Manifestasi Sosialisme-Demokrasi Di Indonesia: Sebuah Pencarian Jejak Ideologi Dan Konstruksi Demokrasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK SKRIPSI
MANIFESTASI SOSIALISME-DEMOKRASI DI INDONESIA SEBUAH PENCARIAN JEJAK IDEOLOGI DAN KONSTRUKSI
DEMOKRASI
OLEH Abi Rekso Panggalih
060906057
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Sarjana Sosial dalam bidang Ilmu Politik Medan, 2011
Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

LEMBAR PERYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

: Abi Rekso Panggalih


NIM : 060906057

Program Studi

: Ilmu Politik

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul

MANIFESTASI SOSIALISME-DEMOKRASI DI INDONESIA: SEBUAH PENCARIAN JEJAK IDEOLOGI DAN KONSTRUKSI DEMOKRASI

Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

12 Desember 2011
Abi Rekso Panggalih 060906057

Universitas Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK


LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

: Abi Rekso Panggalih

NIM

: 060906057

Program Studi

: Ilmu Politik

Judul tugas karya akhir

:


MANIFESTASI SOSIALISME-DEMOKRASI DI INDONESIA: SEBUAH PENCARIAN JEJAK IDEOLOGI DAN KONSTRUKSI DEMOKRASI

Telah diperiksa oleh dosen pembimbing dan dosen pembaca serta dinyatakan layak untuk diajukan ke sidang skripsi Program Sarjana Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Disetujui oleh

Ahmad Taufan Damanik, MA Rangkuty,

Muhammad Ridwan

______________________

_________________________

Universitas Sumatera Utara

Kata Pengantar
Skripsi ini di dedikasikan kepada sebuah kerja keras dan integritas para pendiri bangsa atas keyakinan ideologis yang diperjuangkan. Pembahasannya banyak mengikut sertakan teks yang dihargai sebagai gagasan orisinalistas para pendiri bangsa. Berbicara demokrasi Indonesia tidak akan lekang dimakan zaman, meski memiliki keharusan untuk membuka kembali teks-teks yang (mungkin) sudah lama ditinggalkan orang. Ada benarnya apabila pembaca menduga tulisan ini akan banyak menggeluti dalam basis sejarah yang telah lalu. Namun dalam teropong metodologis yang digunakan memberikan aturan ketat untuk kembali memahami sebuah pristiwa dan ide di masa lalu sebagai referensi atas keberlanjutan politik dimasa kini. Seolah memang tidak ada yang terputus antara dimasa lalu dan kehidupan di masa kini. Meski sebuah kekuasaan politik mengupayakan untuk mengubur sejarah masa lalu, namun selalu ada generasi-generasi muda yang melawan kesewenang-wenangan kekuasaan politik atas rekayasa sejarah. Atas situasi itu maka tulusian ini sebagai langkah awal untuk kembali memperbincangkan derajat “kekirian” para gagasan pendiri Republik Indonesia.
Dengan begitu, menjadi penting untuk kembali mendudukan posisi ideologi secara personal pendiri bangsa. Periode-periode 1920’an adalah sebuah momentum emas yang menyatukan kaum intelektual untuk membahas habis persoalan nasionalisme. Lebih lanjut pada episode-episode perjuangan kemerdekaan masing-masing pendiri bangsa memiliki sikap politik atas pembacaan situasi. Meski secara keluar (ke pada pihak Kolonial) mereka sedang melakaukan perlawanan, namun secara kedalam mereka juga
Universitas Sumatera Utara


saling bertikai gagasan untuk merumuskan sebuah Republik yang diinginkan. Sehingga gagasan perjuangan Nasional bukan tanpa perdebatan mendasar diantara para pendiri bangsa (Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka). Meskipun landasan argumentasi mereka relatif sama dimana telah terwahyukan dalam horizon Marxisme. Episode pertikaian ini sangat sulit dibatasi atas sebuah periode waktu, karena pertikaian ini bahkan memiliki klimaksnya pada pasca proklamasi. Dimana kemudian satu sama lain menjadi saling bersebrangan dan saling menabrakkan diri satu-sama lain dalam eskalasi konflik politik. Apabila kita lebih cermat untuk menanta kembali konteks kesejarahan Indonesia, rekonstruksi itu akan menemukan sebuah bentuk yang berbeda dengan yang ada sebelumnya. Dimana selama ini pradigma ke-Indonesiaan telah dimaikan oleh sebuah fase rezim berkuasa.
Kita bukanlah bagian atas konteks yang terjadi dimasa lampau, sehingga kebenciankebencian politik yang ter-ekses sampai akhir-akhir ini tidak akan memiliki guna banyak atas nama perubahan yang lebih baik. Kadang kala permusuhan beberapa tokoh dimasa lampau senantiasa dijadikan basis kecerugiaan serta sikap permusuhan dalam berpolemik dimasa kini tanpa gagasan yang jelas. Tulisan ini (meski tidak berdaya) berharap kita mulai berdamai dengan pertikaian masa lampau. Kita tidak lagi saling mendeskritkan dengan bantuan ‘sentimen’ berdasarkan afiliasi kelompok dan sub-ideologis tertentu, yang kita inginkan adalah peperangan ‘argumen’ bermutu. Masuk dalam cakrawala politik pendiri bangsa adalah sebagai refleksi kita dimasa kini, atas cita-cita dimasa lamapau yang mungkin saja belum sempat tercapai. Kita gugat kembali ke-diri-an kita sebagai rakyat Indonesia, apakah peradaban sosial yang sedang berlangsung adalah
Universitas Sumatera Utara

sebuah cita-cita para pendiri bangsa yang dirumuskan dalam sebuah Republik. Dengan semangat itu kita sama-sama bekerja untuk mengobati diri kita masing-masing atas ‘alergi ke-kirian’ yang selalu menjadi momok menakutkan ditengah kehidupan sosial.
Skripsi yang berorientasi pada pendekatan sejarah dan teks ini, secara ketat di eksplorasi dengan Post-Marxist yang dijabarkan oleh Laclau dan Mouffe, guna menagkap makna ‘terselubung’ dibalik kejadian pada masanya. Pendekatan ini bisa dikatakan relativ baru dibanding pendekatan strukturalis yang cenderung lebih mapan. Analisa politiknya mengunakan Teori wacana sebagai jalan untuk menjelaskan sebuah realitas. Dengan cara seperti itu, tulisan ini bekerja untuk membongkar sisi sejarah yang mungkin tidak terungkap atau tidak dianggap penting dalam sebuah pristiwa, namun selayaknya sebuah penelitian tidak ada yang sempurna. Makan atas bantuan metodologis itu, skripsi ini berupaya menyajikan sebuah pemahaman yang mungkin berbeda dengan kajian-kajian yang serupa sebelumnya. Karena atas sebuah penelusuran teks dan konteks kesejarahannya, kita akan merekonstrusi sebaik mungkin untuk menjawab dugaandugaan yang tenggelam dan bahkan terdistorsi pada sebuah kekuasaan politik (baik kekuasaan dimasanya, maupun setelahnya).
Tulisan ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan yang terus memotivasi untuk menuntaskan dengan batas kemampuan maksimal, dimana tulisan ini juga menjadi syarat utama untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Ilmu Politik –Universitas Sumatera Utara. Saya ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya dan keluarga yang mendukung secara moril. Untuk Yayik Novitriami yang terus mengingatkan serta memberi semangat, meski dibatasi oleh jarak. Ketiga keponakan saya Tasya, Lala dan
Universitas Sumatera Utara

