Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Anemia Defisiensi Besi

Pemeriksaan Ret-He ini ternyata sangat penting dalam mendiagnosis defisiensi besi namun belum terdapat standarisasi nilai cut off dan belum sering digunakan. Atas dasar inilah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemeriksaan ekuivalen hemoglobin retikulosit dapat dipakai menjadi salah satu modalitas pemeriksaan untuk mendiagnosis ADB sekaligus sebagai indikator keberhasilan terapi pada ADB.

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapakah akurasi sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dari Ret-He dibandingkan dengan feritin dalam diagnosis ADB ? 2. Apakah pemeriksaan Ret-He lebih baik sebagai indikator respon terapi ADB bila dibandingkan dengan hemoglobin, retikulosit dan indeks eritrosit?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui peran Ret-He dalam diagnosis ADB dan sebagai indikator keberhasilan terapi pada ADB 1.3.2 Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui akurasi Ret-He sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dibandingkan dengan Feritin dalam mendiagnosis ADB. 2. Untuk menilai peran Ret-He sebagai parameter respons terapi dibandingkan dengan hemoglobin, retikulosit dan indeks retikulosit.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis Mendapatkan pemeriksaan baru untuk diagnostik ADB yang dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis ADB 1.4.2 Manfaat praktis Proses diagnosis ADB akan lebih mudah karena pemeriksaan ini lebih cepat, praktis dan ekonomis serta tidak dipengaruhi penyakit kronis. Selain itu respon terapi dapat terpantau lebih awal.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1.1 Anemia Defisiensi Besi

1.1.1 Definisi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh depleted iron store sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC Total Iron Binding Capacity meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi Bakta, 2006.

1.1.2 Epidemiologi

Organisasi kesehatan dunia WHO memperkirakan sekitar 24,8 dari penduduk di dunia menderita anemia dengan kelompok yang paling tinggi prevalensinya adalah ibu hamil, usia lanjut dan diikuti oleh bayi dan anak usia dua tahun, anak usia pra sekolah, anak usia sekolah dan wanita tidak hamil. Pada jumlah absolut anemia terjadi pada 1,62 miliar orang di seluruh dunia dengan komposisi 293 juta anak usia balita, 56 juta ibu hamil dan 468 juta wanita yang tidak hamil WHO, 2005. Setengah dari kejadian anemia di seluruh dunia merupakan anemia defisiensi besi. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2004 ADB telah menyebabkan 273.000 kematian dimana 45 terjadi di Asia Tenggara, 31 di Afrika, 9 di Mediterania timur, 7 di Amerika, 4 di area Pasifik Barat dan 3 di Eropa dengan 97 dari kejadian ini ditemukan pada negara dengan tingkat pendapatan rendah sampai menengah. Akibat ADB terjadi penurunan produktivitas kerja yang berakibat menurunnya pendapatan negara dengan rerata pada 10 negara berkembang sebesar 16,78 per kapita atau 4 dari pendapatan negara secara kasar Pasricha, et al. 2013. Di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2007, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 59, anak-anak 70,1, wanita usia subur WUS 59,9 dan laki-laki dewasa sebesar 33,4. Untuk prevalensi ADB di Indonesia belum ada data yang pasti. Martoatmojo et al. memperkirakan ADB pada laki-laki 16 – 50 dan 25 – 84 pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36 dengan 61 disebabkan oleh karena defisiensi besi Martoatmojo, et al. 1973. Survei pada suatu desa di bali didapatkan angka prevalens ADB sebesar 27 Bakta, 2015. Sebuah studi yang dilakukan oleh Suega et al. tahun 2002 yang khususnya meneliti prevalensi ADB pada wanita hamil di Bali menemukan sebesar 46,2 ibu hamil menderita ADB ringan.

