Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA
KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM DI DALAM KUHP (Studi Putusan MA No. 1914//K/PID/2012)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
110200022 NOVA DINA TARI
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga sampai detik ini Penulis senantiasa menikmati kasihNya dan dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memproleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Adapun judul yang Penulis kemukakan “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM DI DALAM KUHP (Studi Putusan MA No. 1914/K/PID/2012)”.
Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, khususnya bagi Penulis sendiri. Walaupun Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis ucapkan terima kasih yang sebaik-baiknya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan
I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M, selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
(3)
5. Bapak Prof. Dr. M. Hamdan, S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu, dan memberi petunjuk serta bimbingan sehingga skripsi ini akhirnya dapat selesai.
6. Bapak Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
selalu membantu dan membimbing Penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
7. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para
pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum yang penuh perjuangan, suka dan duka maka Penulis kiranya tidak dapat melupakan segala bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga sudah seharusnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orangtua Penulis yang tercinta yaitu Ayahanda Baharuddin Sinaga
dan Ibunda Siti Erni yang telah memberikan segalanya bagi Penulis baik dari materil maupun moril yang tidak bisa ternilai harganya, untuk saat ini hanya doa tulus yang dapat diberikan dari Penulis untuk Ayah dan Ibu. Semoga kelak Penulis dapat membahagiakan kedua orangtua.
2. Untuk saudara-saudara Penulis yaitu bang Andi, bang Reza Gejot, bang
(4)
terimakasih untuk segala bantuan dan kasih sayang kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Untuk sahabat-sahabat Penulis yang telah menjadi keluarga di kampus:
Titin, Elisa, Vivi, Cia Belle, Atit, Marjang, Tirta, Rio, Lambok, Choky Buy, Timo, Vincent, dan Nio. Terima kasih atas segala kebaikan, persahabatan, dan kehangatan yang telah kita jalani selama ini. Semoga persahabatan kita ini dapat terus terpelihara untuk ke depannya. Salam persahabatan dan penghargaan terdalam bagi ikatan kekeluargaan yang telah kita lalui bersama selama ini.
4. Untuk para sahabat-sahabat terdekat Penulis yaitu Weny, Icha, Siva, Ayu,
Erin, Ema, Resty, Gita, Yohana, dan Julia. Terima kasih atas segala kebaikan, persahabatan dan kehangatan yang telah diberikan selama ini kepada Penulis. Semoga persahabatan kita ini tidak pernah terputus dan terus terpelihara untuk ke depannya.
5. Untuk Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum USU
yang telah memberikan pendidikan di luar kampus kepada Penulis sehingga Penulis dapat memperoleh banyak ilmu tentang kepemimpinan dan keislaman. Penulis juga mendapatkan banyak keluarga baru. “Bahagia HMI, Yakin Usaha Sampai.”
6. Untuk seluruh teman-teman UKM Bola Voli Universitas Sumatera Utara
yang telah bersama-sama berjuang untuk mengharumkan nama baik Universitas Sumatera dalam seluruh pertandingan bola voli yang telah diadakan baik di dalam maupun di luar kampus. Terima kasih atas waktu yang telah kita lalui bersama selama ini.
(5)
7. Untuk seluruh teman-teman seperjuangan dari Melia Sehat Sejahtera
(MSS) dalam komunitas The A Team Forbid. Terima kasih atas waktu
yang telah kita lalui untuk menjadi orang sukses dan mendapatkan kemandirian ekonomi. “Apa kabar? Dahsyat. Melia, Sehat Sejahtera Yes.”
8. Untuk seluruh teman-teman stambuk 2011 yang terkhusus di grup D,
kelompok Klinis, Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA), dan Panitia PMB Reguler 2014 di Fakultas Hukum USU. Terima kasih atas waktu yang sempat kita lalui bersama di Fakultas Hukum USU ini.
9. Semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung
dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya. Penulis akan selalu menghargai dan mengingat dukungan dan kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karenanya Penulis mengaharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Maret 2015 Penulis
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAKSI ... viii
BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang... 1
B.Perumusan Masalah ... 7
C.Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 8
D.Keaslian Penulisan... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 9
F. Metode Penelitian Tinjauan ... 29
G.Sistematika Penulisan ... 32
BAB II : PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM DI DALAM KUHP 1. Ketentuan Tindak Pidana Penodaan Terhadap Bendera Kebangsaan, Lagu Kebangsaan, Dan Lambang Negara ... 34
2. Ketentuan Tindak Pidana Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap Pemerintah ... 36
3. Ketentuan Tindak Pidana Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap Golongan Tertentu ... 40
4. Ketentuan Tindak Pidana Menyelenggarakan Pemilihan Anggota Untuk Suatu Lembaga Kenegaraan Asing ... 44
5. Ketentuan Tindak Pidana Menghasut Di Muka Umum ... 46
6. Ketentuan Tindak Pidana Menawarkan Bantuan Untuk Melakukan Tindak Pidana ... 50
(7)
7. Ketentuan Tindak Pidana Pembujukan (Uitlokking) Melakukan
Tindak Pidana Yang Gagal ... 55
8. Ketentuan Tindak Pidana Tidak Melaporkan Akan Adanya Tindak Pidana Tertentu ... 56
9. Ketentuan Tindak Pidana Merusak Keamanan Di Rumah (Huisvrede-Breuk) ... 63
10. Ketentuan Tindak Pidana Memasuki Dengan Paksa Suatu Ruangan Dinas Umum (Openbare Dienst) ... 66
11. Ketentuan Tindak Pidana Turut Serta Dalam Perkumpulan Terlarang... 67
12. Ketentuan Tindak Pidana Mengganggu Ketentraman ... 69
13. Ketentuan Tindak Pidana Mengganggu Dan Merintangi Rapat Umum ... 75
14. Ketentuan Tindak Pidana Mengganggu Upacara Agama Dan Upacara Penguburan Jenazah ... 76
15. Ketentuan Tindak Pidana Mengenai Kuburan Atau Mayat ... 78
BAB III : PERTANGGUNGJAWABA PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM DALAM PUTUSAN MA NO. 1914/K/PID/2012 A. Gambaran Kasus ... 83
1. Kronologis ... 83
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 86
... 3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 87
4. Putusan Pengadilan Negeri ... 87
a. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri ... 87
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri ... 92
(8)
a. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung ... 94
b. Amar Putusan Mahkamah Agung ... 97
B. Analisis Kasus ... 98
1. Analisis Putusan Pengadilan Negeri ... 98
a. Tentang Pertimbangan Hukum ... 98
b. Tentang Bunyi Putusan ... 102
2. Analisis Putusan Mahkamah Agung ... 104
a. Tentang Pertimbangan Hukum ... 104
b. Tentang Bunyi Putusan ... 106
3. Perbandingan Putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung ... 107
BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 110
(9)
ABSTRAKSI
Nova Dina Tari ∗
Dr. M. Hamdan, SH., M. H.1
∗Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 1
Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dr. M. Ekaputra, SH., M. H.***
Skripsi ini berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana kepada pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum yang sudah dijatuhkan hakim Mahkamah Agung terhadap sebuah perkara pidana dengan nomor putusan No. 1914/K/PID/2012 atas nama Terdakwa Jufri Antono yang didakwa telah melakukan salah satu tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum yaitu melakukan kekerasan dengan tenaga bersama di muka umum terhadap orang. Disini diteliti mengenai alasan ataupun pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman setelah Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang menjatuhkan putusan bebas kepada Terdakwa, apakah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak.
