Land Use Change Analysis and Land Use Direction in Mount Merbabu National Park and its Buffer Zone

(1)

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

DAN ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

SERTA DAERAH PENYANGGANYA

MUHAMAD ALKAF

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan Pemanfaatan Lahan di Taman Nasional Gunung Merbabu serta Daerah Penyangganya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014 Muhamad Alkaf NIM A156120434


(3)

(4)

RINGKASAN

MUHAMAD ALKAF. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan Pemanfaatan Lahan di Taman Nasional Gunung Merbabu serta Daerah Penyangganya. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan OMO RUSDIANA.

Taman Nasional Gunung Merbabu adalah salah satu kawasan konservasi yang mencapai kondisi ecological-overstress disebabkan oleh tekanan penduduk. Penutupan lahan hutan hanya tersisa 30% dari keseluruhan kawasan Taman Nasional dengan laju deforestasi mencapai 3% per tahun sedangkan penurunan luas tutupan hutan pada periode 1991-2007 mencapai 49,86 %. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi mengindikasikan adanya perubahan ekosistem yang dapat mengancam fungsi kawasan terutama fungsi ekologi.

Penelitian ini memiliki empat tujuan utama yaitu : (1) menganalisis perubahan penggunaan lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dan daerah penyangganya pada periode tahun 2001-2013; (2) mengkaji kesesuaian lahan berdasarkan sifat fisik lahan; (3) membangun prediksi penggunaan lahan untuk jangka waktu 12 tahun kedepan; (4) menyusun skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan. Data primer yang digunakan adalah data citra Landsat-7 tahun 2001 dan citra Landsat-8 tahun 2013. Model prediksi penggunaan lahan tahun 2025 menggunakan metode Cellular Automata Markov berdasarkan pada skenario kesesuaian lahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tujuh tipe penggunaan lahan utama di Taman Nasional Gunung Merbabu dan daerah penyangganya yaitu, hutan, permukiman, ladang, padang rumput, semak belukar, lahan terbuka dan perkebunan campuran. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada periode tahun 2001-2013 adalah berkurangnya luas penggunaan lahan hutan, padang rumput dan perkebunan campuran diikuti dengan meningkatnya luas penggunaan lahan berupa semak belukar, permukiman dan ladang. Pada periode tersebut laju deforestasi sebesar 2,29% atau 87 ha/tahun.

Hasil prediksi penggunaan lahan menunjukkan bahwa pada periode tahun 2013-2025 masih terjadi perubahan penggunaan lahan dengan pola yang sama dengan periode tahun 2001-2013. Penggunaan lahan hutan diprediksi akan terus menurun pada semua zona Taman Nasional. Tipe penggunaan lahan yang diprediksi cenderung meningkat luasnya hingga tahun 2025 adalah pemukiman, ladang dan semak belukar, sedangkan hutan, rumput dan perkebunan campuran diprediksi cenderung menurun.

Skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan di dalam kawasan Taman Nasional (TN) diarahkan untuk dapat meningkatkan luas tutupan hutan. Terdapat dua skenario yang dirumuskan, yaitu skenario 1 dengan asumsi pengelola TN bersikap progresif dengan tidak memperbolehkan kegiatan budidaya di dalam kawasan TN, dan skenario 2 dengan asumsi pengelola TN menerapkan kebijakan zonasi sesuai dengan rencana pengelolaan TN. Hasil analisis menunjukkan bahwa skenario 1 diprediksi mampu meningkatkan luas tutupan hutan dan menahan laju deforestasi.

Kata kunci : gunung Merbabu, hutan, penggunaan lahan, prediksi, taman nasional


(5)

SUMMARY

MUHAMAD ALKAF. Land Use Change Analysis and Land Use Direction in Mount Merbabu National Park and its Buffer Zone. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and OMO RUSDIANA.

Mount Merbabu National Park is one of conservation area in Indonesia with ecological-overstress condition caused by population pressure. Forest land cover in that area only remains 30% and the rate of deforestion reaches 3% per year. Land use changes that occur indicate ecosystem changes that threaten the ecological function of the area.

This study has four main objectives, that include the following : (1) to analyze land use changes in mount Merbabu national park and its buffer zone period of 2001-2013, (2) to analyze land suitability based on land physical properties, (3) to predict land use for the next 12 years, (4) to formulate scenarios wich can control land use changes. Primary data in this research is Landsat-7 image in 2001 and Landsat-8 image in 2013. The land use prediction model by the 2025 is Cellular Automata Markov method, that base on land suitability scenario.

The results showed that there are seven main types of land use in the Mount Merbabu National Park and its buffer zone : forest, settlement, field, grass, shrub, unutilzed land and crop mix. Land use changes that occurred in the period 2001-2013 is the decline of forest, grass and crop mix, followed by the increase of shrub, settlement and field. The rate of deforestation in this period is 2,29% or 87 ha/ year .

The prediction results showed that land use changes in the period of 2013-2025 has similar pattern with the 2001-2013 period. Forest decline is predicted to continue in all zones of the National Park. Settlement, field and shrub are disposed to increase, while forest, grass and crop mix are disposed to decrease.

Scenarios to control land use changes in the National Park (TN) is directed to increase forest cover. There are two scenarios were formulated, first scenario assuming TN managers not allowing farming and settlement activities in the area of TN. Second scenario assuming TN managers implement zoning policies of TN Plan. The results showed that the first scenario predicted to increase forest cover and restrain deforestation.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

DAN ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

SERTA DAERAH PENYANGGANYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(8)

(9)

(10)

(11)

Judul Tesis : Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan Pemanfaatan Lahan di Taman Nasional Gunung Merbabu serta Daerah Penyangganya

Nama : Muhamad Alkaf NIM : A156120434

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Dra Khursatul Munibah, MSc Ketua

Dr Ir Omo Rusdiana, MScFTrop. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(12)

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan Pemanfaatan Lahan di Taman Nasional Gunung Merbabu serta Daerah Penyangganya dapat diselesaikan. Proses penyusunan tesis ini didukung oleh berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc. dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc.F.Trop.

selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku penguji luar komisi atas masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Program Studi atas motivasi dan arahan selama penulis menjalankan studi.

4. Kepala Pusat Pembinaan dan Pelatihan Perencana-Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren-Bappenas) atas kesempatan belajar dan beasiswa yang telah diberikan.

5. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu dan seluruh staf atas dukungan dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah atas ilmu pengetahuan dan bimbingan selama penulis menjalankan studi.

7. Rekan-rekan PWL angkatan 2012 atas persahabatan kita yang erat.

8. Orang tuaku, Bapak Mufid Mas’ad, Ibu Kasri Astuti, Mamah Sri Sudaryanti dan Papah Havid Mahyuddin (alm) serta keluarga kecilku Elza Havid dan Chilman Afada Muhammad atas segala doa, dukungan dan curahan kasih sayangnya selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan pada tesis ini, namun tidak mengurangi harapan penulis agar karya ilmiah ini tetap bermanfaat bagi berbagai pihak. Akhir kata penulis mengucapkan Alhamduliillahi

robbil ‘alamin.

Bogor, Maret 2014 Muhamad Alkaf


(14)

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

1.5 Kerangka Pemikiran 4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional 5

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya 6

2.3 Sistem Informasi Geografis 7

2.4 Penginderaan Jauh 8

2.5 Pemodelan dan Cellular Automata 9

2.6 Kesesuaian Lahan 10

3 METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 10

3.2 Jenis Data Penelitian 12

3.3 Bahan dan Alat 12

3.4 Rancangan Penelitian 12

3.5 Analisis dan Pengolahan Data 14

4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Geografi dan Administrasi 20

4.2 Kondisi Umum Fisik Wilayah 23

4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi 34

4.4 Zonasi Taman Nasional Gunung Merbabu 37

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perubahan Penggunaan Lahan 39

5.2 Kesesuaian Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan dan

Prioritas Penggunaan Lahan Hutan 52

5.3 Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan 56 5.4 Skenario Pengendalian Perubahan Penggunaan Lahan 61 6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan 71

6.2 Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 72

LAMPIRAN 75


(16)

ii

DAFTAR TABEL

1 Matriks hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis

dan keluaran 14

2 Matriks perubahan penggunaan lahan 15

3 Kriteria kesuaian lahan untuk permukiman 16

4 Kriteria kesesuaian lahan untuk ladang 17

5 Kriteria kesesuaian lahan untuk perkebunan campuran 17 6 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas penggunaan

lahan 18

7 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan 18

8 Wilayah administrasi yang berada di kawasan TNGMb 21 9 Luas dan persentase bentuk lahan di TNGMb dan daerah penyangganya 23 10 Luas dan persentase kelas kemiringan lereng di TNGMb dan daerah

penyangganya 23

11 Luas dan persentase kelas ketinggian di TNGMb dan daerah

penyangganya 26

12 Luas dan persentase jenis tanah di TNGMb dan daerah penyangganya 29 13 Luas dan persentase penggunaan lahan di TNGMb dan daerah

penyangganya 32

14 Luas peruntukan lahan di TNGMb dan daerah Penyangganya 32 15 Perkembangan penduduk tiap kecamatan di TNGMb dan daerah

penyangganya 34

16 Matriks perubahan penggunaan lahan periode 2001-2013 tiap zona 49 17 Data kejadian kebakaran di TNGMb periode tahun 2006-2012 51 18 Prediksi perubahan luas penggunaan lahan tiap zona periode tahun