1.1.3 Metabolisme Besi

Besi merupakan trace element dan mikronutrien esensial yang penting dan dibutuhkan oleh hampir semua organisme baik mikroba, tanaman, hewan maupun manusia. Fungsi besi didalam tubuh adalah sebagai katalisator untuk oksigenasi, hidroksilasi dan proses metabolisme penting lainnya. Selain itu besi juga penting sebagai kofaktor enzim-enzim pada respirasi mitokondrial. Proliferasi dan aktifasi dari sel T, sel B dan sel NK juga memerlukan besi. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mgkgBB sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mgkgBB Suega, 2006 ; Gisbert, 2009. Tubuh mendapatkan masukan besi berasal dari makanan dalam usus. Proses absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Membran apikal enterosit di duodenum berperan untuk transport besi dari lumen intestinal ke dalam sel enterosit dimana molekul transporter yang terpenting adalah Divalent Metal Transporter 1 DMT1 Sharp, 2007 ; Andrews, 2009 ; Kaushansky, et al. 2010. Setelah diabsoprsi di duodenum, besi akan beredar di sirkulasi dalam bentuk transferin menuju sistem portal dari hepar yang merupakan tempat penyimpan besi yang utama. Sel hepatosit akan mengikat besi melalui Transferrin Receptor 1 TfR1 yang klasik namun sebagian besar melalui TfR2 yang tersedia dalam jumlah lebih besar Flemmig dan Sly, 2001 ; Andrews, 2009. Tempat utama penggunaan besi adalah sumsum tulang dimana besi diikat oleh TfR pada sel prekursor eritrosit dan digunakan untuk sintesis heme. Besi pada heme selanjutnya akan didaur ulang melalui proses tertangkapnya eritrosit yang sudah tua pada makrofag sistem retikuloendotelial. Besi dalam makrofag dapat tersimpan di makrofag sebagai feritin atau dilepaskan ke plasma yang kemudian akan terikat transferin dan beredar di plasma untuk digunakan kembali. Hati dan sistem retikuloendotelial merupakan tempat utama penggunaan cadangan besi Fleming dan Sly, 2001 ; Andrews, 2009. Setiap hari 1-2 mg besi hilang dari tubuh karena perdarahan, menstruasi atau eksfoliasi dari epitel yang mengandung besi di kripta usus, traktus urinarius, rambut dan kulit dan dalam jumlahnya yang samapun setiap harinya diserap. Karena tubuh tidak mempunyai mekanisme spesifik dalam mengekskresi besi maka keseimbangan besi dalam tubuh dijaga oleh regulator proses absorpsi besi di duodenum Sharp, 2007 ; Gisbert, 2009. Seluruh proses ini terjadi melalui sirkulasi yang tertutup dimana jumlah yang diserap dan jumlah yang diekskresi bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel Bakta, 2006 ; Andrews, 2009. Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 2.1 Siklus Pertukaran Besi dalam Tubuh Bakta, 2015

1.1.4 Patogenesis

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi semakin menurun. Jika cadangan besi menurun maka keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar serum feritin, peningkatan absorpsi besi dalam usus serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif Bakta, 2015. Apabila kekurangan besi berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi dimana keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum Bakta, 2015. Kondisi kekurangan besi yang terus berkepanjangan akan menyebabkan jumlah besi menurun terus dan eritropoesis akan semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun sehingga timbullah anemia hipokromik mikrositer yang disebut sebagai anemia defisiensi besi. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan kelainan pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya. Perjalanan patogenesis defisiensi besi dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar 2.2 Stadium Patogenesis Defisiensi Besi Kaushansky et al., 2010

1.1.5 Klasifikasi derajat defisiensi besi

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan : Bakta, 2015 1. Deplesi besi iron depleted state : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu 2. Eritropoesis defisiensi besi iron deficient erythropoiesis : cadangan besi kosong penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu tetapi belum timbul anemia secara laboratorik 3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai penurunan kadar hemoglobin.

1.1.6 Komplikasi defisiensi besi

Defisiensi besi selain menyebabkan anemia juga menyebabkan hal negatif seperti berikut : Bakta, 2015 1. Pada sistem neuromuskular menyebabkan gangguan kapasitas kerja 2. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan 3. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi. 4. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Seluruh gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan dan bahkan sebelum anemia bermanifestasi.

1.1.7 Diagnosis anemia defisiensi besi

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan anamnesa yaitu adanya gejala umum anemia dan gejala khas defisiensi besi serta adanya penyakit dasar diikuti dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Modifikasi dari Kriteria Kerlin dipakai sebagai kriteria diagnosis ADB yaitu anemia dengan gambaran hipokrom mikrositer pada hapusan darah tepi atau Mean Corpuscular Volume MCV 80 fl dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration MCHC 31 dan salah satu dari 1, 2, 3, atau 4, yaitu : 1. Dua dari tiga parameter di bawah ini : a. Besi Serum 50 mgdl b. TIBC 350 mgdl c. Saturasi Transferin : 15 2. Serum Feritin 20 gL 3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia Perl’s Stain menunjukkan cadangan besi butir-butir hemosiderin negatif. 4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mghari atau preparat besi lain yang setara selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 gdl. Baku emas diagnosis ADB adalah pemeriksaan besi sumsum tulang dengan pengecatan tinta biru prusia untuk mencari butir-butir hemosiderin Ann, 2002 ; Brugnara, 2002 ; Mast, 2008.

