5. Sintagmatik dan Paradigmatik
Analisis sintagmatik memusatkan perhatian pada rangkaian peristiwa kejadian yang membentuk narasi. Sedangkan analisis paradigmatik melihat
pola pasangan berlawanan yang terpendam dalam teks dan menghasilkan makna Berger 1998; 7. Menurut Saussure makna hadir melalui relasi tanda
yang dibagi menjadi dua, yaitu : syntagmatik dan asosiatif paradigmatik. Sintagma merujuk kepada hubungan in praesantia suatu kata atau susunan
gramatikal antara yang satu dengan yang lain dalam ujaran atau tuturan tertentu.
2.1.3 Roland Barthes
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaanya. Dalam pengertian umum, denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna
“sesungguhnya,” bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Sebuah foto tentang keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata “jalan”
mendenotasi jalan perkotaan yang membentang di antara bangunan. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi penggunaannya dan nilai-nilai kulturalnya. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Inti dari gagasan Roland Barthes menyangkut dua tingkatan signifikansi. Tingkatan pertama adalah denotasi relasi antara penanda dengan petanda dalam
sebuah tanda Eriyanto, Pantau : 1999-2000, serta tanda dengan acuan realitas eksternal. Tingkatan kedua adalah konotasi mitos dan simbol. Dalam semiotika,
konotasi merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang dibangun diatas sistem tingkat pertama denotasi dengan menggunakan makna meaning atau
signification. Signification pada tingkatan kedua ini menghubungkan signifier atau signified sesuai dengan kondisi atau pengalaman kita, jadi melibatkan
subjektivitas kita sabagai audiens atau pemakai Sunardi, 2004. Konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi penggunanya dan nilai-nilai kebudayaannya. Perbedaan antara denotasi dengan konotasi dapat dilihat dengan mudah dalam fotografi. Denotasi merupakan
reproduksi mekanis pada film tentang objek yang ditangkap kamera. Konotasi merupakan campur tangan manusiawi dari proses seleksi hal-hal yang mencakup
frame, fokus, sudut kamera, pose, pemilihan objek, pencahayaan, pemilihan latar belakang dan sebagainya.
Dengan kata lain denotasi adalah yang dipotret, sementara konotasi adalah
bagaimana memotretnya, lebih jauh perbedaan antara denotasi dan konotasi dapat diilustrasikan pada contoh berikut : foto sebuah jalan denotatif apa?, sedangkan
makna konotatifnya dapat dilihat dengan mengamati unsur emosi bagaimana objek jalan itu dipotret. Sebuah jalan yang dipotret dengan hitam putih dan jarak
jauh, mencitrakan suasana dingin dan menakutkan. Sementara jalan yang dipotret dengan terang berwarna dan dari jarak dekat, mencitrakan suasana bersahabat dan
menyenangkan. Sebuah jalan mempunyai makna yang berlainan ketika dipotret
ditengah-tengah bagunan besar dan lalu lalang kendaraan dibandingkan sebuah jalan sepi ditengah-tengah gunung atau pantai. Semua unsur konotasi itu
melibatkan perasaan., emosi dan ditangan pembaca menimbulkan citra tertentu. Barthes menegaskan suatu gambar dapat memberikan makna konotasi maka
gambar tersebut harus memiliki denotasi, seperti sudah kita lihat denotasi gambar adalah analogon, yaitu semacam replika langsung dari signified atau apa yang
digambarkan sehingga kita tidak mempunyai ruang untuk menafsirkan. Penafsiran atau pembacaan terjadi pada sistem tingkat dua yaitu konotasi.
Cara kedua dari ketiga cara Barthes adalah melalui mitos, mitos merupakan salah
satu jenis sistem semiotik tingkat kedua. Teori mitos dikembangkan Barthes Sunardi, 2001: 88 untuk melakukan kritik membuat dalam “krisis” atas
ideologi budaya massa atau budaya media, menurut Barthes mitos merupakan cara
berpikir dari
suatu kebudayaan
tentang sesuatu,
cara untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan. Mitos menaturalisasi budaya, artinya
mitos membuat budaya dominan, nilai-nilai sejarah dan keyakinan yang terlihat natural, abadi, logis dan benar secara apa adanya. Sebagai sistem semiotik tingkat
dua, mitos dapat diuraikan dalam tiga unsur yaitu : form, concept dan signification, mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertama sebagai
landasannya. Jadi mitos adalah sejenis sistem ganda dalam sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik. Cara ketiga penandaan dari
sistem tingkat kedua adalah simbolik, simbol merupakan suatu objek yang bisa menjadi jika ia dicapai lewat konvensi dan menggunakan makna yang
memungkinkannya menyatakan sesuatu yang lain Eriyanto, Pantau, 2000: 34.
Simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu benda, perbuatan dikaitkan dengan suatu ide. Simbol mewakili sumber
acuannya dalam cara yang konvensional. Penandaan manapun-sebuah objek, suara, sosok, dan seterusnya dapat bersifat simbolik. Bentuk salib dapat mewakili
konsep “agama Kristen”; tanda berbentuk V yng tercipta dari jari telunjuk dan tengah dap
at mewakili “perdamaiaan”; putih dapat mewakili “kebersihan”, “kesucian”, “kepolosan”, dan gelap mewakili “kotor”, “ternoda”, “tercela”.
