GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA (1)

GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA

`

Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Studi
Kemuhammadiyahan dengan Dosen Pengampu Istanto
Disusun Oleh :
Hilda Carella (J 3101 200 68)
Nindyasari Dwi Ningrum (J 3101 200 56)
Anggraini Wulandari (J 3101 200 77)
Atika Putri Wijayanti (J 3101 200 89)

PROGRAM STUDI S1 GIZI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
Nama
Materi

Nindyasari D.N


Muhammadiyah

(J301020056)
Hilda Carella

Sarekat Islam

(J301020068)
Atika Putri W

Jami’atul Khair dan Al-Irsyad

(J301020089)
Anggraini Wulandari
(J301020077)

Persatuan Islam (Persis)

GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Melihat keadaan di lapangan bahwa pengamalan agama Islam di Indonesia yang masih
banyak bercampur dengan tradisi Hindu-Budha tersebut dan jelas sekali merusak kemurnian
ajarannya, maka tampillah beberapa ulama mengadakan pemurnian dan pembaharuan faham
keagamaan dalam Islam. Pada mulanya lahir Gerakan Padri di daerah Minangkabau yang
dipelopori oleh Malim Basa, pendiri perguruan di Bonjol, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Imam Bonjol. Sejak kembali dari Mekah, Imam Bonjol melancarkan pemurnian aqidah
Islam seperti yang telah dilakukan oleh gerakan Wahabi di Mekah. Karena kaum tua yang masih
sangat kuat berpegang teguh pada adat menentang dengan keras terhadap gerakan Imam Bonjol
maka timbulah perang Padri yang berlangsung antara tahun 1821-1837.
Pemerintahan Kolonial Belanda, sesuai dengan politik induknya “Devide et empera”
akhirnya membantu kaum adat untuk bersama-sama menumpas kaum pembaharu. Sungguh pun
kaum militer Padri dapat dikalahkan, tetapi semangat pemurnian Islam dan kader-kader
pembaharu telah ditabur yang kemudian pada kenmudian hari banyak meneruskan usaha dan
perjuangan mereka. Diantaranya, Syekh Tohir Jalaludin, setelah kembali dari Mekah dan Mesir
bersama-sama dengan Al Khalili mengembangkan semangat pemurnian Agama Islam dengan
menerbitkan majalah Al Imam di Singapura.
Pada saat itu juga, di Jakarta berdiri Jami’atul Khair pada tahun 1905, yang pada
umumnya beraggotakan peranakan Arab. Organisasi Jami’atul Khair ini dinilai sangat penting
karena dalam kenyataanya dialah yang memulai dalam bentuk organisasi dengan bentuk modern

dalam masyarakat Islam (dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat
berkala) dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern.
Di bawah pimpinan Syekh Ahmad Soorkati, Jami’atul Khair banyak mengadakan pembaharuan
dalam bidang pengajaran bahasa Arab, pendidikan Agama Islam, penyiaran agama, dan banyak
berusaha mewujudkan Ukhuwah Islam.
Sementara itu, banyak tumbuh dan lahir gerakan pembaharuan dan pemurnian Agama
Islam di beberapa tempat di Indonesia, yang satu sama lain mempunyai penonjolan perjuangan
dan sifat yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka mempunyai cita-cita yang
sama dan tunggal yaitu “Izzul Islam wal Muslimin” atau kejayaan Agama Islam dan Kaum
Muslimin. Di antara gerakan-gerakan tersebut adalah: Partai Sarekat Islam Indonesia,
Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad.
Gerakan-gerakan tersebut, umumnya terbagi dalam dua golongan yaitu Gerakan
Modernis dan Gerakan Reformis. Yang dimaksud dengan Gerakan Modernis ialah gerakan yang
menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Jadi semua Gerakan Islam tersebut dapat
digolongkan sebagai gerakan Modernis. Sedangkan Gerakan Reformis, berarti di samping
gerakan ini menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya, juga berusaha memurnikan
Islam dan membangun kembali Islam dengan pikiran-pikiran baru, sehingga Islam dapat
mengarahkan dan membimbing umat manusia dalam kehidupan mereka. Misalnya:
Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad.


B. Pembahasan
1. Jami’atul Khair dan Al-Irsyad
Setiap dari mereka gerakan Modernisme Islam termasuk organisasi islam yang
beranggoatakan keturunan Arab memiliki karakter gerakan yang berbeda-beda. Ada gerakan
Islam yang menekankan pada aspek ekonomi dan politik, ada yang menekankan pada upaya
pemurnian ajaran Islam, serta ada yang menekankan pada uapaya pemurnian ajaran Islam, serta
ada yang menekankan pada aspek pembaharuan pendidikan Islam.
Contoh gerakan Moderenisme Islam yang berdiri pada awal abad ke-20 adalah Jami’atul
khair, sebuah organisasi Islam, yang mana organisasi ini sebagai tempat para Ulama dan aktivis
berjuang dan memperjuangkan pembaharuan dalam segala aspek. Jami’atu khair juga sebagai
organisasi Islam pertama di Indonesia yang dikelola dengan system (managemen) keorganisasian
modern, Jami’atu khairmemliki anggaran dasar, anggaran rumah tangga, buku anggota notulensi
rapat, iuran anggota dan lembaga control anggota melalui rapat tahunan, dan lain sebagainya.
Konon, lembaga ini telah diusahakan berdirinya sejak tahun 1901.pemrakarsanya adalah
golongan terpelajar dari kalangan muslim Indonesia keturunan Arab, dari keluarga shihab dan
Yahya. Klan Shihab dan Yahya dikalangan Alawiyyin termasuk dalam stratifikasi sosial kelas
rendah.
Dalam proses pendiriannya, Jami’atul khair mengalami banyak hambatan . berulangkali
permohonan izin pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral W.Rooseboom, namun selalu
ditolak. Penyebabnya tidak jelas pada tahun 1903 misalnya,permohonan izin diajukan, namun

