Laporan Situasi Hak Asasi Petani 2014 Serikat Petani Indonesia
LAPORAN
SITUASI HAK ASASI PETANI DI INDONESIA
TAHUN 2014
SERIKAT PETANI INDONESIA
DEWAN PENGURUS PUSAT SERIKAT PETANI INDONESIA Jl Mampang Prapatan XIV No. 5, Jakarta 12790 Tel. +62 21 7991890 ;Fax. +62 21 7993426 ; email : spi@spi.or.id
(2)
PENGANTAR
Kemiskinan masih menjadi masalah utama di pedesaan, para penduduk di pedesaan yang memproduksi pangan justru merupakan pihak yang banyak menderita kelaparan dan kemiskinan. Dari 28,28 juta jiwa jumlah penduduk miskin, sebesar 17,77 juta jiwa atau 62,8 persen berada di pedesaan1. Setidaknya terdapat 26,14 juta rumah tangga petani di pedesaan, dimana 17,73 juta rumah tangga diantaranya adalah petani tanaman pangan2 yang memproduksi pangan bagi 250 juta penduduk Indonesia.
Peran penting petani tersebut sangat berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan dan pelayanan publik yang dapat diakses, serta perlindungan dan jaminan terhadap hak‐hak mendasar bagi petani. Hal ini menjadi pemicu berkurangnya jumlah petani secara mengejutkan, mencapai 5,09 juta keluarga petani dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Artinya setiap tahun rata‐rata terdapat 509 ribu keluarga petani yang meninggalkan lahan pertanian, yang berarti dalam sepuluh tahun terakhir ini setiap satu jam jumlah petani berkurang 58 keluarga petani. Hal ini merupakan peringatan keras bagi segenap elemen bangsa terhadap ancaman kecukupan pangan nasional. Gejala tersebut sudah muncul seiring laju berkurangnya jumlah petani dalam satu dekade terakhir yang ditandai dengan meningkatnya impor pangan.
Tingginya angka penurunan jumlah petani tersebut setidaknya dikarenakan dua alasan, pertama
profesi petani dianggap tidak mampu dijadikan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga beralih ke profesi lain. Kedua, petani terpaksa meninggalkan profesi petani dikarenakan tidak lagi memiliki lahan pertanian untuk digarap. Kedua alasan tersebut memiliki akar permasalahan yang sama, yakni tidak adanya jaminan perlindungan dari negara terhadap petani. Untuk mendorong perlindungan terhadap petani, Serikat Petani Indonesia bersama dengan organisasi rakyat lainnya telah menginisiasi dan merumuskan Deklarasi Hak Asasi Petani pada tahun 2001 di Cibubur, serta didukung oleh KomnasHAM. Deklarasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong negara merumuskan perundang‐undangan yang melindungi hak‐hak asasi petani sebagai soko guru kedaulatan pangan nasional. Naskah deklarasi tersebut telah diserahkan ke berbagai lembaga pemerintah untuk ditindaklanjuti, namun kurang memperoleh respon yang positif. Upaya tersebut terus berlanjut dengan mendorong rumusan Deklarasi Hak Asasi Petani tersebut untuk menjadi Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani, yang dimulai pada tahun 2008. Upaya tersebut memperoleh respon positif dengan disetujuinya resolusi bernomor A/HRC/21/L.23 oleh Dewan HAM PBB pada September 20123. Resolusi tersebut memutuskan untuk membentuk kelompok kerja antar pemerintah untuk menyiapkan rancangan deklarasi hak asasi petani. Deklarasi tersebut nantinya diharapkan akan menjadi sebuah instrumen baru yang akan dikembangkan oleh Dewan HAM PBB sebagai Deklarasi Tentang Hak Asasi Petani yang serupa dengan Deklarasi PBB tentang Hak‐hak Masyarakat Adat.
1
Laporan BPS, Maret 2014 2
Sensus Pertanian Tahun 2013 3
(3)
Disamping upaya tersebut, Serikat Petani Indonesia bersama organisasi tani lain mendorong lahirnya undang‐undang yang melindungi petani tanpa menunggu adanya Deklarasi Hak Asasi Petani Perserikatan Bangsa Bangsa. Upaya tersebut berhasil melahirkan Undang‐undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Meski masih banyak terdapat kekurangan untuk dijadikan payung hukum yang melindungi hak asasi petani, setidaknya langkah ini menjadi titik awal untuk memperkuat perlindungan terhadap hak asasi petani.
Sebagai Organisasi Massa yang memperjuangkan kepentingan dan hak‐hak petani, Serikat Petani Indonesia melakukan berbagai upaya untuk memastikan terpenuhinya hak‐hak petani, mendorong lahirnya instrumen hukum Hak Asasi Petani, serta melakukan pemantauan terhadap berbagai bentuk pelanggaran atas Hak Asasi Petani. Laporan ini merupakan upaya untuk membangun kesadaran publik terhadap kondisi petani serta pentingnya perlindungan terhadap hak‐hak petani.
Laporan ini merupakan laporan hasil pendataan, analisis, dan penilaian Serikat Petani Indonesia terhadap situasi Hak Asasi Petani (HAP) di Indonesia selama tahun 2014. Laporan ini disusun berdasarkan data‐data pendukung yang dikumpulkan baik dari laporan anggota SPI, hasil investigasi, informasi dari lembaga lain, pengamatan, serta informasi dari media massa. Berdasarkan data‐data tersebut, kami berupaya menganalisa tentang gambaran umum situasi Hak Asasi Petani di Indonesia.
(4)
LAPORAN SITUASI HAK ASASI PETANI DI INDONESIA
TAHUN 2014
I. PENDAHULUAN
Situasi Hak Asasi Petani sepanjang tahun 2014 tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Berbagai konflik agraria masih terus berlangsung tanpa adanya kemajuan langkah dalam tahap penyelesaian. Sepanjang tahun ini telah terjadi 29 konflik terbuka yang mencuat ke permukaan dan 114 konflik yang masih berkecamuk diakar rumput. Dari 143 kasus yang tercatat diperkirakan terdapat ribuan jumlah konflik agraria lainnya yang belum terselesaikan. Konflik terbuka tersebut melibatkan berbagai pihak, dengan korban tewas sebanyak 2 orang di pihak petani, 90 orang mengalami kekerasan, ribuan orang terusir dari lahan pertaniannya, serta 89 orang ditahan.
Konflik yang menjadi sorotan kami pada tahun ini adalah konflik antara Suku Anak Dalam dan PT. Asiatic Persada di Mentilingan, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi. Pada bulan Maret terjadi bentrokan antara petani Suku Anak Dalam dan melibatkan oknum aparat TNI beserta Brimob, yang mengakibatkan seorang petani tewas dalam penganiayaan dengan kondisi tangan diborgol dan penuh dengan luka senjata tajam, satu orang luka tembak, serta lima orang luka akibat senjata tajam. Tindak kekerasan dan pengusiran paksa terhadap petani yang dilakukan oleh 7.000 personel Brimob di pertengahan tahun 2014 juga menjadi sorotan publik. Pengusiran paksa tersebut dilakukan menjelang dilangsungkannya pemilihan presiden pada Juli yang lalu. Ratusan petani di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat tersebut harus menghadapi ribuan Brimob bersenjata lengkap. Satu orang petani tertembak peluru karet, puluhan petani mengalami tindak kekerasan, dan 13 petani ditangkap oleh kepolisian.
Selain menghadapi konflik agraria, Hak Asasi Petani atas sarana produksi pertanian juga terabaikan. Yang menjadi sorotan utama sepanjang tahun 2014 adalah soal kelangkaan pupuk bersubsidi. Pada bulan Mei, pemerintah sudah mengajukan anggaran tambahan untuk pengadaan pupuk bersubsidi ke DPR‐RI. Pemerintah menyatakan pengadaan pupuk bersubsidi hanya cukup sampai bulan Oktober, sementara di berbagai wilayah bulan Nopember dan Desember mulai memasuki masa tanam. Namun pada bulan Mei para petani di Jawa Timur, Jawa Tengah dan NTB telah mengeluhkan sulitnya memperoleh pupuk bersubsidi di pasaran. Hingga Desember ini, petani di Aceh dan Sumut juga mengeluhkan kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi.
Keputusan Menteri Perdagangan untuk menerbitkan Surat Persetujuan Impor sepanjang tahun 2014 turut memperpuruk nasib petani. Sepanjang tahun ini, kementerian perdagangan masih mengeluarkan izin impor terhadap beras, jagung, kacang tanah, ubi kayu, gula serta garam, selain bahan pangan yang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri seperti gandum dan kedelai. Dari Januari hingga Oktober 2014, data Kementerian Pertanian menunjukkan telah terjadi impor beras sejumlah 405 ribu ton, gandum sebanyak 6,49 juta ton, kedelai sebanyak 5,02 juta ton, jagung sebanyak 2,62 juta ton, kacang tanah 224.492 ton, serta ubi kayu sebanyak 273.294 ton. Khusus impor gula dan garam menjadi sorotan karena mempengaruhi harga jual petani tebu dan petani garam.
(5)
Tidak mengherankan jika pergerakan Nilai Tukar Petani (NTP) selama tahun 2014 hanya bergerak sebanyak 0,42 saja, yakni dari NTP pada bulan Januari sebesar 101,95 hingga Desember menjadi 102,37. Hal ini menunjukkan sepanjang tahun 2014 tidak banyak terjadi perubahan terhadap tingkat kesejahteraan petani, terlebih lagi dengan kenaikan harga BBM yang efeknya akan menyentuh petani dalam 3 bulan kedepan.
