Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

(1)

1

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

DANIEL CLINTON SIREGAR

110200528

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

2

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

DANIEL CLINTON SIREGAR

110200528

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablisar, S.H.,M.S. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum.


(3)

3 ABSTRAK

Daniel Clinton Siregar *) Madiasa Ablisar**) Mahmud Mulyadi***)

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dalam bidang medis, kini kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan tersebut merupakan penggunaan narkotika, pengedar dan kejahatan Prekursor Narkotika yang dapat dilakukan dengan permufakatan jahat. Pelaku tindak pidana narkotika harus diberi hukuman karena telah melanggar hukum, sebab dalam hukum yang penting bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana formulasi Tindak Pidana Narkotika dalam UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bagaimana penegakan hukum dalam kasus Henry Dunant Purba sebagai Oknum Polri sebagai pelaku Tindak Pidana Narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor. 479/Pid.B/2011/PN.Mdn.

Metode Penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yudiris normatif yang terdiri dari inventarisasi hukum positif dan penemuan hukum inkonkreto.

Kesimpulannya adalah Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus yang perbuatannya berupa memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor/ekspor atau menyalurkan, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, menukar atau menyerahkan, membawa, mengirim, dan mengangkut narkotika dan prekursor narkotika. Terdapat beberapa hal yang tidak bersesuaian dalam surat tuntutan dan putusan Hakim dengan didukung oleh pertimbangan Hakim mengenai unsur-unsur yang terbukti berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan terdakwa Henry Dunant Purba yang menyatakan bahwa terdakwa memenuhi semua unsur dari Pasal 114 UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu sebagai penjual atau perantara dalam jual beli atau menyerahkan Narkotika golongan I jenis shabu-shabu.

_____________________________ *)Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**)Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

***)Dosen Pembimbing II, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(4)

4

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan Skripsi yang berjudul: Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas baik dari segi substansi maupun dari segi penulisannya.

Penulis juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.,selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


(5)

5

4. Bapak H. OK.Saidin,S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak Dr.M.Hamdan,SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

6. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

7. Bapak Ramli Siregar, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.

8. Bapak Dr.Madiasa Ablisar,SH., M.H. selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada Penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada Penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Beliau juga memberikan berbagai masukan yang sangat berharga berkaitan dengan materi guna penyelesaikan skripsi ini.

10. Para Dosen, AsistenDosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Skripsi ini Penulis persembahkan kepada orang tua tercinta Bapak Januari Siregar dan Ibu Alvida Simbolon yang selalu memberi kasih sayang serta dukungan hingga Penulis mampu menyiapkan skripsi ini. Tanpa dukungan, doa serta semangat dari beliau skripsi ini tidak akan selesai.


(6)

6

12. Kepada Saudara tersayang Bang Christian, Kak Fransisca, Kak Adrianica, Kak Corry, yang selalu membantu segala kesusahan dan rintangan yang penulis hadapi dengan support dan doa yang diberikan.

13. Kepada Opung A.Effendy Simanungkalit dan Sondang Napitupulu. Terimakasih karena selalu memberi nasehat, doa, dan dukungan kepada Penulis.

14. Sahabat terbaik Benny Suryadi, Oren Riff Milano, Budi Ryando, Ivan Colia, Jois Markus, Susie Sofia Simbolon, Albert Fernando, dan Gabeta Solin yang senantiasa memberi semangat kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan buat kebersamaannya selama 4 tahun di Fakultas Hukum yang menjadi pengalaman yang tidak bisa dilupakan. See you on the TOP!!

15. Teman-teman Grup F, teman-teman IMADANA dan seluruh stambuk 2011 yang selalu memberi dukungan kepada Penulis.

Penulis juga menyampaikan permohonan maaf jika selama masa perkuliahan dan selama penulisan skripsi ini, Penulis telah melakukan kesalahan.

Akhir kata semoga skripsi ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum.

Medan, Oktober 2015 Penulis


(7)

7

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

NAMA : DANIEL CLINTON SIREGAR

NIM : 110200528

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI :PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn)

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan skripsi atau karya ilmiah orang lain;

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggungjawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Medan, Juli 2015

DANIEL CLINTON SIREGAR NIM 110200276


(8)

8 DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR ... ...ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penelitian ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tinjauan Hukum Tentang Hukum Pidana ... 11

2. Istilah Tindak Pidana Khusus ... 12

3. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum ... ..14

4. Tinjauan Hukum Mengenai Tindak Pidana Narkotika ... 20

F. Metode Penelitian ... 22

G. Sistematika Penulisan ... ....24

BAB II : FORMULASI TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UU. NO.35 TAHUN 2009. A. Bentuk Tindak Pidana Narkotika dalam UU Narkotika...27

B. Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Narkotika...46

C. Sanksi Pidana dalam Undang-Undang Narkotika...52


(9)

9

BAB III : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn.)

A. Kasus Posisi...61 B. Analisa Kasus...78 BAB IV : PENUTUP

A. KESIMPULAN...86 B. SARAN ...88 DAFTAR PUSTAKA


(10)

3 ABSTRAK

Daniel Clinton Siregar *) Madiasa Ablisar**) Mahmud Mulyadi***)

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dalam bidang medis, kini kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan tersebut merupakan penggunaan narkotika, pengedar dan kejahatan Prekursor Narkotika yang dapat dilakukan dengan permufakatan jahat. Pelaku tindak pidana narkotika harus diberi hukuman karena telah melanggar hukum, sebab dalam hukum yang penting bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana formulasi Tindak Pidana Narkotika dalam UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bagaimana penegakan hukum dalam kasus Henry Dunant Purba sebagai Oknum Polri sebagai pelaku Tindak Pidana Narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor. 479/Pid.B/2011/PN.Mdn.

Metode Penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yudiris normatif yang terdiri dari inventarisasi hukum positif dan penemuan hukum inkonkreto.

Kesimpulannya adalah Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus yang perbuatannya berupa memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor/ekspor atau menyalurkan, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, menukar atau menyerahkan, membawa, mengirim, dan mengangkut narkotika dan prekursor narkotika. Terdapat beberapa hal yang tidak bersesuaian dalam surat tuntutan dan putusan Hakim dengan didukung oleh pertimbangan Hakim mengenai unsur-unsur yang terbukti berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan terdakwa Henry Dunant Purba yang menyatakan bahwa terdakwa memenuhi semua unsur dari Pasal 114 UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu sebagai penjual atau perantara dalam jual beli atau menyerahkan Narkotika golongan I jenis shabu-shabu.

_____________________________ *)Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**)Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

***)Dosen Pembimbing II, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(11)

10 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat pengendali sosial (social

control) yang dilengkapi dengan berbagai sanksi sebagai alat pemaksa agar

kaidah-kaidahnya ditaati, karena dengan begitu maka eksistensi negara hanya dapat diwujudkan ketika hukum diterapkan secara konsisten. Dalam tatanan hukum kehidupan bernegara dan berbangsa yang berlandaskan dengan ketentuan hukum, Pemerintah telah membentuk beberapa lembaga penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang berperan penting dalam proses penegakan hukum.1

Narkotika yang semula merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dalam bidang medis, kini kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan tersebut merupakan penggunaan narkotika bukan untuk maksud pengobatan (tidak sesuai dengan standar pengobatan), akan tetapi untuk menikmati pengaruhnya, paling sedikit satu bulan, dalam jumlah berlebih dan digunakan secara teratur, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan jasmani, kejiwaan, dan fungsi sosial lainnya.2

Penyalahgunaan narkoba selalu menjadi masalah serius yang dihadapi oleh banyak negara, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang tak terkecuali di Indonesia. Istilah “narkotika” ini muncul sekitar tahun 1998.