Ada dua permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu, bagaimana pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam KUHP dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dalam putusan Mahkamah Agung No. 1914/K/PID/2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum menurut KUHP dan untuk menganalisa dan mengkaji putusan Mahkamah Agung No. 1914 K/PID/2012 mengenai penerapan sanski pidana bagi pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum atas Terdakwa bernama Jufri Antono
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan studi kasus melalui penelitian kepustakaan, yakni yang menggunakan data sekunder, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan, menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik kesimpulan dari penelitian.
Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa Pengadilan Negeri Lubuk Pakam telah salah dan keliru di dalam mengadili perkara dan pada akhirnya Mahkamah Agung memutuskan bahwa Terdakwa telah cukup dan terbukti melakukan melakukan kekerasan dengan tenaga bersama terhadap orang di muka umum dengan pidana penjara selama sembilan bulan.
Pengaturan tentang tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum diatur dalam buku II Bab V KUHP. Mengenai konsep pertanggungjawaban pidananya sama halnya dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya, yaitu harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab, yang harus diperhatikan adalah terpenuhinya unsur-unsur di dalam pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
(10)
ABSTRAKSI
Nova Dina Tari ∗
Dr. M. Hamdan, SH., M. H.1
∗Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 1
Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dr. M. Ekaputra, SH., M. H.***
Skripsi ini berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana kepada pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum yang sudah dijatuhkan hakim Mahkamah Agung terhadap sebuah perkara pidana dengan nomor putusan No. 1914/K/PID/2012 atas nama Terdakwa Jufri Antono yang didakwa telah melakukan salah satu tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum yaitu melakukan kekerasan dengan tenaga bersama di muka umum terhadap orang. Disini diteliti mengenai alasan ataupun pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman setelah Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang menjatuhkan putusan bebas kepada Terdakwa, apakah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak.
Ada dua permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu, bagaimana pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam KUHP dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dalam putusan Mahkamah Agung No. 1914/K/PID/2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum menurut KUHP dan untuk menganalisa dan mengkaji putusan Mahkamah Agung No. 1914 K/PID/2012 mengenai penerapan sanski pidana bagi pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum atas Terdakwa bernama Jufri Antono
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan studi kasus melalui penelitian kepustakaan, yakni yang menggunakan data sekunder, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan, menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik kesimpulan dari penelitian.
Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa Pengadilan Negeri Lubuk Pakam telah salah dan keliru di dalam mengadili perkara dan pada akhirnya Mahkamah Agung memutuskan bahwa Terdakwa telah cukup dan terbukti melakukan melakukan kekerasan dengan tenaga bersama terhadap orang di muka umum dengan pidana penjara selama sembilan bulan.
Pengaturan tentang tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum diatur dalam buku II Bab V KUHP. Mengenai konsep pertanggungjawaban pidananya sama halnya dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya, yaitu harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab, yang harus diperhatikan adalah terpenuhinya unsur-unsur di dalam pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
(11)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan rasa aman, tenteram dan terlindungi. Terutama segala yang berkaitan dengan hubungan atau interaksi terhadap sesama, sekitar dan komunitasnya. Setiap manusia memiliki kepentingan namun jika kepentingan itu salah sasaran maka dapat merugikan atau bahkan membahayakan orang lain. Negara sebagai payung tempat masyarakat berteduh wajib memberikan solusi dan melindungi segala kepentingan masyarakat agar tidak mengganggu dan saling merugikan antara yang satu dengan yang lainnya.
Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana telah dinyatakan dengan tegas dalam penjelasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat),2
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai, hendaknya dapat melindungi warga negaranya berdasarkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea ke-4 (empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.
2
Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, (Liberty : Yogyakarta, 2009), hlm. 1.
(12)
dan menjaga eksistensinya di dunia telah diakui.3 Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata formil, hukum adalah kehendak manusia ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk
dilakukan.4
Kerusuhan yang pernah terjadi ialah demonstrasi menuntut pemekaran daertah Sumatera Utara menjadi provinsi Tapanuli pada hari Selasa tanggal 3 Februari 2009 di Medan, yang berkembang menjadi kerusuhan, pemukulan Perlindungan hukum dirasakan begitu pentingnya dewasa ini karena semakin maraknya permasalahan hukum, khususnya terjadinya tindak pidana. Tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan tata kehidupan sosial. Perkembangan tindak pidana menimbulkan dampak yang begitu besar kepada kehidupan masyarakat. Berbagai macam kualifikasi tindak pidana yang terjadi tengah- tengah masyarakat. Salah satu tindak pidana yang tidak jarang ditemukan adalah kejahatan terhadap ketertiban umum sebagaimana diatur dalam KUHP.
Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan tindak kejahatan yang meresahkan dan mengganggu ketertiban umum dalam masyarakat. Hal ini tampak dari banyaknya kasus-kasus kejahatan yang diberitakan di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Salah satu fenomena bentuk kejahatan yang sering terjadi seperti tawuran pelajar, pengeroyokan, pembegalan, kerusuhan dan sebagainya.
3
Jhonny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia Publishing : Malang, 2005), hlm. 1.
4
(13)
terhadap ketua DPRD Abd. Azis Angkat yang mengakibatkan kematiannya, perusakan gedung DPRD dan perabotnya. Kasus ini merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 170 KUHP, di
samping delik lain yang dapat diterapkan sesuai dengan fakta di lapangan.5 Tidak
hanya itu, selama kurun waktu 2012 hingga awal 2013 tercatat ada 10 kasus
tindak kejahatan baik penganiayaan maupun pengeroyokan yang melibatka
kasusnya terjadi pada tanggal 13 April 2012 pukul 01.35 WIB di Jalan RE Martadinata, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pelaku segerombolan pengendara motor dengan kurang lebih 200 orang dengan membawa parang, kayu, dan lain-lain datang dari arah Kemayoran ke RE Martadinata - Permai dan melintas depan Polsek Metro Tanjung Priok, selanjutnya ke Jalan Warakas I Gang 21 Belok kanan masuk ke Kampung Bahari, selanjutnya melintasi rel kereta api dan masuk ke Jalan RE Martadinata. Ada tiga korban, Nahrowi luka tusuk dibagian pinggang kanan dan kiri, Ramdani luka sobek pada tangan kanan dan kiri, dan Tuherman
luka bengkak pada muka akibat pukulan.6
5
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, (Sinar Grafika : Jakarta, 2009), hlm. 7.
Kasus kejahatan yang lain adalah kejahatan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum oleh beberapa orang di Lubuk Pakam yang menyebabkan seseorang luka parah karena
adanya dendam belaka. Perbuatan pidana yang dilakukan tersebut dalam
penerapan hukumnya menyatakan bahwa pelaku dibebaskan dari segala tuntutan
hukum.Oleh karena itu disinilah dibutuhkan pelaksanaan dan penegakan hukum
secara tegas, agar dapat memberantas tindak pidana yang meresahkan masyarakat
6
(14)
Pelaksanaan hukum merupakan salah satu cara untuk menciptakan tata tertib, keamanan, ketentraman, dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum ini, dapat melalui usaha penegakan, maupun usaha pemberantasan atau penindakan karena terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain melalui upaya represif maupun preventif. Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum sebagaimana negara Indonesia adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu cara dalam mencapai tujuan tersebut adalah dengan menempatkan masalah hukum pada tempatnya, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Artinya, hukum dijadikan kaidah yang disepakati bersama sebagai alat untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu harus ditaati bersama oleh seluruh lapisan masyarakat, terlebih oleh aparatur penegak hukum, dengan cara menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana mestinya.
