Kajian ekofisiologi tanaman semusim penyusun agroforestri pada beberapa zona agroklimat di DAS Ciliwung Hulu

KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM
PENYUSUN AGROFORESTRI PADA BEBERAPA
ZONA AGROKLIMAT DI DAS CILIWUNG HULU

ABD. HARIS BAHRUN

Ds

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Kajian Ekofisiologi Tanaman
Semusim Penyusun Agroforestri pada beberapa Zona Agroklimat di DAS
Ciliwung Hulu” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan
belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Abd. Haris Bahrun
NIM. A156010081

ABSTRACT
ABD. HARIS BAHRUN. An Eco-Physiological Study of Seasonal Crops that
Form Agroforestry in Some Agroclimate Zones on the Upstream Watershed of
Ciliwung. Under Supervisor of M.A. CHOZIN as a chairman, HADI SUSILO
ARIFIN and DUDUNG DARUSMAN as members of the advisory committee.
The study consists of three major experiments, namely: the identification
and analysis of planting patterns; eco-physiological assessment of seasonal crops;
and analysis of land productivity and financial analysis of the agroforestry system
in some agro-climate zones.The research objectives were to analyze planting
patterns and vegetations that create agroforestry as well as the characteristics of
microclimate in some agro-climate zones;examine the eco-physiological
characteristics of seasonal crops under different levels of shading; determine the

productivity of land and make a financial analysis of agroforestry farming patterns
based on the composition and constituent species of agroforestry.
The study results of the first stage showed that the land cultivation of the
agroforestry system in the climate zone A was quite intensive. The annual crops
were cultivated 3-4 times during the planting period one year in the agroforestry
system, but 2-3 times in the agro-climate zone C. The combination of agroforestry
system with monoculture was more dominant in zone A (60.58%) and B
(57.75%) with a simple agroforestry pattern, whereas in zone C (41%) it was with
a complex agroforestry pattern. There were seven stands of perennial crops
suitable for the agroforestry pattern. The resulted analysis of micro-climate and
production found that four types of crops can be planted in the agroforestry
system: Lycopersicon esculentum Mill, Capsicum frustescens L, Colocasia
esculenta L and Zea mays L. saccharata.In the second experiment, the annual
crops from the selection in the first experiment were analyzed for ecophysiological characteristics. It was found that that the most suitable plants grown
with the agroforestry pattern were Lycopersicon esculentum Millin zone A;
Colocasia esculenta L. in zone A and B; Capsicum frustescens L. in zone B and
C; and Zea mays L. saccharata. in zone C. The characteristics that mostly
determined the tolerance of the annual crops to the shade were the high
interception of solar radiation, the coefficient of light and darkness as well as
increased levels of chlorophyll a and b, the reduced ratio of chlorophyll a/b. Some

physiological characteristics of plants were found to be related to the efficiency in
the capture and use of solar radiation intensity, which include: photosynthesis rate,
Photosyntetic Active Radiation(PAR), stomata conductance and CO 2 internal.
The results of the third-stage experiment showed that the agroforestry systems in
three agro-climate zones were technically and economically feasible based on the
land productivity and financial analyses. In the agro-climate zone A, that is, the
agroforestry system with cinnamon stands the composition and the best annual
crops were carrot and tomato. In zone B with albazia stands, the best crops were
taro and chili pepper. Zone C consisted of mindi timber stands and sweet corn.
Key words: agroforestry, agroclimate zones,
characteristics, watershed

micro-climate, physiological

RINGKASAN
ABD. HARIS BAHRUN. Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun
Agroforestri pada beberapa Zona Agroklimat di DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing
olehM.A. CHOZIN (Ketua Komisi), HADI SUSILO ARIFIN, dan DUDUNG
DARUSMAN (Anggota Komisi Pembimbing).
Lahan kering merupakan salah satu lahan yang potensial

untuk
pengembangan komoditi pertanian, diperkirakan sekitar 124 juta hektar di daratan
Indoensia. Umumnya dijumpai di bagian hulu dan tengah daerah aliran sungai
(DAS) dengan lereng yang curam, tanahnya kurang subur dan dangkal.
Agroforestri merupakan sistem dan teknologi penggunaan lahan yang
mengkombinasikan produksi tanaman pangan dan tegakan pohon pada unit lahan
yang sama. Agroforestri adalah pola usahatani produktif yang tidak saja
mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi. Sistem ini
diharapkan dapat mengintegrasikan teknologi budidaya pertanian dan kehutanan.
Sehingga diperoleh sistem pengelolaan lahan di DAS yang optimal, mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memperkecil degradasi lahan
dan meningkatkan fungsi hidrologis lahan. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai
zona agroklimat dan kombinasi tanaman dalam sistem agroforestri, merupakan
suatu hal yang mutlak diperhatikan.
Penelitian terdiri dari 3 bagian utama, yaitu (1)inventarisasi dan analisis
pola tanam sistem agroforestri di beberapa zona agroklimat (2) Kajian ekofisologi
tanaman semusim sistem agroforestri pada beberapa zona agroklimat (3) analisis
produktivitas lahan dan analisis finansial sistem agroforestri diberbagai zona
agroklimat. Penelitian bertujuan untuk menganalisis kondisi eksisting pola tanam
sistem agroforestri pada setiap zona agroklimat dan menganalisis karakteristik

