6 Pada saat ini, telah terdapat kemauan politik dari segala pihak, baik dari kesatuan masyarakat adat, maupun dari Pemerintah, untuk
mencari solusi yang sebaik-baiknya dari konflik vertikal tentang hutan adat ini, antara lain dengan membentuk Rancangan Undang-Undang
Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Kesatuan Masyarakat Adat yang sudah termasuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2012;
b. Saran 1 Mahkamah Konstitusi menerima petitum dari para Pemohon;
2 Menjelang diundangkannya Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Kesatuan Masyarakat Adat yang sedang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, memutuskan agar pasal-pasal yang dimohonkan
dalam Uji
MateriIl ini
ditinjau kembali
dan diharmonisasikan dengan original intent para pendiri negara, dengan
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta dengan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945;
3 Memutuskan agar materi pengakuan terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat dipisahkan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 ini, untuk diatur sepenuhnya oleh Undang-Undang Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Kesatuan Masyarakat Adat;
2. Noer Fauzi Rachman
Bahwa Ahli memberikan keterangan yang diberi judul “Meralat Negaraisasi
Tanah Adat”. Negaraisasi adalah proses dimana tanah kekayaan alam dan wilayah adat ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kategori khusus tanah
negara, hutan negara, yang kemudian atas dasar kewenangan legalnya, Pemerintah Pusat memberikan konsesi-konsesi dengan asumsi pada badan
usaha-usaha konservasi produksi maupun ekstraksi; Akibatnya ketika badan-badan usaha konservasi bekerja di lapangan, maka
terjadi bentrok. Klaim bertentangan antara badan-badan usaha itu dengan masyarakat-masyarakat adat setempat. Ketika klaim tersebut sampai pada
tindakan berusaha menghilangkan klaim pihak lain, maka terjadi konflik agraria yang bersifat struktural, meluas, dan kronis karena sudah bertahun-
tahun. Dalam konteks ini, dampak yang meluas adalah tanah masyarakat adat dimasukkan dalam izin hutan tanam industri yang diberikan oleh
menteri. Contohnya kasusnya adalah Bentian, Manggarai, Mesuji, dan Pulau Padang;
Bahwa Pemohon meminta konsepsi negaraisasi diganti. Di dalam konsepsi politik hukum, terdapat hak asal-usul, hak bawaan, dan hak berian atau
kewenangan pemerintah. Yang dimaksud dengan hak bawaan dinyatakan dalam Pasal 18 dan 18B UUD 1945, dimana negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa. Selain itu, dikenal suatu kategori baru yang masuk ke
dalam konstitusi yang disebut kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki hak-hak asal-usul;
Bahwa hak berian menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Ketika Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk menetapkan apakah suatu
hutan adat termasuk hutan negara atau bukan, disinilah muncul bentrokan antara penggunaan kewenangan yang berasal dari hak berian undang-
undang dengan hak bawaan penduduk. Dalam konteks ini perlu dipertanyakan yang manakah yang harus didahulukan;
Bahwa adopsi hak asasi manusia kepada konstitusi Republik Indonesia mengutamakan hak asal-usul. Hal ini harus menjadi satu kategori istimewa
yakni kesatuan masyarakat hukum adat. Kategori istimewa ini seharusnya menjadi koreksi terhadap UU Kehutanan yang memasukkan tanah adat
menjadi bagian dari hutan negara; Bahwa UU Kehutanan mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967,
namun konsepsi politik hukumnya yakni hutan dibagi berdasarkan konsepsi milik, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang
menggunakan konsep pihak menguasai negara. Pertentangan ini berangkat dari konsepsi domein verklaring, yang dianut oleh Undang-Undang Agraria
Tahun 1870. Konsepsi domein verklaring beranggapan bahwa barang siapa yang tidak bisa menunjukkan bahwa tanah yang didudukinya memiliki hak
eigendom, maka tanah itu adalah milik negara; Bahwa pada tahun 1872, berlaku Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa
dan Madura yang menetapkan suatu wilayah hutan tersendiri bagi Jawa dan Madura. Namun orang-orang dalam hutan tersebut dikriminalisasi. Disinilah
awal mula kriminalisasi akses adat terhadap hutan dan tanah di dalam hutan, yang dianggap sebagai perbuatan kriminal;
Bahwa secara politik pemerintahan Indonesia Departemen Kehutanan, hutan ditetapkan oleh penunjukan menteri melalui prosedur tertentu. Ketika
sudah menjadi wilayah teritorial hutan, maka tidak ada kepemilikan rakyat di situ;
Menurut Ahli, masalah muncul ketika hutan tidak didefinisikan sebagai fungsi ekosistem, tetapi sebagai fungsi ekologi berdasarkan fungsi teritorial dengan
kebijakan publik. Penerapan hutan secara politik political forest menimbulkan korban. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali konsepsi political
forest dan menggantinya dengan pendekatan eksosistem ekologis, di mana hutan didefinisikan sebagai fungsi yang mengaitkan antara unsur hara, unsur
non-hara, unsur hidup flora dan fauna, dan manusia; Bahwa rute transformasi kewarganegaraan masyarakat adat perlu diperbaiki.
Hal ini bukan hanya persoalan keadilan sosial, tetapi juga soal kewarganegaraan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Apabila hak-
hak dasarnya dihilangkan, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat akan mempertanyakan fungsi negara Republik Indonesia. Aspirasi-aspirasi
pembebasan dan kemerdekaan masyarakat hukum adat yang tanahnya dirampas telah berkembang di dalam perasaan masyarakat hukum adat.
Dengan demikian, perlu meralat negaraisasi tanah adat dan memulihkan rute kewarganegaraan masyarakat hukum adat;
3. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. I. Doktrin Scientific Forestry dan Isi Undang-Undang