistem peradilan pidana. Ada kecenderungan pemahaman dari masing-masing susbsistem bahwa keberhasilan mereka diukur dari bagaimana mereka menjalankan fungsi dan tugasnya tanpa memperhatikan bagaimana subsistem yang lain menjalankan tugasnya. Akibat lebih jauh kenyataan ini berdampak pada hilangnya kepercayaan publik sebagai stakeholder dalam menjalankan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian sanksi pidana selalu direalisasikan dengan membina di Lembaga Pemasyarakatan. Ada anggapan yang menyatakan bahwa pelanggar hukum hanya dapat dibina jika diasingkan dari lingkungan sosial, serta pelanggar hukum dinyatakan sebagai individu yang telah rusak dalam segala-galanya sehingga tidak akan dapat diharapkan untuk bersikap ramah terhadap lingkungan sosialnya. Adanya pemahaman seperti itu merupakan suatu pembalasan yang dilegalisir oleh kenyataan dan kehendak masyarakat itu sendiri (stigma).1

Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction yang dikutip Barda Nawawi Arief membicarakan masalah sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan, menyebutkan bahwa:

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana;

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang sudah ada, yang dimiliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan bersifat segera; Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Ia merupakan penjamin apabla dipergunakan secara hemat, cermat dan

1

Pembalasan tidak selalu dalam bentuk-bentuk penyiksaan fisik, tetapi bisa juga bersifat penekanan psikologis. Hal itu bertujuan bukan saja ditujukan kepada pelaku kejahatan, tetapi tertuju pada anggota keluarga. Terciptanya pembalasan seperti ini akan membawa dampak negatif terhadap anggota keluarga si pelaku kejahatan. Akibatnya anggota keluarga akan dipaksa oleh keadaan berbuat hal yang sama dengan si pelaku kejahatan.


(10)

secara manusiawi. Ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.2

Sedangkan menurut Muladi, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi dengan tujuan yang merupakan titik berat harus bersifat kasuistis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud terdiri atas:3

1. Pencegahan (umum dan khusus); 2. Perlindungan masyarakat;

3. Memelihara solidaritas masyarakat; 4. Pengimbalan/perimbangan.

Pengaruh langsung dari penjatuhan pidana itu jelas terhadap orang yang dikenai pidana. Tetapi pidana itu belum dirasakan sungguh-sungguh olehnya kalau sudah dilaksanakan secara efektif. Dengan pemidanaan di sini dikehendaki agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Oleh karena itu, penjatuhan pidana menjadi alternatif dalam rangka mencegah perbuatan melanggar hukum, baik oleh individu maupun kelompok. Pemenjaraan dalam bentuk pengisolasian diri dalam tembok penjara, ternyata mengalami perubahan seiring dengan kemajuan peradaban suatu bangsa. Penghargaan terhadap citra manusia menjadi dasar utama memperlakukan si terpidana lebih manusiawi. Sehubungan dengan itu, pemberian sanksi pidana dengan membina narapidana di Lembaga

2

Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan

Kejahatan, Makalah, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1989), hal. 23.

3


(11)

Pemasyarakatan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti, khususnya tentang metode perlakuan terhadap narapidana itu sendiri.

Pemikiran mengenai fungsi pemidanaan menurut Indonesia yang menganut ideologi Pancasila tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan sistem pemasyarakatan. Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Almarhum Bapak Sahardjo (Menteri Kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara.4

Plato menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mengubah nasib manusia kecuali dirinya sendiri.Dengan adanya suatu perubahan memungkinkan manusia mengenal dirinya sendiri. Proses pengenalan diri sendiri memerlukan tahap motivasi berupa tahap kelanjutan dari introspeksi. Dalam hal pemasyarakatan, Warga Binaan Pemasyarakatan diberikan motivasi untuk dirinya sendiri sehingga dapat memandang positif setiap kejadian. Dengan adanya motivasi diri yang berlangsung terus-menerus, maka akan menimbulkan suatu proses pengembangan diri dengan tahapan self development.5

Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan visi sistem pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali

4

Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu system pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

5


(12)

oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.6 Pembinaan diatur secara khusus dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang Nomor 12 Tahun 1995. Jika dilihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di BAPAS. Selanjutnya dipertegas dengan Pasal 7ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa pembinaan dan pembimbing Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.7

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan atas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas, melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum dan hal ini sesuai dengan Pasal 8 UUP yang menyatakan bahwa, .petugas pemasyarakatan adalah pejabat

6

Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam dunia kepenjaraan, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana. Alasannya: 1). Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; 2) tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; 3) kemudian narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan kemerdekaan bergerak. Jadi perlu diusahakan supaya tetap dapat mempunyai mata pencaharian.

7

Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan


(13)

fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pembimbingan, dan pengamanan warga binaan.

Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.8

Pelaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi atau keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.9

Namun demikian, setelah dirubahnya Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ada hal-hal yang dapat dilihat sebagai suatu permasalahan yang bersifat umum apabila dilihat dari visi dan misi serta tujuan dari pemasyarakatan tersebut sebagai tempat pembinaan Narapidana dan agar keberadaan Narapidana tersebut dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas.

Lembaga Permasyarakatan merupakan salah satu komponen dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang bertugas melaksanakan pembinaan terhadap narapidana. Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari 4

8

Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri (Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, 2004), hal. 21.

9


(14)

komponen (sub sistem), yaitu sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.

Sistem Peradilan Pidana terbagi manjadi 3 tahap yaitu tahap sebelum sidang pengadilan (pra adjudikasi), tahap sidang pengadilan (adjudikasi), dan tahap setelah pengadilan (post adjudikasi). Dalam mekanisme Sistem Peradilan Pidana mensyaratkan adanya kerjasama antar sub sistem agar Sistem Peradilan Pidana dapat berjalan dengan baik. Keempat sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai tugas yang berbeda-beda namun keempat sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang sama dan mempunyai hubungan yang sangat erat. Apabila salah satu sub sistem ada yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat mempengaruhi sistem secara keseluruhan.

