Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H.,M.Si.

1. Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H.,M.Si.

Bahwa ada dua perspektif terhadap pasal-pasal UU Kehutanan yang diuji materi. Pertama, Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU Kehutanan yang menyatakan bahwa pada prinsipnya hutan adat adalah bagian dari hutan negara, maka hal tersebut secara parsial dan tekstual dinilai meniadakan hutan adat. Kedua, menyangkut keberadaan masyarakat hukum adat, dipandang secara parsial dan tekstual, maka dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat 3, Pasal 5 ayat 3 dan ayat 4, dan Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan dinilai meniadakan keberadaan masyarakat hukum adat; Bahwa Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menyebutkan bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan negara yang berada dalam lingkungan masyarakat hukum adat. Jika dikaitkan dengan Pasal 5 ayat 3 dan ayat 4 UU Kehutanan, maka hutan adat akan ditetapkan apabila masyarakat hukum adat sebagai subjek pemegang hak atas hutan adat diakui keberadaannya. Apabila menggunakan penafsiran contrario, maka pengelolaan hutan adat akan kembali kepada Pemerintah jika masyarakat hukum adat sudah tidak ada lagi; Bahwa dengan memahami secara komprehensif Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat 3 dan ayat 4 UU Kehutanan, sangat jelas bahwa eksistensi hutan adat tetap diakui dan pengakuan tersebut diberikan jika masyarakat hukum adatnya ada. Pengelolaannya pun diberikan kepada masyarakat hukum adat yang ada; Bahwa persyaratan eksistensi masyarakat hukum adat tercantum dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Pasal 4 ayat 3 dan Pasal 67 UU Kehutanan. Persyaratan tersebut merupakan konsekuensi dari konsep negara kebangsaan, yang berarti mengakui keberadaan masyarakat, kelompok, dan masyarakat hukum adat sebagai komponen pembentuk bangsa dan negara. Namun perlu dipahami pula komitmen kesatuan, yang berarti eksistensi masyarakat hukum adat tidak boleh eksklusif seperti ketika Indonesia belum merdeka; Bahwa diperlukan Undang-Undang mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat. Berkaitan dengan konteks UU Kehutanan, undang-undang tersebut tidak menyalahi UUD 1945. Namun persoalannya adalah semangat yang ada di dalam UU Kehutanan tidak terinternalisasi ke dalam lingkungan-lingkungan instansi sektoral, sehingga tidak pernah dikembangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih konkret. Akibatnya muncul pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Instansi sektoral saling menunggu untuk menyatakan masyarakat hukum adat yang mana yang ada;

2. Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H.