BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi merupakan sebuah fenomena global yang merambah ke seluruh dunia dan mempengaruhi sendi kehidupan seluruh lapisan
masyarakat termasuk di Indonesia dengan membawa berbagai konsekwensi sebagai akibat globalisasi baik segi positif maupun negatif.
Seiring dengan perkembangan jaman, dalam bidang teknologi, informasi dan komunikasi mengalami perkembangan yang sangat pesat,
perkembangan informasi tanpa batas telah membuka wawasan pengetahuan baru dan bentuk-bentuk peradaban baru dalam masyarakat,
kehausan masyarakat akan perkembangan informasi yang terus bergerak dinamis memaksa masyarakat untuk terus berburu informasi-informasi
terbaru. Efek dari globalisasi, semua informasi dari seluruh penjuru dunia
berupa baik informasi yang positif maupun negatif dapat diakses dengan sangat mudah, namun informasi yang diterima tidak selalu selaras
dengan norma agama, norma kesusilaan, norma hukum dan budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Sisi positif dari pemberitaan adalah
memperluas wawasan sekaligus menyadarkan masyarakat agar selalu waspada terhadap dinamika lingkungan dan memahami gejala-gejala
yang berkembang, namun sisi negatif dari pemberitaan juga memberikan beban yang berat bagi masyarakat, saat ini sangat mudah bagi masyarakat
untuk melihat situs porno, provokasi-provokasi yang memecah belah, kejahatan internasional dan kejahatan multi dimensi lainnya.
Berita-berita tentang kejahatan yang terjadi dan ditayangkan di media massa banyak menjadi favorit masyarakat, fenomena-fenomena
kejahatan yang tersaji dalam berita yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat menjadi sebuah contoh cara melakukan kejahatan bagi masyarakat
yang belum pernah melakukan. Banyak terjadi kejahatan-kejahatan dimensi baru yang kemudian ditiru oleh oknum-oknum pelaku wajah
baru dan mengejutkan publik seperti kasus terorisme, narkoba, korupsi dan pelecehan seksual yang pada awalnya sangat tidak populer, saat ini
menjadi berita yang sangat populer di media massa.
Salah satu kejahatan yang menjadi fenomena baru di masyarakat adalah penyimpangan seksual, dalam suatu masyarakat perilaku seks
yang tidak sesuai dengan norma agama, norma hukum, atau norma susila dikatakan sebagai penyimpangan atau kelainan seksual. Pengertian
tersebut tidak sepenuhnya benar, karena pengertian secara luas tingkah laku seksual adalah, segala perilaku yang didasari oleh dorongan seks.
Menurut Kartono ada dua jenis perilaku seks, yaitu perilaku yang dilakukan sendiri, seperti masturbasi, fantasi seksual, membaca bacaan
porno dan lain-lain, serta perilaku seksual yang dilakukan dengan orang lain, seperti berpegangan tangan, berciuman hingga berhubungan intim.
Perilaku penyimpangan seksual merupakan tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan tata cara,
norma agama, norma hukum serta norma kesusilaan. Penyimpangan seks
dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan neorotis dengan dorongan-dorongan non-seks daripada kebutuhan erotis yang pada akhirnya mengarahkan
seseorang pada tingkah laku menyimpang yang dapat merugikan orang lain dan orang banyak.
1
Menurut Kartono ketidakwajaran seksual sexual perversion itu mencakup perilaku seksual atau fantasi-fantasi seksual yang diarahkan
pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan kelamin heteroseksual dengan jenis kelamin yang sama atau dengan partner yang
belum dewasa dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum.
2
Beberapa waktu yang lalu hangat diberitakan di media massa tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak hingga korban meninggal
dunia, penulis tertarik mengangkat kasus kekerasan seksual sebagai bahan tesis karena kasus kekerasan seksual menjadi trend baru berita
media dan tekanan publik untuk mengetahui perkembangan kasus melalui media massa sangat kuat, pressure media terhadap kinerja Polri
sebagai penyidik sangat besar serta banyak sorotan dari lembaga dan organisasi masyarakat yang mengkritisi kasus tersebut.
Pelanggaran terhadap norma dan peraturan perundang undangan harus dilakukan penegakan hukum yang harus tetap mewujudkan suatu
penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi terhadap hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara setara dalam hukum.
Proses penegakkan hukum sering terjadi hal-hal yang dapat merusak
1
Kartini Kartono. Patologi Sosial 2. Jakarta: Radja Grafindo Persada. 1998. Hal. 22.
2
Kartini Kartono. Ibid. Hal 35.
penegakkan proses hukum itu sendiri dan mengabaikan korban yang tidak dilindungi hak-haknya oleh Negara, pada kenyataannya kejahatan
tidak mungkin dapat dihilangkan namun hanya dapat ditekan dan dikurangi. Kemungkinan kejahatan akan terus berlangsung dan
meningkat. Korban juga semakin berkembang, bukan saja perseorangan, tetapi bisa lebih meluas korban kelompok, masyarakat, institusi dan
bahkan negara. Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian
“korban kejahatan” dalam terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak
yang dirugikan. Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII1985 di Milan dalam “The Prevention of Crime and
the Treatment of Offenders” dikemukakan, bahwa hak-hak korban seharusnya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem
peradilan pidana “victims rights should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system”.
3
Dalam terjadinya suatu tindak pidana di suatu Negara, pelaku korban kejahatan mendapatkan perlindungan hak-haknya, untuk
menyeimbangkan hal tersebut maka perlu suatu peraturan yang mengatur tentang perlindungan korban kejahatan. Sistem Peradilan melalui produk
3
Upaya Hukum Yang Dilakukan Korban Dikaji Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana. http:pnkepanjen.go.id
. Diakses tanggal 13 November 2015. Pukul 12.47 wib.
peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang diundangkan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menjadi dasar dari penyelenggaraan Sistim Peradilan Pidana, belum benar-benar
mencantumkan, terhadap apa yang diisyaratkan dalam UUD 45 dan falsafah negara Pancasila tersebut.
B. Rumusan Masalah