5 integrasi pertama-tama dicari sifat sifat hubungan yang telah terjadi dalam
proses asosiasi. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan tentang pengalaman yang direfleksikan itu agar sampai pada tilikan-tilikan baru.
Validasi, adalah proses menguji keotentikan gagasan dan perasaan yang telah
dihasilkan. Dalam validasi pelaku refleksi melakukan pengujian konsistensi internal antara apresiasi-apresiasi baru dengan pengetahuan dan kepercayaan-
kepercayaan yang telah ada. Apropriasi, adalah proses menjadikan
pengetahuan baru itu menjadi milik pelaku refleksi. Hasil dari proses refleksi bersifat kompleks, bisa berupa salah satu atau
seluruh hal-hal seperti cara baru untuk melakukan sesuatu, kejelasan atas isu-isu, dan berkembangnya ketrampilan atau pemecahan masalah. Peta kognitif mungkin
diperoleh, dan rangkaian gagasan baru mungkin dikenali. Mungkin pula lahir sudut pandang baru dalam melihat pengalaman atau perubahan sikap dan perilaku.
Sintesa, validasi dan apropiasi pengetahuan selain merupakan menjadi bagian dari proses juga merupakan hasil dari refleksi itu sendiri. Dan lebih penting lagi
ketrampilan belajar yang signifikan mungkin berkembang melalui pemahaman atas kebutuhan-kebutuhan dan gaya belajarnya sendiri.
3. Signifikasi Refleksi dalam Pembelajaran.
Refleksi dalam proses pembelajaran penting baik bagi pengajar maupun terlebih-lebih bagi pebelajar. Bagi pengajar kemampuan untuk melakukan refleksi
merupakan salah satu indikator dari pengajar yang baik. Slavin 2000: 8 menyebutkan bahwa refleksi merupakan salah satu dari empat kemampuan pokok
yang harus dikuasai oleh pengajar. Tiga kemampuan lainnya adalah kemampuan mengambil keputusan, penguasaan bahan ajar dan pengaturan diri serta
kemampuan menerapkan hasil penelitian di bidang kependidikan. Borich 1996:48 juga mengemukakan bahwa pengajar yang baik adalah
pengajar yang reflektif, yaitu pengajar yang mampu berpikir mendalam, dan kritis pada pengajarannya sendiri. Ia selalu mempertanyakan tentang kecocokan dan
keberhasilan usaha mengajarnya. Oleh karena itu pengajar perlu meluangkan waktu untuk selalu mengadaptasikan pengajarannya kepada kebutuhan sejarah,
6 dan pengalaman pebelajar, serta untuk menganalisa dan mengritik pembelajaran-
nya sendiri sesudah semuanya berlangsung. Sementara itu Burden Byrd 1999: 6 menyatakan bahwa kunci
keberhasilan profesional seorang pengajar adalah kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan refleksi. Pengajar seharusnya seorang praktisi refleksi,
yaitu figur yang selalu merefleksikan dan mengevaluasi hasil hasil keputusan keputusannya di masa lalu guna membuat keputusan yang lebih baik di masa
depan. Semua kutipan di atas menunjukkan betapa pentingnya penguasaan
ketrampilan melakukan refleksi bagi para pengajar. Terlebih-lebih jika dipertimbangkan bahwa para pengajar itu pada gilirannya harus membimbing
proses refleksi yang dilakukan para pebelajar. Tentu tugas semacam itu sulit dilaksanakan jika pengajar itu sendiri belum mampu melakukan refleksi.
