Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

  

PENERAPAN SANKSI TINDAKAN TERHADAP

ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

(Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

SKRIPSI

  

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat Untuk memperoleh gelar

SARJANA HUKUM

Oleh :

  

RINI SRI WAHYUNI

050200252

HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

  

2009

  KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmanirrahim.

  Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas-tugas akhir dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

  Adapun judul skripsi ini adalah : “PENERAPAN SANKSI TINDAKAN TERHADAP ANAK

  SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)”

  Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan maupun hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari Dosen Pembimbing maka Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak terdapat kelemahan serta kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

  Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Kompol Suwarno dan Ibunda Sri Hastuti Tercinta. Sembah sujud Penulis atas curahan dan kasih sayang yang tulus dan dengan susah payah serta segala upaya telah membesarkan dan mendidik Penulis hingga Penulis dapat menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi. Dan tak lupa Penulis sampaikan terima kasih kepada Adik-adik tersayang, Rika Agustina dan Lidya Pratidina. Penulis berharap Penulis dapat menjadi panutan untuk kalian saat ini dan di masa yang akan datang.

  Dalam penulisan skripsi ini, Penulis juga banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S. H, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

  2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S. H, M. Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

  3. Bapak Syafuddin Hasibuan, S. H, M. H, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

  4. Bapak M. Husni, S. H, M. Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

  5. Bapak Abul Khair, S. H, M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I Penulis atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada Penulis.

  6. Ibu Rafiqoh Lubis, S. H, M. Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis atas perhatian dan bimbingan Ibu kepada Penulis selama penulisan skripsi ini.

  7. Ibu Nurmalawaty, S. H, M. Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis.

  8. Ibu Megarita, S. H, CN, M. Hum selaku Dosen Penasehat Akademik selama Penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

  9. Seluruh Staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  10. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  11. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  12. Pengadilan Negeri Stabat yang telah memberikan data pada Penulis yang mendukung penyelesaian skripsi ini.

  13. Buat semua Keluarga Besarku di Medan dan Tebing Tinggi yang telah memberikan semangat kepada Penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

  14. Buat Abang-abang, Kakak-kakak, Adik-adik dan Teman-teman BTM Alladinsyah SH dari Stambuk 2002-2008 yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

  15. Buat semua Kakanda, Adik-adik, dan Teman-teman HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dari Stambuk 2002-2008.

  16. Buat seluruh Teman-teman Stambuk 2005, dan khususnya Teman-teman Departemen Hukum Pidana Stambuk 2005 yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

  17. Buat Sahabat-sahabat terbaik yang selalu memberikan doa, dukungan baik moril maupun spiritual, semangat, dan segala sesuatu yang Penulis tidak dapat melupakannya (Nova Yusmira, SH., Syarifa Yana, Sarah Ayu Diningtyas Zai,

  Angreni Fajrin Dalimunthe, Febrina Anindha, Irma Latifah Sihite, dan MayaSari).

  18. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada Penulis dalam menyusun skripsi ini, namun Penulis tidak dapat menyebutkannya satu per satu.

  Demikianlah yang dapat Penulis sampaikan, atas segala kesalahn dan kekurangan, Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

  Atas perhatiannya Penulis ucapkan terima kasih.

  Medan, Maret 2009 Penulis, Rini Sri Wahyuni

  

DAFTAR ISI

  Kata Pengantar ....................................................................................... i Daftar Isi ................................................................................................ v Abstraksi ................................................................................................ vii

  BAB I. PENDAHULUAN A. . Latar Belakang .....................................................................

  1 B. Perumusan Masalah ..............................................................

  5 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ..............................................

