PUTUSAN MK NO.35 PUU X 2012 MENGGESER CO (1)

PUTUSAN MK NO.35/PUU-X/2012:
MENGGESER CORAK NEGARA HUKUM INDONESIA1
Rikardo Simarmata2
Pemahaman dominan atas putusan MK NO.35/PUU-X/2012 memandang bahwa kontrol
negara dibatasi atau bahkan ditiadakan atas hutan adat. Dalam perspektif tenurial, hal tersebut
sekaligus bermakna bahwa negara tidak lagi bisa menentukan siapa yang boleh
memanfaatkan sumberdaya apa di kawasan hutan adat. Sebagai pernyataan hukum yang
belum bersifat operasional, sejumlah elemen masyarakat sipil sedang berpikir keras
bagaimana menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah)
tersebut memberi dampak atau efek pada masyarakat adat, terutama yang selama ini menjadi
korban dari pemberlakukan ketentuan yang mengatakan hutan adat bagian dari hutan negara.
Tindakan-tindakan yang berusaha membuat putusan tersebut mendatangkan efek, mulai dari
yang bersifat legal sampai extra legal. Tindakan-tindakan yang berada dalam ranah legal pada
pokoknya mendorong bergeraknya (administrasi) implementasi hukum. Termasuk di dalam
administrasi implementasi tersebut adalah pembuatan peraturan pelaksana atau peraturan
administratif.
Tulisan ini mencoba menggali perspektif lain untuk memahami putusan MK tersebut
yaitu membawanya ke dalam diskusi mengenai ide konstitusionalisme. Sebagian ide
konstitusionalisme tercakup dalam diskusi mengenai konsep negara hukum. Istilah ‘negara
hukum’ dalam hal ini dipakai untuk merujuk pada istilah ‘rule of law’, bukan pada
‘rechtstaat’ (law state). Bila merujuk pada pertimbangan-pertimbangan hakim, putusan MK

NO.35/PUU-X/2012 sangat berkaitan dengan ide atau konsep negara hukum karena
berorientasi untuk membatasi kekuasaan negara atas warga negara dalam hal ini kelompok
masyarakat adat. Secara yuridis keterkaitan tersebut berasal dari pasal-pasal rujuk dalam
UUD 1945 yang dirujuk, dimana sebagian dari pasal tersebut menyangkut elemen formal
dan substantif negara hukum.

1

Disampaikan dalam ‘FGD Keputusan MK 35 tahun 2012 dan Implikasinya dalam
Pengelolaan Kehutanan di Provinsi Kalimantan Timur’, The Asia Foundation&Prakarsa
Borneo, Balikpapan, 8 Juli 2013.
2
Anggota Perkumpulan HUMA dan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada.

1

Dalam kaitan dengan mengangkat ide atau konsep negara hukum, putusan MK
NO.35/PUU-X/2012 sebenarnya merupakan lanjutan dari kecenderungan MK membatasi
kekuasaan negara atas warga negara. Dua putusan sebelumnya yang bernada serupa adalah

putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 dan putusan No. 45/PUU-IX/2011. Selain mengangkat ide
negara hukum dalam arti luas, ketiga putusan tersebut pada saat bersamaan berusaha
menggeser negara hukum Indonesia dari yang bercorak formal ke substantif. Tulisan ini akan
melihat secara sekilas bagaimana ide negara hukum mengemuka dalam putusan tersebut.
Bagian terakhir tulisan ini menganalisis implikasi pada tataran implementasi dikemukakanya
ide negara hukum dalam putusan-putusan tersebut.
Konsep negara hukum
Konsep negara hukum sejatinya adalah pemikiran mengenai moral politik. Pemikiran ini
mendalilkan bahwa kekuasaan (politik) harus dibatasi agar tidak digunakan secara sewenangwenang atau semena-mena sehingga menyebabkan terlanggarnya hak-hak asasi warga negara
tertentu. Karena kekuasaan yang bisa menyebabkan dilanggarnya hak-hak dasar warga
negara tidak hanya yang berada dalam genggaman negara namun juga pada kelompok sipil
tertentu, maka pembatasan tersebut juga berlaku bagi elemen atau aktor-aktor non negara.
Aturan main untuk melakukan pembatasan kekuasaan tersebut dinyatakan dalam aturan yang
bernama hukum. Ide yang menjadikan aturan hukum sebagai pengikat atau rujukan ini
dilawankan dengan ide yang menjadikan perkataan atau titah penguasa sebagai penentu (rule
by men).
Dari segi elemen, negara hukum dibagi ke dalam elemen formal atau prosedural dan
elemen substantif. Elemen formal mencakup diantaranya: (i) tindakan negara tunduk pada
hukum; (ii) aturan hukum jelas dan pasti, (iii) demokrasi; dan (iv) independensi peradilan.
Adapun elemen substantif biasanya dihubungkan dengan perlindungan hak-hak asasi

manusia, keadilan dan moral. Sebuah negara tetap dapat mengklaim diri sebagai negara
hukum sekalipun hanya memiliki elemen formal seperti yang sering dilakukan oleh negaranegara otoriter. Negara semacam ini biasanya dikatakan sebagai penganut negara hukum
dalam arti sempit yaitu negara didasarkan pada hukum (rule by law). Dalam negara semacam
ini, pemerintah dapat menjelaskan bahwa semua tindakannya didasarkan pada aturan hukum
yang berlaku. Akan tetapi aturan hukum yang berlaku tersebut tidak melindungi hak asasi
warga negara atau tidak mengandung prinsip keadilan dan moral.

2

Putusan Mahkamah Konstitusi
Pada putusan MK bernomor 45/PUU-IX/2011, para Pemohon menguji konstitusionalitas
Pasal 1(3) UU No. 41/1999 yang dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27(1), Pasal 28D(1),
Pasal 28F, dan Pasal 28I(1&2) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
para Pemohon untuk seluruhnya. Bila disarikan, argumen dasar Mahkamah untuk
menyatakan Pasal 1(3) bertentangan dengan UUD 1945 bahwa tahapan penunjukan dalam
pengukuhan hutan dapat membahayakan hajat hidup orang banyak karena dilakukan dengan
cara tidak menyertakan pemangku kepentingan yang memiliki hak-hak perorangan dan
kolektif. Tindakan pununjukan yang demikian dapat dikatakan sebagai tindakan otoriter dan
hanya berlandaskan pada kewenangan diskresi.
Pada putusan MK No. 34/PUU-IX/2011, para Pemohonan berargumen bahwa Pasal

4(2&3) UUK bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Atas permohonan Pemohon, Mahkamah mengabulkannya
untuk sebagian. Dengan merujuk kembali pendapatnya pada putusan No. 32/PUU-VIII/2010
dan No. 45/PUU-IX/2011, Mahkamah menegaskan ulang bahwa penetapan suatu kawasan
hutanan maupun perkebunan perlu melibatkan masyarakat dalam rangka memenuhi hak-hak
konstitusional masyarakat seperti hak untuk bekerja, hak atas lingkungan yang baik dan
sehat, hak untuk bertempat tinggal dan mempunyai hak milik pribadi. Pelibatan tersebut pada
akhirnya akan memungkinkan pemerintah untuk memperhatikan hak-hak masyarakat adat
dan hak atas tanah masyarakat yang diberikan berdasarkan peraturan perundangan.
Adapun pada putusannya bernomor 35/PUU-X/2012, MK mengabulkan permohonan
para Pemohon untuk sebagian. Para Pemohon berargumen bahwa Pasal 1 Angka 6, Pasal 4
Ayat (3), Pasal 5 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), serta Pasal 67 Ayat (1), Ayat (2),
dan Ayat (3) UU No. 41/1999 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2),
Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28I Ayat (3), dan Pasal 33
Ayat (3) UUD 1945.
Pengeluaran hutan adat dari hutan negara didasarkan pada pemikiran bahwa konstitusi
mengamanatkan negara untuk menyediakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia yang dimaksud terdiri dari berbagai kelompok
dan golongan, termasuk kelompok masyarakat adat. Dengan merujuk Pasal 18B(2) UUD
1945, Mahkamah beranggapan bahwa sama dengan kelompok atau golongan lain Rakyat

