Pengetahuan dan Sikap Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan
Pengetahuan dan Sikap Remaja Puteri tentang Anemia
Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan
Sophie Devita Sihotang
Skripsi
Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
(2)
(3)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dan terimakasih penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu melimpahkan berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengetahuan dan Sikap Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan”.
Selesainya penyusunan skripsi ini merupakan pengalaman berharga dan sangat membahagiakan, karena satu langkah dalam perjalanan hidup ke masa depan telah berhasil penulis lalui. Skripsi ini berhasil disusun bukan semata-mata jerih payah usaha penulis semata akan tetapi melibatkan berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes. sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I. 2. Ibu Nunung Febriany, Skep, Ns, MNS selaku dosen pembimbing yang telah
banyak mengorbankan waktunya untuk membimbing dan memberikan arahan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Farida Linda Sari Siregar, S.Kep, Ns, M.kep dan Ibu Nur Afi Darti S.Kp, M.Kep. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan-masukan demi kemajuan skripsi ini.
4. Bapak Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp, MNS dan Ibu Lufthiani, S.Kep, Ns, M.Kes. yang telah memvalidasi instrumen penelitian saya.
(4)
5. Kepala Sekolah SMA Negeri 15 Medan Bapak Drs. Darwin Siregar, M.Pd atas pemberian izin penelitian dan Ibu R. Tinambunan atas bantuannya memberikan informasi bagi penulis.
6. Teman-teman mahasiswa S1 Keperawatan USU stambuk 2008 yang telah memberikan semangat dan dukungan selama penulisan skripsi ini (Desri, Efitri, Tiur, Siska, Sri, Astini, dan Tami). Terkhusus teman-teman kelompok lab. C (Nurul, Devi, Meidina, Tya, Masrina, Mira, Angelita, Esy, Delia, dan Susi).
7. Orang tuaku Jalintas Sihotang, terima kasih atas segala pengorbanan, kasih sayang, dukungan, dan doa yang selalu tercurahkan kepada ananda. Bapak TemasizÖkhi Mendrofa dan Ibu Tatik Eka Rosmala Br Sihaloho yang telah memberikan perhatian, dukungan, doa, semangat, dan kasih sayangnya. 8. Teristimewa buat Nazaret Butar-Butar, terima kasih atas doa, dukungan,
semangat, dan perhatiannya selama ini.
Meskipun penulis telah berusaha sebaik-baiknya namun penulis berpengetahuan terbatas. Oleh karenanya demi kesempurnaan skripsi ini penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan tulisan ini. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan profesi keperawatan.
Medan, Juli 2012 Penulis
(5)
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...i
Halaman Pengesahan ...ii
Kata Pengantar ...iii
Daftar Isi ...v
Daftar Tabel ...vii
Daftar Skema ...vii
Bab 1. PENDAHULUAN 1. ... Latar Belakang ... 1
2. Tujuan ... 6
3. Pertanyaan Penelitian ... 6
4. Manfaat ... 6
Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Pengetahuan ...8
2. Pengertian Sikap ...10
3.Pengertian Remaja ...12
4. Anemia ...13
5. Anemia Defisiensi Besi ...15
6. Anemia Defisiensi Besi pada Remaja Puteri ...19
7. Zat Besi (Fe) ...20
8. Dampak anemia defisiensi besi ...27
9. Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi ...30
Bab 3. KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual ...33
2. Variabel Penelitian ...34
Bab 4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ...36
2. Populasi dan Sampel...36
3.Lokasi dan Waktu Penelitian ...37
4. Pertimbangan Etika Penelitian ...38
5. Instrumen Penelitian ...38
6. Prosedur Pengumpulan data ...42
7. Analisis Data ...43
Bab 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ...44
2. Pembahasan ...53
Bab 6. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ...60
2. Saran ...61
Daftar Pustaka... 63 Lampiran
(6)
3. Taksasi Dana
4. Instrumen penelitian 5. Hasil uji validitas instrumen 6. Hasil uji reliabilitas instrumen 7. Master Tabel
8. Hasil analisa data
9. surat izin penelitian dari fakultas Keperawatan USU 10. Surat izin penelitian dari Dinas Pendidikan Kota Medan
11. Surat selesai melakukan penelitian dari Sekolah SMA Negeri 15 Medan 12. Jadwal Konsul Penelitian
(7)
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Variabel Penelitian ...34 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Sumber Informasi tentang
Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan ...44 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Pengetahuan
Mengenai Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan ...45 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan tentang Anemia Defisiensi
Besi di SMA Negeri 15 Medan ...47 Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Sikap Mengenai
Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan ...48 Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap tentang Anemia defisiensi besi di
(8)
DAFTAR SKEMA
(9)
Judul : Pengetahuan dan Sikap Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan
Nama : Sophie Devita S. NIM : 081101037 Fakultas : Keperawatan Tahun : 2012
ABSTRAK
Anemia defisiensi besi adalah salah satu masalah gizi wanita yang berkaitan dengan Angka Kematian Ibu (AKI). Dampak anemia defisiensi besi pada remaja adalah menurunkan imunitas, menurunkan konsentrasi, prestasi, serta produktivitas kerja, dan akibat jangka panjang jika remaja puteri nantinya hamil maka anemia ini dapat menyebabkan bayi lahir prematur, perdarahan, keguguran (abortus), komplikasi kehamilan, bahkan sampai kematian. Penelitian ini bersifat deskriptif, metode pengambilan data cross sectional, dengan menggunakan data primer hasil rekapitulasi kuesioner yang disebarkan kepada 94 orang remaja puteri di SMA Negeri 15 Medan. Dilakukan analisis bersifat deskriptif dengan mendeskripsikan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang anemia defisiensi besi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja putri tentang anemia defisiensi besi mayoritas berada pada kategori pengetahuan cukup 73 responden (77,7%), kategori baik 18 responden (19,1%), dan kategori kurang 3 responden (3,2%). Sikap remaja putri tentang anemia defisiensi besi mayoritas berada pada kategori sikap cukup 56 responden (59,6%) dan kategori baik 38 responden (40,4%). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah agar memberikan pengarahan dan penjelasan tentang anemia defisiensi besi dan meningkatkan kegiatan penyuluhan-penyuluhan kesehatan. Kepada siswi/ remaja puteri lebih memperhatikan masalah kesehatan nya terutama anemia defisiensi besi dan dampaknya.
(10)
Title : Knowledge and Attitude of Adolescent Girl about Iron-Deficiency Anemia in SMA Negeri 15 Medan
Name : Sophie Devita S. NIM : 081101037 Faculty : Nursing Year : 2012
ABSTRACT
Iron-deficiency anemia is one of the nutritional problems of women related to Maternal Mortality Rate (MMR). Impact of iron-deficiency anemia in adolescents is lowered immunity, lowered concentration, achievement, and work productivity, and long-term consequences if the girls will get pregnant then this anemia can cause premature birth, bleeding, miscarriage (abortion), pregnancy complications, even death. This study is descriptive, cross sectional data collection methode, using primary data assets by questionnaires distributed to 94 respondents at the SMA Negeri 15 Medan. Descriptive analysis to describe the knowledge ang attitude of adolescent girl about iron-deficiency anemia in the form of a frequency distribution table. The result showed that the knowledge of adolescent girl about iron-deficiency anemia is in category of enough knowledge that is about 73 respondents (77,7%). The attitude of adolescent girl about iron-deficiency anemia is in category of enough attitude that is about 56 respondents (59,6%). This research is expected to become inputs for the school to provide guidance and explanation of the iron nutritional anemia and improve health education activities. To adolescent girls for pay more attention to their health problems, especially iron deficiency anemia and its impact.
______________________________________________________________ Key word : knowledge, attitude, iron-deficiency anemia, adolescent girl.
(11)
Judul : Pengetahuan dan Sikap Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan
Nama : Sophie Devita S. NIM : 081101037 Fakultas : Keperawatan Tahun : 2012
ABSTRAK
Anemia defisiensi besi adalah salah satu masalah gizi wanita yang berkaitan dengan Angka Kematian Ibu (AKI). Dampak anemia defisiensi besi pada remaja adalah menurunkan imunitas, menurunkan konsentrasi, prestasi, serta produktivitas kerja, dan akibat jangka panjang jika remaja puteri nantinya hamil maka anemia ini dapat menyebabkan bayi lahir prematur, perdarahan, keguguran (abortus), komplikasi kehamilan, bahkan sampai kematian. Penelitian ini bersifat deskriptif, metode pengambilan data cross sectional, dengan menggunakan data primer hasil rekapitulasi kuesioner yang disebarkan kepada 94 orang remaja puteri di SMA Negeri 15 Medan. Dilakukan analisis bersifat deskriptif dengan mendeskripsikan pengetahuan dan sikap remaja putri tentang anemia defisiensi besi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja putri tentang anemia defisiensi besi mayoritas berada pada kategori pengetahuan cukup 73 responden (77,7%), kategori baik 18 responden (19,1%), dan kategori kurang 3 responden (3,2%). Sikap remaja putri tentang anemia defisiensi besi mayoritas berada pada kategori sikap cukup 56 responden (59,6%) dan kategori baik 38 responden (40,4%). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah agar memberikan pengarahan dan penjelasan tentang anemia defisiensi besi dan meningkatkan kegiatan penyuluhan-penyuluhan kesehatan. Kepada siswi/ remaja puteri lebih memperhatikan masalah kesehatan nya terutama anemia defisiensi besi dan dampaknya.