Lembaga Permasyarakatan sebagai sub sistem yang paling akhir yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan, mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Permasyarakatan diharapkan mampu merealisasikan tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana yaitu mencegah timbulnya kejahatan.

B. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana?

2. Bagaimanakah hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana?


(15)

3. Bagaimanakah hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana

b. Untuk mengetahui hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana

c. Untuk mengetahui hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana

2. Manfaat

a. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya mengenai bagaimana melaksanakan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. b. Secara praktis

1) Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan untuk

mengevaluasi pelaksanaan sistem pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan berpedoman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.

2) Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan serta instansi yang terkait untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menghambat dan


(16)

faktor yang mendukung dalam mencapai keberhasilan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai.

3) Masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan dan instansi terkait untuk dapat mencari upaya penyelesaian dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian mengenai “Kedudukan Lembaga Permasyarakatan (LP) Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana (SPP)” ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini. Semua ini merupakan implikasi pengetahuan dalam bentuk tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dinyatakan oleh Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat


(17)

pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:10

1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina;

2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan;

3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;

4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.

Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam lembaga, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik berupa bangunan penjara dan peralatan bengkel kerja yang masih memakai peninggalan kolonial Belanda; sarana personalia yaitu tenaga ahli yang profesional di bidang ilmu keperilakuan; sarana administrasi dan keuangan berupa terbatasnya dana peraturan dan perundang-undangan yang masih memakai reglemen penjara (Gestichten Reglemen 1917

No.708).11

Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan,

10

Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, 1990 11

Tujuan pembinaan narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan budi pekerti para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/rumah tahanan negara.


(18)

mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan dan berkhayal mengenai cita-cita pemasyarakatan. Masalah pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan masalah pidana, pemidanaan. Dalam pidana hal yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam arti sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan.

Menurut peneliti sampai saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban akhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum.12

J.E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembebasan” pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu.13

12

Oleh karena itu sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama setelah pelakunya dipidana mati.

13

J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap


(19)

Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur-unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.14

Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah untuk penyelesaian konflik (conflict resolution), mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders

and possibly other than offenders toward more or less law-conforming behavior).15

Rijksen, membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana

(strafbevoegdheid van de overheid). Apakah penguasa juga akan menggunakan

wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik.16

Selanjutnya Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan garis hukum pidana yaitu; pertama dari segi prevensi yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat

14

Ibid, hal. 280. 15

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 21.

16


(20)

mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan kedua dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah selaku merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum.17

Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi:18

1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina;

2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan;

3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis;

4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.

17

Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

18


(21)

Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan mengenai cita-cita pemasyarakatan.

Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick, menyatakan sanksi pidana dimaksudkan untuk a) mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent

recidivism); b) mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama similar acts); c) menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for the expression of realiatory motives).19

Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment

is to create a possibility for the release of emotion that are aroused by the time).20

Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama memperkuat kembali nilai-nilai sosial (reinforcing social values), kedua menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of

crime).21

Ahli di bidang kepenjaraan (penolog) mengakui bahwa ada 3 (tiga) elemen pokok apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, yaitu: 1) petugas; 2) narapidana;

19

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. cit, hal. 20. 20

Ibid, hal. 19. 21


(22)

dan 3) masyarakat. Dipertimbangkannya unsur masyarakat adalah sesuatu yang rasional dan tepat mengingat beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang telah melanggar hukum, serta narapidana juga nantinya setelah lepas menjalani hukuman kembali ke masyarakat.22

Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa indikator:23

1. Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. 2. Pelanggaran hak-hak narapidana.

3. Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat.

4. Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan.

F. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kedudukan lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem peradilan pidana.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan

22

Hal ini berarti bahwa pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dirasakan tidak mencukupi karena pembinaan hanya sebatas masa hukuman.

23

Oleh karena itu lanjutan pembinaan tetap berada di lingkungan masyarakat itu sendiri yang berimplikasi terhadap masyarakat bertanggungjawab bagi kelangsungan kehidupan sosial ekonomi bekas narapidana. Faktor penerimaan masyarakt terhadap bekas narapidana tidak hanya sekedar menerima menjadi anggota keluarga ataupun lingkungannya, tetapi harus menghilangkan prasangka buruk akan adanya kemungkinan melakukan kejahatan kembali dengan cara menerima kembali bekerja di berbagai lapangan pekerjaan.


(23)

logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.24 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku tentang kedudukan lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem peradilan pidana.

2. Sumber Data

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.25 Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, dan peraturan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet.

24

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal. 57.

25

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 19.


(24)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana, yang memuat tentang pengertian sistem


(25)

peradilan pidana, fungsi dan tujuan sistem peradilan pidana, model dan sistem peradilan pidana dan peranan lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana.

BAB III: Bab ini akan membahas tentang hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana, yang mengulas tentang lembaga pemasyarakatan, kedudukan lembaga pemasyarakatan, dan hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana.

BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana, yang membahas dan menganalisa hubungan internal lembaga pemasyarakatan dengan sistem peradilan pidana dan hubungan eksternal lembaga pemasyarakatan dengan sistem peradilan pidana.

BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(26)

BAB II

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima.7 Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.26

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural

syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana,

dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan dapat pula bersifat kultural (cultural

syncronization) dalam arti menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara

menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.27

26

Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hal 4.

