Kerangka Teori PENDAHULUAN Korban Kekerasan Seksual: Studi Kasus Penyimpangan Seksual Terhadap Anak Di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.

mendapat perhatian serius. Pasal 98-101 KUHAP mengatur penggabungan gugatan ganti kerugian ke dalam proses peradilan pidana berupa ganti rugi materiil, sedangkan ganti rugi immateriil tidak dapat diterima. b. prospek pengaturanformulasi perlindungan korban perkosaan dalam hukum pidana di masa yang akan datang dengan memasukkan sanksi pidana ganti kerugian ke dalam sanksi pidana tambahan sehingga hakim dapat menjatuhkannya bersamaan dengan pidana pokok atau secara mandiri.

F. Kerangka Teori

Perkembangan kehidupan manusia selalu berkembang setiap saat untuk mencapai kematangan sosial. Proses perkembangan kepribadian dan kejiwaan dari diri seorang individu merupakan salah satu syarat mutlak untuk menunjukkan eksistensi manusia dalam masyarakat, sebagaimana makhluk sosial baik secara internal maupun secara eksternal. Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari pihak berwenang dalam sistem untuk memperbaiki perilaku menyimpang tersebut. Penyimpangan dalam suatu masyarakat tidak berarti merupakan penyimpangan dalam masyarakat lainnya karena ada perbedaan standar atau ukuran tentang nilai dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat itu sendiri. Perilaku penyimpangan seksual merupakan tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan tata cara, norma agama, norma hukum serta norma kesusilaan. Penyimpangan seks dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan neorotis dengan dorongan-dorongan non-seks daripada kebutuhan erotis yang pada akhirnya mengarahkan seseorang pada tingkah laku menyimpang yang dapat merugikan orang lain dan orang banyak. Menurut Kartono 1998 ketidakwajaran seksual sexual perversion itu mencakup perilaku seksual atau fantasi-fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan kelamin heteroseksual dengan jenis kelamin yang sama atau dengan partner yang belum dewasa dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum. 6 Poerwandari 2000 mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah ke ajakandesakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelaminseks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan 6 Kartini Kartono. Ibid. Hal. 23. fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban. 7 Menurut hasil penelitian Studi Australian oleh Goldman and Goldman, 82 korban mengalami kekerasan seksual di bawah usia 13 tahun dan 60 terjadi dengan anak-anak lain sedangkan 22 kekerasan seksual anak dialami dengan orang dewasa. Korban kekerasan seksual anak dikaitkan dengan umur korban, 28 dialami oleh perempuan, dan 9 adalah laki-laki. Rata-rata umur korban adalah 9.8 tahun untuk anak perempuan dan 10.3 tahun untuk anak laki-laki. 24 pelaku kekerasan seksual anak adalah dilakukan oleh orang asing, sedangkan 76 pelaku kekerasan seksual anak adalah orang yang sudah dikenal oleh korban. 8 Sisca Moningka 2009 9 mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial karena akan membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. Mboiek 1992 10 dan Stanko 1996 11 mendefinisikan kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki- laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual yang tidak 7 Poerwandari, E. K. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi LPSP3. Universitas Indonesia. 1998. 8 Robert Osadan.“The Importance of Knowing Child Sexual Abuse Symptoms in the Elementary Teacher’s Work”. International Journal of Humanities and Social Science” Vol. 5, No. 7 1, July 2015. 9 Sisca, H., Moningka, C., Resiliensi perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa kanak-kanak. Jurnal Proceeding PESAT Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur Sipil Vol : 3 Oktober 2009. 10 Mboiek, P. B., Pelecehan seksual suatu bahasan psikologis paedagogis, makalah dalam Seminar Sexual Harassment, Surakarta 24 Juli 1992 Surakarta: kerjasama Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Surakarta dan United States Information Service. 1992. 11 Stanko, E. A., Reading Danger: Sexual Harassment, Anticipation and Self-Protection, dalam Marianne Hester ed. Women Violence and Male Power: Feminist Activism, Research and Practice. 1996. Buckingham: Open University Press. 1996. disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya. Suhandjati 2004 12 mengatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis, trauma emosional, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga sosial dan kultural. Bersamaan dengan berbagai penderitaan itu, dapat juga terjadi kerugian harta benda. Tower 2002, 13 dalam “The nation center on child abuse and neglect 1985”, menyebutkan beberapa jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya, yaitu: 1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. 