Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Keprihatinan terhadap kemunduran kemanusiaan dan kerusakan lingkungan yang semakin meluas telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari persoalan modernitas, dan telah menjadi fokus perhatian pemerintahan di seluruh dunia. Bukan hanya dampak eksternal, tetapi juga logika kebebasan yang dibangun dalam perkembangan teknologi dan perkembangan ilmiah akan saling bertentangan jika bahaya serius dan tak tertahankan tidak dapat dihindari. Humanisasi teknologi tampaknya telah menyebabkan semakin meningkatnya isu moral dalam relasi yang kini “sangat instrumental” antara manusia dengan lingkungan Giddens, 1990: 170. Dengan demikian, kesadaran semacam ini perlu mendorong pendidikan untuk lebih memperhatikan, bukan saja persoalan humanisasi terhadap teknologi dan ilmu-ilmu kealaman, tetapi juga perlu mendorong proses humanisasi terhadap ilmu-ilmu sosial dan sejarah, dengan berlandaskan pada kesadaran sikap bahwa pendidikan untuk menjadikan manusia Indonesia yang berakhlak mulia, berbudi pekerti, cerdas, terampil, singkatnya menjadi manusia yang “sempurna”. 2 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Itulah misi dan sekaligus juga tantangan utama dari pendidikan Indonesia. Desain ilmu-ilmu, khususnya ilmu sosial dalam pendidikan, terutama pendidikan sejarah agar lebih menawarkan kemandirian, melalui pengembangan kesadaran dan nalar kritisnya dengan memfungsikan kesadaran etis dan estetika yang dimilikinya. Nalar kritis mahasiswa dalam menganalisis sejarah akan memberikan perspektif keilmuan sekaligus juga pemahaman etis terhadap kehidupan sosial dalam masyarakatnya. Sedangkan pemahaman estetika akan menghadirkan bentuk kesadaran yang menghargai keindahan akan keunikan dalam keragaman peristiwa dan realitas yang dihadapinya. Menurut Paul Kennedy dalam: Wiriaatmadja, 2002: 286-287, bahwa analisis kritis yang berjangka panjang dan holistik terhadap berbagai variabel sosial dalam peristiwa sejarah akan menempatkan mahasiswa ke dalam situasi cerminan pembelajaran di dalam menanggapi perubahan dengan mengambil teladan dari peristiwa yang telah terjadi. Tantangan lama yang terdapat dalam sejarah, dengan berbagai peristiwa dalam materi sejarah dapat dijadikan model belajar dari sejarah. Dari sini menjadi penting model pembelajaran sejarah yang mengedepankan pendekatan hermeneutika dengan mengajukan konsep-konsep kesejarahan sebagai dasar pijakan berpikir dalam menganalisis informasi kesejarahan. Dengan demikian perlu ditegaskan juga bahwa yang terpenting bukan hanya bagaimana belajar dari sejarah yang sarat dengan nilai-nilai dan etika kehidupan, tetapi juga bagaimana mempelajari sejarah dengan benar. 3 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Dalam kelanjutan gagasan tersebut, Wiriaatmadja 2002: 294, mengatakan bahwa sejarah termasuk kelompok ilmu yang lamban di dalam merespon perubahan. Padahal sikap optimisme terhadap sejarah sebagai sebuah disiplin yang menjanjikan nilai-nilai spiritual, dan kultural karena kajiannya yang bersifat memberikan pedoman terhadap keseimbangan hidup, harmoni, nilai-nilai, dan keteladanan dalam keberhasilan dan kegagalan, dan cerminan bagi pengalaman kolektif suatu masyarakat bangsa yang dapat menjadi petunjuk bagi kehidupan masa depan. Kesadaran sejarah dapat mengendalikan kecenderungan berkembangnya keserakahan yang semakin “menggurita” dari kemajuan teknologi dan industri dengan mengeksploitasi hutan, sungai, udara, lautan, daratan tempat di mana manusia tinggal. Kesadaran sejarah dalam konteks ini, menunjukkan bahwa ketidakarifan dalam pemanfatan kekayaan alam dan akal budi manusia pada gilirannya akan membawa eksistensi kemanusiaan dan peradabannya ke dalam kehancuran. Konsekuensinya, pembelajaran sejarah tidak dapat disampaikan materinya kepada mahasiswa dengan cara-cara superfisial, yang hanya bergelut pada informasi tentang tokoh, peristiwa, dan tahun saja, sebab sejarah yang disampaikan semacam itu jelas tidak bermakna dan tanpa jiwa soulless. Sesungguhnya banyak metode atau pendekatan pembelajaran yang dapat memberikan kebermaknaan dalam pembelajaran, dalam hal ini sejarah sebagai 4 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu dimensi pengetahuan yang berfungsi sebagai sumber atau pedoman dalam moral dan keteladanan perlu disampaikan dengan pendekatan yang bermakna juga. Kebermaknaan dalam pembelajaran menjadi penting dalam kajian ilmu- ilmu sosial khususnya pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Karena pengetahuan kesejarahan yang dimiliki mahasiswa tidak dapat mencapai pemahaman yang mendalam tanpa didukung oleh kemampuan analisis dari berbagai disiplin ilmu- ilmu sosial atau pendidikan ilmu sosial. Artinya mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kajian interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner yang menjadi ciri khas Pedidikan Ilmu Pengetahuan sosial PIPS. Pembelajaran Pendidikan IPS dan pembelajaran sejarah di perguruan tinggi diharapkan membantu mengembangkan kesadaran sosial mahasiswa, etos perguruan tinggi dengan pengembangan kesadaran semacam ini merupakan sendi utama yang mutlak diperlukan mahasiswa sebagai bentuk kedewasaan berpikir dalam ranah Pendididikan IPS. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran sejarah yang merupakan bagian dari Pendidikan IPS yang ingin memberikan kesadaran kepada mahasiswa dalam mencari kehidupan yang penuh makna yang seringkali teralihkan di dalam prosesnya karena didorong oleh kebutuhan yang berjangka pendek dan cepat kepada hasil yang menunjukkan bias pengaruh dari proses dehumanisasi dan depersonalisasi Wiriaatmadja, 2002: 296. Perguruan tinggi perlu menjadi hati nurani atau conscience jamannya, hati nurani kemanusiaan, 5 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu sehingga pada gilirannya dapat berfungsi di dalam mendorong kesadaran mahasiswa akan identitas diri dan bangsanya yang dapat dipupuk dan dikembangkan sejalan dengan perkembangan kepribadian mahasiswa sebagai bagian dari intelektual bangsa. Pengajaran sejarah yang mengedepankan pendekatan hermeneutika dapat meningkatkan kemampuan berpikir kesejarahan mahasiswa secara analitis, logis, dan kritis. Hermeneutika, yang merupakan upaya penafsiran atau interpretasi terhadap suatu teks, memegang peranan penting dalam ilmu-ilmu sosial khususnya sejarah. Hal ini dapat dipahami karena jika berbicara tentang hermeneutika pada hakikatnya sangat berhubungan dengan bahasa yang memiliki fungsi universal Gadamer, 2004: 455-491. Kita berbicara dan menulis dengan bahasa, begitu juga kita bisa mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa. Bahkan seni, yang dengan jelas tidak menggunakan sesuatu bahasa tertentu, berkomunikasi dengan seni-seni yang lainnya juga menggunakan bahasa Sumaryono, 1999: 26. Semua bentuk seni yang dipertunjukkan secara visual misalnya, patung, lukisan, tarian, dan lain-lain juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa. Bagaimana ketika kita mengungkapkan keindahan mendengarkan musik klasik ciptaan Mozart maupun Bach, ataupun saat melihat kekaguman lukisan karya Afandi maupun Picasso, semuanya itu melalui bahasa. 6 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Tentu saja, nuansa-nuansa bahasa tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang baru, karena jauh sebelumnya Hans-Georg Gadamer dalam bukunya “Wahrheit und Methode” atau “Truth and Method” atau “Kebenaran dan Metode” telah mengemukakan sebagai berikut: “bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan- akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini”. Dengan pernyataan tersebut, Gadamer telah menyederhanakan status manusia di dunia ini sebagai bagian yang seakan-akan tidak terbedakan dari dunia itu sendiri. Di mana kita tidak mungkin dapat berbuat banyak di dunia ini, jika tanpa menggunakan bahasa. Mengingat dengan bahasa maka setiap orang menemukan dirinya di dunia yang terus berubah ini. Walaupun Gadamer tidak setuju jika bahasa dianggap sebagai yang selalu mengalami perubahan, akan tetapi hendaknya bahasa itu dipikirkan sebagai yang memiliki “ketertujuan” teleologi di dalam dirinya Gadamer, 2004: 62. Dengan kata lain bahwa kata-kata atau ungkapan secara aksidental tidak pernah memiliki “kebakuan”. Kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan telos tersendiri atau penuh dengan makna, sebagaimana banyak diungkap oleh Wilhelm Dilthey 1962. Setiap kata tidak pernah tidak bermakna. Meskipun diketahui juga bahwa arti kata itu bersifat konvensioanal arti diambil berdasarkan kesepakatan bersama, atau perumusannya tidak mempunyai 7 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu dasar logika, namun pada kenyataannya kata-kata itu tidak pernah dibentuk secara aksidental saja atau sembarang saja. Dengan demikian, hermeneutika dapat diibaratkan ca ra untuk „bergaul‟ melalui bahasa. Sebab dengan bahasa menjelemakan kebudayaan maupun peradaban manusia. Henri Bergson menyatakan