Tradisi Perjodohan Dalam Komunitas Pesantren (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren)

“TRADISI PERJODOHAN DALAM KOMUNITAS PESANTREN”
(Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren)
SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DEDI MUHADI
NIM: 1111044200012

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( AHWAL SYAKHSIYYAH )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2015 M

ABSTRAK


DEDI MUHADI.

NIM:

1111044200012. TRADISI

PERJODOHAN

DALAM KOMUNITAS PESANTREN (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet
Pesantren). Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Administrasi Keperdataan
Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1436 H/2015 M. x +70 halaman dan lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tadisi perjodohan yang dilakukan oleh
keluarga Pondok Buntet Pesantrendan faktor apa saja yang menjadi alasan para
keluarga kyai Pondok Buntet Pesantren menjodohkan anak-anaknya.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan menggunakan jenis penelitian
kualitatif. dengan metode Riset Kepustakaan (library reseach) dan riset lapangan
(field riseach).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebiasaan menjodohkan anak-anaknya

di kalangan keluarga kyai pondok Buntet Pesantren sudah menjadi tradisi yang turun
temurun hingga saat ini, perjodohan adalah pernikahan yang semi pemaksaan, yang
mana menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2)
menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
Perjodohan menjadi momok di masyarakat, bahwa pernikahan melalui perjodohan
tidak akan harmonis dan langgeng karena terdapat unsur pemaksaan. Tetapi
perjodohan di keluarga pesantren khususnya di keluarga Buntet Pesantren
menggunakan konsep perkawinan endogami dengan cara ditawarkan tanpa ada
pemaksaan, selain itu walaupun keluarga kyai melangsungkan pernikahan melalui
perjodohan, mereka tetap harmonis dan menciptakan keluarga yang sakinah,
mawaddah warahmah.

Kata Kunci

: Perkawinan, perjodohan, pesantren,kyai.

Pembimbing

: Drs. H. Hamid Farhi, MA


DaftarPustaka

: Tahun 1958 s.d 2015
KATA PENGANTAR

ِ‫ﺑِﺴْﻢِ اﻟﻠﱠﮫِ اﻟﺮﱠﺣْﻤَﻦِ اﻟﺮﱠﺣِﯿْﻢ‬
Dengan mengucapkan paja dan puji syukur kepada Allah SWT, yang telah
memberikan taufiq dan hidayah selalu merahmati seluruh hamba-Nya dengan kasih
sayang. Shalawat beriringan salam saya haturkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta kaum muslimin yang selalu mengikuti
jejaknya hingga akhir zaman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena
mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan
rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak/Ibu,
terutama:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syaarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga, dan Arip
Puqon, M.A selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah
memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.
3. Drs. H. Hamid Farihi, M.A. Dosen pembimbing skripsi yang telah sabar
membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A. Dosen pembimbing akademik dan seluruh
dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.tidak
lupa juga kepada staf perpustakaan dan karyawan.
5. Kedua orang tua Apa H. Hafiz dan Umi Hj. Sri Mulyati,yang selalu
memberikan doa, pengorbanan dan dorongan motivasi terbeser dalam
penulisan skripsi ini, “allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama
rabbayani sogiro”. Aa, teteh, dan adik serta saudara-saudaraku yang selalu
memeberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Para Kyai dan Keluarga Besar Buntet Pesantren Cirebon, terutama keluarga
besar KH Arsyad dan KH Anis Manshur, Kang M. Lutfi Yusuf, KH Ade
Nasihul Umam, KH Salman Al Farisi yang telah bersedia membimbing dan
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh sahabat Administrasi Keperdataan Islam Hukum Keluraga angkatan
2011, yang telah memberikan semangat dan membenatu dalam penulisan
skripsi ini.
8. Kelurga Besar Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA BPC)

Jakarta Raya, yang telah berbagi ilmu dan pengalaman yang tidak ternilai, dan
selalu memeberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
9. Kelurga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat
Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah menjadikan penulis mahasiswa yang

aktivis dan akademis, dan telah bebabagi ilmu yang tak ternilai, hingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Keluarga Besar Komunitas Fotografi Ponsel (KOFIPON) dan Rumpak Sinang
Bicycle Community (Rumbicy) yang selalu mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Untuk sahabat, orang yang selalu memberikan dukungan Anisa Tiasari,
Yayah Sa’diyah, Vivin Zuhrotunnisa, Syifa Dzihni Hafidzah dan sahabatku
yang lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu.
12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai
rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.


Ciputat, 15 Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .........................................................................
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..................................................................
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................
ABSTRAK..............................................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
B. Batasan dan Perumusan Masalah ..........................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................
D. Metode Penelitian ................................................................................
E. Kerangka Teori ....................................................................................
F. Review Studi Terdahulu .......................................................................
G. Sistematika Penulisan ...........................................................................

BAB II

i
ii
iii
iv
v
viii
1
8
8
9
11
12
14

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN
PERJODOHAN
A. Perkawinan ..........................................................................................
B. Jenis-jenis Wali dan Peran Wali dalam Perkawinan ..............................

C. Peran Wali dan Persetujuan Mempelai Perempuan dalam Hukum
Islam Indonesia ....................................................................................

34

BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN
A. Pondok Pesantren .................................................................................
B. Kyai .....................................................................................................
C. Sejarah dan Tradisi...............................................................................
D. Kondisi Obyektif Pondok Buntet Pesantren Cirebon ............................

36
40
44
46

BAB IV TRADISI
PERJODOHAN
DAN
PERSEPSI

SOSIAL
KEAGAMAAN
A. Pandangan Kyai Buntet Pesantren Tentang Perjodohan ........................
B. Perjodohan Menurut Hukum Islam .......................................................
C. Analisis Penulis ....................................................................................

52
55
58

PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
LAMPIRAN .............................................................................................................