ditolak. Kemudian untuk meyakinkan pemerintah colonial Belanda, surat permohonan dikirim
berulang kali dengan mencantumkan nama pemohonan yang berbeda, yaitu Said bin Ahmad
Basandid dan Muhammad bin Abdurrahman Al-Masyhur.
Setelah lama menunggu, akhirnya izin pendirian Jami’atul khair dikeluarkan pada tanggal
17 Juni 1905, setelah permohonan disetujui oleh Gubernur Jendral J.V.Van Heutsz. Izin
pendirian Jami’atul khair keluar disertai catatan dari pemerintah, bahwa Jami’atul khair tidak
boleh mendirikan cabang diluar Jakarta.
Pengurus Jami’atul khair angkatan pertama terdiri dari Said bin Ahmad Basandid sebagai
ketua, Muhammad bin Abdullah bin Shihab sebagai wakil ketua, Muhammad Al-Fakhir bin
Abdurrahman masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai bendahara,
setahun kemudian pengurus Jami’atul khair dirubah dan tersusun pegurus baru dengan Idrus Bin
Abdullah Al-Masyhur sebagai ketua , Salim bin Ahmad Balwel sebagai wakil ketua, Muhammad
Al-Fakhir bin Abdurrahmnan Al-Masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab
sebagai bendahara.
Jami’atul khair semula mencantumkan tujuannya untuk menolong orang-orang Arab
yang tinggal di Jakarta pada saat kemetian dan pesta perkawinan. Organisasi ini kemudian
mendirikan sekolah pertama di Pekojan Jakarta. Beberapa tahun setelah itu, dibuka pula sekolahsekolah di Krukut, Tanah Abang dan Bogor, pada bulan Rabiul Awal 1329 H, atau bulan Maret
1911 M.
Datanglah pengajar dari Makkah yang ditujukan untuk memperkuat staf penagajar pada
sekolah-sekolah Jami’atul khair mereka adalah Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari ditempatkan

disekolah Jami’atul khair di Pekojan dan sekaligus sebagai pemilik sekolah-sekolah Jami’atul

khair lainnya.Syaikh Ahmad Tayyib Al-Maghribi ditempatkan disekolah Krukut dan syaikh
Muhammad Abdul Hamid Al-Sudani ditempatkan di sekolah Jami’atul khair di Bogor.
Kemudian atas jasa seorang staf pimpinan Jami’atul khair, Abdullah Al-Attas,
didatangkan pula seorang pengajar asak Tunis dan lulusan kulliyyah Azzaitun, yaitu Muhammad
Al-Hasyimi, kemudian ditempat disekolah Jami’atul khair di Tanah Abang.
Muhammad Al-Hasyimi adalah seorang berkebangsaan Tunis yang pernah ikut
memberontak melawan pemerintah Prancis, ia dikenal sebagai guru olahraga dan memiliki
berbagai pengetahuan keterampilan, seperti memasak, membuat sabun dan lain sebagainya.
Dialah yang pertama kali yang mengenalkan gerakan kepanduan dikalangan umat Islam
Indonesia. dengan demikian ia mestinya disebut sebagai “bapak kepanduan Islam Indonesia”.
Dalam perkembangan berikutnya, Abdullah Al-Atas mengalami perselisihan dengan
pengurus Jami’atul khair. Karena perselisihan itu dia memutuskan untuk meninggalkan Jami’atul
khair, dan mendirikan Al-Atas school pada tahun 1912.langkah Abdullah Al-Atas ini diikuti oleh
Al-Hasyimi dengan cara meninggalkan Jami’atul khair dan bergabung dengan Al-Atas Schcool.
Namun ketika Al-Irsyad berdiri, dia meninggalkan Al-Atas school dan bergabung dengan AlIrsyad serta menjadi guru pada sekolah Al-Irsyad.
Dua tahun kamudian, atas jasa Ahmad Surkati, didatangkan empat orang pengajar lagi,
yaitu syaikh Ahmad Al-Aqib Assudani. Ditempatkan di sekolah Al-Khairyyah di Surabaya,
syaikh Abul Fadhel Muhammad Assati Al-Anshari, saudara kandung Ahmad Surkati

ditempatkan disekolah Jami’atul khair di Tanah Abang, syaikh Muhammad Nur Muhammad
Khair An-Anshari ditempat disekolah Jami’atul khair di Pekojan dan Jami’atul khair di Krukut.
Dalam perkembangan selanjutnya Syaikh Hasan Hamid Al-Anshari dipindahkan ke Bogor
karena syaikh Muhammad Abdul Hamid Assudani kembali ke Negerinya.
Jika ditelusuri awal mulanya, munculnya Al-Irsyad dilatarbelakangi oleh terjadinya
pertentangan dalam Jami’at Al-Khair, terkait persoalan konsep kafa’ah dalam pernikahan. Yakni,
apakah mereka yang memiliki gelar sayyid boleh menikah dengan rakyat biasa atau tidak? Bagi
masyarakat arab modernis, perkawinan semacam itu sah, akan tetapi menurut kaum tradisionalis,
pernikahan itu dianggap tidak sah, karena salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya
kafa’ah antara kedua mempelai. Kalau syarat kafa’ah ini tidak terpenuhi maka perkawinan
dianggap batal atau tidak sah.
Semula, perdebatan kafa’ah ini muncul pertama kali ketika Ahmad Surkati berkunjung ke
Solo, tepatnya dalam suatu pertemuan di kediaman Al-Hamid dari keluarga Al-Azami. Pada saat
menjamu Surkati ini terjadi pembicaraan tentang nasib seorang syarifah, yang karena tekanan
ekonomi terpaksa hidup bersama seorang China di Solo. Surkati menyarankan agar dicarikan
dana secukupnya untuk memisahkan kedua orang yang tengah kumpul kebo itu. Pilihan lain
yang diajukan Surkati adalah hendaknya dicarikan seorang muslim yang ikhlas menikahi secara
sah si Syarifah tersebut, agar ia bisa terlepas dari gelimang dosa.
Salah seorang yang hadir, Umar bin Said Sungkar bertanya pada Surkati: ”apakah yang
demikian itu diperbolehkan menurut hukum ajaran agama Islam, sementara ada hukum yang

