Optimal Land Use of Agroforestri System at Buffer Zone of Taman Nasional Gunung Leuser Case Study in Langkat District, North Sumatra, Indonesia

(1)

(Optimal Land Use of Agroforestri System at Buffer Zone of

Taman Nasional Gunung Leuser

Case Study in Langkat District, North Sumatra, Indonesia

)

Abdul Rauf

Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan - 20155

ABSTRACT

The study of optimal land use of agroforestri system had been carried out in buffer zone of Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Langkat North Sumatra at altitude of 600-1.050 meters above sea level, and land slope of 25%-65% from May, 2000 to October, 2001. This research to analyze the optimal management of agroforestri system toward sustainable land use in the area. Research location were determined through purposive sampling technique. Therefore, there are 3 of 9 sub districts of the area had been determined as location samples (Kecamatan Sei Bingei, Kuala and Salapian). Identification of agroforestri system was described directly in the field through field observation while socio economic data were gathered through farmers interview using open questioner. Optimum land use for agroforestri was analyzed using Multi Purpose Program or Multiple Goal Programming Method. Result of this research shows that total agroforestri land needed to get income greater or equal to worth living standard (wls) is/1.18 hectare. Recommendation of optimum allocation of this land are, 66-68% planted to sungkai tree (Peronema canescens), 13-31% planted to up land rice, 13-20% planted to maize, and 10-13 % planted to red pepper. This system should be cropped with shaded resistance crops, such as medical plants, fodder/grasses, etc. By this recommendation the farmers should have income greater or equal to wls (total income/Rp. 10.000.000) and erosion is less than or equal to tolerable soil loss (31,25 ton/ha/year).

Key words: Agroforestri, Buffer Zone, Optimal Land use.

ABSTRAK

Penelitian untuk mengkaji penggunaan lahan optimal dengan sistem agroforestri dengan tujuan mendapatkan alokasi penggunaan lahan agroforestri yang secara ekonomis menguntungkan dan secara ekologis lestari, telah dilakukan di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang dilakukan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada ketinggian tempat 600 hingga 1.050 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lereng 25% hingga 65%, pada bulan Mei 2000 hingga Oktober 2001. Lokasi penelitian ditetapkan dengan sengaja (“purposive sampling”) yaitu 3 dari 9 wilayah kecamatan di Kabupaten Langkat yang berbatasan langsung dengan kawasan inti TNGL, yaitu Kecamatan Sei Bingei, Kuala dan Salapian. Data dasar yang dikumpulkan adalah penghasilan petani dari sistem agroforestri yang diterapkan, luas lahan garapan, “input” dan “output factor”. Data-data ini diperoleh dengan cara deskriptif dan wawancara. Pengukuran erosi (aktual dan terbolehkan) dilakukan pada sistem agroforestri pewakil. Analisis data untuk mendapatkan optimasi penggunaan lahannya menggunakan Program Tujuan Ganda (“Multiple Goal Programming”). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi petani dengan 5 orang anggota keluarga diperlukan lahan seluas minimal 1,18 hektar. Alokasi penggunaan lahan optimalnya adalah 66-68% untuk pohon sungkai, 13-31% untuk padi gogo, 13-20% untuk jagung dan 10-13% untuk cabai merah. Lahan sela di bawah pohon sungkai harus ditanami tanaman yang tahan naungan, seperti tanaman obat (kencur atau kunyit), rumput pakan ternak dan lain-lain dan atau diberi mulsa organik. Dengan demikian petani akan memperoleh penghasilan bersih melebihi standar KHL (Rp.10.000.000,-) dengan erosi yang sama atau kurang dari erosi yang dapat ditoleransikan (31,25 ton/ha/thn).

Kata Kunci: Agroforestri, Kawasan Penyangga, Penggunaan Lahan Optimal.

PENDAHULUAN

E

kosistem Leuser merupakan bagian dari sumber daya alam Indonesia yang memiliki karakteristik khas flora dan fauna, terdapat keseimbangan habitat dalam mendukung keberlanjutan hidup


(2)

aneka ragam hayati dan komponen-komponen khas lainnya yang secara alami terintegrasi dalam suatu wilayah bentangan alam pegunungan Bukit Barisan dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh sampai ke Sumatera Utara, sepanjang lebih kurang 100 km (Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, 1995).

Dalam “World Conservation Strategy”, kawasan Ekosistem Leuser ditetapkan sebagai “asset heritage” dan cagar biosfer sehingga keberadaannya bukan hanya sebagai aset nasional, tetapi juga merupakan aset internasional. Di dalam kawasan Ekosistem Leuser diperkirakan hidup sekitar 176 jenis binatang menyusui, 194 jenis binatang melata, 52 jenis binatang amphibi, 320 jenis burung dan tidak terkira jumlah serta jenis tumbuhannya. Selain itu, kawasan Ekosistem Leuser merupakan hulu beberapa sungai (DAS) yang mengalir ke pantai timur dan barat Sumatera diantaranya Sungai Batang Serangan, Sungai Wampu, Sungai Besitang, Sungai Bingei dan Sungai Ular. Dengan kondisi ekosistem yang begitu kompleks, kawasan ini telah mendapat perhatian dari berbagai pihak (domestik dan mancanegara), baik sebagai kawasan konservasi, objek penelitian dan pendidikan, cagar budaya, maupun sebagai objek wisata alam (“ecoturism”) (Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis FE-USU, 1995; Lembaga Penelitian UNSYIAH, 1997; Griffiths dan Pardede, 1999).

Keberadaan kawasan Ekosistem Leuser dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan hayati serta potensi wilayahnya menjadi rentan terhadap tindakan dan ancaman kerusakan akibat perambahan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sekitar 300.000 hektar dari sekitar 1.790.000 hektar luas kawasan Ekosistem Leuser tersebut telah rusak dirambah manusia. Kerusakan terus berlanjut sebagaimana hasil pengamatan Unit Managemen Leuser (pada bulan Mei 1999)

diketahui hampir setiap 3-4 menit terdengar suara gemuruh pohon-pohon besar yang tumbang ditebang pencuri kayu di sekitar daerah Suaq Belimbing Kabupaten Aceh Selatan (Griffiths dan Pardede, 1999).

Ekosistem Leuser memiliki kawasan penyangga (“buffer zone”) yang sangat luas mencapai 900.000 hektar. Kawasan penyangga Ekosistem Leuser ini memiliki peranan sangat penting, baik sebagai penunjang pelestarian kawasan inti, maupun bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat. Sedikitnya terdapat 31 Wilayah Kecamatan di empat Kabupaten (Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Langkat dan Karo) termasuk ke dalam kawasan Ekosistem Leuser. Jumlah penduduk yang berdomisili di 31 wilayah kecamatan tersebut hingga tahun 1990 sebanyak 838.274 jiwa (Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, 1995).