1

A. W. Widjaya, 1995, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Bandung: Armico, hlm 25.

2

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia , Unit Pelayanan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba berbasis Masyarakat (Community Based Unit) Untuk Pendiri, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia: Jakarta, 2010, hlm. iii.


(12)

11

Istilah ini bukan istilah yang asing di telinga masyarakat mengingat begitu banyaknya berita, baik dari media cetak maupun media elektronik.

Seperti yang kita ketahui bahwa masalah narkoba merupakan masalah yang sangat meresahkan banyak kalangan, baik kaum remaja, pelajar, mahasiswa, orang tua, kaum profesional maupun instansi Pemerintah. Hal ini disebabkan karena narkoba merupakan benda yang mempunyai dampak buruk bagi para penggunanya bila dikonsumsi tidak sesuai dengan ketentuan ahli medis. Narkoba juga memberikan keuntungan yang mengiurkan bagi para pengedarnya sehingga kejahatan ini marak terjadi di masyarakat.

Dalam dasar menimbang Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa adanya pengawasan yang ketat. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakan serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri.3

Banyak fakta yang dapat disaksikan, hampir setiap hari melalui media massa baik media cetak maupun elektronik, menunjukkan narkoba telah merebak secara luas tanpa pandang bulu, terutama pada generasi muda yang diharapkan menjadi generasi penerus bangsa dalam membangun bangsa dan negara di masa

3


(13)

12

akan datang. Masyarakat sudah sangat resah terutama keluarga para korban narkoba. Begitu banyak anggota keluarga masyarakat yang mengalami penderitaan dalam kecanduan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya itu.

Berdasarkan Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba tahun anggaran 2014, jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia. Jadi, ada sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10-59 tahun masih atau pernah pakai narkoba pada tahun 2014. Angka tersebut terus meningkat dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Puslitkes UI dan diperkirakan pengguna narkoba jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015.4

Tidak hanya itu, akibat dari penyalahgunaan narkotika juga telah telah menyebabkan goyahnya supremasi hukum di Indonesia. Hal ini terbukti dari skandal pembatalan vonis mati pemilik pabrik ekstasi di Surabaya Hengky Gunawan oleh Hakim Agung Imron Anwari, Hakim Nyak Pha dan Ahmad Yamani yang sangat menuai kontroversi. Bahkan setelah putusan tersebut Ahmad Yamani mengajukan permohonan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Hakim Agung.5

4

http://www.kompasiana.com/phadli/jumlah-pengguna-narkoba-di-indonesia_553ded8d6ea834b92bf39b35 (diakses tanggal 5 September pukul 23.20)

5

Andi Saputra, “6 Kejanggalan Pembatalan Vonis Mati Gembong Narkoba Hengky Gunawa

pukul 13.00).


(14)

13

Kejahatan narkoba, khususnya di Indonesia sudah semakin mengerikan dan sangat meresahkan, meskipun peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang kejahatan tersebut dengan menjatuhkan sanksi pidana maksimal hukuman mati, tetapi kejahatan tersebut tetap berlangsung secara terus menerus di dalam dinamika masyarakat. Dewasa ini kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi serta dengan memanfaatkan teknologi yang canggih. Dalam mengatasi hal ini perlu peranan penegak hukum dan masyarakat untuk mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan khususnya dalam kasus narkoba guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.6

Jika tindak pidana narkoba telah terjadi, maka hal tersebut harus ditindak lanjuti karena telah melanggar hukum ataupun norma serta menggangu ketertiban umum. Adapun tindak lanjut atas tindak pidana tersebut adalah peranan aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan dalam memberantas dan menanggulangi tindak pidana narkoba. Tugas aparatur penegak hukum dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan serta menjatuhkan sanksi pidana atas tindak pidana tersebut.7

Untuk mencapai tujuan dalam pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana narkoba baik jaksa, hakim maupun kepolisian harus lebih dahulu memiliki kesadaran dan mental tangguh yang tidak tergoyahkan oleh pengaruh yang dapat menyimpang kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan perlu

6

A.Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan narkotika dan Psikotropika, Jakarta : Sinar Grafika ,1994, hlm. 6.

7


(15)

14

bekerja keras mengumpulkan alat bukti yang cukup yang kemudian akan disempurnakan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat perkara diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim di Pengadilan. Hal tersebut hanyalah merupakan langkah teoritis dalam ketentuan acara pidana, karena dalam kenyataannya maksud tersebut tidak tercapai implementasinya.8

Hal tersebut disebabkan pada kerapuhan mental yang menghinggapi para aparat penegak hukum yang bersangkutan. Telah menjadi rahasia umum, bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian dalam melakukan tugas penyelidikan terhadap kasus-kasus kejahatan penyalahgunaan obat-obatan terlarang sering bertindak diluar prosedur hukum yang berlaku. Dengan kata lain bahwa dalam penegakan tindak pidana tersebut sering terjadi penyimpangan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dalam jabatannya sebagai aparat penegak hukum. Hal ini bukan hanya runtuhnya mental dari para aparat penegak hukum tetapi juga rendahnya profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat Indonesia diberikan tugas untuk melakukan pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana. Keberadaan polisi sebagai pelaksanaan awal sistem peradilan wajib melakukan tugas dan wewenang sebagai aparat penegak hukum. Meskipun demikian terdapat beberapa Oknum Polisi yang menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat

8


(16)

15

penegak hukum dengan ikut dalam penyalahgunaan narkotika baik sebagai pengguna dan pengedar obat-obatan terlarang atau narkoba tersebut. Hal tersebut tentu saja dapat menyebabkan hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap kredibilitas polisi untuk memberikan jaminan kepastian hukum atau memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat atas maraknya tindak pidana narkoba yang terjadi.9

Polisi telah melakukan penyalahgunaan jabatan, tugas serta wewenangnya atas tindak pidana narkoba. Seharusnya mereka menjadi panutan kepada masyarakat dengan memberikan contoh yang baik dalam proses pemberantasan kejahatan narkoba yang marak terjadi. Namun sebaliknya jika polisi ikut serta dalam tindakan menggunakan dan mengedarkan narkoba, tentu saja memberikan kesan atau pandangan negatif masyarakat terhadap citra Kepolisian itu sendiri.10

Dapat kita lihat dari sebuah kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, bahwa terdapat keterlibatan Oknum Polisi yang menggunakan bahkan ikut serta dalam mengedarkan narkoba seperti kasus yang terjadi pada November 2010, Anggota Brigade Mobil berpangkat Brigadir Satu terlibat dalam penyalahgunaan narkoba jenis shabu-shabu.