Naya yang selalu memberi nafas keceriaan ditengah tumpukan teks yang harus dibaca setiap malam. Serta seluruh kawan-kawan Ilmu Politik 2006 yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, dimana selalu membantu disetiap kesulitan. Dan semua kawankawan aktivis yang selalu siap menjadi partner berdiskusi.
Adapun beberapa nama yang harus secara personal saya ucapkan terimakasih, Bapak Ahmad Taufan Damanik selaku dosen pembimbing yang memberikan bahan referensi tambahan serta meluangkan waktu untuk membaca skrip ditengah kesibukan yang begitu padat, juga orang yang menjadi motivasi dan inspirasi saya untuk menuliskan skripsi ini dengan metodologi Post-Marxist serta sosok yang saya anggap sebagai orang tua dalam dunia akademis. Juga tidak lupa kepada Bapak Muhammad Ridwan Rangkuty sebagai dosen pembaca yang sudah member masukan atas skripsi ini. Kepada Mas Agus Isti yang dengan sabar melawan kemacetan Jakarta dalam menemani untuk mendapatkan narasumber dan bahan-bahan, guna melengkapi tulisan ini. Seluruh staff KKSP yang telah menjadi saudara-saudara saya diluar rumah, untuk Bung Eko, Bang Alley, Bang Jemie kawan-kawan yang selalu mendorong semangat dan menjadi media diskusi dalam keseharian. Untuk Bung Rezani yang selalu memberikan kamar asrama untuk sekedar istirahat. Mas Erwin yang selalu memberi tumpangan tempat tinggal dan kendaraan setiap kali ke Jogja untuk mencari buku-buku, juga Mas Arie Sudjito dan teman-teman Pergerakan Indonesia (PI) adalah manusia-manusia yang tetap membuat saya berideologi sampai hari ini.
Universitas Sumatera Utara

Khusus kepada sahabat sejati Almarhum Yovega Ardiarista, sahabat yang mati muda melawan rasa sakit. Berharap skripsi ini bisa membayar ketidak hadiran ku dalam proses pemakaman mu!!
Medan, 15 Desember 2011 Abi Rekso Panggalih
Universitas Sumatera Utara

Abstraksi
Persoalan Idologi adalah hal primer yang harus kembali dibicarakan dalam sebuah kerangka bernegara. Republik Indonesia didirikan dengan semangat sosialisme, dimana segala pandangan Marxisme mengendap pada pikiran pokok bapak bangsa. Lantas kita sebagai generasi muda tidak hanya bisa terdiam dengan pandangan kososng dalam mengisi kerangaka bernegara. Tulisan ini memang sengaja diusung untuk kembali mempromosikan sebuah ideologi yang sangat relevan atas konsis zaman dan benag merah sejarah.

Mencari artefak ideologi tidak bisa dilakukan dengan serampangan. Penyelidikan ini haru dilakukan dengan sangat hati-hati berdasar sebuah fakta tekstual yang menjadi pertinggal pada masanya. Dengan kondisi seperti itu kita akan kembali dihadapkan pada sebuah piliha ideologis. Pendekatan Post-Marxist adalah sebuah pilihan metodologis yang memungkinkan untuk membongkar formasi waca yang pernah terjadi dimasa lampau. Dengan cara ini maka peranan wacana yang hegemonik dan antagonisme wacana adalah sebuah cara untuk memahami proses terbentuknya sebuah paradigma sosial. Hegemoni wacana berjalan untuk menundukkan wacana yang tumbuh disekitarnya, sehinggga ada sebuah kosensus yang berlaku secara sadar maupun tidak. Disisi lain antagonisme wacana beroperasi atas dasar keterlemparan yang tidak lagi diakomodir pada situasi yang sama. Kadang kala proses antagonisme akan menimbulkan sebuah potensi kekuatan baru untuk mengkalahkan wacana yang sudah mapan.
Nasionalisme Indonesia berdiri diatas gagasan Marxisme yang menjadi lawan tandi dari pemerintahan kolonialisme. Nasionalisme Indonesia digagasa oleh para anak-anak muda terdidik yang melakukan propaganda baik lewat media massa maupun proses pengkaderan panjang untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Gerakan ini kemudian terakumulasi menjadi sebuah perlawan ideologi atas segala penindasan colonial yang terus-menerus menjadi basis situasi perlawanan. Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka adalah manusia-manusia yang mengkorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk kemerdekaan Indonesia. Semangat kemerdekaan bukan saja sebatas antikolonialisme dalam pertentnagan ras (warna kulit). Namun ada program sosialisme yang ingin terus disematkan dalam fundamental bernegara. Sehingga kita tidak sebatas menghargai mereka dalam batas kesosokan sebagai seorang tokoh bangsa. Namun ada sebuah cicta-cita luhur sosialisme untuk membangun sebuah peradaban yang adil dan sejahtera, meski segala pencapainan cita-cita itu terjadi pertikaian politik yang berujung pada kesedihan mendalam. Pada akhir hayat mereka hanya dikenal sebagai seorang manusia yang pernah memimpin Negara ini. Tapi kita enggan untuk kembali melirik tulisannya.
Sosialisme-Demokrasi yang kini kembali didengung-dengungkan Negara Eropa, sebagai solusi atas krisis prahara yang disebabkan oleh rabies Neo-Liberalisme bukan lah sebatas omong kosong. Kalau kita kembali pada semangat republik Indonesia pada awal-awal kemerdekaan, maka jejak dan relevansi ide itu dengan jelas dan lugas termaktub dalam pikiran founding fathers. Namun atas sebuah kesewanangan penguasa, sejarah tertimbun oleh darah dan kekuasaan untuk menghapus jejak luhur kaum sosialis Indonesia.
Universitas Sumatera Utara