3

Indonesia, masyarakat adat adalah subyek hukum dan dengan demikian merupakan
penyandang hak. Konsekuensi status masyarakat adat sebagai subyek hukum bahwa
masyarakat adat juga harus diperhatikan dalam kebijakan pendistribusian sumberdaya alam.
Dalam kaitan dengan pendistribusian tersebut, Mahkamah menyinggung putusannya
bernomor 3/PUU-VIII/2010 mengenai permohonan uji materiil UU No. 27/2009 tentang
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada putusan tersebut Mahkamah mengatakan
bahwa yang menjadi ukuran utama bagi negara untuk menentukan pengurusan, pengaturan
atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah
‘dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’. Selanjutnya dalam putusan
tersebut Mahkamah menentukan 4 tolak ukur untuk memeriksa ‘dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat’, yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat,
(ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat
dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat
secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Dalam putusannya bernomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah menganggap bahwa UU
Kehutanan tidak memiliki semangat konstitusional seperti yang disebutkan di atas. Menurut
Mahkamah UU Kehutanan mendiskriminasi masyarakat adat ketika mengatur mengenai
pengurusan, pengaturan atau pengelolaan sumberdaya hutan. UU Kehutanan mengatur secara
jelas hak atas tanah dan hutan kepunyaan negara dan perorangan namun tidak mengatur

secara jelas hak atas dan hutan masyarakat adat. Akibatnya masyarakat adat kehilangan hakhak dasarnya atas sumberdaya hutan termasuk hak-hak tradisionalnya. Akibat lainnya dari
ketentuan yang tidak jelas tersebut bahwa masyarakat adat tidak bisa mendapatkan kepastian
hukum dengan demikian tidak bisa mendapatkan keadilan. Dalam hal ini Mahkamah secara
implisit setuju dengan argumen para Pemohon yang mendalilkan bahwa dengan dimasukan
sebagai bagian dari hutan negara maka negara dapat memberikan hak atau izin kepada pihak
lain pada wilayah atau hutan adat masyarakat adat tanpa sepersetujuan masyarakat adat.
Pasca pengeluaran hutan adat dari hutan negara, Mahkamah mengkonstruksi
hubungan antara hutan adat dengan pemerintah atau dengan kata lain kewenangan
pemerintah atas hutan adat. Mahkamah mengumpamakan hubungan tersebut dengan
hubungan hak perorangan dengan hak bersama (hak ulayat) dalam masyarakat adat. Hak
masyarakat adat atas hutan akan menipis atau bahkan menghilang apabila masyarakat adat
dalam perkembangannya menghilang. Dalam keadaan demikian, hak pengelolaan atas hutan
adat kembali kepada pemerintah. Dengan demikian kewenangan pemerintah atas hutan adat

4

bersifat terbatas. Kewenangan pemerintah atas hutan adat selanjutnya hanya bersifat publik
dan dengan demikian tidak bisa berperilaku sebaga pemilik hak.
Menyimak intisari ketiga putusan MK di atas dapat dikatakan bahwa Mahkamah
sedang mengoreksi kekuasaan legislatif atas ratusan juta hektar kawasan hutan yang telah