Data statistik menyebutkan sebanyak 227 orang anggota Polri terlibat 102 kasus narkotika pada tahun 2011 dan 32 orang diantaranya adalah Perwira kepolisian terdiri dari 14 orang Perwira Menengah dan 18 orang Perwira Pertama,sementara untuk pangkat Bintara sebanyak 192 orang. Semuanya telah

9

Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2005, hlm. 20.

10

Skripsi Pidana W. Tridiningtias, Pertanggungjawaban Pidana Pengguna dan Pengedar Narkoba yang dilakukan Oknum Polri, hlm. 2.


(17)

16

diproses secara disiplin kepolisian dan telah dijatuhi sanksi pidana. Sementara untuk angka anggota Polri yang terlibat dalam narkotika di tahun 2012 periode bulan Januari sampai dengan Maret terdapat 45 kasus yang melibatkan 1 orang Perwira Menengah dan 39 Bintara.11

Lemahnya pengawasan institusi penegak hukum menjadi salah satu faktor penyebab adanya oknum Polri yang turut menyalahgunakan narkoba, sehingga sikap pesimistis timbul terhadap keberhasilan pihak kepolisian untuk memberantas peredaran dan penyalahgunaan barang haram tersebut. Dengan demikian memunculkan asumsi di kalangan masyarakat yang tidak sedikit menghendaki agar anggota polisi yang terlibat atas penyalahgunaan narkoba dapat dihukum berat, bukan hanya diberikan sanksi melanggar disiplin kepolisian atau hanya sekedar peringatan saja.

12

Dengan demikian, diharapkan terwujud tujuan dari pemberian sanksi pidana yaitu memberikan efek jera kepada para pelaku yang telah melanggar peraturan hukum pidana tanpa memandang jabatan orang yang melakukan tindak pidana tersebut, sehingga keadilan dapat ditegakkan dan terwujud pertanggungjawaban pidana oleh oknum polisi yang melakukan tindak pidana tersebut. Tentu saja hal yang diinginkan adalah pemberian sanksi dari instansi yang bersangkutan yang diberikan seberat-beratnya sehingga hal ini dapat

11

tanggal 11 Agustus 2015 pukul 14.00).

12

(diakses


(18)

17

memberikan peringatan dan efek jera kepada aparat penegak hukum yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.13

Berdasarkan uraian diatas sebuah penelititan ilmiah karena polisi merupakan aparat penegak hukum yang pertama menangani suatu perkara pidana sebelum ditindak lanjuti oleh kejaksaan ataupun pengadilan, dimana dalam menjalankan tugas dan wewenangnya apakah polisi telah melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan atas wewenang yang dimilikinya tersebut.

Ketertarikan untuk menguraikan masalah tindak pidana menggunakan dan mengedarkan narkoba, khususnya yang dilakukan oknum Polri, karena Polisi merupakan aparat penegak hukum. Sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Medan yang mengadili terdakwa yang bernama HENRY DUNANT PURBA sebagai Anggota Satuan Brigade Mobil merupakan putusan yang diteliti oleh penulis yang terdapat ketidaksinambungan antara tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan Putusan Hakim, dengan judul skripsi “PENEGAKKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan No. 479/Pid.B/2011/PN.Mdn)” untuk dikaji lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban itu dan pemberian sanksi pidana terhadap Oknum Polri tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana formulasi Tindak Pidana Narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

13


(19)

18

2. Bagaimana penegakan hukum terhadap Oknum POLRI sebagai pelaku Tindak Pidana Narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui formulasi tindak pidana Narkoba yang ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan tindak pidana narkotika oleh oknum Polri serta untuk mengetahui sanksi hukum yang diberikan pada oknum Polri sebagai pelaku tindak pidana narkoba.

Sedangkan manfaat penelitian yang didapatkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih pemikiran terhadap pengembangan untuk dunia pendidikan dibidang Ilmu Hukum khususnya terkait penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika.

b. Bagi pihak yang berkepentingan, yakni : para Pembentuk Peraturan perundang-undangan dan Akademisi dapat memberikan masukan dalam penanggulangan dan penegakan hukum dalam membrantas tindak pidana narkotika.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis : Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang penanganan atau


(20)

19

pertanggungungjawaban pidana terhadap anggota polri yang menyalahgunakan narkoba.

b. Bagi Kepolisian : Khususnya bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal penanganan terhadap anggota Kepolisian yang menyalahgunakan narkoba sehingga dapat lebih meningkatkan profesionalisme para anggotanya. c. Bagi Masyarakat : Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan

masyarakat tentang upaya yang dilakukan oleh Polri Sumatera Utara dalam penanganan terhadap anggota Polri yang menyalahgunakan narkoba, sehingga masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam penanganan terhadap anggota Kepolisian yang menyalahgunakan narkoba.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara bahwa judul tentang “Penegakan Hukum Terhadap Oknum POLRI Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Mdn)”, maka diketahui bahwa belum ada

penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup yang diangkat untuk dikaji dan diteliti dalam penelitian ilmiah ini. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan secara moril, karena dalam melakukan penelitian ini, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian


(21)

20

yang harus dijunjung tinggi bagi Peneliti atau Akademisi dalam melakukan penelitian hukum.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana

Indonesia merupakan negara hukum sesuai pasal 1 ayat (3) UUD 1945.14

a. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk

Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam penyelenggaraan negara Indonesia dibatasi oleh hukum. Dalam kehidupan bermasyarakat, perilaku masyarakat diatur dalam aturan hukum. Salah satu perilaku yang diatur oleh hukum ialah tindak pidana narkotika.

15

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

:

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

14

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3).

15

Aruan Sakidjo, Bambang Poernomo, Hukum Pidana (Dasar Aturan Umum: Hukum Pidana Kodifikasi, Yogyakarta: Balai Aksara, 1988, hlm. 16.


(22)

21

Definisi tersebut meskipun secara teoritis adalah benar, tetapi oleh karena tidak memberi gambaran tentang isinya hukum pidana itu tadi, bahkan hanya menyebut akibat hukumnya saja, maka tidak memuaskan. Menurut Pompe, Utrecht,

Nederland Handboek Nederlans Straftrecht 4e, “Hukum Pidana, demikian

Pompe, adalah semua aturan-autran hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu.”16

Pendapat yang lebih memuaskan adalah definisi dari Van Hamel dalam bukunya Inleiding studie Ned. Strafrecht 1927, yang berbunyi:

“Hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.”

b. Istilah Tindak Pidana dan Tindak Pidana Khusus

Istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah

strafbaar feit adalah sebagai berikut :17

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, (diganti dengan UU No 19/2002). Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirjono Prodjodikoro.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R.

Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, Mr. Van Schravendijk

16

Utrecht, 2000, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya : Pustaka Tinta Mas, hlm. 58.

17

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hlm. 67-68.


(23)

22

dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin, dalam buku beliau Hukum Pidana. Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (baca Pasal 14 ayat 1).

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan

untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau

Hukum Pidana I. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini, seperti

pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana.

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni

dalam buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana

Indonesia.

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk

Undang-undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (baca Pasal 3).

7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan


(24)

23

beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.18

Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.19 Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Di satu sisi tidak dapat dipisahkan dengan sisi yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

18

Ibid., hlm. 67-68.

19


(25)

24

2. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:20

a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.

b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan

c. Berangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya.