iklim mikro terhadap respon tanaman dan pola tanam usahatani agroforestri;
menganalisis respon morfo-fisiologi tanaman berdasarkan perbedaan zona
agroklimat dan menganalisis kesesuaian tanaman terhadap naungan pada pola
tanam agroforestri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan lahan pada
sistem agroforestri di zona iklim A dan zona B, dilakukan dengan cukup intensif.
Tanaman semusim diusahakan pada satu tahun periode tanam sebanyak 3-4 kali,
sedangkan pada zona agroklimat C diusahakan 2-3 kali setahun periode tanam.
Karakteristik iklim mikro di bawah tegakan tanaman, mempengaruhi pola tanam
agroforestri di setiap zona agroklimat. Kombinasi agroforestri sistem monokultur
lebih dominan dilakukan di zona A (60.58%) dan zona B (57.75%), dengan pola
agroforestri sederhana, sedangkan pada zona C (41%) dengan pola agroforestri
kompleks. Terdapat 7 (tujuh) tegakan tanaman tahunan yang sesuai untuk pola
agroforestri yaitu Cinamomum burmanii, Pinus merkusii, Maesopsis eminii,
Agathis damara, Paraserianthes falcataria (L.), Toono sureni dan Melia
azedarach. Tanaman semusim yang dapat dikembangkan untuk tanaman
agroforestri adalah Alium fistulosum L. Brassica oleraceae L., Capsicum frustescens
L, Colocasia esculenta L, Daucus carota L., Ipomea batatas (L.) Lam,
Lycopersicon esculentum Mill, Phaseolusvulgaris dan Zea mays saccharata sturt.
Hasil analisis iklim mikro dan produksi tanaman semusim, tanaman yang paling
sesuai ditanam dengan pola agroforestri di zona A adalah Lycopersicon esculentum


Mill , Zona A dan B adalah Colocasia esculenta L, di zona B dan C adalah Capsicum
frutescens L., sedangkan pada zona C adalah Zea maysL. saccharata.

Hasil penelitian pada tahap kedua
menunjukkan bahwa terdapat
keragaman karakter morfo-fisiologi tanaman semusim pada perbedaan tingkat
naungan dan zona agroklimat. Karakter yang paling menentukan sifat toleransi
tanaman semusim terhadap naungan N2 (intensitas radiasi surya 120-230
kal/cm2/hari) adalah tingginya intersepsi radiasi surya, koefisien penyirnaan serta
meningkatnya kadar klorofil a dan b. Peningkatan klorofil b lebih tinggi
dibanding klorofil a yang ditunjukkan dengan penurunan ratio klorofil a/b.
cekaman naungan pada sistem agroforestri berdampak kepada perbedaan
keragaman karakter morfo-fisiologi tanaman semusim pada berbagai tingkat
naungan dan zona agroklimat. Karakter yang paling menentukan sifat toleransi
tanaman semusim terhadap naungan adalah tingginya intersepsi radiasi surya,
koefisien penyirnaan serta meningkatnya kadar klorofil a dan b. Peningkatan
klorofil b lebih tinggi dibanding klorofil a yang ditunjukkan dengan penurunan
ratio klorofil a/b. Titik kritis untuk pengembangan tanaman semusim secara
agroforestri diperoleh pada naungan N2 (intensitas radiasi surya 120-230