Pengadilan merupakan salah satu tempat mencari keadilan dan kebenaran dari suatu permasalahan hukum yang terjadi di negara Indonesia. Badan peradilan ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam sebuah negara hukum. Sebagaimana disebutkan pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, disebutkan bahwa tujuan Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak- tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap- lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara tepat dan jujur dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
(15)
dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Hukum pidana di Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau disebut sebagai KUHP telah memuat beberapa Pasal mengenai tindak pidana dan sanksi bagi para pelaku kejahatan maupun pelanggar terutama terhadap ketertiban umum. Ini semua tentu demi tercapainya masyarakat yang sejahtera dan merdeka, dalam arti bebas melaksanakan segala kepentingan namun tetap dalam koridor Undang-undang atau dengan kata lain tidak salah jalan.
Hukum Acara Pidana juga berperan dalam mengatur dan menentukan bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan dari hukum acara pidana sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Jadi, hukum acara pidana ini memberikan pembatasan kekuasaan badan-badan pemerintah tersebut sehingga tidak terjadi kesewenangan, karena di lain pihak kekuasaan badan-badan tersebut juga merupakan jaminan bagi berlakunya hukum, sehingga hak asasi setiap warga negara terjamin.
Upaya penegakan hukum ini, harus didukung dengan adanya kerjasama antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sesuai dengan tugasnya masing- masing sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang- undang. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memiliki kredibilitas dan moralitas yang tinggi dalam mewujudkan cita- cita hukum yang sebenarnya, supaya kiranya keadilan dapat terwujud. Dalam mengahadapi tugasnya, aparat penegak hukum diharapkan mampu melaksanakan tugas sebaik- baiknya. Tingkah laku penegak hukum dianggap menjadi panutan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aparat penegak
(16)
hukum berbuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan kerugian warga masyarakat, akan menurunkan citra dan wibawa penegak hukum itu sendiri.
Hakim memegang peranan penting dalam memutus suatu perkara, karena kewajibannya menegakkan hukum di tengah- tengah masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Hakim harus selalu berpegang pada prinsip keadilan yang bebas dan tidak memihak seperti yang dituangkan dalam pasal 1 Undang- undang Nomor 4 tahun 2004 :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Hakim harus memperhatikan keadilan berdasarkan Pancasila, yang tidak hanya didasarkan pada kodifikasi hukum saja, melainkan juga harus mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Pembuktian juga turut mempengaruhi dan menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam membuat putusannya. Unsur pembuktian menjadi unsur vital yang dijadikan bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan, apakah itu putusan bebas, pemidanaan, atau bahkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting
dalam hukum acara pidana.7
Pertimbangan Hakim memegang peranan penting dalam memutuskan terdakwa dalam suatu perkara pidana yang membebaskan Terdakwa. Namun,
7
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), halaman 249.
(17)
apakah selamanya pertimbangan Hakim tersebut sudah bisa diterima oleh terdakwa, Penuntut Umum, bahkan masyarakat? Hal ini perlu dicermati pula. Kemudian, setelah putusan bebas ini ditetapkan oleh Hakim, masih ada hal yang perlu diteliti, yaitu sesuai tidaknya putusan tersebut dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, karena kemungkinan itu selalu ada. Karena putusan tersebut tidak diterima oleh Penuntut Umum, maka Penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, untuk mengetahui apakah sudah benar putusan yang telah dijatuhkan sebelumnya. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut permasalahan mengenai apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim baik di Pengadilan Negeeri maupun di Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dan menuangkannya dalam skripsi yang
berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana
Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum di dalam KUHP (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1914/K/Pid/2012)”.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum
di dalam KUHP?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana
kejahatan terhadap ketertiban umum berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1914 K/PID/2012 ?
(18)
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban
umum menurut KUHP.
2. Untuk menganalisa dan mengkaji putusan Mahkamah Agung No. 1914
K/PID/2012 mengenai penerapan sanski pidana bagi pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum atas Terdakwa bernama Jufri Antono.
Penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :
1. Manfaat Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikirana secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya berkaitan dengan pengaturan-pengaturan penjatuhan hukuman tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum.
2. Manfaat Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan penegak hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Studi Putusan Mahkamah
(19)
Agung No. 1914 K/PID/2012) berdasarkan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari keterangan-keterangan yang berkaitan dengan judul baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan penulisan pertama dan asli adanya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pertanggungjawaban Pidana
a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Seseorang dapat dihukum sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar).8
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toerekeningsbaarheid, criminal responsibility, criminal liability, pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah
8
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2003), hlm. 85.
(20)
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang dilakukannya itu.9
Pertanggungjawaban pidana adalah pertangungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.10
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempat-tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya
berarti ‘rightfully sentenced’ tetapi juga ‘rightfully accused’. Pertanggungjawaban
pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidan. Kemudian pertangungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai
syarat-syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek
preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal
consequensces) dari keberadaan syarat faktual tersebut, sehingga merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana
9
S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Alumni Ahaem-Peteheam : Jakarta, 1996), hlm. 245.
10
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Kencana : Jakarta, 2006), hlm. 68.
(21)
berhubungan dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan
konsekuensi hukum atas adanya hal itu.11
Pelaku tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana jika memenuhi keseluruhan unsur-unsur pidana yang didakwakan dan dapat dipertanggungjawabkan pidana. Sedangkan jika pelaku tidak memenuhi salah satu unsur mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dipidana. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana pidana adalah sebagai berikut:
b. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana
12
Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan
yang melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap
melakukan perbuatan pidana. Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat pada KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut.
1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana ;
2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab ;
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan ;
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Ad. 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana
13
11
Ibid., hlm. 63-64. 12
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Bina Aksara : Jakarta, 1983,hlm. 71. 13
(22)
Sifat melawan hukum dibedakan antara sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil, maksudnya adalah semua bagian yang tertulis dalam rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua
syarat tertulis untuk dapat dipidana).14 Sedangkan sifat melawan hukum materil,
maksudnya adalah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik
tertentu.15
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab adalah :
Ad. 2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab
16
KUHP tidak memberikan batasan tentang “mampu bertanggung jawab” (teorekeningsvatbaarheid). Yang ada dalam KUHP ialah sebaliknya, pengertian negatifnya yakni “tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Batasan-batasan mengenai perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah :
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
17
14
Sahetapy, Hukum Pidana, (Liberty : Yogyakarta, 2003), hlm. 39. 15
Ibid. 16
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 165. 17
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), (CV. Mander Maju : Medan, 2001), hlm. 30.
(23)
1. Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalyaa (Pasal 44 ayat (1) KUHP) ;
2. Anak yang belum dewasa (Pasal 45 KUHP).
Dasar ketentuan KUHP tersebut di atas menyatakan bahwa pelaku
perbuatan pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana
dalam melakukan perbuatan pidana.
Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsyabaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan pertanggunggjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Selanjutnya Satochid mengatakan, seseorang dapat
dipertanggungjawabkan jika : 18
Roeslan Saleh mengatakan dalam hal kemampuan bertanggung jawab ada 2 faktor yaitu :
a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya itu, juga akan mengerti akibatnya.
b. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.
c. Orang itu sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat dan tata susila.
19
2. Kehendak.
1. Akal
18
Ibid., hlm. 31. 19
(24)
Akal atau daya pikir menentukan orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dan dengan kehendak atau kemauan atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Kemudian Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa adanya kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor. Dengan akal dapat membedakan antara perbuatan yang diperoleh atau tidak diperbolehkan, sedangkan faktor kehendak bukan faktor yang menentukan mampu bertanggung jawab melainkan salah satu faktor dalam menentukan kesalahan karena faktor kehendak adalah
tergantung dan kelanjutan dari faktor akal.20
Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihhat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian.
Ad. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan
Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan atau “schuld”
merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan (geen straf zonder schuld ;actus non fasit reum nisi mens sir rea).
Menurut Moeljatno, perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan, jika :
21
Sedangkan menurut Simons sebagaimana dikutip dari bukunya
Moeljatno, kesalahan adalah “keadaan psychis yang tertentu pada orang yang
melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut
20
Ibid., hlm. 33. 21
(25)
dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat
tercela karena melakukan perbuatan tadi.”22
Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf atau verontschukdiginsgrond. Alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapus kesalahan. Menurut Moeljatno, kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, tetapi orangnya tidak dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan). Dampak yang terjadi akibat adanya alasan pemaaf bagi seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Menurut Andi Zainal Abidin mengemukakan sebagai berikut : “Ketidakmampuan bertanggungjawab menghapuskan kesalahan dalam
arti luas dan oleh karena itu termasuk alasan pemaaf”.23
Sudarto berpendapat, alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau tidak dipidananya seseorang karena 2 (dua) hal, yaitu :
Ad. 4. Tidak adanya alasan pemaaf
24
22
Ibid., hlm. 168. 23
Andi Zainal Abidin, Azas-Azas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Alumni : Bandung, 1997), hlm. 223.
24
Sudarto dan Wonosusanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Fakultas Hukum Universitas Surakarta : Surakarta, 1987), hlm. 1.
a. Meskipun perbuatan itu telah mencocoki rumusan delik, namun tidak merupakan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum (ingat ajaran sifat melawan hukum yang formil dan materil) ;
(26)
b. Meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, namun orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena padanya tidak ada kesalahan.
c. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggungjawaban pidana karena adanya alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang. Hal ini berdasarkan pada
dua alasan yaitu :25
Hukum pidana membedakan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak 1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
pada diri orang tersebut ;
2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorant yang terletak di luar dari diri orang tersebut.
Kedua alasan di atas menimbulkan kesan bahwa pembuat undang-undang dengan tegas merujuk pada penekanan tidak dapat dipertanggungjawabkannya orang, tidak dapat dipidananya pelaku / pembuat, bukan tidak dapat dipidananya tindakan / perbuatan. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 58 KUHP :
“Keadaan diri yang menyebabkan penghapusan, pengurangan atau penambahan hukumannya hanya boleh dipertimbangkan terhadap yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan itu atau diri si pembantu saja”.
25
M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana : Teori dan Studi Kasus, (Refika Aditama : Bandung, 2012), hlm. 27-28.
(27)
penting bagi pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana, maka teranglah tidak akan dipidana.
Alasan penghapus pidana adalah alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewewangan yang diberikan undang-undang kepada
hakim.26
Alasan penghapus pidana dapat dibagi dua ditinjau dari sudut pandang
doktrin, yaitu : 27
Diatur dalam Pasal 48 KUHP. Yang dimaksud keadaan darurat ialah karena :
1. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden)
Alasan pembenar adalah alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Artinya tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan. Oleh karena alasan penghapus pidana ini menyangkut tentang perbuatan, maka alasan ini berlaku untuk semua orang yang melakukan perbuatan tersebut. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Adapun yang termasuk dalam alasan pembenar adalah :
a. Keadaan darurat (noodtostand)
26
Ibid., hlm. 27. 27
(28)
1. Terdapat pertentangan antara dua kepentingan hukum / hak (conflicht vanrechtplichten) ;
2. Terdapat pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban
hukum (conflicht van rechtsbelang on rechtsplicht) ;
3. Terdapat pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban
hukum (conflicht van rechtsbelangen).
b. Pembelaan darurat / terpaksa (noodweer)
Diatur dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP menentukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai noodweer, yaitu :
1. Harus ada serangan :
a) yang seketika (ogenblikkelijk)
b) mengancam secara langsung (onmiddelijkdreigend)
c) melawan hak 2. Ada pembelaan :
a) sifatnya mendesak (noodzakelijk)
b) pembelaan itu menunjukkan keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilanggar dan kepentingan hukum yang dibela (geboden)
c) kepentingan hukum yang dibela hanya badan, kehormatan , harta sendiri maupun orang lain.
c. Menjalankan peraturan perundang-undangan (wettelijkkvoorshrift)
Diatur dalam Pasal 50 KUHP yang menentukan bahwa apa yang diperintahkan oleh undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang untuk melakukan suatu hal tidak dianggap seperti
(29)
suatu peristiwa pidana. Yang dimaksud dengan peraturan hukum di sini ialah segala peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang berhak menetapkan peraturan di dalam batas wewenangnya.
d. Menjalankan perintah jabatan yang sah / berwenang (ambtelijkbevel)
Diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP. Perlu diketahui dan diingat bahwa dalam menjalankan perintah jabatan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada hubungan yang didasarkan pada hukum publik. Perintah yang diberikan untuk seorang majikan kepada bawahannya di dalam hubungan hukum perdata tidak termasuk dalam Pasal 51 KUHP ini.
2. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden)
Alasan pemaaf adalah alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan dari si pelaku / terdakwa. Artinya tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memafkannya. Oleh karena alasan ini menyangkut tentang kesalahan pelaku, maka alasan penghapus pidana ini berlaku hanya untuk diri piribadi si pelaku / terdakwa. Adapun yang termasuk alasan pemaaf adalah :
a. Ketidakmampuan bertanggungjawab (ontoerekeningsvatbaarheid)
Diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP menentukan bahwa orang yang menyebabkan peristiwa tidak dipidana karena :
(30)
1. Jiwa / akal yang tumbuhnya tidak sempurna (gebrekkige outwikelling). Orang yang jiwanya tidak sempurna sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat yang dibawa sejak lahir
2. Jiwa yang diganggu oleh penyakit, pada waktu lahirnya sehat, akan tetapi kemudian dihinggapi penyakit seperti penyakit gila dan
sebagainya. Menurut Memorie van Toelichting (MVT), seseorang itu
dikatakan tidak mampu bertanggungjawab apabila :
a) keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak mengerti akan harga dan nilai sikap tindaknya ;
b) ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadp sikap tindaknya ; c) ia tidak dapat menginsyafi bahwa sika tindak itu terlarang.
b. Daya paksa (overmacht)
Diatur dalam Pasal 48 KUHP menentukan bahwa suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang karena terpaksa tidak dapat dihukum.