(12)
Title : Knowledge and Attitude of Adolescent Girl about Iron-Deficiency Anemia in SMA Negeri 15 Medan
Name : Sophie Devita S. NIM : 081101037 Faculty : Nursing Year : 2012
ABSTRACT
Iron-deficiency anemia is one of the nutritional problems of women related to Maternal Mortality Rate (MMR). Impact of iron-deficiency anemia in adolescents is lowered immunity, lowered concentration, achievement, and work productivity, and long-term consequences if the girls will get pregnant then this anemia can cause premature birth, bleeding, miscarriage (abortion), pregnancy complications, even death. This study is descriptive, cross sectional data collection methode, using primary data assets by questionnaires distributed to 94 respondents at the SMA Negeri 15 Medan. Descriptive analysis to describe the knowledge ang attitude of adolescent girl about iron-deficiency anemia in the form of a frequency distribution table. The result showed that the knowledge of adolescent girl about iron-deficiency anemia is in category of enough knowledge that is about 73 respondents (77,7%). The attitude of adolescent girl about iron-deficiency anemia is in category of enough attitude that is about 56 respondents (59,6%). This research is expected to become inputs for the school to provide guidance and explanation of the iron nutritional anemia and improve health education activities. To adolescent girls for pay more attention to their health problems, especially iron deficiency anemia and its impact.
______________________________________________________________ Key word : knowledge, attitude, iron-deficiency anemia, adolescent girl.
(13)
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu masalah gizi wanita yang berkaitan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Sudoyo, dkk, 2006). Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemeriksaan fisik yang diteliti, serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium (Price, 1995). WHO menetapkan nilai normal kriteria anemia pada laki-laki dewasa adalah hemoglobin < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl, wanita hamil hemoglobin < 11 g/dl, anak umur 6-14 tahun hemoglobin < 12 g/dl, dan anak umur 6 bulan – 6 tahun hemoglobin < 11 g/dl (Tarwoto, 2008).
Anemia defisiensi besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Perkiraan prevalensi anemia secara global adalah sekitar 51%. Bandingkan dengan prevalensi untuk balita yang
(14)
sekitar 43%, anak usia sekolah 37%, pria dewasa hanya 18%, dan wanita tidak hamil 35%. Survey terhadap mahasiswi kedokteran di Prancis misalnya, membuktikan bahwa 16% mahasiswi kehabisan cadangan besi, sementara 75% menderita kekurangan. Penelitian lain terhadap masyarakat miskin di Kairo menunjukkan asupan besi sebagian besar remaja putri tidak mencukupi kebutuhan harian yang dianjurkan. Menurut data WHO tahun 1990, prevalensi anemia kurang besi pada ibu hamil justru meningkat sampai 55%, yang menyengsarakan sekitar 44% wanita diseluruh negara yang sedang berkembang (kisaran angka 13,4-87,5%). Angka tersebut terus membengkak di tahun 1997 yang bergerak dari 13,4% di Thailand ke 85,5% di India (Arisman, 2010).
Anemia defisiensi besi lebih cenderung berlangsung dinegara sedang berkembang, dibandingkan dengan negara yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara sedang berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang (Arisman, 2010). Di Indonesia sendiri menurut data Depkes RI (2006), prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja puteri yaitu 28% (Hayati, 2010), dan dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, menyatakan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu nifas 45,1%, remaja putri 10-18 tahun 57,1%, dan usia 19-45 tahun 39,5%. Dari semua kelompok umur tersebut, wanita memiliki resiko paling tinggi untuk menderita anemia terutama remaja putri (Isniati, 2007).
(15)
Remaja putri lebih rentan terkena anemia karena remaja berada pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi. Adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu faktor penyebab remaja putri mudah terkena anemia defisiensi besi. Selain itu, remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk badan, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makan dan banyak pantangan terhadap makanan seperti pada diet vegetarian. (Sediaoetama, 2001).
Menurut penelitian, diet vegetarian yang sedang trend di kalangan sebagian remaja juga dapat berpengaruh terhadap hormon seks, yang mana dalam diet ini membatasi konsumsi daging atau sama sekali tidak memakan daging, Pada wanita yang melakukan diet vegetarian terjadi peningkatan frekuensi gangguan siklus menstruasi. Prevalensi ketidakteraturan menstruasi 26,5% pada vegetarian dan 4,9% pada non vegetarian (Francin, dkk, 2005). Hal ini disebabkan sumber besi dari hewani mempunyai bioavailability yang lebih tinggi dibandingkan sumber nabati (Mitayani, dkk, 2010).
Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negatif berupa gangguan dan hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak dan kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Hal ini dapat mempengaruhi perhatian, persepsi, konsentrasi, dan prestasi belajar (Soemantri, 1982). Menurut Depkes RI (1998), Akibat jangka panjang anemia defisiensi besi ini pada remaja
(16)
puteri adalah apabila remaja puteri nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya serta pada masa kehamilannya anemia ini dapat meningkatkan frekuensi komplikasi, resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka kematian perinatal (Hayati, 2010. Sehingga untuk mencegah kejadian anemia defisiensi besi, maka remaja puteri perlu dibekali dengan pengetahuan tentang anemia defisiensi besi itu sendiri (Dharmadi, dkk, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2010) di MAL IAIN Medan didapat tingkat pengetahuan dan sikap remaja puteri di sekolah tersebut masih dalam kategori cukup. Hal ini masih belum sesuai dengan harapan, mengingat berbagai dampak dari anemia defisiensi besi ini yang berkaitan langsung dalam menentukan kualitas SDM (Hayati, 2010).
Hingga kini belum ada program yang dimasukkan dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) untuk menanggulangi atau memberi pengetahuan mengenai anemia khususnya anemia defisiensi besi pada remaja putri di sekolah-sekolah. Program pemerintah baru ditunjukkan pada ibu hamil agar tidak melahirkan anak yang anemia. Padahal, jika mayoritas anak perempuan menderita anemia terutama anemia defisiensi besi, dampaknya akan berlanjut. Mengingat, mereka adalah para calon ibu yang akan melahirkan generasi penerus. Jika tidak ditanggulangi, dikhawatirkan akan meningkatkan risiko perdarahan pada saat persalinan yang
(17)
dapat menimbulkan kematian ibu. Calon ibu yang menderita anemia defisiensi besi bisa melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Anita, 2007).
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di SMA Negeri 15 Medan tahun ajaran 2011/2012 yang memiliki jumlah siswa perempuan sebanyak 564 orang. Yang terdiri dari siswa perempuan kelas X sebanyak 184 orang, kelas XI sebanyak 191 orang, dan kelas XII sebanyak 189 orang. Berdasarkan keterangan dari bagian tata usaha diketahui bahwa disekolah tersebut sering diadakan penelitian, tetapi masih belum diketahui bagaimana gambaran pengetahuan remaja puteri tentang anemia defisiensi besi. Dimana masih dijumpai 7 dari 10 remaja puteri yang belum mengetahui mengenai anemia defisiensi besi.
Berdasarkan keadaan dan fenomena diatas, serta masih dijumpainya remaja yang belum mengetahui tentang anemia defisiensi besi padahal pengetahuan diperlukan sebagai langkah pencegahan anemia defisiensi besi itu sendiri, membuat penulis tertarik untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap remaja puteri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan tahun 2011.
2. Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1 Untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja puteri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan tahun 2012.
(18)
2.2 Untuk mengetahui sikap remaja putri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan tahun 2012.
3. Pertanyaan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang permasalahan di atas maka pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah:
3.1 Bagaimana gambaran pengetahuan remaja puteri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan tahun 2012 ?
3.2 Bagaimana gambaran sikap remaja puteri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan tahun 2012 ?
4. Manfaat
4.1 Untuk Praktik Keperawatan
Sebagai sumber informasi bagi praktek keperawatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pengetahuan, dan sikap terkait dengan masalah anemia defisiensi besi kepada remaja puteri.
4.2 Untuk Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan dalam hal perencanaan dan penanggulangan anemia defisiensi besi di sekolah dengan cara membuka program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) khususnya penanggulangan anemia defisiensi besi.
(19)
4.3 Untuk Masyarakat Khususnya Remaja Puteri
Memberikan informasi kepada pelajar putri tentang masalah anemia khususnya anemia defisiensi besi serta akibat yang ditimbulkannya, sehingga para pelajar puteri dapat mencegah dirinya agar tidak terkena anemia defisiensi besi.
4.4 Untuk Peneliti
Sebagai referensi dan bahan masukan bagi peneliti selanjutnya yang meneliti mengenai dampak anemia defisiensi besi terhadap kesehatan reproduksi.
(20)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior) (Notoatmodjo ,2003).
1.1 Proses Adopsi Perilaku
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni.
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.
(21)
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap diatas.
1.2 Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan.
a. Tahu (know), didefenisikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari rangsangan yang telah diterimanya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini para remaja putri diharapkan mampu mengingat kembali informasi yang diketahuinya mengenai anemia defisiensi besi.
b. Memahami (comprehension), didefenisikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Disini para remaja putri diharapkan mampu menjelaskan secara benar tentang anemia defisiensi besi dan dapat menginterpretasikannya dengan benar.
c. Aplikasi (aplication), didefenisikan sebagai suatu kemampuan untuk
(22)
d. Analisa (analysis), didefenisikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan
materi atau objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis), didefenisikan sebagai suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation),didefenisikan sebagai kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu berdasarkan pada kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara dalam kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003).
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
(23)
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003)
2.1 Komponen Pokok Sikap
Alport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok.
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penetuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya seorang ibu telah mendengar tentang anemia defisiensi besi (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena anemia defisiensi besi. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat memberikan asupan zat besi yang cukup kepada anaknya untuk mencegah supaya anaknya tidak mengalami anemia defisiensi besi.