Oleh karena cakupan kawasan penyangga ini sangat luas, maka pengelolaan setiap kegiatan yang terjadi di daerah ini memiliki arti sangat strategis, baik dalam menjaga kelestarian Ekosistem Leuser, maupun dalam pemenuhan tujuan-tujuan pengem-bangan wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan inti Ekosistem Leuser. Aspek penting dalam pengelolaan kawasan penyangga ini adalah dengan melibatkan masyarakat setempat yang telah secara turun temurun bermukim di kawasan Ekosistem Leuser tersebut.

Salah satu pengelolaan lahan di kawasan penyangga yang dapat menjamin kelestarian sumber daya alam dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya masyarakatnya adalah dengan penerapan Sistem Agroforestri. Sistem agroforestri merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak di dalam dan atau di luar kawasan hutan yang mengusahakan produksi biologi berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi


(3)

kehutanan dan pertanian) berdasarkan kelestarian dan untuk kesejahteraan masyarakat, baik diusahakan secara serentak, maupun berurutan (rotasi) sehingga membentuk tajuk berlapis-lapis (Satjapradja, 1981; Nair, 1989; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995).

Berdasarkan uraian di atas, maka telah dilakukan kajian untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi sistem agroforestri yang terdapat di kawasan penyangga Ekosistem Leuser, khususnya di Wilayah Kecamatan Sei Bingei, Kuala dan Salapian, Kabupaten Langkat, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial, budaya, ekonomi serta alokasi dan optimasi penggunaan lahannya yang dapat sekaligus memenuhi kebutuhan hidup layak keluarga petani dan lahan tetap lestari (tidak terdegradasi).

METODE PENELITIAN

okasi penelitian ditetapkan dengan sengaja (“purposive sampling”) yaitu Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang didasari oleh luasnya (205.575 hektar atau sekitar 24%) kawasan Ekosistem Leuser berada di daerah ini (Tim Peneliti UNSYIAH, 1993). Sekitar 59% dari luas wilayah tersebut (122.819 hektar) merupakan lahan budidaya (Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, 1995). Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2000 hingga Oktober 2001.

Pengamatan terhadap petani pelaksana sistem agroforestri dilakukan dengan cara survei lapang dan wawancara.

Struktur agroforestri diamati dengan cara deskriptif, sedangkan data masukan dan keluaran dari sistem agroforestri yang diusahakan dilakukan dengan wawancara langsung kepada petani/pemilik lahan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Data masukan yang diperlukan meliputi luas lahan yang digunakan, penggunaan bibit, pupuk, obat-obatan dan sumber serta jumlah tenaga kerja yang diperlukan. Sedangkan data keluaran yang diperlukan meliputi jenis dan jumlah/volume produksi masing-masing komponen penyusun, jumlah produksi yang dikonsumsi atau digunakan sendiri oleh keluarga petani, jumlah produksi yang dijual dan total pendapatan per tahun. Besarnya erosi aktual yang terjadi pada lahan agroforestri diamati menggunakan metoda petak kecil sedangkan erosi terbolehkan diamati berdasarkan kedalaman ekivalen tanah (Hammer, 1981).

Analisis optimasi penggunaan lahan yang ditujukan untuk mendapatkan model penggunaan lahan yang optimal dari berbagai kombinasi jenis tanaman yang dibudidayakan dalam sistem agroforestri di lokasi penelitian dilakukan menggunakan Program Tujuan Ganda (“Multiple Goal Programming atau Multiple Objective Programming”) mengacu pada model umum dari persoalan tujuan ganda yang memiliki struktur timbangan pengutamaan (“preemtive weights”) dengan urutan ordinal (“ordinal ranking”) dengan fungsi tujuan meminimumkan deviasi diantara berbagai tujuan dan sasaran yang ditetapkan (Keeney dan Raiffa, 1978).

Meminimumkan:

m

Z = ∑ Py W+i,yd+i + PsW-i,sd-i ……… (1) i=1

Syarat ikatan atau fungsi kendala: m

∑ aij.Xj + d-i- d+i = bi ……….……… (2) j=1


(4)

untuk: i = 1, 2, …, m tujuan atau target m

∑ gkj.Xj ≤ atau ≥ Ck ………. (3) j=1

untuk: k = 1, 2, …, p kendala fungsional j = 1, 2, …, n peubah keputusan

dan: Xj, d+i, d-i ≥ 0 ……….……… (4) d-i . d+i = 0 ……….……… (5) dengan:

Z = nilai skala dari kriteria pengambilan keputusan, merupakan fungsi tujuan

d-i dan d+i = jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi)

W+i dan W-i = timbangan atau penalti (ordinal atau kardinal) yang diberikan terhadap suatu unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi)

aij = koefisien teknologi fungsi kendala tujuan yaitu yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambil keputusan (Xj)

Xj = peubah pengambilan keputusan atau kegiatan yang selanjutnya dinamakan sebagai sub tujuan

bi = tujuan atau target yang ingin dicapai gkj = koefisien teknologi fungsi kendala biasa Ck = jumlah sumber daya k yang tersedia Py , Ps = faktor-faktor prioritas dari tujuan

Model atau skenario penggunaan lahan yang optimal pada sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL tersebut memiliki sasaran yang dapat : (1) menghasilkan laju erosi yang lebih kecil atau sama dengan laju erosi yang masih dapat ditoleransikan pada beberapa strata kemiringan lereng; (2) memberikan tingkat produksi yang dapat memenuhi produksi yang dikonsumsi dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya selama satu tahun; dan (3) dapat diterapkan dalam keadaan sumber daya terbatas yang dimiliki petani antara lain : luas lahan garapan yang tersedia, modal yang dimiliki dan tenaga kerja yang tersedia pada setiap keluarga petani dalam satu tahun.

Peubah keputusan yang digunakan disesuaikan dengan jenis tanaman atau komoditi yang dominan ditanam dan memiliki prospek yang baik serta sesuai dengan kondisi setempat dalam membangun sistem agroforestri di lokasi

penelitian, yaitu: X1 = luas lahan untuk tanaman kayu Sungkai atau Nungke (Peronema canescens) (sebagai pewakil tanaman pohon); X2 = luas lahan untuk tanaman Padi Gogo (sebagai pewakil tanaman pangan); X3 = luas lahan untuk tanaman Jagung (sebagai pewakil tanaman palawija), dan X4 = luas lahan untuk tanaman Cabai Merah (sebagai pewakil tanaman sayuran). Tujuan dan kendala untuk keperluan analisis ditetapkan menurut urutan prioritas sebagai berikut : Prioritas 1 (C1) : Kendala ketersediaan lahan

Prioritas 2 (C2) : Tujuan laju erosi dari sistem pertanaman agroforestri

Prioritas 3 (C3) : Tujuan produksi yang dikonsumsi

Prioritas 4 (C4 : Tujuan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak Prioritas 5 (C5) : Tujuan modal usaha milik petani yang tersedia


(5)