2013-2025 59

19 Arahan pemanfaatan lahan di dalam kawasan TNGMb berdasarkan

skenario 1 dan 2 62

20 Arahan pemanfaatan lahan pada zona penyangga TNGMb berdasarkan

skenario 1 dan 2 63

21 Perbandingan perubahan penggunaan lahan tahun 2013 dengan hasil

prediksi 2025, skenario 1 dan 2 63

22 Perbandingan luas penggunaan lahan hasil prediksi skenario 1 dan 2

pada masing-masing zona TNGMb 65

23 Matriks penggunaan lahan hasil prediksi skenario 1 dengan RTRW 68 24 Matriks penggunaan lahan hasil prediksi skenario 2 dengan RTRW 69 25 Arahan pemanfaatan lahan di daerah penyangga TNGMb 70

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 4

2 Peta kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu 11

3 Peta daerah penelitian 11

4 Bagan alir penelitian 13

5 Peta administrasi TNGMb dan daerah penyangganya 22 6 Peta penyebaran bentuk lahan di TNGMb dan daerah penyangganya 24


(17)

7 Peta penyebaran kemiringan lereng di TNGMb dan daerah

penyangganya 25

8 Peta penyebaran ketinggian di TNGMb dan daerah penyangganya 27 9 Peta penyebaran jenis tanah di TNGMb dan daerah penyangganya 28 10 Peta curah hujan di TNGMb dan daerah penyangganya 30 11 Peta penggunaan lahan di TNGMb dan daerah penyangganya 31 12 Peta RTRW di TNGMb dan daerah penyangganya 33 13 Perkembangan jumlah penduduk tiap kecamatan di TNGMb dan

daerah penyangganya 34

14 Perkembangan jumlah rumah tangga tiap kecamatan di TNGMb dan

daerah penyangganya 35

15 Persentase tingkat pendidikan masyarakat tiap kecamatan di TNGMb

dan daerah penyangganya 36

16 Jumlah fasilitas pendidikan tiap kecamatan di TNGMb dan daerah

penyangganya 36

17 Persentase tingkat penghasilan masyarakat tiap kecamatan di sekitar

kawasan TNGMb 37

18 Persentase luas tiap zona di TNGMb 38

19 Peta zonasi TNGMb 39

20 Kenampakan (a) hutan, (b) padang rumput, (c) semak belukar pada

citra Landsat skala 1 : 25.000 40

21 Hasil verifikasi lapangan (a) hutan, (b) padang rumput, (c) semak

belukar 41

22 Kenampakan (a) ladang, (b) perkebunan campuran pada citra Landsat

skala 1 : 25.000 41

23 Hasil verifikasi lapangan (a) ladang, (b) perkebunan campuran 42 24 Kenampakan (a) permukiman, (b) lahan terbuka pada citra Landsat

skala 1 : 25.000 42

25 Hasil verifikasi lapangan (a) permukiman (b) lahan terbuka 43 26 Kenampakan citra Landsat-8 pada kondisi waktu perekaman yang

berbeda (a) Agustus 2013 (b) Juni 2013 43

27 Luas penggunaan lahan di TNGMb dan daerah penyangganya tahun

2001 dan 2013 44

28 Peta penggunaan lahan (a) tahun 2001 dan (b) 2013 45 29 Luas penggunaan lahan berdasarkan zonasi tahun 2001 46 30 Luas penggunaan lahan berdasarkan zonasi tahun 2013 47 31 Penyebaran perubahan penggunaan lahan dan kejadian kebakaran 52 32 Peta kesesuaian lahan berdasarkan atas karakteristik fisik lahan dan

prioritas penggunaan lahan hutan 53

33 Luas lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) 54

34 Luas lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) pada masing-masing tipe

penggunaan lahan tahun 2013 55

35 Nilai kappa hasil prediksi penggunaan lahan pada berbagai iterasi 57 36 Grafik hubungan antara jumlah iterasi dan waktu iterasi 57 37 Peta penggunaan lahan (a) tahun 2013 dan (b) prediksi tahun 2025 58 38 Kecenderungan perubahan penggunaan lahan tahun 2001, 2013, dan


(18)

iv

39 Peta prediksi penggunaan lahan tahun 2025 (a) skenario 1 dan (b)

skenario 2 64

40 Perbandingan luas masing-masing penggunaan lahan di dalam kawasan TNGMb pada tahun 2001, 2013, hasil prediksi 2025 dan

skenario 1 dan 2 66

DAFTAR LAMPIRAN

1 Citra Landsat tahun 2001 TNGMb dan daerah penyangganya 75 2 Citra Landsat tahun 2013 TNGMb dan daerah penyangganya 76 3 Peta hasil verifikasi lapangan dan google earth 77 4 Titik hasil pengecekan lapangan dan google earth 78 5 Akurasi dan nilai kappa interpretasi citra landsat 81 6 Kesesuaian lahan pada masing-masing Satuan Lahan Homogen (SLH) 82 7 Kelas kemampuan lahan pada masing-masing Satuan Lahan Homogen


(19)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mahkluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan dalam sistem kehidupan. Makluk hidup selain manusia menimbulkan perubahan alami, yang dicirikan oleh keseimbangan dan keselarasan, sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk mengubah secara berbeda karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, bahkan seringkali perubahan tersebut merusak lingkungan (Soerjani et al. 1987). Perubahan penggunaan lahan dan sumberdaya untuk keperluan pembangunan merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh pada perubahan lingkungan secara global yang disebabkan manusia selama dua ratus tahun terakhir. Di seluruh dunia, tingkat perubahan penutupan lahan dan hilangnya cadangan karbon terestrial diperkirakan akan meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade mendatang sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk (Ojima et al. 1994 dalam Hutyra et al. 2011).

Perubahan penutupan/ penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan selain hutan (deforestasi) adalah isu hangat yang terus mengancam kelestarian hutan. FAO (2001) mencatat bahwa setiap tahunnya 0,38 % lahan hutan di seluruh dunia terkonversi menjadi penggunaan lain. Sementara itu, Kemenhut (2012) menyatakan bahwa angka deforestasi di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 832.126 ha/tahun.

Menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan Indonesia terbagi 3 (tiga) kelompok utama, yaitu kawasan hutan lindung, produksi dan konservasi. Hutan lindung adalah kawasan hutan dengan fungsi utama sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, sedangkan hutan konservasi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Pemerintah Indonesia sampai dengan tahun 2011, telah menetapkan 521 unit kawasan hutan konservasi dengan luas 27.206.730 ha yang terdiri dari cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman buru. Taman Nasional (TN) merupakan kategori kawasan hutan konservasi yang mempunyai persentase luas paling besar yaitu mencapai 50 unit atau seluas 16.372.066 ha (60,2 %), dengan rincian 43 unit Taman Nasional Darat dan 7 unit Taman Nasional Laut (Kemenhut 2012).

Salah satu bentuk kawasan konservasi yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah adalah Taman Nasional Gunung Merbabu yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/Menhut-II/2004. Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang saat ini kondisinya mencapai titik ecological-overstress atau dalam kondisi tereksploitasi secara berlebihan, terutama disebabkan oleh tekanan penduduk. Tekanan penduduk diartikan sebagai usaha masyarakat sekitar hutan untuk terus


(20)

2

memperluas lahan garapannya, seiring dengan meningkatnya populasi penduduk. (Taolin 2002).

Dari segi bentuk wilayah, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu dapat dilihat sebagai wilayah pengelolaan yang tidak kompak secara spasial, karena bentuknya yang tidak mendekati bentuk lingkaran dan terfragmentasi. Menurut Rustiadi et al. (2009), wilayah yang efisien ditunjukkan oleh bentuk wilayahnya yang kompak, yaitu bentuk-bentuk yang mendekati lingkaran sempurna. Bentuk wilayah yang tidak kompak dan terfragmentasi akan menciptakan berbagai bentuk inefisiensi dan menyulitkan dalam pengelolaan.

Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu sebelumnya merupakan Hutan Lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani dalam wilayah KPH Kedu Utara dan KPH Surakarta, dan Taman Wisata Alam (TWA) Tuk Songo yang merupakan salah satu kawasan konservasi dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Tengah. Masuknya kegiatan pertanian ke dalam kawasan ini telah dimulai sejak abad ke-18. Komoditas yang penting di kawasan Merbabu pada era tahun 1940-an adalah kina yang diusahakan hingga ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan di bawah 1.000 mdpl adalah perkebunan kopi. Kawasan pertanian telah jauh masuk ke dalam kawasan lindung pada ketinggian 1.600-2.000 mdpl, yang sebenarnya tidak ideal digunakan sebagai kawasan pertanian (Taolin 2002).

Taman Nasional memiliki fungsi yang sangat penting jika ditinjau dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Ditinjau dari aspek ekologi, TN memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan (mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah) serta fungsi pengawetan keanekaragaman hayati (flora dan fauna). Ditinjau dari aspek sosial, TN memiliki fungsi diantaranya adalah estetika, kultural, spiritual, serta fungsi penelitian dan pengembangan. Dari aspek ekonomi, TN merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat di sekitarnya dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan pemerintah pusat (Haryono 2011).