Berikut uraian tentang situasi Hak Asasi Petani di Indonesia sepanjang tahun 2014 ;
II. HAK ASASI PETANI TERHADAP SUMBER‐SUMBER AGRARIA
Pada tahun 2013, KPA dan SPI mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Dengan jumlah korban tewas 21 orang, 30 tertembak, 130 menjadi korban penganiayaan serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dengan kata lain, hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di tanah air, yang melibatkan 383 KK (1.532 jiwa) dengan luasan wilayah konflik sekurang‐ kurangnya 3.512 Ha. Data tersebut menyatakan bahwa intensitas terhadap pelanggaran Hak Asasi Petani sangat tinggi di Indonesia.
Sedangkan sepanjang tahun 2014 Serikat Petani Indonesia telah mencatat setidaknya terjadi 29 konflik terbuka yang mencuat ke permukaan dan 114 konflik yang masih berkecamuk diakar rumput. Dari 143 kasus yang tercatat, diperkirakan terdapat ribuan jumlah konflik agraria lainnya yang belum terselesaikan. Konflik agraria yang muncul kepermukaan di sepanjang tahun politik ini relatif berkurang, adapun korban jiwa sebanyak dua orang petani tewas masing‐ masing terjadi pada konflik antara Suku Anak Dalam Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batanghari, Jambi dengan PT. Asiatik Persada pada Maret 2014 dan kasus di Desa Penyang, Kec. Telawang, Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng dengan PT. Agro Bukit (Agro Indomas Group) pada Juni 2014. Sementara korban kekerasan dan penganiayaan berjumlah 90 orang, dan 89 orang petani dikriminalisasi. Secara keseluruhan konflik tersebut telah mengusir ribuan Kepala Keluarga dari lahan pertanian yang mereka pertahankan.
JUMLAH KONFLIK AGRARIA DAN JUMLAH KORBAN TAHUN 2014 JUMLAH
KONFLIK
KORBAN TEWAS
KORBAN KEKERASAN
KORBAN KRIMINALISASI 143 Konflik 2 Orang 90 Orang 89 Orang
Dari berbagai sumber, diolah SPI
Serikat Petani Indonesia mencatat sebaran luas lahan setiap pulau di Indonesia yang menjadi sumber konflik agraria selama tahun 2014, yaitu sebagai berikut :
TABEL LUAS LAHAN SETIAP PULAU YANG MENGALAMI KONFLIK AGRARIA TAHUN 2014
PULAU LUAS LAHAN (HA) PERSENTASE (%)
Bali 280 0,043
Jawa 39.841,25 6,130
(6)
NTB 5.171 0,796
NTT 998 0,154
Papua 2.800 0,431
Sulawesi 44.307 6,817
Sumatera 545.967,463 83,998
Total 649.973,043 100%
Dari berbagai sumber, diolah SPI
Berdasarkan tebel diatas, konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai luas sekitar 649.973,043 ha. Pulau Sumatera yang merupakan sentra dari perkebunan menjadi paling dominan yaitu sebesar 83% dari total persentase nasional untuk konflik agraria pada tahun 2014. Selanjutnya diikuti oleh Sulawesi dan Jawa yang memiliki persentase lebih dari 6%. Kalimantan menempati posisi keempat dalam sebaran konflik agraria sebesar 1,6%. Sedangkan pulau lainnya seperti Bali, NTB, NTT, dan papua persentasenya dibawah dari 1%. Dari pernyataan diatas menjelaskan bahwa konflik agraria terkonsestrasi penuh di pulau Sumatera. Walaupun demikian tidak juga untuk menyampingkan penyelesaian konflik agraria pulau‐pulau lainnya. Lahan‐lahan tersebut berupa lahan perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Mekarnya industrialisasi perkebunan di Sumatera diduga akan terus memiliki dampak konflik agraria yang berkepanjangan. Maka dari pada itu, pemerataan distribusi tanah harus berpihak pada prinsip keadilan. Sehingga rakyat khususnya petani merasakan betul adanya keberpihakan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Pada hakikatnya angka tersebut belum dapat merangkumkan kejadian sesungguhnya mengenai sebaran luas lahan yang menjadi persengketaan selama ini. Akan tetapi data ini setidaknya dapat mencerminkan kronisnya konflik agraria di negeri ini.
Konflik agraria yang terjadi selalu melibatkan berbagai pihak. Kerumitan penyelesaian konflik menjadi kendala utama untuk menarik benang kusut yang sudah terpelihara sejak lama. Bahkan dalam beberapa kasus dianggap menjadi laten dan sudah diwariskan kepada keturunannya. Pihak‐pihak yang terlibat antara lain yaitu, pemerintah, BUMN, BUMD, Swasta nasional maupun asing, tuan tanah, aparat hukum, dan petani. Dalam kebanyakan kasus, petani selalu disudutkan dan menjadi kambing hitam ketika konflik agraria mencuat dipermukaan. Seolah‐olah pihak lain lupa akan konstitusi negara yaitu pasal 33 UUD 1945. Keberpihakan kepada petani semakin semu dengan perputaran uang yang sistematis diantara pemegang kepentingan ketika konflik berlangsung. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan petani selalu menjadi “orang‐orang yang kalah” dalam pertikaian konflik agraria. Pada tahun 2014, pihak yang terlibat dalam konflik agraria dengan petani digolongkan menjadi dua. Yaitu pemerintah dan perusahaan swasta nasional/asing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :
(7)
Berdasarkan grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa kasus‐kasus konflik agraria yang terjadi pada tahun 2014, 58% nya terjadi antara petani dengan swasta. Lalu 42% terjadi antara pemerintah dengan petani. Hal tersebut menerangkan bahwa antara pemerintah melalui BUMN atau lembaga pemerintah lainnya memiliki potensi kekuatan yang hampir sama dengan perusahaan asing/nasional untuk merebut tanah yang seharusnya didistribusikan kepada petani. Kondisi ini diperparah dengan keberpihakan aparat penegak hukum kepada kedua kekuatan yang memegang kendali konflik agraria selama ini. Sehingga pada kenyataannya, petani seolah sendiri dalam menghadapi konflik agraria yang terus terjadi. Potensi konflik agraria akan terus meningkat jika keberpihakan negara melalui pemerintahnya tidak bergeser menjadi pembela rakyat khusunya petani. Karena petani membutuhkan pemerintah sebagai perlindungan dengan menjadi ‘kawan’ bukan persinggungan sebagai ‘lawan’. Sesungguhnya musuh utama dari konflik agraria adalah neo‐liberalisme yang terus mengakar. Terlebih jika negara membiarkan atau bahkan memberikan jalan kepada ‘mereka’ untuk tumbuh dan menguras seluruh sumber kekayaan agraria Indonesia.
Data‐data tersebut menyatakan bahwa intensitas terhadap pelanggaran Hak Asasi Petani sangat tinggi di Indonesia. Pada tahun 2014, SPI mencatat terdapat beberapa kasus pelanggaran Hak Asasi Petani yang perlu di soroti, antara lain :
i. Kasus di Sesepan, Kab.Indramayu, Jawa Barat pada Januari 2014 yang melibatkan petani dan penyidik/pengadilan negeri Bandung. Konflik ini menyebabkan 1 orang petani dikriminalisasi kemudian lainnya diintimidasi & dipukuli agar tidak kembali berorganisasi. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak), Pasal 12 (Kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan).
ii. Kasus di Desa Dongi – dongi dan Desa Kamanora, Kec.Palolo, Kab.Sigi, Sulawesi Tenggara. Pada Januari 2014, 13 orang petani diculik karena berselisih dengan Polhutan, Poisi dan TNI. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
iii. Kasus Kab.Indramayu, Jawa Barat. Pada Februaui 2014, 1 orang petani di vonis 7 bulan penjara dan denda Rp. 500.000.‐ (dikriminalisasi) oleh Perhutani. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan).