mengharamkan karena tidak memenuhi syarat kafa’ah, meskipun syarat-syarat lainnya sudah
terpenuhi”.
Setelah Surkati mengeluarkan fatwa tentang sahnya pernikahan yang tidak sekutu
tersebut, kemudian terjadi pertentangan yang terkenal dengan ”Fatwa Solo”. Fatwa tersebut telah

”Mengguncang” masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa ini dianggap sebagai penghinaan besar
terhadap kelompok mereka. Mereka menuntut kepada Surkati agar bersedia mencabut fatwanya,
namun Surkati tetap mempertahankan fatwanya dan berusaha menghormati pendapat publik baik
yang setuju maupun yang menolak.
Akibat telah mengeluarkan fatwa, pada tahun 1914 Ahmad Surkati dikeluarkan dari Jami’atul
Al-Khair. Setelah dikeluarkan dari jami’atul Al-Khair dengan dibantu oleh Sayyid Saleh bin
Ubaid Abdatu dan Sayyid Said Masya’bi untuk mendirikan madrasah Al-Irsyah Al-Islamiyah
yang diresmikan pada tanggal 15 Syawal 1332 H. Bertepatan dengan 6 September 1914 dengan
dia sendiri sebagai pimpinannya.
Tidak lama setelah Surkati dikeluarkan dari Jami’atu Al-Khair, keluar pula para guru yang
berasal dari Makkah, baik yang datang bersama Surkati maupun yang datang atas jasa Surkati.
Sebagian mereka kembali ke Makkah dan sebagian tetap tinggal di Indonesia dan bergabung
dengan Al-Irsyad sampai akhir hayat mereka di Indonesia. Di antara mereka adalah: Abul Fadhel
Muhammad Khair Al-Anshori yang tidak lain adalah saudara kandung Surkati, Syaikh
Muhammad Nur Muhammad Khair Al-Anshori, dan lain sebagainya.

Izin untuk pembukaan dan pengelolaan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah berada
ditangan dan atas nama Surkati. Berdasarkan ordonasi guru 1905 yang mengatur pendidikan
islam, beban tanggung jawab Surkati akan ringan apabila Madrasah tersebut dinaungi oleh satu
organisasi yang teratur dan memiliki status badan hukum. Maka disiapkanlah berdirinya
Jami’iyyah Al-ishlah wa Al-irsyad Al-Arabiyyah, yang beberapa tahun kemudian diganti dengan
nama Jami’iyyah Al-Ishlah wal Irsyad Al-Islamiyyah.
Permohonan pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral AWF. I den Burg, sementara
pengurusan Madrasah dilaksanakan oleh suatu badan yang diberi nama: Hai’ah Madaris
Jami’iyyah Al-Irsyad yang diketuai oleh Sayyid Abdullah bin Abu Bakar Al-Habsyi. Meskipun
pengesahan dari Gubernur Jendral belum keluar, Syaikh Umar Yusuf Manggus telah berhasil
menyewa gedung bekas hotel ORT yang tidak berfungsi lagi di Molenulist West, Jakarta, guna
memenuhi kebutuhan yang agak mendesak karena perhatian dan peminat yang luar biasa.
Penghimpunan Al-Irsyad (sebagai lembaga yang memiliki hukum) akhirnya memperoleh
pengakuan dari Gubernur Jendral pada tanggal 11 Agustus 1915. Dengan keputusan no 47, yang
disiarkan dalam Javache Courant nomor 67 tanggal 20 Agustus 1915. Sejak itu Al-Irsyad,
meminjam ungkapan Badjerei; ”meluncur laksana meteor; enerjik dan penuh vitalitas; kian hari
kian besar dan meningglkan jami’at Al-Khoir jauh dibelakangnya.
Dalam perjalanannya, Al-Irsyad terlihat sering menjalin kerjasama dengan organisasi
Modernis Islam lainnya, seperti Muhammadiyyah dan Persis sebagaimana diungkapkan oleh
Badjerei berikut ini:

”Dengan lahirnya persatuan Islam di Bandung, pada tahun 1923, kemudian dengan munculnya
Fachruddin pada pimpinan Muhammadiyyah kegiatan dakwah menjadi kian semarak dakwah
Muhammadiyyah dan Persis diucapkan pula diucapkan diisi oleh tenaga-tenaga dari Al-Irsyad,
khusnya dari kelompok izh harAl-Haq ini, ketika Ali Harahah berangkat ke Hejaz dan bermukim
kesana, sekitar satu tahun delapan bulam dan baru kembali ke Jakarta bulan juni 1929, kegiatan
Izhar Al-haq ikut berhenti. Meskipun demikian Muhammadiyyah persatuan Islam dan Al-Irsyad
merupakan ”tiga serangkai” yang tak terpisahkan sehingga saat ini”.