16
25

BAB V


63
64
65
69

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketantuan
Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat
umum, menyeluruh, berlaku tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.1 Akan tetapi Allah tidak menjadikan manusia seperti
makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti naluri dan hawa nafsunya,
serta berhubungan antara jantan dan betina tanpa adanya aturan. Untuk
menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah SWT menciptakan
hukum sesuai dengan martabat tersebut, dan Islam menjadikan pernikahan
untuk memformat kasih sayang di antara mereka dalam membangun
rumah tangga yang baik dan sah menurut agama.
Salah satu dasar terpenting membangun rumah tangga adalah cinta.

Cinta merupakan keadaan ketertarikan kepada seseorang kepada seorang
lainnya, yang bersamanya ia merasakan kesatuan emosianal dan spiritual.
Inilah adanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang saling
mencintai berubah menjadi keadaan jasadi setelah sebelumnya berupa
keadaan rasional dan spiritual.2

1

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : Bina Ilmu. 1995), hlm. 41

2

Sayyid Muhammad Husain Fadlullah, Dunia Wanita dalam Islam, alih bahasa.
Muhammad Abdul Qodir Al-Kaf, (Jakarta: Lemtara Basritama. 2000), hlm. 143

1

2

Dari perkawinan akan timbul hubungan suami isteri dan kemudian
hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Timbul pula hubungan
kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena itu perkawinan
mempunyai

pengaruh

yang

sangat

luas,

baik

dalam

hubungan

kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara pada umumnya, karena perkawinan merupakan titik awal
pembentukan keluarga, dan keluarga merupakan suatu unit terkecil dari
suatu bangsa.3
Perkawinan menurut syara’ adalah akad yang menimbulkan
kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri
kemanusian dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara
timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban (Dr. Ahmad Ghandur, alAhwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy).4 Sedangkan perkawinan
menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada
pasal 1 dijelaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.5 Dan dalam Kompilasi Hukum Islam Tentang DasarDasar Perkawinan pada pasal 2 dijelaskan bahwa: “Perkawinan menurut

3

Mona Eliza, Pelanggaran Terhadapa UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, (Tangerang
Selatan: Adelina Bersaudara. 2009), hlm. 2
4

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Prenada Media. 2009), hlm. 39
5

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 1.

3

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan telah sepakat
satu sama lain untuk melakukan suatu perkawinan, berarti mereka telah
berjanji akan taat kepada peraturan hukum yang berlaku. Dan untuk
menghentikan suatu perkawinan, mereka tidak secara leluasa dapat
menghentikannya sendiri, melainkan terikat juga pada aturan hukum yang
berlaku.
Perkawinan dilakukan atas prinsip:
1. Kerelaan (al-taraadhi), bahwa melangsungkan sebuah perkawinan
tidak boleh ada unsur paksaan, baik secara fisik maupun psikis dari
pihak calon suami dan calon istri.
2. Kesetaraan (al-musaawah), bahwa sebuah perkawinan tidak boleh
muncul diskriminasi dan subordinasi di antara pihak karena merasa
dirinya memiliki suporioritas yang lebih kuat dalam mengambil sebuah
kebijakan,

yang

akibatnya

merugikan pihak

lain.

Melainkan

perkawinan adalah sebuah hubungan kemitrasejajaran antara suami,
istri, dan anak-anak yang dilahirkan.
3. Keadilan (al-adaalah), bahwa menjalin sebuah kehidupan rumah
tangga diperlukan adanya kesepahaman bahwa antara suami dan istri
sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setara.

4

4. Kemaslahatan (al-maslahat), bahwa dalam menjalankan sebuah
perkawinan yang dituntut adalah bagaimana mewujudkan sebuah
keluarga sakinah, mawaddah warahmah, yang dapat membawa
implikasi positif di lingkungan masyarakat yang lebih luas.
5. Pluralisme

(al-ta’addudiyyah),

bahwa

perkawinan

dapat

dilangsungkan tanpa adanya perbedaan status sosial, budaya dan
agama, selama hal itu dapat mewujudkan sebuah keluarga yang
bahagia, sejahtera, dan aman baik lahir maupun batin.
6. Demokratis (al-diimuqrathiyyah), bahwa sebuah perkawinan dapat
berjalanan dengan baik sesuai dengan fungsi-fungsinya, apabila pihakpihak memahami dengan baik hak dan kewajibannya dalam keluarga. 6
Melihat beberapa prinsip perkawinan di atas, penulis tidak sepakat
dengan prinsip ke lima, yaitu prinsip pluralisme, karena dalam perkawinan
sekufu’ (setara) menjadi alasan terpenting.
Di

tengah-tengah

masyarakat,

sikap

berhati-hati

dalam

mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan pelaksanaan
pernikahan adalah wajar, karena pernikahan diharapakan akan berjalan
dengan baik dan langgeng seumur hidup. Pertimbangan yang dilakukan
oleh masyarakat Indonesia meliputi tiga kriteri dan dikenal dengan nama
bobot bibit bebet.

6

Muhammad Zain dan Mukhtar Al ashodiq, Membangun Keluarga Humanis (Jakarta:
Grahacipta, 2005), hlm.25-26

5

Bahkan, dalam komunitas Islam tradisional pesantren (Jawa) pada
umumnya, untuk menentukan pilihan siapa calon suami atau istri bagi
anaknya mendapat perhatian yang matang dari keluarga. Hal ini bukan
hanya menyangkut idealisme dalam memilih pasangan hidup semata,
melainkan juga menyangkut rasa tanggung jawab7 terhadap keluarga,
karena calon menantu adalah calon anggota baru.
Untuk itu, dalam menentukan jodoh biasanya orang tua sangat
berperan penting dan anaknya akan mengikuti pilihan orang tuanya,
bahkan pada pondok pesantren salaf (khususnya), penjodohan di kalangan
keluarga kyai atau santri seolah telah menjadi tradisi di kalangan mereka
hingga saat ini. Namun secara sosiologis, kelompok kyai tidak dapat
terbuka secara lugas dalam masalah ini karena kuatnya prinsip mereka
terhadap prinsip perkawinan endogamous.8
Walaupun sebagian keluarga kyai atau santri sudah mulai
meninggalkannya, namun jika ditelusuri ke lapangan kenyataannya kita
akan menemukan kesulitan untuk mengetahuinya secara terang-terangan,
dikarenakan ketertutupan dari pihak keluarga, hal tersebut masih ada.
Fenomena proses pemilihan jodoh ini sangat dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan, salah satunya kepentingan orang tua dan keluarga, karena

7

Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bakti, 1958), hlm, 14-

15
8

Endogamous (endogami) adalah perkawinan campuran dalam lingkungan kekerabatan

sendiri. lihat Kamus ilmiah popular lengkap.