27


(27)

Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal

Justice System (ICJS) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam

kerangka penegakan hukum pidana materil. Philip. P. Purpura menyatakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa.28

Sistem peradilan pidana yang sudah dipunyai sebagaimana tergambar dalam KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981), adalah gambaran betapa komponen hukum pidana yang dipunyai kurang mampu diharapkan untuk mengawal penegakan hukum pidana materil.29 Kelemahan mendasar yang terlihat dari KUHAP adalah terabaikannya hak-hak tersangka/ terdakwa/ terpidana dan korban kejahatan yang harus diperhatikan kemungkinan mendapatkan perlindungan hukum akan hak-haknya sebagai korban kejahatan, tidak mendapat pengaturan yang memadai. Kekerasan baik fisik maupun psikis seringkali dialami oleh tersangka/ terdakwa/ terpidana ketika mereka harus mengikuti prosedur tetap yang dimainkan oleh aparat penegak hukum dengan dalih semua perbuatan aparat penegak hukum sudah menjalankan tugas dan kewajiban penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini KUHAP.

28

Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Press, 2005), hal. 2

29 Ibid


(28)

Pada dasarnya, asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi peradilan mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah asas sederhana, cepat dan murah. Namun demikian, penyelesaian perkara di Pengadilan sangat bergantung pada beberapa faktor yaitu : faktor substansi perkara, faktor pencari keadilan, faktor kuasa hukum, faktor kesiapan alat-alat bukti, faktor sarana dan prasarana, faktor budaya hukum, faktor komunikasi dalam persidangan, faktor pengaruh dari luar, faktor aparat pengadilan, faktor hakim, dan faktor manajeman.30 Walaupun faktor-faktor diatas mempunyai pengaruh, namun pelaksanaan asas sederhana, cepat, murah, masih merupakan faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pelayanan administrasi peradilan yang benar-benar sederhana, cepat dan murah.

Sederhana dimaknai bahwa dalam peradilan pidana diharapkan sebagai proses yang tidak bertele-tele, berbeli-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, mudah dipahami,mudah diterapkan, sistematis, baik untuk pencari keadilan maupun aparat penegak hukum. Namun dalam praktek nyata, sering kali asas tersebut dipahami secara beragam oleh aparat penegak hukum disemua tingkatan. Pemahaman oleh aparat penegak hukum lebih dimaksudkan sebagai proses birokrasi yang wajib dilalui oleh pencari keadilan, dan dipihak lain aparat penegak hukum mempunyai kewajiban untuk menerapkannya sesuai dengan pemahaman aparat penegak hukum sendiri.

Kesederhanaan seharusnya dipahami tidak sebatas pada persoalan administrasi saja, namun juga harus menjadi jiwa dan semangat motivasi aparat

30 Ibid


(29)

penegak hukum dalam gaya dan pola kehidupan sehari-hari. Konsistensi dan komitmen aparat penegak hukum dalam menjalankan asas sederhana juga harus dimulai dalam diri sendiri, kemudian pada insitusi dalam semua tingkatan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat).

Cepat, dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan pidana sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya/ tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan. Baik cepat dalam proses, cepat dalam hasil, dan cepat dalam evaluasi terhadap kinerja dan tingkat produktifitas institusi peradilan (kepolisian, kejakasaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan advokat). Satu saja komponen tidak berfungsi maka unsur cepat tidak akan tercapai.31 Kecepatan proses, hasil, dan evaluasi tersebut menggunakan ukuran parameter dari prinsip tepat dan cermat.

Tepat dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar yuridis keputusannya (tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku secara universal seperti lex specialis de

rogat lex generalis dan lainnya), tepat dalam memilih dan memilah Pasal-Pasal

yang dipergunakan sebagai dasar dalam pertimbangan keputusannya, tepat dalam mengolah dan memahami secara filosofis (bersandar pada nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat maupun yang terkandung dalam hukum positif) terhadap keputusannya, tepat dalam menentukan kerangka sosiologis (menjamin rasa keadilan masyarakat, mengembalikan dan menjaga keseimbangan sosial, mempunyai manfaat). Demikian juga tindakan penegak hukum harus cermat,

31


(30)

dalam arti mengandung unsur kehati-hatian, ketelitian, kesungguhan, dalam proses, hasil maupun evaluasinya.

Murah, mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga peradilan adalah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, keadilan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai-nilai lain yang dapat mengaburkan nilai-nilai keadilan itu sendiri, keadilan tidak dapat diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan bukan merupakan kata dengan sejuta pesimisme, keadilan tidak dapat dikuantifikasikan dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia yang hidup di dunia secara universal.

Apabila asas sederhana, cepat, murah sebagaimana telah diuraikan diatas menjadi semangat para penegak hukum, maka sistem peradilan pidana yang efektif dan efisien dapat diwujudkan. Persoalan kualifikasi sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum dalam hal ini, memang menjadi kendala yang serius. Pembenahan sistem peradilan pidana akhirnya tidak dapat hanya bergantung dalam pemahaman harfiah dari penegak hukum terhadap asas sederhana, cepat, dan murah saja, namun lebih dari itu semua adalah nurani penegak hukum, pencari keadilan, penguasa, legislatif dan sistem yang membingkai institusi peradilan juga menjadi faktor dominan. Di Indonesia, peradilan pidana mengacu pada kodifikasi pidana formil yaitu Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Tetapi belum ada upaya yang sistematis dan


(31)

signifikan dalam rangka untuk mengatasi kekosongan dan kekurangan hukum pidana formil yang hanya mendasarkan pada acuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Payung hukum untuk menutupi kekosongan dan kelemahan tersebut adalah apa yang disebut dengan kebijakan pidana.

Sementara itu tuntutan perkembangan sistem informasi dan teknologi, semakin sulit untuk dikejar dan diimbangi hanya dengan Undang-Undang ini. Ketentuan mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat ketentuan hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang tersebar dalam Undang-Undang di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Namun terjadi masalah yang sering menjadi penghalang tercapainya peradilan yang diharapkan.

