Tugas 7 Calvein Oroh
TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH
“TEORI AKUNTANSI”
Nama
: Calvein E. Oroh
NIM
: 11 310 905
Kelas/Prodi : Akuntansi 1 (Pend. Ekonomi)
TUGAS 7
Dilema “Laba” Dan Rerangka Teori Political Economy Of
Accounting (PEA)
PENDAHULUAN
Jika kita membaca laporan keuangan, terutama laporan laba rugi, maka item manakah
yang akan mendapat perhatan umum? Jawaban dari pertanyaaan ini dapat beragam, namu n
dapat dipastikan bahwa salah satu jawabannya adalah LABA. Hal ini dapat dilihat dari
beragam publikasi yang sering kita baca dalam media masa yang sering menyajikan laporan
perkembangan laba contohnya saja perkembangan laba BUMN 2001-2005 pada salah satu
kolom utama dihalaman depan dengan menggungkapkan laba dalam kolom dengan heading
”Indikator” pada halaman utama dapat memberikan indikasi arti penting dari laba sebagai
indikator keberhasilan BUMN tersebut. Potret dari gambar ini memberikan gambaran bahwa
kinerja perusahaan yang utama digambarkan adalah tentang bagaimana perkembangan laba
perusahaan pada tahun yang bersangkutan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,
kemudian didukung dengan beragam informasi seperti trend penjualan dan lainnya.
Fenomena serupa telah ditemukan melalui beberapa survey tidak terstruktur, yang
telah dilakukan di beberapa kelas dari beberapa jenjang studi di Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya. Dengan menggunakan beragam skenario seperti laporan
perkembangan laba BUMN yaitu sebagai berikut :
TABEL 1
Laporan Laba/Rugi
Untuk periode yang berakhir 31 Des 20xx (Rp.000)
Keterangan
Penjualan
HPP
Laba kotor
Beban operasi
Laba
bersih
A
100.000
50.000
50.000
75.000
(25.000)
B
100.000
50.000
50.000
50.000
(0)
C
100.000
50.000
50.000
25.000
25.000
D
100.000
25.000
75.000
25.000
50.000
(Rugi)
“Survey” tidak terstruktur tersebut memang cukup sederhana kalau tidak boleh
dikatakan disederhanakan, namun temuannya sudah dapat memberikan indikasi bahwa
mahasiswa akuntansi (setidaknya yang menjawab dalam survey tersebut) memahami laba
dalam konteks yang berbeda. Laba adalah tujuan dan laba adalah “segala-galanya”.
“Pilihan” untuk menjadikan laba sebagai tujuan utama aktivitas bisnis dan
menyajikannya sebagai Bottom Line dalam laopran laba rugi telah memicu tumbuhnya
beragam persoalan sosial yang mendasar seperti praktik-praktik “Manajemen” laba, dan yang
lebih membahayakan praktik-praktik bisnis yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk
laba (keuntungan) sebanyak-banyaknya.
Bila orientasi untuk mencapai laba (maksimal) memang memiliki implikasi
sedemikian parah bukan saja untuk saat ini namum juga untuk masa yang akan datang, tidak
saja untuk masyarakat yang lansung terkait dengan aktivitas bisnis tertentu, namum juga
masyarakat luas, maka masihkah orintasi utama bisnis dalam mengejar laba (maksimal) dan
laporan laba rugi yang menjadikan laba sebagai Bottom Line, yang didasarkan “Ideologi”
ekonomi non-klasik, masih perlu di pertahankan dan di lanjutkan?
Salah satu rerangka teori (Theoretical Framework) dalam ranah akuntansi kritis yang
dikenal degan Political Economy Of Acounting (PEA) memiliki cara pandnag alternatif
dalam melihat fenomena laba. tulisan ini merupakan ekslorasi awal dalam memendang laba
melalui perpektif PEA.
KONSEP DAN TAFSIR LABA
Eksplorasi tentang konsep dan penafsiran atas laba telah banyak dipublikasikan dalam
beragam jurnal dan “dikodifikasi” dalam beragam buku teks Teori akuntansi. Elaborasi dalm
tulisan ini akan di fokuskan pada makna laba yang merupakan terjemahan dari kata earnings,
Profit, atau Net Income. Secara umum dipahami bahwa laba adalah selisih (Lebih) antara
pendapatan dan biaya selama satu periode tertentu. Pada laporan laba rugi konvesional yang
di susun dalam format Single-step Income Statement, dimana seluruh pendapatan dan seluruh
biaya masing-mamsing digabungkan, maka akan dihasilkan beragam tingkatan laba, mulai
dari laba kotor, laba dari hasil operasi, sampai dengan laba bersih.