  5 D. Keaslian Penulisan ................................................................ 6

  E. Tinjauan Kepustakaan .......................................................... 7

  1. Pengertian Pidana, Tindakan dan Sanksi Tindakan Dibeberapa Negara ..................................................... 7

  2. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak ..................... 15

  3. Pengertian Peradilan Anak dan Bentuk Peradilan Anak .................................................................................. 18

  4. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak ............................ 23

  F. Metode Penelitian ................................................................. 27

  G. Sistematika Penulisan ........................................................... 29

  

BAB II. PENGATURAN MENGENAI SANKSI TERHADAP ANAK

PELAKU TINDAK PIDANA DITINJAU DARI BEBERAPA HUKUM POSITIF DI INDONESIA

  A. Ditinjau dari Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak ..................................................................................... 31

  B. Ditinjau dari Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ............................................................... 49

  C. Ditinjau dari Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ................................................................................ 62

  

BAB III. PENERAPAN SANKSI TINDAKAN TERHADAP ANAK

PELAKU TINDAK PIDANA A. Kasus Posisi ............................................................................ 84 B. Dakwaan ................................................................................. 86 C. Tuntutan Pidana ...................................................................... 90 D. Putusan .................................................................................... 91 E. Fakta hukum ............................................................................ 91 F. Analisis kasus .......................................................................... 95 BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .......................................................................... 103 B. Saran .................................................................................... 105 DAFTAR PUSTAKA Lampiran

  

ABSTRAKSI

   Rini Sri Wahyuni

  • ** Abul Khair, SH, M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum

  Anak sebagai bagian dari generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan anak dan bangsa di masa depan. Akan tetapi, pada kenyataannya terkadang dijumpai penyimpangan perilaku dikalangan anak, bahkan ada pula yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Untuk itu diperlukan sanksi yang mengaturnya.

  Skripsi ini membahas beberapa permasalahan yang terkait dengan pengaturan mengenai sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana dari beberapa hukum positif di Indonesia, diantaranya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam skripsi ini juga membahas tentang penerapan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana yang ditinjau dari putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat.

  Penulisan skripsi ini menggunakan spesifikasi penelitian dengan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum berupa data sekunder. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan yang dianalisis dengan metode kualitatif untuk menjawab permasalahan yang di dalam skripsi ini.

  • ** * Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
  • BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita

      perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan.

      Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang- kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga, anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat.

      Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.

      Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.

      Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar.

      Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.

      Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.

      Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak Nakal, wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, proses peradilan perkara Anak Nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak. Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan. Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil- adilnya bagi anak yang bersangkutan.

      Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi Anak Nakal yang telah diputus oleh Hakim, maka anak tersebut ditampung di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berbagai pertimbangan tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus bagi anak dalam lingkungan Peradilan

    2 Umum.

      Dengan demikian, Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang tepat dalam pembinaan dan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

    B. Perumusan Masalah

      Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

      1. Bagaimana pengaturan mengenai sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana ditinjau dari beberapa hukum positif di Indonesia.

      2. Bagaimana penerapan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana pada kasus Raju di Pengadilan Negeri Stabat. 2 Gatot Supramono. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta:PT. Djambatan, 2007.

      hlm. 11-12.

    C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

      1. Tujuan Penulisan

      Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

      a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai sanksi tindakan ditinjau dari beberapa hukum positif di Indonesia.

      b. Untuk mengetahui penerapan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana dalam kasus Raju di Pengadilan Negeri Stabat.

      2. Manfaat Penulisan

      Manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini yaitu : a. Manfaat Teoritis.

      Skripsi ini diharapkan akan dapat memberi masukan bagi ilmu pengetahuan serta dapat membantu pembaca untuk lebih mengerti dan memahami tentang anak sebagai pelaku tindak pidana dan penerapan sanksi terhadapnya, khususnya sanksi tindakan berdasarkan hukum positif di Indonesia.

      b. Manfaat Praktis.

      Pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca mengenai sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana, dan sebagai pedoman serta bahan rujukan bagi akademisi dan praktisi hukum dalam membedakan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana dengan tetap melindungi hak-hak asasi anak yang hakiki dan kepentingan mereka di masa depan.

      D. Keaslian Penulisan

      Topik Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak

      

    Pidana diangkat Penulis karena ketertarikan Penulis terhadap kenakalan anak

      yang belakangan ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Skripsi dengan judul Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku tindak Pidana ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli merupakan hasil karya Penulis sendiri, kalaupun ada judul yang sama atau menyerupai Penulis meyakini bahwa substansi dari isinya berbeda. Penulis menyusun skripsi ini dari referensi buku-buku, makalah-makalah, media cetak dan elektronik serta bantuan dari berbagai pihak.