Makna – makna ini dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui saluran
berupa tradisi historis. Mode representasi ikonis, indeksikal, dan simbolis sering berbaur dalam penciptaan sebuah tanda atau teks. Sebagai contoh, perhatikan
rambu lalu lintas yang melambangkan persimpangan jalan: Penanda dalam tanda ini terdiri atas dua garis lurus yang saling memotong pada sudut siku-siku. Garis
yang vertikal memiliki tanda panah. Bentuk silang ini jelas bersifat inkonis karena secara visual wujudnya menyerupai “persimpangan jalan”.
Namun, penting untuk dicatat bahwa, meski simbol-simbol yang digunakan untuk
merepresentasikan keseluruhan situasi ini sebagian besar didasarkan pada praktik konvensional, penggunaan rambu lalu lintas menggungkapkan adanya kebutuhn
untuk melengkapi penalaran simbolis dengan ikonisitas. Pengetahuan untuk merepresentasikan situasi fisik dalam kehidupan nyata secara simbolis adalah
pencapaian oleh benak manusia yang benar-benar luar biasa Danesi, 2010: 45- 46. Halaman selanjutnya terdapat diagram tanda Roland Barthes:
1. Signifier penanda 2. signified petanda
3. denotative sign tanda denotatif 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
PENANDA KONOTATIF 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
PETANDA KONOTATIF
6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
Gambar 1. Diagram Tanda Roland Barthes Sumber : Semiotika Komunikasi hal 69 gambar 3.1
Dari diagram Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif 4. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya Sobur, 2004: 69-71. Dalam gagasanya Barthes Krisyantono, 2006: 268 lebih menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification atau tatanan pertandaan, yang terdiri dari :
1. Denotasi, Makna kamus dari sebuah kata atau terminologi atau objek literal meaning of term or object. Ini adalah deskripsi dasar. Makna denotatif dari
“big mac” adalah sándwich yang dibuat oleh McDonalds yang dimakan dengan saus.
2. Konotasi, makna-makna kultural yang melekat pada sebuah terminologi the cultural meanings that béc
ame attached to a term. “Big mac” dari Mc Donalds diatas dapat mengandung makna konotatif bahwa orang Amerika
itu identik dengan makanan cepat saji, keseragaman, mekanisasi makanan, kekurangan waktu, tidak tertarik memasak.
3. Metáfora, mengkomunikasikan dengan analogi. Contoh metáfora yang didasarkan pada identitas: “ cintaku adalah mawar merah”. Artinya mawar
merah digunakan untuk menganalogikan cinta. 4. Simile, subkatagori metafor dengan menggunakan kata-kata “seperti”.
Metáfora berdasarkan identitas cintaku = mawar merah, sedangkan simile berdasarkan kesamaan cintaku seperti mawar merah.
5. Metonimi, mengkomunikasikan dengan asosiasi. Asosiasi dibuat dengan cara menghubungkan sesuatu yang kita ketahui, dengan sesuatu yang lain.
6. Synecdoche, subkatagori metonimi yang memberikan makna “ keseluruhan” atau “sebaliknya”. Artinya, sebuah bagian digunakan untuk
mengasosiasikan keseluruhan bagian tersebut. 7. Intertextual, hubungan antarteks tanda dan dipakai untuk memperlihatkan
bagaimana teks saling bertukar satu dengan yang lain, sadar ataupun tidak sadar. Parodi merupakan contoh intertextual diaman sebuah teks perilaku
seseorang misalnya meniru prilaku orang lain dengan maksud humor.
2.2 Tinjauan Konseptual 2.2.1 Pengertian Representasi
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi adalah konep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan
melalui sistem penandaan yang tersedia seperti dialog, tuisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna
melalui bahasa. Makna dibentuk oleh manusia dalam konteks budaya dimana manusia memiliki kemampuan untuk memaknai sesuatu.
Dalam penelitian ini representasi merujuk karya foto esai Atlantis van Java
ditampilkan kembali pada sebuah foto. Istilah representasi sebenarnya memiliki dua definisi, sehingga harus dibedakan antara keduanya. Pertama, representasi
sebagai proses sosial dari representing, dan yang kedua representasi sebagai produk dari proses sosial representing. Representasi dalam konsep foto
merupakan sebuah produksi makna melalui sebuah karya fotografi. Dalam halnya makna dan simbol yang terlihat di sebuah foto dan menimbulkan sebuah persepsi
sebagai khalayak penikmat foto. Foto yang secara luas merupakan sebuah penyampaian pesan seribu makna. Foto tak terlepas dari pengalaman seorang
fotografer, melihat suatu peristiwa yang dilihatnya melalui mata. Kemudian menyentuh perasaan atau emosional fotografer hingga memotret dan pada
akhirnya menghasilkan sebuah karya foto. Barthes melihat gambar secara repintas dari aspek metabahasa dan kaitannya dengan ideologi. Melihat fungsi
gambar untuk mengalami realitas. Kalau salah satu fungsi bahasa adalah representatif fungsi menghadirkan, munculnya foto harus mendapatkan