POLITICAL ECONOMY OF ACCOUNTING
PEA merupakan salah satu rerangka teori dalam ranah studi akuntansi kritis. Studi
kritis, yang kemudian menjadi inspirator studi akuntansi kritis, merupakan bentuk inkuiri
yang berada dalam wilayah naturaistic paradigma. studi kritis dikembangkan berdasar teori
kritis yang diinisiasi pada tahun 1920an oleh para tokoh perintis Frankfurt Institute Of Social
Research (held, 1980; gaffikin, 1989) dll.
Rerangka teori dalam studi kritis telah berkembang sedemikian rupa, diantaranya
Symbolic Interactionism dan Ethnomethodology, Political Economy, Foucauldian, Giddens’
structuration theory dll. Meskiun terdapat beragam perpektif, Lodh dan Graffikin percaya
bahwa ada satu fundamental aspek yang tidak berbeda dalam beragam studi dalam ranah
akutansi kritis.
Studi akuntansi kritis senantiasa dalam konteks tertentu. Dalam bahasa lain akuntansi
dipandang bukan suatu disiplin dalm ruang yang kosong, namun akuntansi berada dalam
konteks organisasi dan masyarakat teertentu. Akuntansi tumbuh dan berkembang dipengaruhi
oleh dan dapat mempengaruhi lingkungannya. Jika studi akuntansi dilakukan dalam ranah ni,
maka konsep, prinsip, atau bahkan teori-teori baru dapat dikembangkan engikuti dan
menyeelaraskan dengan perkembangan lingngan dan bukan sekedar menjustifikasi konsep,
prinsip, atau teori yang sudah mapan. Disamping itu, studi akuntansi dalam ranah kritis juga
memiliki ciri Self-Reflexive. Karakterirstik ini memberiikan ruang dna peluang kepada
peneliti untuk mengembangkan diri dan keyakinannya dalam eksplorasi menuju tercapainya
hasil atau temuan studi yang merefleksikan diri dan keyakiann penelti tersebut. atribut lain
dalam studi akuntansi kritis adalah Producting Enlightenment (pencerahan) dana “Being
interently Emancipatiory (pembebasan), (Geuss, 1981, 1-2).
Studi akuntansi yang menggunakan rerangka PEA ditujukan untuk memahai sekaligus
melakukan eveluasi atas peran akuntansi dalam konteks ekonomi, sosial dan politik, atau
megkaji bagaimana peran akuntansi lebih luas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kajian
berdasar rerangka PEA, pada dasarnya memperkokoh sekaligus memperluas upaya kajian
dan pemahaman akuntansi dalam konteksnya sebagaimana dianjurkan oleh Hopwood, 1978
dll.
Mendasarkan pada laporan laba rugi (Income statement) konvensional, tinker
memberikan gambaran bagaimana perbedaan ijakan pemikiran ekonomi telah dan atau dapat
berpengaruh terhadap orientasi, “Citra” dan atau “pemaknaan” laba dan laporan laba rugi.
Menurut pandangan Neo-Classical Economy, laba dipandang sebagai aspek utama (the
bottom line) atau tujuan utama dari aktivitas bisnis, dan diasosiasikan atau digunakan sebagai
dasar pengukuran efisiensi dari transformasi input ke output. Konsekuensinya, aktivitas bisnis
senantiasa ditujukan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan tidak
jarang menggunakan berbagai cara yang melanggar etika bahkan ketentuan hukum, atau
mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Konstruk laporan laba rugi konvensional
memberikan “fasilitas” terjadinya praktik bisnis demikian, oleh karena laba dalam konstruk
laporan tersebut memang dikreasi dan dicitrakan sebagai Bottom Line.
Pandangan dalam elassical political economy berbeda dengan perspektif diatas.
Menurut perpektif ini, laba merupakan refleksi atau pengejawatahan dari power yang dimiliki
oleh “Pemilik Kepentingan Utama” perusahaan yaitu pemilik modal. Implikaksinya, makin
besar laba yang diperoleh suatu perusahaan maka itu dapat mengindikasikan besarnya power
yang di miliki oleh pemilik modal.