Kerjasama antara Al-Irsyad dengan organisasi Modernis Islam lainnya terus Berlanjut pada
kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1922, kongres Al-Islam ke-2 tahun 1923 di Garud,
kongres ke-3 di Surabaya tahun 1924, kongres Al-Islam ke-4 di Yogyakarta tahun 1925, kongres
Al-Islam ke-5 di Bandung tahun 1926(Hussein Banjerei, 1996:114). Al-Irsyad juga menjalin
kerjasama dengan gerakan-gerakan Islam lain dalam majelis islam A’la Indonesia MIAL.
Menurut Hussein Badjerei, salah seorang tokoh pemikir dari Al-Irsyad, organisasi Al-Irsyad
didirikan bukan untuk melawana atau menandingi Jami’at Al-Khoir. Al-Irsyad lahir bukan
karena desakan kebencian kepada segolongan masyarakat Arab yang saat itu di sebut Alawiyyin.
Semasa Surkati masih hidup, Al-Irsyad tidak melulu mengurusi dan berdakwah kepada
masyarakat Arab Hadrami; tidak melulu mengurusi perantau dari Hadramaut. Risalahnya cukup
luas, surkati tidak mululu mengurusi persoalan pembaharuan dikalangan masyarakat Arab
hadrawi.

Perhimpunan Al-Irsyad juga tidak dibangun dari asas kekesalah kemarahan, para
pemimpinnya bukanlah diktator. Karena itulah Al-Irsyad bisa hidup terus sepanjang waktu,
meski parapemimpinnya wafat dan silih berganti, sebagai kelompok organisasi Islam tertua yang
telah meneliti sejarah di berbagai jama’ah, dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang ini.
Masa formatif Al-Irsyad diawali sejak kelahirannya. Akte pendirian dan anggaran dasar
Al-Irsyad disahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan nomor 47, tertanggal
11agustus 1915, dan disiarkan dalam surat kabar Javasche Courant Nomor 67, tertanggal 20
Agustus 1915. Keputusan ini kemudian menjadi izin resmi kelahiran organisasi ini, yaitu 19
Agustus 1915, dalam keputusan ini pula tercatat pengurus pertamanya, yaitu: Salim bin Awad
Balweel sebagai ketua, Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris, Said bin Salim Masya’bi
sebagai bendahara, dan saleh bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.
Setelah peristiwa dikeluarkannya beslit dari Gubernur Jendral pada hari selasa tanggal 19
syawal 1333/31 Agustus 1915,maka diadakan rapat umum anggota.dalam rapat itu diputuskan
susunan pengurus untuk kepentingan intern,yaitu;salim bin awad bal weel sebagai ketua, saleh
bin obeid bin abdat sebagai wakil ketua,Muhammad Ubait Abut sebagai sekretaris,Said bin
Salim Masy’abi sebagai bendahara.
Untuk lebih mendinamisasikan gerak dan langkah organisasi serta berperan aktif dalam
pemberdayaan masyarakat,dalam kepengurusannya Al-Irsyad membentuk majelis-majelis yang
mempunyai fungsi yang berbeda-beda,antara lain;1. majelis pendidikan dan pengajaran;2,majelis
dakwah;3,majelis sosial dan ekonomi ;4,Majelis wakaf dan yayasan;5 majelis wanita dan
putri:6.majelis pemuda dan pelajar :7,majelis organisasi dan kelembagaan ;8,Majelis hubungan
luar negri.
Patut garis bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya,Al- Irsyad lebih
memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan.Ini biasa dilihat dari pembukaan
sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka arab.Terutama Syaikh Umar
Manggus,yang saat itu menjabat sebagai kapten arab.Tokoh ini yang memberi saran agar
didirikan suatu perkumpulan untuk menunjang sekolah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad
Surkati tersebut. Atas dukungan itu,berdirilah sekolah”Jam’iyyah Al Ishlah Wa Al Irsyad Al
Islamiyyah”.Agar kehadirannya tidak terkesan hanya diperuntukkan bagi orang arab,maka
beberapa waktu kemudian namanya di ubah menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad Al-