Prioritas 6 (C6) : Tujuan penggunaan tenaga kerja keluarga

Analisis model optimasi dilakukan menggunakan perangkat lunak komputer dengan program ABQM terhadap 60 (enam puluh) skenario. Ke enam puluh skenario tersebut terdiri dari empat macam skenario utama dan lima macam subskenario dengan tiga stratifikasi pemilikan luas lahan petani di lokasi penelitian. Skenario-skenario tersebut disusun guna mendapatkan alokasi penggunaan lahan yang optimal, memenuhi sekaligus tujuan atau target yang telah ditetapkan dan ingin dicapai yaitu secara ekologis lestari dan secara ekonomis menguntungkan. Ke empat skenario utama terdiri dari :

I. Target kebutuhan hidup layak dapat tercapai setiap tahun (100% KHL) II. Target kebutuhan untuk aktifitas sosial

dan tabungan dapat seluruhnya ditingkatkan setiap tahun, sehingga pendapatan meningkat sebesar 12% dari standar kebutuhan hidup layak (KHL + 12%)

III. Target kebutuhan untuk melakukan tabungan tidak terpenuhi sehingga pendapatan berkurang sebesar 6% dari standar kebutuhan hidup layak (KHL-6%).

IV. Target kebutuhan untuk melakukan tabungan tidak terpenuhi dan aktifitas sosial serta biaya fasilitas penunjang dikurangi masing-masing setengah- nya, sehingga pendapatan berkurang 12% dari standar kebutuhan hidup layak (KHL-12%).

Sedangkan 5 (lima) macam Subskenario terdiri dari :

1. Keadaan awal yaitu potensi yang dimiliki petani pada saat pengamatan dilakukan.

2. Melakukan penanaman tanaman obat dan rempah atau rumput di bawah tegakan kayu sungkai atau pengembalian sisa tanaman sebagai mulsa organik ke dalam tanah sehingga produksinya bertambah sebesar 50% dan erosi berkurang 75% tetapi modal yang diperlukan bertambah 25%.

3. Melakukan tambahan modal sebesar 50 % dari modal semula dan tenaga kerja yang diperlukan juga bertambah 50%.

4. Kebutuhan bahan bakar kayu bertambah 25% dan bahan makanan berupa padi gogo bertambah sebesar 50%.

5. Menerapkan teknik konservasi berupa teras dan sengkedan sehingga erosi yang terjadi berkurang sebesar 92%, tetapi memerlukan tambahan tenaga kerja sebanyak 700 HOK per hektar.

Sementara ke 3 (tiga) stratifikasi (golongan) petani yang dibedakan berdasarkan luas lahan garapannya terdiri dari :

1. Petani golongan I dengan luas lahan 0,32 hektar,

2. Petani golongan II dengan luas lahan 0,96 hektar, dan

3. Petani golongan III dengan luas lahan 1,58 hektar.

Penggolongan petani ke dalam tiga kelompok luas lahan tersebut didasarkan pada kondisi rasional yang terdapat di lokasi penelitian dengan pertimbangan rata luas lahan tersempit dan terluas yang dapat diusahakan dengan hanya mengandalkan modal dan tenaga kerja yang tersedia di tingkat petani.

Untuk mengetahui luas lahan minimal yang diperlukan agar diperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) digunakan persamaan :

Lm = KHL/Pb ……… (6) dengan: Lm = luas lahan minimal diperlukan dalam hektar.


(6)

Pb = Pendapatan bersih per hektar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

ari hasil analisis optimasi dapat diketahui bahwa hanya petani golongan III (luas lahan 1,58 hektar) di kawasan penyangga TNGL yang dapat mencapai hasil sama atau melebihi standar kebutuhan hidup layak (KHL) terutama pada subskenario 2 untuk semua skenario utama (Tabel 1 dan 2) serta semua subskenario pada skenario utama III dan IV (Tabel 2). Subskenario 5 pada skenario utama II juga mendapatkan hasil melebihi kebutuhan hidup layak (Tabel 1). Hasil penelitian Abdul-Rauf (2004) (bagian analisis lain dari rangkaian kajian ini) dapat diketahui bahwa kebutuhan hidup layak (KHL) bagi petani di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat, dengan 5 orang anggota keluarga, sebesar Rp. 10.000.000,-.

Meskipun hampir seluruh skenario pada petani golongan III dapat mencapai/melampaui target/tujuan

kebutuhan hidup layak namun bila ditinjau dari erosi yang terjadi maka hanya subskenario 2 dan 5 yang dapat memenuhi tingkat ketercapaian tujuan/target yang diinginkan. Ketercapaian tujuan pada subskenario 2 dan 5 tersebut dapat diketahui karena persen penyimpangan atau deviasi (d) memiliki nilai negatif hingga nol yang berarti erosi yang terjadi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (31, 25 t/ha/thn). Sementara pada subskenario 1, 3 dan 4 pada semua skenario utama untuk petani golongan III ini menghasilkan erosi yang jauh lebih tinggi (257-299%) dari erosi yang dapat ditoleransikan (Tabel 1 dan 2).

Selanjutnya bila ditinjau dari tenaga kerja yang diperlukan maka subskenario 5 memerlukan tambahan tenaga kerja cukup banyak sekitar 300-430 HOK sementara pada subskenario 2 hanya sekitar 67-68 HOK dari tenaga kerja keluarga yang tersedia.

Tabel 1. Tingkat ketercapaian tujuan optimasi penggunaan lahan pada sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat, untuk petani Golongan III pada skenario utama I dan II, subskenario 1-5.

Prioritas Tujuan*)

Tujuan (Target)

Tingkat Ketercapaian Tujuan/Target pada Skenario

I.1 I.2 I.3 I.4 I.5

C1

C2

C3

C4

C5

1,58

31,25

10.000.000

1 .700.000

630

1,58 (0) 124,77 (+ 299,27) 8.762.000 (- 12,38) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67)

1,58 (0) 31,25

(0) 13.133.000

(+ 31,33) 2.103.070

(- 23,71) 697,22 (- 10,67)

1,58 (0) 124,77 (+ 299,27) 8.751.000 (- 12,49) 3.400.000 (- 100,00) 1.030,11 (- 63,51)

1,58 (0) 124,77 (+ 299,27) 9.620.000 (- 3,8) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67)

1,58 (0) 16,85 (- 46,08) 9.771.000

(- 2,29) 1,620,780

(+ 4,66) 968,76 (+ 57,34)

II.1 II.2 II.3 II.4 II.5

D


(7)

C1 C2 C3 C4 C5 1,58 31,25 11.200.000 1.700.000 630 1,58 ha (0) 124,77 (+ 299.27) 4.906.720 (- 56,19) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67) 1,58 ha (0) 31,25 (0) 13.133.120 (+ 17,26) 2.107.320 (- 23,96) 697,22 (- 10,67) 1,58 ha (0) 124,77 (+ 299,27) 4.906.720 (- 56,19) 3.400.000 (- 100,00) 1.030,11 (- 63,51) 1,58 ha (0) 124,77 (+ 299.27) 5.397.280 (- 51,81) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67) 1,58 ha (0) 17,30 (- 44,64) 10.659.040 (- 4,83) 1.503.990 (+ 11,53) 933,79 (+ 62,89)

*) C1 = Kendala ketersediaan lahan (ha); C2 = Tujuan laju erosi (Etol t/ha/thn); C3 = Tujuan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (Rp/thn); C5 = Tujuan modal usaha milik petani (Rp/thn); C6 = Tujuan penggunaan tenaga kerja keluarga (HOK/thn). Angka dalam ( ) merupakan % penyimpangan untuk mencapai tujuan/target (nilai nol : tujuan/target tepat tercapai; nilai negatif: tujuan/target tidak tercapai; nilai positif : tujuan/target terlampaui).