Daftar Isi
BAB I
Latar Belakang...........................................................................................................14 Metodologi dan Teori ................................................................................................22
Representasi Imagine Community dalam Bentuk Nasionalisme......................22 Antagonisme, logika perbedaan dan persamaan ...............................................25 Genealogi, Imajinasi Sosial (mitos) dan Hegemoni............................................28
BAB II
Perdebatan Marxisme Eropa: Sebuah Titik Sejarah Sosial-Demokrasi ..............34 Kemunculan Tokoh Revisionis: Harapan Baru Sosialisme Eropa ...................41
Kelompok Spartakus dan Wanita yang Mempertahankan Pandangan Klasik Marxisme……………………………………………………………..……………38
Universitas Sumatera Utara

BAB III
Perintisan Nasionalisme Indonesia: Tumbuh Diatas Intelektualitas dan Akar Sosialisme-Marxist ..................................................................................................... 56
Evolusi Politik: Kemunculan Organisasi Politik Dalam Perjuangan Kemerdekaan ..................................................................................................................................63 Transformasi Ideologi: Sebuah Benang Merah Antara Eropa dan Nusantara dari Pengaruh Wacana Politik Pers Media dan Aktivitas Kelompok Studi ............66
BAB IV
Jejak Ideology Dan Konstruksi Demokrasi Indonesia “Baru” .............................82 Soekarno Menuju Pembebasan Nasional: Pandangan Negara Kesatuan dari Sukamiskin Sampai Pegangsaan Timur ..............................................................83 Meniti Jembatan Emas Bersama Rakyat Marhaen: Mencari Arti Kebebasan Dalam Bentuk Kemerdekaan Nasional...............................................................87 Definisi Kesetaran Gender Bagi Soekarno: Sebuah Paradox Dalam Mitologi Perempuan .............................................................................................................97
Universitas Sumatera Utara


Marhaenisme Vs Sosial-Demokrasi: Pertauatan Elektisme Soekarno Dengan Gagasan Sosialisme Eropa .................................................................................102
Hatta Melawan Dengan Tulisan: Konsep Kesejahteraan dan Keadilan Sosial Dari Anak Minang Untuk Bangsa Indonesia.............................................................105
Membangun Pilar Ekonomi Sosialis: Kritik Terhadap Kapitalisme, Orientasi Ekonomi-Kooperasi Yang Berdaulat Pada Rakyat .........................................111
Praktek Demokorasi Dalam Kacamata Kebersamaan Hatta: Logika Politik Distributif, Kearah Parlementariat dan Otonomi Daerah (Federalisme) .....125
Acuan Sistem Demokrasi dan Menjaga Iklim Pruralisme: Menghindarkan Pengaruh Mayoritarian Dengan Kemampuan Debat Intelektual dan Basis Moralitas Kepemimpinan...................................................................................137
Diri Sjahrir Demi Cita-Cita Perubahan Agung: Perjuangan Manusia Atas Pertempuran Ideologis, Serta Harapan Membangun Tatanan Demokratis…140
De Socialist Untuk Indonesia: Pertaruhan Revisionist-Marxisme Untuk Merebut Kemerdekaan Republik Bersama Sosial-Demokrasi.......................................147
Sosialisme Ala Kita: Perjuangan Internasionalisme Atas Martabat Kemanusiaan dan Renungan Revolusi Kerakyatan.................................................................160
Universitas Sumatera Utara

Partai Sosialis Progresiv: ‘Tidak Perlu Banyak, Yang Penting Paham Akan Arah Perjuangan!’ ........................................................................................................180 Pengembaraan Tan Malaka, Revolusioner Tangguh Dibalik Teralis Besi Kekuasaan: Membangun Republik Diantara Radikalisme-Marxist dan Religiusitas-Islam ................................................................................................. 185 Mimpi Suci Seorang Revolusioner Kiri: Pilihan Antara Parlemen dan Soviet, Obor Republik Sebagai Dasar dan Anjuran Kemerdekaan Indonesia .........194 Kredo Partai Perjuangan Masive Di Tengah Kesendirian: Perlawanan Massa Sebuah Tinjauan Teori dan Praktek.................................................................212 Geriliya Vs Perundingan: Bambu Runcing Untuk Menuntut Kemerdekaan Penuh (Merdeka 100%)......................................................................................220 BAB V Penutup .....................................................................................................................229
Universitas Sumatera Utara

Abstraksi
Persoalan Idologi adalah hal primer yang harus kembali dibicarakan dalam sebuah kerangka bernegara. Republik Indonesia didirikan dengan semangat sosialisme, dimana segala pandangan Marxisme mengendap pada pikiran pokok bapak bangsa. Lantas kita sebagai generasi muda tidak hanya bisa terdiam dengan pandangan kososng dalam mengisi kerangaka bernegara. Tulisan ini memang sengaja diusung untuk kembali mempromosikan sebuah ideologi yang sangat relevan atas konsis zaman dan benag merah sejarah.
Mencari artefak ideologi tidak bisa dilakukan dengan serampangan. Penyelidikan ini haru dilakukan dengan sangat hati-hati berdasar sebuah fakta tekstual yang menjadi pertinggal pada masanya. Dengan kondisi seperti itu kita akan kembali dihadapkan pada sebuah piliha ideologis. Pendekatan Post-Marxist adalah sebuah pilihan metodologis yang memungkinkan untuk membongkar formasi waca yang pernah terjadi dimasa lampau. Dengan cara ini maka peranan wacana yang hegemonik dan antagonisme wacana adalah sebuah cara untuk memahami proses terbentuknya sebuah paradigma sosial. Hegemoni wacana berjalan untuk menundukkan wacana yang tumbuh disekitarnya, sehinggga ada sebuah kosensus yang berlaku secara sadar maupun tidak. Disisi lain antagonisme wacana beroperasi atas dasar keterlemparan yang tidak lagi diakomodir pada situasi yang sama. Kadang kala proses antagonisme akan menimbulkan sebuah potensi kekuatan baru untuk mengkalahkan wacana yang sudah mapan.
Nasionalisme Indonesia berdiri diatas gagasan Marxisme yang menjadi lawan tandi dari pemerintahan kolonialisme. Nasionalisme Indonesia digagasa oleh para anak-anak muda terdidik yang melakukan propaganda baik lewat media massa maupun proses pengkaderan panjang untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Gerakan ini kemudian terakumulasi menjadi sebuah perlawan ideologi atas segala penindasan colonial yang terus-menerus menjadi basis situasi perlawanan. Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka adalah manusia-manusia yang mengkorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk kemerdekaan Indonesia. Semangat kemerdekaan bukan saja sebatas antikolonialisme dalam pertentnagan ras (warna kulit). Namun ada program sosialisme yang ingin terus disematkan dalam fundamental bernegara. Sehingga kita tidak sebatas menghargai mereka dalam batas kesosokan sebagai seorang tokoh bangsa. Namun ada sebuah cicta-cita luhur sosialisme untuk membangun sebuah peradaban yang adil dan sejahtera, meski segala pencapainan cita-cita itu terjadi pertikaian politik yang berujung pada kesedihan mendalam. Pada akhir hayat mereka hanya dikenal sebagai seorang manusia yang pernah memimpin Negara ini. Tapi kita enggan untuk kembali melirik tulisannya.
Sosialisme-Demokrasi yang kini kembali didengung-dengungkan Negara Eropa, sebagai solusi atas krisis prahara yang disebabkan oleh rabies Neo-Liberalisme bukan lah sebatas omong kosong. Kalau kita kembali pada semangat republik Indonesia pada awal-awal kemerdekaan, maka jejak dan relevansi ide itu dengan jelas dan lugas termaktub dalam pikiran founding fathers. Namun atas sebuah kesewanangan penguasa, sejarah tertimbun oleh darah dan kekuasaan untuk menghapus jejak luhur kaum sosialis Indonesia.
Universitas Sumatera Utara


BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Peradaban manusia mencatat lebih dari satu abad, manusia banyak membicarakan sebuah konsep yang ideal dalam menjalani sebuah kehidupan bersama. Dimana selalu mempertimbangkan dari aspek moral manusia itu sendiri. Meskipun dalam catatan sejarah manusia, sebuah “peradaban” mengalami pasang surut yang tidak bisa di prediksi [pada masa sejarah nya] dan memang harus diterima alam realitas kehidupan manusia. Namun apa kekuatan besar dibalik itu yang mempengaruhi perubahan-perubahan significant ke dalam aspek moral manusia, yang diterjemahkan dalam prilaku manusia dari yang humanis sampai yang sadistis. Ini adalah sebuah pergulatan panjang manusia, yang boleh jadi adalah misteri dalam tanda tanya besar kehidupan. Tanda tanya besar akan terus menjadi teka-teki di masa depan, dan manusia belum tentu bisa menjelaskan apa yang tersipan dalam tanda tanya besar itu?? Seperti hal nya dalam sebuah tradisi filsafat semuanya berawal dari pertanyaan.
Kembali pada soal konsep ideal manusia dalam kehidupan bersama, istilah Democratia sudah ada sejak jaman Yunani. Yang secara prinsip adalah Demos dan Kratos, demos adalah pemerintahan dan kratos adalah oleh rakyat. Yang dikemudian hari sistem ini menjadi sebuah hal yang baku sebagai prinsip bernegara, selain itu terminology demokrasi juga membuka perdebatan besar dalam berbagai mazhab ideologi. Akan tetapi kita meletakan terminology pada makna awal nya, Demokrasi adalah sebuah antitesis dari sistem Monarkhi, dimana dalam sistem kerajaan pemerintah berjalan sangat feodalistic sehingga rakyat di posisikan sebagai pengabdi raja. Pemikiran demokrasi lahir untuk melawan itu, maka dari itu kratos disini dimaksudkan untuk
Universitas Sumatera Utara

rakyat terdindas (kebanyakan). Karena selama sistem monarkhi berjalan, rakyat (marginal) hanya di minta upeti (pajak) tanpa menikmati hasil nya. Mac Iver menuliskan masa transisi menuju demokrasi penuh, adalah ketika raja difungsikan sebagai simbol keyakinan (Homerus) dan para bangsawan mengambil alih kekuasaan politik. Lantas jabatan sipil menjadi hal yang di perebutkan oleh bangsawan dan warga-kota jelata; dan pertarungan ini menghasilkan sebuah lembaga baru, dimana sudah terjadi suatu kompromi (Mac Iver, 1984: 72).1 Seperti hal nya perjalanan Indonesia, massa rakyat Indonesia berjuang untuk meraih kemerdekaan dimasa kolonialisme Belanda. Sampai terciptalah Negara Kesatuan Indonesia yang di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Itu adalah sebuah momentum sejarah yang melekat pada negara dalam melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Kemerdekaan adalah sebuah antitesis dari penindasan kolonialisme dan Indonesia sebagai sebuah negara hadir bukan semata-mata peerjuangan fisik namun ada sebuah semangat persatuan yang dilatar belakangi multi agama, etnis, dan keberagaman ide.
Hal itu tercermin ketika terjadi perdebatan kembali dasar negara yang menjadi dua ekstrim, negara berlandaskan Islam dan Pancasila. Ini adaalh sebuah perdebatan panjang soal ide-ide yang harus di manefestasi dalam dasar negara. Namun hasil konsesi sepakat bahwa Indonesia berlandaskan Pancasila, dalam hal ini saya ingin menunjukan bahwa dibalik semangat persatuan yang multikultural juga terjadi perdebatan sengit antar ide-ide besar. Sebuah fakta historis bahwa prinsip universal demokrasi di terjemahkan dalam bentuk musyawarah yang menghasilkan mupakat bersama. Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah nya. Kita mengenal istilah bapak pendiri bangsa (founding fathers) yang 1 Mac Iver ingin menjelaskan bahwa dalam terbentuknya sebuah Negara tidak lepas dari keyakinan antropologis yang memiliki unsur mitologi, secara sosiologis kelompok intelektul berupaya menumbankan rezim aristokrasi yang feodal.
Universitas Sumatera Utara

merintis perjuangan sampai pada gerbang kemerdekaan, yang di kemudian hari mereka menjadi aktor dari negara. Soekarno, Hatta, Sjahrir, bahkan Tan Malaka adalah seseorang yang perlu didedikasikan dalam perjalanan sebuah bangsa. Dalam pandangan saya bukan semata sosok yang diberikan penghargaan tinggi oleh bangsa, namun ada ide besar yang tetap harus diberikan ruang penghargaan oleh para penerus bangsa dan negara. Terkadang kita lupa bahwa mereka adalah orang yang memiliki pandangan revolusioner atau biasa kita menyebut kaum kiri.2 Rasanya ini seperti sebuah paradox demokrasi Indonesia, dimana sebuah pemikiran di kubur hidup-hidup dan di deskritkan dengan istilah subversif. Ini adalah sebuah fakta yang kita temukan dalam kehidupan demokrasi hari ini, tema soal “kaum kiri” akan menjadi perdiskusian kita dalam babbab selanjutnya.
Kemunculan wacana kritis pada awal dekade 1900’an oleh para kaum intelektual yang terdidik dalam perspektif berfikir barat, adalah sebuah cikal bakal dari resistensi terhadap praktek-praktek kolonialisme di Hindia-Belanda. Gagasan ini tidak lahir serta-merta tanpa proses “intelektualisasi” yang cukup panjang. Frank Dhont seorang sejarawan yang menulis soal Nasionalisme era ’20-an mencatat, bahwa gagasan baru soal “Nasionalisme” mulai dilahirkan oleh para intelektual muda yang belajar di dalam negri (Hindia-Belanda) maupun di luar negri (Belanda) melalui studieclub sebagai alat perjuangan. Selain itu kelompok-kelompok ini lahir juga dipengaruhi oleh iklim politik internasional yang sedang berkecamuk dan gagasan-gagasan politik barat yang revolusioner dimana empat orang tokoh yang saya sebut terlibat aktiv dalam pembangunan wacana-wacana politik kebangsaan (Nasionalisme). Dalam rangakaian ini kita akan semakin kuat untuk berangkat dari pijakan barat dimana pada masa itu gagasan barat cukup
2 Kaum kiri yang kita maksudkan disini bukan selalu Komunis, tetapi mereka yang banyak belajar ide-ide Marxisme. Termasuk kaum Murbais, Sosialis dan, Nasionalis Kerakyatan (Marhaeenis).
Universitas Sumatera Utara