Menurut Memorie van Toelichting, yang dimaksud dengan overmacht
yaitu tiap kekuatan, tiap dorongan, tiap paksaan yang tidak dapat dielakkan. Perkataan keterpaksaan bukan saja berarti fisik / jasmani,
tetapi jua tekanan psikis dan rohani. Menrut J. E. Jonkers, overmacht itu
berwajah tiga rupa :
1. Overmacht yang bersifat mutlak (vis absoluta). Dalam hal ini orang terpaksa tidak mungkin dapat berbuat lain.
2. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi (vis compulsiva) atau berat lawan. Orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk memilih berbuat yang lain, akan tetapi menurut perhitungan yang
(31)
layak tidak mungkin dapat dielakkan. Perbedaannya dengan overmacht mutlak adalah dalam overmacht mutlak, orang yang
memaksa itulah yang berbuat. Sedangkan dalam overmacht relatif,
orang yang dipaksa itu yang berbuat.
3. Overmacht dalam arti noodtoestand atau keadaan darurat. c. Noodweer Excess
Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP menentukan bahwa pembelaan yang melampaui batas merupakan perbatan yang terlarang, akan tetapi karena perbuatan tersebu akibat dari suatu goncangan rasa yang disebabkan oelah serangan misalnya naik darah, maka perbuatan tersebut dapat dimaafkan oleh undang-undang.
d. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (ambtelijk bevel)
Diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. Orang yang melaksanakan perintah tidak sah tidak dapat dipidana bila memenuhi syarat-syarat : 1. jika ia dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu sah ;
2. jika perintah itu terletak dalam lingkungan kekuasaan orang yang diperintah. Perlu diingat bahwa di dalam menjalankan perintah jabatan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada hubungan yang didasarkan pada hukum publik.
2. Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu :
(32)
b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu
c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan itu
Kata “perbuatan yang dilarang” dalam hukum pidana mempunyai banyak istilah dengan pengertiannya masing-masing, karena merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Belanda : “strafbaarfeit” yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, antara lain :28
Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan yang diancam dengan
pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab.
1. Tindak Pidana
2. Peristiwa Pidana
3. Delik
4. Pelanggaran Pidana
5. Perbuatan yang boleh dihukum
6. Perbuatan yang dapat dihukum
7. Perbuatan pidana
Istilah dan pengertian tentang hal ini dapat dihindari dengan menggunakan istilah “tindak pidana”. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana, tetapi pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.
Pengertian tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli hukum adalah:
1. Simons
29
28
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (USU Press : Medan, 2013), hlm. 73.
29
(33)
2. Van Hamel
Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan orang yang dirumuskan
dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan
dengan kesalahan.30
Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.
3. Schaffmeister
31
Suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif) itu sebenarnya
adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
4. Pompe
32
Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
5. Indriyanto Seno Adji
33
30
Ibid.
31
Ibid., hlm. 26. 32
Mohammad Ekaputra, Op. Cit., hlm. 81 33
Teguh Prasetyo, HukumPidana, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2014), hlm. 50.
Pengertian tindak pidana dapat disimpulkan adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana
(34)
Tindak pidana dapat dibagi menjadi dua kelompok dalam KUHP, yaitu :34
Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaanatau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena digerakan oleh pihak ketiga.
1. Kejahatan (seperti yang termuat dalam buku II dari Pasal 104 sampai Pasal 488)
2. Pelanggaran (seperti yang termuat dalam buku III dari Pasal 489 sampai Pasal 569)
b. Pelaku Tindak Pidana
Pengertian pelaku terbagi atas :
1. Pelaku menurut doktrin
35
Pelaku tindak pidana menurut KUHP adalah sebagai berikut :
2. Pelaku menurut KUHP
36
34
Moch. Lukman Fatahullah Rais, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar, (Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1997), hlm. 5.
35
Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Fakultas Hukum Undip : Semarang, 1984), hlm. 37.
36
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, (Sinar Grafika : Jakarta, 1991), hlm. 94.
a. Orang yang melakukan
(35)
c. Orang yang turut serta melakukan d. Orang yang membujuk melakukan
ad.a. Orang yang Melakukan (plegen)
Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang secara langsung melakukan semua unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya orang tersebutlah yang melakukan tindak pidana sebenarnya. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana terbagi dua, yaitu pelaku dalam arti sempit (hanya orang yang melakukan tindak pidana) dan pelaku dalam arti luas (orang yang melakukan, orang yang menyuruh melakukan, orang yang turut serta melakukan, dan orang yang membujuk
melakukan tindak pidana tersebut).37
Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini, orang tersebut tidak melaksanakan sendiri. Paling sedikit harus ada dua orang, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana itu tidak melakukan secara langsung unsur-unsur dari suatu tindak pidana, tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana tersebut. Dan orang yang disuruh itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (orang yang dikecualikan dari hukuman). Dengan demikian, meskipun orang yang menyuruh ini tidak secara langsung melakukan tindak pidana, akan tetapi dialah yang dianggap sebagai
ad.b. Orang yang Menyuruh Melakukan (doen plegen)
37
(36)
pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang disuruhnya tersebut.38
Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang bersama-sama dengan orang lain melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga paling sedikit ada dua orang yang secara sadar bersama-sama melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, mereka juga secara bersama-sama dapat dipertangungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan tersebut.
ad.c. Orang yang Turut Serta Melakukan (medeplegen)
39
Pelaku tindak pidana ini adalah orang yang membujuk, menggerakkan orang lain untuk melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga paling sedikit ada dua orang pelaku tindak pidana, yaitu orang yang membujuk dan orang yang dibujuk untuk melakuan tindak pidana tertentu. Orang yang membujuk memberikan sarana atau cara-cara yang telah ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang (lihat Pasal 55 ayat (1) sub (2)) kepada orang yang dibujuk agar mau melakukan tindak pidana tersebut. Dan orang yang dibujuk tersebut adalah orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, orang yang dibujuklah yang secara langsung melakukan tindak pidana tersebut dan pertanggungjawaban orang yang membujuk / menggerakkan adalah pada apa yang digerakkannya, artinya apabila perbuatan tersebut melebihi apa yang digerakkan oleh orang yang membujuk, maka perbuatan tersebut dipertanggungjawabkan oleh orang yang dibujuk.
ad.d. Orang yang Membujuk Melakukan (uitlokking)
40
38
Ibid., hlm. 96 39
Ibid., hlm. 98 40
(37)
3. Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
a. Pengertian Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
Kata kejahatan terhadap ketertiban umum atau misdrijven tegen de
openbare orde telah dipakai oleh pembentuk undang-undang sebagaimana kumpulan bagi kejahatan-kejahatan, yang oleh pembentuk undang-undang telah
diatur dalam Buku II Bab V KUHP.41
Apabila orang melihat ke dalam Buku II Bab KUHP, maka segera orang akan mengetahui, bahwa kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V KUHP sebenarnya mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, bahkan dengan tepat Simons telah mengatakan, bahwa hubungan antara kejahatan yang satu dengan kejahatan yang lain di dalam Buku II Bab V KUHP sifatnya uiterst gering atau hampir tidak ada hubungannya sama sekali antara yang satu
dengan yang lain.42
Simons menyebutkan kata kejahatan terhadap ketertiban umum yang
sifatnya kurang jelas atau vaag atau yang menurut sifatnya dapat diartikan secara
lebih luas dari arti yang sebenarnya menurut pembentuk undang-undang telah dipakai untuk menyebutkan sekumpulan kejahatan, yang menurut sifatnya dapat
menimbulkan bahaya bagi maatschappelijke orde en rust, atau dapat
mendatangkan bahaya bagi ketertiban dan ketenteraman umum. 43
41
P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Sinar Grafika : Jakarta, 2010), hlm. 445.