1. Pengertian Polisi

Istilah Polisi sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda. Pengertian Polisi yang sekarang misalnya adalah berbeda dengan pengertian

20

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: 2001, Citra Aditya Bakti, hlm. 46.


(26)

25

Polisi pada awal ditemukannya istilah Polisi itu sendiri. Adapun pengertian Polisi diantaranya adalah sebagai berikut :21

a. Pertama kali ditemukannya Polisi dari perkataan Yunani “Politea” yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Pada masa itu yaitu abad sebelum Masehi, negara Yunani terdiri dari kota-kota tidak saja menyangkut pemerintahan negara kota saja, tetapi juga termasuk urusan-urusan keagamaan. Baru setelah timbul agama Nasrani, maka pengertian Polisi sebagai pemerintahan negara kota dikurangi urusan agama.

b. Di negara Belanda pada zaman dahulu istilah Polisi dikenal melalui konsep Catur Praja dan Van VOLLENHONEN yang membagi pemerintahan menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :

1) Bestuur 2) Politea

3) Rechtspraak, dan 4) Regeling

Dengan demikian Politie dalam pengertian ini sudah dipisahkan dari Bestuur dan merupakan bagian pemerintahan tersendiri. Pada pengertian ini Polisi termasuk organ-organ pemerintah yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum.

c. Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History mengemukakan pengertian Polisi dalam bahasa Inggris : “Police Indonesia the English

language came to mean of planning for improving ordering communal

21


(27)

26

existence”, yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan

susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpangkal tolak dari pemikiran, bahwa manusia adalah mahluk sosial hidup berkelompok, membuat aturan-aturan yang disepakati bersama. Ternyata diantara kelompok itu terdapat anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama sehingga timbul masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar. Berdasarkan pemikiran ini kemudian diperlukan Polisi baik organnya maupun tugasnya untuk memperbaiki dan menertibkan tata susunan kehidupan masyarakat tersebut. d. Analog dalam pengertian-pengertian diatas, untuk jelasnya dapat disimak

pengertian yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia No.13 Tahun 1961 pada pasal 1 ayat (1) yang dinyatakan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri.22

2. Fungsi dan Tugas Kepolisian

Fungsi Kepolisian dapat diartikan sebagai yang menyangkut tugas dan wewenang, termasuk pula di dalamnya pelampauan batas-batas wewenang yang diberikan.23 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 24

22

Ibid., hlm. 5-7.

Pada abad ke V sebelum Masehi fungsi Kepolisian adalah meliputi seluruh kegiatan-kegiatan dan

23

Ibid., hlm. 85.

24


(28)

27

usaha yang dilakukan oleh seluruh pemerintahan negara kota. Dengan demikian fungsi Kepolisian masih meliputi seluruh urusan kesejahteraan, keamanan dan ketertibas serta tugas-tugas pemerintahan lainnya.

Tugas Kepolisian adalah menjaga serta menjamin ketertiban dan keamanan umum dalam rangka usaha untuk kemakmuran rakyat, sebagai usaha- usaha yang dilakukan oleh tugas dari bestuur. 25

Untuk dalam merealisir tugas Polisi tersebut maka fungsi Kepolisian menjalankan tugas : Preventive recht zirg yaitu memaksa penduduk suatu wilayah menaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif) supaya tata tertib masyarakat tetap terpelihara.

3. Wewenang Kepolisian

Di dalam Undang-Undang No.13 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kepolisian negara, maupun Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdapat wewenang-wewenang Kepolisian Negara dalam penyelidikan suatu perkara.26

Polri diberikan wewenang seperti tercantum pada pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Kewenangan yang dipunyai oleh Polri ini semata-mata digunakan hanya untuk kepentingan mencari

Wewenang yang sifatnya umum tidak terdapat di dalamnya, dan dalam kata-kata secara logis dapat dipastikan bahwa dimana ada penugasan haruslah ada wewenang-wewenang yang menyertainya. Sebab tanpa tugas yang mendasar Polisi untuk bertindak, tugas tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik.

25

Ibid., hlm. 91.

26


(29)

28

kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Dengan keluarnya hasil dari penyelidikan yang menyatakan suatu peristiwa pidana dan harus diadakan penyidikan maka tindakan pertama yang diambil adalah pengumpulan bukti-bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana dan mencari dan menemukan pelaku tindak pidana tersebut.27

Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada Polri umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (2) yaitu : wewenang-wewenang umum yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan asas Legalitas dan

Plichmatigheid yang sebagian besar bersifat preventif dan yang kedua adalah

wewenang khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan, dimana sebagian besar bersifat represif. Sedangkan istilah umum dan khusus hanyalah untuk memudahkan mempelajarinya atau memahami kewenangan yang ada pada Polri, tetapi keduanya juga saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

4. Tanggung Jawab Kepolisian

Seorang Kepolisian bertanggung jawab kesalahan yang dibuatnya menurut sistem pertanggungjawaban, dan untuk jelasnya adalah sebagai berikut :28

1) Pelanggaran dari norma hukum pidana akan menghadapkan ia kemuka Pengadilan Perdata (Pengadilan Negeri)

2) Apabila ia merugikan orang lain dalam melaksanakan tugas atau perintah jabatan yang sah, maka negaralah yang bertanggung jawab, sehingga setiap

27

Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan: USU Press, 2009, hlm. 16-17.

28


(30)

29

orang yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi dari negara berdasarkan suatu “onrechtmatig overheidsdaad”. Melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Tinjauan Hukum Mengenai Tindak Pidana Narkotika

Disamping tindak pidana yang tercantum dalam KUHP ada beberapa macam tindak pidana yang berada di luar KUHP, biasa disebut sebagai “Tindak Pidana di luar KUHP” atau disebut juga sebagai “Tindak Pidana Khusus”. Tindak pidana ini adalah tindak pidana yang dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang diciptakan atau dibuat oleh Pemerintah. Perundang-undangan ini diciptakan karena belum terdapat tindak pidana yang dimaksud dalam KUHP.

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV ketentuan pidana, maka perbuatan-perbuatan yang dilarang yang berhubungan dengan narkotika adalah :29

1. Menanam, memelihara, mempunyai, dalam persediaan, memiliki, menyimpan untuk dimiliki, atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman.

2. Memiliki, menyimpan, untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II dan Golongan III.

3. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika golongan I, II, III.

29


(31)

30

4. Membawa, mengirim, mangangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, II, dan III.

5. Mengimport, mengeksport, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, II, III.

6. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, II, III untuk digunakan oleh orang lain.

7. Menggunakan narkotika golongan I, II, III. Bahaya narkotika karena penyalahguna menjadi “addict” (pecandu) setelah melewati ketergantungan jiwa dan fisik. Belum lagi bahaya sampingan lainnya, situasi ketertiban dan keamanan bagi masyarakat seperti pencurian, penodongan, perampokan, perampasan, pembunuhan, pemerkosaan.

Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi nyawa manusia.30

30


(32)

31

F. Metode Penelitian dan Penulisan

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang terdiri dari: 31 a. Inventarisasi hukum positif

b. Penemuan asas hukum c. Penemuan hukum inkonkreto d. Perbandingan hukum

e. Sejarah hukum f. Harmonisasi hukum g. Sinkronisasi hukum

Berdasarkan 7 jenis penelitian yang diuraikan diatas, maka yang paling tepat adalah inventarisasi hukum positif dan penemuan hukum inkonkreto.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data tersebut digolongkan menjadi :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti dan sifatnya mengikat, terdiri dari :

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan penjelasan bahan hukum primer, terdiri dari :

31

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 41.