Meskipun pada subkenario 2 memerlukan tambahan modal sekitar 24% atau sebesar Rp. 408.000,- dari modal yang tersedia sedangkan subskenario 5 tidak memerlukan tambahan modal, namun penambahan modal pada subskenario 2 tersebut dapat ditanggulangi dari peningkatan pendapatan yang diperoleh. Sementara tambahan tenaga kerja yang jauh lebih banyak pada subskenario 5 (upah tenaga kerja di lokasi penelitian saat penelitian dilakukan Rp.

15.000,-/HOK), menye-babkan subskenario 5 kurang realistis untuk diterapkan dibandingkan sub-skenario 2. Selain itu bila dilihat dari tingkat kesulitan agroteknologinya maka subskenario 2 (penanaman vegetasi penutup tanah memotong lereng dan penggunaan mulsa organik di bawah tegakan tanaman pohon) lebih mudah diterapkan dibandingkan pada subskenario 5 (pembuatan teras dan sengkedan).

Tabel 2. Tingkat ketercapaian tujuan optimasi penggunaan lahan pada sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat, untuk petani Golongan III pada skenario utama III dan IV, subskenario 1-5.

Prioritas Tujuan*)

Tujuan (Target)

Tingkat Ketercapaian Tujuan/Target pada Skenario

III.1 III.2 III.3 III.4 III.5

C1 C2 C3 0C4 C5 1,58 31,25 9.400.000 1.700.000 630 1,58 ha (0) 124,77 (+ 299,27) 12.352.540 (+ 31,44) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67) 1,58 ha (0) 31,25 (0) 13.669.480 (+ 45.42) 2.107.320 (- 23.96) 697,73 (- 10,75) 1,58 ha (0) 80,37 (+ 257,17) 13.383.720 (+ 42,38) 3.596.350 (- 111,55) 1.117,75 (- 77,42) 1,58 ha (0) 124,77 (+ 299,27) 13.168.460 (+ 40,09) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67) 1,58 ha (0) 14,85 (- 52,48) 11.989.700 (+ 27,55) 1.700.000 (0) 1.028,04 (+ 47,93)


(8)

IV.1 IV.2 IV.3 IV.4 IV.5 C1 C2 C3 C4 C5 1,58 31,25 8.800.000 1.700.000 630 1,58 ha (0) 124,77 (+ 299,27) 15.422.000 (+ 75,25) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67) 1,58 ha (0) 31,25 (0) 13.602.160 (+ 54,57) 2.107.830 (- 23,99) 697,85 (- 10,77) 1,58 ha (0) 124,77 (+ 299,27) 15.421.120 (+ 75,24) 3.400.000 (- 100.00) 1.030,11 (- 63,51) 1,58 ha (0) 124,77 (+ 299,27) 16.909.200 + 92,15 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67) 1,58 ha (0) 13,96 (- 55.31) 14.321.120 (+ 62,74) 1.700.000 (0) 1.060,49 (+ 42,78)

Untuk mencapai target pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak serta erosi yang terjadi sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (subskenario 2) maka penggunaan lahannya harus menyertakan pena-naman rumput, tanaman obat dan rempah di bawah tegakan pohon sungkai atau penggunaan dan pengembalian sisa tanaman sebagai mulsa organik ke permukaan tanah (Gambar 1). Pengelolaan lahan dan tanaman harus mengikuti pola curah hujan setempat (Gambar 2).

Alokasi penggunaan lahan optimal (subskenario 2) pada sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat untuk petani golongan III (luas lahan 1,58 hektar) yang diperoleh dari hasil analisis optimasi menggunakan program-program tujuan ganda (ABQM) disajikan

pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa terdapat empat alternatif alokasi penggunaan lahan optimal pada sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat untuk petani Golongan III dengan rincian sebagai berikut :

1. Penanaman kayu sungkai seluas 1,08 hektar (68,1%) dan padi gogo seluas 0,5 hektar (31,9%).

2. Penanaman kayu sungkai seluas 1,09 hektar (68,86%) dan cabai merah seluas 0,49 hektar (31,14%).

3. Penanaman kayu sungkai seluas 1,05 hektar (66,27%), jagung seluas 0,32 hektar (20,32%) dan cabai merah seluas 0,21 hektar (13,42%), atau

4. Penanaman kayu sungkai seluas 1,02 hektar (64,24%), padi gogo dan jagung masing-masing 0,20 hektar (12,66%) serta cabai merah seluas 0,16 hektar (10,44%)

Tabel 3. Hasil analisis optimasi alokasi penggunaan lahan untuk sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Langkat, untuk petani Golongan III pada skenario utama I-IV, subskenario 2.

Jenis Tanaman

Luas (ha) dan Persentase Penggunaan Lahan pada Skenario Utama I-IV, Subskenario 2

I.2 II.2 III.2 IV.2

1. Kayu Sungkai

2. Padi Gogo

3. Jagung

4. Cabai Merah

1,08 (68,1%) 0,50 (31,9%) 0 0 1,02 (64,24%) 0,20 (12,66%) 0,20 (12,66%) 0,16 1,09 (68,86%) 0 0 0,49 1,05 (66,27%) 0 0,32 (20,32%) 0,21                                      


(9)

(10,44%) (31,14%) (13,42%)

Jumlah 1,58 1,58 1,58 1,58

Hasil yang diperoleh pada subskenario 2 untuk petani golongan III ini rata-rata sebesar Rp.13.384.440,-. Dengan luas lahan 1,58 hektar maka hasil per

hektarnya sebesar

Rp.8.471.164.50,-. Menggunakan per-samaan 6 maka luas lahan minimal (Lm) yang diperlukan setiap keluarga petani agroforestri di kawasan penyangga TNGL untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dengan 5 orang anggota keluarga sebesar 1,18 hektar.