42
Ibid.
43
(38)
Van Bemmelen dan Van Hattum telah menyebut kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V KUHP sebagai kejahatan terhadap berfungsinya
masyarakat dan negara.44
Ketertiban umum di dalam Memorie van Toelichting diartikan dengan
kejahatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan masyarakat (maatschappelijke leven) dan yang dapat menimbulkan bagi ketertiban alamiah di
dalam masyarakat (‘de natuurlijke orde der maatschappij). Adapun kejahatan
yang diatur dalam Buku II Bab V bukanlah kejahatan yang secara langsung
ditujukan terhadap :45
6. Tindak pidana menawarkan bantuan untuk melakukan tindak pidana ; 1. Keamanan dari negara ;
2. Tindakan-tindakan dari alat-alat perlengkapannya ; 3. Tubuh atau harta kekayaan dari seseorang tertentu.
b. Bentuk-Bentuk Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
Bentuk-bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Buku II Bab V KUHP adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana penodaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, dan lambang Negara ;
2. Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap pemerintah ; 3. Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap golongan tertentu ; 4. Tindak pidana menyelenggarakan pemilihan anggota untuk suatu lembaga
kenegaraan asing ;
5. Tindak pidana menghasut di muka umum ;
44
Ibid.
45
(39)
7. Tindak pidana pembujukan (Uitlokking) melakukan suatu tindak pidana yang gagal ;
8. Tindak pidana tidak melaporkan akan adanya tindak pidana tertentu ;
9. Tindak pidana merusak keamanan di rumah (Huisvrede-Breuk) ;
10. Tindak pidana memasuki dengan paksa suatu ruangan dinas umum (Openbare Dienst) ;
11. Tindak pidana turut serta dalam perkumpulan terlarang ; 12. Tindak pidana mengganggu ketentraman ;
13. Tindak pidana mengganggu dan merintangi rapat umum ;
14. Tindak pidana menggangg upacara agama dan upacara penguburan jenazah ;
15. Tindak pidana mengenai kuburan atau mayat ; F. Metode Penelitian Tinjauan
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini diarahkan kepada penelitan hukum normatif dengan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dalam menganilis putusan Mahkamah Agung No. 1914/K/Pid/2012.
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum itu sendiri. Dengan demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
(40)
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.46 Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsi hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.47
2. Sumber Data
Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan
pustaka (data sekunder).48 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal
data sekunder saja.49 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer ;
bahan hukum sekunder ; dan bahan hukum tersier.50
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri
dari :
1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 ;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ;
3. Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor Perkara
346/Pid.B/2012/PN.LP ;
4. Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 1914/K/Pid/2012.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, diantaranya :
1. Buku-buku yang terkait dengan hukum ;
46
Johnny Ibrahim, Op. Cit., hlm. 321. 47
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2004), hlm. 18.
48
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2009), hlm. 12.
49
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit.,hlm. 18. 50
(41)
2. Artikel di jurnal hukum ;
3. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademis yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya :51
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia
2. Ensiklopedia ;
3. Indeks kumulatif, dan seterusnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen
yang meliputi bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.52
Proses analisis data dimulai dengan menelaaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.
Studi kepustakaan yang dimaksudkan dalam skripsi ini dieterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan penjatuhan hukuman pidana kejahatan terhadap ketertiban umum, termasuk juga bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
53
51
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta, 2008), hlm. 52.
52
Amiruddin dan Zainal Asikin, Loc. Cit.,hlm. 68. 53
Ibid., hlm. 190
Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan,
(42)
menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik
kesimpulan dari penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4 (empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut :
BAB I : Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai
latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Menguraikan tentang pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap
ketertiban umum di dalam KUHP. Bab ini secara khusus menguraikan konsep tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
BAB III : Merupakan pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dalam putusan Mahkamah Agung Nomor Register 1914/K/Pid/2012. Pada bab ini akan diuraikan bagaimana duduk perkara, dakwaan,
(43)
pertimbangan hakim, amar putusan dan selanjutnya akan dianalisa dan dikaji secara mendalam terhadap putusan yang diberikan Majelis Hakim terhadap Terdakwa dalam perkara ini.
(44)
BAB II
PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM
Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan perbuatan yang meresahkan masyarakat, merugikan korban baik psikis, biologis, dan materi, sehingga sudah selayaknya tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum diatur dalam produk perundang-undangan, dimana penerapannya harus
benar-benar dilaksanakan sesuai dengan hukum materill54 atau upaya penal dalam
menanggulangi tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum serta penegakannya harus tegas, sehingga pada akhirnya tercapai tujuan dasar hukum yaitu memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dan
membantu meningkatkan perekonomian pembangunan negara.55
Tindak pidana penodaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, dan lambang Negara diatur dalam
Oleh karena itu dalam bab ini diuraikan pengaturan hukum tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam KUHP.
Pengaturan tentang tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dapat dilihat dalam Bab V KUHP. Adapun beberapa ketentuan tindak pidana dalam KUHP yang termasuk dalam kejahatan terhadap ketertiban umum adalah sebagai berikut :
1. Ketentuan Tindak Pidana Penodaan terhadap Bendera Kebangsaan, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara
54
Lihat Pengertian hukum materill menurut Sudikno Mertokusumo yang menyatakan “Tempat dimana hukum diambil, faktor yang membantu pembentukan hukum”.
55
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Pustaka Tinta Mas : Surabaya, 2000), hlm. 3.
(45)
“Barang siapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.”
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut : a. Menodai. Arti kata menodai sama dengan menghina. Perbuatan menodai
dapat dilakukan dengan beberapa macam cara, misalnya : mengencingi, merobek-robek, melumuri dengan kotoran. Agar perbuatan itu dapat dituntut dengan pasal ini, cara menodai itu harus dilakukan secara demonstratif, artinya dapat dilihat oleh orang banyak, sehingga menimbulkan kesan yang mengakibatkan kemarahan pada orang banyak ; b. Bendera kebangsaan Republik Indonesia yaitu Sang Merah Putih ;
c. Lambang Negara Republik Indonesia yaitu lambang Garuda Pancasila. Pasal ini ditambahkan melalui Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan diadakannya pasal 154a, pasal XVI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dicabut. Dalam pasal ini diancam dengan pidana, barangsiapa terhadap bendera Kebangsaan Indonesia, dengan sengaja menjalankan sesuatu perbuatan yang dapat menimbukan perasaan penghinaan Kebangsaan. Jadi di sini yang dipakai adalah
penghinaan, hal mana dalam aturan yang baru, diganti dengan menodai.56
56
Moeljatno, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Open Bare Orde), (PT. Bina Aksara : Jakarta, 1984), hlm. 40.