      E. Tinjauan Kepustakaan

    1. Pengertian Pidana, Tindakan dan Sanksi Tindakan di Beberapa Negara.

      Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, ialah berupa penderitaan. Perbedaannya hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan dari pada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Menjalani pendidikan/ pembinaan anak karena putusan hakim yang menjatuhkan tindakan ii adalah lebih ringan dari pada menjalani pidana penjara.

      Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang disebut juga dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.

      Pidana didefnisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja diajtuhkan/ diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum

      (sanksi) baginya atas perbuataannya yang telah melanggar larangan hukum

       pidana.

      Wujud-wujud penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negera itu telah ditetapkan dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkan na serta dimana dan bagaimana cara menjalankannya.

      Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam pasal 10 KUHP. Tetapi wujud dan batas-batas berat ringannya dalam menjatuhkannya dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan.

      Pidana dalam hukum pidana adalah suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi.

      Di samping sanksi pidana, juga dikenal adanya tindakan. Tindakan merupakan penjatuhan sanksi tindakan kepada seseorang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memberikan pembinaan, perawatan dan tindakan tertentu lainnya.

      Terhadap anak nakal yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a.

      Yang diancam dengan pidana penjara sementara waktu, tidak diancam dengan hukuman mati/seumur hidup dijatuhkan sanksi akan tetapi dikenakan sanksi 3 Drs. Adami Chazawi, S. H. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002), hlm. 24. berupa tindakan. Untuk dapat diajukan ke depan sidang Pengadilan Anak, maka anak nakal minimum telah berumur 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun.

      Sementara anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, walaupun melakukan tindak pidana belum dapat diajukan ke sidang Pengadilan Anak. Ini didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis dan paedagogis, bahwa anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun itu belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akan tetapi dalam hal anak melakukan tindak pidana dalam batas umur 8 (delapan) tahun, akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka ia diajukan ke depan sidang Pengadilan Anak.

      Sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dan anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi anak sesuai Pasal 1 angka 2 huruf b Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dapat diberi tindakan disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodic kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Untuk menentukan apakah si anak akan dikenakan pidana (Pasal

      23 Undang-undang No. 3 Tahun 1997) atau tindakan (Pasal 24 Undang-undang No. 3 Tahun 1997) haruslah dengan memperhatikan berat ringannya kejahatan atau kenakalan yang dilakukan. Selain itu juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua/wali/orang tua asuhnya, hubungan antara anggota keluarga, keadaan penghuninya dan memperhatikan Laporan Pembimbing Kemasyarakatan

      Adapun tindakan yang dapat dikenakan kepada anak nakal (Pasal 24

       Undang-undang No. 3 Tahun 1997) adalah sebagai berikut : a) Mengembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh.

      Anak nakal dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua wali/orang tua asuh, apabila menurut penilaian hakim si anak masih dapat dibina di lingkungan orang tuanya/wali/orang tua asuhnya. Namun demikian si anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan antara lain untuk mengikuti kegiatan kepramukaan, dan lain-lain.

      b) Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

      Pada hakekatnya, jenis tindakan tersebut di atas dapat dijatuhkan Hakim kepada Anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997). Konkretnya, secara teoritik dan praktik penjatuhan tindakan sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1997 ini dilakukan apabila Hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal kekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan, pertanian,

    4 Darwan Prinst. Hukum Anak Indonesia. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm.

      28-29. perbengkelan, tat arias, dan sebagainya sehingga setelah selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri.

      c) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan letihan kerja.

      Secara teoritik dan praktik, apabila Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja maka Hakim dalam keputusannya sekaligus menentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan dan latihan kerja tersebut dilaksanakan (Pasal 32 UU No. 3 Tahun 1997). Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan anak menghendaki, hakim dapat menetapkan anak yang bersangkutan diserahkan kepada Organisasi Kemasyarakatan, seperti pesanteren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.