Kawasan TN dan daerah di sekitarnya yang disebut dengan daerah penyangga sebenarnya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Kawasan TN mempengaruhi daerah penyangganya dan juga sebaliknya, daerah penyangga mempengaruhi TN. Bentuk pengaruh TN terhadap daerah penyanganya adalah dalam bentuk perlindungan terhadap banjir dan erosi, sumber makanan (daging, buah, madu) dan juga fungsi spiritual, kultural dan estetika. Sedangkan bentuk pengaruh daerah penyangga terhadap kawasan TN adalah adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan TN. Namun, kelestarian fungsi kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) teracam oleh tekanan penduduk yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan/ penggunaan lahan hutan menjadi non hutan. Bentuk kawasan yang tidak kompak juga meningkatkan kerawanan terjadinya perubahan penggunaan lahan di kawasan TNGMb.

1.2 Perumusan Masalah

Perubahan penggunaan lahan di kawasan TNGMb telah mencapai kondisi yang mengakhawatirkan. Menurut data dari Balai Penelitian Kehutanan Solo


(21)

(2007), kondisi penutupan lahan hutan di kawasan TNGMb hanya tersisa 30% dari keseluruhan kawasan. Kondisi ini terutama diakibatkan oleh aktivitas penduduk yang secara ilegal mengumpulkan kayu untuk keperluan kayu bakar dan arang, serta terjadinya kebakaran hutan. Rata-rata laju deforestasi pada periode tahun 1991-2007 adalah 3 % per tahun, sedangkan penurunan luas tutupan hutan pada periode tersebut mencapai 49,86 % (Dewi 2009).

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di dalam kawasan hutan seperti yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) mengindikasikan adanya perubahan ekosistem yang dapat mengancam fungsi kawasan terutama fungsi ekologi. Perubahan penggunaan lahan dapat diamati dengan memperhatikan pola perubahannya. Pola tersebut kemudian dapat digunakan untuk membangun sebuah model prediksi perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang. Selanjutnya dapat dilakukan suatu upaya untuk mengendalikan perubahan peggunaan lahan agar sesuai dengan kondisi yang diharapkan di masa yang akan datang.

Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan yang terjadi di kawasan TNGMb dan daerah penyangganya pada periode tahun 2001-2013?

2. Bagaimana kesesuaian lahan yang ada di kawasan TNGMb dan daerah penyangganya?

3. Bagaimana model yang dapat dibangun untuk memprediksi penggunaan lahan di masa yang akan datang?

4. Apa manfaat hasil prediksi penggunaan lahan di masa yang akan datang? 1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi penggunaan lahan di masa yang akan datang kemudian menyusun skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan di kawasan TNGMb dan daerah penyangganya. Tahapan tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan di kawasan TNGMb dan daerah penyangganya pada periode tahun 2001-2013.

2. Mengkaji kesesuaian lahan berdasarkan sifat fisik lahan yang ada di kawasan TNGMb dan daerah penyangganya.

3. Membangun model prediksi penggunaan lahan untuk jangka waktu 12 tahun kedepan.

4. Menyusun skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan dan arahan pemanfaatan lahan di kawasan TNGMb dan daerah penyangganya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut yaitu :

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Balai Taman Nasional Gunung Merbabu dalam penyempurnaan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN).


(22)

4

2. Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terkait keberadaan kawasan TNGMb.

1.5 Kerangka Pemikiran

Perkembangan kegiatan dan pertumbuhan masyarakat yang memanfaatkan zona penyangga Taman Nasional memberikan pengaruh terhadap berkurangnya persediaan alam maupun hasil hutan bukan kayu yang mendorong masyarakat memasuki kawasan inti. Kawasan penyangga adalah kawasan yang berfungsi sebagai areal penghalang, pencegah perluasan pemilikan lahan dan pengambilan hasil-hasil hutan bukan kayu. Peningkatan jumlah penduduk berakibat pada peningkatan kebutuhan lahan pertanian baru, dengan cara membuka tanah-tanah hutan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lainnya terutama pertanian. Jika kondisi ini tetap dibiarkan berlangsung, maka dapat mengancam kelestarian ekosistem yang seharusnya dihindarkan.

Informasi mengenai perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan pendekatan pemodelan dapat digunakan untuk melakukan pendekatan proses perubahan penggunaan lahan dan prediksi penggunaan lahan di masa yang akan datang. Munibah (2008) menyatakan bahwa pola perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti penggunaan lahan periode sebelumnya, penggunaan lahan tetangganya, kondisi fisik lahan, status lahan, kondisi soial dan ekonomi masyarakat. Hasil prediksi kemudian dapat digunakan untuk menyusun skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan. Kerangka pikir penelitian secara skematis diilustrasikan melalui Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian

Peningkatan Jumlah Penduduk di sekitar kawasan TNGMb

Aspek sosial ekonomi Aspek biofisik Peningkatan

kebutuhan lahan

Skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan dan arahan pemanfaatan lahan

Perubahan penggunaan Lahan TNGMb dan daerah penyangganya

Mengancam fungsi kawasan

Kajian perubahan penggunaan lahan Penyimpangan


(23)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional

FAO (1982), mendefinisikan Taman Nasional (TN) sebagai kawasan luas dan relatif belum terganggu yang memiliki nilai alam tinggi, dengan kepentingan konservasi tinggi, potensi rekreasi tinggi, mudah dikunjungi dan bermanfaat bagi daerah. Sedangkan dalam IUCN (1994), TN termasuk Kategori II yang didefinisikan sebagai wilayah alamiah di daratan atau lautan yang ditunjuk untuk : 1. Melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan generasi kini

dan yang akan datang;

2. Melarang eksploitasi dan okupasi yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya;

3. Memberikan landasan untuk pengembangan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan budaya.

Dalam sistem hukum Indonesia (Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006) Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional termasuk salah satu kawasan pelestarian alam yaitu kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Menurut Kemenhut (2007), TN dikelola dengan prinsip dasar sebagai berikut :

1. Pendayagunaan potensi TN untuk kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi, diupayakan agar tidak mengurangi luas kawasan, tidak menyebabkan berubahnya fungsi, serta tidak memasukkan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli;

2. Dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan, kawasan TN ditata ke dalam zona inti, zona rimba/ zona bahari, dan zona pemanfaatan;

3. Masyarakat sekitar secara aktif diikutsertakan dalam pengelolaan TN sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatannya; dan

4. Dalam hal dijumpai kerusakan habitat dan atau penurunan populasi satwa yang dilindungi, maka setelah melalui pengkajian yang seksama dapat dilakukan kegiatan: pembinaan habitat, pembinaan populasi, rehabilitasi dengan jenis tumbuhan asli, reintroduksi dengan jenis satwa asli, pengendalian dan atau


(24)

6

pemusnahan jenis tumbuhan dan atau satwa yang tidak asli yang diidentifikasi telah dan akan mengganggu ekosistem kawasan.

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya Definisi mengenai penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan fisik permukaan bumi. Lillesand dan Kiefer (1997) mendefinisikan penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Sebagai contoh pada penggunaan lahan untuk permukiman yang terdiri atas permukiman, rerumputan, dan pepohonan.

Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang, baik untuk tujuan komersial maupun industri. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu sistem dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya menyebabkan kerusakan spesies lainnya.

Mc. Neil et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi, dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya lahan yang akan memberikan pengaruh terhadap manusia itu sendiri dan kondisi lingkungannya.

Menurut Munibah (2008), perubahan penggunaan lahan dapat didasarkan pada kesesuaian lahannya, penggunaan lahan periode sebelumnya dan penggunaan lahan tetangganya. Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah bentuk lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan raya dan mata pencaharian masyarakat.

Selanjutnya penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor (driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy (kebijakan), institusi, budaya dan biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan mencari penyebab (driver) perubahan penggunaan lahan dan dampak (lingkungan dan sosial ekonomi) dari perubahan penggunaan lahan. Penyebab dari perubahan penggunaan adalah lima alasan yaitu kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku (Lambin et al. 2003).


(25)

2.3 Sistem Informasi Geografis

Konsep sistem informasi geografis (SIG) telah diperkenalkan di Indonesia sejak pertengahan tahun 1980-an, dan kini telah dimanfaatkan di berbagai bidang baik pemerintahan maupun swasta. Kemampuan dasar dari SIG adalah mengintegrasikan berbagai operasi basis data seperti query, menganalisisnya, dan menyimpan serta menampilkannya dalam bentuk pemetaan berdasarkan letak geografisnya. Inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lain. Komponen SIG terdiri atas hardware, software, data, dan user. Dengan adanya SIG diharapkan tersedia informasi yang cepat, benar dan akurat tantang keadaan di lingkungannya (Qoriani 2012).