iv. Kasus Suku Anak Dalam Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batanghari, Jambi. Pada Maret 2014, Perselisihan antara PT. Asiatik Persada dan aparat dengan Suku Anak Dalam berimbas pada hancurnya 700 rumah, 3000 jiwa terusir dari tanahnya, 1 orang diculik, 5 orang luka‐luka karena senjata tajam dan 1 orang tewas. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
(8)
v. Kasus di Kec. Teluk Jambe, Kab.Karawang, Jawa Barat. Pada bulan Maret 2014, 1 orang petani dikriminalisasi dan ratusan diintimidasi oleh 500 preman. Selanjutnya petaka kembali terulang pada bulan Juni 2014, 9 orang petani & 4 buruh ditangkap, 10 buruh, 5 petani, 1 mahasiswa luka‐luka yang diiantaranya 1 orang petani mengalami luka tembak. Peristiwa itu disebabkan konflik antara PT. Sumber Air Mas Pratama dengan petani karena persengketaan lahan seluas 350 ha. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
vi. Kasus Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah. Pada bulan Maret 2014, terjadi penangkapan 3 orang petani oleh Polres Sragen. Diduga hal tersebut karena adanya laporan dari PTPN IX mengenai perselisihan lahan seluas 425 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
vii. Kasus Dusun Simbar Lor, Desa Plosokidul, Kec. Plosok laten, Kab. Kediri, Jawa Timur. Pada Maret 2014, Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Margomulyo melakukan pengrusakan terhadap tanaman yang ditanam oleh petani berupa nanas, ketela, dan tebu. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh konflik agraria seluas 170 ha. Kejadian ini merupakan pelanggaran atas Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). viii. Kasus Masyarakat Adat Batu Daya, Kec. Simpang Dua, Kab. Ketapang, Kalbar. Pada
Maret 2014, 5 orang petani ditangkap dan 2 orang dipenjara atas laporan PT. Swadaya Mukti Prakarsa karena persengketaan lahan seluas 1088,33 ha yang sebetulnya merupakan hutan adat. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
ix. Kasus Desa Tegal dowo, Kec. Gunem, Kab.Rembang, Jawa Tengah. Pada Juni 2014, 11 Orang petani ditangkap dan lainnya luka‐luka karena mempertahankan dan menolak berdirinya PT. Semen Indonesia seluas 21,13 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
x. Kasus Desa Penyang, Kec. Telawang, Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng. Juni 2014, 1 Orang Tewas Tertembak karena berselisih dengan PT. Agro Bukit (Agro Indomas Group) mengenai lahan. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
xi. Kasus Kelurahan Sukodadi, Kec. Sukarami, Palembang, Sumbar. Juni 2014, perselisihan antara TNI Angkatan Udara (Lanud) Palembang dan warga menyebabkan 5 orang terkena luka tembak akibat adanya persengketaan lahan diantara keduanya. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
(9)
xii. Kasus Desa Gadungan dan Desa Sumberagun, Blitar, Jawa Timur. Pada bulan Mei dan Agustus 2014, 2 orang petani dikriminalisasi dan tanaman yang ditanami petani rusak. Kejadian itu karena persengketaan lahan seluas 557 ha dengan PT. Rotorejo Kruwuk. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
xiii. Kasus Masyarakat Adat Dangku, Kab. Muba, Sumsel. Pada kurun waktu September sampai Oktober 2014, 6 petani dikriminalisasi dan 10 rumah dirobohkan oleh BKSDA SUMSEL, Dishut dan Aparat. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
xiv. Kasus Desa Bukit Krikil, Kec.Bukit Batu, Kab.Bangkalis, Riau. Sepanjang tahun 2007 sampai 2014, konflik panjang antara warga dengan PT. Arara Abadi berakibat pada 12 orang yang dikriminalisasi. Perselisihan ini terawat karena kasus agraria dengan luas sekitar 6.000 ha. Hal tersebut melanggar Deklarasi Hak Asasi Petani Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
xv. Kasus Kab.Tulungagung, Jawa Timur. Pada November 2014, Warga dan Perum Perhutani KPH Tulungagung terlibat perselisihan lahan seluas 148 ha. Kejadian itu menyebabkan 3 orang petani ditangkap. Kejadian tersebut melanggar Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak), Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap ke adilan).
xvi. Kasus di Tapung Hilir, Kampar, Riau. Pada November 2014 Terjadi perselisihan antara PT Sekar Bumi Alam Lestari (SBAL) dengan petani. Akibatnya 5 orang petani mengalami luka di bagian kepala, punggung dan kaki. Selain itu, 40 ha kebun sawit petani juga ikut dihancurkan. Peristiwa itu melanggar Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). Kasus – kasus tersebut belum termasuk kasus gizi buruk yang semakin melanda republik ini. Pada tahun 2014 sampai pada tanggal 3 desember Direktorat Bina Gizi Kementrian Kesehatan RI mencatat sekitar 402 kasus gizi buruk yang tersebar diseluruh provinsi di Indonesia. Adapun angka kematian akibat gizi buruk pada kurun waktu 2014 berjumlah 3 orang.
Selain itu, kekeringan yang terjadi selama tahun 2014 menjadi faktor pelengkap penderitaan petani. Sampai bulan Oktober 2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan sebanyak 86 kabupaten/kota di 20 provinsi di Indonesia mengalami kekeringan. Kekeringan tersebut berdampak langsung terhadap kegagalan panen yang dialami oleh petani. Seperti peristiwa gagal panen di Kupang NTT yang melanda sekitar 400 ha tanaman padi. Kemudian di Bali, seluas 119 ha tanaman padi gagal panen karena kekeringan. Selanjutnya di Lebak Banten pun demikian, karena tanaman padi seluas 40 ha tidak dapat di panen. Begitupun didaerah lainnya yang tidak luput dari kejadian gagal panen pada berbagai komoditas pertanian yang ditanam petani. Banyak faktor yang menyebabkan kekeringan, selain cuaca buruk yang tak menentu, ketersediaan air pada saluran irigasi disinyalir menjadi pendukung suksesnya gagal panen yang dialami petani.
(10)
Lebih detail mengenai catatan konflik agraria sepanjanga tahun 2014 dapat dilihat di dalam lampiran dokumen ini.
III.
HAK ASASI PETANITERHADAP MODAL DAN SARANA PRODUKSI PERTANIAN
Berdasarkan Permentan 122/Permentan/SR.130/11/2013, kebutuhan pupuk bersubsidi untuk tahun anggaran 2014 adalah sebagai berikut :
NO JENIS PUPUK JUMLAH (Ton)
1 Urea 3.418.000
2 SP‐36 760.000
3 ZA 800.000
4 NPK 2.000.000
5 ORGANIK 800.000
Sumber: Kementan, diolah SPI
Dalam APBN 2014 secara keseluruhan jumlah subsidi pupuk berjumlah 21 trilliun rupiah. Namun, realisasinya pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi telah menyusut sejak bulan Oktober. Untuk bulan Nopember dan Desember diperkirakan Kementan tidak ada lagi distribusi pupuk bersubsidi, padahal di beberapa wilayah sudah memasuki masa tanam. Bahkan di Ponorogo, Jawa Timur serta Sumbawa, NTB sejak bulan agustus sudah mengalami kelangkaan pupuk. Di Serdang Bedagai, Sumatera Utara yang memasuki musim tanam sejak awal Desember petani telah kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi. Pada akhir Nopember, kelangkaan juga terjadi di Ngawi dan Pamekasan Jawa Timur, serta di Aceh Barat yang disertai melonjaknya harga pupuk. Bukan hanya pupuk bersubsidi, untuk mendapat pupuk urea non subsidi pun kesulitan, selain harga yang melonjak tinggi pupuk non subsidi juga tidak tersedia di pasaran. Data Kementerian Pertanian tahun 2014, luas areal irigasi di Indonesia mencapai 7.145.168 ha. Dari seluruh total tersebut, terbagi dalam tiga kewenangan yakni, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Total irigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat ada seluas 2.374.521 ha. Saat ini dari luasan tersebut ada sekitar 734.820 ha jaringan irigasi tersier yang rusak. Sementara peningkatan luas areal irigasi sejak tahun 2009 rata‐rata per tahun hanya 88.000 Ha. Jika dibandingkan dengan kebutuhan irigasi untuk areal persawahan, saat ini terdapat 8,13 juta ha sawah non irigasi (mengandalkan tadah hujan), dan hanya 4,42 juta ha sawah yang teraliri air irigasi. Sementara di lapangan sangat banyak ditemukan saluran irigasi yang tidak mendapat perawatan sama sekali selama belasan tahun dan jaringan irigasi yang telah rusak.
IV. HAK ASASI PETANI TERHADAP AKSES PASAR DAN HARGA JUAL YANG LAYAK
Hak Kemerdekaan untuk menentukan harga dan pasar bagi petani direpublik ini masih dalam tanda tanya yang besar. Impor menjadi salah satu penyebab hak petani ini tidak dianggap sebagai hal yang harus dipertimbangkan. Alih – alih untuk persediaan dan ketercukupan kebutuhan pangan nasional, pemerintah mengambil jalan pintas berupa kebijakan impor komoditas pangan seperti beras, gandum, kedelai, jagung, daging dan lainnya yang dilakukan secara rutin pada setiap tahun.
(11)
Keputusan Menteri Perdagangan untuk menerbitkan Surat Persetujuan Impor sepanjang tahun 2014 turut memperpuruk nasib petani. Sepanjang tahun ini, kementerian perdagangan masih mengeluarkan izin impor terhadap beras, jagung, kacang tanah, ubi kayu, gula serta garam, selain bahan pangan yang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri seperti gandum dan kedelai. Dari Januari hingga Oktober 2014, data Kementerian Pertanian menunjukkan telah terjadi impor beras sejumlah 405 ribu ton, gandum sebanyak 6,49 juta ton, kedelai sebanyak 5,02 juta ton, jagung sebanyak 2,62 juta ton, kacang tanah 224.492 ton, serta ubi kayu sebanyak 273.294 ton. Khusus impor gula dan garam menjadi sorotan karena mempengaruhi harga jual petani tebu dan petani garam. Berikut merupakan tabel impor pangan periode Januari hingga Desember 2014.