ANALISIS KASUS DALAM BINGKAI PEA
Rerangka teori PEA telah dimanfaatkan dalam menganalisis beragam kasus. Tinker
(1980), mengacu pada studi yang dilakukan sebelumnya bersama Hoogvelt melakukan
eksplorasi atas suatu kasus pertambangan di Sierra Leone. Tinker menganalisis kasus tersebut
melalui beberapa pendekatan diantaranya adalah Analisis yang dilakukan dengan cara
konvensional mendasarkan pada laporan laba rugi “Konvensional” yang hasilnya di tuangkan
dalam contoh relasi distribusi hasil penjualan dengan struktur organisational.
Dari contoh tersebut dapat diamati bagaimana relasi distribusi hasil penjualan dengan
struktur organisational dan atau power dari berbagai pihak yang berkepentingan yang oleh
tinker secara global dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, masing-masing
capitalisation analisis. Analisis ini memotret perjalanan dan bagaimana perbendingan
distribusi hasil dari perusahaaan pada berbagai masa, dari masa awal, akhir, hingga pasca
kolonialisasi yang besar akan menikmati hasil operasi yang besar pula dan juga
menggungkapkan atau memotrt bagaimana hetemoni dari negara dan masyarakat lain.
Tulisan tinker inilah yang merupakan rintisan terbangunnya rerangka PEA.
Meskipun masing-masing studi menggunakan “angka-angka” akuntansi yang berbeda,
namum aspek dari rerangka PEA –Distributional Of Wealth and Power—merupakan aspek
dalam Masing-mamsing studi tersebut.
Catatan Akhir:
Perbedaan ideologi atau setidaknya pijakan dasar akuntansi antara ekonomi neo-klasik dan
ekonomi politik klasik melahirkan cara pandang yang tidak sama atas laba. PEA pada
ekonomi-politik klasik. Jika pijakan dasar akuntansi, sebagaimana yang dianut pada saat ini,
berdasar pada ekonomi neo-klasik, maka orientasi laba menjadi perhatian utama. Orientasi
demikian lebih condong kepada kepentingan pemilik modal. Jika hal ini terjadi maka,
eksploitasi sumber daya (alam, manusia, dll) dapat terus terjadi, yang meniscayakan keadilan
dan substainabilitas.
Sumber:
Jurnal TEMA, Vol 7 No. 1 Maret 2006. Oleh Gugus Irianto tentang Dilema “Laba” dan
Rerangka Teori Political Economy Of Accounting (Pea), Universitas Brawijaya.
MATA KULIAH
“TEORI AKUNTANSI”
Nama
: Calvein E. Oroh
NIM
: 11 310 905
Kelas/Prodi : Akuntansi 1 (Pend. Ekonomi)
TUGAS 7
Dilema “Laba” Dan Rerangka Teori Political Economy Of
Accounting (PEA)
PENDAHULUAN
Jika kita membaca laporan keuangan, terutama laporan laba rugi, maka item manakah
yang akan mendapat perhatan umum? Jawaban dari pertanyaaan ini dapat beragam, namu n
dapat dipastikan bahwa salah satu jawabannya adalah LABA. Hal ini dapat dilihat dari
beragam publikasi yang sering kita baca dalam media masa yang sering menyajikan laporan
perkembangan laba contohnya saja perkembangan laba BUMN 2001-2005 pada salah satu
kolom utama dihalaman depan dengan menggungkapkan laba dalam kolom dengan heading
”Indikator” pada halaman utama dapat memberikan indikasi arti penting dari laba sebagai
indikator keberhasilan BUMN tersebut. Potret dari gambar ini memberikan gambaran bahwa
kinerja perusahaan yang utama digambarkan adalah tentang bagaimana perkembangan laba
perusahaan pada tahun yang bersangkutan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,
kemudian didukung dengan beragam informasi seperti trend penjualan dan lainnya.
Fenomena serupa telah ditemukan melalui beberapa survey tidak terstruktur, yang
telah dilakukan di beberapa kelas dari beberapa jenjang studi di Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya. Dengan menggunakan beragam skenario seperti laporan
perkembangan laba BUMN yaitu sebagai berikut :
TABEL 1
Laporan Laba/Rugi
Untuk periode yang berakhir 31 Des 20xx (Rp.000)
Keterangan
Penjualan
HPP
Laba kotor
Beban operasi
Laba
bersih
A
100.000
50.000
50.000
75.000
(25.000)
B
100.000
50.000
50.000
50.000
(0)
C
100.000
50.000
50.000
25.000
25.000
D
100.000
25.000
75.000
25.000
50.000
(Rugi)
“Survey” tidak terstruktur tersebut memang cukup sederhana kalau tidak boleh
dikatakan disederhanakan, namun temuannya sudah dapat memberikan indikasi bahwa
mahasiswa akuntansi (setidaknya yang menjawab dalam survey tersebut) memahami laba
dalam konteks yang berbeda. Laba adalah tujuan dan laba adalah “segala-galanya”.