Apabila dicermati, muara persoalan tersebut mengarah kepada tiga hal yaitu : tidak ada sanksi apabila prosedur yang ditetapkan tersebut dilanggar, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak yang telah dirumuskan, kurang efektif dan efisien dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena terdapat tahapan proses yang tidak diperlakukan dan mubazir serta berbelit dan sia-sia, formulasi Pasal-Pasal sangat memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda-beda, yang kemudian dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.32

Berbagai kendala dan kelemahan yang terjadi, juga tidak diiringi dengan mekanisme pengawasan yang baik dan transparan. Walaupun ada lembaga pengawas, biasanya juga tidak berjalan dengan efektif. Kehadiran

32


(32)

lembaga pengawas tidak memberikan arti dan makna yang cukup berarti dalam menjamin terwujudnya penegakan hukum. Banyak pengaduan, laporan, dan desakan baik secara demokratis dan tidak jarang dapat mengundang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat atas ketidakpuasan kinerja lembaga-lembaga pengawas tersebut.

B. Fungsi dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Pelaksanaan sistem peradilan pidana masih memiliki banyak kelemahan dalam berbagai aspek. Kelemahan tersebut salah satunya bersumber dari perangkat hukum positif yang belum sepenuhnya mendukung terciptanya sistem peradilan pidana yang transparan, akuntabel. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat turut mempengaruhi kegagalan sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pada gilirannya, akan menghambat upaya pengendalian kejahatan di masyarakat karena pada dasarnya, menurut Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas toleransi yang dapat diterimanya.33

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya juga merupakan masalah sosial. Hulsman mengungkapkan, terdapat empat alasan yang menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan masalah sosial (social problem), yaitu:34

1. The criminal justice system inflict suffering

2. The criminal justice system does not work in terms of its own declared aims

33

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Sumatera Utara, 1994), hal. 140.

34


(33)

3. Fundamental uncontrollability of criminal justice system

4. Criminal justice approach is fundamentally flawed.

Dalam hal fungsi sistem peradilan pidana sebagai pengendali kejahatan, Noval Morris berpendapat, bahwa:35

The Criminal Justice System is best seen as a crime conteinment system, one of the method that society uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing to eccept. But, to a degree, the criminal justice system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reduce criminality among those who have been convicted of crimes and trying by deterrent processes of detection, convistion, and punishment to reduce the commission of crime by those who are so mended and so acculturated.

Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana

2. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik criminal (criminal policy)

3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (social policy).36 Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana adalah (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

35

UNAFEI, Criminal Justice System: The Quest for an Integrated Approach, (Unafei, 1982), hal. 5.

36

Muladi dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga

Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,


(34)

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan.37

Sedangkan fungsi dan tujuan dari SPPT seperti yang digambarakan oleh Davies, Croall, and Tyrer sebagai berikut:38

1. protecting the public by preventing and dettering crime, by rehabilitating offenders in incapacitating others who continue a persistant threat to the community.

2. upholding and promoting the rule of law and respect for the law, by ensuring due process and proper treatment of suspect, arrestees, defendand and those held in custody, successfully prosecuting criminal and acquitting innoncent people accused of a crime

3. maintaining law and order.

4. punishing criminals with regard to the principles of just deserts.

5. registering social disapproval of censured behaviour by punishing criminals.

6. aiding and

7. advising the victims of crime.

Dengan bahasa yang lebih sederhana Loebby Loqman berpendapat tujuan sistem peradilan pidana adalah menghilangkan kejahatan (bukan penjahatnya) untuk mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan.39

37

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia.., op.cit., hal.84 38

Davies, Croall, and Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and

Wales, (London: Longman, 1995), hal. 4.

39

Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta, Datacom, 2002, hal 22-23.


(35)

C. Model dan Sistem Peradilan Pidana

Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) untuk menggantikan HIR yang dipandang sudah tidak sesuai dengan cita-cita nasional Indonesia., membawa perubahan fundamental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia secara konsepsional maupun implemental.

KUHAP meletakkan dasar humanisme didalamnya sehingga tujuan utama yang hendak dicapai bukanlah ketertiban dan kepastian hukum tetapi perlindungan atas hak asasi seorang tersangka atau terdakwa. Perlindungan hak asasi seorang tersangka atau terdakwa diharapkan dilaksanakan pada setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana yaitu mulai dari seorang tersangka ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili di pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 juga terkandung harapan untuk memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara pidana.

Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction, mengungkapkan ada dua model dalam proses peradilan pidana (Two Models of

The criminal Process), yaitu crime control model (model pengendalian kejahatan)

dan due process model (model perlindungan hak).40

Crime control model adalah bentuk pendekatan yang memandang pelaku

kejahatan sebagai objek dalam pemeriksaan perkara sedangkan due process model adalah bentuk pendekatan yang memandang pelaku kejahatan sebagai subjek dalam pemeriksaan perkara.

40


(36)

Karakteristik dari crime control model adalah efesiensi bekerjanya proses pemeriksaan perkara yaitu cepat tangkap dan cepat diadili serta digunakannya asas praduga bersalah sedangkan karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak tersangka dan untuk menentukan kesalahan seseorang harus melalui suatu persidangan yang adil dan tidak memihak.

Berdasarkan makna yang terkandung dalam KUHAP yaitu perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dapat diketahui bahwa pendekatan yang digunakan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah pendekatan due

process model.

D. Peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memiliki empat sub sistem, yaitu: Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung serta Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Lembaga pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dengan sub sistem lainnya.

Sebagai lembaga pembinaan, perannya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan (suppression of crime). Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang dilakukan


(37)

oleh lembaga pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu dapat positif manakala pembinaan narapidana mencapai hasil maksimal, yaitu bekas narapidana itu menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian itu dapat negatif apabila bekas narapidana yang pernah dibina itu menjadi penjahat kembali. Kegagalan lembaga pemasyarakatan dalam membina narapidana merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Fakta ini telah mensahkan kegagalan tugas lembaga pemasyarakatan.