6

mereka beranggapan bahwa penentuan jodoh adalah hak meraka, sehingga
mengenyampingkan kepentingan si anak.
Hal ini seperti yang terjadi pada masyakat pesantren di lingkungan
Pondok Buntet Pesantren, di Desa Mertapada Kulon Kecamatan
Astanajapura Kabupaten Cirebon. Pesantren ini adalah pondokan salaf,
yang mana santrinya lebih dikhususkan mengkaji kitab kuning. Buntet
Pesantren adalah sebuah nama desa dan di dalamnya terdapat puluhan
pondok pesantren atau masyarakat setempat biasanya menggunakan istilah
asrama, Buntet Pesantren memiliki kurang lebih 40 asrama dan kyai,
semuanya dalam satu keluarga dari keturunan sang pendiri yaitu Kiai
Muqoyyim. Santri keseluruhan di Buntet Pesantren mencapai 1.000 lebih
santri dari berbagai daerah di Indonesia. Alumni dari pondok Buntet
Pesantren sudah tersebar di seluruh penjuru dan telah menjadi ulama di
kampung halamannya masing-masing, selain itu ada pula yang aktif di
pemerintahan dari mulai tingakatan paling bawah sampai tingkatan
menteri.
Penulis memilih Pondok Buntet Pesantren sebagai objek penelitian
karena perjodohan sudah menjadi tradisi dalam lingkungan keluarga kyai
Buntet Pesantren. Disamping itu keluarga Buntet Pesantren memiliki
puluhan kyai dan semuanya masih memiliki hubungan keluarga.
Perjodohan di Buntet Pesantren adalah sesama keluarga terdekatnya atau
sesama keluarga keturunan kyai Buntet Pesantren.

7

Dalam proses perjodohan dalam keluarga kyai Buntet Pesantren
adalah saling menjodohkan putra putrinya dengan keluarga terdekatnya,
seperti perkawinan antara misanan atau antara nak-sanak. Perkawinan di
Buntet Pesantren tidak hanya dengan keluarga terdekat saja, namun ada
juga perjodohan dengan sesama garis keturunan kyai Buntet Pesantren.
Dalam hal ini, semua yang menentukan adalah keluarga besar dan
si anak yang akan dijodohkan tidak mengetahuinya, anak tidak diberi
kesempatan untuk memberikan pendapatnya, apakah ia mau menerima
perjodohan ini atau tidak. Jika keluarga besar sudah sama-sama saling
setuju, maka anak tidak dapat menolak. Di sini, anak sama sekali tidak
mempunyai hak untuk menentukan pilhannya sendiri, sehingga ada
keterpaksaan di dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.
Meski demikian perjodohan di lingkungan pesantren pada dasarnya
dilandasi rasa tanggung jawab yang besar seorang ayah terhadap anak agar
terjaga diri dan keluarganya. 9
Hukum Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat
perkawinan adalah persetujuan calon mempelai (Pasal 16 ayat (1) (2) Pasal
17 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Karena suatu ikatan pernikahan
harus berdasarkan atas kerelaan kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan.
Agar tujuan dari pernikahan yaitu terciptanya keluarga sakinah,
mawadaah, wa rahmah.

9

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren.(Jakarta: LP3S. 2011) hlm 121

8

Berangkat dari uraian tersebut di atas, penyusun merasa perlu
untuk mengadakan penelitian lebih lanjut. Bagaimana praktik perjodohan
yang terjadi pada masyarakat pesantren di Pondok Buntet Pesantren. Maka
penulis membuat skripsi dengan judul “Tradisi Perjodohan dalam
Komunitas Pesantren” (Studi Pada Keluarga Kyai Pondok Buntet
Pesantren Cirebon).
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dan
untuk mempertajam pembahasan maka penulis akan membatasi
masalah tentang tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren
pada masyarakat Pondok Buntet Pesantren Cirebon.
2. Perumusan Masalah
Untuk mengetahui tradisi perjodohan komunitas pesantren pada
masyakarat Pondok Buntet Pesantren Cirebon, berdasarkan
uraian pada latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
pada fokus-fokus permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Kyai dalam menentukan perjodohan pada
keluarga Pondok Buntet Pesantren Cirebon?
2. Bagaimana tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren
pada keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon?
3. Bagaimana hukumnya perjodohan dalam pandangan hukum
positif di Indonesia dan hukum Islam?

9

C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui alasan penyebab terjadi perjodohan
dalam komunitas pesantren pada masyakarat Pondok
Buntet Pesantren Cirebon.
2. Untuk mengetahui tradisi perjodohan dalam komunitas
pesantren, khususnya tradisi perjodohan pada keluarga
Kyai Pondok Buntet Pesantren Cirebon.
3. Untuk mengetahui hukum Islam dan Hukum Positif tentang
tradisi perjodohan dalam komunitas pesantren, khususnya
Pondok Buntet Pesantren.
2. Manfaat Penelitian
1. Secara Akademis. Mengaplikasikan disiplin ilmu sesuai
dengan program studi penulis, tambahan referensi guna
penelitian

lanjutan

serta

kontribusi

untuk

data

perpustakaan.
2. Secara Praktis, kontribusi hasanah bagi masyarakat Islam
dan golongan education pada umumnya. Lebih khusus
terhadap lembaga-lembaga

yang menangani masalah

perkawinan agar lebih merujuk pada aturan-aturan yang
ditetapkan.