IMPOR PANGAN JANUARI‐OKTOBER 2014
NO KOMODITAS JUMLAH (Ton) NILAI (US$)
1 Beras 405.000 179.070.779
2 Jagung 2.617.918 691.693.148
3 Gandum 6.496.555 2.169.866.409
4 Kedelai 5.019.148 2.988.689.081
5 Kacang Tanah 224.492 255.499.437
6 Ubi Kayu 273.295 120.098.094
Sumber : Kementan, diolah SPI
Impor Beras
Berdasarkan hasil laporan Pencapaian Kinerja Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu terbitan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), catatan importasi bahan pangan utama sepanjang 2004 sampai 2014 cenderung fluktuatif. Pada tahun 2004, impor beras sebanyak 236 ribu ton, kemudian jumlah impor beras naik menjadi 438 ribu ton pada tahun 2006 dan mencapai 1,4 juta ton pada 2007. Walupun volume impor beras sempat menurun selama dua tahun antara tahun 2008 dan 2009, tren impor beras kembali naik ditahun 2010, 2011, dan 2012 menjadi masing‐masing sebesar 687 ribu ton, 2,7 juta ton serta 1,9 juta ton. Selanjutnya pada tahun 2013, produksi beras Indonesia diberitakan surplus namun konsistensi impor negara ini tetap berlanjut dengan mengimpor beras dari Vietnam, Thailand, India, Pakistan dan Myanmar sebanyak 472 ribu ton ditahun tersebut (BPS).
Pada tahun 2014 sejak Januari sampai Oktober, volume impor beras mencapai 405.000 ton, angka ini belum termasuk ekspansi 425.000 ton beras Vietnam dan Thailand sampai dengan akhir tahun ini. Hal tersebut dilegalkan oleh kontrak pembelian Kementerian Perdagangan yang sudah diteken sejak bulan september yang lalu. Hal tersebut jelas meresahkan bagi petani padi di Indonesia, karena dengan adanya beras asing maka beras lokal menjadi terancam akan eksistensinya di pasar nasional.
Impor Gandum
Sampai dengan Oktober 2014, impor gandum telah mencapai angka sebesar 6,4 juta ton. Meski menurun dibandingkan dengan tahun 2013, kecenderungan menurunnya impor gandum tersebut seolah tidak memiliki arti karena kebutuhan gandum nasional 100% nya adalah impor.
(12)
Negara eksportir gandum yang menjadi langganan republik ini adalah Australia sebagai pemasok 50% kuota impor nasional. Kemudian selebihnya berasal dari Amerika Serikat, Kanada, Tiongkok dan beberapa negara lainnya. Miris mungkin kata yang dapat diungkapkan bersamaan dengan fakta tersebut. Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka ketergantungan kita terhadap gandum akan semakin meningkat setiap tahunnya. Bahkan beberapa ekonom memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi negara importir gandum terbesar didunia pada tahun 2019. Disisi lain dengan peningkatan tersebut, petani pangan kita semakin terdesak dan hilang kemampuannya untuk memproduksi pangan lokal yang sudah menjadi budaya. Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan peralihan pola konsumsi secara nasional untuk mengganti gandum dengan pangan lokal seperti sorgum, singkong, ubi dan lainnya, agar Indonesia dapat berdaulat pangan secara utuh dan petani menjadi sejahtera.
Impor Jagung
Jagung merupakan pangan strategis bagi masyarakat Indoesia. Namun Indonesia sampai saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan jagung secara nasional. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya industri pakan ternak yang semakin berkembang. Impor jagung tahun 2014 sampai bulan Oktober mencapai 2,6 juta ton (deptan). Angka ini diprediksi akan terus meningkat sampai akhir tahun dan semakin menegaskan bahwa setiap tahunnya impor jagung semakin meningkat. Jagung tersebut sebagian besar berasal dari India, Argentina dan Brasil. Selain karena tumbuhnya industri ternak, minimnya Sistem Resi Gudang (SRG) komoditi jagung juga menjadi kendala. SRG diperuntukan agar jagung lokal lebih berkualitas dan dapat disimpan lebih lama sehingga dapat diserap oleh pasar.
Tanpa adanya peningkatan produksi maupun kualitas jagung dalam negeri, impor jagung akan semakin superior dan secara sistemik dapat mengkhawatirkan bagi kesejahteraan para petani jagung. Maka dari pada itu, hentikan solusi sesaat dengan melakukan impor komoditi pangan dalam volume besar agar hasil produksi pertanian dalam negeri dapat kembali mendapatkan tempat yang prioritas.
Impor Kedelai
Olahan pangan dari kacang kedelai dapat dikatakan sebagai menu utama bagi masyarakat Indonesia. Namun prioritas itu tidak dirasakan bagi petani yang memproduksi kacang kedelai tersebut, karena kebijakan impor kedelai masih terus terjadi. Menurut deptan, petani dalam negeri hanya memproduksi sekitar 700.000 ton sampai 800.000 ton setiap tahunnya. Pada tahun 2014, produksi nasional diprediksi menyentuh angka 1,5 juta ton atau dua kali lipatnya. Kalaupun target itu tercapai, sebetulnya belum dapat menyelesaikan ketergantungan kita terhadap kedelai impor. Kebutuhan kedelai nasional diperkirakan sekitar 2,3 juta ton per tahun. Sedangkan kedelai dalam negeri hanya mampu menyediakan setengah dari kebutuhan nasional. Hal tersebut yang menyebabkan impor tetap berlangsung dan persaingan antara kedelai lokal dengan kedelai impor semakin meruncing. Fakta dilapangan mengungkapkan bahwa kedelai lokal belum siap menghadapi kerasnya persaingan pasar, walaupun harga pembelian kedelai petani (HBP) ditetapkan sebesar Rp 7.600/kg yang berlaku untuk periode Oktober‐Desember 2014. Kedelai Amerika Serikat, Argentina, dan negara eksportir kedelai lainnya memiliki keunggulan, antara lain adanya jaminan dari pemerintahnya agar petani mereka menghasilkan
(13)
kedelai yang berkualitas dan produktivitasnya optimal. Sedangkan di Indonesia, keberpihakan pemerintah terhadap petani kedelai belum terlihat secara jelas. Besarnya impor kedelai tersebut disertai dengan abainya pemerintah untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap petani kedelai, sehingga minat petani untuk menanam kedelai berkurang. Masalah ini harus segera diatasi dengan berbagai solusi seperti perluasan lahan, keterjaminan pasar, pengendalian hama & penyakit agar kemandirian terhadap pemenuhan kebutuhan nasional akan kedelai dapat diwujudkan. Serta menciptakan kembali kegairahan para petani untuk menanam kedelai.
Impor Daging Sapi
Kebutuhan akan daging sapi di Indonesia merupakan hal yang penting. Karena hingga detik ini kita belum dapat memenuhi kebutuhan daging secara nasional. Pemerintah seolah belum percaya pada potensi pengembangan ternak khususnya sapi dalam negeri sehingga menurut data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat, volume impor sapi bakalan dan siap potong selama Januari ‐ Juli 2014 mencapai 381.212 ekor atau setara dengan 76 ribu ton daging. Sedangkan impor daging sapi pada periode yang sama sebanyak 57.139 ton. Dengan demikian, total daging impor yang sudah masuk Indonesia mencapai 133.139 ton atau 23,16% dari kebutuhan daging nasional 2014 sebesar 757.088 ton. Angka ini akan terus bertambah hingga akhir tahun 2014.
Ketercukupan pangan khusunya daging menjadi polemik yang tak berujung, pemerintah seharusnya lebih berpihak untuk mensubsidi peternak lokal dibanding menjalankan solusi instan berupa impor sapi siap potong dan daging sapi dari Australia dan Selandia Baru. Selain itu, kebijakan mengenai ketersediaan pangan ini harus bersifat jangka panjang dan strategis. Sebab jika impor dalam waktu yang singkat terlalu ditekan maka akan terjadi pengurasan populasi sapi dalam negeri. Sedangkan jika pemerintah membuka keran impor terlalu besar, maka yang tertekan adalah peternak karena imbasnya harga daging akan jatuh dipasar.
Impor Gula
Impor gula sepanjang tahun 2014 telah ditentukan kuotanya sebanyak 2,8 juta ton dari jumlah awal yang dijinkan sebesar 3 juta ton. Pengurangan kuota tersebut merupakan sanksi yang diberikan akibat merembesnya gula rafinasi ke pasar. Pada akhir Nopember kemarin, importir gula mengajukan tambahan kembali kuota impor di penghujung tahun 2014 dengan dalih persediaan gula tidak mencukupi kebutuhan industri hingga akhir tahun. Meningkatnya jumlah impor gula diprotes oleh petani tebu yang merasakan dampak anjloknya harga jual tebu ketika panen raya serta temuan gula rafinasi di pasar lokal. Tuntutan petani gula untuk mematok HPP gula sebesar Rp 9.500, tidak dipenuhi. Pemerintah mematok HPP Gula untuk tahun 2014 sebesar Rp. 8.500,‐. Anjloknya harga jual tersebut mengakibatkan petani tebu selalu merugi dan berhutang setiap panen raya.
(14)
Impor Garam
Petani garam menghadapi persoalan yang tidak jauh berbeda dengan petani tebu. Setiap tahun impor garam industri rata‐rata sebesar 1,9 juta ton sampai 2,1 juta ton. Sementara produksi garam nasional tiap tahun mencapai 2,1 juta ton dengan angka konsumsi garam sebesar 1,7 juta ton. Yang menjadi persoalan adalah dugaan masuknya garam konsumsi impor pada Januari hingga Februari 2014 lalu sebesar 135 ribu ton, yang dinyatakan oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Maret 2014. Untuk membedakan garam industri dan garam konsumsi dapat dilakukan dengan mengecek bea masuk yang dikenakan, 10% untuk garam industri dan 0% untuk garam konsumsi. Masuknya impor garam konsumsi secara diam‐diam tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak‐hak petani garam atas harga yang layak, dimana produksi petani garam masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
V. HAK ATAS KEHIDUPAN YANG LAYAK
Sepanjang tahun 2014, Nilai Tukar Petani tidak banyak berubah. Pada bulan Januari Nilai Tukar Petani berada pada 101,95. Pada bulan Nopember lalu Nilai Tukar Petani berada pada angka 102,37.