1.1.8 Penatalaksanaan dan penilaian respons terapi ADB

Fokus penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengatasi penyebab dan pemberian suplementasi besi agar dapat memenuhi kebutuhan besi tubuh sekaligus mengisi cadangan besi yang kosong. Pemberian preparat besi dapat dilakukan secara oral maupun parenteral. Pada umumnya preparat oral yang lebih sering diberikan sampai dengan kadar hemoglobin normal kemudian dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh. Besi parenteral dapat diberikan dengan indikasi adanya intoleransi dengan pemberian obat, kepatuhan berobat rendah, adanya kondisi kolitis ulseratif, gangguan absorpsi besi di saluran cerna, kondisi anemia defisiensi besi yang berat, pasien dengan hemodialisis, dan kondisi defisiensi besi fungsional karena penggunaan eritropoetin yang berulang Bakta, 2015. Terapi lain dengan memberikan diet tinggi protein, pemberian vitamin C untuk meningkatkan absorpsi besi dan mengatasi penyakit dasar. Transfusi darah hanya diberikan pada kondisi adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung, anemia yang sangat simptomatik misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat mencolok, penderita memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi. Bakta, 2015. Berdasarkan modifikasi kriteria Kerlin diagnosis ADB dapat ditegakkan pula dengan adanya kenaikan kadar hemoglobin sebesar 1-2 gdL setelah mendapatkan terapi besi dan hal ini dapat menjadi indikator keberhasilan terapi pada ADB Bakta, 2015. Respons terhadap terapi sebenarnya dapat dinilai sejak minggu pertama ditandai dengan peningkatan retikulosit namun kadar retikulosit akan menurun sehingga tidak dapat dijadikan sebagai prediktor awal Santen, et.al, 2014 ; Parodi, et.al 2015. Parameter yang lain seperti hematokrit, MCV dan MCH juga mengalami peningkatan setelah mendapatkan terapi tetapi lebih lambat sehingga tidak dapat dipakai sebagai indikator keberhasilan terapi Afzal, et.al 2009.