Islamiyyah”.Yang selanjutnya dikenal dengan nama Al- Irsyad,Al- irsyad beranggotakan semua
orang islam yang berumur 18 tahun atau yang telah beristri dan tingggal diwilayah Indonesia.
Periode perkembangan Al- Irsyad ditandai dengan pembukaan cabang-cabang Al Irsyad dengan prioritas pertama pulau Jawa.Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al- Irsyad membuka
cabang yang pertama di Tegal,dengan diketahui oleh Ahmad Ali Bais.Pada tanggal 20 November
1917 di resmikan pula keputusan untuk pembukaan cabang Al -Irsyad kedua,yaitu di Pekalongan
dengan ketua pertama kalinya Said Bin Salaim Sahaq,cabang Al Irsyad ketiga dibuka di
Bumiayu pada tanggal 14 Oktober 1918,dengan ketuanya yang pertama adalah Husein Bin
Muhammad Al Yazidi pada tanggal 31 Oktober 1918 Al Irsyad membuka cabang ke empat di
cerebon,dengan ketua pertamanya Ali Awad Baharmuz.Tanggal 21 Januari 1919,dibuka cabang
ke lima disurabaya. pembukaan cabang di Surabaya ini di nilai sebagai peristiwa amat penting
dalam sejarah Al- Irsyad,karena kedudukan Surabaya waktu ini sebagai pusat kegiatan
pergerakan islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat muslim pada waktu
itu.Cabang ini
pertama kalinya di ketuain Oleh Muhammad bin Rayis bin Thaib
Pada periode berikutnya, setelah pulau jawa, Al irsyad semakin melebarkan saya at
punya keluar jawa.Dari tahun 1927 sampai dengan tahun 1931 telah tercatat berdirinya cabangcabang Al irsyad di lhokseumawhe Aceh , Menggala Lampung,Sungeiliat Bangka ,labuan haji
dan talewang Nusa Tenggara Barat, Pemekasan, Probolinggo, Krian, Jombang, Bangil,
Sepanjang, Semarang, Comal, Pemalang, Prowokerto, Indramayu, Cibadak, Sindang laya, dan
Solo.sampai tahun 1970-an, cabang Al-Irsyad telah tersebar diseluruh propinsi Sulawesi Utara
dan sekarang, hampir disetiap propinsi di Indonesian telah berdiri cabang Al-Irsyad.
Di masing-masing cabanh tersebut, didirikan pusat pendidikan bagi warga Al-Irsyad
khususnya, dan masyarakat. Luas pada umumnya.oleh pendirinya,Ahmad Surkati pendidikan
formal dipilih sebagai wahana yang tepat untuk menyemaikan dan mengembangkan gagasangagasan Al-Irsyad seban agaimana telah dicanangkan dalam Mabadi Al-Irsyad.
Konsistensi dan fokus gerakan terhadap bidang pendidikan formal tampaknya tetap
mampu dipertahankan hingga saat ini kiprah al irsyad lebih banyak di fokuskan kepada
pengembangan pendidiksn fornal,yang di harapkan mampu membentuk generasi irsyadi.
Jika diklasifikasikan,maka akan terlihat perbedaan perkembangan pendidikan al irsyad
dari setiap periode,periode 1914sampai dengan1942 menunjukan adanya perkembangan yang
cukup pesat,namun pada periode 1942-1961 terjadi kemunduran .baruhlah pada periode19611982,pendidikan Al-Irsyad mengalami kebangkitan kembalidengan di tandai pedirian sekolahsekolah Al- Irsyad di berapah daerah ditanah air .perkembangan yang cepat terjadi pada periode
1982-1997.pada periode ini Al- Irsyad masih dan berhasil mendirikan lembaga pendidika berupa
pesantren dan perguruan tinggi
Terdapat keunikan dari pengembangan pendidikan Al-Irsyad,yaitu dengan
didirikannya pesantren pada tahun 80-an.Jika pada kelompok tradisional {Nahdlatul
Ulama}muncul trend mengembangkan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah umum
dan madrasah maka tidak demikian dengan ormas Al Irsyad (dan juga muhammdiyah)yang
justeru mendirikan pesantren ,karena didorong oleh kesadaran perlunya memberikan perhatian
yang besar pada aspek pendidikan agama.Namun demikian,tipologi pesantren Al Irsyad tetap
memiliki perbedaan dengan pesantren milik ormas itu.

Jika pesantren itu didirikan oleh perorangan,maka pesantren Al Irsyad didirikan oleh
Jam’iyyah (Organisasi),dengan manajement pesantren yang tidak bersifat kekeluargaan.kitabkitab yang diajarkan dipesantren Al Irsyad,Meskipun sama-sama berbahasa arab,namun tidak
tergolong kitab kuning seperti yang diajarkan dipesantren-pesantren itu.kitab-kitab tersebut
ditulis oleh para ulama komtemporer di timur tengah.lebih dari itu,kesan lux juga terlihat pada
pesantren-pesantren milik Al Irsyad,jika dibandingkan dengan pesantren-pesantren tradisional,
Akibatnya biaya pendidikan pun menjadi mahal.
Bisa dikatakan bahwa dalam pengembangan pendidikan islam di Indonesia,Al Irsyad
telah berhasil mempelopori pendirian lembaga-lembaga islam modoren,yang pada massa
berikutnya di ikutin oleh ormas-ormas islam lain.Namun demikian,meskipun lembaga
pendidikan Al Irsyad didirikan oleh organisasi yang merupakan representasi dari masyarakat
keturunan arab,pribumi yang simpati dan bersekolah dilembaga-lembaga pendidikan Al
Irsyad,baik sekolah pesantren maupun perguruan tingginya
Meskipun Al Irsyad didirikan tidak hanya oleh Ahmad sukarti,namun berbicara
kontributor pemikiran untuk Al Irsyad sosok sukarti tetap menjadi fokus utama. Dia juga
menjadi figur utama dan sentral yang tinggi kini gagasan-gagasannya masi dipakai dan
menyemangati Al Irsyad. Berbicara tentang gagasan Sukarti,maka tidak salah lagi bahwasanya
Sukarti mengadopsi pemikiran dari Muhammd abdul Wahab sebagai sang inspiratornya.
Jika dirunut,genealogi pemikiran keislaman Al Irsyad bermula dari kehadiran Ahmad
Sukarti di Indonesia.saat itu,sukarti merasa menghadapi masyarakat yang memiliki kesamaan ciri
dengan yang dihadapi Muhammad Abdul Wahab pada masanya.baik Sukarti maupan Abdul
Wahab sama-sama dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar dalam agama islam,yakni
Taulid kehadiran Sukarti di Indonesia,khususnya dikota Solo,membuat dia merasa prihatin
dengan kemurnian ajaran tauhid yang berkembang dimasyarakat.Meskipun agama islam telah
berkembang cukup lama di Indonesia,namun pengaruh Hindu-Budha maupun budaya lokal
masih sangat kuat,apa lagi di kota Solo yang merupakan pusat situs kerajaan besar di
Indonesia,tentu persinggungan islam dengan budaya setempat masih sangat insentif.
Meyikapi kondisi yang demikian,Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa
pandangan tentang ketauhidan. Apa bila di bandingkan dengan pandangan Muhammad bin
Abdul Wahab,maka terdapat kemiripan, sebagai contoh, Sukarti mempersoalkan Bid’ah sebagai
berikut:
Pertama,Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya
memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits.Namun mereka menjadikan
pendapat seseorang sebagai dalill agama Sukarti menyatakan adapun taklid buta dan menjadikan
pendapat orang sebagai dalill agama tidak diperbolehkan oleh allah dan rosull-nya,para sahabat
maupun para ulama terdahulu,dan merupakan bid’ah yang sesat.
Kedua,meminta syafa”at . ia mengatakan kepada orang yang sudah mata dan
bertawasuldenga Mereka ,surkati menyatakansebagaiperbuatan yang munkar dan bid”a ia
menatakan :”meminta syafa”at kepada orang yang mati atau bertawasul kepada mereka adalah
perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh rasulullah saw,al khulafa”al
rasyidan ataupun oleh para mujtahid ,baik bertawasul dengan rasul sendiri atau dengan yang
lain .selain itu ,hal tersebut merupakan sesuatu yang diada –adakan dalam ruang lingkup al din.