Berdasarkan persentase alokasi penggunaan lahan pada subskenario 2 untuk petani golongan III maka pada lahan seluas 1,18 hektar tersebut dapat ditata penggunaan lahan optimalnya, seperti ilustrasi pada Gambar 1. Dari hasil analisis optimasi ini dan dengan menggunakan persamaan 6 dapat pula diketahui bahwa untuk meningkatkan pendapatan melebihi standar kebutuhan hidup layak sehingga petani dapat meningkatkan aktifitas sosial dan tabungan (sedikitnya 12% lebih tinggi dari standar kebutuhan hidup layak atau

sekitar Rp.11.200.000,-) maka diperlukan lahan seluas 1.32 hektar. Ini berarti lebih dari 65% petani agroforestri di lokasi penelitian seharusnya dapat memperoleh pendapatan melebihi standar kebutuhan hidup layak (skenario utama II) karena terdapat 83% petani yang memiliki lahan garapan lebih dari 1.1 hektar (Abdul-Rauf, 2004). Hal tersebut tidak terjadi karena sistem agroforestri yang diterapkan umumnya belum menggunakan agroteknologi yang benar dan sesuai dengan salah satu alternatif alokasi penggunaan lahan optimal sebagaimana telah diuraikan di atas.

Hasil analisis optimasi juga menunjukkan bahwa untuk petani golongan I tidak ada satu skenariopun yang dapat mencapai target/tujuan, sementara untuk petani golongan II hanya pada skenario utama IV dengan subskenario 2 yang dapat mencapai tujuan atau target yang diinginkan (Tabel 4).

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv……...(Rumput)

vvvvvvv♣_vvvvvv♣vvvvvv♣_……(Sungkai + Kencur)

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv……...(Rumput)

ωωωωωωωωωωωωωωωωωω

ωωωωωωωωωωωωωωωωωω….…(Padi Gogo + Cabai)

ωωωωωωωωωωωωωωωωωω

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv…..….(Rumput)

vvvvvvv♣_vvvvvv♣vvvvvv♣_……(Sungkai + Kunyit)

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv…..….(Rumput)

ωωωωωωωωωωωωωωωωωω

ωωωωωωωωωωωωωωωωωω…..…(Padi Gogo + Cabai)

ωωωωωωωωωωωωωωωωωω

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv……...(Rumput)

vvvvvv♣_vvvvvv♣vvvvvv♣_…..…(Sungkai+A.Kincong

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv……...(Rumput)

ΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨ

ΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨ……...(Jagung)

ΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨΨ

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv……...(Rumput)

vvvvvvv♣_vvvvvv♣vvvvvv♣_.……(Sungkai + Kencur)

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv…..….(Rumput)

5

Hutan Rumput

Sungkai+Kencur P.Gogo + Cabai Merah Sungkai + Kunyit + Rumput

Padi Gogo + Cabai Merah Sungkai + Asam Kincong + Rumput Jagung

Keterangan: Ukuran lahan 118 x 100 meter = 11 800 m2 (1.18 hektar)

Sungkai : 64,24 % x 11.800 m2 = 7580,32 m2 : 21 = 361 pohon

Jarak tanam: a. Sungkai : 7x3 m

b. Padi Gogo : 25 x 50 cm

c. Cabai Merah : 50 x 50 cm

d. Jagung : 1 x 0,5 m

Padi Gogo : 12,66 % x 11.800 m2 = 1493,88 m2 : 0,125 = 11.951 rumpun


(10)

Cabai Merah : 10,44 % x 11.800 m2 = 1231,92 m2 : 0,25 = 4.928 pohon Barisan tanaman memotong lereng (sejajar kontur).

Pada barisan (di bawah tegakan) pohon sungkai ditanam berselang seling tanaman kunyit, kencur, asam kincong dan atau rumput serta mulsa organik.


(11)

Gambar 1. Skema teknologi agroforestri berdasarkan alternatif ke 4 alokasi penggunaan lahan optimal di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat.

Jagung

Padi Gogo

Cabai Merah

Kayu Sungkai (Nungke)

0 5 0 1 0 0 1 5 0 2 0 0 2 5 0 3 0 0 3 5 0 4 0 0 4 5 0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 B u l a n

Cur

ah Huj

an (

mm)

Gambar 2. Pola tanam yang disarankan pada sistem agroforestri di Kawasan Penyangga TNGL, Kabupaten Langkat, Berdasarkan Pola Curah Hujan.

Tingkat ketercapaian tujuan atau target yang diinginkan pada skenario utama IV dengan subskenario 2 pada petani golongan II (luas lahan 0.96 hektar) dapat dilihat dari erosi yang terjadi sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (31,25 t/ha/thn) serta pendapatan meningkat sebesar 18,73% meskipun modal dan tenaga kerja masih perlu ditambah masing-masing sebesar 17,99% dan 15,59% dari modal dan tenaga kerja semula yang dimiliki petani (Tabel 4).

Pendapatan bersih pada sub-skenario IV. 2 ini (setelah dikurangi kebutuhan untuk penambahan modal dan tenaga kerja) sebesar Rp. 8.878.765,-. Ini berarti petani masih dapat memenuhi kebutuhan makanan serta pendidikan anak dan kesehatan keluarganya meskipun tidak bisa menabung dan mengurangi hingga 50% biaya yang diperlukan untuk aktifitas sosial

dan fasilitas penunjang (skenario utama IV). Untuk dapat mencapai target/tujuan tersebut maka dengan menggunakan persamaan 6 luas lahan minimal (Lm) yang diperlukan sebesar 0,95 hektar. Selanjutnya agar petani dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya kecuali tidak dapat menabung (skenario utama III) maka luas lahan garapan minimal untuk penerapan sistem agroforestrinya sebesar 1,02 hektar. Ini berarti sekitar 50% petani agroforestri di lokasi penelitian dapat memperoleh pendapatan memenuhi standar kebutuhan hidup sesuai skenario utama III dan IV karena terdapat 63,91% petani yang memiliki lahan garapan lebih dari 0,5-2,0 hektar (Abdul-Rauf, 2004) bila sistem agroforestri yang diterapkan meng-gunakan agroteknologi yang benar dan sesuai dengan alokasi penggunaan lahan optimal yaitu 2,81% untuk tanaman pohon sungkai, 44,95% untuk padi gogo dan 52,24% untuk cabai merah.

Tabel 4. Tingkat ketercapaian tujuan/target optimasi penggunaan lahan pada sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat, untuk petani Golongan II pada skenario utama IV, subskenario 1-5.