(24)
2.2 Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan.
a. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding), yakni memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah beraryi bahwa orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing), yakni mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung jawab (responsible), yakni bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko.
3. Pengertian Remaja
Remaja atau “adolescence” (Inggris), berasal dari bahasa Latin “adolescere” yang berarti tumbuh kearah kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan sosial dan psikologis. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Menurut Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun. Menurut BKKBN adalah 10 sampai 19 tahun (Widyastuti, dkk, 2010)
(25)
Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut WHO (1995) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun (Soetjiningsih, 2010).
4. Anemia
4.1 pengertian Anemia
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin darah. Walaupun nilai normal dapat bervariasi antar laboratorium, kadar hemoglobin biasanya kurang dari 13,5 g/dl pada pria dewasa, dan kurang dari 11,5 g/dl pada wanita dewasa. Sejak usia 3 bulan sampai pubertas, kadar hemoglobin yang kurang dari 11,0 g/dl menunjukkan anemia. Tingginya kadar hemoglobin pada bayi baru lahir menyebabkan ditentukannya 15,0 g/dl sebagai batas bawah pada waktu lahir (Hoffbrand, dkk, 2005).
Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah dibawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan (Arisman, 2010).
Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemeriksaan fisik yang diteliti, serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium (Price, 1995).
(26)
4.2 Kriteria anemia
Penentuan anemia pada seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin, dan tempat tinggal. Kriteria anemia menurut WHO tahun 1968 (dikutip dari Tarwoto, 2008) adalah laki-laki dewasadengan jumlah hemoglobin < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl, wanita hamil < 11 g/dl, anak umur 6-14 tahun < 12 g/dl, anak umur 6 bulan – 6 tahun < 11 g/dl. Secara klinis menurut I made Bakta 2003, kriteria anemia di Indonesia umumnya adalah hemoglobin < 10 g/dl, hematokrit < 30%, dan eritrosit < 2,8 juta / (Tarwoto, 2008).
4.3 Klasifikasi Anemia
Berdasarkan aspek etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi: (1) anemia aplastik; (2) anemia defisiensi besi; dan (3) anemia megaloblastik.
Menurut Hoffbrand (1993), anemia aplastik merupakan suatu gangguan yang mengancam jiwa pada sel induk di sumsum tulang, yang sel-sel darahnya diproduksi dalam jumlah yang tidak mencukupi. Anemia aplastik dapat kongenital, idiopatik (penyebabnya tidak diketahui), atau sekunder akibat penyebab-penyebab industri atau virus. Penyebab-penyebab sekunder anemia aplastik (sementara atau permanen) meliputi, lupus eritematosus sistemik yang berbasis autoimun, agen antineoplastik atau sitotoksik, terapi radiasi, antibiotik tertentu, berbagai obat (seperti antikonvulsan, obat-obat tiroid, senyawa emas, dan fenilbutazon), zat-zat kimia (seperti benzen, pelarut organik, dan insektisida), dan
(27)
penyakit-penyakit virus seperti mononukleosis infeksiosa dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Price, 2006).
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia dan terutama sering dijumpai pada perempuan usia subur, disebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama kehamilan. Menurut Almatsier (2005), anemia defisiensi besi atau anemia zat besi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorbsi. ). WHO (dikutip dari Tarwoto, 2008) menetapkan kriteria anemia pada laki-laki dewasa jika hemoglobin < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hami jika hemoglobin < 12 g/dl, wanita hamil jika hemoglobin < 11 g/dl, anak umur 6-14 tahunjika hemoglobin < 12 g/dl, dan anak umur 6 bulan – 6 tahun jika hemoglobin < 11 g/dl.
Menurut Guyton (2001), anemia megaloblastik adalah anemia yang sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, disertai kegagalan maturasi dan pembelahan inti. Defisiensi-defisiensi ini dapat sekunder akibat malnutrisi, defisiensi asam folat, malabsorbsi, kehilangan faktor intrinsik (seperti pada anemia pernisiosa dan pascagastrektomi), infestasi parasit, penyakit usus, dan keganasan, serta sebagai akibat agens-agens kemoterapeutik (Price, 2006).
(28)
5. Anemia Defisiensi Besi
5.1 Pengertian Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi atau anemia zat besi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorbsi (Almatsier, 2005).
5.2 Etiologi Anemia Defisiensi Besi
Secara umum, ada tiga penyebab anemia defisiensi zat besi, yaitu kehilangan darah secara kronis seperti pada penyakit ulkus peptikum, hemoroid, infestasi parasit, dan proses keganasan; asupan zat besi tidak cukup dan penyerapan tidak adekuat; dan peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel darah merah yang lazim berlangsung pada masa pertumbuhan bayi, masa pubertas, masa kehamilan, dan menyusui (Arisman, 2010)
Pada pria dewasa, sebagian besar kehilangan darah disebabkan oleh proses perdarahan akibat penyakit (atau trauma), atau akibat pengobatan suatu penyakit. Sementara pada wanita, terjadi kehilangan darah secara alamiah setiap bulan. Jika darah yang keluar selama haid sangat banyak (banyak wanita yang tidak sadar kalau darah haidnya terlalu banyak) akan terjadi anemia defisiensi besi. Sepanjang usia reproduktif, wanita akan mengalami kehilangan darah akibat peristiwa haid. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa jumlah darah yang hilang selama satu periode haid berkisar antara 20-25 cc. Jumlah ini menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12,5-15 mg/bulan, atau kira-kira sama dengan 0,4-0,5 mg sehari.
(29)
Selain dari peristiwa haid, kehilangan zat besi dapat pula diakibatkan oleh infestasi parasit, seperti cacing tambang (ankilostoma dan nekator), schistosoma,
dan mungkin pula Trichuris trichiura. Kasus-kasus tersebut lazim terjadi di
negara tropis ( kebanyakan negara tropis terklasifikasi sebagai negara belum dan sedang berkembang), lembab serta keadaan sanitasi yang buruk.
Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan makanan yang berasal dari daging hewan. Selain banyak mengandung zat besi, serapan zat besi dari sumber makanan tersebut mempunyai angka keterserapan sebesar 20-30%. Sayangnya sebagian besar penduduk di negara yang belum (sedang) berkembang tidak mampu atau belum mampu menghadirkan makanan tersebut di meja makan. Ditambah dengan kebiasaan mengonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi seperti kopi dan teh secara bersamaan sewaktu makan menyebabkan serapan zat besi semakin rendah.
Asupan zat besi harian diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui tinja, air kencing, dan kulit. Kehilangan basis ini diduga sebanyak 14 ug/kg BB/hari. Jika dihitung berdasarkan jenis kelamin, kehilangan basis zat besi untuk pria dewasa mendekati 0,9 mg dan 0,8 mg untuk wanita. Masa bayi dan anak-anak merupakan saat pertumbuhan yang cepat dan pada saat itu zat besi dibutuhkan dalam jumlah banyak. Begitu juga remaja, terutama remaja wanita yang mengalami haid, membutuhkan lebih banyak zat besi, karena zat besi yang hilang dari tubuh saat haid juga banyak. Pada ibu hamil dan menyusui, kebutuhan
(30)
zat besi meningkat karena selain dibutuhkan oleh sang ibu, zat besi juga dibutuhkan oleh bayinya. Pada ibu hamil zat besi juga dibutuhkan oleh plasenta dan janinnya. Apabila kebutuhan yang tinggi ini tidak dapat dipenuhi maka kemungkinan terjadinya anemia gizi besi cukup besar (Wirakusumah, 1999).
5.3 Tanda dan Gejala Anemia Defisiensi Besi
Tanda dan gejala anemia defisiensi besi dibagi menjadi dua, yaitu tanda dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas serta tanda dan gejala anemia defisiensi besi yang khas.
Tanda dan gejala anemia defisiensi besi tidak khas hampir sama dengan anemia pada umumnya yaitu: cepat lelah atau kelelahan, hal ini terjadi karena simpanan oksigen dalam jaringan otot kurang sehingga metabolisme otot terganggu; nyeri kepala dan pusing merupakan kompensasi dimana otak kekurangan oksigen, karena daya angkut hemoglobin berkurang; kesulitan bernapas, terkadang sesak napas merupakan gejala, dimana tubuh memerlukan lebih banyak lagi oksigen dengan cara kompensasi pernapasan lebih dipercepat; palpitasi, dimana jantung berdenyut lebih cepat diikuti dengan peningkatan denyut nadi; dan pucat pada muka, telapak tangan, kuku, membran mukosa mulut dan konjungtiva (Tarwoto, 2007).
Tanda dan gejala yang khas pada anemia defisiensi besi adalah: adanya kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung mirip sendok; atropi papil lidah, permukaan lidah menjadi licin
(31)
dan mengkilap karena papil lidah menghilang; stomatitis angular, peradangan pada sudut mulut sehingga nampak seperti bercak berwarna pucat keputihan; disfagia, nyeri saat menelan karena kerusakan epitel hipofaring; atropi mukosa gaster; dan adanya peradangan pada mukosa mulut (stomatitis), peradangan pada lidah (glositis), dan peradangan pada bibir (cheilitis) (Tarwoto, 2007).
6. Anemia Defisiensi Besi pada Remaja Puteri
Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan terhadap defisiensi gizi. Pertama, percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi (Arisman, 2010).