bahwa bila seseorang memahami bahasa suatu negara, dapat dipastikan ia tidak akan mungkin benci terhadap negara itu Bergson, 1959: 159. Hal ini dapat dipahami, karena bila seseorang mampu memahami sesuatu bahasa tertentu, maka ia memahami segala sesuatu tentang masyarakat, bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian bahasa merupakan medium tanpa batas, yang membawa segala sesuatu di dalamnya – tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan kepada individu melalui bahasa, melainkan juga segala sesuatu tanpa ada kecualinya – sebab segala sesuatu termuat dalam domain pemahaman Sumaryono, 1999: 28. Dengan kata lain bahasa adalah perantara yang nyata bagi hubungan manusia. Segala tradisi dan kebudayaan kita semuanya terungkap di dalam bahasa, baik yang terukir pada batu prasasti maupun yang ditulis pada daun lontar Gadamer, 1977: 59-68. Dari uraian di atas dapat dipahami betapa pentingnya hermeneutika dan penerapannya yang cukup luas dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti sejarah, agama, filsafat, seni, kesusasteraan, maupun linguistik. Memang disiplin yang pertama banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Illahi seperti Al-Quran, Taurat, Injil, 8 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Veda, dan Upanisad, agar dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika. Begitu juga teks sejarah yang ditulis dalam bahasa yang rumit yang beberapa abad tidak dipedulikan oleh para pembacanya, tidak dapat dipahami dalam kurun waktu seseorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istilah yang dipakai mungkin ada kesamaannya, tetapi arti atau makna dari istilah itu bisa berbeda. Perang pada zaman dahulu dengan perang zaman sekarang pada hakikatnya sama saja, tetapi dalam setiap perang memerlukan penafsiran lebih jauh. Sebagai contoh pada Perang Bubat dan Perang Diponegoro, memiliki nuansa dan substansi yang berbeda. Meminjam istilah Dilthey di samping memiliki perbedaan antara wajah dalam interior dan wajah luar eksterior, dalam pandangan dualistis tersebut, suatu peristiwa bisa dilihat aspek eksterior- kontekstualnya kapan, dimana, dan siapa tokohnya, sedangkan secara interior dapat dilihat dari dasar „kesadaran‟ mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi Tuttle, 1969: 65. Kedua dimensi tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan dalam teks sejarah. Di sini perlunya disusun sebuah dasar bagi pertimbangan sejarah yang menempatkan penyelidikan sejarah supaya sejajar dengan penelitian ilmiah lainnya. Padahal dalam penelitian ilmiah disiplin lainnya hanya terdapat satu dimensi, yaitu dimensi eksterior saja. Sedangkan aspek „kesadaran‟ pada penelitian-penelitian ilmiah sebelumnya tidak dilibatkan dalam eksperimennya. Dalam konteks itu, Hans-Georg Gadamer 200: 50, tidak bermaksud menjadikan hermeneutika 9 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu sebagai metode, tetapi untuk meletakkan pemahaman yang mengarah kepada tingkat ontologis, bukan metodologis. Sebab menurut Gadamer kebenaran menerangi metode –metode individual, sedangkan metode justru merintangi atau menghambat kebenaran. Dalam arti bahwa Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode, melainkan melalui dialogis dan reflektif Gadamer, 2004: 224: 439: 441. Sebab di dalam proses dialogis dan reflektif, kesempatan untuk mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibandingkan dengan proses metodis. Pada dasarnya metode adalah struktur yang dapat membekukan dan memanipulasi unsur-unsur yang memudahkan prosedur tanya- jawab, sedangkan proses dialogis dan reflektif tidaklah demikian Gadamer, 2004: 561-562. Di samping itu tidak semua ilmu pengetahuan kemanusiaan dapat diterapi melalui suatu metode tertentu, kesusasteraan dan seni tidak dapat diterapkan melalui metode itu, dan dalam hal ini hermeneutika dapat membantu dalam memahami dan menafsirkan pada domain ilmu- ilmu tersebut. Dalam pengembangan model hermeneutika Gadamer, yang sangat mena rik adalah konsep “permainan” yang menempatkan mahasiswa sebagai bagian dari permainan, karena dalam hermeneutika model Gadamer yang terpenting bukan pemainnya, tetapi permainannya, di mana “permainan” dapat dijadikan kerangka berpikir dalam proses memahami yang menjadi pokok tujuan hermeneutika. “Permainan” sebagaimana yang dimaksudkan Gadamer selalu mendampingi penafsir pada saat menghadapi objek-objek yang dihadapi, 10 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu walaupun kebanyakan