kal/cm2/hari). Terdapat beberapa karakter fisiologi tanaman yang terkait dengan
efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas radiasi surya yang meliputi: laju
fotosisintesis, Photosyntetic Active Radiation (PAR), konduktan stomata dan CO 2
internal.
Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa sistem agroforestri pada
tiga zona agroklimat (A, B, C), di DAS Ciliwung hulu layak secara teknis maupun
ekonomis berdasarkan indikator nilai kesetaraan lahan (NKL) dan analisis
kelayakan ekonomi. Pada zona agroklimat A dengan sistem agroforestri tegakan
kayu manis, komposisi dan jenis tanaman semusim yang terbaik adalah wortel +
tomat, nilai NKL pada perlakuan N0 = 1.55 dan N2 = 159. Zona agroklimat B
dengan sistem agroforestri tegakan kayu albizia, komposisi dan jenis tanaman
semusim yang terbaik adalah tanaman talas + cabai rawit, nilai NKL pada
perlakuan N0 = 1.64 dan N2 =165, Pada zona agroklimat C dengan sistem
agroforestri tegakan kayu mindi, komposisi dan jenis tanaman semusim yang
terbaik adalah talas + jagung manis, nilai NKL pada perlakuan N0 = 2.20 dan N2
= 2.27. Hasil analisis finansial pada zona A terlihat pola usahatani Kayu Manis +
Wortel + Tomat adalah yang terbaik dengan NPV Rp 9.101.318, BCR = 2.89 dan
IRR 49%. Pada zona B terlihat pola agroforetri Kayu Albizia + Cabai Rawit +
Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dibanding 2
skenario lainnya, yaitu NPV Rp. 10.865.887, BCR= 2.96 dan IRR= 52%. Hasil

analisis kelayakan pada zona C terlihat pola usahatani Kayu Mindi + Jagung +
Talas menghasilkan hasil kriteria kelayakan finansial lebih baik dengan NPV=
Rp. 8.849.687, BCR 2.93 dan IRR = 57%.
Kata Kunci:

analisis finansial, morfo-fisiologi, produktivitas lahan, tanaman
semusim, zona agroklimat.

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan
atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB

KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM

PENYUSUN AGROFORESTRI PADA BEBERAPA
ZONA AGROKLIMAT DI DAS CILIWUNG HULU

ABD. HARIS BAHRUN

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr. Ir. Sudradjat, M.Sc.
Dr. Ir. Edi Santosa, M.Si.
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
Dr. Ir. Christine Wulandari, M.Sc.


Judul Disertasi

: Kajian Ekofisiologi Tanaman Semusim Penyusun
Agroforestri pada Beberapa Zona Agroklimat di DAS
Ciliwung Hulu

Nama

: Abd. Haris Bahrun

NIM

: A156010081

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. M. Ahmad Chozin, M.Agr.
Ketua


Prof. Dr. Ir. H. Hadi Susilo Arifin, M.S.
Anggota

Prof. Dr. Ir. H. Dudung Darusman, M.A.
Anggota

Diketahui :
Ketua Program Studi
Agronomi

Dekan Sekolah Pasacasarjana

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 18

Januari 2012

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Rabbul Alamien karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Disertasi ini menguraikan hasil penelitian tentang Kajian Ekofisiologi Tanaman
Semusim Penyusun Agroforestri pada Beberapa Zona Agroklimat di DAS
Ciliwung Hulu. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. M.A. Chozin, M.Agr. (Ketua komisi pembimbing), Prof.
Dr. Ir. H. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Prof. Dr. Ir. H. Dudung Darusman,
M.A, (Anggota komisi pembimbing). Selaku komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan motivasi mulai dari
perencanaan dan pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan
disertasi ini.
2. Pimpinan beserta staf Institut Pertanian Bogor yang telah berkenan
menerima penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor.
3. Pimpinan beserta staf Universitas Hasanuddin yang telah mengizinkan dan
merekomendasikan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor.
4. Departemen Pendidikan Nasional (Dirjen DIKTI), yang telah memberikan
bantuan beasiswa selama mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB.
5. Proyek kerjasama Core University Program

IPB - Tokyo University

(Research Unit of Biological Resources Development/ RUBRD-JSPS
DGHE) Periode 2003-2008, Judul: Landscape Ecological Studies on
Sustainable Bioresources Management in Rural Indonesia dan Hibah
Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP-Hibah Penelitian Tim Pasca) DP2M,
DIKTI Angkatan IV periode 2006-2008 Depdiknas, Judul: Harmonisasi
Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa Kota Kawasan
Bogor-Puncak-Cianjur (BOPUNJUR). Penelitian ini merupakan bagian
dari payung penelitian di bawah koordinasi Prof Dr. Hadi Susilo Arifin,
M.S.

