HAK ASASI PETANI TERHADAP SUMBER‐SUMBER AGRARIA

4 Tidak mengherankan jika pergerakan Nilai Tukar Petani NTP selama tahun 2014 hanya bergerak sebanyak 0,42 saja, yakni dari NTP pada bulan Januari sebesar 101,95 hingga Desember menjadi 102,37. Hal ini menunjukkan sepanjang tahun 2014 tidak banyak terjadi perubahan terhadap tingkat kesejahteraan petani, terlebih lagi dengan kenaikan harga BBM yang efeknya akan menyentuh petani dalam 3 bulan kedepan. Berikut uraian tentang situasi Hak Asasi Petani di Indonesia sepanjang tahun 2014 ;

II. HAK ASASI PETANI TERHADAP SUMBER‐SUMBER AGRARIA

Pada tahun 2013, KPA dan SPI mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar Ha dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga KK. Dengan jumlah korban tewas 21 orang, 30 tertembak, 130 menjadi korban penganiayaan serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dengan kata lain, hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di tanah air, yang melibatkan 383 KK 1.532 jiwa dengan luasan wilayah konflik sekurang‐ kurangnya 3.512 Ha. Data tersebut menyatakan bahwa intensitas terhadap pelanggaran Hak Asasi Petani sangat tinggi di Indonesia. Sedangkan sepanjang tahun 2014 Serikat Petani Indonesia telah mencatat setidaknya terjadi 29 konflik terbuka yang mencuat ke permukaan dan 114 konflik yang masih berkecamuk diakar rumput. Dari 143 kasus yang tercatat, diperkirakan terdapat ribuan jumlah konflik agraria lainnya yang belum terselesaikan. Konflik agraria yang muncul kepermukaan di sepanjang tahun politik ini relatif berkurang, adapun korban jiwa sebanyak dua orang petani tewas masing‐ masing terjadi pada konflik antara Suku Anak Dalam Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batanghari, Jambi dengan PT. Asiatik Persada pada Maret 2014 dan kasus di Desa Penyang, Kec. Telawang, Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng dengan PT. Agro Bukit Agro Indomas Group pada Juni 2014. Sementara korban kekerasan dan penganiayaan berjumlah 90 orang, dan 89 orang petani dikriminalisasi. Secara keseluruhan konflik tersebut telah mengusir ribuan Kepala Keluarga dari lahan pertanian yang mereka pertahankan. JUMLAH KONFLIK AGRARIA DAN JUMLAH KORBAN TAHUN 2014 JUMLAH KONFLIK KORBAN TEWAS KORBAN KEKERASAN KORBAN KRIMINALISASI 143 Konflik 2 Orang 90 Orang 89 Orang Dari berbagai sumber, diolah SPI Serikat Petani Indonesia mencatat sebaran luas lahan setiap pulau di Indonesia yang menjadi sumber konflik agraria selama tahun 2014, yaitu sebagai berikut : TABEL LUAS LAHAN SETIAP PULAU YANG MENGALAMI KONFLIK AGRARIA TAHUN 2014 PULAU LUAS LAHAN HA PERSENTASE Bali 280 0,043 Jawa 39.841,25 6,130 Kalimantan 10.608,33 1,632 5 NTB 5.171 0,796 NTT 998 0,154 Papua 2.800 0,431 Sulawesi 44.307 6,817 Sumatera 545.967,463 83,998 Total 649.973,043 100 Dari berbagai sumber, diolah SPI Berdasarkan tebel diatas, konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai luas sekitar 649.973,043 ha. Pulau Sumatera yang merupakan sentra dari perkebunan menjadi paling dominan yaitu sebesar 83 dari total persentase nasional untuk konflik agraria pada tahun 2014. Selanjutnya diikuti oleh Sulawesi dan Jawa yang memiliki persentase lebih dari 6. Kalimantan menempati posisi keempat dalam sebaran konflik agraria sebesar 1,6. Sedangkan pulau lainnya seperti Bali, NTB, NTT, dan papua persentasenya dibawah dari 1. Dari pernyataan diatas menjelaskan bahwa konflik agraria terkonsestrasi penuh di pulau Sumatera. Walaupun demikian tidak juga untuk menyampingkan penyelesaian konflik agraria pulau‐pulau lainnya. Lahan‐lahan tersebut berupa lahan perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Mekarnya industrialisasi perkebunan di Sumatera diduga akan terus memiliki dampak konflik agraria yang berkepanjangan. Maka dari pada itu, pemerataan distribusi tanah harus berpihak pada prinsip keadilan. Sehingga rakyat khususnya petani merasakan betul adanya keberpihakan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Pada hakikatnya angka tersebut belum dapat merangkumkan kejadian sesungguhnya mengenai sebaran luas lahan yang menjadi persengketaan selama ini. Akan tetapi data ini setidaknya dapat mencerminkan kronisnya konflik agraria di negeri ini. Konflik agraria yang terjadi selalu melibatkan berbagai pihak. Kerumitan penyelesaian konflik menjadi kendala utama untuk menarik benang kusut yang sudah terpelihara sejak lama. Bahkan dalam beberapa kasus dianggap menjadi laten dan sudah diwariskan kepada keturunannya. Pihak‐pihak yang terlibat antara lain yaitu, pemerintah, BUMN, BUMD, Swasta nasional maupun asing, tuan tanah, aparat hukum, dan petani. Dalam kebanyakan kasus, petani selalu disudutkan dan menjadi kambing hitam ketika konflik agraria mencuat dipermukaan. Seolah‐olah pihak lain lupa akan konstitusi negara yaitu pasal 33 UUD 1945. Keberpihakan kepada petani semakin semu dengan perputaran uang yang sistematis diantara pemegang kepentingan ketika konflik berlangsung. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan petani selalu menjadi “orang‐orang yang kalah” dalam pertikaian konflik agraria. Pada tahun 2014, pihak yang terlibat dalam konflik agraria dengan petani digolongkan menjadi dua. Yaitu pemerintah dan perusahaan swasta nasionalasing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini : Dari Berbagai Sumber, Diolah SPI 6 Berdasarkan grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa kasus‐kasus konflik agraria yang terjadi pada tahun 2014, 58 nya terjadi antara petani dengan swasta. Lalu 42 terjadi antara pemerintah dengan petani. Hal tersebut menerangkan bahwa antara pemerintah melalui BUMN atau lembaga pemerintah lainnya memiliki potensi kekuatan yang hampir sama dengan perusahaan asingnasional untuk merebut tanah yang seharusnya didistribusikan kepada petani. Kondisi ini diperparah dengan keberpihakan aparat penegak hukum kepada kedua kekuatan yang memegang kendali konflik agraria selama ini. Sehingga pada kenyataannya, petani seolah sendiri dalam menghadapi konflik agraria yang terus terjadi. Potensi konflik agraria akan terus meningkat jika keberpihakan negara melalui pemerintahnya tidak bergeser menjadi pembela rakyat khusunya petani. Karena petani membutuhkan pemerintah sebagai perlindungan dengan menjadi ‘kawan’ bukan persinggungan sebagai ‘lawan’. Sesungguhnya musuh utama dari konflik agraria adalah neo‐liberalisme yang terus mengakar. Terlebih jika negara membiarkan atau bahkan memberikan jalan kepada ‘mereka’ untuk tumbuh dan menguras seluruh sumber kekayaan agraria Indonesia. Data‐data tersebut menyatakan bahwa intensitas terhadap pelanggaran Hak Asasi Petani sangat tinggi di Indonesia. Pada tahun 2014, SPI mencatat terdapat beberapa kasus pelanggaran Hak Asasi Petani yang perlu di soroti, antara lain : i. Kasus di Sesepan, Kab.Indramayu, Jawa Barat pada Januari 2014 yang melibatkan petani dan penyidikpengadilan negeri Bandung. Konflik ini menyebabkan 1 orang petani dikriminalisasi kemudian lainnya diintimidasi dipukuli agar tidak kembali berorganisasi. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak, Pasal 12 Kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi dan Pasal 13 Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. ii. Kasus di Desa Dongi – dongi dan Desa Kamanora, Kec.Palolo, Kab.Sigi, Sulawesi Tenggara. Pada Januari 2014, 13 orang petani diculik karena berselisih dengan Polhutan, Poisi dan TNI. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. iii. Kasus Kab.Indramayu, Jawa Barat. Pada Februaui 2014, 1 orang petani di vonis 7 bulan penjara dan denda Rp. 500.000.‐ dikriminalisasi oleh Perhutani. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 13 Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. iv. Kasus Suku Anak Dalam Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batanghari, Jambi. Pada Maret 2014, Perselisihan antara PT. Asiatik Persada dan aparat dengan Suku Anak Dalam berimbas pada hancurnya 700 rumah, 3000 jiwa terusir dari tanahnya, 1 orang diculik, 5 orang luka‐luka karena senjata tajam dan 1 orang tewas. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. 7 v. Kasus di Kec. Teluk Jambe, Kab.Karawang, Jawa Barat. Pada bulan Maret 2014, 1 orang petani dikriminalisasi dan ratusan diintimidasi oleh 500 preman. Selanjutnya petaka kembali terulang pada bulan Juni 2014, 9 orang petani 4 buruh ditangkap, 10 buruh, 5 petani, 1 mahasiswa luka‐luka yang diiantaranya 1 orang petani mengalami luka tembak. Peristiwa itu disebabkan konflik antara PT. Sumber Air Mas Pratama dengan petani karena persengketaan lahan seluas 350 ha. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. vi. Kasus Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah. Pada bulan Maret 2014, terjadi penangkapan 3 orang petani oleh Polres Sragen. Diduga hal tersebut karena adanya laporan dari PTPN IX mengenai perselisihan lahan seluas 425 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. vii. Kasus Dusun Simbar Lor, Desa Plosokidul, Kec. Plosok laten, Kab. Kediri, Jawa Timur. Pada Maret 2014, Perusahaan Daerah Perkebunan PDP Margomulyo melakukan pengrusakan terhadap tanaman yang ditanam oleh petani berupa nanas, ketela, dan tebu. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh konflik agraria seluas 170 ha. Kejadian ini merupakan pelanggaran atas Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. viii. Kasus Masyarakat Adat Batu Daya, Kec. Simpang Dua, Kab. Ketapang, Kalbar. Pada Maret 2014, 5 orang petani ditangkap dan 2 orang dipenjara atas laporan PT. Swadaya Mukti Prakarsa karena persengketaan lahan seluas 1088,33 ha yang sebetulnya merupakan hutan adat. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. ix. Kasus Desa Tegal dowo, Kec. Gunem, Kab.Rembang, Jawa Tengah. Pada Juni 2014, 11 Orang petani ditangkap dan lainnya luka‐luka karena mempertahankan dan menolak berdirinya PT. Semen Indonesia seluas 21,13 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. x. Kasus Desa Penyang, Kec. Telawang, Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng. Juni 2014, 1 Orang Tewas Tertembak karena berselisih dengan PT. Agro Bukit Agro Indomas Group mengenai lahan. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. xi. Kasus Kelurahan Sukodadi, Kec. Sukarami, Palembang, Sumbar. Juni 2014, perselisihan antara TNI Angkatan Udara Lanud Palembang dan warga menyebabkan 5 orang terkena luka tembak akibat adanya persengketaan lahan diantara keduanya. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. 8 xii. Kasus Desa Gadungan dan Desa Sumberagun, Blitar, Jawa Timur. Pada bulan Mei dan Agustus 2014, 2 orang petani dikriminalisasi dan tanaman yang ditanami petani rusak. Kejadian itu karena persengketaan lahan seluas 557 ha dengan PT. Rotorejo Kruwuk. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. xiii. Kasus Masyarakat Adat Dangku, Kab. Muba, Sumsel. Pada kurun waktu September sampai Oktober 2014, 6 petani dikriminalisasi dan 10 rumah dirobohkan oleh BKSDA SUMSEL, Dishut dan Aparat. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. xiv. Kasus Desa Bukit Krikil, Kec.Bukit Batu, Kab.Bangkalis, Riau. Sepanjang tahun 2007 sampai 2014, konflik panjang antara warga dengan PT. Arara Abadi berakibat pada 12 orang yang dikriminalisasi. Perselisihan ini terawat karena kasus agraria dengan luas sekitar 6.000 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. xv. Kasus Kab.Tulungagung, Jawa Timur. Pada November 2014, Warga dan Perum Perhutani KPH Tulungagung terlibat perselisihan lahan seluas 148 ha. Kejadian itu menyebabkan 3 orang petani ditangkap. Kejadian tersebut melanggar Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak, Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori dan Pasal 13 Hak untuk mendapatkan akses terhadap ke adilan. xvi. Kasus di Tapung Hilir, Kampar, Riau. Pada November 2014 Terjadi perselisihan antara PT Sekar Bumi Alam Lestari SBAL dengan petani. Akibatnya 5 orang petani mengalami luka di bagian kepala, punggung dan kaki. Selain itu, 40 ha kebun sawit petani juga ikut dihancurkan. Peristiwa itu melanggar Pasal 3 Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak dan Pasal 4 Hak atas tanah dan teritori. Kasus – kasus tersebut belum termasuk kasus gizi buruk yang semakin melanda republik ini. Pada tahun 2014 sampai pada tanggal 3 desember Direktorat Bina Gizi Kementrian Kesehatan RI mencatat sekitar 402 kasus gizi buruk yang tersebar diseluruh provinsi di Indonesia. Adapun angka kematian akibat gizi buruk pada kurun waktu 2014 berjumlah 3 orang. Selain itu, kekeringan yang terjadi selama tahun 2014 menjadi faktor pelengkap penderitaan petani. Sampai bulan Oktober 2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB mengungkapkan sebanyak 86 kabupatenkota di 20 provinsi di Indonesia mengalami kekeringan. Kekeringan tersebut berdampak langsung terhadap kegagalan panen yang dialami oleh petani. Seperti peristiwa gagal panen di Kupang NTT yang melanda sekitar 400 ha tanaman padi. Kemudian di Bali, seluas 119 ha tanaman padi gagal panen karena kekeringan. Selanjutnya di Lebak Banten pun demikian, karena tanaman padi seluas 40 ha tidak dapat di panen. Begitupun didaerah lainnya yang tidak luput dari kejadian gagal panen pada berbagai komoditas pertanian yang ditanam petani. Banyak faktor yang menyebabkan kekeringan, selain cuaca buruk yang tak menentu, ketersediaan air pada saluran irigasi disinyalir menjadi pendukung suksesnya gagal panen yang dialami petani. 9 Lebih detail mengenai catatan konflik agraria sepanjanga tahun 2014 dapat dilihat di dalam lampiran dokumen ini.

III. HAK ASASI PETANITERHADAP MODAL DAN SARANA PRODUKSI PERTANIAN