(33)

32

a. Buku-buku yang membahas tentang narkotika dan psikotropika.

b. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan psikotropika.

3) Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasasn terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Contoh: abstrak, almanak, buku pegangan, buku petunjuk, buku tahunan, ensiklopedia, indeks artikel kamus, penerbitan pemerintah, sumber biografi, sumber geografi, dan timbangan buku.32 Yaitu Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana terdiri dari33

a. Kamus hukum

:

b. Kamus bahasa Indonesia c. Kamus Bahasa Inggris

d. Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya)

3. Alat Pengumpulan Data

Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian normatif maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi Kepustakaan (Library Research) dan studi dokumen. Studi kepustakaan dalam penelitian ini adalah mencari landasan teoritis dari permasalahan

32

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 30.

33

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 52.


(34)

33

penelitian. Sehingga penelitian yang dilakukan bukan aktivitas yang bersifat trial and error.34

4. Analisis Data

Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pengumpulan data penelitian melalui penelitian kepustakaan dengan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Sedangkan studi dokumen dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ilmiah ini.

Penelitian hukum umumnya menggunakan analisis kualitatif, dengan alasan: (1) Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat pernyataan; (2) Data yang terkumpul umumnya berupa informasi; (3) Hubungan antara variabel tidak dapat diukur dengan angka. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data sekunder yang berupa teori, defenisi dan substansi yang berasal dari berbagai litelatur terkait dalam penelitian ini serta yang berasal dari peraturan perundang-undangan terkait.35

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat dan disusun atas 5 bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

34

Bambang Sunggono, Op.cit., hlm. 112.

35


(35)

34 BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang dilakukan dalam penulisan skripsi.

BAB II FORMULASI TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UU. NO. 35 TAHUN 2009

Dalam Bab ini akan membahas mengenai pengertian tindak pidana narkotika ditinjau dari peraturan perundang-undangan, unsur-unsur tindak pidana narkotika serta jenis-jenis tindak pidana narkotika yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan.

BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn)

Dalam bab ini akan membahas mengenai penerapan pidana materil pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B /2011 /PN.Mdn serta prosedur hukum pemberantasan penyalahgunaan Narkotika oleh Oknum POLRI dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn yang dikaji lebih lanjut mengenai Upaya Penal dan Upaya Non-Penal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika.


(36)

35 BAB IV PENUTUP

Dalam Bab V ini adalah merupakan hasil pembahasan dari keseluruhan skripsi yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan saran-saran dari penulis terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.


(37)

36 BAB II

FORMULASI TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009

A. Bentuk Tindak Pidana Narkotika dalam UU Narkotika

Istilah narkotika, bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya, berita baik dari media cetak, maupun elektronik yang memberitakan tentang penggunaan narkotika, dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya.36

Berbagai penelitian mengemukakan bahwa faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan narkotika yakni Pertama faktor individu terdiri dari aspek kepribadian, dan kecemasan atau depresi. Termasuk aspek kepribadian, karena pribadi yang ingin tahu, mudah kecewa, sifat yang tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang termasuk kecemasan atau depresi karena tidak mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri dalam penggunaan narkotika. Kedua faktor sosial budaya, terdiri dari kondisi keluarga dan pengaruh pergaulan. Ketiga faktor lingkungan, yang tidak baik maupun tidak mendukung, dan menampung segala sesuatu yang menyangkut perkembangan psikologis.

Keempat faktor narkotika, karena mudahnya narkotika didapat dan didukung

dengan faktor-faktor tersebut, sehingga semakin mudah timbulnya penyalahgunaan narkotika.

Tindak pidana yang berhubungan dengan Narkoba termasuk tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya

36

dr-syaifulbakhri.blogspot.co.id/2012/03/tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1(diakses tanggal 2 September 2015 pukul : 13.00 Wib).


(38)

37

menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkotika tidak menggunakan KUHPidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan Undang-Undang R.I. No. 35 Tahun 2009.37

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah adalah diperkenalkan oleh pihak Pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-Undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.

38

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.39

Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat yang di dalam undang-undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat dikenai sanksi.

37

Ianbachruddin.blogspot.co.id/2011/11/tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1 (diakses tanggal 2 September 2015 pukul 14.00 Wib).

38

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (cetakan ke-5), Jakarta:Rajawali Pers, 2014, hlm. 49

39


(39)

38

Sudarto berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat.40

Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

Tindak pidana yang berhubungan dengan Narkoba termasuk tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkoba tidak menggunakan KUH Pidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan UU No. 35 Tahun 2009. Secara umum hukum acara yang dipergunakan mengacu pada tata cara yang dipergunakan oleh KUHAP, akan tetapi terdapat beberapa pengecualian sebagaimana ditentukan oleh UU narkotika dan narkotika.

Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang

40

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip 1990, hlm. 45.


(40)

39

merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi nyawa manusia.41

1. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan I. a) Pasal 111

Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.

Unsur Objektif

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan.

3) Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.

Pertimbangan Putusan MA menyangkut Pasal tersebut bahwa “tetapi

bagaimana perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan tersebut dilakukan oleh para terdakwa lebih merupakan asumsi dari Jaksa Penuntut Umum bahwa sebelum para terdakwa

41


(41)

40

ditemukan sedang menghisap ganja pastilah didahului oleh perbuatan sebagaimana dakwaan Penuntut Umum”.42

b) Pasal 112

Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman.

Unsur Objektif

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan.

3) Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman.

Pertimbangan dalam Putusan MA No.1071K/Pid.Sus/2012 “bahwa

ketentuan Pasal 112 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 merupakan ketentuan keranjang sampah atau pasal karet. Perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai memiliki narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari jeratan Pasal 112 tersebut, padahal pemikiran semacam ini adalah keliru dalam menerapkan hukum sebab tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-hal yang mendasar terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai dengan niat atau maksud terdakwa.”43

42

http://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-pengguna-narkotika-harus-menjadi-perhatian-serius/ (diakses tanggal 15 Oktober 2015 pukul 23.20).

43


(42)

41 c) Pasal 113

Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I.

Unsur Objektif

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan. 3) Unsur Narkotika Golongan I.

Kegiatan yang menyangkut produksi narkotika diatur dalam pasal ini, namun diatur dalam pasal tersebut bukan hanya perbuatan secara tanpa hak dan melawan hukum memproduksi saja, melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu untuk semua golongan.44

d) Pasal 114

Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I.

Unsur Objektif

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan. 3) Unsur Narkotika Golongan I.

44


(43)

42

Berkaitan dengan tindak pidana ini perbuatan menyalurkan dan menyerahkan termasuk ke dalam perbuatan jual beli narkotika, karena peredaran narkotika sebagaimana dimaksud di dalamnya terdapat unsur yang salah satunya meliputi kegiatan dalam rangka perdagangan.45

e) Pasal 115

Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I.

Unsur-unsur tindak Unsur Objektif

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito. 3) Unsur Narkotika Golongan I.