6. Hibah Penelitian Program Doktor dari Dirjen DIKTI, Pemerintah Daerah
Sulawesi Selatan dan Beasiswa Toyota Astra yang telah membantu
membiayai penelitian ini.
7. Pimpinan beserta staf Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
(Balitklimat) Litbang-Deptan, staf Laboratorium Ekofisiologi IPB, staf
Jurusan Agroklimat IPB, aparat pemerintahan dan kelompok tani di
kawasan DAS Ciliwung, BPDAS Ciliwung-Cisadane, yang telah
membantu memfasilitasi peralatan, data-data agroklimat

serta lahan

penelitian.
8. Seluruh keluarga, terkhusus kapada kedua orang tua, mertua, adik, istri
dan anak-anak yang tercinta, yang telah memberikan bantuan dan motivasi
untuk penyelesaian studi.
9. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan rekan
yang tergabung dalam forum Mahasiswa Pascasarjana se Indonesia
(Forum Wacana Indonesia) serta semua

pihak yang telah membantu

selama penulis mengikuti pendidikan di IPB.
Semoga bimbingan dan bantuan yang telah diberikan mendapat nilai ibadah
yang diterima oleh Allah SWT, dan disertasi ini

dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pertanian. Amin.
Bogor, Januari 2012

Abd. Haris Bahrun

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Gowa-Sulawesi Selatan pada tanggal
11 Agustus 1967 sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara dari ayah H. Bahrun
Sibali (Alm) dan ibu Hj. Saribina (Alm). Penulis menikah dengan Andi Akmawati
Burhanuddin dan telah dikaruniai empat orang anak: A. Mutiah Amalia, A.
Yustika Afifah, A.H. Zalzabila (alm) dan A. Anugerah A.Amanagappa.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian dan kehutanan Universitas Hasanuddin Kota Makassar, lulus pada tahun
1993. Tahun 1996 melanjutkan studi Magister pada Program Studi Agronomi
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), selesai Januari 1999. Sejak tahun
2001 penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor pada Departemen
Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB dengan Beasiswa Bantuan Pendidikan
Program Doktor (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia.
Penulis menjadi asisten dosen di Universitas Hasanuddin tahun 1990-1993
dengan Tunjangan Ikatan Dinas (TID). Mulai tahun 1994 sampai sekarang
menjadi dosen tetap pada Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin - Makassar.
Sebagian isi dari disertasi ini telah dipresentasikan dan dipublikasikan pada
1.

International Seminar of Toward Harmonization between Development and
Environmental Conservation in Biological Production. 28-29 February 2008
in Tokyo, Japan, and FAO Forest Meeting, 21-26 April 2008 in Hanoi,
Vietnam.

2.

National Seminar and General Meeting “Agroforestry Education Strategy
for Global Climate Change”, 3-5 March 2008, in Sebelas Maret Univ.
Surakarta.

3.

Jurnal Agrivigor, Volume 7, nomor 1 Desember 2007 (Jurnal Akreditasi
Nasional) Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin, Makassar.

4.

The 13th National Seminar of Persada: “Science, Technology and Art Based
for National Development Toward Autonomous Nation”, 9 August 2007 in
Fak. Kedokteran Hewan IPB Bogor.

5.

International Seminar of Agroforestry and Workshop, Second General
Meeting of INAFE, 7-8 February 2006, 6-7 February 2006 in Gadjah Mada
Univ., Yogyakarta.

6.

International Seminar : “Toward Harmonization between Development and
Enviromental Conservation in Biological Production” Cilegon-Banten 3-5
December 2004.

7.

International

Seminar

:

“Toward

Rural

and

Urban

Sustainable

Communities: Restructuring Human – Nature Interaction”, Bandung 6 – 7
Januari 2004.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……........................................................................

xvi

DAFTAR GAMBAR …….....................................................................

xviii

DAFTAR LAMPIRAN …….................................................................

xx

PENDAHULUAN
Latar Belakang ……....................................................................
Perumusan Masalah …….............................................................
Tujuan Penelitian …….................................................................
Hipotesis …….............................................................................
Manfaat Penelitian ……...............................................................

1
5
7
8
8

TINJAUAN PUSTAKA
Kendala dan Potensi Pemanfataan Lahan Kering pada
Produksi Pertanian ……......................................................................
Peningkatan Produksi Pertanian melalui Sistem Agroforestri ……....
Pola Pengembangan Lahan Pertanian di Daerah Aliran Sungai …….
Zona Agroklimat dan Adaptasi Tanaman pada
Sistem Agroforestri …………………………………………….........
Adaptasi Tanaman Terhadap Cahaya Rendah …….........................

10
12
15
19
24

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS POLA TANAM SISTEM
AGROFORESTRI DIBEBERAPA ZONA AGROKLIMAT
Abstrak ……...............................................................................
Latar Belakang ……....................................................................

26
26

Bahan dan Metode …………………………………………………..
Tempat dan Waktu ……...............................................................
Metode Percobaan ……………………………………………….......
Peubah yang Diamati ……...........................................................