mendominasi dalam perdiskusian kaum intelektual. Hal ini akan semakin diperkuat bahwa para tokoh bangsa kita juga cukup terinspirasi oleh sosok seperti; Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Edward Bernstain bahkan August Bebel dimana sosok ini dianggap pemikir yang visioner pasca PD-I. Dengan pernyataan ini, kita akan coba meneropong kembali perdebatan Marxisme Eropa yang secara sadar maupu tidak pendiri bangsa kita cukup terpengaruhi oleh gagasan itu. Seperti kita tahu Rosa adalah seorang yang cukup keras mengorganisir buruh pabrik lantas, Kausky dan Bernstain adalah seorang ideolog partai yang mamu melihat peluang kemenangan pada masa nya. Masing-masing dari mereka memiliki preferensi acuan dari pemikiran barat untuk menguliti bentuk krisis yang sedang berlangsung. Jadi, kita juga bisa mengakui pergolakan politik saat itu cukup terinspirasi dengan yang terjadi di Eropa.
Semakin mengakar nya ide perjuangan di tengah-tengah kehidupan massa rakyat adalah sebuah bentuk penerimaan sekaligus artikulasi terhadap gagasan barat yang dipertemukan dengan nilainilai lokal (local wisedom). Momentum ini adalah titik awal menjamurnya gerakan kemerdekaan secara masif, yang dapat dijelaskan oleh seorang antropolog seperti Ben Anderson mencoba mendifinisikan sebuah bangsa. Bangsa (nation) adalah sebuah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas terbatas secara inheren sekaligus bekedaulatan. Bangsa adalah sebuah yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin pula tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun toh dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan kebersamaan tentang mereka (Ben, 2002: 8). Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikat nya bersifat terbatas karena bahkan bangsabangsa paling besar pun, yang anggotanya mungkin semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu
Universitas Sumatera Utara


bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Para nasionalis yang paling mendekati sikap ’juru selamat’ pun tidak mendambakan datangnya hari agung dimana seluruh anggota spesies manusia bakal bergabung dengan bangsa mereka dengan cara seperti, pada zaman-zaman tertentu, orang-orang kristen memimpikan seutuhnya planet yang Kristen. Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat (sovereign) lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu Pencerahan dan Revolusi emporak-porandakan keabsahan ranah dinasti (absolut) berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri. Konsep itu beranjak matang dimasa para pengikut paling setia pun dari agama universal mana pun tak ayal lagi dihadang kemajemukan agama-agama universal yang hidup, dan harus menghadapi alomorfisme antara masing-masing kalim keimanan ontologis serta bentang kewilayahannya yang terbatas; maka dari itu bangsabangsa bermimpi tentang kebebasan, dan andai pun dibawah lindungan Tuhan, secara langsung tanpa perantara. Panji-panji kebebasan ini adalah negara berdaulat. Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidak adilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahya, bersedia jangankan melenyapkan yawa orang lain, merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan yang terbatas itu. Kematian-kematian itu menyeret kita ke hadapan problema pokok yang ibawa nasionalisme: apa yang menjadikan pembayangan-pembayangan yang kian menciut kedalam kerangka sejarah terkini (tidak lebih dari dua abad saja) bisa mengugah pengorbanan kolosal seperti itu? Ben percaya bahwa jawabannya terletak di akar-akar budaya nasionalisme (Ben, 2002: 10-11) . Pandangan bebrapa ahli dalam melihat negara dan menjelelaskan proses terjadinya, ini menjadi pijakan teoritis dalam menjelaskan negara. ketika negara hadir menjadi sebuah pemerintahan yang legitim, sesungguhnya ruh (cita-cita) dari negara itu adalah berusaha membangun demokrasi dalam kehidupan politik nya.
Universitas Sumatera Utara

Konstitusi dasar negara UUD’ 45 adalah sebuah penterjemahan dari falsafah negara (weltanschauungen), dimana ini lahir berdasarkan dari sebuah konsensus dan penggalian dari nilai-nilai di Indonesia. Bicara Indonesia dalam konteks negara tidak bisa dilepaskan dengan bentuk konstitusi nya. Maka menjadi penting kembali meletakan negara dalam formasi konstitusi nya ketika terjadi sebuah perdebatan panjang. Sebgai penerus bangsa terkadang kita mampu memperdebatkan persoalan politik jauh kedepan, namun terkadang kita lupa akar dari negara ini yaitu kontitusi. Ini adalaha sebuah tematik kontemporer, yang atinya perdebatan itu masih terbuka sampai sekarang. Yang saya maksud dalam hal ini bukan saja peerdebatan yang berakhir dalam sebuah amandemen (perubahan konstitusi) tetapi juga kembali mengintepretasikan baik pasal per pasal. Penting bagi kelanjutan demokrasi di Indonesia, untuk meletakan konstitusi sebagai supremasi sipil. Meskipun dalam perjalan Indonesia sebagai sebuah negara, terkadang ada upaya memanipulasi kontitusi demi kepentingan sebuah rezim.
Konstitusi adalah wujud dari kompromi dan kesepakatan pikiran besar anak bangsa sekaligus harapan sebuah bangsa dalam menjalankan proses bernegara. Adalah sebuah cita-cita besar ketika negara ini lahir yang secara estafet diturunkan oleh bapak pendiri bangsa (founding fathers) kita, kepada para penerus bangsa. Persoalan dalam perjalan sebuah bangsa konstitusi itu sendiri mengalami pasang surut itu adalah dinamika politik yang dilatar belakangi oleh kepentingan internal dan eksternal itu bersifat natural. Namun kita sebagai penerus bangsa juga penting untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dimasa lalu. Lalu menjadi penting melihat sebuah penyelengaraan negara hari ini dalam sudut pandang konstitusi, bagaimana negara seharusnya menjalankan pemerintahan sesuai dengan kontitusi sebagai dasar negara disatu sisi. Disisi lain terjadi sebuah paradox terhadap kontitusi dalam menjalankan pemerintahan, sehingga pemerintah menjalankan berdasarkan kekuasaaan belaka (Machtsstaat). Dalam menjelaskan soal nilai
Universitas Sumatera Utara