Berdasarkan hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian (SPP) Tahun 2013 yang dirilis oleh BPS pada tahun 2014 ini, diketahui bahwa rata‐rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian di Indonesia hanya sebesar 12,41 juta rupiah per tahun atau sekitar 1 juta rupiah per bulan. Pendapatan tersebut jauh dari UMR yang berlaku di seluruh daerah, sehingga memicu laju urbanisasi. Oleh karenanya tidak mengherankan jika petani dan masyarakat pedesaan merupakan sasaran utama dari berbagai program kemiskinan, termasuk penerima program beras miskin atau raskin. Sangat ironis jika petani produsen pangan merupakan kelompok penerima raskin.
(15)
VI. HAK ASASI PETANI TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI
Keanekaragaman hayati merupakan tanggung jawab bersama agar pelestraian lingkungan tetap terjaga. Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi yang mendorong industri modern berpijak diseluruh bidang, pada waktu yang bersamaan kelestarian mengenai keanekaragaman hayati semakin terancam. Tak terkecuali pada bidang pertanian, rekayasa genetika semakin gencar dikampanyekan dan bahkan dilegalisasi oleh pemerintah guna keuntungan kaum pemodal dan korporasi. Di Indonesia hal tersebut ditandai dengan adanya Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang membuat industri perbenihan pangan dan hortikultura satu langkah lebih dekat untuk memasarkan benih biotek (genetically modified organism/GMO). Perpres ini hadir untuk menyempurnakan Peraturan Presiden No. 39/2010. Peraturan ini berisi tentang aturan main dan struktur organisasi Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG) yang akan diisi oleh elemen pemerintah, akademisi dan komunitas masyarakat. Dengan adanya peraturan ini, maka selangkah lagi benih biotek akan hadir di pasar Indonesia. Kekhawatiran mengenai GMO semakin dipertegas dengan pernyataan Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan dan Sumber Daya Hayati, yang menunggu hadirnya kepperes tentang GMO.
Berdasarkan pernyataan tersebut, diperkirakan kedepannya industri benih baik berbasis modal asing maupun dalam negeri, sudah bisa mulai memasarkan produk GMO. Menurut SPI, pemanfaatan benih GMO akan menghilangkan benih lokal dan para petani penangkar benih. Selanjutnya, kelompok petani penangkar akan diganti dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun‐laboratorium benih industri korporasi. Dengan demikian maka hilanglah satu mata rantai produksi benih dari tangan petani. Kemudian sistem perbenihan rakyat akan mengalami kelesuan nantinya bila pasar GMO benar‐benar direalisasikan.
Prinsip kehati‐hatian (precautionary) dalam keamanan pangan harus benar – benar diutamakan karena pemerintah sudah mengimplemtasikan Convention on Biological Diversity dan Protokol Cartagena, yang selanjutnya diadopsi dalam UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan juga UU Pangan No.18/2012 terkhusus mengenai label dan iklan, serta PP No.69/1999 yang di dalamnya mengatur pelabelan pada pangan hasil rekayasa genetika. Seyogyanya pemerintah mendukung penuh upaya para ahli teknologi pertanian untuk memanfaatkan dan mengembangkan benih lokal dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan, bukan malah menghibahkan keanekaragaman hayati melalui GMO yang bukan diperuntukan bagi kepentingan dan keadilan rakyat secara utuh.
Peraturan Perundang‐undangan terkait GMO :
1. Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik
2. Peraturan Presiden No. 39/2010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik;
3. Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 88, 4414).
(16)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 44,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489).
5. Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
VII. HAK ATAS KEBEBASAN BERORGANISASI
Hak kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi untuk petani merupakan bunyi dari pasal XII Deklarasi Hak Asasi Petani. Hak ini menyatakan bahwa petani tidak boleh dipandang sebelah mata dan harus kembali ditempatkan menjadi soko guru bangsa ini. Kemerdekaan berkumpul atau berorganisasi bagi petani acapkali tidak difasilitasi dan bahkan dianggap mengancam dalam beberapa kasus yang terjadi di Indonesia. Sebagai manusia, petani memiliki pendapat yang harus dipertimbangkan dan didengar oleh para pengambil kebijakan agar nantinya kebijakan yang dikeluarkan dapat diterima dan dipergunakan untuk kemajuan bersama. Namun, beberapa hal yang sering terjadi antara lain seperti pelemahan terhadap organisasi petani secara terus‐menerus, mempersoalkan keabsahan organisasi dan perannya dalam masyarakat serta menabrakkannya dengan kepentingan organisasi lain. Sehingga stigma melanggar hukum disematkan pada setiap gerakan yang dilakukan petani.
Seperti misalnya pada kasus di Sesepan, Kab. Indramayu, Jawa Barat pada bulan Januari 2014, satu orang petani yang dikriminalisasi yang tak lain merupakan pimpinan dari organisasi tani di daerah itu. Untuk menuntut keadilan, maka anggota dari organisasi tersebut melakukan unjuk rasa untuk mengungkapkan pendapatnya saat prosesi persidangan berlangsung. Kemudian beberapa oknum mengintimidasi dengan memukuli para petani tersebut lalu mengancam untuk tidak kembali berorganisasi. Pada kasus tersebut secara jelas memuat pelanggaran hak asasi petani dalam konteks kemerdekaan berkumpul.
Selain pada kejadian‐kejadian yang kasuistik, ancaman tentang kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi untuk petani datang dari segi regulasi hukum. Pelemahan hak petani dikhawatirkan akan semakin meluas dan sistematis melalui aturan perundang‐undangan. Misalnya pada UU No.19 tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pasal 59 mengenai ‘sewa tanah’, pasal 70 (1) mengenai ‘kelembagaan petani’ dan pasal 71 mengenai kata ‘berkewajiban dalam kelembagaan pertanian’. Ketiga pasal tersebut berdasarkan hasil kajian SPI bertentangan dengan UUD 1945.
Berangkat dari pada itu, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama organisasi sipil lainnya mengajukan Judisial Review ke Mahkamah Konstitusi. Akhirnya pada 5 November 2014, MK memenangkan gugatan yang diajukan dengan nomor putusan No.87/PUU‐XI/2013. Secara ringkas putusan itu menyatakan, pertama frasa ‘hak sewa’ dalam pasal 59 UU No.19 tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena hubungan sewa menyewa tanah yang dilakukan oleh negara merupakan praktik feodal dimasa kolonial hindia belanda dan sudah semestinya dihentikan.
(17)
Kedua, pasal 70 ayat 1 mengenai kelembagaan petani dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani’. Dengan demikian, tidak hanya Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Asosiasi Komoditas Pertanian dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani juga harus diakui. Ketiga, pasal 71 tentang kata ‘berkewajiban’ juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi pasal tersebut kemudian selengkapnya menjadi ‘petani bergabung dan berperan aktif dalam kelembagaan petani sebagaimana dimkasud dalam pasal 70 ayat 1’. Oleh karena itu, petani tidak berkewajiban untuk ikut dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani, dan boleh menjadi anggota organisasi tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani sendiri. Kemenangan tersebut bukanlah suatu akhir dari penegakan hak asasi petani, melainkan suatu semangat untuk melangkah menuju masyarakat adil dan makmur yang benar‐benar dirasakan oleh petani.
Undang – Undang Terkait :
1. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
2. Undang‐Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani.
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan1. Hak Asasi Petani terhadap sumber‐sumber agraria semakin dikesampingkan. Serikat Petani Indonesia mencatat setidaknya terjadi 143 konflik sepanjang tahun 2014, diantaranya 29 konflik agraria yang muncul ke permukaan dan menjadi sorotan publik kemudian 114 kasus masih berkecamuk di akar rumput. Korban kekerasan dan penganiayaan berjumlah 90 orang, dan 89 orang petani dikriminalisasi secara hukum. Secara keseluruhan konflik tersebut telah mengusir ribuan Kepala Keluarga dari lahan pertanian yang mereka pertahankan. Sebaran konflik agraria sepanjang 2014 terkonsentrasi di pulau sumatera yaitu sebesar 83% dari sekitar 649.973,043 ha lahan diperebutkan. Data tersebut menerangkan bahwa pulau sumatera yang menjadi sentra perkebunan nasional menjadi titik balik dari konflik agraria yang terus terjadi. Sebanyak 58% konflik agraria yang terjadi ditahun 2014 diperankan oleh pihak swasta baik nasional/asing. Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan UU Perkebunan No 18 tahun 2004, telah memperkuat pihak perusahaan untuk merampas dan mempertahankan tanah‐tanah yang dikuasainya dengan menggunakan pasal‐pasal yang terkandung pada pasal 20, 21, dan 47, dimana perusahaan‐perusahaan tersebut dapat melakukan pengamanan usaha perkebunan dan dikordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat disekitarnya. UU ini juga menjadi dasar untuk kriminalisasi petani dan masyarakat adat setiap kali memperjuangkan tanahnya yang bersengketa dengan perusahaan perkebunan.