10

D. Metode Penelitian
Untuk terciptanya sasaran yang menjadi tujuan penulis, skripsi ini
maka digunakan dua metode:
1. Riset Kepustakaan (Library reseach)
Yaitu dengan cara mengumpulkan dan membaca bahan-bahan dar
buku, artikel, majalah, dan bahan informasi lainnya yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas.10
2. Riset Lapangan (Field Reseach)
Riset lapangan adalah mengadakan penelitain secara langsung di
Buntet Pesantren Cirebon. Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan
dituangkan dalam bentuk skripsi, penulis berusaha mendapatkan data yang
akuratdan bukti-bukti yang benar. Untuk itu penulis mengguakan jenis
penelitian kualitatif dengan pendekatan secara sosiologis (empiris) yaitu
dengan melihat secara langsung kehidupan keluarga Kyai Pondok Buntet
Pesantren, yang melakukan tradisi perjodohan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu penelitian atau
penyelidikan yang bertujuan pada pemecahan masalah yang ada pada
tradisi perjodohan dalam keluarga Kyai Pondok Buntet Pesantren.
Sumber penelitian yang digunakan penulis yaitu :
a) Data

Primer,

yaitu

data

yang

dikumpulkan

sendiri

oleh

perorangan/suatu organisasi secara langsung melalui objeknya. Pada

10

Yayan sopyan, M et ode Penelit ian, Jakarta, 2009

11

skripsi ini penulis mewawancari para Kyai Buntet Pesantren dan
kelurga Kyai Buntet Pesantren.
b) Data Skunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara membandingkan
atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang
diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis,
buku-buku ilmiyah, Undang-Undang Perkawinan, Kopilasi Hukum
Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya
dengan masalah ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian adalah:
a) Observasi, yaitu mengadakan pengamatan terhadap objek penelitian
terutama tentang terjadinya tradisi perjodohan di kelurga Kyai
Buntet Pesantren.
b) Wawancara, yaitu suatu percakapan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu, maksudnya ada proses tanya jawab antara peneliti
dan objek yang diteliti dengan tujuan mengumpulkan keteranganketerangan dari responden.
Mengenai teknik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Sayriah dan Hukum UIN Sayrif Hidayatullah
Jakarta 2012.
E. Kerangka Teori
Pernikahan adalah suatu wujud sosialitas budaya manusia. Dalam
lembaga pernikahan, dua individu dipertemukan, diikat, dan mendapatkan
wadah untuk saling mewujudkan impian dan idealismenya. Pernikahan

12

menjadi awal dan cikal bakal terbentuknya unit komunitas terkecil dalam
masyarakat, yakni keluarga, yang akan menjalankan fungsinya dalam
struktur

dan

tatanan

masyarakat

yang

lebih

luas.

Menurut

Koentjaraningrat, pernikahan dapat diperinci ke dalam pelamaran, upacara
pernikahan, perayaan, mas kawin, harta pembawaan pengantin wanita,
adat menetap sesudah menikah, poligami, poliandri, perceraian, dan lain
sebagainya. Semua hal tersebut berada dalam usaha perincian untuk
memerinci kompleks budaya dan kompleks sosial ke dalam tema budaya
dan pola sosial.11
Lelaki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam memilih
jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi pedamping hidupnya.
Oleh karena itu agama islam memberikan tuntunan dalam menentukan
pilihan.
Namun dalam kehidupan saat ini, intervensi keluarga dalam
menentukan jodoh sering kita jumpai, terutama dalam kalangan keluarga
pesantren.Dengan tujuan agar tetap terjaganya sanadnya (keturunan).
Intervensi keluarga dalam menentukan jodoh mengabaikan hak perempuan
untuk memilih jodohnya. Selain itu, kontradiktif dengan hukum Islam di
Indonesia yang mentukan salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan
calon mempelai (Pasal 16 ayat (1) (2) Pasal 17 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam).

11

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.168.

13

F. Review Studi Terdahulu
Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak
melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi
terdahulu dalam bentuk table berikut ini:
No

Identitas

Subtansi

Pembeda

1

Ahmaditus Farida, (2010)
Al-Ahwal
AsySyakhsyiyah,
Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN
Sunan
Kalijaga
Yogyakarta.
Dengan
skripsinya yang berjudul
“Dinjauan Hukum Islam
terhadap Penjodohan Anak
di Keluarga Kyai di
Pondok Pesantren Al
Miftah Desa Kauman
Kecamatan
Naggulan
Kabupaten Kulon Progo”

Dalam skripsi ini,
Ahamaditus Farida
mengulas tentang
tinjauan
hukum
Islam
terhadap
penjodohan anak di
keluarga Kyai di
pondok pesantren
Al Miftah saja, dan
lebih
menitik
beratkan
tentang
hak anak dalam
menentukan
pasangan hidup.

Sedangkan dalam
skripsi saya lebih
menjelaskan
tentang
tradisi
perjodohan
di
dalam komunitas
pesantren
di
pondok Buntet
Pesantren
Cirebon,
dan
menitik beratkan
kepada dampak
dari perjodohan
tersebut.

2

Dita
Sundawa
Putri,
(2013) Al-Ahwal AsySyakhsyiyah,
Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN
Sunan
Kalijaga
Yogyakarta.
Dengan
skripsinya
“Tinjauan
Hukum Islam terhadap
praktik
kawin
paksa
karena adanya hak ijbar
wali. Studi kasus pada dua
pasangan keluarga di Kota
Gede Yogyakarta”.