“Pilihan” untuk menjadikan laba sebagai tujuan utama aktivitas bisnis dan
menyajikannya sebagai Bottom Line dalam laopran laba rugi telah memicu tumbuhnya
beragam persoalan sosial yang mendasar seperti praktik-praktik “Manajemen” laba, dan yang
lebih membahayakan praktik-praktik bisnis yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk
laba (keuntungan) sebanyak-banyaknya.
Bila orientasi untuk mencapai laba (maksimal) memang memiliki implikasi
sedemikian parah bukan saja untuk saat ini namum juga untuk masa yang akan datang, tidak
saja untuk masyarakat yang lansung terkait dengan aktivitas bisnis tertentu, namum juga
masyarakat luas, maka masihkah orintasi utama bisnis dalam mengejar laba (maksimal) dan
laporan laba rugi yang menjadikan laba sebagai Bottom Line, yang didasarkan “Ideologi”
ekonomi non-klasik, masih perlu di pertahankan dan di lanjutkan?
Salah satu rerangka teori (Theoretical Framework) dalam ranah akuntansi kritis yang
dikenal degan Political Economy Of Acounting (PEA) memiliki cara pandnag alternatif
dalam melihat fenomena laba. tulisan ini merupakan ekslorasi awal dalam memendang laba
melalui perpektif PEA.
KONSEP DAN TAFSIR LABA
Eksplorasi tentang konsep dan penafsiran atas laba telah banyak dipublikasikan dalam
beragam jurnal dan “dikodifikasi” dalam beragam buku teks Teori akuntansi. Elaborasi dalm
tulisan ini akan di fokuskan pada makna laba yang merupakan terjemahan dari kata earnings,
Profit, atau Net Income. Secara umum dipahami bahwa laba adalah selisih (Lebih) antara
pendapatan dan biaya selama satu periode tertentu. Pada laporan laba rugi konvesional yang
di susun dalam format Single-step Income Statement, dimana seluruh pendapatan dan seluruh
biaya masing-mamsing digabungkan, maka akan dihasilkan beragam tingkatan laba, mulai
dari laba kotor, laba dari hasil operasi, sampai dengan laba bersih.
POLITICAL ECONOMY OF ACCOUNTING
PEA merupakan salah satu rerangka teori dalam ranah studi akuntansi kritis. Studi
kritis, yang kemudian menjadi inspirator studi akuntansi kritis, merupakan bentuk inkuiri
yang berada dalam wilayah naturaistic paradigma. studi kritis dikembangkan berdasar teori
kritis yang diinisiasi pada tahun 1920an oleh para tokoh perintis Frankfurt Institute Of Social
Research (held, 1980; gaffikin, 1989) dll.
Rerangka teori dalam studi kritis telah berkembang sedemikian rupa, diantaranya
Symbolic Interactionism dan Ethnomethodology, Political Economy, Foucauldian, Giddens’
structuration theory dll. Meskiun terdapat beragam perpektif, Lodh dan Graffikin percaya
bahwa ada satu fundamental aspek yang tidak berbeda dalam beragam studi dalam ranah
akutansi kritis.
Studi akuntansi kritis senantiasa dalam konteks tertentu. Dalam bahasa lain akuntansi
dipandang bukan suatu disiplin dalm ruang yang kosong, namun akuntansi berada dalam
konteks organisasi dan masyarakat teertentu. Akuntansi tumbuh dan berkembang dipengaruhi
oleh dan dapat mempengaruhi lingkungannya. Jika studi akuntansi dilakukan dalam ranah ni,
maka konsep, prinsip, atau bahkan teori-teori baru dapat dikembangkan engikuti dan
menyeelaraskan dengan perkembangan lingngan dan bukan sekedar menjustifikasi konsep,
prinsip, atau teori yang sudah mapan. Disamping itu, studi akuntansi dalam ranah kritis juga
memiliki ciri Self-Reflexive. Karakterirstik ini memberiikan ruang dna peluang kepada
peneliti untuk mengembangkan diri dan keyakinannya dalam eksplorasi menuju tercapainya
hasil atau temuan studi yang merefleksikan diri dan keyakiann penelti tersebut. atribut lain
dalam studi akuntansi kritis adalah Producting Enlightenment (pencerahan) dana “Being
interently Emancipatiory (pembebasan), (Geuss, 1981, 1-2).