(18)
2. Kondisi penegakan Hak Asasi Petani juga mendapatkan tantangan yang pelik karena berhadapan dengan pemerintah. Sebanyak 42% atau 60 kasus konflik agraria selama 2014 terjadi dengan pemerintah. Selain itu hampir keseluruhan kasus baik yang diperankan oleh pemerintah maupun swasta selalu melibatkan aparat penegak hukum dilapangan. Sehingga bentrokan, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap petani tak dapat dihindarkan.
3. Hak Asasi Petani terhadap modal dan sarana produksi pertanian pada tahun 2014 mengalami tantangan yang berat dengan kelangkaan pupuk yang disertai melonjaknya harga pupuk di pasar. Selain itu, kekeringan yang terjadi di 86 Kota/Kabipaten di indonesia semakin menghantui petani. Kondisi ini semakin menjadi‐jadi ketika irigasi rusak dan tak terurus dengan baik. Sehingga sarana produksi yang seharusnya menjadi hak bagi petani seolah diabaikan.
4. Hak Asasi Petani terhadap akses pasar dan harga jual yang layak pada tahun 2014 dibenturkan dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor komoditas pangan melalui peraturan‐peraturan yang dikeluarkan oleh kementrian perdagangan. Impor yang menjadi sorotan bagi SPI yaitu pada 7 komoditas pangan seperti beras, gandum, jagung, kedelai, daging sapi, gula dan garam. Pada impor gula dan garam, SPI memandang pemerintah gagal dalam memenuhi hak petani untuk mendapatkan harga jual yang layak. Karena impor dilakukan ketika musim panen berlangsung dan bahkan ketika ketersediaan nasional masih mencukupi kebutuhan. Sedangkan untuk beras, gandum, jagung, kedelai, dan daging sapi. Kebijakan impor menghambat akses pasar terhadap produk dalam negeri sehingga jelas merugikan para petani dan peternak.
5. Hak petani atas kehidupan yang layak sepanjang tahun 2014 tidak bergerak secara signifikan. Indikatornya yaitu Nilai Tukat Petani (NTP) pada bulan Januari sebesar 101,95 dan pada bulan Nopember berada pada angka 102,37. Selanjutnya data dari BPS menunjukan rata‐rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian hanya sebesar 12,41 juta rupiah per tahun atau sekitar 1 juta rupiah per bulan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kesejahteraan bagi petani belum terjamin disamping luas lahan yang digarap semakin menyempit. Kehidupan yang layak sebagai hak petani sangat jauh panggang dari pada api jika kita kaitkan dengan kenyataan tersebut.
6. Hak Asasi Petani terhadap keanekaragaman hayati di tahun 2014 ditandai dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan ini memberikan sinyal produk GMO (genetically modified organism) akan segera mengakses pasar pertanian nasional. GMO akan menghilangkan benih lokal dan para petani penangkar benih. Selanjutnya, kelompok petani penangkar benih akan digantikan dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun‐laboratorium benih industri korporasi. Dengan demikian maka hilanglah satu mata rantai produksi benih dari tangan petani. Kemudian sistem perbenihan rakyat akan mengalami kelesuan. Selain keuntungan dengan adanya GMO hanya dirasakan oleh minoritas seperti pemodal dan korporasi, bahaya GMO untuk keberlangsungan keanekaragman hayati menjadi sesuatu yang terpenting. Maka dari pada itu, SPI menyerukan untuk mencabut perpres tersebut atas dasar keberlangsungan kehidupan umat manusia dan keteradilan bagi petani.
(19)
7. Hak atas kebebasan dalam berorganisasi bagi petani diperkuat dengan dikabulkannya gugatan UU. No. 19 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan No.87/PUU‐XI/2013 tersebut secara singkat merubah frasa ‘hak sewa’ pada pasal 59, mengakui organisasi yang didirikan oleh petani pada pasal 70 (1) dan membebaskan petani untuk berorganisasi. Akan tetapi pada pelaksanaannya regulasi tersebut tidak berjalan mulus sesuai harapan yang disematkan kepadanya. Misalnya pada kasus konflik agraria di tahun 2014, petani selalu menjadi objek dari tindak kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun preman. Utamanya ancaman dilakukan agar petani tidak kembali berorganisasi dan menghimpun kekuatan. Hal tersebut jelas membatasi hak petani untuk berorganisasi.
Rekomendasi
Palanggaran terhadap Hak Asasi Petani di Indonesia masih terus terjadi tanpa adanya langkah yang signifikan untuk menegakan keadilan petani. Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia menekankan pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria sejati untuk kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan agar petani dapat merasakan kehidupan yang adil dan makmur. Langkah‐langkah yang Serikat Petani Indonesia usulkan adalah sebagai berikut :
1. Mempertahankan Undang‐Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐Pokok Agraria sebagai undang‐undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945.
2. Mengeluarkan kebijakan‐kebijakan tentang pelaksanaan Pembaruan Agraria di Indonesia seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dan lainnya yang berlandaskan pada UUPA No. 5 tahun 1960 dan UUD 1945.
3. Membentuk suatu komite penyelesaian konflik agraria yang menjunjung tinggi nilai‐nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tujuan menyelesaikan konflik‐konflik agraria yang terjadi.
4. Memberikan perlindungan dan memenuhi seluruh Hak Asasi Petani terhadap : i. Kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak;
ii. Tanah dan teritori;
iii. Benih dan pengetahuan serta praktek pertanian tradisional; iv. Permodalan dan sarana produksi pertanian;
v. Informasi dan teknologi pertanian;
vi. Kemerdekaan untuk menentukan harga dan pasar untuk produksi pertanian; vii. Perlindungan nilai‐nilai pertanian;
viii. Keanekaragaman hayati; ix. Pelestarian lingkungan;
x. Kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi dan xi. Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan.
Melalui produk hukum untuk menguatkan UUPA No. 5 tahun 1960, UU No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 6 tahun 2014 Tentang Desa serta
(20)
5. Mencabut dan/atau merevisi produk hukum yang merugikan dan melanggar hak asasi petani seperti UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 7/2004 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, UU No. 18/2004 Tentang Perkebunan, UU No. 4 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai Sumberdaya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian, UU No. 25/2007 Tentang Penanaman Modal, UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU No. 38/2008 Tentang Ratifikasi Piagam ASEAN, UU No. 4/2009 Tentang Pertambangan dan Mineral Batu Bara, UU No. 18/2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura, UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, Permentan No. 67 Tahun 2013 Tentang Pedoman Subsidi Benih, Perpres No. 39 Tahun 2014 Tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang modal dan Peraturan Presiden No. 53/2014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.
6. Pemerintah Indonesia segera memfungsikan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menjadi penjaga pangan di Indonesia, dengan memastikan pengendalian tata niaga, distribusi dari hasil produksi pangan petani Indonesia. Pemerintah Indonesia juga harus menjadi pengendali seluruh impor pangan yang berasal dari luar negeri.
7. Menyusun Visi Pembangunan Pertanian Indonesia yang menempatkan petani dan pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian Indonesia. Mengurangi peran perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, dengan menghentikan proses korporatisasi tanah, pertanian dan pangan seperti food estate dan program MP3EI yang sedang berlangsung saat ini.
8. Membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya raya ini. Sehingga memungkinkan usaha‐usaha rakyat untuk mandiri dan berkembang. Capaian usaha‐usaha tersebut nantinya dapat memberikan lapangan kerja baru dan langkah antisipasi dari ancaman pangan impor.
9. Menempatkan koperasi‐koperasi petani, usaha‐usaha keluarga petani, dan usaha‐usaha kecil dan menengah dalam mengurusi usaha produksi pertanian dan industri pertanian. Serta menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengurusi industri dasar yang berasal dari produk‐produk pertanian yang memerlukan permodalan dan industri dalam sekala besar.
10. Meneruskan komitmen pemerintah untuk melaksanakan kembali program Go organik 2010 untuk masa‐masa selanjutnya, dengan suatu konsep dan implementasi yang komprehensif dalam menerapkan prinsip‐prinsip agroekologis.
(21)
11. Menolak paket Bali (WTO) 2013 yang menarik subsidi pemerintah kepada petani dan adanya pembebasan tarif bea masuk impor untuk produk pertanian ke Indonesia. Untuk jangka panjang harus membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Sistem distribusi pangan yang liberal mengakibatkan ketidakstabilan dan maraknya spekulasi harga pangan.
12. Menertibkan database terkait pertanian dan petani yang selalu berpolemik antara BPS, Kementerian perdagangan dan Kementerian Pertanian agar tidak mengeluarkan kebijakan‐ kebijakan merugikan petani dan bangsa secara umum.
PENUTUP
Laporan situasi Hak Asasi Petani di Indonesia Tahun 2014 ini merupakan gambaran umum yang seluruh data dan informasinya mampu dijangkau oleh Serikat Petani Indonesia. Masih banyak pelanggaran terhadap Hak Asasi Petani diberbagai pelosok desa terpencil yang tidak terakses informasinya. Merupakan kewajiban segenap warga negara Indonesia untuk menyuarakan Hak Asasi Petani yang menjadi penyedia pangan untuk keberlangsungan kehidupan penduduk Indonesia. Namun kewajiban utama untuk melindungi Hak Asasi Petani berada di tangan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Negara harus memastikan Hak‐hak dasar petani dilindungi oleh hukum, dan sepenuhnya dijalankan dan dipenuhi oleh negara, demi kedaulatan pangan, kesejahteraan petani dan masa depan bangsa.