Menurut Soemantri (2001), pada wanita, besi yang dikeluarkan dari tubuh lebih banyak dari laki-laki. Setiap bulan wanita mengalami menstruasi secara teratur, setiap periode menstruasi dikeluarkan zat besi rata-rata sebanyak 28 mg/ periode. Oleh karena menstruasi terjadi satu kali dalam satu bulan, maka rata-rata zat besi yang dikeluarkan adalah 1 mg/ hari. Dengan demikian wanita mengeluarkan besi dari tubuhnya hampir dua kali lebih banyak dari pada laki-laki dewasa. Sekitar usia 13 tahun adalah awal dari masa remaja dari segi hematologi. Pada masa ini terjadi perubahan sistem kelenjar gonado pituitari hipotalamik yang semula belum masak menjadi masak sehingga terjadilah perbedaan hormonal antara laki- laki dan wanita. Pada laki-laki produksi testosteron lebih meningkat,
(32)
diduga hormon ini berperan terhadap eritropoesis. Faktor lain yang turut memacu eritropoesis adalah eritropoeti yang meningkat pada masa remaja, pada wanita dewasa kadarnya 50% lebih rendah. Pada remaja puteri terutama yang telah mengalami menstruasi membutuhkan zat besi relatif lebih tinggi, selain itu mereka juga sedang dalam masa tumbuh kembang yang cepat serta adanya pengaruh hormonal (Hayati, 2010).
7. Zat Besi (Fe)
7.1 Pengertian Zat Besi
Zat besi merupakan zat gizi yang penting bagi tubuh. Zat ini terutama diperlukan dalam hemopoesis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa
hemoglobin (Achmad Djaeni, 2000).
Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3 – 5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh: sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi, termasuk di Indonesia (Almatsier, 2005).
(33)
7.2 Zat Besi Dalam Tubuh
Di dalam tubuh sebagian besar zat besi terdapat terkonjugasi dengan protein, dan terdapat dalam bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro, sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri (misalnya bentuk storage).
Bentuk-bentuk konjugasi besi itu adalah:
a. Hemoglobin; mengandung bentuk ferro. Fungsi hemoglobin adalah mentranspor dari jaringan ke paru-paru untuk diekskresikan kedalam udara pernafasan dan membawa dari paru-paru ke sel-sel jaringan. Hemoglobin terdapat di dalam erytrocit.
b. Myoglobin; terdapat di dalam sel-sel otot, mengandung besi bentuk ferro. Fungsi myoglobin ialah dalam proses kontraksi otot.
c. Transferin, mengandung besi bentuk ferro. Transferin merupakan konjugat besi yang berfungsi mentranspor besi tersebut di dalam plasma darah, dari tempat penimbunan besi ke jaringan-jaringan (sel) yang memerlukan (sum-sum tulang di mana terdapat jaringan hemopoietik). Transferin terdapat juga di dalam berbagai jaringan tubuh, dan mempunyai karakteristik yang berlainan. Transferin yang terdapat di dalam air susu disebut lactotransferin, di dalam telur disebut ovotransferin, sedangkan di dalam plasma disebut serotransferin.
(34)
d. Ferritin; adalah bentuk storage besi dan mengandung bentuk ferri. Kalau besi ferritin diberikan kepada transferin untuk ditranspor, zat besinya diubah menjadi ferro dan sebaliknya besi dari transferin yang berasal dari penyerapan di dalam usus, diberikan kepada ferritin sambil diubah dalam bentuk ferri, untuk kemudian ditimbun.
e. Hemosiderin; adalah konjugat protein dengan ferri dan merupakan bentuk storage zat besi juga. Hemosiderin bersifat lebih inert dibandingkan dengan ferritin. Untuk dimobilisasikan, besi dari hemosiderin diberikan lebih dahulu kepada ferritin dan kemudian kepada transferrin.
Zat besi (Fe) lebih mudah diserap dari usus halus dalam bentuk ferro. Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa usus. Pada kondisi Fe yang baik, hanya sekitar 10% dari Fe yang terdapat di dalam makanan diserap kedalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi defisiensi lebih banyak Fe dapat diserap untuk menutupi kekurangan tersebut.
Ekskresi Fe dilakukan melalui kulit di dalam bagian-bagian tubuh yang aus dan dilepaskan oleh permukaan tubuh; jumlahnya sangat kecil sekali, hanya sekitar 1 mg dalam sehari semalam. Pada wanita subur, lebih banyak Fe terbuang dari tubuh dengan adanya menstruasi sehingga kebutuhan akan Fe pada wanita dewasa lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui juga memerlukan lebih banyak Fe dibandingkan dengan wanita biasa,
(35)
karena bayi yang sedang dikandung juga memerlukan zat besi sedangkan ASI mengandung Fe dalam bentuk lactotransferin yang diberikan kepada anak yang sedang disusukan (Sediaoetama, 2008).
7.3 Faktor-Faktor yang Membantu dan Menghambat Penyerapan Zat Besi
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh, yaitu ketersediaan zat besi di dalam tubuh, bioavailabilitas zat besi, dan adanya faktor penghambat penyerapan zat besi.
Apabila jumlah zat besi yang berada di dalam tubuh menurun maka penyerapan zat besi akan meningkat. Pada laki-laki, penyerapan zat besi akan meningkat setelah pertumbuhan berhenti dan memasuki masa dewasa. Sebaliknya, pada wanita justru setelah masa menopause cadangan zat besi dalam tubuh meningkat dan penyerapannya justru menurun, karena tidak mengalami menstruasi lagi.
Tubuh yang kekurangan zat besi akan mengatur agar kebutuhan zat besi untuk pembentukkan sel-sel darah merah tetap dapat terpenuhi. Oleh karena itu, sumsum tulang bekerja lebih aktif serta semua kegiatan pencernaan dan absorbsi berlangsung lebuh efisien. Dengan demikian akan lebih banyak zat besi yang akan diserap oleh tubuh.
Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari dari hewan maupun tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya
(36)
serap antara 1 - 6 %, lebih rendah dibanding zat besi yang berasal dari hewan yang mempunyai daya serap 7 - 22 %
Bentuk zat besi yang terdapat di dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan zat besi oleh tubuh. Ada dua macam bentuk zat besi dalam makanan, yaitu hem dan nonhem. Zat besi hem berasal dari hewan, penyerapannya tidak tergantung pada jenis kandungan makanan lain, dan lebih mudah diabsorbsi dibandingkan zat besi nonhem. Walaupun kandungan zat besi hem dalam makanan hanya antara 5 - 10 %, tetapi penyerapannya mencapai 25% (bandingkan dengan zat besi nonhem yang penyerapannya hanya 5%). Makanan hewani seperti daging, ikan, dan ayam merupakan sumber utama zat besi hem.
Pada umumnya zat besi nonhem terdapat pada pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, dan buah-buahan. Penyerapan zat besi nonhem termasuk rendah (hanya 5 %) dan sangat tergantung pada jenis makanan lain atau menu yang bervariasi. Menu makanan yang merupakan kombinasi sumber nonhem dengan sumber zat besi hem, seperti daging atau ikan maka penyerapan zat besi nonhem akan meningkat.
Penyerapan zat besi nonhem sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor penghambat maupun pendorong, sedangkan zat besi hem tidak. Asam askorbat (vitamin C) dan daging adalah faktor utama yang mendorong penyerapan zat besi nonhem. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi nonhem sampai empat kali lipat. Selain itu, bahan-bahan seperti sitrat, malat, laktat, suksinat, dan
(37)
asam tartrat ternyata juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi nonhem pada kondisi tertentu.
Protein hewani, walaupun tidak semua, juga dapat mendorong penyerapan zat besi nonhem, protein seluler yang berasal dari daging sapi, kambing, domba, hati, dan ayam menunjang penyerapan zat besi nonhem. Namun, protein yang berasal dari susu sapi, keju, dan telur tidak dapat meningkatkan penyerapan zat besi nonhem. Faktor yang menyebabkan kenaikan penyerapan zat besi lebih dikenal sebagai MFP (meat, fish, poultry) faktor.
Tingkat keasaman dalam lambung ikut mempengaruhi kelarutan dan penyerapan zat besi di dalam tubuh. Suplemen zat besi lebih baik dikonsumsi pada saat perut kosong atau sebelum makan, karena zat besi akan lebih efektif diserap apabila lambung dalam keadaan asam (pH rendah).
Di samping faktor yang mendorong penyerapan zat besi nonhem, terdapat pula faktor-faktor yang menghambat. Faktor-faktor tersebut diantaranya keadaan basa pada lambung karena kurangnya asam hidroklorat atau adanya antasid, complexing agents, seperti fitat (di dalam kacang-kacangan, biji-bijian, kedelai, dan produknya), oksalat (didalam sayuran), dan fosfat yang membentuk senyawa yang tidak mudah larut sehingga sulit untuk diserap oleh tubuh. Tannin yang terdapat di dalam teh, posfitin (fosfoprotein) di dalam kuning telur, beberapa jenis serat makanan, garam kalsium fosfat, dan protein kedelai turut menghambat absorbsi zat besi.
(38)
Teh yang diminum bersama-sama dengan hidangan lain ketika makan akan menghambat penyerapan zat besi nonhem sampai 50%. Senyawa
ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang biasa digunakan sebagai pengawet
makanan juga menyebabkan penurunan absorbsi zat besi nonhem sebesar 50%.
Orange juice akan meningkatkan penyerapan zat besi dari telur dan roti, tetapi
apabila telur dikonsumsi bersamaan dengan roti maka absorbsi zat besi dari roti akan semakin berkurang.