Dalam skripsi ini,
Dita Sundawa Putri
menjelaskan
tentang
tinjauan
hukum
Islam
terhadap
kawin
paksa atas adanya
hak ijbar wali, dan
lebih
menitik
beratkan hak anak
yang
telah
dipaksakan untuk
menikah
dengan
alasan adanya hak

Sedangkan dalam
skripsi saya lebih
menjelaskan
tentang
tradisi
perjodohan pada
komunitas
pesantren,
dan
lebih
menitik
beratkan
terhadap
Dampak
perjodohan
tersebut.

dari

14

ijbar pada wali.
3

Zamakhsyari
Dhofier,
(1982) LP3S, Jakarta.
Terjemahan
dari
disertasinya yang berjudul
“Tradisi Pesantren studi
tentang Pandangan Hidup
Kyai”.

Dalam disertasi ini,
Zamakhsyari
Dhofier
menjelaskan tradisi
pesantren dengan
pusat
kajiannya
pada peranan kyai
dalam
upaya
memelihara
dan
mengembangkan
faham Islam di
Jawa.

Sedangkan dalam
skripsi saya, saya
menjelaskan
tradisi
perjodohan
dalam komunitas
pesantren,
khususnya tradisi
perjodohan yang
dilakukan oleh
keluarga
kyai
pondok Buntet
Pesantren.

G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran
mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar
gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini:
BAB KESATU berisi, Pendahuluan yang akan memberikan
gambaran umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan
tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori,
Riview Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
BAB KEDUA berisi, memuat ketentuan umum perkawinan.
Berbicara perjodohan maka berbicara tentang perkawinan, maka penulis
merasa penting membahas tentang perkawinan secara umum, dan
menjelaskan pengertian dan peran wali dalam perkawinan.

15

BAB KETIGA berisi, memuat tentang pengertian pondok
pesantren, menjelaskan Kyai dan peranannya pada masyarakat, dan
menjelaskan sejarah dan tradisi perjodohan yang berkembang dalam
komunitas pesantren.
BAB KEEMPAT berisi, menjelasakan kondisi obyektif Buntet
Pesantren Cirebon dan menjelaskan hasil analisa terhadap tradisi
perjodohan dalam keluarga kyai Buntet Pesantren, yang meliputi: dari segi
rukun dan syarat nikah, dalam hal ini penulis menjelaskan syarat dan
rukun nikah dan bagaimana aplikasinya terhadap perjodohan dalam
keluarga pesantren. Serta uraian hasil wawancara penulis dengan para kyai
pondok Buntet Pesantren.
BAB KELIMA berisi, Penutup, Kesimpulan, dan Saran-saran.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJODOHAN
A. Perkawinan
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Dalam kamus al-Munawwir kamus Arab-Indonesia kata nikah
(‫ )ﻧﻜﺎح‬berasal dari kata ‫ ﻧﻜﺤﺎ‬- ‫ﻧﻜﺢ – ﯾﻨﻜﺢ‬

yang artinya mengawini.

Sedangkan zawaj (‫ )زواج‬berasal dari kata ‫ زوج – ﯾﺰوج – ﺗﺰوﯾﺠﺎ‬yang artinya
mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan
memperistri.1
Perkataan nikah itu dalam bahasa Arab mepunyai arti hakiki dan
majazi. Arti hakikatnya ialah “menghimpit, menindih atau berkumpul” dan
arti majzinya ialah “setubuh atau akad”2.
Dalam bahasa Indonesai kata nikah diartikan “kawin” yaitu
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau setubuh.3
Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan akad (perjanjian)
antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan”

1

Ahamad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Yogyajarta:

Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 1560.
2

Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang,

1974), h. 11.
3

Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1994), cet III, h. 456.

16

17

sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan
etika agama.4
Kata nakaha dan zawaj inilah yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadist
Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin
dalam QS. An-Nisa (4) : 3.

‫ن ﺧِ ْﻔﺘُ ْﻢ أَﻻ ﺗُ ْﻘﺴِﻄُﻮا ﻓِﻲ اﻟْﯿَﺘَﺎﻣَﻰ ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮا ﻣَﺎ ﻃَﺎبَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ اﻟﻨِّﺴَﺎءِ ﻣَﺜْﻨَﻰ‬
ْ ِ‫وَإ‬
‫ن ﺧِ ْﻔﺘُﻢْ أَﻻ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮا ﻓَﻮَاﺣِﺪَةً أَوْ ﻣَﺎ ﻣَﻠَﻜَﺖْ أَﯾْﻤَﺎﻧُﻜُﻢْ ذَﻟِﻚَ أَدْﻧَﻰ أَﻻ‬
ْ ِ‫وَﺛُﻼثَ وَرُﺑَﺎعَ ﻓَﺈ‬
(3:‫ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا )اﻟﻨﺴﺎء‬
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. AnNisa:3)
Kata zawaja dalam al-Qur’an terdapat pada QS. Al-Ahzab (33) :
37.

َ‫وَإِ ْذ ﺗَﻘُﻮلُ ﻟِﻠَّﺬِي أَ ْﻧﻌَﻢَ اﻟﻠَّﮫُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَأَﻧْﻌَﻤْﺖَ ﻋَﻠَﯿْﮫِ أَﻣْﺴِﻚْ ﻋَﻠَﯿْﻚَ زَوْﺟَﻚَ وَاﺗَّﻖِ اﻟﻠَّﮫ‬
‫ﺨﻔِﻲ ﻓِﻲ ﻧَ ْﻔﺴِﻚَ ﻣَﺎ اﻟﻠَّﮫُ ﻣُﺒْﺪِﯾﮫِ وَﺗَﺨْﺸَﻰ اﻟﻨَّﺎسَ وَاﻟﻠَّﮫُ أَﺣَﻖُّ أَنْ ﺗَﺨْﺸَﺎهُ ﻓَﻠَﻤَّﺎ‬
ْ ُ‫وَﺗ‬
‫ﻗَﻀَﻰ زَ ْﯾﺪٌ ﻣِ ْﻨﮭَﺎ وَﻃَﺮًا زَوَّﺟْﻨَﺎﻛَﮭَﺎ ﻟِﻜَﻲْ ﻻ ﯾَﻜُﻮنَ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﯿﻦَ ﺣَﺮَجٌ ﻓِﻲ‬
(37:‫أَ ْزوَاجِ أَ ْدﻋِﯿَﺎﺋِﮭِ ْﻢ إِذَا ﻗَﻀَﻮْا ﻣِﻨْﮭُﻦَّ وَﻃَﺮًا وَﻛَﺎنَ أَﻣْﺮُ اﻟﻠَّﮫِ ﻣَﻔْﻌُﻮﻟًﺎ )اﻻﺣﺠﺐ‬
4

Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:

Darussalam, 2004), cet.I, h. 17

18

Artinya:Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang
Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah
memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang
Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya.
Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.(Q.S. Al-Ahzab (33):37).
Para ulama fiqh sependapat bahwa nikah itu adalah akad yang
diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki
penggunaan terhadap faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya
penikmatan sebagai tujuan primer.5
Sedangkan Definisi Perkawinan menurut Undang-undang no 1
tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 6 Dan perkawinan menurut
Kompilasi Hukum Islam adalah Perkawinan menurut hukun Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 7
Menurut hemat penulis dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa perkawinan merupakan langkah awal umat manusia untuk
5

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan (Jakarta:

Pustaka AL-Kautsar, 2007), h.80
6

Undang-Undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1

7

Kompilasi Hukum Islam Pasal 2

19

mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan dan berumah tangga
dengan tujuan terciptanya rumah tangga yang sakinah, mawadaah wa
rahmah.
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad
lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang
mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah:
1) Mempelai laki-laki
2) Mempelai perempuan
3) Wali
4) Dua orang saksi
5) Shigat ijab kabul8
Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya
sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki.
Qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda
penerimaan.
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab
Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad sedangkan
yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian
dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai,
wali, saksi, dan ijab kabul.
8

Sobari Sahrani dan M.A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,

2009), h. 12.

20

Syarat-syarat calon mempelai pria adalah
1) Beragama Islam
2) Laki-laki
3) Jelas orangnya
4) Dapat memberikan persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah
1) Beragama Islam
2) Perempuan
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
Selain beberapa persyaratan di atas, calon mempelai pun dalam
hukum perkawinan Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat, yaitu
persetujuan calon mempelai.9

3. Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah
Allah dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau

9

12-13.

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009), h.

21

hawa nafsunya saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga
berarti ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.10
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan
keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at
yakni kemaslahatan dalam kehidupan.11
Oleh karenanya nikah disyariatkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan
al-Hadist, adapun ayat yang menunjukkan syariat nikah adalah Firman
Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4) : 3.

ِ‫ن ﺧِ ْﻔﺘُ ْﻢ أَﻻ ﺗُ ْﻘﺴِﻄُﻮا ﻓِﻲ اﻟْﯿَﺘَﺎﻣَﻰ ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮا ﻣَﺎ ﻃَﺎبَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ اﻟﻨِّﺴَﺎء‬
ْ ِ‫وَإ‬
َ‫ﻣَ ْﺜﻨَﻰ وَﺛُﻼثَ وَرُﺑَﺎعَ ﻓَﺈِنْ ﺧِﻔْﺘُﻢْ أَﻻ ﺗَﻌْﺪِﻟُﻮا ﻓَﻮَاﺣِﺪَةً أَوْ ﻣَﺎ ﻣَﻠَﻜَﺖْ أَﯾْﻤَﺎﻧُﻜُﻢْ ذَﻟِﻚ‬
(3:‫أَ ْدﻧَﻰ أَﻻ ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا )اﻟﻨﺴﺎء‬
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. AnNisa:3).
Dan Hadis Nabi Muhammad SAW :

‫ﺴﻌُﻮدٍ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﻗَﺎلَ ﻟَﻨَﺎ رَﺳُﻮلُ اَﻟﻠَّﮫِ ﺻﻠﻰ اﷲ‬
ْ َ‫ﻦ ﻋَ ْﺒﺪِ اَﻟﻠَّﮫِ ْﺑﻦِ ﻣ‬
ْ َ‫ﻋ‬
ُ‫ ﻓَﺈِﻧَّﮫ‬, ْ‫ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ) ﯾَﺎ ﻣَ ْﻌﺸَﺮَ اَﻟﺸَّﺒَﺎبِ ! ﻣَﻦِ اﺳْﺘَﻄَﺎعَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ اَﻟْﺒَﺎءَةَ ﻓَﻠْﯿَﺘَﺰَوَّج‬
10

Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutamaan RUmah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta:

CV.Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.3
11

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim,

2007), h.86

22

ُ‫ وَﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﯾَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﻌَﻠَﯿْﮫِ ﺑِﺎﻟﺼَّﻮْمِ ; ﻓَﺈِﻧَّﮫُ ﻟَﮫ‬, ِ‫ﺣﺼَﻦُ ﻟِﻠْﻔَﺮْج‬
ْ َ‫ وَأ‬, ِ‫أَﻏَﺾُّ ﻟِ ْﻠﺒَﺼَﺮ‬
12

‫وِﺟَﺎءٌ ( ﻣُﺘَّﻔَﻖٌ ﻋَﻠَﯿْﮫ‬

Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi
muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya
ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia
dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.
Dari ayat dan hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa;
pernikahan atau perkawinan adalah perintah Allah dan Rasulnya (aturan
agama islam) disebut juga dengan Sunatullah. Perkawinan adalah sesuatu
yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada sisi manusia,
karena itu seseorang yang telah berumah tangga hendaklah menghargai
dan memuliakan perkawinannya. 13
Hukum melakukan perkawinan adalah ibahah atau kebolehan atau
halal. Tetapi berdasarkan kepada perobahan situasi dan kondisinya, hukum
melakukan perkawinan itu dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh
dan haram.
Ulama Syafi’iyah menyatakan hukum perkawinan itu melihat
keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut:
a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin,
telah pantas untuk

kawin dan dia

telah

perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.