hal ini tidak disadarinya. Sebagai contoh: ketika pemain bermain catur umpamanya, umumnya pemain tidak menyadari bahwa permainan itu diciptakan untuk sebuah aktivitas tertentu. Namun sebaliknya para pemain catur itu sendiri begitu serius dan larut dalam permainan itu sehingga permainan tersebut menguasai aktivitas mereka sebagai pemain catur. Subjek “permainan” yang sebenarnya bukanlah para pemainnya, melainkan permainannya sendiri Gadamer, 1985: 92. Dalam hal ini siapa-pun yang ikut bermain harus betul-betul larut dalam “permainan” itu. Begitu-pun setiap “permainan”, mempunyai aturan atau dinamikanya sendiri yang bersifat independen terhadap kesadaran para pemainnya. Walaupun demikian, untuk bermain dengan baik yang harus dilakukan pemain, pertama-tama harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan dan dinamikanya. Setelah menguasai aturan-aturan dan dinamika “permainan” tersebut, maka pemain akan menyadari adanya aturan-aturan tersebut sekaligus tidak menyadarinya bahwa ini hanyalah sebuah “permainan”. Di sinilah Gadamer menolak hermeneutika dipersepsikan sebagai metode, meskipun baginya hermeneutika adalah sebuah cara untuk mendapatkan “pemahaman” namun ia tetap tidak menyatakan sebagai metode. Pernyataan ini terungkap dalam karyanya yang berjudul Philosophical Apprenticeships atau “Magang Filsafat” 1985. Dalam retorikanya ia kemukakan: “Dapatkah tujuan sebuah metode menjamin kebenaran? Filsafat harus menuntut sains dan 11 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu metodenya supaya mengenali dirinya sendiri terutama dalam konteks eksistensi manusia dan penalarannya ” Gadamer, 1985: 179. Selain itu Gadamer begitu intens perhatiannya terhadap seni meliputi; bildung, sensus communis, pertimbangan, dan taste atau selera. Baginya hermeneutika ad alah „seni‟, bukan proses mekanis. Karena itu, jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutika, maka pemahaman tidak dapat dijadikan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutika hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni. Sedangkan dalam berpikir tentang seni terdapat intuisi maupun imajinasi serta spekulasi. Oleh karena itu dalam proses hermeneutika hampir dapat dipastikan tidak dapat diramalkan sebelumnya. Aktivitas dalam hermeneutika harus menghasilkan suatu esensi batiniah yang dalam, yang merupakan realitas utama yang dianggap benar. Esensi dalam hal ini harus dipahami dan diungkapkan. Adalah keharusan hermeneutika untuk melaksanakan secara rekonstruktif. Hal ini berarti peneliti yang menciptakan suatu karya paling tidak harus dapat mendekati konstruksi yang ideal. Dengan demikian, bila pernyataan Gadamer tersebut diinterpretasi, maka berarti kedua belah tangan hermeneutik sejarah harus penuh kreativitas, sebab realitas dan manusia selalu berkembang dan berubah. Namun ia juga mengatakan bahwa perilaku sejarah terhadap jiwa masa lampau tidak hanya terdiri dari penyempurnaan atau pembaharuan kehidupan masa lampau saja, melainkan juga terdiri dari mediasi yang setia 12 Desvian Bandarsyah, 2014 Pengembangan pendekatan hermeneutika model gadamer dalam pembelajaran sejarah studi fenomenologis pada mahasiswa Program studi pendidikan sejarah uhamka dan unj Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu terhadap kehidupan kontemporer, sehingga manusia yang mempelajari sejarah dapat menangkap dan memahami bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah sebagai kontekstualisasi yang memberikan makna bagi kehidupan dirinya dan manusia lainnya. Oleh karena itu narasi sejarah tidak boleh kering-kerontang, rigid, dan terlalu bersifat tekstual. Karena interpretasi bukanlah sekedar sesuatu yang ditambahkan atau dipaksakan masuk ke dalam pemahaman. Namun sebaliknya “memahami” berarti mendayagunakan apa saja yang dikumpulkan dari panca indera dan semangat intuisi dan imajinasi penafsir untuk memberi keutuhan kepada teks maupun narasi sejarah dari proses intelektual penafsir. Inilah sebabnya yang mendorong peneliti untuk mengkaji Pengembangan Pendekatan Hermeneutika Model Gadamer dalam Pembelajaran Sejarah Studi Fenomenologi pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah di UHAMKA dan UNJ. Penelitian ini menjadikan mahasiswa sebagai subjek yang bernalar dan menafsirkan teks sejarah dalam dimensi sosio-kultural yang dihadapi mahasiswa dalam kehidupannya, sehingga tugas sejarah di tangan mahasiswa menjadi lebih layak dan bermakna bagi kehidupannya dan masyarakatnya.

B. Identifikasi Masalah