Secara umum, hal-hal yang harus diperhatikan untuk menghindari anemia defisiensi besi adalah: (1) sertakan makanan sumber vitamin C setiap kali makan; (2) sertakan juga daging, ikan, atau ayam jika memungkinkan; (3) hindari meminum teh atau kopi saat makan makanan utama; (4) hindari senyawa EDTA pada makanan dengan memeriksa label makanan, dan (5) makanlah beragam makanan untuk meningkatkan ketersediaan zat besi (Wirakusumah, 1999)
7.4 Kebutuhan zat Besi
Jumlah besi yang diperlukan tiap hari untuk mengompensasi kehilangan besi dari tubuh dan untuk pertumbuhan bervariasi menurut usia dan jenis kelamin, paling tinggi pada masa kehamilan, remaja, dan wanita menstruasi. Karena tersebut sangat mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi oleh sebab lain atau kurangnya asupan dalam waktu lama.
Perkiraan kebutuhan besi harian menurut Hoffbrand (2005) adalah:
a. Untuk pria dewasa dan wanita pasca menopause, pengeluaran zat besi harian melalui urine, keringat, dan feses sebanyak 0,5-1 mg/hari.
(39)
b. Untuk wanita menstruasi, pengeluaran zat besi harian melalui urine, keringat, dan feses sebanyak 0,5-1 mg/hari, dan pengeluaran pada saat menstruasi sebanyak 0,5-1 mg/hari. Total pengeluaran zat besi harian adalah 1-2 mg/hari.
c. Untuk wanita hamil, pengeluaran zat besi harian melalui urine, keringat, dan feses sebanyak 0,5-1 mg/hari, pada saat kehamilan 1-2 mg/hari. Total pengeluaran zat besi harian adalah 1,5-3 mg/hari. d. Untuk anak-anak, pengeluaran zat besi harian melalui urine, feses, dan
keringat sebanyak 0,5-1 mg/hari, untuk masa pertumbuhan sebanyak 0,6 mg/hari. Total pengeluaran zat besi harian adalah 1,1 mg/hari. e. Untuk wanita (usia 12-15 tahun), pengeluaran zat besi harian melalui
urine, keringat, dan feses sebanyak 0,5-1 mg/hari, melalui menstruasi sebanyak 0,5-1 mg/hari, dan untuk masa pertumbuhan sebanyak 0,6 mg/hari. Total pengeluaran zat besi harian adalah 1,6-2,6 mg/hari.
8. Dampak Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Defisiensi besi terutama menyerang golongan rentan, seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah. Namun sejak 25 tahun terakhir banyak bukti menunjukkan bahwa defisiensi besi berpengaruh luas terhadap kualitas sumber daya manusia, yaitu terhadap kemampuan belajar dan produktivitas kerja (Almatsier, 2005).
(40)
Kekurangan besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi bila simpanan besi berkurang yang terlihat dari penurunan feritin dalam plasma hingga 12 ug/L. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan absorbsi besi yang terlihat dari peningkatan kemampuan mengikat besi total. Pada tahap ini belum terlihat perubahan fungsional dalam tubuh. Tahap kedua terlihat dengan habisnya simpanan besi, menurunnya jenuh transferin hingga kurang dari 16% pada orang dewasa dan meningkatnya protoporfirin yaitu bentuk pendahulu heme. Pada tahap ini nilai hemoglobin di dalam darah masih berada pada 95% nilai normal. Hal ini dapat mengganggu metabolisme energi, sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan bekerja. Pada tahap ketiga terjadi anemia gizi besi, dimana kadar hemoglobin total turun dibawah nilai normal.
Kekurangan zat besi dapat menurunkan ketahanan tubuh menghadapi penyakit infeksi. Dalam anemia defisiensi besi, kekebalan tubuh tidak berfungsi dengan baik. Ini yang menyebabkan orang yang kekurangan zat besi mudah sekali terserang penyakit-penyakit infeksi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat hubungan antara anemia defisiensi besi dan kekebalan tubuh. Penelitian pertama yang pernah dilaporkan mengatakan bahwa bayi-bayi yang menderita bronchitis dan gastroentritis di London menjadi berkurang setelah diberi terapi zat besi. Pemberian susu formula yang ditambah vitamin dan zat besi kepada bayi setiap hari juga menurunkan insiden infeksi saluran pernapasan hampir setengahnya dibandingkan dengan bayi yang diberi susu tapi tanpa tambahan zat besi. Orang-orang yang menderita anemia gizi besi lebih banyak mengalami diare
(41)
dan gangguan pernapasan. Selain itu, ternyata anak yang menderita anemia lebih rawan akan penyakit meningitis dibandingkan anak-anak yang kadar Hb-nya lebih dari 10,1 g/dl (Wirakusumah, 1999)
Telah banyak dilakukan penelitian mengenai hubungan antara konsentrasi dan prestasi belajar dengan anemia defisiensi besi. Penelitian ini dikemukakan oleh Howell (1970, 1971) yang menyatakan bahwa anemi kekurangan zat besi akan mempengaruhi konsentrasi dan prestasi belajar dan dengan tegas dinyatakan tidak adanya pengaruh terhadap IQ. Howell melanjutkan, dengan menambah zat besi, artinya memperbaiki anemia, membuktikan bahwa konsentrasi dan prestasi belajar dapat diperbaiki. Sulzer dkk. (1973) mengemukakan pendapatnya berdasarkan hasil penelitiannya bahwa disamping terdapatnya akibat jelas dari anemi kekurangan zat besi berupa menurunnya test kognitif juga terdapat menurunnya skor IQ. Penelitian hampir sama dengan menggunakan kontrol yang dilakukan oleh Webb dan Oski (1973) berkesimpulan bahwa anemia defisiensi zat besi mempengaruhi proses membaca. Selanjutnya, Webb dan Oski pada tahun 1974, dengan menyelidiki lebih mendalam pengaruh anemia defisiensi besi pada kasus-kasus yang sebelumnya pernah diselidiki berkesimpulan bahwa anemia defisiensi besi mempengaruhi perhatian, konsentrasi dan persepsi (Soemantri, 1982).
Menurut Depkes RI (1998), akibat jangka panjang dari anemia pada remaja putri adalah apabila remaja putri nantinya hamil, maka ia tidak akan mampu
(42)
memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya. Karena Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah. Selain itu anemia gizi besi juga dapat menyebabkan gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lain-lain) (Hayati, 2010).
9. Penanggulangan Anemia Defisiensi Besi
Pencegahan dan penanggulangan anemia defisiensi besi dapat dilakukan antara lain dengan cara berikut.
9.1 Meningkatkan Konsumsi Zat Besi dari Makanan
Mengkonsumsi pangan hewani, seperti daging, ikan, hati, atau telur dalam jumlah yang cukup sebenarnya dapat mencegah anemia defisiensi besi. Namun bagi masyarakat kita, harga pangan hewani tergolong cukup tinggi sehingga sulit dijangkau. Untuk itu, diperlukan alternatif lain untuk mencegah anemia defisiensi besi.
(43)
Makanan yang beraneka ragam memiliki zat gizi yang saling melengkapi. Sayuran hijau dan buah-buahan ditambah dengan kacang-kacangan dan padi-padian cukup banyak mengandung zat besi dan vitamin-vitamin lain untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Mengkonsumsi makanan yang cukup beragam jumlah maupun kualitasnya dapat membantu mencegah anemia defisiensi besi.
Vitamin C diperlukan untuk meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100, dan 250 mg dapat memperbesar penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4, dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran merupakan sumber utama vitamin C. Namun, perlu diingat bahwa proses pemasakan akan merusak 50-80% vitamin C di dalam bahan makanan.
Konsumsi bahan pangan yang mengandung zat-zat penghambat absorbsi besi harus dikurangi. Zat-zat inhibitor, seperti fitat, fosfat, tannin, dan beberapa jenis serat makanan harus dihindari karena zat ini bersama zat besi membentuk senyawa yang tak larut dalam air sehingga tidak dapat diabsorbsi.
9.2 Suplementasi Zat Besi
Pemberian suplemen besi menguntungkan karena dapat memperbaiki status hemoglobin dalam waktu yang relatif singkat. Sampai sekarang cara ini masih merupakan satu-satunya cara yang cocok dilakukan pada ibu hamil dan kelompok yang berisiko tinggi lainnya, seperti anak balita, anak sekolah, dan pekerja.
(44)
Di Indonesia, pil besi yang umum digunakan dalam suplementasi zat besi ini adalah ferrous sulfat, senyawa ini tergolong murah dan dapat diabsorbsi
sampai 20%. Kendala utama dalam suplementasi zat besi ini adalah akibat samping yang dihasilkan dan kesulitan mematuhi meminum pil karena kurangnya kesadaran akan pentingnya masalah anemia defisiensi besi. Akibat samping pemberian pil besi adalah pada saluran pencernaan, seperti mual, muntah, konstipasi, dan diare.
9.3 Fortifikasi Zat besi
Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis zat gizi kedalam bahan pangan untuk meningkatkan kualitas pangan suatu kelompok masyarakat. Keuntungan fortifikasi diantaranya dapat diterapkan pada populasi yang besar dan biayanya relatif murah.
Kesulitan cara ini adalah pada tahap identifikasi bahan pangan yang difortifikasi. Ini disebabkan sifat zat besi yang reaktif dan cenderung mengubah penampilan bahan yang difortifikasi. Sebagai contoh, pangan yang berwarna hijau dan merah akan semakin cerah warnanya setelah dibubuhi garam fortifikasi. Sedangkan bahan pangan yang berwarna kuning dan cokelat akan menjadi berwarna gelap dan santan kelapa menjadi tidak putih dan agak tengik setelah dibubuhi garam fortifikasi.
