Gerakan Pembaharuan Islam oleh Muhammad

Gerakan Pembaharuan Islam oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1838/1839-1897)

Nama Lengkapnya adalah Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif
at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Ia lahir di Uyaynah pada 1730 M/l115 H dan wafat di
Daryah tahun 1206 H (1793M). Ayah dan kakeknya adalah ulama terkenal di
Najd/Nejad (Arab Saudi). Dari ayahnya ia memperoleh pendidikan di bidang
keagamaan dan mengembangkan minatnya di bidang tafsir, hadits, dan hukum
madzhab Hanbaliyah. Untuk meningkatkan pengetahuannya ia banyak melakukan
perjalanan mencari ilmu. Ia juga membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn alQayyim al-Jauziyah, sehingga ia benar-benar menjadi seorang ulama, ahli hukum
dan pembaharu ternama.
Dia adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin
gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Dia juga merupakan seorang
ulama besar yang produktif, karena buku-buku karangannya tentang islam
mencapai puluhan buku, diantaranya buku yang berjudul “Kitab At-Tauhid” yang
isinya tentang pemberantasan syirik, khurafat, takhayul dan bid’ah yang terdapat di
kalangan umat Islam dan mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran tauhid
yang murni.
Proses pembaharuannya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah
dan khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh karena itu, ia cepat memperoleh

banyak pendukung. Pada permulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal berjudul
Kitâb al-Tauhîd. Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn Abdul
Wahhab semakin populer dan gerakannya mendapat dukungan dari pemerintah
Kerajaan Ibn Saud.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha
membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para
pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada
dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad,
bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri
mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul
dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan
mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn
Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah
sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Ia tumbuh dan dibesarkan
dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di
lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di

mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan
dengan agama.

Dia menempuh berbagai macam cara, dalam menyampaikan dakwahnya,
sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah
melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya
juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para
umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu
dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus
mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat
ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik
yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah,
khurafat dan takhayul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara
dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga
beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya
semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di
kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia,
Indonesia, Pakistan, Afganistan,Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain
lagi.
Inti gerakan pembaharuannya adalah : pertama, pembaharuan Islam yang
paling utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad Ibn

Abdul Wahhab dan para pengikutnya membedakan tauhid menjadi tiga macam;
tauhîd rubûbiyah, tauhîd ulûhiyah dan tauhîd al-asmâ’ wa al-sifât (C.M.Helm, 1981:
88-89). Menurut Abdul Wahhab, Allah adalah Tuhan alam semesta yang maha
kuasa, dan melarang penyifatan kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali Dia. Dialah
yang menciptakan manusia dan alam dari tiada. Eksistensi Allah dapat dirasakan
melalui tanda-tanda dan ciptaan-Nya yang tersebar di seluruh alam, seperti siang
dan malam, matahari dan bulan, gunung-gunung dan sungai-sungai, dan
seterusnya. Allah adalah Tuhan yang berhak disembah. Segala urusan manusia
sehari-hari harus didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tuhan sama sekali
tidak dapat dibandingkan dengan apapun (QS. Asy-Syûrâ/42: 11). Baik dan buruk
berasal dari Allah dan manusia tidak bebas berkehendak.
Wahhab tidak mempercayai superioritas ras; superioritas atau inferioritas
tergantung pada ketaqwaan pada Allah. Tauhîd ulûhiyyah dipandang sebagai tauhîd
amalî. Tauhid ini didasarkan atas rukun Islam dan rukun Iman. Yang termasuk dalam
tauhid ini adalah semua bentuk ibadah harian, keyakinan dan tindakan iman serta
perjuangan dengan penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan dan kepercayaan pada
Allah.

Wahhab percaya pada makna harfiah Al-Qur’an termasuk ungkapanungkapan antropomorfisme tentang Allah; tetapi bukan berarti ini mengharuskan
antropomorfisme bagi Allah. Ia berpendapat bahwa orang beriman akan melihat

Allah di surga, tetapi bentuk dan rupa Allah melampaui akal manusia (Saedullah,
1973: 138).
Kedua, Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul.
Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha
mencari perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya merupakan perbuatan
syirik. Demikian juga bertawassul kepada orang yang sudah mati atau kuburan
orang suci sangat dilarang dalam Islam dan Allah tidak akan memberikan ampunan
bagi mereka yang melakukan perbuatan demikian. Ini bukan berarti ziyarah kubur
tidak diperkenankan, namun perbuatan-perbuatan bid’ah, takhayul dan khurafat
yang mengiringi ziyarah semestinya dihindarkan agar iman tetap suci dan
terpelihara (Ayman al-Yassini, 1995: 307-308).
Ketiga, sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan
pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan sumber paling penting bagi
syari’ah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-ayat muhkamât dan
tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât.
Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim mengikuti penafsiran Al-Qur’an generasi
al-salaf al-shâlih. Sementara itu, Sunnah Nabi adalah sumber terpenting kedua.
Sedangkan ijma’ adalah sumber ketiga bagi syari’ah dalam pengertian terbatas; ia
hanya mempercayai kesucian ijma’ yang berasal dari tiga abad pertama Islam,

karena hadits yang memuat Sunnah Nabi sebagai jawaban atas setiap masalah,
dikembangkan Muslim selama 3 abad pertama (D.S. Margouliouth, t.th.: 661). Ia
menolak ijma’ dari generasi belakangan. Oleb karena itu, menurutnya semua
komunitas Muslim dapat melakukan kesalahan dalam menyusun hukum-hukum
secara independen melalui proses ijma’.
Wahhab juga akan tetap memilih mengikuti hadits yang otentik daripada
pendapat para ulama yang menjadi idolanya, sekalipun seperti Ahmad Ibn Hanbal,
Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan dinamika
kehidupan Muslim akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya ijtihad
terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Namun demikian, ia tidak keberatan bagi siapapun
untuk mengikuti salah satu dari empat madzhab Imam asalkan sesuai dengan AlQur’an dan Sunnah.
Keempat, serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya
negara dalam memberlakukan secara paksa syari’ah dalam masyarakat yang
otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus bertindak atas dasar
saran ulama dan komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan konsensus
komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah upaya
penggulingan khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten melalui

kekerasan dan paksaan. Namun demikian, khalifah yang tidak kompeten tetap
harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari’ah dan tidak menentang ajaranajaran Al-Qur’an dan sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad untuk

melaksanakan syari’ah sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh penjuru dunia
(R.B.Winder, 1965: 12).
Pembaharuan Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam dari segala
bid’ah, takhayul dan khurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan
pembaharuan yang terjadi di dunia Muslim dari waktu ke waktu. Di negara Arab
sendiri ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi karena dukungan Ibn
Saud dan putranya Abdul Aziz.
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48
tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis,
mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan
Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahab berdakwah sampai usia
92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun
1793 M, dalam usia 92 tahun.