(12)

Prioritas Tujuan*)

Tujuan (Target)

Tingkat Ketercapaian Tujuan/Target pada Skenario

IV.1 IV.2 IV.3 IV.4 IV.5

C1 C2 C3 C4 C5 0,96 31,25 8.800.000 1.250.000 575 0,96 (0) 75,81 (+ 142,60) 8.288.720 (- 5,81) 2.500.000 (- 100,00) 1.067,43 (- 85,64) 0,96 (0) 31,25 (0) 10.448.240 (+ 18.73) 1.474.875 (- 17,99) 664,64 (- 15,59) 0,96 (0) 75,81 (+ 142,60) 8.288.720 (- 5,81) 2.500.000 (- 100,00) 1.026,15 - 78,46 0,96 (0) 75,81 (+ 142,60) 9.365.400 (+ 6.43) 2.500.000 (- 100,00) 1.067,43 (- 85,64) 0,96 (0) 10,52 (- 66,35) 8.493.760 (- 3,48) 1.352.125 (- 8,17) 876,01 (+ 69,39)

*) C1 = Kendala ketersediaan lahan (ha); C2 = Tujuan laju erosi (Etol t/ha/thn); C3 = Tujuan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (Rp/thn); C5 = Tujuan modal usaha milik petani (Rp/thn);

C6 = Tujuan penggunaan tenaga kerja keluarga (HOK/thn). Angka dalam ( ) merupakan % penyimpangan untuk mencapai tujuan/target (nilai nol : tujuan/target tepat tercapai; nilai negatif : tujuan/target tidak tercapai; nilai positif : tujuan/target terlampaui).

Untuk petani golongan I dengan luas lahan yang dimiliki hanya 0,32 hektar memang akan cukup sulit untuk mendapatkan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dari sistem agroforestri yang diterapkannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa usaha tani (agribisnis) akan sulit berkembang pada lahan yang luasnya kurang dari 0,5 hektar tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanim (1999) yang menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab lambatnya pertumbuhan agribisnis di pedesaan karena jumlah petani pemilik lahan sempit (kurang dari 0,5 hektar) semakin bertambah dari tahun ke tahun dengan peningkatan sebesar 15% dalam waktu 10 tahun (1983-1993). Pengurangan lahan pertanian ini akibat konversi (alih fungsi) penggunaan untuk keperluan non-pertanian, terutama untuk pemukiman (perumahan) dan industri.

Namun demikian beberapa cara dapat ditempuh agar petani pemilik lahan sempit (kurang dari 0,5 hektar) dapat meningkatkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) atau sekurang-kurangnya dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM) dengan tambahan biaya untuk pendidikan anak

dan kesehatan keluarga meskipun tanpa atau mengurangi biaya aktifitas sosial dan fasilitas pendukung. Untuk maksud tersebut, salah satu cara dapat dilakukan, yaitu penggunaan tanaman bernilai ekonomis tinggi dalam menyusun komponen agroforestrinya seperti menggunakan tanaman (pohon) buah-buahan atau tanaman perkebunan dan industri sebagai pengganti pohon sungkai/pohon hutan. Tanaman semusim (padi gogo, jagung dan cabai merah) dapat diganti pula dengan tanaman rempah-rempah yang tahan terhadap naungan (lada dan atau vanili) dan bernilai ekonomi tinggi. Sebagai pagar pembatas lahan dapat digunakan pohon pinang dan atau sungkai.

KESIMPULAN

Alokasi penggunaan lahan optimal untuk sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat adalah 64-68% untuk penanaman pohon sungkai (Peronema canescens), 13-32% untuk padi gogo, 13-20% untuk jagung dan 10-13% untuk cabai merah. Di bawah tegakan pohon sungkai harus ditanami tanaman yang resisten terhadap


(13)

kelangkaan cahaya matahari seperti tanaman obat (kencur, kunyit atau asam kincong), rempah, rumput dan atau pengembalian sisa tanaman ke permukaan tanah sebagai mulsa organik.

Petani agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat membutuhkan lahan garapan minimal :

a. seluas 1.18 hektar agar diperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL).

b. seluas 1,32 hektar untuk memperoleh penghasilan yang dapat melampaui KHL sehingga aktifitas sosial dan tabungan dapat ditingkatkan dua kali lebih besar (KHL + 12%).

c. seluas 1,02 hektar untuk memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup, kecuali tidak dapat menabung (KHL-6%).

d. seluas 0,95 hektar untuk memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, pendidikan anak dan kesehatan keluarga, tetapi tidak dapat menabung serta aktifitas sosial dan fasilitas penunjang

dikurangi masing-masing setengahnya (KHL-12%). Bagi

petani agroforestri dengan lahan garapan yang lebih sempit dapat menggunakan jenis tanaman bernilai ekonomis tinggi dan atau membentuk kelompok tani.

Sistem agroforestri yang lebih sesuai dan berkesinambungan (pendapatan mencapai kebutuhan hidup layak, lahan tidak terdegradasi dan layak agroteknologi) untuk diterapkan di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat adalah tipe agrosilvopastural (subskenario 2) yang merupakan kombinasi pepohonan/hutan, tanaman pertanian dan rumput pakan ternak) karena lahan umumnya curam sampai sangat curam, solum dangkal dan tanah gembur.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul-Rauf. 2004. Kajian Sistem dan Optimasi Penggunaan Lahan Agroforestry di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser; Studi Kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Chundawat, B.S, and S.K. Gautam. 1993. Textbook of Agroforestry. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd., New Delhi.

Cohon, J.L, and S.K. Gautam. 1993. Textbook of Agroforestry. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi.

Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1995. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser 1995-2020. Buku I dan II. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Taman Nasional Gunung Leuser, Departemen Kehutanan, Kutacane.

Griffiths, M, dan S. Pardede. 1999. Rakyat Kecil yang Jadi Korban. Kasus Penebangan Liar di Taman Nasional Gunung Leuser. Harian Kompas, 1 Juli 1999, hal : 17.

Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report. Technical Report No. 10, FAO Project INS/1978/006, Center for Soil Research Bogor, Indonesia.

Keeney, R.L, and H. Raiffa. 1978. Decisions with Multiple Objectives; Preference and Value Trade offs. John Wiley & Sons, New York.

Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humid Tropics.


(14)

United Nation University Press, Tokyo.

Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala. 1997. Studi Pemanfaatan Daerah Penyangga (Buffer Zone) Taman Nasional Gunung Leuser. Buku I (Penelitian). Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh.

MacKinnon, J., K. MacKinnon., G. Child and J. Thorsell. 1986. Managing Protected Areas in the Tropics. International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources/United Nation Environment Programme.

Michon, G., F. Mary, and J. Bompard. 1989. Multistoreyed Agroforestry Garden System in West Sumatra, Indonesia. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry System in the Tropics. Kluwer Academic Publisher, The Netherlands. pp. 242-268.

Monk, K.A. 1997. Introduction to the Leuser Development Programme. Unit Management Leuser, Medan, North Sumatra, Indonesia.

Nair, P.K.R. 1989. Agroforestri defined. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry Systems in the Tropics. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands. pp.13-20.

Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis FE-USU. 1995. Penyusunan Base Line Study Fisik Sumber Daya Alam, Sosek Rumah Tangga Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di Desa Telagah Kecamatan Sei Bingei dan Lau Damak Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat. Kerjasama BAPEDA Sumatera Utara dan Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis FE-USU, Medan.

Sajogyo. 1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP). Institut Pertanian Bogor.