Studi akuntansi yang menggunakan rerangka PEA ditujukan untuk memahai sekaligus
melakukan eveluasi atas peran akuntansi dalam konteks ekonomi, sosial dan politik, atau
megkaji bagaimana peran akuntansi lebih luas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kajian
berdasar rerangka PEA, pada dasarnya memperkokoh sekaligus memperluas upaya kajian
dan pemahaman akuntansi dalam konteksnya sebagaimana dianjurkan oleh Hopwood, 1978
dll.
Mendasarkan pada laporan laba rugi (Income statement) konvensional, tinker
memberikan gambaran bagaimana perbedaan ijakan pemikiran ekonomi telah dan atau dapat
berpengaruh terhadap orientasi, “Citra” dan atau “pemaknaan” laba dan laporan laba rugi.
Menurut pandangan Neo-Classical Economy, laba dipandang sebagai aspek utama (the
bottom line) atau tujuan utama dari aktivitas bisnis, dan diasosiasikan atau digunakan sebagai
dasar pengukuran efisiensi dari transformasi input ke output. Konsekuensinya, aktivitas bisnis
senantiasa ditujukan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan tidak
jarang menggunakan berbagai cara yang melanggar etika bahkan ketentuan hukum, atau
mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Konstruk laporan laba rugi konvensional
memberikan “fasilitas” terjadinya praktik bisnis demikian, oleh karena laba dalam konstruk
laporan tersebut memang dikreasi dan dicitrakan sebagai Bottom Line.
Pandangan dalam elassical political economy berbeda dengan perspektif diatas.
Menurut perpektif ini, laba merupakan refleksi atau pengejawatahan dari power yang dimiliki
oleh “Pemilik Kepentingan Utama” perusahaan yaitu pemilik modal. Implikaksinya, makin
besar laba yang diperoleh suatu perusahaan maka itu dapat mengindikasikan besarnya power
yang di miliki oleh pemilik modal.
ANALISIS KASUS DALAM BINGKAI PEA
Rerangka teori PEA telah dimanfaatkan dalam menganalisis beragam kasus. Tinker
(1980), mengacu pada studi yang dilakukan sebelumnya bersama Hoogvelt melakukan
eksplorasi atas suatu kasus pertambangan di Sierra Leone. Tinker menganalisis kasus tersebut
melalui beberapa pendekatan diantaranya adalah Analisis yang dilakukan dengan cara
konvensional mendasarkan pada laporan laba rugi “Konvensional” yang hasilnya di tuangkan
dalam contoh relasi distribusi hasil penjualan dengan struktur organisational.
Dari contoh tersebut dapat diamati bagaimana relasi distribusi hasil penjualan dengan
struktur organisational dan atau power dari berbagai pihak yang berkepentingan yang oleh
tinker secara global dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, masing-masing
capitalisation analisis. Analisis ini memotret perjalanan dan bagaimana perbendingan
distribusi hasil dari perusahaaan pada berbagai masa, dari masa awal, akhir, hingga pasca
kolonialisasi yang besar akan menikmati hasil operasi yang besar pula dan juga
menggungkapkan atau memotrt bagaimana hetemoni dari negara dan masyarakat lain.
Tulisan tinker inilah yang merupakan rintisan terbangunnya rerangka PEA.
Meskipun masing-masing studi menggunakan “angka-angka” akuntansi yang berbeda,
namum aspek dari rerangka PEA –Distributional Of Wealth and Power—merupakan aspek
dalam Masing-mamsing studi tersebut.
Catatan Akhir:
Perbedaan ideologi atau setidaknya pijakan dasar akuntansi antara ekonomi neo-klasik dan
ekonomi politik klasik melahirkan cara pandang yang tidak sama atas laba. PEA pada
ekonomi-politik klasik. Jika pijakan dasar akuntansi, sebagaimana yang dianut pada saat ini,
berdasar pada ekonomi neo-klasik, maka orientasi laba menjadi perhatian utama. Orientasi
demikian lebih condong kepada kepentingan pemilik modal. Jika hal ini terjadi maka,
eksploitasi sumber daya (alam, manusia, dll) dapat terus terjadi, yang meniscayakan keadilan
dan substainabilitas.
Sumber:
Jurnal TEMA, Vol 7 No. 1 Maret 2006. Oleh Gugus Irianto tentang Dilema “Laba” dan
Rerangka Teori Political Economy Of Accounting (Pea), Universitas Brawijaya.