ideologis ini saya memiliki sebuah pendapat, bahwa bukan saja ideologi negara setelah terbentuknya konstitusi namun jauh sebelum itu, ada gagasa-gagasan besar [yang pada akhirnya kita juga menyebut nya sebagai Ideologi] yang mewakilkan pemikiran para tokoh dan kepentingan suatu golongan. Salah satu hal, kita bisa pahami dari perdebatan antara Muh Yamin dan Prof. Soepomo dalam melihat bentuk negara. Muh Yamin meberikan 5 pandangan atas sebuah negara; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan Prof. Soepomo tentang 5 asas negara; Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir batin dan Keadilan Rakyat. Selain perdebatan dalam sidang BPUPKI untuk membentuk sebuah negara, pidato Soekarno 1 Juni 1945 juga tidak kalah penting. Bagaimana Soekarno mengartilulasikan dari dua gagasan besar dan ditungkan dalam 5 asas negara; Kebangsaan, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan (Ranadireksa, 2007: 14-15). Ini adalah sebuah fakta bahwa konstitusi berusaha mengakomodir ide-ide besar yang mengandung makna pandangan ideologis. Sebagai sebuah tesis awal kita boleh mengasumsikan bahwa terkandung nilai-nilai ideologis dibalik konstitusi Indonesia.
Ini adalah sepenggal cerita dari kronologis konstitusi Indonesia, yang saya gunakan sebagai pijakan fakta menuju pengukngkapan fenomena. Dalam hal ini saya akan berupaya untuk memberikan gambaran umum terhadap bentuk penelitian. Ada banyak gagasan yng mempengaruhi dari konstitusi Indonesia, namun saya lebih tertarik terhadap gagasan SosialDemokrasi tentang pandangan Negara Kesejahteraan (welfare- state). Berangkat dari judul penelitian ini, ”Manifestasi Sosial-Demokrasi di Indonesia; Sebuah Pencarian Jejak Ideologi dan Konstruksi Demokrasi” kita bisa mulai memahami bahwa penelitian ini berupaya menemukan
Universitas Sumatera Utara

’artefak’ Sosial-Demokrasi dan melihat relasi nya dalam tatanan demokrasi di Indonesia.3 Meskipun dalam hal ini saya menyadari bahwa Sosial-Demokrasi adalah sebuah diskursus ideologi politik, dimana masih mengalami perdebatan panjang sampai detik ini. Tetapi menjadi menarik ketika kita mencari benang merah nya terhadap proses penyelenggaraan pemerintah yang berazaskan konstitusi, dimana soal projek Negara Kesejahteraan sudah tersirat didalam nya. Memang kita harus kembali membuka Konstitusi Negara, setelah itu baru kita memberikan argumentasi politik atas pembelaan kepentingan massa rakyat Indonesia, ini menjadi tantangan demokrasi Indonesia ke depan. Dimana sebuah rezim demokrasi Internasional semakin terejawantahkan, terlepas dari sisi positif bahkan negatif nya, pembelaan terhadap kepentingan rakyat adalah yang prioritas.
RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari pemaparan latar belakang, mendiskusikan kembali konstitusi dalam ruang publik adalah sebuah pilihan tematik yang relevan sebagai azas membangun demokrasi sekarang ini. Maka dari itu penelitian ini akan menjadi penting apabila mampu menjadi sumbangan pokok pikiran terhadap bangsa dan negara. Penelitian ini ingin menjawab beberapa persoalan pokok yang berkaitan dengan gagasan-gagasan ’demokratik’ yang melekat pada diri Indonesia, secara garis besar dikategorikan kedalam beberapa rumusan masalah. Pertama, bagaimana sejarah Sosial-Demokrasi yang lahir di Eropa melalui perdebatan kaum Revisionist Marxist, dan bagaimana lahirnya sebuah nilai universal [yang kemudian kita menyebutnya nilai-nilai Demokrasi Sosial]? Kemudian, apakah ada jejak Sosial-Demokrasi baik dalam pandangan para
3 Dalam studi JS. Mintz mencatat bahwa pengaruh gagasan Marxisme berawal dari ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) yang masuk pada1914, yang secara politis berafiliasai dengan SADP (Sociaal Democratische Aebeiderpartij) Partai Pekerja Sosial-Demokrasi yang didirikan pada 1894.
Universitas Sumatera Utara

tokoh bangsa maupun konstitusi sebagai dasar negara? Pertanyaan ini penting untuk melihat apakah gagasan barat [dalam hal ini Western Marxist] relevan untuk melihat persoalan kebangsaan [pada masa kolonial] dan memandang Indonesia Baru [Indonesia yang Merdeka] yang dikaitkan dengan nilai-nilai lokal (Local Genius). Kedua, seiring dengan beberapa pertanyaan pertama, penelitian ini ingin melihat apakah ada pertentangan antara nilai demokrasi sosial dengan pandangan para pendiri bangsa melihat negara. Dan bagaimana melihat peluang untuk membangun negara yang demokrasi dan ber-keadilan sosial.
METODOLOGI DAN TEORI
Dalam hal ini pendekatan Imagine Community yang dituliskan oleh Ben Anderson, cukup menjadi pijakan kita untuk memahami sebuah ontology historis yang bersifat berkelanjutan dan akan coba di harmonisasi dengan teori diskursus Laclau dan Mouffe. Oleh karena itu perlu kita pahami bagaimana dalam kacamata Imagine Community sebuah Nasionalisme terkonstruksi dalam ide para founding fathers kita, di artikulasi atau bahkan memabangun sebuah demarkasi dalam konteks “the insider” dan “the outsider” dimana hal ini bisa dijelaskan dengan Logic of equivalence and different dimana transformasi antagoisme cukup menentukan. Lantas kemudian juga kita akan membedah lebih dalam sebuah wacana yang hegemonic dimana wacana itu cukup mempengaruhi diskursus politik pada masa itu yang boleh jadi di representasi dalam partai politik.