Sanim, B. 1999. Perspektif Kedepan Pengelolaan dan Distribusi Penggunaan Tanah dalam Pembangunan Ekonomi Nasional dan Daerah. Makalah pada Seminar Sehari “Paradigma Baru Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan yang Berkelanjutan”. Dies Natalis ke 43 FP-USU Medan, 4 Desember 1999.

Satjapradja, O. 1981. Agroforestry di Indonesia : Pengertian dan Implementasinya. Prosiding Seminar Agroforestry dan Pengendalian Perladangan. Jakarta, 19-21 Nopember 1981. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. PP. 68-76.

Sinukaban, N. 1999. Sistem Pertanian Konservasi Kunci Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Makalah pada Seminar Sehari “Paradigma Baru Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan yang Berkelanjutan”, dalam Rangka Diesnatalis ke 43 FP-USU Medan, 4 Desember 1999.

Tim Peneliti Universitas Syiah Kuala. 1993. Rencana Pemindahan Perambah Hutan dari dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kerjasama Departemen Kehutanan dengan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Wartaputra, S. 1990. Pola Pengelolaan Daerah Penyangga; Suatu Acuan Pemikiran. Makalah pada Seminar Nasional Pengelolaan Kawasan Penyangga. Jayapura, 16-17 Oktober 1990.


(15)

B

Wischmeier and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses; A Guide to Conservation Planning, USDA Agric. Handbook No. 53

Young, A. 1997. Agroforestry for Soil Management. Second Edition. ICRAP Nairobi, Kenya.

Zachar, D. 1982. Soil Erosion. Developments in Soil Science 10. USA-Canada.


(1)

Cabai Merah : 10,44 % x 11.800 m2 = 1231,92 m2 : 0,25 = 4.928 pohon Barisan tanaman memotong lereng (sejajar kontur).

Pada barisan (di bawah tegakan) pohon sungkai ditanam berselang seling tanaman kunyit, kencur, asam kincong dan atau rumput serta mulsa organik.


(2)

Gambar 1. Skema teknologi agroforestri berdasarkan alternatif ke 4 alokasi penggunaan lahan optimal di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat.

Jagung

Padi Gogo

Cabai Merah

Kayu Sungkai (Nungke) 0

5 0 1 0 0 1 5 0 2 0 0 2 5 0 3 0 0 3 5 0 4 0 0 4 5 0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2

B u l a n

Cur

ah Huj

an (

mm)

Gambar 2. Pola tanam yang disarankan pada sistem agroforestri di Kawasan Penyangga TNGL, Kabupaten Langkat, Berdasarkan Pola Curah Hujan.

Tingkat ketercapaian tujuan atau target yang diinginkan pada skenario utama IV dengan subskenario 2 pada petani golongan II (luas lahan 0.96 hektar) dapat dilihat dari erosi yang terjadi sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (31,25 t/ha/thn) serta pendapatan meningkat sebesar 18,73% meskipun modal dan tenaga kerja masih perlu ditambah masing-masing sebesar 17,99% dan 15,59% dari modal dan tenaga kerja semula yang dimiliki petani (Tabel 4).

Pendapatan bersih pada sub-skenario IV. 2 ini (setelah dikurangi kebutuhan untuk penambahan modal dan tenaga kerja) sebesar Rp. 8.878.765,-. Ini berarti petani masih dapat memenuhi kebutuhan makanan serta pendidikan anak dan kesehatan keluarganya meskipun tidak bisa menabung dan mengurangi hingga 50% biaya yang diperlukan untuk aktifitas sosial

dan fasilitas penunjang (skenario utama IV). Untuk dapat mencapai target/tujuan tersebut maka dengan menggunakan persamaan 6 luas lahan minimal (Lm) yang diperlukan sebesar 0,95 hektar. Selanjutnya agar petani dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya kecuali tidak dapat menabung (skenario utama III) maka luas lahan garapan minimal untuk penerapan sistem agroforestrinya sebesar 1,02 hektar. Ini berarti sekitar 50% petani agroforestri di lokasi penelitian dapat memperoleh pendapatan memenuhi standar kebutuhan hidup sesuai skenario utama III dan IV karena terdapat 63,91% petani yang memiliki lahan garapan lebih dari 0,5-2,0 hektar (Abdul-Rauf, 2004) bila sistem agroforestri yang diterapkan meng-gunakan agroteknologi yang benar dan sesuai dengan alokasi penggunaan lahan optimal yaitu 2,81% untuk tanaman pohon sungkai, 44,95% untuk padi gogo dan 52,24% untuk cabai merah. Tabel 4. Tingkat ketercapaian tujuan/target optimasi penggunaan lahan pada sistem agroforestri

di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat, untuk petani Golongan II pada skenario utama IV, subskenario 1-5.


(3)

Prioritas Tujuan*)

Tujuan (Target)

Tingkat Ketercapaian Tujuan/Target pada Skenario

IV.1 IV.2 IV.3 IV.4 IV.5

C1 C2 C3 C4 C5 0,96 31,25 8.800.000 1.250.000 575 0,96 (0) 75,81 (+ 142,60) 8.288.720 (- 5,81) 2.500.000 (- 100,00) 1.067,43 (- 85,64) 0,96 (0) 31,25 (0) 10.448.240 (+ 18.73) 1.474.875 (- 17,99) 664,64 (- 15,59) 0,96 (0) 75,81 (+ 142,60) 8.288.720 (- 5,81) 2.500.000 (- 100,00) 1.026,15 - 78,46 0,96 (0) 75,81 (+ 142,60) 9.365.400 (+ 6.43) 2.500.000 (- 100,00) 1.067,43 (- 85,64) 0,96 (0) 10,52 (- 66,35) 8.493.760 (- 3,48) 1.352.125 (- 8,17) 876,01 (+ 69,39)

*) C1 = Kendala ketersediaan lahan (ha); C2 = Tujuan laju erosi (Etol t/ha/thn); C3 = Tujuan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (Rp/thn); C5 = Tujuan modal usaha milik petani (Rp/thn);

C6 = Tujuan penggunaan tenaga kerja keluarga (HOK/thn). Angka dalam ( ) merupakan % penyimpangan untuk mencapai tujuan/target (nilai nol : tujuan/target tepat tercapai; nilai negatif : tujuan/target tidak tercapai; nilai positif : tujuan/target terlampaui).

Untuk petani golongan I dengan luas lahan yang dimiliki hanya 0,32 hektar memang akan cukup sulit untuk mendapatkan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dari sistem agroforestri yang diterapkannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa usaha tani (agribisnis) akan sulit berkembang pada lahan yang luasnya kurang dari 0,5 hektar tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanim (1999) yang menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab lambatnya pertumbuhan agribisnis di pedesaan karena jumlah petani pemilik lahan sempit (kurang dari 0,5 hektar) semakin bertambah dari tahun ke tahun dengan peningkatan sebesar 15% dalam waktu 10 tahun (1983-1993). Pengurangan lahan pertanian ini akibat konversi (alih fungsi) penggunaan untuk keperluan non-pertanian, terutama untuk pemukiman (perumahan) dan industri.