Beban yang sangat menghimpit dalam menjalankan tugasnya adalah tidak sebanding falsafah pembinaan yang baru berupa pemasyarakatan sebagai proses, dengan sistem pemasyarakatan sebagai metodenya yang masih memakai

Gestichten Reglemen (Reglemen Penjara) 1917 No. 708; dengan sebagian sarana

fisik berupa bangunan penjara sudah tidak memenuhi persyaratan kesehatan maupun peralaan kerja, terlebih sarana personalia berupa tenaga pembina yang sangat minim.

Di lain pihak, sistem pemasyarakatan itu mempunyai tujuan akhir: “memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi sosial) warga binaan dengan/ ke dalam masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka melalui suatu proses (proses pemasyarakatan/ pembinaan) yang melibatkan unsur-unsur atau elemen-elemen, petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat”. Dapat dibayangkan bahwa yang paling banyak melakukan hubungan dengan narapidana saat menjalani hukuman adalah para petugas yang tingkat pendidikannya sekolah menengah ke bawah, sedangkan karakteristik pendidikan


(38)

narapidana berbeda-beda pula. Jadi dalam hal ini, usaha pembinaan narapidana lebih banyak ditentukan oleh kemampuan petugas untuk memberikan pengarahan dan bimbingan yang bersifat psikologis serta pribadi.

Dengan tidak mengecilkan arti kemampuan petugas Pembina yang berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas, tetapi merupakan suatu fakta kalau dikatakan bahwa petugas Pembina dalam melakukan pembinaan di dalam lembaga lebih banyak mengandalkan pendekatan ketertiban.

Oleh karena itu, lembaga pemasyarakatan membutuhkan tenaga-tenaga yang berkualitas, seperti apa yang dikatakan oleh Karsono Adisumarto, bahwa pelaksanaan pemasyarakatan pada hakikatnya memerlukan tenaga-tenaga ahli seperti psikiater, psikolog, sosiolog, dokter, insinyur, ahli perusahaan dan lain-lain, sesuai dengan kebutuhan teknis operasional lembaga pemasyarakatan. Hal ini berarti bahwa sifat pekerjaan pemasyarakatan memerlukan kualitas personil tertentu.

Memahami keberadaan lembaga pemasyarakatan sebagai penerima orang-orang yang dinyatakan sebagai penjahat, secara psikologis memiliki beban yang cukup berat bagi sub sistem lainnya yang dalam tugasnya mau menentukan atau menyatakan seeorang itu bersalah. Hal seperti di atas terjadi dan dialami oleh lembaga pemasyarakatan. Beban berat yang diberikan kepada lembaga ini sekaligus menampakkan dirinya sebagai sub sistem yang punya potensi melakukan rehabilitasi.

Ketidaktenteraman di dalam penjara merupakan suatu gambaran ketidakstabilan kerja para personilnya dalam menjalankan sistem yang ada.


(39)

Ketidakstabilan personil yang melakukan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kesejahteraan yang kurang memadai jika dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang cukup berat. Bahkan kalau terjadi perkelahian atau penyimpangan bahkan pelarian narapidana, maka hal ini akan berakibat terhadap kondisi kepegawaiannya. Di samping itu faktor pendidikan dan mentalitas petugas pun sangat mempengaruhi.


(40)

BAB III

HUBUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Lembaga Pemasyarakatan

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang menjabat Menteri Kehakiman RI saat itu.41

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang

41

http://hmibecak.wordpress.com/2007/05/29/esensi-lembaga-pemasyarakatan-sebagai-wadah-pembinaan-narapidana/. Diakses tanggal 10 Agustus 2011.


(41)

merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.

Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam LP. Tentu saja hal ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan dengan visi dan misi pemasyaratan sebagai tempat pembinaan narapidana, agar keberadaannya dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Perlu untuk sejenak melihat kembali tujuan pengadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk membina dan menyiapkan seorang narapidana menjadi “lurus” dan siap terjun kembali ke masyarakatnya kelak.42

Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai tempat pemidanaan juga berfungsi untuk melaksanakan program pembinaan terhadap para narapidana,

42 Ibid


(42)

dimana melalui program yang dijalankan diharapkan narapidana yang bersangkutan setelah kembali ke masyarakat dapat menjadi warga yang berguna di masyarakat. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.43

Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan dilakukan melalui beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan sebagai proses, maka pembinaan dilaksanakan melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, yaitu:44

Tahap Pertama:

Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam LAPAS dan pengawasannya

maksimum security.

Tahap kedua:

Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada LAPAS melalui pengawasan medium security.

43

PP 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, pasal 1 ayat (1)

44

Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri), (Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2004), hal. 15-17.


(43)

Tahap ketiga:

Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut tim TPP telah dicapai cukup kemajuan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidananya, tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 dari masa pidananya. Dalam tahap ini dapat diberikan Pembebasan Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimum

security.

Tahap keempat :

Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar LAPAS oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kemudian disebut Pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

B. Tujuan Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana

Tujuan pembinaan bagi narapidana, berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan. Dalam Rancangan KUHP Nasional telah diatur tujuan penjatuhan pidana yaitu :

1. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana, dengan demikian menjadikannya orang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat


(44)

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.45

Pembinaan terpidana itu bertujuan agar ia mempunyai kesanggupan untuk menjadi peserta aktif dan kreatif dalam kesatuan hubungan hidup sebagai warga masyarakat Indonesia yang menghormati hukum, sadar akan bertanggung jawab dan berguna.46

C. Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan

Konsep kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan usaha-usaha lain yang bersifat “nonpenal”. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.