Setiap yang baru dalam agama adalah bid ”ah ,setiap bid ah adalah sesat ,dan setiap yang sesat
akan masuk neraka’’.
Ketiga,dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan kepada orang
lain untuk mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh salah seorang anggota
keluarganya,ketika menyampaikan fidyah seseorang berkata ;’’terimalah uang ini sebagai
penebus shalat dan puasa si fulan ’’.kemudian si penerima menjawab ,’’saya terima pemberian
ini ’’ .bagi surkarti,pembuatan ini dilarang karena tidak di dasarkan atas dasar dalil agama ,dan
merupakan perbuatan bid’ah.
Keempat,dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur surkarti
melihatnya sebagai pembuatan yang tidak bedasarkan tuntunan al qur’an dan hadits juga tidak
ada petunjuk dari para sahabat
Kelima,pembuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid nabi
muhammad saw,bagi surkarti bukan perbuatan agama,namun demikian,apa bila perbuatan
tersebut di pandang sebagai perbuatan agama,atau termasuk dalam ruang lingkup agama,maka
pembuatan tersebuttetap di anggap sebagai perbuatan bid’ah.
Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan
bid’dah.Alasannya,melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam melaksanakan
niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati.Menurut Sukarti pula,ia tidak pernah
memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah dirawihkan orang dari nabi
Muhammad,atau dari para sahabat,walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat.Dari
berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak
beralasan lagi ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut.Itu
berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang baru
ditimpah musibah kematian menurut Sukarti, merupakan perbuatan Bid’ah dan bertentangan
dengan sunnah rasul.Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai perbuatan yang membebeni
keluarga yang terkena musibah.Dan perbuatan terpuji yang berkenan dengan keluarga yang
terkena musibah adalah penyediakan makanan,sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib
meninggal dunia.”Buatlah makanan bagi keluarga Jafar, ,sebab mereka telah ditimpa sesuatu
yang membuat mereka lupa makan”.
Dan kedelapan,adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib lima
waktu menurut surkarti, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul.
Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-ada dan menambah-nambah
karena Rasulallah selesai sholat wajib lima waktu, langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah
dirumah, tetapi kalau ada yang akan dia sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke
umat Muslim.
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa ”gagasan
rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi lahirnya Al-Irsyad AlIslamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk memperbaiki pemahaman keberagaman muslim
Indonesia.Deliar Noor menyatakan, seperti halnya seperti Modernis muslim Indonesia yang lain.
Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran
Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul
Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif masuki Indonesia pada

awal abad ke-20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka
yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah AlManar dan lain-lainnya
2. Sarekat Islam
Organisasi Serikat Islam pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang
Islam. Organisasi ini dirintis oleh R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909 dengan tujuan
untuk melindungi hak-hak pedagang pribumi Muslim dari monopoli dagang yang dilakukan
untuk pedagang-pedagang besar Tionghoa.
Kemudian tahun 1911 di kota Solo oleh Haji Samanhudi didirikan organisasi dengan
nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuan perkumpulan ini adalah untuk menghimpun para
pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang asing seperti pedagang Tionghoa,
India dan Arab. Karena pada saat itu pedagang-pedagang tersebut lebih maju usahanya
daripada pedagang Indonesia dan keadaan itu sengaja diciptakan oleh Belanda. Adanya
perubahan sosial menimbulkan kesadaran kaum pribumi. Sebagai ikatan solidaritas dan lambang
kelompok, perlu ada ideologi gerakan.
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan
perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi
perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh dan
akhirnya pada tahun 1912 oleh pimpinannya yang baru yaitu Haji Omar Said
Cokroaminoto namanya diubah menjadi Sarekat Islam. Hal ini dilakukan agar organisasi ini
tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi
dalamkegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang
ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki
jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Tujuan SI mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan,
persahabatan dan tolong-menolong diantara muslim. Tujuan utama SI 1913 adalah
mengembangkan perekonomian. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan. SI berkembang
pesat, pada waktu diajukan sebagai Badan Hukum, Gubernur Jendral Idenburg menolak.
Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Dengan perubahan waktu a k h i r n y a S I
pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun
1 9 1 6 . S e t e l a h pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi
partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917. SI akhirnya mengalami
perkembangan yang lebih pesat dibandingkan Budi Utomo dan mulai disusupi aliran
Revolusioner Sosialis, mengapa begitu? Karena SI tidak membatasi keanggotaannya hanya
untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. SI sebagai organisasi besar akhirnya terpecah setelah
disusupi oleh orang-orang yang telah dipengaruhioleh paham sosialis. Paham sosialis ini
disebarkan oleh Sneevlet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sosialistische
Democratische Vereeniging). Mereka menyebar luaskan ajaran sosialis dan terang-terangan
menentang kebijakan-kebijakan pimpinan Sarekat Islam. Hal ini menyebabkan SI pecah
menjadi S I p u t i h y a n g d i p i m p i n o l e h H O S C o k r o a m i n o t o d a n S I m e r a h y a n g
d i p i m p i n S e m a u n . S I m e r a h berlandaskan Sosialisme Komunisme. Pecahnya SI terjadi

