Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H.,M.H.

pada tataran operasional melainkan emboded dalam norma, pemaknaan dan landasan berfikir dalam pengelolaan hutan; Pengembalian status hutan adat sebagai hak bawaanhak asal-usulhak asasi masyarakat adat menjadikan hutan adat setara dengan hutan hak yang secara empiris terbukti mampu berkembang, karena mempunyai pilihan-pilihan dalam menangkap berbagai ragam insentif yang tersedia. Kepastian hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat bukan hanya menjadi modal sosial bagi perwujudan pengelolaan hutan adat secara lestari, namun juga dapat meredam konflik maupun mengurangi open access semua hutan di Indonesia;

4. Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H.,M.H.

Bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta menciptakan perdamaian yang abadi. Ideologi ini dikonkritkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dua kata kunci, yakni “dikuasai oleh negara” dan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” menjadi bagian penting yang harus dipahami secara utuh; Bahwa UUD 1945 secara eksplisit memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, yang diuraikan pula dalam Pasal 28I ayat 3 UUD 1945 mengenai identitas dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban; Bahwa ada beberapa kriteria masyarakat hukum adat. Pertama, kelompok orang yang karena ikatan genealogis atau teritorial, atau kombinasi dari genealogis, yang hidup secara turun-temurun dan bertahun-tahun, serta bergenerasi dalam satu kawasan tertentu dengan batas-batasnya yang jelas menurut konsep batas mereka tidak menggunakan konsep BPN batas dari BPN. Kedua, masyarakat hukum adat memiliki sistem pemerintahan adat dan lembaga penyelesaian sengketa sendiri. Ketiga, masyarakat hukum adat memiliki norma-norma hukum adat yang mengatur kehidupan warganya. Keempat, memiliki sistem religi dan kepercayaan, serta tempat tertentu yang disakralkan; Bahwa dalam paradigma pembangunan economic growth development, ada dua dimensi penting yang harus diperhitungkan dan harus seimbang dilakukan, yaitu dimensi target dan dimensi proses. Hasil pembangunan nasional lebih berorientasi pada pembangunan fisik, namun ongkos pembangunan harus dibayar mahal dan tidak pernah dihitung sebagai hasil pembangunan nasional. Menyangkut konteks ini, terdapat tiga klasifikasi. Pertama, ongkos pembangunan yang mahal dan tidak pernah dihitung sebagai hasil pembangunan adalah ecological degradation kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam. Kedua adalah economical lost, sumber-sumber kehidupan ekonomi masyarakat di daerah semakin menyusut dan menghilang akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan. Ketiga, berkaitan dengan faktor manusia, dimana social and cultural distraction tidak pernah dihitung. Poin ini akan mengarah pada bagaimana instrumen hukum yang mendukung pembangunan nasional; Bahwa dilihat dari sisi politik pembangunan hukum nasional, hukum adalah instrumen yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional. Ada kecenderungan yang bisa dicermati dari perspektif akademik, yang disebut sebagai political of indigenous ignorance politik pengabaian. Dalam konteks Indonesia, masyarakat asli disebut sebagai komunitas masyarakat hukum adat. Politik pembangunan nasional termasuk pembangunan mengabaikan, memarjinalisasi, dan menggusur keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. Dalam bukunya yang berjudul “Victims of development”, John Bodley menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan menimbulkan korban-korban pembangunan; Bahwa Pemohon mengajukan pasal-pasal yang berkaitan dengan cerminan political of ignorance menyangkut hak-hak masyarakat hukum adat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Secara konkrit, hal ini berkaitan dengan pengabaian hak atas penguasaan hutan komunal adat; Bahwa Ahli menyebutkan hutan adat tidak diakui sebagai satu entitas hukum legal entity yang sama dan setara, sejajar status hukumnya dengan hutan negara dan hutan hak. Karena Pasal 5 menyebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya hanya sebatas hutan negara dan hutan hak; Bahwa pada tahun 1999, Ahli dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup Yayasan Telapak, Elsam, Walhi, FKKM, dll memperjuangkan untuk memasukkan satu entitas hukum yang berkaitan dengan status hutan dalam pasal Rancangan Undang-Undang yang sekarang menjadi UU Kehutanan, sehingga hutan tidak hanya meliputi hutan negara dan hutan hak, tetapi juga hutan komunal adat. Fakta menunjukkan bahwa hutan komunal adat masih ada. Namun Ahli mempertanyakan, di manakah posisi hukum hutan komunal adat sebagai legal entity yang sama, setara dan sejajar statusnya dengan hutan hak dan hutan negara; Bahwa Ahli berpendapat, hutan