Sistem dalam Lembaga pemasyarakatan, berangkat dari konsepsi pemahaman tersebut, harus mampu mendudukkan dirinya dalam posisi sebagai bagian integral dari upaya tersebut. Lembaga Pemsyarakatan selaku tempat bagi pelaksanaan Vonis hukuman atas seorang Terpidana diharapkan mampu mengakomodasi upaya-upaya non penal tersebut, dimana dalam hal ini a berarti

45

Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 33

46


(45)

dalam pelaksanaan hukuman terhadap para Terpidana kasus Narkotika dan Psikotropika benar-benar memperhatikan dan mampu mengakomodasi penerapan azas Keadilan Restoratif.

Hal ini bertujuan agar proses penghukuman terhadap para Terpidana kasus Narkotika dan Psikotropika tersebut dapat benar-benar memberikan manfaat (Utilities), tidak hanya bagi Terpidana itu sendiri yang dapat dibawa kembali ke jalan yang benar, namun juga membantu program pemerintah dalam memutuskan mata rantai peredaran Gelap Narkoba. Timbul pertanyaan; apakah sistem pemasyarakatan yang berjalan saat ini telah mampu mendudukkan Lembaga Pemsyarakatan dalam Fungsi tersebut?. Dasar hukum atau undang-undang yang digunakan dalam sistem kepenjaraan adalah reglement Penjara. Dasar hukum itu telah digunakan sejak tahun 1917. Suatu undang-undang yang sudah tidak layak lagi diberlakukan. Namun demikian dasar hukum itu masih saja dipergunakan dalam sistem pemasyarakatan, dengan beberapa perubahan. Tentu saja hal ini tidak bisa terus-menerus terjadi, jika ingin mengadakan pembaharuan dalam suasana pembinaan narapidana.

Untuk menerapkan sistem baru, sangat diperlukan undang-undang pemasyarakatan sebagai pengganti dari reglement Penjara. Undang-undang pemasyarakatan secara jelas memuat tentang pemasyarakatan, Rutan dan Rubasan.Dalam hal ini kedudukan Balai Bimbingan pemasyarakatan (Bispa) harus di atur pula secara jelas. Penggantian ini mutlak harus di lakukan. Pertama agar sinkron dengan KUHAP dan kedua tanpa di lengkapi dengan dasar hukum


(46)

yang bersumberkan falsafah bangsa, percuma saja di adakan pembaharuan.47 Jadi sekalipun telah ada perubahan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan, pada dasarnya secara hukum, keduanya masih menggunakan Reglement Penjara sebagai pijakan hukumnya.

Konsepsi sistem baru pembinaan narapidana, menghendaki adanya penggantian undang-undang pemasyarakatan. undang-undang ini yang akan menghilangkan keseluruhan bau liberal kolonial. Undang-undang ini akan menjadikan keselarasan, keserasian dengan semua undang-undang yang berlaku di Indonesia. Indonesia tidak bisa melakukan pembaharuan tanpa merubah undang yang mendasarinya. Perubahan seharusnya total. Dengan lahirnya undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang “Pemasyarakatan” cita-cita keselarasan dan keserasian ini agaknya akan terwujud, hanya saja tinggal pelaksanaannya yang menjadi harapan semua pihak.

Berbeda dengan sistem pemasyarakatan, maka dalam sistem pemasyarakatan baru tujuan pembinaan narapidana ialah meningkatkan kesadaran (consciousness) narapidana dan eksistensinya sebagai manusia. Pencapaian kesadaran dilakukan melalui tahap kesadaran, introspeksi, motivasi, dan self development. Kesadaran itu dimaksudkan agar narapidana sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki akal dan budi, yang memiliki budaya dan potensi sebagai mahluk yang spesifik. Sedangkan tahap introspeksi dimaksudkan agar narapidana mengenal diri sendiri. Hanya dengan cara mengenal diri sendiri seorang bisa merubah dirinya sendiri. Plato pernah mengatakan bahwa

47


(47)

tidak ada yang bisa mengubah nasib manusia kecuali dirinya sendiri. Perubahan itu dimungkinkan bila manusia itu mengenal dirinya sendiri. Tahap motivasi adalah tahap kelanjutan dari introspeksi. Dalam hal ini narapidana diberikan tehnik motivasi, baik tehnik motivasi orang lain atau tehnik motivasi diri sendiri. Tehnik memotivasi diri sendiri jauh lebih penting dari pada tehnik memotivasi orang lain, sebab jika seseorang bisa memotivasi diri sendiri, maka ia akan selalu positif dalam memandang kehidupan. Sedangkan pengembangan diri sendiri dilakukan dalam tahap self development. Jika dikaji atau mau menerima sistem baru dalam pembinaan narapidana, maka dalam sistem pemasyarakatan baru digunakan pendekatan kesadaran (consciuosness approach).

Hal ini berbeda dengan sistem kepenjaraan dimasa lalu yakni security

approach, artinya keamanan penjara lebih diutamakan. Begitu pula sistem

pemasyarakatan, hanya saja dalam sistem pemasyarakatan narapidana telah di pandang tidak semata-mata sebagai objek melainkan pula sebagai subjek dalam pembinaannya.

Pendekatan kesadaran dalam sistem baru pembinaan narapidana adalah gabungan dari pendekatan keamanan dan pendekatan pembinaan. Kedua pendekatan masih tetap digunakan dalam porsi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Perbedaan yang jelas antara ketiga sistem tersebut dapat diklasifikasikan dalam tabel dibawah ini yang terbagi dalam 14 komponen/kriteria sebagai berikut: Filsafat, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem, klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan narapidana, orientasi pembinaan, sifat


(48)

pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga dan pembina/pemerintah

Walaupun dalam operasional di lapangan banyak kalangan yang tidak mengetahui atau tidak mau mengakui bahwa instansi pemasyarakatan adalah termasuk dalam jajaran penegak hukum, akan tetapi di kalangan akademisi pengakuan tersebut tidak perlu diragukan lagi. Terlebih hal ini apabila dibandingkan dengan negara negara maju seperti Amerika Serikat, instansi pemasyarakatan (correction) dilibatkan dan disejajarkan dengan instansi Kepolisian, Kejaksaan, serta Pengadilan dalam suatu sistem penegakan hukum terpadu yakni yang disebut dengan istilah integrated criminal justice system.48

Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 8 disebutkan bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Sebagai pejabat fungsional penegak hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan integritas profesi dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Dalam konteks pelaksanaan misi Pemasyarakatan tersebut menempatkan posisi petugas Pemasyarakatan dalam lintas relasi yang setara merupakan prasyarat berjalannya sistem peradilan pidana yang terpadu. Kondisi saat ini dirasakan oleh Pemasyarakatan dalam upaya pelaksanaan misi Pemasyarakatan belum mendapatkan apresiasi dan penghormatan yang memadai dari lingkungan penegak

48

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi (Jakarta: Mandar Maju, 1995), hal. 140.