JAKARTA, 10 DESEMBER 2014
DEWAN PENGURUS PUSAT
SERIKAT PETANI INDONESIA
(22)
LAMPIRAN
A. DAFTAR KONFLIK AGRARIA TAHUN 2014
NO. LOKASI KASUS WAKTU BERKONFLIK
DENGAN KORBAN/LUAS LAHAN DEKLARASI HAK ASASI PETANI 1 Sesepan, Kab.Indramayu, Jawa Barat Jan‐14 Penyidik dan Pengadilan Negeri Bandung 1 orang petani dikriminalisasi, dan lainnya di intimidasi & dipukuli Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak), Pasal 12 (Kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan). 2 Desa Dongi – dongi dan Desa Kamanora, Kec.Palolo, Kab.Sigi, Sulawesi Tenggara Jan‐14 Polhutan, Polisi dan TNI 13 orang petani diculik Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 3 Kab.Indramayu, Jawa Barat Feb‐14 Perum Perhutani 1 orang petani di vonis 7 bulan penjara dan denda Rp. 500.000.‐ (dikriminalisasi) Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan). 4 Suku Anak Dalam Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batanghari, Jambi Mar‐14 PT. Asiatik Persada dan Aparat 700 rumah gubug dihancurkan, 3000 jiwa terusir dari tanahnya, 1 orang diculik, 5 orang luka‐luka karena senjata tajam dan 1 orang tewas Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 5 Kec. Teluk Jambe, Kab.Karawang, Jawa Barat Mar‐14 PT. Sumber Air Mas Pratama 1 orang dikriminalisasi dan ratusan diintimidasi oleh 500 preman. 350 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
(23)
6 Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah
Mar‐14 PTPN IX Penangkapan 3 orang petani oleh Polres Sragen. 425 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 7 Dusun Simbar Lor, Desa Plosokidul, Kec. Plosok laten, Kab. Kediri, JawaTimur Mar‐14 Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Margomulyo Pengrusakan tanaman petani (nanas, ketela, dan tebu). 170 ha. Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 8 Desa Sukarame, Kecamatan Kualuh hulu, Kab. Labura Sumut Februari – Maret 2014
PT.Sei Perlak 938 ha
9 Desa Sei Apung, Kec. Kualuh Hilir, Kab. Labura, Sumut. Jul‐05 Perorangan (Robert Paloco) 400 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 10 Masyarakat Adat Batu Daya, Kec. Simpang Dua, Kab. Ketapang, Kalbar May‐14 PT. Swadaya Mukti Prakarsa 5 orang petani ditangkap dan 2 orang dipenjara. 1088,33 ha hutan adat Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 11 Desa Tegal dowo, Kec. Gunem, Kab. Rembang, Jawa Tengah Jun‐14 PT. Semen Indonesia 11 Orang petani ditangkap dan lainnya luka‐ luka. 21,13 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 12 Kec.Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat Jun‐14 PT. Sumber Air Mas Pratama 9 orang petani & 4 buruh ditangkap, 10 buruh, 5 petani, & 1 mahasiswa luka‐luka. Diantaranya 1 orang petani mengalami luka tembak. 350 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak), Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori) dan Pasal 13 (Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan). 13 Kec. Keera, kab. Wajo Sulawesi Selatan
Jun‐14 PTPN XIV 1.943 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
(24)
14 Sungai Pinang Km 7, Desa Birandang, Kec. Kampar Timur, Kab. Kampar, Riau Jun‐14 Wakil Ketua DPRD dan Bupati Kampar 2 petani dianiaya dan diancam (Jamal dan Nur Asmi). Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 15 Warga Adat Pamona, Desa Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel
Jun‐14 PT. SINDOKA 57 orang luka‐ luka dan 20 orang ditangkap Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 16 Desa Penyang, Kec. Telawang, Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng Jun‐14 PT. Agro Bukit (Agro Indomas Group) 1 Orang Tewas Tertembak Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 17 Warga Adat Marga Tungkal Ulu Desa Simpang Tungkal, Kab. Musi Banyuasin, Sumsel Jun‐14 Kehutanan/BKS DA 7 Orang ditangkap Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 18 Kelurahan Sukodadi, Kec. Sukarami, Palembang, Sumsel Jun‐14 TNI Angkatan Udara (Lanud) Palembang 5 Luka Tembak Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 19 Desa Gadungan dan Desa Sumberagun, Kab. Blitar, Jawa Timur Mei dan Agustus 2014 PT. Rotorejo Kruwuk 2 orang petani dikriminalisasi dan perusakan tanaman petani. 557 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 20 Masyarakat Adat Dangku, Kab. Musi Banyuasin, Sumsel September – Oktober 2014 BKSDA SUMSEL, Dishut dan Aparat 6 petani dikriminalisasi dan 10 rumah dirobohkan. Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 21 Desa Bukit Krikil, Kec.Bukit Batu, Kab.Bangkalis, Riau Hingga 2014
PT. Arara Abadi 6.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 22 Kab.Mamuju, Sulawesi Barat Oct‐14 PT. Unggul Widya 17.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas
(1)
133 Kecamatan Padang Halaban, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara Hingga 2014
PT. SMART 3.000 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 134 Desa Pengarungan, Kecamatan Torgamba, Labuhan Batu Selatan, Sumatra Utara. Hingga 2014
PT. Asam Jawa 700 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 135 Desa Pandan, Kecamatan Galis, Kab. Pamekasan Madura Jawa Timur Hingga 2014
PT. Garam 78 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 136 Desa Tegalrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang Jawa Timur Hingga 2014 PTPN XII Pancursari 180 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 137 Desa Ringinkembar, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur Hingga 2014 Puskopad Dam V/Brawijaya 355 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 138 Kab. Mamasa, Sulawesi Barat Hingga 2014 Pemerintah Daerah 64 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 139 Pulau Tiaka, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah Hingga 2014 PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) 13.400 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 140 Merauke, Papua Hingga
2014 PT Medco Papua Industri Lestari 2.800 ha Pasal 4 (Hak Atas Tanah dan Teritori) dan Pasal 11 (Hak Atas Pelestarian Lingkungan)
(2)
141 Desa Panca Jaya, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah
Hingga 2014
PT. Bangun Jaya Alam Permai
600 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 142 Desa Lagading,
Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan
Hingga 2014
PT. Buli 11.900 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori). 143 Kecamatan Bandar
Pulo, Asahan, Sumut
Hingga 2014
Perkebunan Swasta
112 ha Pasal 3 (Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak) dan Pasal 4 (Hak atas tanah dan teritori).
B. KEBIJAKAN MENTERI PERDAGANGAN MENGENAI HPP DAN IZIN IMPOR
NO. KEBIJAKAN MENDAG KORBAN
PELANGGARAN TERHADAP DEKLARASI HAK ASASI
PETANI 1 Surat Persetujuan Impor Gula Kristal Putih (Gula
Rafinasi) Kepada Bulog (No.04.PI‐13.14.0002 terbit 1 April – 15 Mei)
Petani Tebu Pasal VIII (jaminan atas harga yang layak dan pasar untuk produksi pertanian) 2 Penetapan Harga Patokan Petani (HPP) 2014
Sebesar Rp. 8.250/Kg
Petani Tebu Pasal VIII (jaminan atas harga yang layak dan pasar untuk produksi pertanian) 3 Permendag No.45/M‐DAG/PER/8/2014
(Penetapan Harga Pembelian Kedelai ditetapkan Rp.8.500/Kg
Petani Kedelai Pasal VIII (jaminan atas harga yang layak dan pasar untuk produksi pertanian) 4 Impor garam dari Australia dan Uni Eropa,
masing‐masing sebanyak 128.000 Ton dan 79 Ton. Harga garam nasional hanya Rp.350/Kg sedangkan garam impor sebesar Rp.1.300/Kg.
Petani Garam Pasal VIII (jaminan atas harga yang layak dan pasar untuk produksi pertanian) 5 Surat Keputusan Dirjen Perdagangan Dalam
Negeri, Impor dapat dilakukan jika harga bawang merah sebesar Rp.25.500/Kg ditingkat konsumen dan Rp.15.500/Kg ditingkat petani. Realita yang terjadi, pada semester pertama tahun 2014 impor bawang merah sebanyak 75.762 Ton dan tragisnya dilakukan ketika petani bawang dalam negeri dalam masa panen.