berusia lebih kurang 30 tahun. Mahkamah melihat bahwa kekuasaan tersebut, sekalipun
secara formal memiliki dasar hukum, namun memiliki masalah secara substantif. Hal
substantif yang dimaksud oleh Mahkamah adalah hak-hak dasar perorangan dan kelompok.
Dampak dari pengingkaran hal substantif tersebut adalah negara tidak menghadirkan secara
nyata tujuan bernegara pada kelompok masyarakat adat seperti kesejahteraan umum dan
keadilan.
Bila disimak lebih cermat dari perspektif ide atau konsep negara hukum, koreksi
sekaligus pembatasan lembaga peradilan (baca: Mahkamah Konstitusi) dalam ketiga putusan
tersebut pada kekuasaan legislatif dilakukan baik melalui elemen formal maupun substantif
negara hukum. Putusan pertama dan kedua menekankan soal mutlaknya peranserta
masyarakat dalam pengukuhan kawasan hutan. Dalam hal ini Mahkamah menyinggung
indikator Demokrasi dari elemen formal negara hukum. Indikator Demokrasi secara esensial
mengharuskan adanya konsensus antara pengelola negara/pemerintah dengan publik dalam
pembuatan aturan hukum dan kebijakan. Mahkamah berpikir bahwa tidak disertakannya
perorangan dan kelompok yang memiliki hak dalam pengukuhan kawasan hutan telah
menyebabkan pemerintah menghormati tidak hak-hak tersebut dan tidak bisa mencegah
dampak buruk dari pengukuhan kawasan hutan.
Pada putusan ketiga, Mahkamah menyinggung mengenai ketidakjelasan pada hak
masyarakat adat atas tanah dan hutan yang pada akhirnya mendatangkan ketidakpastian
hukum kepada masyarakat adat. Dalam hal ini Mahkamah menyinggung mengenai indikator

Aturan Hukum Jelas dan Pasti dari elemen formal negara hukum. Esensi indikator ini adalah
bahwa aturan hukum yang berlaku harus berlaku umum, jelas, konsisten dan bisa diprediksi.
Dampak yang ditimbulkan bila suatu sistem hukum alpa dengan indikator tersebut adalah
ketidakpastian dan ketidaksetaraan (baca: diskriminasi).
Terlepas dari dua indikator elemen formal negara hukum yang disinggung dalam
ketiga putusan tersebut, Mahkamah sebenarnya lebih menaruh perhatian pada elemen
substantif negara hukum dalam ketiga putusan tersebut. Pada kasus pertama dan kedua,
Mahkamah tidak memungkiri bahwa aturan hukum mengenai pengukuhan kawasan hutan
telah tersedia. Namun, Mahkamah melihat bahwa substansi aturan hukum tersebut
bermasalah karena memungkinkan perorangan dan kelompok (termasuk masyarakat adat)
5

kehilangan hak-hak konstitusionalnya. Pada kasus ketiga, Mahkamah mengulangi argumen
yang sama dan menambahkan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat akibat
perlakuan tidak setara dengan subyek hukum yang lain.
Diangkatnya elemen substantif dalam ketiga putusan di atas menyebabkan corak
negara hukum dalam pengurusan, pengaturan dan pengelolaan sumberdaya hutan tidak lagi
didominasi elemen formal. Ketentuan-ketentuan baru yang lahir dari ketiga putusan tersebut
menyuntikan kandungan elemen substantif pada UU Kehutanan. Apa implikasi dari
kehadiran elemen substantif tersebut pada administrasi (implementasi) hukum UU