Kerancuan pasal tersebut terdapat dalam ayat (1) yang tidak mencantumkan Narkotika Golongan I bukan tanaman, karena dalam ayat (2) dicantumkan Narkotika Golongan I bukan tanaman.46

f) Pasal 116

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain.

Unsur Objektif

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur menggunakan.

3) Unsur Narkotika Golongan I.

45

Ibid, hlm. 174.

46


(44)

43 g) Pasal 127

Mengatur tentang setiap penyalahguna. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur penyalahguna bagi diri sendiri. 3) Unsur Narkotika Golongan I.

Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana.47

2. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan II. a) Pasal 117

Mengatur tentang setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II.

Unsur Objektif

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan. 3) Unsur Narkotika Golongan II.

47

http://www.pn-nunukan.go.id/index.php/zoo-template/download/80-sample-data- articles/joomla/extensions/modules/demo1/170-penjatuhan-pidana-mati-dalam-tindak-pidana-narkotika (diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.30)


(45)

44

Narkotika Golongan II : berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan, digunakan dalam terapi. Contoh : Morfin dan Petidin.48

b) Pasal 118

Mengatur tentang orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II.

Unsur Objektif

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan. 3) Unsur Narkotika Golongan II.

c) Pasal 119

Mengatur tentang orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II. 1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, jual beli, menukar, atau menyerahkan.

3) Unsur Narkotika Golongan II. d) Pasal 120

Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II.

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

48


(46)

45

2) Unsur membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito. 3) Unsur Narkotika Golongan II.

e) Pasal 121

Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan, atau memberikan untuk digunakan oranglain Narkotika Golongan II.

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur menggunakan, atau memberikan untuk digunakan oranglain. 3) Unsur Narkotika Golongan II.

f) Pasal 127

Mengatur tentang penyalahguna.

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur penyalahguna bagi diri sendiri. 3) Unsur Narkotika Golongan II.

3. Tindak Pidana Narkotika yang termasuk golongan III. a) Pasal 122

Mengatur tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III.

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan. 3) Unsur Narkotika Golongan III.

b) Pasal 123

Mengatur tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III.


(47)

46

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan. 3) Unsur Narkotika Golongan III.

c) Pasal 124

Mengatur tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan III.

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan.

3) Unsur Narkotika Golongan III. d) Pasal 125

Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika Golongan III.

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.

2) Unsur membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito. 3) Unsur Narkotika Golongan III.

e) Pasal 126

Mengatur tentang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan oranglain.

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.


(48)

47 3) Unsur Narkotika Golongan III. f) Pasal 127

1) Unsur tanpa hak atau melawan hukum. 2) Unsur penyalahguna bagi diri sendiri. 3) Unsur Narkotika Golongan III.

Suatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana apabila:49 1. Adanya korban;

2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan; 3. Harus berdasarkan asas ratio principle, dan

4. Adanya kesepakatan sosial (public support).

Tujuan pengaturan Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika antara lain:50

1. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;

2. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika;dan 3. memberantas peredaran gelap narkotika.

Melawan hukum merupakan suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, dimana sifat tercela tersebut dapat bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut

49

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2011, hlm. 45.

50

Kusno Adi. Kebijakan Kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak, Malang: UMM Press, 2009, hlm. 18.


(49)

48

dengan bertentangan dengan asas-asa hukum masyarakat, sifat tercela tersebut tidak tertulis.51

Berdasarkan undang-udang, suatu perbuatan tidak mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan.52

Sifat terlarang yang harus dibuktikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung dari redaksi rumusan dan paham yang dianut. Contohnya, sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum objektif terletak pada tidak adanya izin dari si pemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan.53

Dalam hal yang terakhir, bagaimana mengenai kenyataan bahwa tidak semua orang akan mengetahui tentang begitu banyak dan luasnya tindak pidana dalam undang-undang. Hal atersebut tidak perlu menjadi kendala karena dalam hal berlakunya hukum pidana didasarkan pada adagium, yakni “setiap orang dianggap mengetahui hukum”. Jadi dengan terpenuhinya perbuatan yang dilarang beserta unsur-unsur lainnya, sudah demikian dianggap seseorang itu mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang undang-undang.54

Suatu perbuatan yang dapat dipidana oleh hukum, harus dipenuhinya unsur actus reus yakni unsur esensial dari kejahatan (physical element) dan mens

51

Adami Chazawi, Op.cit., hlm. 86.

52

Ibid., hlm. 86-87.

53

Ibid., hlm. 88.

54


(50)

49

rea (mental element) yakni keadaan sikap batin. Actus non Facit Reum nisi mens sit rea, bahwa asas tersebut diatas menyatakan suatu perbuatan tidak dapat

menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tidak bersalah.55

Actus reus menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act)

sedang kan mens rea mencakup unsur pembuat delik yaitu sikap batin yang menurut pandangan monitistis tentang delik disebut unsur subjektif suatu delik atau keadaan psikis pembuat. Pandangan monistis yang ditinggalkan oleh Hoge Raad, “sesungguhnya di dalam literatur Belanda tentang arti strafbaar feit pada masa ini sedang mengalami perkembangan sehingga tidak ada kesatuan pendapat lagi. Sebagaimana halnya beberapa waktu lalu.” Di dalam ucapan van Hattun di atas, sesungguhnya strafbaar feit diberi arti strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat orang dijatuhi pidana.56

Mens rea amat erat sekali hubungannya dengan asas keine trafe onhe schuld yakni tidak ada pidana jika orang tidak bersalah. Mens Rea adalah sikap

batin pembuat yang oleh pandangan monistik terhadap delik tersebut sebagai unsur subjektif, yang kalau unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya pertanggungjawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tidak adanya dasar pemaaf (veronstschuldingsground) yang semuanya melahirkan

schuldhaftigheit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuatan delik.57

55

A.Z. Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 47.

56

H. Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU. No. 35 Tahun 2009), Jakarta: Rineka Cipta, 2012, hlm. 252.

57


(51)

50

Dalam tindak pidana narkotika yang menjadi objek hukum adalah perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum yang memenuhi asas legalitas formil dan materiil.

a. Legalitas formil yaitu suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. b. Legalitas materiil yaitu hukum yang belaku di dalam kehidupan masyarakat. Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku (heteromon). Unsur dari luar diri pelaku tindak pidana narkotika dapat kita kaji yaitu perbuatan manusia, akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, keadaan-keadaan tertentu, sifat melawan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.58

Unsur Subjektif, unsur yang berasal dari dalam diri pelaku tindak pidana. Unsur dari dalam diri Pelaku tindak pidana narkotika dapat diketahui unsur kesengajaan sebagai maksud, unsur kesengajaan kemungkinan, unsur kesengajaan keinsafan pasti, ataupun kesadaran secara penuh dalam melakukan tindak pidana. Dimana pelaku sadar akan perbuatannya dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan bertanggug jawab sebagai keadaan batin orang normal, yang sehat. Dalam tindak pidana narkotika subjek hukum yang dapat dipidana terbagi atas:

a. Setiap orang

b. Badan Hukum atau Korporasi c. Pegawai Negeri

58

http://zain-informasi.blogspot.com/2013/11/pasal-111-uu-no-35-tahun-2009-tentang_3719.html (diakses pada tanggal 13 Agustus 2015 pukul 17.00).