Petani Bawang Merah
Pasal VIII (jaminan atas harga yang layak dan pasar untuk produksi pertanian)
(3)
C. SEKILAS PERJUANGAN PETANI UNTUK PENGAKUAN TERHADAP HAK ASASI PETANI
Berawal dari Indonesia pada tanggal 21 April 2001, lahirlah inisiatif rakyat untuk pengakuan dan perlindungan hak asasi kepada kaum tani dan para pejuang reforma agraria.Inisiatif itu dituangkan dalam sebuah perhelatan bertajuk Konferensi Nasional Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani, yang melahirkan Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia.Berbulan‐bulan sebelum konferensi nasional tersebut diselenggarakan, petani‐petani di Indonesia telah melakukan berbagai rangkaian rapat dan workshop mengenai hal tersebut. Secara nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan workshop di Medan, Sumatera Utara sejak tahun 2000. Kemudian wacana tersebut berkembang ke level regional dan konferensi dengan tema yang sama diadakan di Jakarta pada April 2002 dan akhirnya Konferensi Internasional Hak Asasi Petani dilaksanakan di Jakarta pada Juni 2008. Sejak genesisnya di awal era 2000‐an, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama La Via Campesina, gerakan petani internasional, telah berjuang untuk pengakuan dan perlindungan hak asasi petani dalam mekanisme hukum internasional di PBB. La Via Campesina dengan bersama Foodfirst International Action Network dan Centre Europe Tiers‐Monde (CETIM) telah melakukan dua kali pertemuan dengan para ahli didalam isu HAP (Hak Asasi Petani) untuk membicarakan inisiatif sebuah Konvensi HAP di tahun 2004 dan 2006. Hasil pertemuan ini adalah tercatatnya inisiatif tersebut di dalam laporan tahunan 2006 oleh Special Rapporteur PBB untuk Perlindungan Hak atas Pangan.Hal ini terkait sebagai usaha untuk memperbaiki kehidupan petani kecil sebagai korban utama dari kelaparan dan malnutrisi, dan tentunya relevan terhadapkonteks pelanggaran HAM.Dipandang dari sisi hukum internasional, perjuangan petani untuk pengakuan haknya ini berlaku sepenuhnya pada kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) yang mencakup instrumen dan mekanisme tematik Dewan HAM PBB, yang mengatur tentang hak atas pangan, hak atas tempat tinggal, akses terhadap air bersih, hak atas kesehatan, pembela hak asasi manusia, masyarakat adat, rasisme & diskriminasi rasial, dan hak‐hak perempuan. Instrumen internasional PBB ini tidak secara menyeluruh mencakup atau mencegah pelanggaran hak asasi manusia terutama hak asasi petani.Kita melihat terdapat beberapa keterbatasan Kovenan Internasional Hak‐hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) sebagai alat untuk melindungi hak petani.Selain itu, Piagam Petani yang dibuat oleh FAO pada tahun 1979, tidak dapat melindungi para petani dari kebijakan liberalisasi internasional.Konvensi internasional lain yang berhubungan dengan hak asasi petani juga tidak dapat diterapkan.
Konvensi‐konvensi tersebut termasuk : Konvensi ILO 169, Klausul 8‐J Konvensi Keanekaragaman Hayati, Poin 14.60 Agenda 21, dan Protokol Cartagena dalam International Treaty on Plant Genetic Resource for Food and Agriculture (ITPGRFA). Sebenarnya sudah ada pasal 9 tentang hak petani, namun masih terjanggal juga dengan ‘benfit sharing’ yang bias dengan hak paten industri atas benih.Dilatarbelakangi dengan keterbatasan dari konvensi dan resolusi tersebut, adalah penting untuk menciptakan instrumen internasional untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakan hak asasi petani—sebuah Konvensi Internasional Hak Asasi Petani. Lebih lanjut konvensi internasional Hak Asasi Petani tersebut berisikan nilai‐nilai dari hak para petani yang akan dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh pemerintah dan lembaga internasional. Sampai saat ini telah terdapat konvensi‐konvensi untuk melindungi kelompok‐kelompok yang rentan seperti masyarakat adat, perempuan, anak‐anak atau pekerja migran.
(4)
Oleh karena kaum tani sebagai kelompok yang rentan, maka hal yang sangat mendesak untuk segera mewujudkan Konvensi Internasional Hak Asasi Petani.Setali tiga uang dengan keadaan internasional, ternyata instrumen hak asasi manusia di tingkat nasional juga tidak cukup untuk melindungi hak‐hak petani. Kasus kriminalisasi, dan kekerasan yang menyebabkan kematian, pembunuhan dan penangkapan petani juga mereka yang berjuang untuk sumber‐sumber agrarianya banyak sekali terjadi pada tahun‐tahun belakangan ini, seperti yang akan diterangkan pada bab‐bab selanjutnya.
Diskriminasi yang terus berlangsung terhadap petani membuat pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi mereka terhambat.Untuk itulah ditingkat nasional, Serikat Petani Indonesia memperjuangkan sebuah Undang‐Undang untuk Perlindungan Hak Asasi Petani. Hasilnya pada tahun 2013 UU No. 19 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disahkan dan menjadi salah satu tonggak penegakan Hak Asasi Petani di Indonesia.Akan tetapi, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ini masih terdapat kelemahan didalamnya. Maka dari pada itu, SPI bersama organisasi‐organisasi lainnya mengajukan Judisial Review ke mahkamah konstitusi prihal isi dari pasal 59, 70 dan 71. Ketiga pasal tersebut berdasarkan hasil kajian bersama dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hasilnya pada awal November 2014, MK mengabulkan Judisial Review yang diajukan dengan menghapus makna “sewa lahan” dalam pasal 59, tidak menentukan nama kelembagaan petani pada pasal 70 ayat 1, dan menghapus kata “berkewajiban” pada pasal 71.
Didunia internasional, sejak tahun 2004 Serikat Petani Indonesia bersama La Via Campesina telah melaporkan pelanggaran hak‐hak asasi petani tersebut secara berkala ke Perserikatan Bangsa‐ Bangsa (PBB) dan menggunakan Deklarasi Hak Asasi Petani sebagai alat monitor secara efektif. Serikat Petani Indonesia (SPI) menggunakan Deklarasi Hak Asasi Petani sebagai alat monitor untuk menilai sejauh mana hak asasi petani diakui, dilindungi, dan dipenuhi. Deklarasi tersebut berisikan 13 pasal utama dan singkat untuk menandakan pelanggaran di lapangan, yang bisa ditemukan pada tabel di bawah ini (Pasal 1 dan 2 tidak dicantumkan karena berisikan pengertian petani dan hak umum petani) :
INDIKATOR PELANGGARAN HAK ASASI PETANI
JENIS HAK YANG DILANGGAR INDIKATOR SINGKAT (1) Hak atas kehidupan dan atas standar
kehidupan yang layak (Pasal III Deklarasi Hak Asasi Petani)
Kebutuhan petani atas keadilan pangan, sandang, gizi, infrastruktur di pedesaan.
(2) Hak atas tanah dan teritori (Pasal IV Deklarasi Hak Asasi Petani)
Perampasan atas sumber daya agraria: 1. Pelemahan dan serangan langsung atas akses
dan penghidupan,
2. Kasus tanah yang berlarut‐larut,
3. Bentuk‐bentuk status tanah yang merampas secara langsung dan tidak langsung‐termasuk HGU,
4. Monopoli dan Oligopoli Tanah (keadaan pasar tanah),
5. Kebijakan dan UU yang menggusur tentang kehidupan rakyat dan petani pedesaan
(5)
(3) Hak atas benih dan pengetahuan serta praktek pertanian tradisional (Pasal V Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Praktik yang menghalangi hak penentuan varietas benih yang ditanam petani,
2. Praktik yang menghalangi hak untuk melestarikan dan mengembangkan pengetahuan lokal petani dalam pertanian, perikanan dan peternakan—dan teknologi mereka sendiri yang berdasarkan prinsip perlindungan atas kesehatan manusia dan pelestarian lingkungan,
3. Praktik yang menghalangi hak mengembangkan benih varietas lokal dan saling bertukar, memberi atau menjual benih tersebut.
(4) Hak atas permodalan dan sarana produksi pertanian (Pasal VI Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Adanya penyelewengan bantuan dan modal yang diberikan pemerintah kepada petani. 2. Tidak tersalurnya bantuan dan akses modal
untuk pertanian petani di pedesaan. (5) Hak atas informasi dan teknologi
pertanian (Pasal VII Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Ketidakfahaman petani atas dampak pelaksanaan UU yang berhubungan dengan petani.
2. Sulitnya mencari informasi tentang kebijakan dan akses tekhnologi pertanian.
(6) Kemerdekaan untuk menentukan harga dan pasar untuk produksi pertanian (Pasal VIII Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Adanya monopoli perusahaan,
2. Adanya praktek perdagangan international yang menabrak harga pertanian nasional, 3. Hilangnya hak atas akses pertanian di
pedesaan akibat monopoli perusahaan. (7) Hak atas perlindungan nilai‐nilai
pertanian (Pasal IX Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Hilangnya kebudayaan pertanian lokal di desa akibat kebijakan konversi lahan,
2. Hancurnya pengetahuan dan nilai pertanian tradisional di pedesaan.
(8) Hak atas keanekaragaman hayati (Pasal X Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Kebijakan yang secara tidak langsung membuat organisasi tani tidak bisa beraktivitas dan menngembangkan pengetahuan tradisional petani dipedesaan, 2. Praktek penangkapan petani atas
pengembangan budidaya tanaman. (9) Hak atas pelestarian lingkungan (Pasal XI
Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Praktik yang secara tidak langsung membuat petani tidak bisa beraktivitas, mengakseslingkungan yang sehat, dan menghalangi praktik pelestarian lingkungan berdasarkan kearifan lokal rakyat,
2. Praktek eksploitasi kekayaan alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
(10) Kemerdekaan berkumpul,
mengeluarkan pendapat dan berekspresi (Pasal XII Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Pelemahan organisasi secara terus‐menerus mempersoalkan keabsahan organisasi danperannya dalam masyarakat,
2. Menabrakkannya dengan kepentingan organisasi lain,
3. Stigma kriminalisasi: setiap gerak dianggap melanggar hukum.
(6)
(11) Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan (Pasal XIII Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Tidak ada peradilan yang adil (unfair trial), 2. Paksaan (fisik dan psikologis) untuk
memberikan keterangan palsu, 3. Berkas yang bermasalah,
4. Tidak ada kehadiran pembela atau akses kerabat/keluarga dan media.