(45)
9.4 Penanggulangan Penyakit Infeksi dan Parasit
Penyakit infeksi dan parasit merupakan salah satu penyebab anemia defisiensi besi. Dengan menanggulangi penyakit infeksi dan memberantas parasit diharapkan dapat meningkatkan status besi dalam tubuh. Tentu saja upaya ini harus diikuti dengan peningkatan konsumsi pangan yang seimbang dan beragam. Kesehatan diri dan lingkungan harus dijaga. Tanpa memperhatikan higien diri dan sanitasi lingkungan maka usaha pencegahan penyakit infeksi dan parasit tidak akan berarti (Wirakusumah, 1999).
(46)
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan variabel yang terdiri atas : pengetahuan dan sikap remaja putri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan, meliputi (pengertian anemia defisiensi besi, etiologi anemia defisiensi besi, tanda dan gejala anemia defisiensi besi, pengertian zat besi, zat besi didalam tubuh, faktor-faktor yang membantu dan menghambat penyerapan zat besi, dampak anemia defisiensi besi, dan penanggulangan anemia defisiensi besi).
Pengetahuan Remaja Puteri di SMA Negeri 15 Medan • Baik
• Cukup • Kurang
Sikap Remaja Puteri di SMA Negeri 15 Medan
• Baik • Cukup • Kurang
(47)
2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini. No Defenisi
Konseptual
Defenisi Operasional
Alat Ukur Skala Hasil Ukur
1 Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan adalah sejumlah informasi atau segala sesuatu yang diketahui dan dimengerti responden tentang anemia defisiensi besi, dimulai dari pengertian, etiologi, tanda dan gejala, dampak, serta cara penanggulangan nya.
Kuesioner ordinal Pengetahuan Baik (0-5) Cukup (6-10) Kurang (11-15)
2 Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Sikap adalah reaksi atau respon dari responden terhadap masalah anemia defisiensi besi beserta dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap kesehatan reproduksi.
Kuesioner ordinal Sikap Baik (12-16) Cukup (17-32) Kurang (33-48)
(48)
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan
mendeskripsikan gambaran pengetahuan dan sikap remaja putri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan tahun 2012. Metode pengambilan data dalam penelitian ini bersifat cross sectional yaitu menekankan pada waktu
pengukuran/observasi data variabel hanya satu kali, pada satu saat (Nursalam, 2003).
2. Populasi dan Sampel 2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah para pelajar putri di SMA Negeri 15 Medan yang berada di tempat pada saat penelitian dilakukan yaitu pelajar puteri yang duduk di kelas X dan XI. Adapun populasi pelajar putri berjumlah 375 orang, yang duduk di kelas X sebanyak 184 orang dan di kelas XI sebanyak 191 orang.
2.2 Sampel
Sampel yang diteliti adalah remaja puteri yang bersekolah di SMA Negeri 15 Medan. Jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari kemampuan peneliti
(49)
dilihat dari waktu, tenaga, dan sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti untuk penelitian yang resikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik (Arikunto, 2006)
Berdasarkan hal diatas, dengan pertimbangan waktu dan dana, maka peneliti menentukan jumlah sampel sebesar 25% dari 375 siswi yaitu 94 siswi. Selanjutnya penarikan sampel terhadap populasi menggunakan teknik
accidental sampling. Penarikan sampel secara accidental sampling adalah
pengambilan sampel secara kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan dijumpai dianggap cocok sebagai sumber data.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 15 Medan, jalan Sekolah Pembangunan No. 7 kecamatan Medan-Sunggal. Dengan pertimbangan lokasi ini merupakan daerah dengan jumlah remaja puteri yang cukup tinggi (jumlah sampel yang memadai untuk dilakukan penelitian dan pertimbangan efisiensi waktu dan jarak dari tempat tinggal peneliti. Selain itu, didaerah ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengetahuan dan sikap remaja puteri tentang anemia defisiensi besi. Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 08 Mei 2012.
(50)
Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapat persetujuan dari institusi pendidikan yaitu Program Studi S-1 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU, dan izin dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan serta Bapak Kepala Sekolah SMA Negeri 15 Medan. Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan etik, yaitu : memberikan penjelasan kepada calon responden tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila calon responden bersedia, maka calon responden dipersilahkan untuk menandatangani
informed consent. Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka calon
responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri. Responden juga berhak mengundurkan diri selama proses pengumpulan data berlangsung. Kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga dengan cara tidak menuliskan nama responden pada instrumen penelitian, tetapi menggunakan inisial. Data-data yang diperoleh dari responden juga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap responden setelah mengisi kuesioner.
5. Instrumen Penelitian 5.1 Kuesioner Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan menggunakan skala ukur skala ordinal (untuk mengukur variabel pengetahuan dan variabel sikap) yang dibuat sendiri oleh peneliti yang disusun berdasarkan tinjauan pustaka. Alat pengumpulan data ini terdiri
(51)
dari tiga bagian, yaitu : sumber informasi responden, bagian pengetahuan, dan bagian sikap.
Variabel pengetahuan responden diukur dengan memberikan pertanyaan dari nomor 1 – 15. Masing-masing pertanyaan mempunyai skor benar/tepat 1 dan salah/tidak tepat 0. Sehingga skor tertinggi yang dapat dicapai responden adalah 15 dan skor terendah yang dicapai responden adalah 0. Berdasarkan rumus statistika , P =
Dimana p merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi dikurangi nilai terendah) sebesar 15 dan 3 kategori kelas untuk pengetahuan (kurang, cukup, baik) didapatlah panjang kelas sebesar 5. Dengan menggunakan p = 5 dan skor terendah = 0 sebagai batas bawah kelas interval pertama, data pengetahuan remaja puteri dengan interval skor sebagai berikut:
0 – 5 = kurang
6 – 10 = cukup
11 – 15 = baik
Variabel sikap menggunakan skala Likert dengan mengukur melalui 12 pertanyaan yang berisi pernyataan positif (pernyataan nomor 19, 21, 23, 25, 27, 28, 29 dan 30) dan pernyataan negatif (pernyataan nomor 20, 22, 24, dan 26), dengan item jawaban sangat setuju, setuju, kurang setuju dan tidak
(52)
setuju. Adapun ketentuan pemberian bobot nilai pada item jawaban sikap menurut Riduwan (2007) adalah sebagai berikut.
Pemberian bobot nilai pada item untuk pernyataan positif :
Sangat setuju : 4
Setuju : 3
Kurang setuju : 2
Tidak setuju : 1
Pemberian bobot nilai pada item untuk pernyataan negatif :
Sangat setuju : 1
Setuju : 2
Kurang setuju : 3
Tidak setuju : 4
Sehingga skor tertinggi yang dapat dicapai responden adalah 48 dan skor terendah yang dicapai responden adalah 12. Berdasarkan rumus statistika, P =
Dimana p merupakan panjang kelas, dengan rentang (nilai tertinggi dikurangi nilai terendah) sebesar 36 dan 3 kategori kelas untuk sikap (kurang baik, sedang, baik) didapatlah panjang kelas sebesar 12. Dengan menggunakan p = 12 dan skor terendah = 12 sebagai batas bawah kelas
(53)
interval pertama, data sikap remaja puteri dengan interval skor sebagai berikut:
12 – 23 = kurang
24 – 35 = cukup
36 – 48 = baik
5.2 Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan atau mampu mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang validitas yang dimaksud (Arikunto, 2010). Uji validitas terhadap kuesioner pengetahuan dan sikap remaja puteri tentang anemia defisiensi di SMA Negeri 15 Medan dilakukan oleh pakarnya yaitu dari bagian Keperawatan Medikal Bedah dan bagian Keperawatan Komunitas.
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010). Uji reliabilitas penelitian ini dilakukan pada
(54)
tanggal 01 Mei 2012 oleh 30 responden. Responden bukan bagian dari sampel penelitian melainkan siswi SMA Negeri 2 Medan.
Uji reliabilitas dinyatakan reliabel jika nilai dan nilai α > 0,7. Uji reliabilitas yang digunakan untuk kuesioner pengetahuan menggunakan KR 20 (Kuder dan Richardson) dengan nilai = 0,9075, sedangkan uji reliabilitas untuk kuesioner sikap menggunakan rumus
alpha dengan nilai α = 0,905, sehingga kuesioner dinyatakan reliabel dan
layak untuk digunakan.
6. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan data penelitian ini yaitu: mendapatkan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Program S-1 Ilmu Keperawatan, kemudian mengajukan permohonan izin melaksanakan penelitian kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan berupa surat pengantar untuk melakukan penelitian di SMA Negeri 15 Medan. setelah itu peneliti mengajukan permohonan izin melaksanakan penelitian kepada Kepala Sekolah SMA Negeri 15 Medan. Setelah mendapatkan persetujuan dari pihak sekolah SMA Negeri 15 Medan, peneliti melakukan penyebaran kuesioner hanya pada 4 kelas, yaitu 2 kelas dari kelas X, 1 kelas dari kelas XI IPA, dan 1 kelas dari kelas XI IPS. setelah itu peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan prosedur menjawab kuesioner. Jika calon responden bersedia maka diminta untuk menandatangani
(55)
lembar persetujuan (informed consent) dan selanjutnya dipersilahkan untuk
mengisi lembar kuesioner dengan jujur dan agar mengisi seluruh pertanyaan.
7. Analisis Data
Analisa data dilakukan menggunakan komputerisasi dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1) data dimasukkan ke variabel data memasukkan nomor responden, sumber informasi, skor pengetahuan, skor sikap, kategori pengetahuan, dan kategori sikap; 2) setelah itu masukkan hasil data ke data view
sesuai dengan variabel masing-masing; 3) setelah itu di analyze; 4) descriptif statistic; 5) serta hasil data yang sudah diolah dimasukkan ke dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi yaitu dalam karakteristik (kelas dan sumber informasi), skor pengetahuan, skor sikap, kategori pengetahuan dan kategori sikap. Kemudian data dimasukkan ke dalam bab lima.