Menurut Iskandar dan Hartati (2012), SIG sebagai salah satu alat yang bermanfaat untuk menangani data spasial dan menyimpan format digital. SIG juga dapat digunakan sebagai alat bantu utama yang interaktif, menarik, dan menantang di dalam usaha-usaha untuk meningkatkan pemahaman, pengertian, pembelajaran mengenai konsep lokasi, ruang (spasial), kependudukan dan unsur-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi berikut data-data atribut terkait yang menyertainya.

SIG adalah alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menerima, mengubah, dan menampilkan data spasial untuk seperangkat tujuan tertentu. SIG juga memungkinkan untuk penggunaan seperangkat operasi sederhana (seperti tumpah susun/ overlay, klasifikasi, interpolasi, agregasi informasi spasial) yang dapat menghasilkan informasi tambahan dalam memprediksi dampak. Misalnya, dampak okupasi tanah pertanian, gangguan ekologis pada daerah sensitif, gangguan air, serta perubahan aksesibilitas yang dapat langsung diprediksi dari informasi yang tersimpan dalam SIG dengan cara operasi overlay data tematik (Antunes et al. 2001).

Rivas et al. (1994) dalam Antunes et al. (2001) menyatakan bahwa SIG menyajikan suatu metodologi untuk evaluasi dampak rencana tata guna lahan, berdasarkan perhitungan indeks dampak yang diperoleh dengan cara overlay rencana tata guna lahan dengan peta tematik. Selanjutnya Smit dan Spaling (1995) dalam Antunes et al. (2001) merujuk beberapa penelitian di mana SIG telah diterapkan untuk mengevaluasi efek kumulatif melalui analisis deret waktu (time series).

Perkembangan penggunaan SIG muncul sebagai akibat dari beberapa faktor yang saling terkait. Pertama, terdapat banyak produk perangkat lunak SIG yang tersedia dari vendor komersial dan universitas. Kedua, teknologi komputer terkini mampu menangani banyak komputasi, pengambilan, dan masalah penyimpanan data dalam jangka waktu dan biaya yang wajar. Ketiga, tampilan grafis komputer dan plotter yang canggih, cepat, serta menghasilkan keluaran hasil yang beresolusi tinggi. Keempat, vendor data geografis serta instansi pemerintah seperti Lembaga Sensus Pemerintah telah menyediakan sejumlah besar data geografis dengan biaya yang wajar. Kelima, penggunaan penginderaan jauh telah diperluas, terutama dalam pemantauan lingkungan. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan sistem yang mampu menangani data dalam jumlah besar serta berfungsi sebagai sumber utama informasi penutupan lahan. Keenam, munculnya Global Positioning System (GPS) telah mempermudah pengumpulan informasi lokasi data atribut dengan biaya yang relatif rendah dan akurasi yang relatif tinggi.


(26)

8

Faktor-faktor tersebut menyumbang kontribusi pada pertumbuhan industri SIG (Church 2002).

2.4 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1997). Somantri (2008) menyatakan bahwa penginderaan jauh adalah teknik yang digunakan untuk memperoleh data tentang permukaan bumi yang menggunakan media satelit ataupun pesawat terbang.

Sutanto (1986) dalam Somantri (2008) menyebutkan bahwa terdapat beberapa alasan yang melandasi peningkatan penggunaan citra penginderaan jauh, yaitu : Pertama, citra menggambarkan obyek, daerah dan gejala di permukaan bumi dengan wujud dan letaknya yang mirip dengan di permukaan bumi. Kedua, citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala yang relatif lengkap, meliputi daerah yang luas dan permanen. Ketiga, dari jenis tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensi apabila pengamatannya dilakukan dengan stereoskop. Keempat, citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial.

Jianzhong et al. (2011) menyatakan bahwa penginderaan jauh mampu menyediakan data suatu wilayah tertentu dalam beberapa fase yang berbeda, sehingga kondisi dinamis dari vegetasi di suatu daerah tertentu bisa didapatkan. Teknologi penginderaan jauh menyediakan informasi tutupan vegetasi yang akurat. Data yang diperoleh pada fase waktu yang berbeda dapat menyediakan informasi perubahan penutupan vegetasi di suatu daerah. Kemudian, distribusi spasial perubahan tersebut dianalisis dengan SIG yang mampu mewujudkan pemantauan dinamis perubahan tutupan vegetasi.

SIG dan penginderaan jauh adalah seperangkat alat yang kuat dan hemat biaya untuk menilai dinamika spasial-temporal dari perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Penginderaan jauh menyediakan data proses dan pola perubahan penggunaan lahan secara multi-temporal, sedangkan SIG berguna untuk analisis dan pemetaan pola perubahan yang ada. Selain itu, retrospektif dan konsistensi cakupan sinoptik dari satelit sangat berguna pada daerah-daerah dimana perubahan terjadi secara cepat Selanjutnya, karena arsip digital data penginderaan jauh memberikan kesempatan untuk mempelajari sejarah perubahan penggunaan lahan, pola perubahan tersebut dapat dievaluasi dalam kaitannya dengan faktor lingkungan dan manusia (Dewan dan Yamaguchi 2009).

Interpretasi visual dapat diartikan sebagai usaha mengenali suatu kenampakan obyek pada citra satelit melalui suatu proses dalam otak manusia kemudian menjadikannya sebagai informasi yang berguna (Lillesand dan Kiefer 1997). Sutanto (1999) dalam Somantri (2008) mengemukakan bahwa interpretasi citra pada dasarnya terdiri atas dua kegiatan utama, yaitu 1) penyadapan data dari citra dan 2) penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Penyadapan data dari citra berupa pengenalan obyek yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke tabel, grafik dan peta tematik. Obyek yang telah dikenali jenisnya kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tujuan interpretasi dan digambarkan pada peta.


(27)

Citra Landsat-7 memiliki sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) dengan tujuh saluran spektral (band) ditambah satu saluran pankromatik. Kombinasi saluran yang dipakai pada interpretasi visual pada citra Landsat-7 adalah 5-4-3 dalam format Red-Green-Blue (RGB) false color. Landsat-8 merupakan satelit yang baru diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013 dengan nama The Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Landsat-8 memiliki sembilan saluran spektral (termasuk saluran pankromatik) ditambah dengan dua saluran Thermal Infrared Sensor (TIRS), dengan demikian Landsat-8 secara kesuluruhan memiliki 11 saluran. Karena memiliki saluran tambahan, kombinasi saluran pada RGB false color berbeda dengan Landsat-7, yaitu dengan menggunakan saluran 6-5-4 (USGS 2013).

2.5 Pemodelan dan Cellular Automata

Purnomo (2012) menyatakan bahwa model bermanfaat untuk meningkatkan kecepatan pembelajaran, sehingga dapat merumuskan skenario ke depan atau alternatif kebijakan yang lebih baik. Model juga bisa digunakan untuk menguji sebuah hipotesis, yang karena sifatnya sulit diuji dalam dunia nyata. Model dapat digunakan untuk mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam kasus pemodelan partisipatif.

Selanjutnya menurut Purnomo (2012), otomata adalah bidang ilmu komputer yang mempelajari representasi matematika dari finite state machines (FSM). FSM adalah sebuah mesin yang jika diberi input, akan mendapatkan kondisi-kondisi (states) sesuai dengan fungsi transisi yang diberikan. Fungsi transisi ini memberikan arahan pada otomaton (obyek dari otomata) tentang state apa yang harus dipunyai berikutnya. Fungsi transisi ini mengubah dari state sekarang menuju state berikutnya.

Menurut Huan et al. (2010) konsep Cellular Automata (CA) awalnya diperkenalkan oleh Ullam dan Neumann (1940-an) untuk menyediakan kerangka untuk menginvestigasi perilaku sistem yang kompleks. CA mensimulasikan kondisi lingkungan yang diwakili oleh struktur grid atau raster (piksel), dimana terdapat seperangkat fungsi transisi. Model yang berbasis pada CA umumnya berorientasi pada prediksi atau simulasi, dimana model statistika multivariat difokuskan pada hubungan antara transisi penggunaan lahan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Luo dan Wei 2009).

Salah satu kunci metode CA adalah bahwa pola spasial global yang kompleks bisa disederhanakan dengan menggunakan separangkat aturan lokal yang sederhana. CA banyak digunakan untuk mensimulasikan dan memprediksi fenomena perubahan yang kompleks dari bentuk-bentuk spasial temporal, misalnya dinamika perubahan landskap dan penggunaan lahan (Huan et al. 2010).

Vliet et al. (2009) menyatakan bahwa model CA digunakan dalam beberapa model perubahan penggunaan lahan, dimana digunakan terutama untuk mensimulasikan dinamika perkotaan. Sekarang ini, model penggunaan lahan dengan menggunakan CA telah diterapkan sebagai alat untuk mendukung perencanaan penggunaan lahan dan analisis kebijakan serta mengeksplorasi skenario untuk pembangunan di masa depan. CA pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur berikut : 1) sel ruang, 2) seperangkat sel state yang terbatas, 3) definisi dari


(28)

10

sel tetangga, 4) seperangkat aturan transisi untuk menghitung perubahan sel state, dan 5) waktu di mana semua sel state secara simultan diperbarui.