(46)
2. Ketentuan Tindak Pidana Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap Pemerintah
Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap pemerintah diatur dalam :
a. Pasal 154 KUHP
Pasal 154 KUHP mengatur tindak pidana menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan terhadap Pemerintah di depan umum, yang berbunyi :
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut : 1. Di depan umum. Artinya tidak hanya dilakukan di tempat umum (tempat
yang didatangi oleh setiap orang), tetapi harus dapat didengar oleh publlik. 2. Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, dan merendahkan. Artinya
memberitahukan, menunjukkan, atau menjelaskan perasaan permusuhannya, kebenciannya, atau yang sifatnya merendahkan tidak hanya terbatas pada perbuatan mengucapkan dengan lisan saja, tetapi juga dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan. Undang-undang tidak menjelaskan mengenai perasaan yang dimaksud, dan agaknya telah diberikan kepada para hakim untuk memberikan interpretasi mengenai hal itu secara bebas ;
3. Terhadap pemerintah Indonesia yaitu pemerintah menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, seperti Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri Negara.
(47)
Logeman berpendapat, bahwa menurut Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (Undang-Undang tanggal 15 Agustus 1950 No. 7, Lembaran Negara No. 50-56), Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri secara
bersama-sama merupakan suatu samengesteld orgaan yang disebut pemerintah,
dengan beberapa alasan antara lain, yakni :57
Kenyataan bahwa yang disebut pemerintah di Indonesia itu adalah Presiden bersama para Menteri, Logeman telah menunjuk pada bunyinya Pasal 68 Konstitusi RIS yang mengatakan bahwa :
1. bahwa dalam Pasal 83 ayat (1) UUDS RI telah ditentukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu-gugat ;
2. bahwa dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS RI telah ditentukan bahwa Menteri-Menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagian-bagiannya sendiri-sendiri ;
3. bahwa dalam Pasal 85 UUDS RI telah ditentukan bahwa sekalian keputusan Presiden juga yang mengenai kekuasaan atas Angkatan Perang Republik Indonesia ditandatangani serta oleh Menteri (Menteri-Menteri) yang bersangkutan kecuali yang ditetapkan dalam Pasal 45 ayat keempat dan Pasal 51 ayat keempat.
58
(2)Di mana-mana dalam Konstitusi ini disebut Pemerintah, maka yang dimaksud ialah Presiden dengan seorang atau beberapa atau para Menteri,
(1) Presiden dan Menteri-Menteri bersama-sama merupakan pemerintah ;
57
P. A. F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 453. 58
(48)
yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum mereka itu.
Seorang pelaku dapat disebut telah memenuhi unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 154 KUHP, di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku harus terbukti :
1. bahwa pelaku telah menghendaki menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia ;
2. bahwa pelaku mengetahui pernyataan dari perasaannya telah ia lakukan di depan umum ;
3. bahwa pelaku mengetahui perasaan yang ia nyatakan di depan umum merupakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan ;
4. bahwa pelaku mengetahui perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan telah ia tujukan kepada pemerintah Indonesia.
Pasal ini dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarka
Pasal 155 KUHP mengatur tentang tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan atau gambar yang isinya mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, yang berbunyi :
“(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(49)
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencahariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut :
a. Unsur subjektif : Dengan maksud agar tulisan atau gambar itu isinya
diketahui oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak ;
b. Unsur objektif : Menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka,
menempelkan secara terbuka suatu tulisan, atau suatu gambar, atau yang di dalamnya mengandung pernyataan mengenai perasaan permusuhan, kebencian, merendahkan terhadap pemerintah Indonesia. Yang dapat disiarkan adalah misalnya surat kabah, majalah, buku, surat seleberan atau lainnya, yang dibuat dalam jumlah yang banyak mempertunjukkan berarti memperlihatkan kepada orang banyak. Menempelkan berarti melekatkan di suatu tempat yang mudah diketahui oleh orang banyak.
Menteri Kehakiman menjelaskan kepada Komisi Pelapor bahwa yang
dimaksudkan dengan verspreiden atau menyebarluaskan adalah in omloop
brengen van een pluraliteit van exemplaren, artinya mengedarkan lebih dari satu
lembar, kerena menurut Menteri : een enkel voorwerp kan men niet verspreiden,
op onderscheiden plaatsen tegelijk brengen, artinya : orang tidak dapat menyebarluaskan benda yang jumlahnya hanya satu, atau orang tidak akan dapat membawa benda yang jumlahnya hanya satu buah ke berbagai tempat yang
berbeda pada waktu yang bersamaan.59
59
(50)
Ketentuan pidana dalam KUHP yang mengatur tindak pidana penyebarluasan adalah Pasal 137, 144, 161, 163, 282, dan Pasal 321 KUHP, yang pada umumnya telah melarang orang menyebarluaskan tulisan atau gambar yang isinya tidak pantas, seperti menghina, menghasut, dan sebagainya, dan telah menjadikan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang terlarang dan membuat pelakunya dapat dijatuhi pidana, jika perbuatan-perbuatan tersebut telah dilakukan orang dengan maksud agar isinya diketahui oleh orang banyak atau isinya menjadi diketahui oleh orang banyak atau isinya menjadi diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak.
Pasal ini juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarka maka dapat diambil kesimpulan, bahwa Pasal 154 tersebut menuntut delik pers, sedangkan pasal ini menuntut penyebarannya.
3. Ketentuan Tindak Pidana Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap Golongan Tertentu
Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap golongan tertentu diatur dalam :
a. Pasal 156 KUHP
Pasal 156 KUHP mengatur tentang tindak pidana menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih golongan penduduk Indonesia di depan umum, yang berbunyi :
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
(51)
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini hampir sama dengan Pasal 154 KUHP, hanya bedanya kalau pasal 154 KUHP rasa kebencian atau penghinaan itu ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia, pada pasal ini rasa kebencian atau penghinaan tersebut ditujukan kepada sesuatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia. Untuk lebih jelasnya, unsur-unsur Pasal ini adalah sebagai berikut :
1. Di muka umum ;
2. Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan ;
3. Terhadap golongan. Yang dikatakan golongan dalam Pasal ini ialah
tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras (segolongan orang yang terdiri atas individu-individu yang mempunyai ikatan yang erat antara yang satu degan yang lain, misalnya karena mempunyai ciri-ciri karakteristik yang sama), negeri asal, agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu), tempat asal, keturunan, kebangsaan (Eropa, Cina, Jepang, atau Indonesia) atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Van Hattum berpendapat tentang kesengajaan si pelaku dalam Pasal 154 dan Pasal 156 KUHP bahwa meskipun kata sengaja tak disebut dalam rumusan pasal-pasal tersebut, tapi di situ harus diisyaratkan bahwa kesengajaannya juga harus ditujukan pada sifat permusuhan dan sebagainya dari pernyataannya. Dengan perkataan lain, terdakwa harus menginsyafi bahwa secara obyektif apa yang dinyatakan dapat dan akan diterima oleh orang yang mendengarnya sebagai bersifat demikian. Hanya jika penginsyafan yang demikian itu ada, maka
(52)
pula. Dikatakan oleh van Hattum bahwa yurisprudensi juga berpendirian
demikan.60
Terdakwa sebagai seorang agen polisi yang bertugas di perempatan jalan umum di Pekalongan memerintahkan kepada seorang Tionghoa A yang ada di trotoar jalan, supaya jalan terus. Menurut A dia lalu didorong dengan tongkaat pendek. Ketika A menanya apa sebabnya, maka Terdakwa lalu bilang “Cina jangan bertingkah ; Cina mau dibikin habis oleh Japan”. Ini terjadi dalam tahun 1937. Selain A, ada 2 (dua) saksi yang menguatkan ucapan tersebut. Maka dari itu meskipun Terdakwa
mungkir, landraad memutus bahwa Terdakwa bersalah melanggar pasal 156
KUHP dan menjatuhkan denda f 25,--.
