Soal soal hukum adat

Soal-soal hukum adat:
1. Jelaskan pengertian istilah hukum adat?
Istilah “hukum adat” berasal dari kata-kata arab, “huk’m” dan “adah”. “huk’m”
(jamaknya: ahkam) artinya “suruhan” atau “ketentuan”. Istilah adat berasal dari bahasa

Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau
kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di
Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.
Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut :
“Tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti
oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”.
Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat adalah :
1. Adanya tingkah laku seseorang
2. Dilakukan terus-menerus
3. Adanya dimensi waktu.
4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.
Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang
lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian
adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat
sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan merupakan suatu

kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban, cara hidup yang modern
sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat-istiadat yang hidup dan berakar
dalam masyarakat.
Adat selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu
tetap kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat dan kehendak
zaman. Adat-istiadat yang hidup didalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi
rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat.
Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, mengatakan bahwa adat adalah tingkah laku yang
oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal

dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan
merupakan aturan hukum.

2. Istilah Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck
Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian
diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht
van Nederland Indie”.
Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929
meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangundangan Belanda.

Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya
mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat
dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum
kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan hukum adata dengan alasan :
“ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan
hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum
yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah
laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan
juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana
peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan
masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada
dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang
luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adatistiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan
karena keduanya erat sekali kaitannya.
2. Sebutkan pengertian kalimat Hukum al-ahkam al-khamsah dan berikan
contohnya!

 AL AHKAM AL KHAMSAH
Disebut juga hukum taklifi
Lima macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku

manusia dalam Islam:







Wajib
Sunnat
Ja’iz atau mubah
Makruh
Haram

1. WAJIB
wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti,
yang diberi ganjaran dengan pahala bagi orang yang melakukannya dan diancam dosa
bagi orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut
Wajib dapat dibagi dari beberapa segi ,dan diantaranya adalah dari segi pelaksana atau
pihak yang dituntut. Dari segi pihak yang dituntut melaksanakan kewajiban, wajib terbagi

dua, yaitu :
a. Wajib ‘Aini (kewajiban secara pribadi) : sesuatu yang dituntut oleh syar’i (pembuat
hukum) untuk melaksankannya dari setiap pribadi dari pribadi mukallaf (subjek
hukum).kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh
orang lain atau karena perbuatan orang lain:
Ø Contoh :1. Shalat 5 Waktu, setiap pribadi atau masing – masing pribadi mukallaf di
haruskan melaksanakan ibadah shalat sendiri dengan arti lain tidak mungkin untuk
mewakilkannya kepada orang lain, oleh sebab itulah shalat 5 waktu merupakan salah satu
perbuatan yang diwajibkan.
b. Wajib Kafa’i/ Kifayah (kewajiban bersifat kelompok) : sesuatu yang dituntut oleh
pembuat hukum melakukannya dari sejumlah mukallaf dan tidak dari setiap pribadi
mukallaf. Hal ini bebrarti bila sebagian atau beberapa orang mukallaf telah tampil
melaksanakan kewajiban itu dan telah terlaksana apa yang dituntut, maka lepaslah orang
lain dari tuntutan itu. Tetapi bila tidak seorangpun melaksanakannya hingga apa yang
dituntut itu terlantar, maka berdosa semuanya.
Ø Contoh :2. Shalat Jenazah, yang mana dalam pelaksanaan shalat jenazah ini tidak
semua mukallaf diwajibkan untuk melaksanakannya melainkan diperbolehkan hanya
sebagian dari sekumpulan mukallaf. Akan tetapi bila tidak seorangpun melaksanakannya
atau mengabaikannya maka semuanya akan mendapat dosa.
2. SUNNAH

Sunnah adalah sesuatu yang dituntut untuk memperbuatnya secara hukum syar’i tanpa
adanya celaan atau dosa terhadap orang yang meninggalkan secara mutlak. Sedang dalam
arti dalil hukum mempunyai arti yang sama dengan ini, yaitu sesuatu yang berasal dari
Nabi baik dalam bentuk ucapan, perbuatan atau pengakuan.
Sunnah dapat dibagi dari beberapa segi, diantaranya adalah dari segi selalu dan tidaknya
Nabi melakukan perbuatan sunnah. Sunnah ini terbagi dua, yaitu :
a.
Sunnah Muakkadah : yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh Nabi disamping
ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu.
Ø Contoh : 1. Shalat Witir, sunnah dalam bentuk ini, karena kuatnya, sebagian ulama’
menyatakan bahwa orang yang meninggalkannya dicela, tetapi tidak berdosa, karena
orang yang meninggalkannya secara sengaja berarti menyalahi sunnah yang biasa
dilakukan oleh Nabi.
b. Sunnah Ghairu Muakkad : yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi, tetapi

Nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian.
Ø Contoh :2. Memberi Sedekah Kepada Orang Miskin, dalam hal ini kita dianjurkan
untuk melaksanakannya namun tidak akan berdosa bila tidak melakukannya. Dalam
perbuatan seperti ini digunakan kata : nafal, mustahab, ihsan, dan tathawwu’.
3. HARAM

Ialah suatu perbuatan yang apabila dilakukan akan mendapat siksa atau dosa, dan
sebaliknya apabila ditinggalkannya maka akan mendapat ganjaran atau pahala.
Prinsipnya, dalam penetapan hukum haram bagi yang dilarang adalah karena adanya sifat
memberi mudharat (merusak) dalam perbuatan yang dilarang itu. Allah tidak akan
mengharamkan sesuatu kecuali terdapat unsur perusak menurut biasanya. Haram menurut
pengertian ini terbagi dua :
a.
Haram Dzati : yaitu sesuatu yang disengaja oleh Allah mengharamkannya karena
terdapatunsur perusak yang langsung mengenai dharuriyat yang lima (lima unsur pokok
dalam kehidupan manusia muslim).
Ø Contoh :1.

Haramnya membunuh karena langsung mengenai jiwa (nyawa)

Haramnya minum khamar karena langsung mengenai akal

Haramnya murtad karena langsung mengenai agama

Haramnya mencuri karena langsung mengenai harta


Haramnya berzina karena langsung mengenai keturunan atau harga diri.
b. Haram ‘Ardhi / Ghairu Dzati : yaitu haram yang larangannya bukan karena zatnya,
artinya tidak langsung mengenai satu diantara dharuriyat yang lima itu, tapi secara tidak
langsung akan mengenai hal-hal yang bersifat dzati tersebut.
Ø Contoh :2

melihat aurat perempuan yang akan dapat membawa kepada zina

penipuan yang dapat membawa kepada pencurian

bercanda dengan ayat-ayat Alqur’an yang dapat membawa kepada murtad.
Perbuatan-perbuatan tersebut diharamkan dengan dalil tertentu karena membawa kepada
larangan yang bersifat dzati.
4. MAKRUH
Secara bahasa karahah adalah sesuatu yang tidak disenangi atau sesuatu yang dijauhi,
sedang dalam istilah ialah sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan
tidak diberi dosa orang yang melakukannya.
Ø Contoh :1. Larangan banyak bertanya dalam surat al-Maidah (5):101:
Artinya : “hai orang-orang yang beriman jangan kamu banyak tanya tentang sesuatu, bila
dijelaskan kepadamu akan menyulitkan untukmu”.

Dalam ayat ini Allah melarang seseorang banyak bertanya. Ujung ayat ini menjelaskan
akibat banyak bertanya itu terhadap si penanya. Ungkapan ini memberi petunjuk tidak
pastinya larangan itu untuk menghasilkan hukum haram, meskipun demikian banyak
bertanya itu termasuk perbuatan yang tidak terpuji.
Ø Contoh :2. Main kartu (seperti domino) bukan untuk tujuan judi. Dari segi main kartu
saja hukumnya hanya makruh karena dapat mengganggu ketenangan beribadah. Tetapi

bila dilakukan berketerusan sampai meninggalkan perbuatan wajib, maka hukumnya
menjadi haram.
5. MUBAH
Dalam istilah hukum, mubah adalah sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat
hukum untuk memilih antara memperbuat dan meninggalkan. Ia boleh melakukan atau
tidak. Sehubungan dengan pengertian tersebut, Al Syathibi membagi mubah menjadi
beberapa macam, diantaranya adalah :
a.
Mubah yang Mengikuti Suruhan Untuk Berbuat : mubah dalam bentuk ini disebut
mubah dalam bentuk bagian, tetapi dituntut berbuat secara keseluruhan.
Ø contoh :1. Makan dan Kawin, mubah dalam bentuk ini tidak boleh ditinggalkan
secara menyeluruh, karena merupakan kebutuhan atau kepentingan pokok manusia.
b. Mubah yang Mengikuti Tuntutan Untuk Meninggalkan : mubah dalam bentuk ini

disebut : “mubah secara juz’i tetapi dilarang secara keseluruhan”.
Ø Contoh :2. Bermain, perbuatan ini dalam waktu tertentu hukumnya mubah, tetapi bila
dilakukan sepanjang waktu, hukumnya menjadi haram.
2. HUKUM WADH’I
Hukum wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia tetapi bisa
berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada kaitannya dengan perbuatan mukallaf yang
dinamakan hukum taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk sebab dan yang dinamakan
hukum taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk sebab dan yang diberi sebab, atau syarat
yang diberi syarat atau penghalang yang dikenakan halangan. Dengan demikian, hukum
wadh’i itu ada tiga macam, yaitu :
1. SABAB
Adalah sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hokum (illat) atau keadaan
yang mempengaruhi ada atau tidak adanya hukum.
Ø Contoh :1. Masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya kewajiban puasa
Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah sesuatu yang jelas dan dapat diukur
apakah betul bulan Ramadhan itu sudah dating atau belum. Masuknya bulan Ramadhan
menjadi sebab, sedangkan datangnya kewajiban puasa Ramadhan disebut musabbab atau
hukum
Sifat memabukkan yang terdapat dalam suatu minuman menjadi sebab atau petunjuk bagi
hukum haramnya minuman itu. Bila sudah menemukan sifat tersebut pada minuman,