12

Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughul Maram, (Harramain), h. 207

13

Sidi Nazar Bakri, Op.Cit. h.5

mempunyai

23

b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas kawin, belum
berkeinginan kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan
juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan
untuk perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti
impoten, berpenyakitan, tua bangka, dan kekurangan fisik
lainnya (al-Mahalliy, 206).14
Ulama Hanafiyah menambahkan hukum perkawinan secara khusus
bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut.
a. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin,
berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk
kawin; ia takut akan terjerumus zina kalau tidak kawin.
b. Makruh bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan
perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam
perkwinannya itu. (Ibn Humam III, 187).
Sedangkan menurut undang-undang no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2) “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.15

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2009), cet. III h.45-46
15

UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2

24

4. Tujuan Perkawinan
Perkawinan mempunyai tujuan antara lain ialah:
1. Menta’ati Perintah Allah SWT, dan mengikuti jejak nabi-nabi
dan Rasul-Nya terutama sunnah Rasulullah Muhammad SAW.,
karena hidup beristeri, berumah tangga dan berkeluarga
termasuk sunnah beliau.
2. Melanjutkan keturunan yang merupakan pewaris kehidupan dan
penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan umat yang
diridhai oleh Allah SWT.
3. Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan dengan rasa
kasih sayang antara keluarga suami dan keluarga isteri sebagai
sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram
dan sejahtera lahir dan batin.
4. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
Allah di samping menyalurkan syahwat insaniyah (libido
sexual) secara wajar.
5. Untuk membersihkan keturunan. 16
5. Hikmah Perkawinan
Perkawinan merupakan suaru ketentuan-ketentuan dari Allah di
dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

16

Mona Eliza, Op. Cit., h. 16-20

25

menyeluruh dan berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.17
Perkawinan yang terjadi pada makhluk hidup, baik tumbuhan,
binatang,

maupun

manusia,

adalah

untuk

keberlangsungan

dan

pengembangbiakan makhluk yang bersangkutan. 18 Hikmah perkawinan
menurut ajaran Islam adalah untuk memelihara manusia daripada
pekerjaan maksiat, yang membahayakan diri, harta dan pikiran. 19
B. Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali Dalam Perkawinan
1. Definisi Wali
Secara etimologi wali mempunyai arti pelindung, penolong atau
penguasa. 20 Orang yang berhak menikahkan perempuan adalah wali yang
bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai
wali.
Dalam literatur fiqh, jenis perwalian terbagi menjadi dua: al
wilayah al-amah (kekuasaan umum) dan al walayah al-khashah
(kekuasaan khusus). Al-walayah al-khashah terdiri atas dua. Pertama,
kekuasaan atas harta (al-walayah ala al-mal), yakni penguasaan atas harta
benda, seperti mengembangkan, memanfaatkan dan menjaga harta benda.

17

Abdul Qadir Djailani, Keluarga sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 41.

18

Mahmud Al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT

Remaja Rosda, 1994),h. 1.
19

Amir taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga Bahagia,

(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. III, h. 31.
20

Abdul Mujib dkk, dalam Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, kajian fikih nikah

lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 89.

26

Kedua, kekuasaan atas jiwa (al-walayah ala al-nafs), yakni penguasaan
atau urusan-urusan personal (syakhsiyyah), seperti mengajar dan kawin.21
Dalam kaitan ini jenis terakhirlah yang dibicarakan dalam pembahasan
perwalian dalam nikah.
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari
orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat
hubungan darahnya. Jumhur ulama seperti Imam Syafi’I dan Imam Malik,
mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah
bukan dari ibu.
Susaunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Syafi’I
adalah sebagai berikut:
1) Ayah, ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya ke atas.
2) Saudara laki-laki yang sekandung (seayah dan seibu).
3) Saudara laki-laki seayah.
4) Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang
sekandung.
5) Anka laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seayah,
dan seterusnya sampai ke bawah.
6) Paman yang bersaudara dengan ayah ang sekandung.
7) Paman yang bersaudara dengan ayah seayah.
8) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara
dengan ayah yang sekandung.
21

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, (t.tp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), JIlid II. h. 82.

27

9) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara
dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah.22
Susunan wali yang harus didaulukan menurut Imam Malik adalah
sebagai berikut:
1) Ayah.
2) Al-Washi (orang yang menerima wasiat dari ayah untuk
menjadi wali).
3) Anaknya yang laki-laki, meskipun anak bersangkutan hasil dari
perzinahan.
4) Cucu laki-laki.
5) Saudara laki-laki yang sekandung.
6) Saudara laki-laki yang seayah.
7) Anak laki-laki dari saudara sekandung.
8) Anak laki-laki dari saudara yang seayah.
9) Kakek yang seayah.
10) Paman yang sekandung dengan ayah.
11) Paman yang seayah dengan seayah.
12) Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah.
13) Ayah dari kakek.
14) Pamannya ayah.
15) Orang yang mengasuh perempuan yang bersangkutan.
22

Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:

Darussalam,2004), Cet. I, h. 69-70

28

Susunan wali yang harus didahuluakn menurut Imam Hanafi
adalah sebagai berikut:
1) Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya sampai ke bawah.
2) Ayah, kakek (ayah dari ayah), dan seterusnya sampai ke atas.
3) Saudara laki-laki yang sekandung.
4) Saudaara laki-laki yang seayah.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah, dan
seterusnya sampai ke bawah.
7) Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung.
8) Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah.
9) Saudara sepupu atau nak laki-laki dari paman yang bersaudara
dengan ayah yang sekandung, dan seterusnya ke bawah.
Seandainya wali-wali yang disebutkan diatas tidak ada
semuanya, maka yang berhak menjadi wali adalah garis
keturunan perempuan yang sesuai dengan susunanya.
2. Jenis-jenis Wali
Wali memegang peranan penting terhadap keberlangsungan suatu
pernikahan.Menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik bahwa keberadaaan
wali adalah termasuk salah satu rukun nikah.Suatu pernikahan tanpa
dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal.
Sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi:

29

‫ ﻻَ ﻧِﻜَﺎحَ اِﻻَّ ﺑِﻮَﻟِﻲٍّ )روه‬:َ‫ﻋَﻦْ اَﺑِﻰ ُﻣﻮْﺳَﻰ رض ﻋَﻦِ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ص ﻗَﺎل‬
23

(‫اﻟﺒﺨﺎري‬.