2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga. 3. Kekerasan dalam Perspektif Gender Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan dan tidak dapat dirubah, gender membatasi bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidakadilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi dan stereotype. Bentuk ketidakadilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dampak yang muncul dari kekerasan 12 Suhandjati, S., Kekerasan terhadap istri. Yogyakarta: Gama Media. 2004. 13 Tower, C., Understanding Child Abuse and Neglect 5thed. Boston: Allyn Bacon, A Pearson Education Company. 2002. seksual kemungkinan adalah depresi, phobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tindak kekerasan seksual yang dialami oleh anak adalah sebagai berikut: 1 Faktor kelalaian orang tua, kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan pertumbuhan, perkembangan dan pergaulan anak yang membuat anak menjadi korban kekerasan seksual. 2 Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku, moralitas dan mentalitas yang tidak dapat tumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya. 3 Faktor ekomoni, faktor ekonomi keluarga yang membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan memberikan iming-iming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. 14 Polisi dan jaksa sebagai bagian sub-sistem peradilan pidana sebagai pintu gerbang masuknya perkara pidana ke pengadilan menunjukkan sikap yang kurang respek terhadap korbanpelapor. Negara, dalam hal ini polisi dan jaksa, memiliki peran yang dominan dan memonopoli reaksi terhadap pelanggaran hukum pidana adalah wakil sah dari masyarakat atau kepentingan publik, sesungguhnya telah mengambil alih peran korban sebagai pihak yang menderita karena kejahatan. Peran negara tersebut tidak diikuti oleh pengaturan hukum yang jelas mengenai hubungan hukum antara korban kejahatan di satu pihak dengan negara dalam hal ini polisi dan jaksa di lain pihak. Keadaan 14 Sarlito W. Sarwono., Psikologi Remaja, 2003, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. tersebut menjadi conditio sine qua non bagi nasib korban kejahatan, yakni sebagai objek yang pasif dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Partisipasi korban kejahatan dalam sistem peradilan dipandang sebagai “nothing more than a piece of evidence” 15 yang posisinya berada di luar sistem outsider, bukan menjadi pihak yang sangat berkepentingan dan terlibat dalam sistem insider. Hubungan antara korban kejahatan dengan polisi digambarkan sebagai hubungan yang tidak langsung indirect yang tidak menimbulkan akibat hukum. Hal ini berbeda dengan hubungan antara tersangka dengan penasehat hukumnya direct yang murni sebagai hubungan hukum antara dua subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum. 16 Contoh korban kejahatan dalam kasus wartawan Udin merupakan bukti dari ketidak-jelasan hubungan hukum antara korban kejahatan dengan polisi dan jaksa yang menjadi salah satu penyebab korban kejahatan mengalami viktimisasi sekunder secondary victimization, 17 15 Robert Reiff. The Invisible Victim, New York: Basic Books Inc. Publishers. 1979. Hal. 76 dalam Mudzakkir. Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berdasarkan KUHP Dan RUU KUHP . Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, No.1, Maret 2011. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Hal. 29 16 Hubungan antara penjual jasa hukum dengan pengguna jasa hukum. Terdakwa dapat memilih ahli hukum yang baik sebagai penasehat hukumnya yang benar-benar dapat memperjuangkan kepentingankepentingannya dan ia sewaktu-waktu dapat mencabut kuasanya bila penasehat hukum tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan memuaskan. Sebaliknya korban tidak bisa memperlakukan polisi seperti halnya terdakwa terhadap penasehat hukumnya. Hubungan antara korban kejahatan dengan polisi dan jaksa adalah hubungan yang bersifat unik dan simbolik, karena korban tidak memiliki hak terhadap polisi dan jaksa seperti halnya terdakwa dengan penasehat hukumnya. Mudzakkir, Ibid. Hal. 30. 17 Maksudnya korban kejahatan akan mengalami viktimisasi akibat adanya reaksi formal maupun informal yang tidak respek terhadap kepentingan korban. Masalah ini dibahas di dalam William F. McDonald., Criminal Justice and The Victim. London: Sage Publications. 1976. Mudzakkir, Ibid. Hal. 31. pertama oleh pelaku kejahatan dan kedua oleh sistem peradilan pidana itu sendiri. Kebijakan penanggulangan dapat dilaksanakan dengan cara penal dan nonpenal, penanggulangan penal adalah kebijakan kriminal yaitu penanggulangan setelah terjadinya kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan sudah bertemunya niat dan kesempatan dengan memberikan sanksi pidana bagi pelakunya yang bertujuan agar kejahatan tidak terulang kembali. Sedangkan kebijakan nonpenal adalah penanggulangan kejahatan tidak dengan menggunakan sanksi hukum, kebijakan nonpenal lebih mengarah kepada upaya pencegahan terjadinya kejahatan dengan cara preemtif himbauan dan preventif pencegahan.

G. Metode Penelitian