      Di samping tindakan yang dikenakan kepada anak nakal, juga disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim sesuai Pasal 24 ayat (2) UU No 3 Tahun 1997. Teguran itu berupa peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak, atau tidak langsung melalui orang tuanya, walinya atau orang tua asuhnya. Maksud dari teguran ini, agar anak nakal tidak lagi mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sementara syarat tambahan, misalnya kewajiban untuk melapor secara periodic kepada Pembimbing Kemasyarakatan, misalnya seminggu sekali, sebulan sekali atau pada hari-hari tertentu.

    2. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak

      Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/

      

    person under age) , orang yang di bawah umur/ keadaan di bawah umur

      (minderjarigheid/ inferiority) atau sering juga disebut sebagai anak yang di bawah

      

      pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/

      

    ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku

    secara universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.

      Apabila dijabarkan lebih terperinci maka ada beberapa batasan umur dari hukum positif Indonesia tentang batasan umur bagi seorang anak yaitu:

      1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

      Dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 yang dimaksud dengan “Anak” adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

      2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

      Berdasarkan ketentuan pasal 47 Ayat (1) dan pasal 50 Ayat (1), yanag disebut dengan “Anak” adalah yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama

       mereka tidak dicabut kekuasaannya.

      5 Lilik Mulyadi. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya.

      Bandung: CV. Mandar Maju. 2005. hlm. 3 6 Prof. R. Subekti, S. H. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita., 2001. hlm. 551.

    3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana

      Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1981 pasal 171 Ayat (1) batasan umur anak di sidang pengadilan yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin.

    4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

      Berdasarkan ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata maka yang disebut “Anak” adalah mereka yang belum mencapai umur genap

       21(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

      5. Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI

      Dalam Hukum Adat Indonesia maka batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistis. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Ada yang menyebutnya “telah kuat gawe”, “akil baligh”, “meneg bajang” dsb. Sedangkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang berorientasi kepada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah 15 (lima belas)

       tahun.

      6. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

      Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP maka yang disebut Anak adalah

      

      orang yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun. Terhadap hal ini baik secara teoritik dan praktik maka apabila anak melakukan tindak pidana, hakim 7 8 Ibid, hlm. 90 9 Lilik Mulyadi. Op.cit., hlm. 6 R. Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Pasal demi

      Pasal. Bogor: Politea, 1993. hlm. 61 dapat menentukan anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana sebagai anak Negara atau juga dapat dijatuhi pidana. akan tetapi ketentuan

      Pasal 45, 46, dan 47 berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No. 3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketetntuan Pasal 287, 290, 292, 294, dan 295 KUHP adalah beumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.

      7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

      Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

      8. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

      Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 yang dimaksud dengan Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

    4. Pengertian Peradilan Anak dan Bentuk Peradilan Anak

      Secara harfiah “Peradilan Anak” terdiri dari dua kata yaitu “peradilan” dan “anak”.

      Arti Peradilan.

      Menurut kamus bahasa Indonesia Peradilan berarti “segala sesuatu yang

      

      berkenaan dengan Pengadilan”. Dengan demikian secara sempit “Peradilan” 10 Daryanto. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Surabaya: Apollo.1998). hlm. 17 adalah hal-hal yang menyangkut hukum acara yang hendak mempertahankan materiilnya. Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian/ hal-hal yang terjadi terhadap suatu perkara termasuk proses penerapan hukum acara dalam

       mempertahankan materiilnya.

      Secara sosiologis “peradilan” merupakan Lembaga Kemasyarakatan atau suatu institusi sosial yang berproses untuk mencapai keadilan. Alasan bahwa peradilan sebagai lembaga sosial berdasar pada pengertian dari lembaga sosial adalah:

      “Suatu lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan dari pada kaidah- kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat”.

      Secara yuridis “peradilan” merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan. Dalam peradilan terkait beberapa lembaga yaitu kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum,

       dalam mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga Negara.