Artinya: “Dari Abu Musa r.a yang berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali”. (HR.
Bukhari).
Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu:
1. Wali Nasab, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan
nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.
Adapun wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunayi
kewenangan untuk memkasa menikahkan tanpa izin atau
persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata
lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan
hak ijbar.
b. Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memksakan
kehendaknya

untuk

menikahkan

calon

mempelai

perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang
bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut
dengan hak ijbar.
2. Wali Hakim, yang dimaksud dengan wali hakim ialah wali
nikah dari hakim atau qadhi. Adapun orang-orang yang berhak

23

Al-bukhori, Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari (Beirut: Dar

Al-Fikr), h. 95.

30

menjadi wali hakim adalah Pemerintah (sulthan), Pemimpin
(khilafah), Penguasa (Rois), atau qadhinikah yang diberi
wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang
berwali hakim. 24
3. Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau
calon istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada,
wali nasab ghaib, tidak ada qadli atau pegawai pencatat nikah.
4. Wali Maula, adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu
majikannya sendiri. Adapun maksud budak disini adalah
wanita yang dibawah kekuasaannya/hamba sahaya.
Adapun yang dimaksud dalam penelitian di sini ialah peran wali
terhadap menentukan pasangan yang akan diwalikannya, melihat definisi
di atas dapat diketahui yang mempunyai hak untuk menikahkan terhadap
seseorang yang ada di bawah perwalaiannya dengan tanpa izin dan
persetujuan anaknya adalah wali mujbir.
a.

Wali Mujbir menurut Imam Syafi’I adalah ayah, kakek dan

terus ke atas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh
menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum baligh. Juga
boleh dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih
dahulu kepada anak yang bersangkutan. 25

24

Tihami dan Sohari, Op. Cit., h. 97.

25

Muhammad Asmawi, Op. Cit.,h. 17.

31

Imam Syafi’I mengacu pada hadis Nabi SAW.

ِ‫ ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪ‬،ٍ‫ ﻋَﻦْ زِﯾَﺎدِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌْﺪ‬،ُ‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳُﻔْﯿَﺎن‬،ٍ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗُﺘَ ْﯿﺒَﺔُ ْﺑﻦُ ﺳَﻌِﯿﺪ‬
ّ‫ أَن‬:ٍ‫ ﻋَﻦِ اﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎس‬،ُ‫ ﯾُﺨْﺒِﺮ‬،ٍ‫ ﺳَﻤِﻊَ ﻧَﺎﻓِﻊَ ﺑْﻦَ ﺟُﺒَﯿْﺮ‬،ِ‫ﻀﻞ‬
ْ َ‫اﻟﻠَّﮫِ ْﺑﻦِ اْﻟﻔ‬
،‫ " اﻟﺜَّﯿِّﺐُ أَﺣَﻖُّ ﺑِﻨَﻔْﺴِﮭَﺎ ﻣِﻦْ وَﻟِﯿِّﮭَﺎ‬:َ‫اﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ اﷲُ ﻋَﻠَ ْﯿﮫِ وَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎل‬
" ‫ وَإِ ْذﻧُﮭَﺎ ﺳُﻜُﻮﺗُﮭَﺎ‬،ُ‫ﺴﺘَ ْﺄﻣَﺮ‬
ْ ُ‫وَا ْﻟﺒِ ْﻜﺮُ ﺗ‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid :
Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah
bin Al-Fadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari
Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya
sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin,
dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 1421].
Hadis ini menunjukaan seorang ayah dibolehkan menikahkan anak
perempuannya yang masih pera

Dokumen yang terkait

MAKNA TRADISI HAFLATUL IMTIHAN DI PONDOK PESANTREN (STUDI PADA PONDOK PESANTREN SUMBER PAYUNG GANDING SUMENEP)

6 61 26

Hubungan penerapan budaya keraton dengan akhlak santri pondok pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon

1 37 106

Aktivitas komunikasi Pesantren Salaf (Studi Etnografi Komunitas Mengenai Aktivitas Komunitas Pesantren Salaf Di Pesantren Al-Hikamussalafiyah Purwakarta Dalam Mempertahankan Tradisi Soroga Dan Balagan)

3 40 126

KEPEMIMPINAN KYAI DALAM MENGELOLA PONDOK Kepemimpinan Kyai Dalam Mengelola Pondok Pesantren Dan Madrasah Aliyah Studi Situs MA WI Kebarongan Banyumas.

0 1 12

KEPEMIMPINAN KYAI DALAM MENGELOLA PONDOK Kepemimpinan Kyai Dalam Mengelola Pondok Pesantren Dan Madrasah Aliyah Studi Situs MA WI Kebarongan Banyumas.

0 1 22

Guru Muthmainnah dalam Perspektif Kyai Pesantren (Studi Terhadap Tiga Kyai Pimpinan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo Jawa Timur)

0 0 18

TIPE KEPEMIMPINAN KYAI DI PONDOK PESANTREN ( Studi Kasus Kepemimpinan Kyai Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Di Pondok Pesantren Rahmatan Lil’alamin Tuban ) SKRIPSI

0 0 13

PERJODOHAN PERNIKAHAN MUBARAK DI HIDAYATULLAH (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN HIDAYATULLAH SURABAYA) SKRIPSI

0 1 209

PERJODOHAN PERNIKAHAN MUBARAK DI HIDAYATULLAH (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN HIDAYATULLAH SURABAYA) SKRIPSI

0 1 15

KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN SANTRI (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darussalam Buntet Pesantren – Kabupaten Cirebon) - IAIN Syekh Nurjati Cirebon

0 0 15