(49)

hukum lainnya. Pemasyarakatan diposisikan hanya sebagai ujung dari proses peradilan pidana yang berjalan.49

Konsep dan misi Pemasyarakatan belum dipahami secara utuh dalam sistem peradilan pidana terpadu oleh lembaga penegak hukum lainnya, sehingga menimbulkan ketidakpaduan dalam bekerjanya masing-masing sub sistem peradilan pidana.49 Di samping secara tersirat fungsi perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa telah dicantumkan secara jelas di dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksanaannya serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 22 KUHAP dinyatakan bahwa jenis penahanan dapat berupa penahanan RUTAN, penahanan rumah dan penahanan kota. Dalam hal ini berarti bahwa selalu alternatif bagi instansi yang berwenang untuk menggunakan pilihannya dalam menetapkan jenis penahanan tersebut. Namun yang ingin digaris bawahi adalah jenis penahanan Rutan adalah jenis penahanan yang harus digunakan secara selektif. Satu dan lain hal karena jenis penahanan Rutan dalam pelaksanaannya lebih mudah atau cenderung untuk terjerumus ke dalam pelanggaran HAM. Masalah penangkapan dan prikemanusiaan dan keadilan dalam negara hukum. Muhammad Yamin menyatakan sebagaimana yang dikemukakan oleh Siti Utari bahwa:50

Penangkapan atau tahanan ialah peristiwa yang luar biasa, sebab itulah tiap-tiap penangkapan dan penahanan mesti tunduk kepada perlindungan hak kemerdekaan diri, keadilan dalam negara hukum tidaklah boleh

49

Romli Atmasasmita, Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2008), hal. 40.

50

Redaksi, "Portir", Warta Pemasyarakatan, Tahun IX. Nomor 34, Nopember 2008, hal. 3.


(50)

diceraikan dari proses orde yang berdasarkan kepada kemerdekaan diri, keadilan dan aturan undang-undang.

Manfaat ini akan lebih terasa apabila dilihat dari segi biaya, di mana penahanan rumah dan jenis penahanan kota tidak perlu mengeluarkan biaya makan dan akomodasi untuk si tersangka/terdakwa seperti kalau dikenakan kepada jenis penahanan Rutan. Jadi kalau dilihat dari segi anggaran negara, tindakan selektif untuk mengenakan jenis penahanan Rutan adalah sangat terpuji di samping untuk mengurangi resiko melakukan tindakan pelecehan terhadap martabat manusia. Sahnya penahanan bersifat obyektif dan mutlak artinya dapat dibaca dalam undangundang delik yang mana termasuk tersangkanya dapat dilakukan penahanan. Mutlak karena pasti tidak dapat diatur-atur oleh penegak hukum. Perlunya penahanan bersifat relatif karena yang menentukan kapan dipandang perlu diadakan penahanan tergantung penilaian pejabat yang akan melakukan penahanan.51 Hal ini sesuai pula dengan anjuran dari Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana, yang menyerukan agar dalam menggunakan hukum pidana, harus bersikap menahan diri di dampingi teliti sekali.52 Sudarto juga berpendapat bahwa:53

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan

51

Andi Hamzah, Op. cit, hal. 16. 52

Roeslan Saleh, Dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), hal. 38.

53


(51)

dan mengadakan pemugaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spritual) atas warga masyarakat.

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (over velasting) Ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai saran untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua factor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya.54

Berdasarkan KUHAP Pasal 22 seperti tersebut di atas maka hanya dikenal 3 macam jenis penahanan saja. Jadi pada prinsipnya KUHAP tidak mengenal jenis penahanan polisi, penahanan jaksa dan penahanan hakim yang diatur dalam HIR. Sekalipun yang memberikan perintah penahanan itu penyidik (polisi), ataupun penuntut umum (jaksa), maupun hakim pengadilan negeri atau hakim pengadilan tinggi, namun tidak ada tahanan polisi, tahanan jaksa taupun tahanan hakim, yang ada seperti apa yang diatur dalam Pasal 22 KUHAP yaitu penahanan rumah

54

Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 37.


(52)

tahanan negara, penahanan rumah (huis-arrest), dan penahanan kota

(stads-arrest).

Sedangkan pertimbangan terhadap penentuan jenis penahanan yang akan dikenakan terhadap tersangka didasarkan atas:55

1. Berat/ringannya tindak pidana yang dilakukan.

2. Aspek kerugian baik material maupun non material yang ditimbulkan akibat tindak pidana yang dilakukan.

3. Pengamanan kepentingan penyidikan (antara lain adanya tersangka lain/saksi atau saksi-saksi yang belum diperiksa, barang-barang bukti yang belum disita).

4. Perilaku atau sikap dalam pemeriksaan.

5. Kondisi fisik tersangka (dikuatkan dengan surat keterangan dokter). 6. Situasi atau pandangan masyarakat terhadap tersangka atau perkara yang

bersangkutan.

