HAK ATAS KEHIDUPAN YANG LAYAK HAK ASASI PETANI TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI

13 Impor Garam Petani garam menghadapi persoalan yang tidak jauh berbeda dengan petani tebu. Setiap tahun impor garam industri rata‐rata sebesar 1,9 juta ton sampai 2,1 juta ton. Sementara produksi garam nasional tiap tahun mencapai 2,1 juta ton dengan angka konsumsi garam sebesar 1,7 juta ton. Yang menjadi persoalan adalah dugaan masuknya garam konsumsi impor pada Januari hingga Februari 2014 lalu sebesar 135 ribu ton, yang dinyatakan oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau‐Pulau Kecil KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Maret 2014. Untuk membedakan garam industri dan garam konsumsi dapat dilakukan dengan mengecek bea masuk yang dikenakan, 10 untuk garam industri dan 0 untuk garam konsumsi. Masuknya impor garam konsumsi secara diam‐diam tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak‐hak petani garam atas harga yang layak, dimana produksi petani garam masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

V. HAK ATAS KEHIDUPAN YANG LAYAK

Sepanjang tahun 2014, Nilai Tukar Petani tidak banyak berubah. Pada bulan Januari Nilai Tukar Petani berada pada 101,95. Pada bulan Nopember lalu Nilai Tukar Petani berada pada angka 102,37. Berdasarkan hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian SPP Tahun 2013 yang dirilis oleh BPS pada tahun 2014 ini, diketahui bahwa rata‐rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian di Indonesia hanya sebesar 12,41 juta rupiah per tahun atau sekitar 1 juta rupiah per bulan. Pendapatan tersebut jauh dari UMR yang berlaku di seluruh daerah, sehingga memicu laju urbanisasi. Oleh karenanya tidak mengherankan jika petani dan masyarakat pedesaan merupakan sasaran utama dari berbagai program kemiskinan, termasuk penerima program beras miskin atau raskin. Sangat ironis jika petani produsen pangan merupakan kelompok penerima raskin. 14

VI. HAK ASASI PETANI TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI

Keanekaragaman hayati merupakan tanggung jawab bersama agar pelestraian lingkungan tetap terjaga. Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi yang mendorong industri modern berpijak diseluruh bidang, pada waktu yang bersamaan kelestarian mengenai keanekaragaman hayati semakin terancam. Tak terkecuali pada bidang pertanian, rekayasa genetika semakin gencar dikampanyekan dan bahkan dilegalisasi oleh pemerintah guna keuntungan kaum pemodal dan korporasi. Di Indonesia hal tersebut ditandai dengan adanya Peraturan Presiden No. 532014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang membuat industri perbenihan pangan dan hortikultura satu langkah lebih dekat untuk memasarkan benih biotek genetically modified organismGMO. Perpres ini hadir untuk menyempurnakan Peraturan Presiden No. 392010. Peraturan ini berisi tentang aturan main dan struktur organisasi Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik KKH PRG yang akan diisi oleh elemen pemerintah, akademisi dan komunitas masyarakat. Dengan adanya peraturan ini, maka selangkah lagi benih biotek akan hadir di pasar Indonesia. Kekhawatiran mengenai GMO semakin dipertegas dengan pernyataan Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan dan Sumber Daya Hayati, yang menunggu hadirnya kepperes tentang GMO. Berdasarkan pernyataan tersebut, diperkirakan kedepannya industri benih baik berbasis modal asing maupun dalam negeri, sudah bisa mulai memasarkan produk GMO. Menurut SPI, pemanfaatan benih GMO akan menghilangkan benih lokal dan para petani penangkar benih. Selanjutnya, kelompok petani penangkar akan diganti dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun‐laboratorium benih industri korporasi. Dengan demikian maka hilanglah satu mata rantai produksi benih dari tangan petani. Kemudian sistem perbenihan rakyat akan mengalami kelesuan nantinya bila pasar GMO benar‐benar direalisasikan. Prinsip kehati‐hatian precautionary dalam keamanan pangan harus benar – benar diutamakan karena pemerintah sudah mengimplemtasikan Convention on Biological Diversity dan Protokol Cartagena, yang selanjutnya diadopsi dalam UU No. 81999 tentang Perlindungan Konsumen, dan juga UU Pangan No.182012 terkhusus mengenai label dan iklan, serta PP No.691999 yang di dalamnya mengatur pelabelan pada pangan hasil rekayasa genetika. Seyogyanya pemerintah mendukung penuh upaya para ahli teknologi pertanian untuk memanfaatkan dan mengembangkan benih lokal dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan, bukan malah menghibahkan keanekaragaman hayati melalui GMO yang bukan diperuntukan bagi kepentingan dan keadilan rakyat secara utuh. Peraturan Perundang‐undangan terkait GMO : 1. Peraturan Presiden No. 532014 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik 2. Peraturan Presiden No. 392010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik; 3. Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi Keanekaragaman Hayati Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 88, 4414. 15 4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 44,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489. 5. Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059;

VII. HAK ATAS KEBEBASAN BERORGANISASI