Sistem CA biasanya terdiri dari empat elemen yaitu, piksel (cell), kondisi (states), ketetanggaan (neighborhood) dan aturan (rules). Sistem CA yang lebih modern, telah mengembangkan simulasi dengan konsep kesesuaian pengembangan (development suitability) dan probabilitas pengembangan (development probability). Kriteria perubahan pada cell dengan derajat kesesuaian tinggi akan dipilih paling pertama untuk berubah (Jacob et al. 2008).

2.6 Kesesuaian Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Kesesuian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (Sitorus 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Penilaian kesesuaian lahan adalah pendekatan perencanaan yang dilakukan untuk menghindari konflik lingkungan akibat dari kompetesi penggunaan lahan. Tujuan penilaian kesesuaian lahan adalah untuk membantu para pembuat kebijakan untuk menentukan lokasi atau pola lokasi yang tepat atau untuk mencapai tujuan dari masing-masing stakeholder yang terlibat (Yao 2006).

Kesesuaian lahan dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif. Dalam menilai kesesuaian lahan ada beberapa cara, antara lain, dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum yaitu mencocokkan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman atau komoditas lainnya yang dievaluasi (Djaenudin et al. 2011).

3

METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Taman Nasional Gunung Merbabu dan daerah penyangganya. Secara geografis kawasan TNGMb terletak pada koordinat 110026'22" BT dan 7027'13" LS pada ketinggian permukaan mulai dari 1.200 sampai 3.142 mdpl (Gambar 2). Secara administratif, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terletak di 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Magelang (2.160 ha), Kabupaten Semarang (1.150 ha), dan Kabupaten Boyolali (2.415 ha). Kawasan penyangga TNGMb didefinisikan sebagai desa-desa yang berbatasan


(29)

dengan kawasan TNGMb yaitu terdiri dari 39 desa (Gambar 3). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Oktober 2013.

Gambar 2 Peta kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu


(30)

12

3.2 Jenis Data Penelitian

Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah data penggunaan lahan hasil interpretasi citra satelit dan data verifikasi lapangan untuk menguji akurasi hasil interpretasi. Citra Landsat tahun 2001 dan 2013 didapatkan dengan cara mengunduh dari United States Geological Survey (USGS).

Data sekunder didapatkan dari beberapa instansi yang terkait. Data Rencana Pengelolaan Taman Nasional periode 2007-2026 diperoleh dari Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGMb). Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten diperoleh dari Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU). Peta Rupa Bumi Indonesia diperoleh dari Badan Informasi Geospasial. Satuan Peta Tanah didapatkan dari Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Data Potensi Desa diperoleh dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB.

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000, citra Landsat tahun 2001 dan tahun 2013, citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) resolusi 90 meter, satuan peta tanah skala 1 : 50.000, peta curah hujan, data potensi desa Kabupaten Magelang, Boyolali dan Semarang. Sedangkan alat yang digunakan adalah berupa seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ArcGIS, Idrisi, Google Earth dan Microsoft Office.

3.4 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian terbagi dalam 4 bagian berdasarkan pada tujuan penelitian, yaitu : (1) menganalisis perubahan penggunaan lahan, (2) menganalisis kesesuaian lahan berdasarkan sifat fisik lahan, (3) membangun model prediksi perubahan penggunaan lahan, dan (4) menyusun skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan.

Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) poligon penggunaan lahan sebagai unit analisis penggunaan lahan, (2) satuan lahan homogen sebagai unit analisis kesesuaian lahan berdasarkan sifat fisik, (3) raster sebagai unit analisis pemodelan prediksi penggunaan lahan untuk 12 tahun ke depan, (4) kawasan TNGMb dan daerah penyangga TNGMb sebagai unit analisis skenario kebijakan pengendalian perubahan penggunaan lahan. Bagan alir penelitian dan matriks hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data teknik analisis dan keluaran, tertera pada Gambar 4 dan Tabel 1.


(31)

Gambar 4 Bagan alir penelitian Ya

Tidak

CA Markov

Skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan dan arahan penggunaan lahan

Prediksi Penggunaan Lahan tahun 2025

RTRW dan RPTN dan RPTN Simulasi Model

Validasi Model

Verifikasi lapangan

Kriteria Kesesuaian Interpretasi dan Klasifikasi

Peta Penggunaan Lahan Tahun 2001 dan 2013

Peta Satuan Lahan Homogen Data Fisik Lahan :

Peta RBI, Satuan Peta Tanah, Peta Elevasi. Curah Hujan, Peta Kemiringan Lereng Citra Landsat Tahun

2001 dan Tahun 2013

Matching

Peta Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2001 dan 2013

Peta Kesesuaian/ Kemampuan Lahan

Mulai

Selesai


(32)

14

3.5 Analisis dan Pengolahan Data 3.5.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Tahapan yang dilakukan pada interpretasi citra landsat tahun 2001 dan 2013 untuk mengklasifikasikan penggunaan lahan di Kawasan TNGMb adalah sebagai berikut :

a. Pemotongan batas area penelitian

Citra Landsat path/ row 120/65 tahun 2001 (t0) tahun 2013 (t1) dipotong

untuk mendapatkan batas area yang akan dianalisis yaitu, batas kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu serta wilayah administrasi desa yang berbatasan dengan kawasan TNGMb sebagai daerah penyangga.

b. Interpretasi citra

Interpretasi penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan metode interpretasi visual (digitize on screen) dengan pendekatan unsur yang meliputi : Tabel 1 Matriks hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis

dan keluaran

No Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis

Keluaran 1 Analisis

perubahan penggunaan lahan

Penggunaan lahan

Peta RBI Peta

adminitrasi Peta batas

kawasan TNGMb Citra Landsat

Tahun 2001 dan tahun 2013 Interpretasi Klasifikasi Peta penggunaan lahan tahun 2001 (t0)

Peta penggunaan lahan tahun 2013 (t1)

2. Analisis kesesuaian lahan berdasarkan sifat fisik lahan Elevasi Kemiringan lereng Curah hujan Data fisik

tanah

Peta RBI SRTM Satuan Peta

Tanah

Matching Kesesuaian / kemampuan lahan saat ini

3. Membangun model prediksi perubahan penggunaan lahan

Penggunaan lahan t0 dan t1

(keluaran 1) Kesesuaian lahan (keluaran 2) Peta penggunaan lahan tahun 2001 (t0) dan

2013 (t1)

Peta kesesuaian lahan saat ini

Cellular Automata (CA) Markov Prediksi penggunaan lahan tahun 2025

4. Menyusun skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan

Peta prediksi penggunaan lahan (keluaran 3) RTRW RPTN

Hasil prediksi RTRW

eksisting RPTN

Eksisting

CA Markov Analisis

tumpang susun (overlay)

Skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan dan arahan pemanfaatan lahan


(33)

rona (berkaitan dengan warna/ derajat keabuan suatu obyek), tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan dengan bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek lain) (Lillesand dan Kiefer 1997).

Klasifikasi penggunaan lahan di Kawasan TNGMb dan daerah penyangganya terdiri dari 7 (tujuh) kelas yaitu : hutan, permukiman, ladang, perkebunan campuran, padang rumput, semak belukar dan lahan terbuka. Citra landsat tahun 2001 dan 2013 diinterpretasi menjadi peta pengggunaan lahan tahun 2001 dan 2013. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan operasi tumpang susun (overlay) antara peta penggunaan lahan tahun 2001 dengan tahun 2013. Analisis ini menghasilkan matriks transformasi perubahan penggunaan lahan seperti tertera pada Tabel 2.

c. Pengujian hasil interpretasi

Hasil interpretasi citra landsat tahun 2001 dan tahun 2013 diverifikasi melalui pengecekan lapangan (ground check) dan juga menggunakan google earth. Titik uji ditentukan menggunakan perangkat lunak Erdas Imagine berdasarkan metode stratified random sampling, yaitu pengambilan tiap titik berstrata secara acak sesuai luas penggunaan tiap kelas.

Hasil verifikasi lapangan kemudian dibandingkan dengan hasil interpretasi yang telah dilakukan, kemudian dihitung nilai akurasinya menggunakan overall accuracy dan kappa accuracy. Overall accuracy hanya mempertimbangkan commission (diagonal) yaitu titik interpretasi yang sama jenis penggunaan lahannya dengan hasil verifikasi lapangan sedangkan kappa accuracy sudah mempertimbangkan commission dan omission. Hal ini mengakibatkan nilai overall accuracy memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kappa accuracy. Nilai overall accuracy yang diharapkan adalah di atas 85 % (Jensen 1996).

Tabel 2 Matriks perubahan penggunaan lahan

Tipe penggunaan lahan

Tahun t1

Jumlah Htn Pmk Ldg Rmp Smk Ltb Kbnc

T

ahun

t0

Htn Htn t0

Pmk Pmk t0

Ldng Ldng t0

Rmp Rmp t0

Smk Smk t0

Ltb Ltb t0

Kbnc Kbnc t0

Jumlah Htn t1 Pmk t1 Ldng t1 Rmp t1 Smk t1 Ltb t1 Kbnc t1

Keterangan : Htn= hutan, Pmk=permukiman, Ldg=ladang, Kbnc= perkebunan campuran Rmp=padang rumput, Smk=semak belukar, Ltb=lahan terbuka


(34)

16

Dimana :

Xii : jumlah jenis penggunaan lahan ke-i hasil interpretasi yang bersesuaian dengan pengguanaan lahan hasil pengecekan/ verifikasi Xi+ : jumlah titik hasil verifikasi pada jenis penggunaan lahan ke-i

X+i : jumlah titik hasil interpretasi pada jenis penggunaan lahan ke-i N : jumlah titik contoh

r : jumlah tipe penggunaan lahan

3.5.2 Analisis Kesesuaian Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan Peta kesesuaian lahan dibuat untuk setiap tipe penggunaan lahan, yaitu hutan, permukiman, ladang, perkebunan campuran, padang rumput, semak belukar dan lahan terbuka. Kelas kesesuaian lahan terdiri dari 2 (dua) kelas yaitu kelas sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Unit analisis yang digunakan adalah satuan lahan homogen (SLH).