(56)
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengetahuan dan sikap remaja puteri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 08 Mei 2012 dengan jumlah responden sebanyak 94 siswi. Hasil penelitian ini akan diuraikan dalam tiga bagian, yaitu : sumber informasi responden, pengetahuan, dan sikap remaja puteri tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan.
1. Hasil Penelitian
1.1 Sumber Informasi responden
Distribusi responden pada penelitian ini mencakup sumber informasi mengenai anemia defisiensi besi. Sumber informasi responden tentang anemia defisiensi besi disajikan dalam bentuk tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan sumber informasi tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan
No Sumber Informasi Frekuensi Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.. Guru Petugas Kesehatan Teman Keluarga
Media (cetak, elektronik, internet) Total 24 7 1 15 47 94 25,5 7,4 1,1 16,0 50,0 100
(57)
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa Sebanyak 24 responden (25,5 %) mendapat informasi tentang anemia defisiensi besi melalui guru, 7 responden (7,4 %) melalui petugas kesehatan, 1 responden (1,1 %) melalui teman, 15 responden (16,0 %) melalui keluarga, dan sebagian besar responden yaitu 47 responden (50,0 %) melalui media (cetak, elektronik, internet).
1.2 Pengetahuan Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi
Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang. Untuk menilai pengetahuan responden tentang anemia defisiensi besi diajukan 15 pertanyaan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil yang dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi jawaban responden tentang pengetahuan mengenai anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan
Pertanyaan
Jawaban Jumlah
Benar Salah
N % n % N %
1. Pengertian anemia defisiensi besi.
2. Kelompok yang paling beresiko terkena anemia defisiensi besi. 3. Penyebab remaja puteri lebih
beresiko terkena anemia defisiensi besi daripada remaja putera.
4. Bahan makanan/minuman yang dapat menghambat penyerapan zat besi.
5. Bahan makanan yang paling banyak mengandung zat besi.
6. Kebiasaan yang dapat
84 81 49 72 23 89,4 86,2 52,1 76,6 24,5 10 13 45 22 71 10,6 13,8 47,9 23,4 75,5 94 94 94 94 94 100 100 100 100 100
(58)
menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh.
7. Dampak anemia defisiensi besi terhadap remaja puteri.
8. Cara yang paling praktis mencegah anemia defisiensi besi. 9. Hal yang anda ketahui sebagai
seorang calon ibu nantinya tentang dampak jika menderita anemia defisiensi besi pada masa kehamilan dan persalinan.
10. Vitamin yang membantu penyerapan zat besi.
11. Makanan yang paling banyak mengandung zat besi.
12. Pengertian zat besi.
13. Manfaat zat besi di dalam tubuh. 14. Kelompok makanan yang paling
banyak mengandung zat besi. 15. Bahan makanan yang juga dapat
menghambat penyerapan zat besi. 48 40 60 79 33 30 84 56 28 66 51,1 42,6 63,8 84,0 35,1 31,9 89,4 59,6 29,8 70,2 46 54 34 15 61 64 10 38 66 28 48,9 57,4 36,2 16,0 64,9 68,1 10,6 40,4 70,2 29,8 94 94 94 94 94 94 94 94 94 94 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Dari tabel 5.2 dapat dilihat pada umumnya remaja puteri sudah mengetahui pengertian anemia defisiensi besi sebanyak 84 responden (89,4%). Kelompok yang paling beresiko menderita anemia defisiensi besi diketahui sebanyak 81 responden (86,2%). Penyebab remaja puteri lebih beresiko terkena anemia defisiensi besi diketahui sebanyak 49 responden (52,1%). Bahan makanan/minuman yang dapat menghambat penyerapan zat besi diketahui sebanyak 72 responden (76,6%). Bahan makanan yang paling banyak mengandung zat besi hanya diketahui sebanyak 23 responden (24,5%). Kebiasaan
(59)
yang dapat menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh diketahui sebanyak 48 responden (51,1%). Dampak anemia defisiensi besi terhadap remaja puteri diketahui sebanyak 40 responden (42,6%). Cara yang paling praktis mencegah anemia defisiensi besi diketahui sebanyak 60 responden (63,8%). Hal yang diketahui sebagai seorang calon ibu nantinya tentang dampak anemia defisiensi besi pada asa kehamilan dan persalinan diketahui sebanyak 79 responden (84,0%). Vitamin yang membantu penyerapan zat besi di dalam tubuh diketahui sebanyak 33 responden (35,1%). Makanan yang paling banyak mengandung zat besi diketahui sebanyak 30 responden (31,9%). Pengertian zat besi diketahui sebanyak 84 responden (89,4%). Manfaat zat besi di dalam tubuh diketahui sebanyak 56 responden (59,6%). Kelompok makanan yang paling banyak mengandung zat besi diketahui sebanyak 28 responden (29,8%), dan bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan zat besi diketahui sebanyak 66 responden (70,2%).
Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang. Untuk menilai pengetahuan responden tentang anemia defisiensi besi diajukan 15 pertanyaan. Dari hasil penelitian dapat dikategorikan pengetahuan responden tentang anemia defisiensi besi dengan kategori baik, cukup, dan kurang yang dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini.
(60)
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Baik Cukup Kurang Total 18 73 3 94 19,1 77,7 3,2 100
Tabel 5.3 menggambarkan bahwa sebagian besar remaja puteri mempunyai pengetahuan cukup tentang anemia defisiensi besi yaitu sebanyak 73 responden (77,7%), 18 responden (19,1%) berpengetahuan baik, dan hanya 3 responden (3,2%) berpengetahuan kurang.
1.3 Sikap Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi
Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Untuk mengetahui sikap responden diajukan 12 pernyataan tentang anemia defisiensi besi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil yang dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut ini.
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi jawaban responden tentang sikap mengenai anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan
Pernyataan
Tingkatan Sikap
Jumlah
SS S KS TS
N % n % N % N % N %
1. Anemia defisiensi besi
merupakan masalah
(61)
kesehatan yang penting untuk
diperhatikan. 2. Mengkonsum
si kopi dan teh sewaktu makan tidak menghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh. 3. Mengkonsum si daging adalah cara untuk mencegah terkena anemia defisiensi besi.
4. Lebih baik sering
mengkonsum si zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan daripada sumber zat besi yang berasal dari daging hewan untuk mencegah anemia defisiensi besi. 5. Tidak meminum kopi/teh sewaktu makan adalah 5 23 21 23 5,3 24,5 22,3 24,5 25 34 43 45 26,6 36,2 45,7 47,9 39 32 29 16 41,5 34,0 30,9 17,0 25 5 1 10 26,5 5,3 1,1 10,6 94 94 94 94 100 100 100 100
(62)
pencegahan anemia defisiensi besi. 6. Saat menstruasi (haid), mengkonsum si buah dan sayur adalah cara terbaik untuk mengatasi anemia defisiensi besi daripada daging hewan. 7. Mengkonsum si makanan sumber besi bertujuan untuk mencegah timbulnya gejala-gejala anemia defisiensi besi seperti pusing, mata berkunang-kunang, konsentrasi belajar dan daya ingat terganggu. 8. Setelah melewati masa remaja, wanita tidak perlu lagi menjaga asupan zat besi untuk 54 49 7 57,4 52,1 7,4 33 41 9 35,1 43,6 9,6 7 4 13 7,4 4,3 13,8 0 0 65 0 0 69,1 94 94 94 100 100 100
(63)
tubuhnya. 9. Diet vegetarian berbahaya karena pelaku diet tersebut dapat mengalami kekurangan gizi terutama defisiensi besi.
10. Zat besi tidak baik dikonsumsi berlebihan, sehingga setiap hari tidak perlu mengkonsum si suplemen besi. 11. Mengkonsum si makanan yang mengandung bahan pengawet makanan berpengaruh terhadap zat besi yang diserap oleh tubuh, sehingga mengkonsum si bahan pengawet makanan dapat menimbulkan anemia defisiensi 26 14 29 27,7 14,9 30,9 42 33 55 44,7 35,1 58,5 16 34 4 17,0 36,2 4,3 10 13 6 10,6 13,8 6,4 94 94 94 100 100 100
(64)
12. Meminum jus jeruk ataupun sumber
vitamin c lainnya pada saat makan baik untuk mencegah
anemia defisiensi besi
39 41,5 46 48,9 8 8,5 1 1,1 94 100
Dari tabel 5.4 dapat diketahui mayoritas respondenmenjawab sangat setuju (SS) tentang anemia defisiensi besi adalah pada pernyataan nomor 7 yaitu mengkonsumsi makanan sumber besi bertujuan untuk mencegah timbulnya gejala-gejala anemia defisiensi besi seperti pusing, mata berkunang-kunang, konsentrasi dan daya ingat terganggu dengan jumlah 49 responden (52,1%), dan mayoritas responden menjawab tidak setuju (TS) tentang anemia defisiensi besi adalah pada pernyataan nomor 8 yaitu setelah melewati masa remaja wanita tidak perlu lagi menjaga asupan zat besi untuk tubuhnya dengan jumlah 65 responden (69,1%).
Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Untuk mengetahui sikap responden diajukan 12 pernyataan tentang anemia defisiensi besi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikategorikan sikap responden tentang anemia defisiensi besi
(65)
dengan kategori baik, cukup, dan kurang, seperti dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut ini.