maka terdapat hokum haram. Bila pada suatu minuman tidak terdapat sifat tersebut, maka
tidak berlaku padanya hukum haram. Dengan demikian sifat memabukkan disebut
petunjuk bagi adanya hukum atau sebab bagi hokum. Sedangkan hokum adalah apa yang
diberi petunjuk atau disebut musabbab.
2. SYARAT
Adalah sesuatu yang kepadanya tergantung suatu hukum. Syarat itu terbagi menjadi tiga
bentuk :
a.
Syarat ‘Aqli seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya
paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hokum.

b. Syarat ‘Adi, artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku.
Ø Contoh : Bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat
berlangsungnya kebakaran.
c.
Syarat Syar’i, yaitu syarat berdasarkan penetapan syara’
Ø Contoh :

Sucinya badan menjadi syarat untuk shalat.


Nisab menjadi syarat wajibnya zakat
3. MANI’ (PENGHALANG)
Secara definitif para ahli mengartikan mani’ ialah sesuatu yang dari segi hokum,
keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud dari sebab atau hokum. Kata amru syari’
disebut dalam definisi menunjukkan bahwa yang menjadi penghalang itu adalah suatu
perbuatan hokum yang ditetapkan oleh pembuat hokum sendiri sebagai penghalang, yaitu
Hadits Nabi yang mengatakan :
‫القا تل ل يرث‬
Si pembunuh tidak berhak mewarisi orang yang dibunuhnya.
Dari definisi diatas terlihat ada dua macam mani’ bila dilihat dari segi sasaran yang
dikenai pengaruhnya, yaitu :
a.
Mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti adanya mani’ mengakibatkan
“sebab” tidak dianggap berarti lagi. Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya
musabab atau hukum pun tidak akan ada karena dia mengikuti kepada sebab.
Ø Contoh : maslah utang, keadaan berutang itu menyebabkan kekayaan senisab yang
menjadi sebab diwajibkannya zakat tidak lagi diperhatikan. Karenanya kewajiban zakat
sebagai musabab dari adanya harta senisab tentu tidak ada lagi. Artinya tidak diwajibkan
zakat atas orang yang berhutang meskipun jumlah kekayaannya mencapai nisab.
b. Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak adanya hukum
meskipun ada sebab yang mengakibatkan adanya hukum.
Ø Contoh : keadaan pembunh adalah ayah si korban menghalangi atau menolak
berlakunya hukum qishas, meskipun sebab untuk adanya hukum qishas yaitu
pembunuhan tetap berlaku dalam kasus ini. Semestinya dengan adanya sebab itu
(pembunuh), tentu ada hukumnya (wajib qishas). Namun hukum dalam hal ini tidak ada
karena adanya mani’ (si pembunuh adalah ayah dari si korban).
3, Istilah adat dalam bahasa Indonesia dan bahasa arab!
 Menurut Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh
dalam tulisannya pada tahun 1660). "Adat" berasal dari bahasa Arab ‫عادات‬, bentuk
jamak dari ‫( عاددة‬adah), yang berarti "cara", "kebiasaan".
Di Indonesia kata "adat" baru digunakan pada sekitar akhir abad 19. Sebelumnya kata
ini hanya dikenal pada masyarakat Melayu setelah pertemuan budayanya dengan
agama Islam pada sekitar abad 16-an. Kata ini antara lain dapat dibaca pada Undangundang Negeri Melayu. Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Di satu pihak
ada yang menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.
Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari Bahasa Sanskerta karena

menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000
tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak
dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.
4. Istilah adat gewoonte recht dan wetten recht!
> Adat gewoonte recht ialah hukum kebiasaan atau hukum adat.
Sedangkan adat wetten recht ialah hukum undang-undang. Hukum
undang-undang yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan
perundangan yang dibuat untuk membatasi tingkah laku manusia
sehingga manusia bias terkontrol dalam bertingkah laku. Hukum
kebiasaan atau hukum adat ialah sebagai suatu aturan atau kebiasaan
beserta norma-norma yang berlaku di suatu wilayah tertentu dan dianut
oleh sekelompok orang di wilayah tersebut sebagai sumber hukum.
Ditinjau dari segi pemakaian hukum adat diartikan sebagai tingkah laku
manusia maka segala sesuatu yang telah terjadi atau yang biasa terjadi di
dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai suatu hukum.