Penerapan Pasal 156 KUHP dapat dilihat dalam Putusan Landraad
Pekalongan tahun 1938 yang dimuat dalam Indisch tijdschrift van het recht jilid
147 halaman 870 oleh Buschkens. Duduknya perkara adalah sebagai berikut :
61
Pasal 156a KUHP mengatur tentang tindak pidana dengan sengaja didepan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut orang di Indonesia, yang berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :
1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
60
Moeljatno, Kejahatan-Kejahatan ..., Op. Cit., hlm. 33-36. 61
(53)
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal ini pada dasarnya melarang orang :
1. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia ;
2. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Pasal ini merupakan isi dari Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 (Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 1965) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan / atau Penodaan Agama.
c.
“(1)Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencahariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.”
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah hampir sama saja dengan Pasal 155 KUHP, hanya bedanya kalau pasal 155 mengancam hukuman kepada orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, maka pada pasal ini rasa kebencian,
(54)
permusuhan atau penghinaan tersebut ditujukan kepada sesuatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia. Unsur-unsur Pasal ini adalah sebagai berikut :
a. Unsur subjektif : Dengan maksud agar isinya diketahui orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak ;
b. Unsur objektif : Menyebarluaskan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan atau gambar yang di didalamnya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian dan merendahkan di antara atau terhadap golongan-golongan penduduk di Indonesia.
Noyon dan Langemeijer berpendapat bahwa suatu tulisan itu ialah setiap reproduksi secara mekanis dari pemikiran dalam bentuk kata-kata, dan termasuk pula dalam pengertiannya yakni setiap ungkapan dari pemikiran dalam kata-kata, sehingga ungkapan seperti itu tidak selalu harus dilakukan dengan pensil atau pena, melaikan juga dapat dilakukan misalnya, dengan alat cetak, dengan ukiran, dan sebagainya. Sedangkan mengenai gambar, Noyon dan Langemeijer mengatakan bahwa gambar seperti itu tidak perlu diartikan sebagai gambar seseorang, melainkan cukup jika isinya yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau merendahkan di antara atau terhadap golongan-golongan penduduk di Indonesia tercermin dalam suatu lukisan, misalnya gambar
karikatur, plakat, dan sebagainya.62
4. Ketentuan Tindak Pidana Menyelenggarakan Pemilihan Anggota Untuk Suatu Lembaga Kenegaraan Asing
Tindak pidana menyelenggarakan pemilihan anggota untuk suatu lembaga kenegaraan asing diatur dalam :
62
(1)
bahwa selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah Negara diterapkan secara tepat dan adil, Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan bawahannya yang membebaskan Terdakwa, yaitu guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan bawahannya itu. Alasan kasasi dapat dibenarkan, bahwa bebasnya Terdakwa merupakan bebas tidak murni atau merupakan bebas terselubung (verkapte vrijspraak). Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara ini telah keliru memberikan pertimbangan hukum, dimana Majelis Hakim mengabaikan hukum pembuktian.
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dalam perkara ini. Putusan Pengadilan Negeri dalam perkara ini merupakan putusan yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung yang digunakan dalam penerapan dan pertanggungjawaban pidana terhadap Terdakwa.
(2)
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian penulis, maka penulis dapat berkesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan hukum yang mengatur kejahatan terhadap ketertiban umum dapat dilihat dalam Buku II Bab V Pasal 154-181 KUHP.
2. Konsep pertanggungjawaban pidana kejahatan terhadap ketertiban umum sama halnya dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya, yaitu harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab, yang harus diperhatikan adalah terpenuhinya unsur-unsur di dalam pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan terhadap ketertiban umum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1914/K/PID/2012 adalah bahwa pelaku telah dijatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan oleh Mahkamah Agung adalah tepat berdasarkan sistem pertanggungjawaban pidana, sebab pelaku telah melakukan perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum dan adanya unsur kesalahan.
B. Saran
Adapun saran yang penulis berikan sehubungan dengan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Pengaturan tentang kejahatan terhadap ketertiban umum seharusnya tidak hanya diatur dalam KUHP saja, hendaknya ada dalam aturan hukum nasional seperti Undang-Undang yang mengatur tentang kejahatan
(3)
tersebut, agar memudahkan aparat penegak hukum dalam menentukan jenis tindak pidana, oleh karena banyaknya bentuk tindak pidana yang diklasifikasikan ke dalam kejahatan terhadap ketertiban umum.
2. Majelis Hakim sebagai aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan semestinya dan berlaku seadil-adilnya memberikan pertanggungjawaban pidana kepada Terdakwa. Seharusnya Majelis Hakim dalam mempertimbangkan, memperhatikan kesalahan dan menilai kekuatan pembuktian mengacu pada nilai keterangan saksi-saksi yang mempunyai nilai pembuktian, agar tidak keliru dalam memberikan pertimbangan hukum terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam seluruh dakwaan Penuntut Umum.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal. 1997. Azas-Azas Hukum Pidana Bagian Pertama. Bandung : Alumni.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Arrasjid, Chainur. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Ekaputra, Mohammad. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan : USU Press. Hamdan, M. 2012. Alasan Penghapus Pidana Teori Dan Studi Kasus. Bandung : PT Refika Aditama.
__________. 2000. Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup. Medan : CV Mandar Maju.
Hamzah, Andi. 2009. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP. Jakarta : Sinar Grafika.
____________. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Hatta, Moh. 2009. Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum Dan Pidana Khusus. Yogyakarta : Liberty.
Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana.
Ibrahim, Johnny. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishing.
Lamintang, P. A. F. 1983. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru.
_________________ dan Theo Lamintang. 2010. Delik-Delik Khusus : Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara. Jakarta : Sinar Grafika.
Marlina. 2011 Hukum Penitensir. Bandung : PT Refika Aditama.
Marpaung, Leden. 1991. Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Moeljatno. 1983. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara.
________. 1984. Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Open Bare Orde). Jakarta : PT. Bina Aksara.
(5)
________. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta.
Mulyadi, Lilik. 2010. Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan. Bandung : CV. Mandar Maju.
Arif, Barda Nawawi., 1984. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang : Fakultas Hukum Undip.
Prasetyo, Teguh. 2014. Hukum Pidana. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Medan : CV. Mander Maju.
Rais, Moch. Lukman Fatahullah. 1997. Tindak Pidana Perkelahian Pelajar. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Sahetapy. 2003. Hukum Pidana. Yogyakarta : Liberty.
Sianturi, S. R.1996. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : Alumni Ahaem-Peteheam.
Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
________________ dan Sri Mamuji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sudarto dan Wonosusanto. 1987. Catatan Kuliah Hukum Pidana II. Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Surakarta.
Utrecht. 2000. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya : Pustaka Tinta Mas.
Undang-Undang :
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(6)
-Website :
http://adikuncahyo.blogspot.com/2012/01/Pasal-170-kuhp-sangsi-hukum-untuk.html