Kriteria kesesuaian lahan untuk permukiman menggunakan kriteria Mabbery (1972) dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY (2010) yang tertera pada Tabel 3. Kriteria kesesuaian untuk ladang didekati dengan menggunakan kriteria kesesuaian untuk tanaman Tembakau (Nicotiana tobacum) sesuai dengan kriteria Djaenudin et al. (2011) yang disajikan pada Tabel 4. Hal ini didasarkan pada kondisi bahwa sebagian besar lahan ladang yang tersedia digunakan untuk komoditas tanaman tembakau. Kriteria kesesuaian untuk perkebunan campuran didekati dengan menggunakan kriteria kesesuaian untuk tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) sesuai dengan kriteria Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) yang tertera pada Tabel 5. Hal ini didasarkan bahwa sebagian besar lahan perkebunan campuran yang tersedia digunakan untuk komoditas tanaman Sengon. Tabel 3 Kriteria kesesuaian lahan untuk permukiman

No Sifat Fisik Sesuai (S) Tidak Sesuai (N) 1 Kualitas air tanah Payau – tawar Asin

2 Bahaya Banjir Musiman-tanpa (F0, F1, F2)

Permanen (F3, F4)

3 Lereng < 15 % > 15 %

4 Drainase Cepat, agak cepat, agak terhambat, baik, sedang

Terhambat, sangat terhambat, sangat cepat 5 Erodibilitas tanah Rendah - Sedang Tinggi

6 Tekstur Agak kasar - halus Kasar

Sumber : Mabbery (1972) dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY (2010) Keterangan :

F0= tidak pernah bajir dalam periode satu tahun, tanah tidak pernah banjir >24 jam F1= kadang-kadang banjir menutupi tanah >24jam, tidak terarur dalam periode < 1bln F2= selama 1 bulan dalam 1 tahun, tanah secara teratur tertutup banjir selama >24 jam F3= selama 2-5 bulan dalam 1 tahun, secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya >24 jam F4= selama 6 bulan atau lebih, tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang lamanya >24 jam


(35)

Alokasi penggunaan lahan yang diprioritaskan untuk hutan menggunakan pendekatan sistem klasifikasi kemampuan lahan menurut United States Department of Agriculture (USDA) yang dijelaskan oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dalam Tabel 6. Lahan kelas I sampai dengan kelas VIII sesuai seluruhnya untuk hutan, namun dalam penelitian ini diperlukan pengelompokan lahan yang diprioritaskan digunakan sebagai hutan. Lahan yang diprioritaskan untuk hutan adalah lahan dengan kelas kemampuan lahan V-VIII karena tidak sesuai untuk usaha pertanian. Lahan dengan kelas kemampuan lahan I-IV tidak diprioritaskan untuk hutan karena lahan pada kelas tersebut sesuai untuk usaha pertanian. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan menggunakan kriteria menurut Arsyad (1979) yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan untuk ladang

No Sifat Fisik Sesuai (S) Tidak Sesuai (N)

1 Lereng < 30 % > 30 %

2 Temperatur rata2 tahunan (°C) 15 – 34 <15 atau >34 3 CH rata-rata (mm/th) > 400 < 400 4 Kedalaman efektif (cm) > 30 < 30

5 Drainase Agak cepat, agak

terhambat, baik, sedang

Sangat terhambat, cepat

6 Banjir F0 F1 – F4

7 Bahaya Erosi Sangat ringan - berat Sangat berat

8 Tekstur Halus – kasar -

Sumber : Djaenudin et al. (2011)

Tabel 5 Kriteria kesesuaian lahan untuk perkebunan campuran

No Sifat Fisik Sesuai (S) Tidak Sesuai (N)

1 Lereng <30 % > 30 %

2 Temperatur rata2 tahunan (°C) 19 – 34 <19 atau >34

3 CH rata-rata (mm/th) 2.000 – 4.000 > 4.000 atau < 2.000 4 Kedalaman efektif > 50 cm < 50 cm

5 Drainase Cepat, agak cepat,

agak terhambat, baik, sedang

Terhambat, sangat terhambat, sangat cepat

6 Bulan kering (<75 cm) 0 – 4 > 4

7 Banjir F0, F1, F2 F3, F4

8 Bahaya Erosi Sangat ringan - sedang Berat - sangat berat

9 Tekstur Halus – agak kasar Kasar


(36)

18

Kesesuaian lahan untuk padang rumput dianggap sesuai seluruhnya di lokasi penelitian dengan asumsi bahwa rumput di kawasan TNGMb merupakan salah satu jenis tutupan lahan asli sedangkan di daerah penyangga, rumput merupakan vegetasi yang sangat dibutuhkan masyarakat terutama untuk pakan ternak. Kesesuaian lahan untuk semak belukar dan lahan terbuka dianggap tidak sesuai seluruhnya dengan lahan di lokasi penelitian dengan asusmsi bahwa kedua jenis penggunaan lahan tersebut cenderung tidak diharapkan oleh pengelola TNGMb maupun oleh masyarakat di daerah penyangga.

3.5.3 Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan

Penyusunan model ini bertujuan untuk memperoleh peta prediksi penggunaan lahan untuk jangka waktu 12 (dua belas) tahun ke depan yaitu pada tahun 2025. Data yang diperlukan adalah peta penggunaan lahan tahun 2001 (t0),

tahun 2013 (t1), peta kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan,

Tabel 6 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas penggunaan lahan

Kelas Kemamp

Lahan

Cagar

Hutan Penggembalaan Pertanian

Alam Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif S.Intensif

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)

Tabel 7 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan

No Faktor Kelas Kemampuan Lahan

I II III IV V VI VII VIII 1 Tekstur tanah (t)

a. Lapisan atas t2/t3 t1/t4 t1/t4 (*) (*) (*) (*) i5 b. Lapisan bawah t2/t4 t1/t4 t1/t4 (*) (*) (*) (*) t5 2 Lereng permukaan (%) i0 i1 i2 i3 (*) i4 i5 i6 3 Drainase d0/d1 d2 d3 d4 (**) (*) (*) (*) 4 Kedalaman efektif k0 k0 k1 k2 (*) k3 (*) (*) 5 Keadaan erosi e0 e1 e1 e2 (*) e3 e4 (*)

6 Banjir O0 O1 O2 O3 O4 (*) (*) (*)

Sumber : Arsyad (1979) Keterangan :

(*) : dapat mempunyai sifat sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah (**) : permukaan tanah selalu tergenang air


(37)

Transitional Probababilty/ Area Matrix dan moving filter. Skenario perubahan penggunaan lahan pada setiap piksel tergantung pada kesesuaian lahannya dan penggunaan lahan tetangganya (Jacob et al. 2008). Pengaruh ketetanggaan artinya perubahan penggunaan lahan pada suatu piksel akan dipengaruhi oleh penggunaan lahan pada piksel tetangganya.

Model ini dijalankan dengan perangkat lunak Idrisi dengan modul Cellular Automata Markov (CA Markov) yang merupakan kombinasi dari modul Markov Chain dan Multi-Objective Land Allocation (MOLA). Markov Chain menghasilkan Transitional Probababilty/ Area Matrix, yaitu matriks perubahan penggunaan lahan yang diperoleh dengan cara menumpang-tindihkan peta penggunaan lahan pada dua titik tahun (Munibah 2008). Peta kesesuaian lahan berfungsi sebagai referensi dalam pengalokasian suatu penggunaan lahan. Jumlah peta kesesuaian lahan sesuai dengan jumlah tipe penggunaan lahan. Filter yang digunakan adalah filter berukuran 5×5 yang merupakan filter default pada software Idrisi, yang artinya perubahan penggunaan lahan pada piksel pusat dipengaruhi oleh penggunaan lahan pada 24 piksel sekitarnya.

Simulasi berjalan sesuai dengan pergerakan filter pada seluruh area yang disimulasi, dan disebut sebagai satu iterasi. Demikian seterusnya sampai dengan iterasi ke-n. Kondisi penggunaan lahan hasil simulasi dari iterasi sebelumnya digunakan untuk iterasi tahap berikutnya. Setelah simulasi berakhir dengan jumlah iterasi yang diinginkan, maka didapatkan penyebaran penggunaan lahan hasil simulasi. Validasi model dilakukan dengan membandingkan penggunaan lahan hasil simulasi tahun 2013 dengan penggunaan lahan hasil pengamatan tahun t1 (2013) berdasarkan nilai kappa.