Kehutanan?
Implikasi pada implementasi
Administrasi (implementasi) hukum yang dimaksudkan di sini tidak hanya yang
dilakukan oleh pengelola pemerintah tetapi juga oleh masyarakat adat. Elemen substantif
yang disuntikan Mahkamah ke dalam UU Kehutanan tidak hanya untuk diimplementasikan
oleh pemerintah melainkan juga oleh masyarakat adat. Hal itu terjadi karena masyarakat adat
adalah institusi yang menyelenggarakan pengaturan (self-governing community) yang
menjalankan kewenangan publik. Dalam kedudukannya yang demikian, dalam institusi
masyarakat terdapat otoritas yang diberi kekuasaan menjalankan pengaturan. Secara
normatif, otoritas tersebut tentu saja harus tunduk pada kaedah-kaedah negara hukum agar
tidak mendatangkan tindakan semena-mena pada anggota masyarakat adat.
Harus diakui bahwa putusan MK No. 35/PUU-X/2012, dari kaca mata doktrinal
memang masih menyisakan sejumlah ketidakjelasan atau kekaburan. Misalnya mengenai
prosedur penetapan hutan adat, alas hak atas tanah atas hutan adat dan kewenangan
pemerintah atas hutan adat. Adalah tugas lembaga pembuat legislasi dan regulasi yang harus
memperjelas kekaburan tersebut. Terlepas dari kekaburan-kekaburan tersebut putusan MK
No. 35/PUU-X/2012 menghendaki lembaga pembuat dan pelaksana undang-undang
meninggalkan faham paternalisme dan proteksionisme terhadap masyarakat adat. Kedua
faham tersebut memiliki pandangan dasar yang sama yaitu memperlakukan masyarakat adat
sebagai kelompok terkebelakang yang tidak berstatus sebagai pemangku hak dalam faham

liberalisme. Dengan menyatakan masyarakat adat sebagai penyandang hak, putusan MK
tersebut secara persis menolak kedua faham tersebut dan sekaligus memberikan prediket
kepada masyarakat adat sebagai entitas yang memiliki otonomi. Pengakuan tersebut sekaligus
menolak doktrin hukum yang menghendaki sumberdaya masyarakat adat dimasukan ke
dalam sumberdaya negara sebagai konsekuensi dari konsep hak menguasai negara.
6

Seperti sudah disebutkan di atas putusan MK No. 35/PUU-X/2012 memberikan
kewenangan kepada masyarakat adat untuk mempraktekan kewenangan publiknya di atas
hutan adat. Peran semacam itu menghendaki ada otoritas dalam masyarakat adat yang
menjalankan kekuasaan. Pemberian kewenangan publik pada masyarakat adat sekaligus juga
berisi tanggung jawab untuk menjalankan ‘pemerintahan adat’ yang bersesuaian dengan ide
atau konsep negara hukum. Dengan kata lain, dalam menjalankan kekuasaan, otoritas publik
dalam masyarakat adat juga harus menerapkan semangat konstitusionalisme. Tentu saja tidak
mudah untuk mewujudkan hal tersebut mengingat ide negara hukum tidak selalu bersesuaian
dengan ide berorganisasi politik menurut masyarakat adat. Elemen-elemen paternalistik dan
kecenderungan melakukan eksklusifisme merupakan dua hal yang sangat tidak bersesuaian
dengan ide negara hukum yang menolak pemusatan kekuasaan, aturan berbasis status atau
orang dan ketidaksetaraan.
Potensi ketidaksesuaian antara ide negara hukum dengan ide berorganisasi politik

menurut masyarakat adat tidak selalu harus dilihat sebagai sesuatu yang antagonistik. Kajiankajian politik dan antropologi kontemporer sudah mulai menjelaskan budaya politik
paternalistik bukan dengan cara menilainya melainkan memahaminya. Hasilnya adalah
sebuah pandangan awal bahwa budaya paternalistik bukan penyakit bagi ide negara hukum
atau modernisasi melainkan sesuatu yang bisa diresepsi di dalamnya. Pandangan awal
semacam ini masih perlu dijelaskan lebih terurai dan dicarikan contoh-contoh nyatanya
dalam praktek. Dengan demikian, aplikasi ide negara hukum dalam mengakui status hukum
masyarakat adat dan hutan adat tidak akan bertentangan dengan cara masyarakat adat
menyelenggarakan kewenangan publik.

7