(52)

51

Perbuatan yang dapat dikategorikan dalam tindak pidana ialah : 1) Perbuatan yang dilakukan tanpa hak

2) Perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum dimaksudkan ialah perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perbuatan melawan hukum ini dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, doktrin membedakan

Wederrechtelijk (melawan hukum)59

1. Wederrechtelijk formil

:

Terdapat apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

2. Wederrechtelijk materiil

Sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Dalam UU No. 35 2009 tentang Narkotika, terdapat 4 (empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni60

a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika.

:

59

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 415.

60


(53)

52

b. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika.

c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika.

d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika. Dalam melakukan suatu kejahatan terkadang pelakunya tidak sendirian akan tetapi melibatkan orang lain dengan cara bekerjasama yang peranannya berbeda.61

Adapun perbuatan (medeplictig) dalam membantu melakukan kejahatan misalnya meminjami peralatan, memberi informasi, menghalang-halangi pengejaran, dan sebagainya. Perbuatan tersebut dilakukan sebelum atau pada saat kejahatan dilakukan, sebenarnya bukan hanya dalam bentuk materil, tetapi dalam bentuk moril pun dapat dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan sekongkol atau

Yang dimaksud berbeda peranannya, karena dalam rangka melaksanakan kejahatan, ada yang bertindak sebagai pelaku (pleger) dan ada yang bertindak sebagai (medeplictig), masing-masing dengan “pekerjaan” yang tidak sama. Sebagai orang yang membantu kejahatan, tidak bertindak langsung melakukan pekerjaan, akan tetapi fungsinya hanya memperlancar jalannya pelaksanaan kejahatan.

61


(54)

53

“tadah” (heling) melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP”.62

Dasar hukum orang yang membantuk melakukan kejahatan adalah Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: a. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan.

b. Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Permufakatan jahat dapat terjadi apabila suatu kejahatan dilakukan oleh beberapa orang. Sebelum melakukan perbuatan, mereka berunding dan melahirkan kesepakatan untuk melakukan sesuatu kejadian. Istilah permufakatan jahat dikenal dengan sebutan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi ini, maka perlu dipahami pandangan Sutherland yang dikutip oleh J.E. Sahetapy, yaitu: “ the

value of criminal statistic as a basis for the measurement of criminality... decrease as the procedures takes us farther away from the offence itself’.63

Jika terus berpegangan pada angka peradilan pidana, maka harus dipertimbangkan:

1. Para penjahat dalam menjalankan perbuatan mereka yang tidak terpuji itu acapkali tidak diketahui oleh lembaga penegak hukum dan instansi administrasi yang bertugas mengawasi aktivitas korporasi.

62

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Refika Aditama, 2003, hlm. 60.

63


(55)

54

2. Bilamana diketahui maka penjahat (korporasi) itu mungkin saja tidak diadili, 3. Seandainya si penjahat itu diadili juga, maka ada kemungkinan yang

bersangkutan tidak dipidana.

Pengertian korporasi di dalam hukum pidana sebagai ”ius constituendum” dapat dilihat dalam usul Rancangan KUHP Baru Buku I 1987/1988, dalam Pasal 120 yang menyatakan:64

a. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum; “korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan.” Dari perumusan ini, jelaslah bahwa kumpulan teorganisasi ini, dalam praktiknya di kalangan para pelaku kejahatan sering melakukan kejahatan dengan melibatkan beberapa orang sebagai suatu organisasi. Ternyata rumusan korporasi menurut Rancangan KUHP Baru tersebut di atas, mirip dengan pengertian korporasi di negeri Belanda, dan dapat dijumpai dalam Pasal 51 W.v.S Belanda (Pasal 59 KUHP Indonesia), yang berbunyi:

b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap:

(1) badan hukum atau;

(2) terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu, atau;

(3) terhadap yang disebutkan di dalam (1) dan (2) bersama-sama.

64


(56)

55

c. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseoran tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.

B. Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Narkotika

1. Kesalahan

Untuk suatu pelanggaran pidana adalah satu syarat mutlak, bahwa selain daripada perbuatan itu melawan hukum, perbuatan itu sebagai pelanggaran larangan atau perintah itu juga diancam dengan hukuman, yaitu undang-undang telah menetapkan bahwa tidak ditaati larangan atau perintah itu diancam dengan suatu hukuman tertentu sebagai akibat hukum. Unsur subjektif dari norma-pidana berupa Kesalahan (mens rea) sipelanggar norma pidana itu.65

Kesalahan itu umumnya ialah dengan dikehendaki dan dengan sengaja ataupun oleh karena kealpaan menimbulkan suatu akibat, yang terjadinya terlarang; sebab hanya dalam hal demikian sipelanggar norma pidana itu dapat dipersalahkan itu berarti, bahwa sipelanggar norma pidana itu dapat bertanggung jawab dan hal ini adalah satu syarat mutlak.66

Kesalahan seperti dimaksudkan diatas ini, mempunyai dua bentuk yaitu : sengaja (dolus) dan kelalaian (culpa). Ada pengecualian mengenai aturan, bahwa harus ada kesalahan pada si pelanggar norma pidana itu;

65

Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955, hlm. 37.

66


(57)

56

terkadang mengenai elemen-elemen tertentu dari suatu norma pidana tertentu tidak diperlukan kesalahan (schuldverband).67

Dengan singkat kesengajaan itu merupakan yang dikehendaki dan orang yang mengetahui. Berdasarkan dua istilah inilah doktrin mengenai kesengajaan itu berasal. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat.68

Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu: 1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)

Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willen) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), mengkehendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil).

2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)

Kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan adalah dalam hubungannya erta dengan pengetahuan seseorang tentang sekitar perbuatan yang akan dilakukan beserta akibatnya.

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn). Kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari

67

Ibid., hlm. 39.

68


(58)

57

perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan tersebut.

Tingkatan sengaja para ahli membedakan sengaja atas 3 tingkatan atau corak seperti69

1. Sengaja sebagai niat atau tujuan (Oggmerk). Akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya tujuan itu tidak ada, maka perbuatan tidak akan dilakukan. JONGKERS (hal 48) mengatakan bahwa sengaja ini adalah bentuk yang paling murni dan bersahaja.

:

2. Sengaja dengan kesadaran pasti terjadi:

Contoh JONGKERS. A hendak menembak mati si B, ia melihatnya duduk di belakang dinding kaca, untuk mengenai sasarannya, maka si A harus menembak juga kaca itu sampai pecah. Oleh karena itu maka, ia telah bersalah selain daripada membunuh (sengaja sebagai niat), juga ia telah dengan sengaja merusak barang (sengaja corak kedua), walaupun niatnya hanya membunuh si B, tetapi ia menembah kaca itu untuk mencapai maksudnya.

3. Sengaja yang berinsafkan kemungkinan (dolus eventualis).

Van Hamel menolah istilah dolus eventualis dan menganjurkan nama

eventualiter dolus (Jongkers hal 56).