3.5.4 Skenario Pengendalian Perubahan Penggunaan Lahan

Penyusunan skenario pengendalian perubahan penggunaan lahan di TNGMb dan daerah penyangganya dilakukan dengan menggunakan kesesuaian lahan berdasarkan kebijakan yang akan diambil. Kebijakan tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk kesesuaian lahan yang kemudian digunakan sebagai salah satu input model CA Markov. Analisis ini menghasilkan model prediksi penggunaan lahan tahun 2025 dengan input berupa penggunaan lahan tahun 2013, matriks perubahan penggunaan lahan tahun 2001-2013, kesesuaian lahan berdasarkan skenario kebijakan dan filter berukuran 5×5.

Skenario di dalam kawasan TNGMb diarahkan untuk dapat menjaga kelestarian kawasan TN dengan indikator berupa luas tutupan hutan. Skenario yang memiliki luas tutupan hutan paling besar bila dibandingkan dengan prediksi 2025 (business as usual) maupun tutupan hutan tahun 2013 merupakan skenario yang dianggap paling ideal.

Skenario di daerah penyangga TNGMb diarahkan agar sesuai dengan pola ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Semarang, Boyolali dan Magelang. Skenario yang memiliki ketidaksesuaian paling kecil dengan pola ruang pada RTRW merupakan skenario yang paling ideal untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya dapat dirumuskan suatu arahan penggunaan lahan pada lahan yang diprediksi masih tidak sesuai dengan pola ruang pada RTRW.


(38)

20

4

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Geografi dan Administrasi

Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) secara geografis terletak pada koordinat 110026'22" BT dan 7027'13" LS dengan ketinggian mencapai 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl). Terdapat dua puncak pada gunung Merbabu yaitu puncak Syarif (3.119 mdpl) dan puncak Kenteng Songo (3.142 mdpl). Secara administratif, TNGMb terletak pada tiga kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Magelang di sebelah Barat, Kabupaten Semarang di sebelah Utara, dan Kabupaten Boyolali di sebelah Selatan dan Timur. Jarak dari permukiman terdekat ke puncak gunung Merbabu yaitu ± 6 km dari dusun Tekelan Kabupaten Semarang dan ± 4 km dari dusun Genting Kabupaten Boyolali.

Secara kelembagaan Taman Nasional merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan yang berbentuk Balai Taman Nasional. Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan kawasan konservasi yang merupakan alih fungsi dari kawasan Hutan Lindung yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah seluas 5.718,5 hektar dan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) seluas 6,5 hektar. TWA ini ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor : 59/Kpts/Um/2/1975 dan dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jawa Tengah. Pada tanggal 4 Mei 2004, Pemerintah melalui Departemen Kehutanan menerbitkan SK Menteri Kehutanan Nomor : SK.135/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merbabu Seluas 5.725 (Lima Ribu Tujuh Ratus Dua Puluh Lima) Hektar, yang terletak di Kabupaten Magelang, Semarang dan Boyolali, Provinsi Jawa Tengah Menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu.

Daerah penyangga kawasan TNGMb didefinisikan sebagai desa-desa yang berada di sekitar atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGMb. Terdapat 39 desa yang berada di sekitar kawasan TNGMb yang terletak di enam kecamatan yang berbeda (Tabel 8 dan Gambar 5). Luas daerah penyangga yang terpisah dari kawasan TNGMb adalah sebesar 16.070 ha. Wilayah kecamatan pada Kabupaten Magelang yang berada di kawasan TNGMb yaitu Kecamatan Sawangan, Candimulyo, dan Pakis. Untuk wilayah kecamatan pada Kabupaten Boyolali yang berada di kawasan TNGMb yaitu Kecamatan Selo dan Ampel, sedangkan pada wilayah Kabupaten Semarang yaitu Kecamatan Getasan.


(39)

Tabel 8 Wilayah administrasi yang berada di kawasan TNGMb

No KABUPATEN KECAMATAN DESA LUAS (ha)

1 Magelang Sawangan Soronalan 363

2 Magelang Sawangan Wulunggunung 508

3 Magelang Sawangan Wonolelo 1.353

4 Magelang Sawangan Banyuroto 746

5 Magelang Candimulyo Surodadi 425

6 Magelang Pakis Petung 489

7 Magelang Pakis Daleman Kidul 373

8 Magelang Pakis Pogalan 578

9 Magelang Pakis Ketundan 939

10 Magelang Pakis Kenalan 466

11 Magelang Pakis Kragilan 345

12 Magelang Pakis Banyusidi 808

13 Magelang Pakis Pakis 410

14 Magelang Pakis Gumelem 185

15 Magelang Pakis Kaponan 352

16 Magelang Pakis Gondangsari 271

17 Magelang Pakis Muneng Warangan 224

18 Magelang Pakis Jambewangi 359

19 Magelang Pakis Tejosari 316

20 Magelang Pakis Genikan 171

21 Magelang Pakis Jogonayan 204

22 Magelang Pakis Muneng 211

23 Boyolali Selo Jrakah 759

24 Boyolali Selo Lencoh 597

25 Boyolali Selo Samiran 657

26 Boyolali Selo Selo 381

27 Boyolali Selo Tarubatang 455

28 Boyolali Selo Senden 391

29 Boyolali Selo Jeruk 745

30 Boyolali Ampel Ngagrong 841

31 Boyolali Ampel Candisari 541

32 Boyolali Ampel Ngargoloko 572

33 Boyolali Ampel Sampetan 895

34 Boyolali Ampel Ngadirojo 858

35 Boyolali Ampel Jlarem 740

36 Semarang Getasan Kopeng 761

37 Semarang Getasan Batur 1.165

38 Semarang Getasan Tajuk 1.024

39 Semarang Getasan Jetak 597

TOTAL 22.076


(40)

22


(41)

4.2 Kondisi Umum Fisik Wilayah

4.2.1 Topografi

Bentuk lahan di daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam delapan kelompok yaitu : lereng volkan atas, lereng volkan tengah, lereng volkan bawah, aliran lahar resen, aliran lava, aliran lava resen, aliran lava subresen dan plateau volkan. Bentuk lahan yang dominan adalah lereng volkan atas yaitu seluas 40,88% dan lereng volkan bawah seluas 40,20%. Luas dan persentese masing-masing bentuk lahan dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan sebaran spasial dapat dilihat pada Gambar 6.

Kemiringin lereng Kawasan TNGMb dan daerah penyangganya bervariasi antara 0 - > 45%. Kelas kemiringan lereng diklasifikasikan dalam 5 kategori yaitu : datar (0-8%), landai (>8-15%), agak curam (>15-25%), curam (>25-45%) dan sangat curam (>45%). Luas dan persentase masing-masing kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan sebaran spasial dapat dilihat pada Gambar 7.

Tabel 9 Luas dan persentase bentuk lahan di TNGMb dan daerah penyangganya

No Bentuk Lahan Luas (ha) %

1 Aliran lahar resen 43 0,19

2 Aliran lava 423 1,92

3 Aliran lava resen 463 2,10

4 Aliran lava subresen 2.404 10,89

5 Lereng volkan atas 9.024 40,88

6 Lereng volkan bawah 494 2,24

7 Lereng volkan tengah 8.874 40,20

8 Plateau volkan 351 1,59

Jumlah 22.077 100

Sumber : diolah dari peta

Tabel 10 Luas dan persentase kelas kemiringan lereng di TNGMb dan daerah penyangganya

No Kelas Lereng

Kawasan TNGMb Daerah Penyangga Jumlah

ha % ha % ha %

1 0-8% 362 6,02 9.271 57,69 9.633 43,63

2 >8-15% 786 13,09 4.798 29,86 5.584 25,29 3 >15-25% 2.893 48,16 1.576 9,81 4.469 20,24 4 >25-45% 1.93 32,29 425 2,64 2.364 10,71

5 >45% 27 0,44 - - 27 0,12

Jumlah 6.007 100 16.070 100 22.077 100


(42)

24


(43)

(1)

87

Lampiran 6 (lanjutan)

154 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Tinggi Cepat 27 4 3.500 - 4.000 F0 tawar N S N 155 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sedang Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 156 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sangat ringan Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 157 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sedang Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar N N N 158 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sedang Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N N N 159 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sedang Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar N N N 160 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sedang Cepat 27 4 3.000 - 3.500 F0 tawar N N N 161 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sedang Cepat 27 4 3.500 - 4.000 F0 tawar N N N 162 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sangat ringan Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N N N 163 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sangat ringan Cepat 27 4 3.000 - 3.500 F0 tawar N N N 164 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Tinggi Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar N N N 165 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Tinggi Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N N N 166 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Tinggi Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar N N N 167 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Tinggi Cepat 27 4 3.000 - 3.500 F0 tawar N N N 168 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Tinggi Cepat 27 4 3.500 - 4.000 F0 tawar N N N 169 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sedang Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 170 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sedang Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S S S 171 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sedang Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 172 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sedang Cepat 27 4 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 173 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 174 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S S S 175 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 176 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 27 4 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 177 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 27 4 3.500 - 4.000 F0 tawar S S S 178 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Tinggi Cepat 27 4 3.000 - 3.500 F0 tawar N S N 179 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Sedang Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar N S S 180 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Sedang Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar N S S 181 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Sedang Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N S S 182 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Sangat ringan Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar N S S 183 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Sangat ringan Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar N S S 184 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Sangat ringan Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N S S