Bagi pebelajar, pentingnya refleksi dalam pembelajaran telah lama dikemukakan oleh pakar pendidikan. Tak kurang dari Dewey hampir seabad yang
lalu telah menyatakan hal itu. Menurut Dewey Boud dkk; 1989: 25 „
konteks dari refleksi itu adalah ketidak-pastian di dalam lingkungan dan kegiatan pebelajar
dalam konteks itu adalah berupa usaha disengaja untuk menemukan hubungan hubungan khusus yang akan memperbaiki kepastian
‟. Dalam konteks yang agak luas, secara ideologis Jurgen Habermas Boud
dkk, ibid menekankan pentingnya refleksi dalam upaya membangun „sikap kritis
critical intent
‟‟, yaitu disposisi untuk menyelidiki dan merekonstruksi aspek aspek sosial dan moral dari lingkungan untuk mencapai pencerahan dan
emansipasi sepenuhnya. Secara lebih spesifik John Heron Boud dkk, 1989:128 mengemukakan
pentingnya refleksi dalam proses „cooperative inquiry’, sementara Maine Boud dkk, 1989:91 lebih melihat pentingnya refleksi bagi pengembangan ketrampilan
ketrampilan belajar. Kolb 1998 juga menempatkan refleksi sebagai bagian penting dari proses pembelajaran „eksperiential‟ atau pembelajaraan berbasis
pengalaman. Safery Duffy 1996: juga menyatakan bahwa refleksi merupakan salah satu pilar penting dalam pembelajaran yang berwatak konstruktivis, karena
7 refleksi dapat membantu pebelajar mengembangkan kesadaran meta-kognitif.
Kesadaran meta-kognitif adalah kesadaran akan pikiran sendiri sebagaimana tampak dalam cara seseorang mengerjakan tugas tugas dan penggunaan kesadaran
itu untuk mengendalikan hal hal yang akan dikerjakan Marzano, dkk. 1998:9. Degeng 1998: 8 juga menyebutkan bahwa dalam pandangan konstruktivistik
belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas
kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.
Dapatlah disimpulkan bahwa basis signifikansi utama bagi refleksi dalam pembelajaran adalah konstruktivisme. Seperti sudah sering dikemukakan hakikat
belajar dalam pandangan konstuktivis adalah proses pembangunan makna yang memiliki viabilitas. Untuk sampai tahap itu maka salah satu prinsip pembelajaran
dalam terang paham konstruktivsme adalah kesempatan melalukan refleksi. Argumentasi bagi penerapan pembelajaran reflektif yang merupakan inti dari
pedagogi Ignasian itu menurut Drost 2001: 14 adalah sebagai berikut a.
Dapat diterapkan pada semua jenis kurikulum sebagai suatu sikap, mentalitas, dan pendekatan yang konsisten yang mewarnai seluruh proses
pembelajaran. b.
Dapat diterapkan tidak hanya pada disiplin-disiplin akademis, tetapi juga pada ranah non-akademis seperti kegiatan ekstra kurikuler, program
pelayanan masyarakat, olah raga. c.
Memungkinkan para pengajar untuk memperkaya baik isi maupun susunan bahan pelajaran. Demikian pula, pebelajar dapat belajar lebih aktif dan
bertanggung jawab. d.
Memungkinkan pebelajar menghubungkan bahan pelajaran dengan pengalaman mereka dan belajar dari pengalaman hidup mereka. Dengan
demikian mendukung integrasi antara pengalaman belajar di kelas dengan pengalaman pebelajar di rumah, dunia teman sebaya, dan di masyarakat.
e. Penerapan Pembelajaran Refleksif secara konsisten dan berkelanjutan akan
membantu pembentukan kebiasaan berefleksi terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu.
f. Membangun kepekaan nurani terhadap hubungan-hubungan manusiawi,
sehingga membuat pebelajar semakin peduli terhadap sesama.
8 Singkatnya, Pembelajaran Refleksif yang dilaksanakan secara konsisten dan
berkelanjutan akan membantu pebelajar lebih siap mengolah pengalamannya sehingga menjadi bahan baginya untuk tumbuh-berkembang menjadi dirinya,
yaitu pribadi yang semakin dewasa dan peduli terhadap sesama.
4. Model Pembelajaran Reflektif