Hal ini berarti bahwa tempat penahanan hanya ada di Rutan yakni tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 (selanjutnya disebut PP 27 Tahun 1983) Pasal 1 ayat (2). Sedangkan dalam Pasal 21 dinyatakan bahwa Rutan dikelola oleh Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) dalam hal ini Cq. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

55

Siti Utari, Koordinasi Penegak Hukum dan Mekanisme Kontrol Penahanan

Sehubungan dengan Berlakunya KUHAP dalam Andi Hamzah (editor), Bunga Rampai Hukum Pidana dan acara Pidana, (Jakarta: Ghalia indonesia, 1986), hal. 109-110.


(1)

konteks yang demikian itu merupakan efek samping dari usaha membina narapidana.

Jenis sanksi berupa tindakan dan sanksi yang berupaya merehabilitasi narapidana menjadi semakin penting karena dianggap lebih manusiawi. Bahkan terdapat pembaharuan yang bersifat radikal yang ingin mengadakan perombakan hukum pidana secara total, yakni dengan menggantikannnya dengan sistem tindakan.

Menurut Packer tujuan utama dari “treatment” adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tapi pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari “treatment” ialah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya.79

Uraian di atas menunjukan, bahwa betapa pun pidana (penjara khususnya) dipandang sebagai sesuatu hal yang negatif, akan tetapi dalam hal-hal tertentu masih tetap diperlukan. Bahkan bisa jadi penghapusan sanksi hukum berupa pidana akan menghilangkan hakekat dari hukum pidana itu sendiri. Dalam suatu sanksi pidana, penderitaan atau nestapa merupakan unsur yang penting, sama pentingnya dengan unsur-unsur pidana lainnya. Walau demikian hal tersebut yakni pelaksanaan saknsi pidana tidak boleh digunakan sebagai sarana pembalasan atau untuk menyiksa narapidana, tapi tidak lebih hanya sebagai shock therapy bagi narapidana agar ia sadar. Dalam hukum pidana, pidana pada

79


(2)

dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam sistemp peradilan pidana, lembaga pemasyarakatan berperan dalam memulihkan kesatuan hubungan sosial (reintegrasi sosial) warga binaan dengan/ ke dalam masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka melalui suatu proses (proses pemasyarakatan/ pembinaan) yang melibatkan unsur-unsur atau elemen-elemen, petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat”.

2. Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana bertugas melakukan pembinaan bagi narapidana sesuai dengan falsafah pemidanaan yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan bahwa narapidana adalah orang yang tersesat dan masih mempunyai kesempatan untuk bertobat memperbaiki kesalahannya.

3. Hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana yakni dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan sistem peradilan pidana bersifat fragmentatif dan cenderung berjalan berdasarkan fungsinya masing-masing sehingga mempengaruhi tercapainya tujuan


(3)

sistem peradilan pidana. Ada kecenderungan pemahaman dari masing-masing susbsistem bahwa keberhasilan mereka diukur dari bagaimana mereka menjalankan fungsi dan tugasnya tanpa memperhatikan bagaimana subsistem yang lain menjalankan tugasnya. Akibat lebih jauh kenyataan ini berdampak pada hilangnya kepercayaan publik sebagai stakeholder dalam menjalankan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.

B. Saran

1. Lembaga pemasyarakatan harus mampu berperan untuk memulihkan kondisi para terpidana yang telah terkontaminasi dengan berbagai tindakan kriminal. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan sumber daya manusia dan peningkatan sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan pemasyarakatan.

2. Lembaga pemasyarakatan harus mampu menjaga hubungan yang harmonis dalam menjalin hubungan dengan subsistem peradilan pidana yang lain, agar tujuan yang ingin dicapai sistem peradilan pidana bangsa ini dapat terwujud secara nyata.

3. Perlu adanya formulasi perundang-undangan yang mampu meminimalisir berbagai hambatan yang dialami lembaga pemasyarakatan dalam dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana. Sebab hambatan ini apabila tidak disikapi secara serius dapat merusak tatanan sistem peradilan pidana yang ada.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007.

Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri (Jakarta:

Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 33

Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Djambatan, 2000. Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 1996.

Barda Nawawi Arief, Kebijaksanaan Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah, Semarang: Universitas Diponegoro, 1989.

Boedi Dwi Yanti Sri Marsita, Pentingnya Penguasaan Psikologi Bagi Penyidik dalam Pemeriksaan Tersangka pada Tahap Penyidikan dalam Andi Hamzah (editor), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

C.Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995.

Davies, Croall, and Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and Wales, London: Longman, 1995.

Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, 1990

Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta: Alnindra Dunia Perkasa, 2007. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, 2004. Harkristuti Harkrisnowo, “Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Newsletter Komisi

Hukum Nasional", Mei, 2002.

J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali Press, 1992), hal. 279


(5)

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007.

Koesparmono Irsan, Hak Asasi Manusia dan Hukum, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Press, 2002.

Lawrence M. Friedman, American Law,(New York: W. W Norton & Company, 1984.

Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta: Datacom, 2002.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Sumatera Utara, 1994.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Undip, 1995.

Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985.

Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Roeslan Saleh, Dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika,

1988), hal. 38.

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi (Jakarta: Mandar Maju, 1995), hal. 140.

Romli Atmasasmita, Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2008), hal. 40.

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet. III, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1991.

Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, 2005.

Siti Utari, Koordinasi Penegak Hukum dan Mekanisme Kontrol Penahanan Sehubungan dengan Berlakunya KUHAP dalam Andi Hamzah (editor),


(6)

85

Bunga Rampai Hukum Pidana dan acara Pidana, Jakarta: Ghalia indonesia, 1986.

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: PT. Alumni, 1977), hal. 50.

Tim FH UI, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan mengenao Sistem Peradilan Pidana Terpadu melalui Penerapan asas-asas umum. Laporan Penelitian, Jakarta: UI Press, 2001.

UNAFEI, Criminal Justice System: The Quest for an Integrated Approach, Unafei, 1982.