(2)

88

Lampiran 6 (lanjutan)

185 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Tinggi Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar N S N 186 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Tinggi Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N S N 187 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sedang Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar S S S 188 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sedang Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 189 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sangat ringan Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar S S S 190 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sangat ringan Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 191 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sedang Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N N N 192 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Tinggi Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N N N 193 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sedang Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar S S S 194 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sedang Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 195 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sedang Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S S S 196 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar S S S 197 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 198 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S S S 199 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Tinggi Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar N S N 200 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Tinggi Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar N S N 201 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Sedang Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar N S N 202 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Sangat ringan Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar N S N 203 Andisol sedang/sedang >100 15-30 Tinggi Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar N S N 204 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sangat ringan Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 205 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sangat ringan Cepat 26 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 206 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sangat ringan Cepat 26 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S S S 207 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Sangat ringan Cepat 26 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 208 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Tidak ada Cepat 26 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 209 Andisol sedang/sedang >100 3-8 Tidak ada Cepat 26 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S S S 210 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Sedang Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar N N N 211 Andisol sedang/sedang >100 30-45 Tinggi Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar N N N 212 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sedang Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 213 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 214 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 26 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S S S 215 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 26 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S S S


(3)

89

Lampiran 6 (lanjutan)

216 Andisol sedang/sedang >100 8-15 Sangat ringan Cepat 26 3 4.000 - 4.500 F0 tawar S S N 217 Ultisol ag halus/ag halus <35 0-3 Sangat ringan Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S N N 218 Ultisol ag halus/ag halus <35 0-3 Sangat ringan Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S N N 219 Ultisol ag halus/ag halus <35 0-3 Tidak ada Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S N N 220 Ultisol ag halus/ag halus <35 0-3 Tidak ada Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S N N 221 Ultisol ag halus/ag halus <35 15-30 Sedang Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar N S N 222 Ultisol ag halus/ag halus <35 15-30 Sangat ringan Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar N S N 223 Ultisol ag halus/ag halus <35 3-8 Sangat ringan Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar S N N 224 Ultisol ag halus/ag halus <35 3-8 Sangat ringan Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S N N 225 Ultisol ag halus/ag halus <35 3-8 Sangat ringan Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S N N 226 Ultisol ag halus/ag halus <35 3-8 Tidak ada Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar S N N 227 Ultisol ag halus/ag halus <35 3-8 Tidak ada Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S N N 228 Ultisol ag halus/ag halus <35 3-8 Tidak ada Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S N N 229 Ultisol ag halus/ag halus <35 8-15 Sedang Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar S N N 230 Ultisol ag halus/ag halus <35 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 2.500 - 3.000 F0 tawar S N N 231 Ultisol ag halus/ag halus <35 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 3.000 - 3.500 F0 tawar S N N 232 Ultisol ag halus/ag halus <35 8-15 Sangat ringan Cepat 21 3 3.500 - 4.000 F0 tawar S N N


(4)

90

Lampiran 7 Kelas kemampuan lahan pada masing-masing Satuan Lahan Homogen (SLH)

No Kode SPT

Ordo

Tanah Tekstur tanah Lereng (%) Drainase

Kedalaman

efektif (cm) Erosi Banjir

Kelas kemampuan

lahan

Prioritas penggunaan lahan hutan

Luas (ha) 1 115 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 15-30 (i3) Baik (Do) >100 (Ko) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 118 2 115 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 30-45 (i4) Baik (Do) >100 (Ko) e4 Tdk pernah (Oo) VII S 95 3 115 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 8-15 (i2) Baik (Do) >100 (Ko) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 38 4 115 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 15-30 (i3) Baik (Do) >100 (Ko) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 4.399 5 115 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 3-8 (i1) Baik (Do) >100 (Ko) e1 Tdk pernah (Oo) III N 164 6 115 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 30-45 (i4) Baik (Do) >100 (Ko) e4 Tdk pernah (Oo) VII S 1.487 7 115 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 8-15 (i2) Baik (Do) >100 (Ko) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 2.697 8 115 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) >45 (i5) Baik (Do) >100 (Ko) e4 Tdk pernah (Oo) VII S 27 9 119 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 3-8 (i1) Sedang (D2) >60 (K1) e1 Tdk pernah (Oo) III N 855 10 119 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 8-15 (i2) Sedang (D2) >60 (K1) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 124 11 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 15-30 (i3) Sedang (D2) >60 (K1) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 19 12 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 3-8 (i1) Sedang (D2) >60 (K1) e1 Tdk pernah (Oo) III N 1.240 13 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 8-15 (i2) Sedang (D2) >60 (K1) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 800 14 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 0-3 (i0) Sedang (D2) >60 (K1) e0 Tdk pernah (Oo) III N 67 15 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 3-8 (i1) Sedang (D2) >60 (K1) e1 Tdk pernah (Oo) III N 3.335 16 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 8-15 (i2) Sedang (D2) >60 (K1) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 350 17 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 0-3 (i0) Sedang (D2) >60 (K1) e0 Tdk pernah (Oo) III N 147 18 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 15-30 (i3) Sedang (D2) >60 (K1) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 12 19 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 3-8 (i1) Sedang (D2) >60 (K1) e1 Tdk pernah (Oo) III N 1.400 20 120 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 8-15 (i2) Sedang (D2) >60 (K1) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 522 21 125 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 0-3 (i0) Sedang (D2) >60 (K1) e0 Tdk pernah (Oo) III N 45 22 125 Inceptisol Halus-Ag.Halus (t1/t2) 3-8 (i1) Sedang (D2) >60 (K1) e1 Tdk pernah (Oo) III N 69 23


(5)

91

Lampiran 7 (lanjutan)

No Kode SPT

Ordo

Tanah Tekstur tanah Lereng (%) Drainase

Kedalaman

efektif (cm) Erosi Banjir

Kelas kemampuan

lahan

Prioritas penggunaan lahan hutan

Luas (ha) 24 126 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 3-8 (i1) Baik (Do) >100 (Ko) e1 Tdk pernah (Oo) III N 245 25 139 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 15-30 (i3) Baik (Do) >100 (Ko) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 25 26 139 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 30-45 (i4) Baik (Do) >100 (Ko) e4 Tdk pernah (Oo) VII S 16 27 139 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 8-15 (i2) Baik (Do) >100 (Ko) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 2 28 150 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 15-30 (i3) Baik (Do) >100 (Ko) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 151 29 150 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 3-8 (i1) Baik (Do) >100 (Ko) e1 Tdk pernah (Oo) III N 1 30 150 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 30-45 (i4) Baik (Do) >100 (Ko) e4 Tdk pernah (Oo) VII S 189 31 150 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 8-15 (i2) Baik (Do) >100 (Ko) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 83 32 156 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 15-30 (i3) Baik (Do) >100 (Ko) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 33 33 156 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 8-15 (i2) Baik (Do) >100 (Ko) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 34 34 156 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 15-30 (i3) Baik (Do) >100 (Ko) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 233 35 156 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 3-8 (i1) Baik (Do) >100 (Ko) e1 Tdk pernah (Oo) III N 92 36 156 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 30-45 (i4) Baik (Do) >100 (Ko) e4 Tdk pernah (Oo) VII S 4 37 156 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 8-15 (i2) Baik (Do) >100 (Ko) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 68 38 160 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 15-30 (i3) Baik (Do) >100 (Ko) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 30 39 160 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 3-8 (i1) Baik (Do) >100 (Ko) e1 Tdk pernah (Oo) III N 1.475 40 160 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 30-45 (i4) Baik (Do) >100 (Ko) e4 Tdk pernah (Oo) VII S 6 41 160 Andisol Sedang-Sedang (t3/t3) 8-15 (i2) Baik (Do) >100 (Ko) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 895 42 195 Ultisol Ag.Halus-Ag.Halus (t2/t2) 0-3 (i0) Agak baik (D1) <35 (k2) e0 Tdk pernah (Oo) IV N 22 43 195 Ultisol Ag.Halus-Ag.Halus (t2/t2) 15-30 (i3) Agak baik (D1) <35 (k2) e3 Tdk pernah (Oo) VI S 4 44 195 Ultisol Ag.Halus-Ag.Halus (t2/t2) 3-8 (i1) Agak baik (D1) <35 (k2) e1 Tdk pernah (Oo) IV N 297 45 195 Ultisol Ag.Halus-Ag.Halus (t2/t2) 8-15 (i2) Agak baik (D1) <35 (k2) e2 Tdk pernah (Oo) IV N 28


(6)

92

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada

tanggal 22 November 1985 sebagai anak kedua dari pasangan

Mufid Mas’ad dan Kasri Astuti. Pendidikan sarjana ditempuh

di program studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan

IPB lulus tahun 2008.

Penulis

bekerja

sebagai

Widyaiswara

Pertama

Kementerian Kehutanan pada UPT Balai Pendidikan dan

Pelatihan Kehutanan Pematangsiantar Sumatera Utara sejak

tahun 2009. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan

studi S2 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dengan beasiswa dari

Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).