1.1.9 Problem diagnostik dan penilaian respons terapi ADB

Baku emas diagnosis ADB adalah pemeriksaan besi sumsum tulang untuk menemukan hemosiderin tetapi prosedur ini invasif, terdapat variabilitas antar pemeriksa dan biaya pemeriksaan yang tinggi sehingga pemeriksaan ini mulai digantikan oleh tes hematologi dan tes biokimia yang sesuai dengan metabolisme besi Brugnara, 2002 ; Mast, 2008. Pemeriksaan hematologi yang dipakai adalah hemoglobin, indeks eritrosit, retikulosit. Pemeriksaan ini lebih umum ditemukan, terjangkau, dan dengan biaya yang lebih murah. Anemia ditandai dengan kadar hemoglobin 10 grdL. Gambaran eritrosit yang hipokromik merupakan indikator langsung adanya kondisi iron deficient erythropoiesis. Jumlah retikulosit pada kondisi defisiensi besi akan menurun tetapi bila kondisi defisiensi yang berat disertai dengan perdarahan kronis maka jumlah retikulosit akan sedikit meningkat. Diagnosis ADB dengan hanya menggunakan pemeriksaan hematologi belum dapat ditegakkan karena anemia pada penyakit kronis juga akan memberikan gambaran eritrosit yang hipokromik Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al. 2002. Metabolisme besi dapat dinilai dengan menggunakan pemeriksaan biokimia. Walaupun dari segi biaya pemeriksaan ini lebih mahal daripada tes hematologi tetapi dengan kombinasi kedua pemeriksaan ini maka diagnosis ADB dapat ditegakkan. Pemeriksaan biokimia yang sering dipakai adalah feritin, besi serum, saturasi transferin, dan serum soluble transferrin receptor sTfR Wu, et al. 2002. Feritin mengukur ketersediaan cadangan besi. Kadar feritin berkorelasi langsung dengan total cadangan besi di tubuh. Bila cadangan besi berkurang maka kadar feritin akan menurun sehingga feritin merupakan penanda yang paling awal dari kondisi defisiensi besi. Menurut WHO, nilai cut off feritin untuk mendiagnosis ADB digunakan angka 15 μgL tetapi untuk daerah tropik dimana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi maka nilai cut off yang diajukan di negeri barat tampaknya perlu dikoreksi. Hercberg tahun 1991 menganjurkan untuk daerah tropik digunakan batas nilai serum feritin sebesar 20μgL. Kadar feritin 20μgl dikombinasi dengan anemia hipokromik mikrositer secara klinis paling sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis ADB Bakta, 2015 ; Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al. 2002 ; Hercberg, 1991. Suega tahun 2007 mencoba mencari nilai cut off feritin untuk mendiagnosis ADB di RSUP Sanglah Denpasar dengan hasil yaitu feritin memiliki sensitivitas 90,7 dan spesivisitas 90,6 dengan nilai cut off 35,4 gl. Feritin merupakan suatu protein fase akut dimana kadarnya akan ikut berubah pada kondisi penyakit kronis seperti kanker, infeksi atau inflamasi kronis, penyakit hati, konsumsi alkohol, hipertiroid dan penggunaan kontrasepsi oral serta dipengaruhi pula oleh jenis kelamin sehingga penggunaannya menjadi terbatas. Studi oleh Thomas dan Thomas tahun 2002 yang mencoba membandingkan sensitivitas dan spesifisitas feritin dalam mendiagnosis ADB pada kondisi tanpa inflamasi dan dengan inflamasi menemukan bahwa terdapat penurunan persentase sensitivitas dan spesivisitas serta malahan terjadi peningkatan nilai cut off feritin pada kondisi inflamasi Mast, et al. 2002 ; Thomas dan Thomas, 2002 ; Brugnara, 2003 ; Karlsson 2011 ; Swart, et al. 2014. Beberapa keterbatasan tes biokimia lain bila digunakan dalam mendiagnosis ADB adalah : Thomas dan Thomas, 2002 ; Wu, et al. 2002; Brugnara, 2003 ; Ullrich, et al. 2005 ; Wish, 2006 1. Total Iron Binding Capacity TIBC yang mengukur secara tidak langsung kadar transferin dimana akan meningkat bila kadar besi serum dan cadangan besi menurun. TIBC ternyata juga dipengaruhi oleh inflamasi, malnutrisi, infeksi kronis dan kanker yang akan menyebabkan penurunan kadar. 2. Besi serum dapat diukur secara langsung dan kadarnya menurun bila cadangan besi berkurang. Namun pemeriksaan ini tidak dapat mencerminkan secara langsung cadangan besi karena dapat dipengaruhi oleh variasi diurnal dimana konsentrasinya lebih tinggi pada siang hari, jenis diet dan suplementasi besi, kondisi inflamasi serta infeksi juga ikut mempengaruhi perubahan kadar besi serum. 3. Saturasi Transferin TSAT merefleksikan jumlah besi yang terikat oleh protein transport dan proses transport besi tersebut. Nilai TSAT didapatkan berdasarkan pembagian besi serum dengan TIBC dan dengan demikian juga dipengaruhi oleh inflamasi dan variasi diurnal tetapi berkebalikan dengan feritin, kadar saturasi transferin akan menurun pada kondisi inflamasi. 4. Serum Soluble Transferin Receptor yang mengukur jumlah reseptor transferrin pada retikulosit diketahui merupakan indikator defisiensi besi yang terbaik. Penggunaan rasio sTfR terhadap Feritin RF ratio juga memberikan gambaran yang cukup baik dalam mengestimasi cadangan besi. Namun tes ini juga dipengaruhi oleh proses inflamasi dan belum terdapat banyak studi mengenai efisiensi tes ini dalam mendiagnosis defisiensi besi, belum terdapat nilai cut off yang resmi serta tidak banyak tersedia. Alternatif lain untuk menegakkan diagnosis ADB adalah berdasarkan respons hematologi setelah pemberian terapi suplementasi besi. Peningkatan Hb sebesar 1- 2 grdL baru terjadi setelah terapi diberikan selama 4 minggu. Retikulosit juga dapat digunakan untuk menilai respons terapi karena peningkatan jumlah telah terjadi sejak minggu pertama tetapi kemudian jumlahnya akan menetap bahkan sedikit menurun sehingga tidak dapat digunakan sebagai indikator awal keberhasilan terapi ADB Pritchard, 1961 ; Buttarello, 2004 ; Santen, et.al 2014 ; Parodi, et.al 2015. Indikator lain seperti MCV, MCH juga meningkat tetapi peningkatan tiap minggu tergolong kecil dan baru terlihat signifikan pada minggu ke 4 terapi Afzal, et.al 2009. Dengan ditemukan hal-hal tersebut diatas, diagnosis ADB walaupun mudah dapat menyulitkan. Tidak terdapat 1 jenis tes yang paling superior bila dibandingkan dengan tes-tes yang lain untuk mendiagnosis ADB. Bila digunakan pada kondisi inflamasi dan penyakit kronis maka hasil yang didapatkan kurang maksimal sehingga diperlukan sebuah modalitas diagnosis yang lebih praktis, ekonomis dan tidak terpengaruh oleh kondisi inflamasi. Diperlukan juga pemeriksaan yang dapat mendeteksi respon terapi lebih cepat sehingga keberhasilan pengobatan ADB dapat diketahui lebih awal.

1.2 Pemeriksaan Ekuivalen Hemoglobin Retikulosit Ret-He dalam