1)

2)
3)

4)

5)
6)

7)

8)

setelah Semaun dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini ada kaitannya dengankongres
SI ke-6 tahun 1921 tentang perlunya disiplin partai, seorang harus memilih antara SI
atau organisasi lain tujuannya agar SI bersih dari unsur-unsur komunis. SI berubah nama
menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada kongres PSI tahun 1927 menyatakan
bahwatujuan perjuangan adalah mencapai kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas
itulah PSI ditambah namanya dengan Indonesia sehingga menjadi Partai Serikat Islam Indonesia
(PSII). Pada tahun itu juga PSII menggabungkan diri dengan Permufakatan PerhimpunanPerhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia(PPPKI).
Pada perkembangan selanjutnya tumbuhlah cabang-cabang SI di berbagai daerah,
seperti SI Semarang, SI Yogyakarta, SI Surakarta serta SI Surabaya dan tidak lupa dibentuk pula
semacam SI pusat atau CSI dengan struktur modern. Walaupun para pengikut Sarekat Islam
begitu banyak, tetapi tidak semuanya mempunyai pengertian dan pemahaman atas tujuan dan
kegiatan organisasi tersebut, sehingga terjadi berbagai penyimpangan yang mengatasnamakan
organisasi Sarekat Islam. Pada tahun 1916 sampai tahun 1921 SI mulai memliki struktur
organisasi yang stabil. Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam Asas dan Program kerja
yang disetujui oleh kongres yang diadakan pada tahun 1917. Program kerja dibagi atas 8 bagian,
yaitu:
Masalah politik, Sarekat Islam menuntut berdirinya dewan-dewan daerah, perluasan hak-hak
Volksraad dengan tujuan untuk mentransformasikannya menjadi suatu lembaga perwakilan yang
sesungguhnya untuk keperluan legislatif.
Dalam bidang pendidikan, partai menuntut penghapusan peraturan yang mendiskriminasikan
penerimaan murid di sekolah-sekolah.
Dalam bidang agama, partai menuntut dihapuskannya segala bentuk undang-undang dan
peraturan yang menghambat penyebarluasan ajaran agama Islam, pembayaran gaji kyai dan
penghulu, subsidi bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam dan pengakuan hari-hari besar Islam.
Sarekat Islam menuntut dalam hal pemisahan kekuasaan yudikatif dan eksekutif, dan
menganggap perlu dibangun suatu hukum yang sama bagi menegakkan hak-hak yang sama
diantara golongan penduduk negeri.
Dalam bidang agrarian dan pertanian, menuntut penghapusanparticuliere landrijen (milik tuan
tanah), dan dengan mengadakan ekspansi serta perbaikan irigasi.
Dalam bidang industry, menuntut agar industri-industri yang sangat penting agar
dinasionalisasikan industry-industri yang bersifat monopoli dan memenuhi pelayanan dan
barang-barang pokok bagi rakyat banyak.
Dalam bidang keuangan dan perpajakan, partai menuntut adanya pajak-pajak berdasarkan
proposianal serta pajak-pajak yang dipungut terhadap laba perkebunan. Partaipun menuntut
adanya bantuan pemerintah bagi perkumpulan koperasi.
Dalam bidang sosial, partai menuntut hendaknya pemerintah memerangi minuman keras dan
candu, perjudian dan prostitusi, melarang penggunaan tenaga anak-anak, mengeluarkan
peraturan perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja serta menambah jumlah poliklinik
secara gratis.
Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini
Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan untuk
meningkatkan perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang mengalami

kesulitan ekonomi serta mengembangkan kehidupan religius dalam masyarakat Indonesia.
Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober 1917. Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29
September hingga 6 Oktober 1918 di Surabaya. Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan
jika Belanda tidak melakukan reformasi sosial berskala besar, SI akan melakukannya sendiri di
luar parlemen.
3. Persatuan Islam (Persis)
a. Sejarah
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal
abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir
sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan
(kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh
suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat
Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam.
Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada
gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk
melakukan pembaharuan Islam.
Persatuan Islam atau Persis didirikan oleh KH Zamzam di Bandung pada tanggal 17
September 1923, merupakan organisasi Islam yang bertujuan memberlakukan hukum Islam
berdasarkan Alquran dan Hadis, dan pada awalnya terbentuk pada masa penjajahan kolonial
Belanda dengan tidak berdasarkan kepentingan atau kebutuhan masyarakat, tetapi karena
terpanggil oleh kewajiban untuk menyampaikan risalah dari Allah SWT. Nama persis ini
diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat
tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita
organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan
persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat
103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah
seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Ide dari pendirian organisasi Persis berasal dari pertemuan yang bersifat non-formal yang
dilakukan secara berkala di rumah salah seorang kelompok masyarakat, di dalam pertemuan
tersebut membicarakan berbagai permasalahan atau peristiwa yang terjadi atau yang sedang
dihadapi, termasuk membicarakan masalah keagamaan dan gerakan keagamaan pada umumnya,
dan pada saat itu KH Zamzam dan Muhammad Yunus mengemukakan pikiran-pikiran mengenai
gerakan organisasi Islam.
Pembentukan organisasi pergerakan Islam Persatuan Islam adalah sebagai bentuk
jawaban terhadap berbagai macam doktrin yang dapat merusak akidah umat Islam, sehingga
membangkitkan semangat para ulama untuk melawan dengan menggerakkan masyarakat dan
mengantisipasi terjadinya kemusyrikan yang banyak terjadi dan dipandang sebagai bentuk
pencemaran terhadap kemurnian ajaran Islam.
b.