komunal adat dikooptasi sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah hidup masyarakat hukum adat. Implikasi hukum yang muncul adalah: 1 status hutan adat bukan sebagai entitas hukum yang sama dengan hutan negara dan hutan hak; 2 tidak adanya kepastian status hukum mengenai hutan adat legal security uncertainty; 3 Pemerintah yang diterjemahkan sepihak, tunggal, dan sempit sebagai representasi negara, dapat dengan leluasa dan semena- mena melakukan perbuatan hukum terhadap hutan adat berdasarkan kewenangan yang diberikan undang-undang dan hal itu terjadi; Bahwa secara normatif, dilihat dari perspektif pengaturannya dalam UU Kehutanan, kata ‖sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya‖ mencerminkan apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan kembali kepada Pemerintah. Berkaitan dengan cerminan UU Kehutanan tersebut, Ahli sangat yakin bahwa yang membuat pengaturan seperti itu belum pernah datang dan hidup bersama dengan masyarakat hukum adat di daerah. Pembuat peraturan tersebut tidak bisa memahami secara utuh bagaimana kehidupan masyarakat hukum adat dengan norma-norma yang dimiliki, struktur pemerintahan adatnya, dan bagaimana masyarakat hukum adat memiliki kearifan lingkungan untuk menjaga habitat suatu ruang hidupnya secara bijak dan berkelanjutan; Ahli menilai bahwa Pasal 1 angka 6 dan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian sampai Pasal 67 UU Kehutanan secara ekplisit mencerminkan pengakuan hukum yang semu, basa-basi, dan tidak hakiki; Bahwa masyarakat hukum adat wajib memperoleh pengakuan yang hakiki secara konstitusional dan hukum genuine constitutional and legal recognition dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; Bahwa berkaitan dengan hubungan antara Pemerintah dan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam, terdapat dua prinsip penting. Pertama, precautionary principle, yakni hutan sebagai satu sistem ekologi dan sistem kehidupan. Pengelolaan perlu dilakukan secara hati-hati karena jika dipandang sebagai sistem kehidupan, maka hutan tidak hanya terdiri dari batu, pasir, pohon, flora, fauna, sungai, air, danau, tetapi ada manusia di dalamnya. Lynch Owen pernah mengemukakan kecenderungan dalam pembangunan hutan di negara-negara di Asia dan di Lautan Pasifik yang cenderung melihat hutan sebatas hutan yang kosong empty forest. Artinya, hutan itu hanya tegakan-tegakan kayu yang dilihat sebatas nilai ekonominya saja. Kedua, free and prior informed consent, yakni masyarakat hukum adat adalah entitas hukum yang sama dan setara dengan kedudukan subjek hukum lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat adat memiliki kearifan lingkungan. Hal ini sudah dibuktikan. Masyarakat hukum adat tidak mungkin merusak lingkungannya karena hutan merupakan sumber kehidupan. Selain mempunyai nilai ekonomi bagi masyarakat hukum adat, hutan juga mempunyai nilai sosial dan religius magis. Ada norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan tertentu yang digunakan untuk menjaga dan mengkonservasi hutan agar memberi kehidupan yang berkelanjutan; Bahwa masyarakat hukum adat wajib diberi informasi dan diajak bicara terlebih dahulu. Masyarakat hukum adat memiliki kebebasan untuk menerima, memberi persetujuan, atau menolak kebijakan keputusan Pemerintah yang akan dilakukan dalam wilayah ulayat masyarakat hukum adat. Prinsip ini belum tertuang dalam produk atau instrumen hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, dimana ada hubungan penting antara pemerintah dan rakyat. Namun, Ahli menemukan prinsip ini dalam konvensi PBB tentang biological diversity yang sudah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati. Hal ini juga menjadi prinsip global yang tercermin dalam Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio de Jainero 1992; Bahwa Ahli menunjukkan fakta atau kondisi empiris yang terjadi terhadap hutan di Indonesia. Dahulu terdapat hutan tropis basah yang dikenal di dunia, namun sekarang sudah menjadi semak-belukar yang rentan terbakar pada setiap musim kemarau. Kondisi ini bisa ditinjau dari beberapa perspektif. Ahli ilmu kehutanan akan mengatakan bahwa pengelolaan hutan tidak memenuhi kaidah-kaidah ilmu kehutanan. Ahli ekonomi akan mengatakan bahwa ada miss management dalam pengelolaan hutan. Sementara, ahli hukum akan mengatakan bahwa faktor hukum dan kebijakan Pemerintah mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan, khususnya sumber daya hutan; Bahwa Ahli mengemukakan di setiap musim kemarau terjadi kebakaran bekas kawasan hutan yang sudah habis kayunya. Hal ini juga terjadi karena eksploitasi pertambangan. Oleh karena itu, maka diwajibkan perlindungan dan penghormatan mengenai hak-hak keberadaan dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat;

5. Dr. Maruarar Siahaan, S.H.