      Pandangan filosofis peradilan berhubungan erat dengan konsepsi keadilan. Keadilan pada dasarnya merupakan nilai tertinggi di antara segala nilai yang ada dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Keadilan merupakan integritas dari berbagai nilai kebijaksanaan yang telah, sedang dan selalu diushakan untuk dicapai pada setiap waktu dan segala bidang serta masalah yang dihadapi. Konsepsi ini berkembang selaras dengan berkembangnya rasa keadilan dunia dan peardaban manusia. 11 Agung Wahyono, S. H dan Siti Rahayu, S. H. TInjauaun tentang Peradilan Anak di

      Indonesia . (Jakarta: Sinar Grafika, 1993). hlm. 14 12 Dr. Maidin Gultom, S. H, M. Hum. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: PT Refika Aditama, 2008. hlm. 66.

      Jadi dapatlah diambil kesimpulan bahwa secara filosofis yang dimaksud dengan “Peradilan” adalah proses menegakkan keadilan yang dilakukan Badan Peradilan untuk mencapai kedamiana hidup bernegara dan bermasyarakat.

      Arti Anak.

      Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan sedikit banyaknya menyebabkan hal-hal tertentu dalam berbagai kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Secara hukum kelahiran tersebut menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada hak dan kewajiban, yaitu: a. Kekuasaan orang tua

      b. Pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak

      c. Perwalian

      d. Pendewasaan

      e. Pengangkatan anak Kondisi fisik dan psikologis anak yang mempunayai kedudukan tertentu dalam rangka pengembangan manusia seutuhnya memerlukan usaha yang menjamin perlakuan asil dan mengakibatkan kesejahteraan anak. Perumusan dalam berbagai undang-undang tentang anak tidak memberikan pengertian akan konsepsi anak, melainkan perumusan tersebut merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu, kepentingan tertentu dan tujuan tertentu, misalnya dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dalam pasal 1 Ayat (2) merumuskan:

      “Anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Dalam penjelasannya menyebutkan:

      “Batas usia 21 (dua pulu satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut”. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa:

      “Batas usia 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas usia dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku”.

      Pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksud adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun.

      Jadi dapatlah disimpulkan arti dan pengertian “Peradilan Anak” setelah terlebih dahulu kita mengetahui apa itu arti “peradilan” dan “anak”. Penempatan kata “anak” dalam Peradilan anak menunjukkan batasan atas perkara yang ditangani oleh Badan Peradilan yaitu perkara anak. Proses mewujudkan keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan-badan Peradilan disesuaikan dengan bentuk-bentuk serta kebutuhan anak. Peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Ruang lingkup Peradilan Anak meliputi: a. Segala aktifitas pemeriksaan

      b. Pemutusan perkara c. Hal-hal yang menyangkut kepentingan anak.

      Bentuk Peradilan Anak

      Bentuk (form) Peradilan anak jika didasarkan pada tolok ukur uraian tentang Pengertian dari Peradilan dan Pengertian Anak, serta motivasi tertuju demi kepentingan anak untuk mewujudkan kesejahteraannya, maka tidak ada bentuk yang cocok bagi Peradilan Anak kecuali sebagai Peradilan Khusus.

      Demikianlah kenyataan yang terjadi di Negara-negara yang telah mempunyai Lembaga Peradilan Anak. Mereka menempatkan bentuk dan kedudukan secara khusus di dalam sistem Peradilan Negara masing-masing, walaupun istilah yang

       dipakai berbeda-beda.

      Bahwasanya terdapat kaitan erat antara bentuk dan kedudukan/ status Peradilan Anak dalam sistem tata hukum, hal tersebut tidak dapat dipungkiri.

      Negara kita telah mengenal istilah Peradilan Umum dalam UU No. 19 Tahun 1984 tetapi istilah Peradilan Khusus baru kita jumpai sekitar tahun 1964 yaitu dikenal dalam UU No. 14 Tahun 1964 yang dilanjutkan oleh UU No. 14 Tahun 1970.

      Pembedaan istilah Peradilan Umum dan Peradilan Khusus itu disebabkan oleh adanya perkara-perkara/ golongan-golongan tertentu. Pasal 10 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan:

      1. Peradilan Umum;

      2. Peradilan Agama;

      3. Peradilan Militer; dan 4. Peradilan Tata Usaha Negara.

    13 Agung Wahyono, S. H dan Siti Rahayu, S. H. Op. Cit. hlm. 23

      Undang-undang ini membedakan antara 4 lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi badan –badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.

      Peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Perdilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. peradilan agama menyangkut tentang nikah, talak, rujuk, dsb. Sedangkan Peradilan Militer menyangkut perkara-perkara pidana dan disiplin militer bagi yang berstatus militer.

      Kemungkinan menempatkan Peradilan Khusus di samping 4 Badan Peradilan yang sudah ada, berdasarkan Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004, dapat diketahui bahwa Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.

      Sesuai dengan hal ini Peradilan Anak merupakan Peradilan Khusus, merupakan spesialisasi dan difrensiasinya di bawah Peradilan Umum. Dalam

      Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menentukan bahwa Pengadilan anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Di Indonesia belum ada tempat bagi suatu Peradilan anak yang berdiri sendiri sebagai peradilan yang khusus. Peradilan anak masih di bawah ruang lingkup Peradilan Umum. Secara intern di lingkungan Peradilan Umum dapat ditunjuk Hakim yang khusus mengadili perkara-perkara anak. Peradilan anak melibatkan anak dalam proses hukum sebagai subjek tindak pidana dengan tidak mengabaikan masa depan si anak, dan menegakkan wibawa hukum sebagai pengayom, pelindung serta menciptakan iklim yang tertib untuk memperoleh keadilan. Perlakuan yang harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, yang pada kenyataannya secara biologis, psikologis, dan sosiologis, kondisi fisik, mental,

       dan sosial anak, menempatkan anak pada kedudukan khusus.

    5. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak

      Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan Peradilan lainnya sebagimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang

       No. 14 Tahun 1970 pada bagian akhirnya menyebutkan:

      “……tugas pokok badan-badan peradilan adalah untuk memerikasa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya”. Kata terpenting di atas adalah “mengadili”. Sebenarmya dengan kata

      “mengadili” sudah tercakup kata-kata yang lainny. Perbuatan mengadili maksudnya adalah memberi keadilan. Untuk memberikan suatu keadilan, Hakim melakukan kegiatan dan tindakan. Pertama-tama harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Kemudian setelah itu mempertimbangkan dengan memberikan penilaian atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku, lalu memberikan kesimpulan dan menyatakan putusan terhadap peristiwa itu. Dalam mengadili, Hakim berusaha menegakkan kembali hukum ya ng dilanggar karena itu sering dikatakan bahwa Hakim atau Pengadilan adalah penegak hukum.

      14 15 Dr. Maidin Gultom, S. H, M. Hum. Op. Cit, hlm. 76 Agung Wahyono, S. H dan Siti Rahayu, S. H. Op. Cit. hlm. 37

      Tugas lain yang dibebankan kepada Hakim adalah dalam melakukan peradilan. Pengadilan harus mengadili berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum tertulis dan tidak tertulis. Menurut UU No. 14 Tahun 1970 tugas Hakim adalah melakukan interpretasi hukum, dan hak menguji undang-undang ditetapkan dalam Pasal 23 UU No. 14 tahun 1970. Dalam Pasal 24 UU No. 14 Tahun 1970 menentukan pula tugas Pengadilan di luar perbuatan mengadili, yaitu berkewajiban untuk saling membantu atau memberi bantuan antar Pengadilan untuk kepentingan peradilan juga.

      Berbicara tentang fungsi dari peradilan, tidaklah terlepas dari peranan peradilan itu sendiri. Adapun peranan peradilan anak meliputi:

      1. Umum a. sebagai penegak keadilan.

      b. menyelesaikan perkara yang diajukan ke Pengadilan.

      c. membentuk hukum sebagai konsekuensi dari adagium yang menyatakan bahwa Hakim dianggap tahu tentang hukum.

      2. Khusus

      a. Badan Peradilan sebagai sarana pendidiakn dalam arti ikut serta dalam membentuk kepribadian anak melalui putusan atau penetapan Hakim.