REPRESENTASI IMAGINE COMMUNITY DALAM BENTUK NASIONALISME
Universitas Sumatera Utara

Dalam sebuah kajian teoritik penjabaran sebuah defenisi dari Nasionalisme itu sendiri memang tidak pernah tuntas (selesai). Akan tetapi dalam perkembangan zaman ide dari nasionalisme itu sendiri memiliki ruang untuk tetap eksis dalam sejarah kehidupan politik kontemporer. Memang tidak mudah untuk memahami bentuk dari Nasionalisme itu sendiri. Eric Hobsbawm menyatakan dengan tepat bahwa “gerakan-gerakan dan negara-negara Marxis yang cenderung untuk menjadi ‘nasional’ bukan hanya dalam bentuk nya melaikan juga dalam substansi nya, yakni menjadi nasionalis. Tidak ada kecenderungan kapan akan berhenti (Anderson, 2008: 4). Bahkan Anderson berangkat dari pandangan bahwa bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan bakal kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan pernah saling bertemu, toh mereka akan tetap terikat dalam ikatan emosional yang membayangkan dalam kebersamaan mereka (Anderson, 2008: 9).
Anderson menuliskan bahwa akar budaya, komunitas religius (agama), bahasa, dan sejarah dinastik yang menjadi element pokok dalam proses pembentukan sebuah bangsa. Di waktu yang bersamaman para penjajah datang dengan membawa akar budaya berbeda, lantas terjadi sebuah proses asimilasi yang tidak sempurna sehingga meyakinkan mereka untuk menjadi sebuah entitas budaya berbeda (constitute identity). Kemudian juga penting bahwa kelahiran komunitas terbayang didorong oleh transformasi waktu yang dipengaruhi oleh sebuah pola interaksi linguistik (Ben, 2008: 49-54). Ciri ini juga seirirng dengan pandangan Laclau yang juga meminjam dari Saussure, sebuah analogi antara linguistik dan sistem sosial, dimana dalam kedua sistem semua identitas adalah relasional dan semua hubungan penting untuk memiliki karakter. Bagi Laclau, sistem hubungan sosial tidak seutuhnya dari fenomena linguistik, seperti struktur diskursiv adalah artikulasi praxis dimana hubungan sosial dibentuk dan di orgasir dan bukan sebatas ‘kognitif’ dan ‘kontemplatif’ saja (Howarth, 2000: 102). Oleh karena itu penjelasan yang
Universitas Sumatera Utara

sudah dipaparkan Anderson bisa kita pahami bahwa sebuah Identitas “Nasionalisme” dimana didalam nya juga memiliki diskursus yang berbeda dapat dipahami secara relasional. Identitas adalah suatu yang bergerak terus, dinamis dan akan sangat bergantung konteks nya (Damanik, 2010: 20).
Terjadi sebuah asumsi bahwa nasionalisme akan gagal sebagai sebuah ide, ‘era berakhirnya nasionalisme’ namun wacana ini tak kunjung nanpak di batas cakrawala. Fakta nya justru nasionalisme semakin eksis dalam dalam sebuah identitas politik. Dalam pandangan Anderson, atefak dari nasionalisme yang samapai saat ini masih bisa kita buka kembali terjadi atas kekuatan sejarah (a historical being). Sekali terbentuk artefak nasionalisme itu kemudian menjadi satu modular yang dapat di transplantasikan, dengan derajat-derajat kesadaran diri berbeda, menyatukan dan disatukan dalam hubungan nya dengan berbagai konstelasi ideologi dan politik (Anderson, 2002: 6). Konstelasi ideologi politik itulah yang akan terus menerus mempengaruhi bentuk gagasan nasionalisme maupun prakteknya didalam kehidupan sosisal politik suatu masyarakat (Damanik, 2010: 20). Dimana dalam sebuah kerangka nasionalisme ternyata ada pertarungan ideologi politik yang berupaya menjadi representasi dari haluan politik nasional. Dengan ini kita bisa memahami bahwa identitas dari nasionalisme juga terkonstruksi dengan ideologi-ideologi yang cukup populer dalam ruang-ruang kehidupan berbangsa dan bernegara, juga nasionalisme bukan dipahami sebagai sebuah yang fixed, bahwa sejarah akan menentukan masa depan nya dalam formasi yang berbeda.
Pandangan Anderson yang bisa kita garis bawahi, bahwa nasionalisme adalah sebuah wacana ideologi yang tidak tetap dapat di sinergikan dengan teori Laclau dan Mouffe. Mereka berpendapat, ‘wacana-wacana ini bersifat tidak tetap (atau bergantung kepada kondisi lain yang
Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi nya atau biasa disebut kontigensi), konstruksi sejarah, dimana cukup rentan (rapuh) terhadap kekuatan-keuatan politik yangdikeluarkan dari hasil produks mereka sebagaimana juga efek-efek dari ketercerabutan dari kejadian-keadian yang melampau kontrol mereka (Howarth, 2000: 9; Laclau, 1990: 31-36). Artinya sebuah kehadiran nasionalisme tidak tetap, bahkan dalam sebuah analogi tertentu nasionalisme itu bisa bersifat lentur apabila ditarik dalam sebuah kontekstualisasi sejarah.
Dengan kata lain, nasionalisme atau Imagined Communities merupakan sebuah konstruksi ideologis dan politik, atau sebuah ‘Floating signifier’ (penanda mengambang) dimana terdapat interkasi antara wacana yang universal dengan yang partikular, yang bisa bertransformasi dan berubah, sejalan dengan konteks sejarah. Sebagai sebuah proses kemenjadian, komunitas yang terbayangkan akan bergantung pada sistem khusus pembeda yang mendasari identitas nya (Damanik, 2010: 21).
ANTAGONISME, LOGIKA PERBEDAAN DAN PERSAMAAN
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah momentum dimana kemenjadian Indonesia diantagoniskan dengan praktek Imperialisme-Kolonial, dan secara bersamaan para pendiri bangsa berupaya mentransformasikan nilai ke-Indonesian –dalam artian disini sebuah kemerdekaansebagai basis perjuangan. Laclau dan Mouffe menuliskan, rapuh nya sebuah identitas termanifestasi dalam bentuk gerak yang kontinyu dan perbedaan-perbedaan –dengan kata lain, tidak ada ‘masyarakat’ yang akan terbentuk secara utuh (clusure totally discursive). Kemudian kita akan mengeser lokus pada ‘pengalaman’ yang didalam nya termanifestasikan bukan lagi gerak ketercapaian secara terus-menerus ‘petanda transendental’ , namun proses itu menjadi siasia, karena tidak mungkin terciptanya perbedaan yang besifat stabil…(Laclau dan Mouffe, 2008:
Universitas Sumatera Utara

182). Dengan membangun sistem perbedaan, mereka memisahkan diri ‘dari rantai kesamaan didalam rantai popular dan mentransformasikan mereka kedalam perbedaan-perbedaan objektif di dalam sistm’ (Damanik, 2010: 21; Laclau dan Mouffe 2001:130)
Berangkat dari rantai persamaan, semua determinasi pembeda yang besrifat objek dari sebuah term akan dilenyapkan, maka suatu yang ‘identik’ akan dibentuk dengan suatu determinasi positif yang melandasinya..(Laclau dan Mouffe, 2008: 192). Artinya kemunculan ‘suatu hubungan penyamaan yang menampung semua determinasi positif..’ (Damanik, 2010: 21; Laclau dan Mouffe, 2001: 128). Secara gamblang mereka berpendapat, ‘masyarakat tak pernah mampu sepenuhnya membentuk dirinya menjadi masyarakat, karena segala sesuatu yang ada didalam nya di penetrasi keterbatasan-keterbatasannya sendiri, sehingga menggagalkan usaha mereka untuk mencapai keutuhan dalam dirinya sebagai suatu realitas yang objektif (Laclau dan Mouffe, 2008: 191).