Contoh Hoerenschetaart-Arrest, yaitu yang diadili oleh Pengadilan Tinggi Amsterdam tertanggal 19 Maret 1911, dan Mahkamah Agung

69


(59)

58

tertanggal 19 Juni 1911. Seorang hendak membunuh seseorang di kota Hoorn, lalu mengirimkan kepadanya kue yang telah ditaruh racun dengan niat hendak membunuhnya. Ia mengetahui bahwa, selain daripada musuhnya dia juga mungkin akan memakan kue itu, dan mungkin pula akan mati. Oleh karena itu ia mengirim kue itu, maka sengajanya dianggap juga ditujukan kepada matinya isteri orang itu, walaupun akibatnya tidak dikehendakinya atau tidak diinginkan.

Berikut syarat-syarat bagi pengertian kealpaan (culpa), menurut Simons umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan sesuatu perbuatan disamping dapat menduga akibat perbuatan itu, meskipun sesuatu perbuatan dilakukan dengan berhati-hati, masih mungkin juga terdapat kealpaan, jika yang berbuat itu telah mengetahui, bahwa dari perbuatan itu mungkin akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. 70

Kealpaan itu terjadi, apabila yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak dengan berhati-hati, cermat dan sungguh-sungguh, sedangkan ia dapat menduga, bahwa dari perbuatannya itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Dapat diduganya bahwa akibat itu akan timbul adalah syarat mutlak bagi culpa sehingga meskipun yang melakukan perbuatan itu tidak bertindak dengan berhati-hati, apabila ia tidak dapat menduga akan terjadinya akibat itu, maka perbuatan tersebut dapat dipersalahkan tentang culpa. Berdasarkan uraian diatas tersebut dapat diambil

70


(1)

96

2. Terdapat beberapa hal-hal yang tidak bersesuaian antara tuntutan dan putusan. Surat tuntutan dan Surat Putusan yang tidak bersesuaian didukung dengan pertimbangan Hakim yang menyatakan bahwa unsur tindak pidana dari perbuatan terdakwa memenuhi unsur dari Pasal 114 ayat (1) namun Hakim tetap memutuskan bahwa terdakwa memenuhi unsur-unsur dari Pasal 112 ayat (1).

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan, Henry Dunant Purba, Amd. merupakan salah satu anggota Kepolisian yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana narkotika yaitu sebagai penjual atau perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan I jenis shabu-shabu, Anggota Satuan Brigade Mobil yang mengakui perbuatannya tersebut sesuai dengan alat-alat bukti yang terkandung dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(2)

97

B. SARAN

1. Perlunya dilakukan pengawasan terhadap Anggota Kepolisian agar tidak melakukan Tindak Pidana Narkotika. hal ini karena Anggota Kepolisian adalah aparat penegak hukum yang harus memberikan teladan kepada masyarakat. Mental yang rendah membuat seseorang terpengaruh untuk terlibat dalam penyalahgunaan Narkotika.

2. Perlunya pengkajian lebih dalam terhadap dakwaan, tuntutan, pertimbangan Hakim dan Putusan Hakim serta unsur-unsur yang terkandung dalam suatu perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam suatu perkara agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Hakim dan Jaksa Penuntut Umum demi menjunjung tinggi keadilan.

3. Sanksi yang dijatuhkan kepada oknum Polri yang terbukti melakukan tindak pidana haruslah diperberat. Baik sanksi yang diatur oleh Undang-Undang, maupun sanksi yang tegas dari instansi berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) agar adanya efek jera bagi aparatur negara yang seharusnya mendukung program Pemerintah serta menjadi contoh bagi masyarakat. Banyaknya oknum Polri yang melakukan tindak pidana membuat kurangnya kepercayaan masyarakat. Sanksi berat bagi yang melakukan tindak pidana narkotika bukan hanya diberlakukan dan ditegakkan untuk anggota kepolisian saja tetapi juga untuk masyarakat lain baik yang memiliki jabatan atau tidak karena hukum berlaku bagi setiap orang, karena setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama didepan hukum.


(3)

98

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Widjaya, A.W. 1995, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Bandung: Armico.

Hamzah, Andi dan RM. Surachman, Kejahatan narkotika dan Psikotropika, Jakarta : Sinar Grafika ,1994.

Hamzah, Andi Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Chaedar, 1991. Utomo, Warsito Hadi Hukum Kepolisian Di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka,

2005.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana (Dasar Aturan Umum: Hukum Pidana Kodifikasi, Yogyakarta: Balai Aksara, 1988.

Utrecht, 2000, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya : Pustaka Tinta Mas.

Chazawi, Adami 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT Bina Aksara, 1985.

Arief, Barda Nawawi Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: 2001, Citra Aditya Bakti.

Mulyadi, Mahmud Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan: USU Press, 2009.

Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Jakarta: Djambatan. 2001.

Sunggono, Bambang Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Prasetyo, Teguh Hukum Pidana (cetakan ke-5), Jakarta:Rajawali Pers, 2014. Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip


(4)

99

Supramono, Gatot Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976.

Prasetyo, Teguh Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2011.

Adi, Kusno Kebijakan Kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak, Malang: UMM Press.

Farid, A.Z Abidin Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Siswanto, H. Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika (UU. No. 35 Tahun 2009), Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

Kartanegara, Satochid Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa.

Prodjodikoro, Wirjono Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Refika Aditama, 2003.

Sahetapy, J.E. Kejahatan Korporasi, Bandung: Eresco, 1994. Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955. Abidin, A.Zainal Hukum Pidana, Baraya, 1962.

Atmasasmita, Romli Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: CV Bandar Maju, 2000.

Sunarso, Siswantoro Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Suparni, Niniek Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Kennedy, Ballen dan Djaman Siregar, Budaya Malu Solusi Memberantas Masalah Narkoba, Jakarta: Gramedium.

Hamzah, Andi Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Prodjodikoro, Wirjono Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1876.

Harahap, Yahya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 1985.


(5)

100

Prodjodikoro, Wirjono Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1977.

Mertokusomo, Sudikno Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1999.

Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi penegak hukum, Kansius, Yogyakarta, 1995.

SUMBER INTERNET

http://www.kompasiana.com/phadli/jumlah-pengguna-narkoba-di-indonesia_553ded8d6ea834b92bf39b35

Andi Saputra, “6 Kejanggalan Pembatalan Vonis Mati Gembong Narkoba Hengky

Gunawan,http://news.detik.com/read/2012/11/21/064720/2096523/10/6-kejanggalan-pembatalanvonis- mati-gembong narkoba-hengky-gunawan https://celot3hku.wordpress.com/2012/03/24/oknum-polisi-pakai-narkoba/. (diakses tanggal 11 Agustus 2015 pukul 14.00).

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=110936&val=4136

dr-syaifulbakhri.blogspot.co.id/2012/03/tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1 Ianbachruddin.blogspot.co.id/2011/11/tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1 http://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-pengguna-narkotika-harus-menjadi-perhatian-serius/

http://gogonugraha.blogspot.co.id/

http://www.pn-nunukan.go.id/index.php/zoo-template/download/80-sample-data- articles/joomla/extensions/modules/demo1/170-penjatuhan-pidana-mati-dalam-tindak-pidana-narkotika

http://zain-informasi.blogspot.com/2013/11/pasal-111-uu-no-35-tahun-2009-tentang_3719.html

http://www.psychologymania.com/2012/08/pengertian-rehabilitasi-narkoba.html http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia


(6)

101 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.

Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi.

PUTUSAN