      Pendidikan tersebut ditujukan bagi pelanggar-pelanggar muda.

      b. Badan Peradilan berkewajiban memberikan perlindungan bagi pelanggar- pelanggar muda dalam proses peradilan, dari tindakan-tindakan dan perlakuan-perlakuan yang merugikan demi kepentingan anak.

      c. Badan Peradilan harus melakukan pengawasan dan bimbingan dalam tindak lanjut dari putusannya.

      Jadi fungsi yang dibebankan Undang-undang kepada Badan peradilan tidak akan mencapai tujuan tanpa peranan dari peradilan itu sendiri. Antara fungsi dan peranan tidak dapat dipisahkan karena peranan memegang merupakan fungsi yang dinamis dengan pemegang peran adalah pejabat-pejabat peradilan.

      

      Peradilan anak bertujuan memberikan yang terbaik bagi anak tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya keadilan. Tujuan Peradilan Anak tidak berbeda dengan perdailan lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 4 tahun 2004 yang menentukan bahwa:

      “Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perdilan ang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

      Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan: “Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan mneyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.”

      Dalam mengadili, Hakim berusaha menegakkan kembali hukum yang dilanggar. Salah satu usaha penegakkan hukum itu adalah melalui Peradilan Anak, sebagai suatu usaha perlindungan anak untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan. Perlindungan anak yang diusahakan dengan memberikan bimbingan/ pendidikan dalam rangka rehabilitasi dan resosiliasi, menjadi landasan peradilan anak.

      Pasal 1 butir 1 a UU No 4 Tahun 1970 menyebutkan: “Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani meupun sosial.”

    16 Agung Wahyono, S. H dan Siti Rahayu, S. H. Op.cit. hlm. 35-38

      Mewujudkan kesejahteraan anak, mengekkan keadilan merupakan tugas pokok badan peradilan menurut undang-undang. Peradilan tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Anak.

      Filsafat Peradilan Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga terdapat hubungan erat antara Peradilan Anak dengan UU Kesejahteraan Anak (UU No. 4 Tahun 1979). Peradilan Anak hendaknya memberi pengayoman, bimbingan, pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam Peradilan Anak ditinjau dari segi psikologis bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan, keterlantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan, dsb. Mewujudkan hal ini perlu ada hukum yang melandasi, menjadi pedoman perlakuan maupun tindakan yang diambil terhadap anak. Dalam mewujudkan kesejahteraan anak, anak perlu diadili oleh suatu badan peradilan tersendiri. Usaha mewujudkan kesejahteraan anak adalah bagian dari meningkatkan pembinaan bagi semua anggota masyarakat, yang tidak terlepas dari kelanjutan dan kelestarian peradaban bangsa, yang penting bagi masa depan bangsa dan negara.

      Kesejahteraan anak itu penting karena :

      a. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang landasannya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang secara wajar c. Bahwa di dalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial, dan ekonomi d. Anak belum mampu memelihara dirinya

      e. Bahwa menghilangkan hambatan tersebut hanya akan dapat dilaksanakan

       dan dieproleh bila usaha kesejahteraan anak terjamin.

    F. Metode Penelitian

      Metode yang dimaksudkan adalah sebagai suatu hal yang merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu, Penulis menggunakan metode penulisan sebagai berikut:

      1. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang Penulis lakukan adalah penelitian hukum yuridis normatif.

      Suatu analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang. Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya. Pada tahap awal penulisan, Penulis akan melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Bahan-bahan tersebut dipergunakan untuk melihat sisi normatif dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadilan anak dalam memberikan sanksi ataupun hukuman terhadap anak yang melakukan kenakalan atau anak yang berkonflik dengan hukum.

      2. Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data

      

      sekunder diperoleh dari: 17 18 Dr. Maidin Gultom, S. H, M. Hum. Op. cit. hlm. 77-78 Amiruddin, S. H, M. Hum dan H. Zainal Asikin, S. H., S. U. Pengantar Metode

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

0 1 38

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

1 27 9

BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG A. Sanksi Pidana 1. Pengertian Sanksi Pidana - Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

0 0 23