Tokoh

Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H.
Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda
organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam
menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan,
para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan
pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis
mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan
selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang
oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum
Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh,
dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah
Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan
oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan
ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Persis menjadi terkenal atau mengalami kemajuan setelah A. Hasan, Muhammad Natsir,
dan Isa Anshary, menjadi tulang punggung dari gerakan Persatuan Islam, dengan tujuan
mengembalikan umat Islam kepada Alquran dan Hadis, menghidupkan ruh jihad dan ijtihad,
serta membasmi segala bentuk bid’ah, khurafat, takhyul, taqlid, dan syirik, dengan
menggerakkan dakwah kepada seluruh lapisan masyarakat, mendirikan Madrasah untuk anakanak, kursus pengajian untuk para pemuda, dan menyediakan kelas khusus untuk siswa yang
sekolah pada sekolah Belanda, menerbitkan risalah dan majalah “Pembela Islam” (1929-1933),
dan masih banyak lagi bentuk pergerakan lainnya yang dilaksanakan Persis dalam langkah
pencapaian tujuan gerakan tersebut.
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary,
kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada
berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya
berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam
Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (19831997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh
Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini
terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isuisu kontrofersial yang bersifat gebrakan shock therapy pada masa ini Persis cenderung ke arah
low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan
Sunnah.
Sepeninggalnya KH. Siddiq Amien (31 Oktober 2009), ketua umum Persis dipegang
oleh Prof. Maman Abdurrahman, penunjukkan ini dilakukan oleh Musyawarah Khusus PP
persis di Qarnul Manazil bandung yang dipimpin Majlis Penasehat PP. Persis. Muktamar ke XIV
di Tasikmalaya yang berlangsung pada tanggal 25-27 September 2010 untuk masa jihad 20102015.
c.

Corak Gerakan Pembaharuan

Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah.
Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuanpertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah
(pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan
lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek
kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain
pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari
pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul
Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku,
kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931),
majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah
Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai
majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan
rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik
atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undanganundangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Sejak mulai berdiri secara umum Persis kurang memberi penekanan pada kegiatan
organisasi dan tidak terlalu berminat untuk memperbanyak atau membentuk cabang atau
menambah jumlah anggota, karena pembentukan cabang tergantung dari inisiatif dari peminat,
tidak berdasarkan oleh suatu rencana yang dilakukan oleh pemimpin organisasi secara
berstruktur, atau dapat dikatakan pembentukan cabang dari organisasi Persis dilakukan secara
bebas sesuai dengan inisiatif dari anggota organisasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa gerakan Persis berdiri dengan landasan untuk
mengembalikan umat Islam kepada Alquran dan Hadis, karena pengaruh dari kolonial Belanda
yang menjadikan masa kebodohan bagi umat Islam, sehingga Persis merupakan bentuk aksi yang
bertujuan untuk merubah paradigma tersebut.
d.

Persatuan Islam Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya
yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan
ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan
oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran
keislaman.

4. Muhammadiyah
a) Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah
1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal
dengan KHA Dahlan . Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang
Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan
jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya

untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan
Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah
kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya
mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung
Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan
tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada
diseluruh pelosok tanah air.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana
saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11,
Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi
Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga
tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
b)

Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi
ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal
sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi
dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur
dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat
yang lebih maju dan terdidik (ini dibuktikan dengan jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki
Muhammadiyah yang berjumlah ribuan). Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang
bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia
dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan
perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al
Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Ayat tersebut, menurut para tokoh
Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam
secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup
berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang
mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Sebagai dampak
positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat
pendidikan di seluruh Indonesia.
1) Perkembanngan secara Vertikal
Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke
seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan organisasi NU,

2)

a.
b.
c.
d.
e.
f.

a.
b.

a.
b.
c.

d.
e.

Muhammadiyah sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan
jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha Muhammadiyah dalam
mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di kalangan masyarakat, sehingga banyak
menemui tantangan dari masyarakat.
Perkembangan secara Horizontal
Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak
berkembang, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Perkembangan Muhamadiyah
dalam bidang keagamaanterlihat dalam upaya-upayanya, seperti terbentukanya Majlis Tarjih
(1927), yaitu lembaga yang menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara tetap
mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan, serta
memberi tuntunan mengenai hukum. Majlis ini banyak telah bayak memberi manfaat bagi
jamaah dengan usaha-usahanya yang telah dilakukan:
Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai dengan contoh yang telah
diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya dengan jalan perhitungan
“hisab” atau “astronomi” sesuai dengan jalan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Mendirikan mushalla khusus wanita, dan juga meluruskan arah kiblat yang ada pada amasjidmasjid dan mushalla-mushalla sesuai dengan arah yang benar menurut perhitungan garis lintang.
Melaksanakan dan menyeponsori pengeluaran zakat pertanian, perikanan, peternakan, dan hasil
perkebunan, serta amengatur pengumpulan dan pembagian zakat fitrah.
Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan keluarga berencana.
Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia juga termasuk peran dari kepeloporan
pemimpin Muhammadiyah.
Tersusunnya rumusan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita hidup Muhammadiyah”, yaitu suatu
rumusan pokok-pokok agama Islam secara sederhana, tetapi menyeluruh.
Dalam bidang pendidikan, usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi:
mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya ilmu-ilmu keagamaan,
dan
mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan
umum.
Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan ilmu umum.
Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama.
Dalam bidang kemasyarakatan, usaha-usaha yang telah dilakukan Muhammadiyah
meliputi:
Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan, membangun balaibalai pengobatan, rumah bersalin, apotek, dan sebagainya.
Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim, baik putra maupun putri untuk menyantuni mereka.
Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku yang banyak memublikasikan
majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang sangat membantu penyebarluasan paham-paham
keagamaan,