Setelah mememinjam teori Post-Marxist, ada beberapa hal yang bisa mulai kita pahami. Bahwa segala kemenjadian (a being) yang terkonstruksi pada ranah sosial nya bukan lah suatu yang tetap, juga sebagaimana hal nya sebuah wacana yang bermunculan –yang dipahami sebagai diskursif- juga tidak mampu merepresentasikan secara totalitas objek yang sedang terjadi (Damanik, 2010: 22). Laclau dan Mouffe menuliskan, ‘karena sebuah antagonisme, maka saya tidak bisa meng-ada untuk diri saya sepenuhnya. Jadi, antagonisme membeikan sebuah batasan objek sehingga menghalangi terbentuknya isi positiv (positivity) yang fixed (Laclau dan Mouffe, 2008: 188).
Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya argument Laclau dan Mouffe, ‘antagonisme sosial terjadi disebabakan tidak mampu (unanable) untuk mencapai identitas mereka (dan karena itu tidak mampu untuk mendapatkan kepentingan mereka) dan karena nya mereka menyusun suatu musuh yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan ini’. Bagi Howarth, “halangan” atau “kegagalan” identitas ini, adalah pengalaman timbal-balik antara kekuatan menolak dan kekuatan ditolak’ (Taufan, 2010: 22; Howarth, 2000: 105).
Antgonisme tidak muncul begitu saja, namun karena pelaku sosial melakaukan sebuah konstruksi musuh (the other) dengan sistem pembeda, dan antagonisme tidak muncul dari satu titik saja melaikan dari berbagai posisi dalam sistem pembedaan (Taufan, 2010: 22). Howarth melengkapi, ‘antagonisme membongkar batasan politik (political frontier) dari formasi sosial (Howarth, 2000:106). Dalam titik ini, Laclau dan Mouffe memperkenalkan logika perbedaan (the logic of difference) untuk menjelaskan perluasan medan diskursif dengan memutuskan rantai-rantai persamaan dan menyatukan elemen-elemen yang tidak terartikulasi kedalam perluasan formasi’ (Howarth, 2000: 107)
Kemudian, para pelaku sosial akan menemukan sebuah tempat identitas negatif yang tidak dapat direpresentasikan di dalam pembentukan perwacanaan yang telah ada dalam ‘logika persamaan (the logic of equivalence), yang mengandung keterputusan identitas-identitas khusus dari subjek ke dalam suatu wacana..’(Taufan, 2010: 22; Howarth, 2000: 16-17). Jadi, kita melihat bahwa logika persamaan merupakan sebuah logika simplifikasi dari ruang politik, sementara logika pembedaan merupakan logika perluasan dan penguatan kompleksita ruang politik (Laclau dan Mouffe, 2008: 196). Dengan menggunakan sistem pembedaan dan persamaan ini lah, kita akan mencoba memahami bagaimana aktivis kemerdekaan “kiri” melakukan sebuah konsolidasi pada
Universitas Sumatera Utara

secara massiv atas perjuangan nasional dan mengambil sikap ‘oposisi riil’ kepada kolonialisme. Namun, setelah kemerdekaan nasional masing-masing tokoh mengambil posisi subjek dan terjadi kembali antagonisme diantara mereka. Perdebatan ide yang berujung kepada konflik politik, adalah semata-mata proses merepresentasikan ideologi-politik dalam sistem bernegara sesusai dengan derajat “ke-kirian” nya, sebagaimana Tan Malaka, Soekarno, Hatta dan, Sjahrir memiliki subjektivitas politiknya.
GENEALOGI, IMAJINASI SOSIAL (MITOS) DAN HEGEMONI
Bagi Laclau antagonisme bisa di temukan ketika sebuah perwacaan bertabrakan. Antagonisme mungkin bisa lenyap dengan intervensi yang hegemonic. Intervensi yang hegemonic adalah artikulasi dimana kekuatan untuk merekonstruksi tanpa ambigu. Yang juga hegemony memiliki kesamaan dengan diskursus, karena kedua term nya menunjukan fixsasi elemen kedalam momen (Philip dan Jorgensen, 2002: 48). Medan kemunculan hegemoni adalah medan bagi praktekpraktek artikulatoris, dengan kata lain ini adalah sebuah medan dimana ‘elemen-elemen’ tak terkristalisasi menjadi ‘momen-momen’. Dalam suatu sistem identitas relasional yang tertutup, dimana didalam nya makna dari setiap momen telah fixed secara absolut, tak ada ruang apapun untuk praktek hegemonik (Laclau dan Mouffe, 2008: 202).
Sebuah upaya identifikasi atau suatu tindakan rekonstruksi, tidak pernah mencapai titik identitias yang utuh. Dengan demikian ‘subjek juga tidak bisa menjadi objektif’, dia hanyalah dibentuk dalam struktur yang timpang’, atau ‘sebagai hasil dari objektifikasi yang kolaps’. Dari keterlepasan struktural yang mengakibatkan munculnya tindakan identifikasi dari subjek itulah muncul mitos (Myth) yang ‘menyaukan ruang-ruang yang terlepas melalui pembentukan elemenelemen yang terlepas tersebut’. Dengan kata lain mitos (myth) menyertakan sebuah pembentukan
Universitas Sumatera Utara

objektifitas yang baru dengan mengartikulasikan elemen-elemen yang tercerabut (Taufan, 2010: 23; Laclau, 1990: 60-61). Artikulasi itu sendiri harus dijalankan lewatsuatu konfrontasi dengan praktek-praktek artikulatoris yang antagonistik – dengan kata lain, bahwa hegemoni akan muncul dalam suatu medan yang dipenuhi dengan antagonisme-antagonisme dan karena itumengandaikan adanya fenomena equivalensi dan efek-efek garis perbatasan (Laclau dan Mouffe, 2008: 204).
Konsep hegemoni yang telah diurai diatas bisa menjadi relevan dengan pendekatan Anderson dalam Imagined Communities, apabila di kontektualisasi dengan kemenjadian Indonesia yang disertai perlawanan terhadap kolonialisme. Lalu terjadi artikulasi dari sebuah bentuk penindasan dari kolonialisme, dimana fen