Namun demikian beberapa cara dapat ditempuh agar petani pemilik lahan sempit (kurang dari 0,5 hektar) dapat meningkatkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) atau sekurang-kurangnya dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM) dengan tambahan biaya untuk pendidikan anak

dan kesehatan keluarga meskipun tanpa atau mengurangi biaya aktifitas sosial dan fasilitas pendukung. Untuk maksud tersebut, salah satu cara dapat dilakukan, yaitu penggunaan tanaman bernilai ekonomis tinggi dalam menyusun komponen agroforestrinya seperti menggunakan tanaman (pohon) buah-buahan atau tanaman perkebunan dan industri sebagai pengganti pohon sungkai/pohon hutan. Tanaman semusim (padi gogo, jagung dan cabai merah) dapat diganti pula dengan tanaman rempah-rempah yang tahan terhadap naungan (lada dan atau vanili) dan bernilai ekonomi tinggi. Sebagai pagar pembatas lahan dapat digunakan pohon pinang dan atau sungkai.

KESIMPULAN

Alokasi penggunaan lahan optimal untuk sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat adalah 64-68% untuk penanaman pohon

sungkai (Peronema canescens), 13-32%

untuk padi gogo, 13-20% untuk jagung dan 10-13% untuk cabai merah. Di bawah tegakan pohon sungkai harus ditanami tanaman yang resisten terhadap


(4)

kelangkaan cahaya matahari seperti tanaman obat (kencur, kunyit atau asam kincong), rempah, rumput dan atau pengembalian sisa tanaman ke permukaan tanah sebagai mulsa organik.

Petani agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat membutuhkan lahan garapan minimal :

a. seluas 1.18 hektar agar diperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL).

b. seluas 1,32 hektar untuk

memperoleh penghasilan yang dapat melampaui KHL sehingga aktifitas sosial dan tabungan dapat ditingkatkan dua kali lebih besar (KHL + 12%).

c. seluas 1,02 hektar untuk

memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup, kecuali tidak dapat menabung (KHL-6%).

d. seluas 0,95 hektar untuk

memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, pendidikan anak dan kesehatan keluarga, tetapi tidak dapat menabung serta aktifitas sosial dan fasilitas penunjang

dikurangi masing-masing setengahnya (KHL-12%). Bagi

petani agroforestri dengan lahan garapan yang lebih sempit dapat menggunakan jenis tanaman bernilai ekonomis tinggi dan atau membentuk kelompok tani.

Sistem agroforestri yang lebih sesuai dan berkesinambungan (pendapatan mencapai kebutuhan hidup layak, lahan tidak terdegradasi dan layak agroteknologi) untuk diterapkan di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat adalah tipe agrosilvopastural (subskenario 2) yang merupakan kombinasi pepohonan/hutan, tanaman pertanian dan rumput pakan ternak) karena lahan umumnya curam sampai sangat curam, solum dangkal dan tanah gembur.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul-Rauf. 2004. Kajian Sistem dan Optimasi Penggunaan Lahan Agroforestry di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser; Studi Kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Chundawat, B.S, and S.K. Gautam. 1993. Textbook of Agroforestry. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd., New Delhi.

Cohon, J.L, and S.K. Gautam. 1993. Textbook of Agroforestry. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi.

Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1995. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser

1995-2020. Buku I dan II. Direktorat

Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Taman Nasional Gunung Leuser, Departemen Kehutanan, Kutacane.

Griffiths, M, dan S. Pardede. 1999. Rakyat Kecil yang Jadi Korban. Kasus Penebangan Liar di Taman Nasional Gunung Leuser. Harian Kompas, 1 Juli 1999, hal : 17.

Hammer, W.I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report. Technical Report No. 10, FAO Project INS/1978/006, Center for Soil Research Bogor, Indonesia.

Keeney, R.L, and H. Raiffa. 1978. Decisions with Multiple Objectives; Preference and Value Trade offs. John Wiley & Sons, New York.

Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humid Tropics.


(5)

United Nation University Press, Tokyo.

Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala. 1997. Studi Pemanfaatan Daerah Penyangga (Buffer Zone) Taman Nasional Gunung Leuser.

Buku I (Penelitian). Lembaga

Penelitian Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh.

MacKinnon, J., K. MacKinnon., G. Child and J. Thorsell. 1986. Managing Protected Areas in the Tropics. International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources/United Nation Environment Programme.

Michon, G., F. Mary, and J. Bompard. 1989. Multistoreyed Agroforestry Garden System in West Sumatra, Indonesia. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry System in the Tropics. Kluwer Academic Publisher, The Netherlands. pp. 242-268.

Monk, K.A. 1997. Introduction to the Leuser

Development Programme. Unit

Management Leuser, Medan, North Sumatra, Indonesia.

Nair, P.K.R. 1989. Agroforestri defined. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry Systems in the Tropics. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands. pp.13-20.

Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis FE-USU. 1995. Penyusunan Base Line Study Fisik Sumber Daya Alam, Sosek Rumah Tangga Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di Desa Telagah Kecamatan Sei Bingei dan Lau Damak Kecamatan Bahorok

Kabupaten Langkat. Kerjasama

BAPEDA Sumatera Utara dan Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis FE-USU, Medan.

Sajogyo. 1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP). Institut Pertanian Bogor.

Sanim, B. 1999. Perspektif Kedepan Pengelolaan dan Distribusi Penggunaan Tanah dalam Pembangunan Ekonomi Nasional dan Daerah. Makalah pada Seminar Sehari “Paradigma Baru Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan yang Berkelanjutan”. Dies Natalis ke 43 FP-USU Medan, 4 Desember 1999.

Satjapradja, O. 1981. Agroforestry di Indonesia : Pengertian dan Implementasinya. Prosiding Seminar Agroforestry dan Pengendalian Perladangan. Jakarta, 19-21 Nopember 1981. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. PP. 68-76.

Sinukaban, N. 1999. Sistem Pertanian Konservasi Kunci Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Makalah pada Seminar Sehari “Paradigma Baru Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Lahan yang Berkelanjutan”, dalam Rangka Diesnatalis ke 43 FP-USU Medan, 4 Desember 1999.

Tim Peneliti Universitas Syiah Kuala. 1993. Rencana Pemindahan Perambah Hutan dari dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kerjasama Departemen Kehutanan dengan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Wartaputra, S. 1990. Pola Pengelolaan

Daerah Penyangga; Suatu Acuan Pemikiran. Makalah pada Seminar Nasional Pengelolaan Kawasan Penyangga. Jayapura, 16-17 Oktober 1990.


(6)

B

Wischmeier and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses; A Guide to Conservation Planning, USDA Agric. Handbook No. 53

Young, A. 1997. Agroforestry for Soil Management. Second Edition. ICRAP Nairobi, Kenya.

Zachar, D. 1982. Soil Erosion. Developments in Soil Science 10. USA-Canada.