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi tingkat sikap tentang anemia defisiensi besi di SMA Negeri 15 Medan
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Baik Cukup
Total
38 56 94
40,4 59,6 100
Tabel 5.5 menggambarkan bahwa paling banyak remaja puteri mempunyai sikap cukup tentang anemia defisiensi besi yaitu sebanyak 56 responden (59,6%), dan 38 responden (40,4%) bersikap baik.
2. Pembahasan
2.1 Pengetahuan Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi
Menurut Notoadmojo (2007), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indra diantaranya melalui penglihatan dan pendengaran. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan remaja putri mengenai anemia defisiensi besi mayoritas adalah kategori pengetahuan cukup yaitu sebanyak 73 responden (77,7%), diikuti dengan kategori baik sebanyak 18 responden (19,1%), dan kategori kurang sebanyak 3 responden (3,2%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hayati (2010) di MAL IAIN Medan yang menyatakan bahwa pengetahuan remaja puteri tentang anemia defisiensi besi
(66)
Pengetahuan remaja putri mengenai anemia defisiensi besi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Engle (1994) mendefinisikan pengetahuan sebagai informasi yang disimpan dalam bentuk ingatan yang menjadi penentu utama perilaku. Pengetahuan diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, media massa dan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja puteri tentang anemia defisiensi besi paling banyak diperoleh informasi dari media (elektronik, cetak, internet) (50%), dari guru (25,5%), dari keluarga (16%), dari petugas kesehatan (7,4%), dan dari teman (1,1%). Hal ini dapat dimaklumi karena sumber informasi berupa media massa adalah media informasi yang cukup berkembang dan mudah diakses sehinggan dapat kita lihat bahwa hampir sebagian masyarakat menggunakan media (elektronik, cetak, internet) sebagai sumber informasi. Selain itu, guru, keluarga dan teman merupakan orang terdekat bagi individu untuk mendapatkan informasi. Senada dengan Notoatmodjo (2007) yang mengatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman diri sendiri dan orang lain, dalam kaitannya dengan hal ini adalah guru, keluarga, teman dan petugas kesehatan.
Pengetahuan sering diperoleh dari pengalaman diri sendiri maupun pengalaman yang diperoleh dari orang lain, pengetahuan yang baik akan mendorong seseorang untuk menampilkan sikap yang sesuai dengan pengetahuannya yang telah didapatkan. Dalam penelitian ini diketahui bahwa mayoritas remaja putri berpengetahuan cukup (77,7%). Ini dapat dilihat dari pertanyaan pengetahuan diantaranya 71 responden (75,5%) tidak mengetahui
(67)
bahan makanan yang paling banyak mengandung zat besi, 54 responden (57,4%) tidak mengetahui dampak anemia defisiensi besi terhadap remaja puteri, dan 61 responden (664,9%) tidak mengetahui vitamin yang membantu penyerapan zat besi. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya informasi yang diperoleh remaja putri tentang anemia defisiensi besi. Hal ini dapat dimaklumi karena memang di dalam kurikulum sekolah tidak terdapat topik yang membahas tentang anemia ataupun anemia defisiensi besi. Faktor lain yang menyebabkan hal ini adalah faktor lingkungan dan pengalaman individu itu sendiri. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Dari pengalaman individu akan belajar yang dapat mempengaruhi pengetahuan (Azwar, 2005).
2.2 Sikap Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).
(68)
Berdasarkan hasil penelitian, sikap responden mengenai anemia defisiensi besi adalah berkategori baik (40,4%), cukup (59,6%), dan tidak ada sikap responden yang berkategori kurang. Sikap remaja puteri ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hayati (2010) yang meneliti pengetahuan dan sikap remaja puteri dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi di MAL IAIN Medan yang hasilnya adalah sikap remaja puteri mengenai anemia defisiensi besi yang mayoritas berkategori cukup (68%), berkategori baik (16%), dan masih adanya remaja puteri yang memiliki sikap berkategori kurang (14%). Hal ini sesuai dengan Purwanto (1999) yang menyatakan bahwa sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu. Sehingga berdasarkan hal ini sikap remaja puteri tentang anemia defisiensi besi berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas sumber informasi yang mereka dapatkan tentang anemia defisiensi besi bersumber dari media (cetak, elektronik, internet) sebanyak 47 responden (50%). Menurut Azwar (2005), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, pendidikan, agama, dan media massa. Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Sebagai tugas pokoknya dalam menyampaikan informasi, media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti
(69)
yang dapat mengarahkan opini seseorang. Informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, bila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah sikap. Walaupun pengaruh media massa tidak sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, namun dalam proses pembentukan dan perubahan sikap, peranan media massa tidak kecil artinya.
Sikap merupakan suatu pandangan, tetapi dalam hal itu masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan terhadap anemia defisiensi besi tidak sama dengan sikap terhadap anemia defisiensi besi. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak, seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu obyek baru menjadi sikap apabila pengetahuan itu disertai kesediaan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap obyek itu (Purwanto, 1999). Pengetahuan yang baik akan mendorong seseorang untuk menampilkan sikap yang sesuai dengan pengetahuannya yang telah didapatkan. Berdasarkan teori yang ada bahwa pengetahuan dapat memengaruhi sikap seseorang, dengan pengetahuan yang baik maka akan terwujud sikap yang baik pula, demikian sebaliknya (Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian ini diketahui bahwa mayoritas remaja putri memiliki sikap dalam kategori cukup. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan yang diperoleh remaja putri tentang anemia defisiensi besi. Ini dapat dilihat dari pernyataan sikap diantaranya 32 responden (34%) menjawab kurang setuju untuk pernyataan yang menyatakan
(70)
bahwa mengkonsumsi daging adalah cara untuk mencegah anemia defisiensi besi, 29 responden (30,9%) menjawab kurang setuju untuk pernyataan yang menyatakan bahwa lebih baik mengkonsumsi zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan daripada sumber zat besi yang berasal dari hewan untuk mencegah anemia defisiensi besi, 54 responden ( 57,4%) menjawab setuju untuk pernyataan yang menyatakan bahwa saat menstruasi, mengkonsumsi buah dan sayur adalah cara terbaik untuk mengatasi anemia defisiensi besi daripada daging hewan, dan 34 (36,2%) responden menjawab kurang setuju untuk pernyataan yang menyatakan bahwa zat besi tidak baik dikonsumsi berlebihan sehingga setiap hari tidak perlu mengkonsumsi suplemen besi.
Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo, menjelaskan bahwa dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Jika seseorang telah mendengar tentang anemia defisiensi besi, maka pengetahuan ini akan membawa seseorang tersebut untuk berpikir dan berusaha untuk mencegah agar tidak terkena anemia defisiensi besi. Hal ini sesuai dengan penelitian ini yang mana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden berpengetahuan cukup (77,7%), dan mayoritas bersikap cukup pula (59,6%). Tetapi fenomena yang terjadi, jika dilihat satu persatu hasil jawaban responden maka akan didapat beberapa responden yang memiliki pengetahuan baik tetapi bersikap cukup, memiliki pengetahuan cukup tetapi bersikap baik, memiliki pengetahuan kurang tetapi bersikap baik dan memiliki pengetahuan kurang tetapi bersikap cukup, dan memiliki pengetahuan
(71)
kurang tetapi bersikap baik. Hal ini dapat terjadi karena pengetahuan saja tidak dapat secara mandiri mempengaruhi sikap seseorang. Sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu kepercayaan (keyakinan), kehidupan emosional (evaluasi terhadap suatu objek), dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh Dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Jadi, untuk membentuk sikap seseorang maka pengetahuan, keyakinan, kehidupan emosional dan kecenderungan untuk bertindak harus membentuk satu kesatuan (Notoatmodjo, 2003).
(1)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak setuju 6 6.4 6.4 6.4
kurang setuju 4 4.3 4.3 10.6
setuju 55 58.5 58.5 69.1
sangat setuju 29 30.9 30.9 100.0
Total 94 100.0 100.0
PERNYATAAN NO. 30
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak setuju 1 1.1 1.1 1.1
kurang setuju 8 8.5 8.5 9.6
setuju 46 48.9 48.9 58.5
sangat setuju 39 41.5 41.5 100.0
Total 94 100.0 100.0
SKOR PENGETAHUAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 2 1 1.1 1.1 1.1
4 1 1.1 1.1 2.1
5 1 1.1 1.1 3.2
6 4 4.3 4.3 7.4
7 14 14.9 14.9 22.3
8 17 18.1 18.1 40.4
9 23 24.5 24.5 64.9
10 15 16.0 16.0 80.9
11 12 12.8 12.8 93.6
(2)
13 1 1.1 1.1 100.0
Total 94 100.0 100.0
KETERANGAN SKOR PENGETAHUAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid kurang 3 3.2 3.2 3.2
cukup 73 77.7 77.7 80.9
baik 18 19.1 19.1 100.0
Total 94 100.0 100.0
SKOR SIKAP
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 26 2 2.1 2.1 2.1
27 1 1.1 1.1 3.2
28 1 1.1 1.1 4.3
29 1 1.1 1.1 5.3
30 2 2.1 2.1 7.4
31 5 5.3 5.3 12.8
32 15 16.0 16.0 28.7
33 7 7.4 7.4 36.2
34 14 14.9 14.9 51.1
35 8 8.5 8.5 59.6
36 13 13.8 13.8 73.4
(3)
41 1 1.1 1.1 98.9
44 1 1.1 1.1 100.0
Total 94 100.0 100.0
KETERANGAN SKOR SIKAP
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid cukup 56 59.6 59.6 59.6
baik 38 40.4 40.4 100.0
(4)
(5)
(6)