26
28
28
29

Hasil dan Pembahasan ………………………………………………
Analisis Biofisik dan Pola Tanam Agroforetri …….........................
Sistem Agroforestri di beberapa Zona Agroklimat ……...................

31
31
43

Simpulan …………………………………………………………….

50

KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN SEMUSIM PADA SISTEM
AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT
Abstrak ……...............................................................................
Latar Belakang ……....................................................................

51
51

Bahan dan Metode …………………………………………………..
Tempat dan Waktu ……...............................................................
Metode Percobaan ……................................................................
Peubah yang Diamati ……..........................................................

53
53
53
54

Halaman
Hasil dan Pembahasan ………………………………………………

56

Karateristik Iklim Mikro pada Berbagai Zona Agroklimat ………....
Kondisi umu tanaman pada berbagai tingklat naungan di beberapa
zona agroklimat …………………………….………………….........
Respon Morfo-fisiologi Tanaman terhadap naungan di Berbagai
Zona Agroklimat …………………………………………………......
Analisis Kesesuaian Tanaman untuk Sistim Agroforestri di Berbagai
Zona Agroklimat ……………………..................................................

56

Simpulan ……………………………………………………………..

75

60
63
73

ANALISIS PRODUKTIVITAS LAHAN DAN ANALISIS FINANSIAL
SISTEM AGROFORESTRI DI BERBAGAI ZONA AGROKLIMAT
Abstrak ……………………………………………………………….
Latar Belakang ………………………………………………………

76
76

Bahan dan Metode ……………………………………………………

76

Tempat dan Waktu …………………………………………………..
Metode Percobaan ……………………………………………….......
Peubah yang Diamati ……...........................................................

81
81
82

Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….

83

Analisis Ratio Kesetaraan Lahan ……………………………….......
Analisis Finansial Usahatani Sistem Agroforetri ……………………

83
87

Simpulan . ……………..……………………………………………..

93

PEMBAHASAN UMUM ……....................................................................

94

SIMPULAN DAN SARAN …….................................................................

101

DAFTAR PUSTAKA ……..........................................................................

102

DAFTAR TABEL
Halaman

1

Deskripsi nilai rata-rata unsur iklim pada perbedaan zona agroklimat..
32

2 Peruntukan lahan dan luas DAS Ciliwung Tahun 2007…………………

33

3

Penggunaan lahan dan luas peruntukan DAS Ciliwung Hulu
2007……………………………………………………………………

35

4

Perbandingan pola tanam pada system agroforestry pada setiap zona
agroklimat ………………………………………………………………

40

5

Jenis tanaman tahunan, pola tanam dan tanaman yang toleran terhadap
naungan pada berbagai zona agroklimat …………………………….

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Hasil relatif (% terhadap kontrol) beberapa tanaman semusim dengan
sistem agroforetri pada perlakuan naungan N2 (50%) di zona
agroklimat A, B dan C ………………………………............................
Rata rata kondisi iklim mikro di bawah tegakan tanaman kehutanan
pada berbagai zona agroklimat ………………………………………
Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat A pada
perlakuan naungan N0,N1 dan N2…………………………………….
Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat B
pada perlakuan naungan N0,N1 dan N2 ………………………………..
Respon fisiologi beberapa tanaman semusim di zona agroklimat C pada
perlakuan naungan N0,N1 dan N2………………………………………
Produksi tanaman semusim pada berbagai tingkat naungan dan zona
agroklimat……………………………………………………………..
Produksi tanaman wortel dan tomat dengan sistem monokultur dan
tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat A…………..
Produksi tanaman talas dan cabe rawit dengan sistem monokultur dan
tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat B ……………
Produksi tanaman talas dan jagung dengan sistem monokultur dan
tumpangsari pada sietem agroforetri di zona agroklimat C……………..

41

42

57

61

66

69

73

84

84

86

15

Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat A………

16

Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat B……….

17

Analisis finansial sistem agroforestri pada zona agroklimat C………

88
89
90

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Alur pikir penelitian ……………………………………………...........

9

2 Peta kemiringan lereng Ciliwung hulu 2007…………………………..

32

3 Peta Penggunaan lahan Ciliwung hulu 2007…………………………..

34

4 Peta Zona Agroklimat DAS Ciliwung dan lokasi pengambilan sampel
penelitian …………………………………………………………….

36

5 Jumlah curah hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat …….

37

6 Jumlah hari hujan di DAS Ciliwung pada tiga zona agroklimat……….

37

7 Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C)
di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat A …………

44

8 Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C)
di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat B …………

44

Rata-rata intensitas radiasi surya (kal/cm2 /hari) dan suhu udara (o C)
di bawah tegakan pohon tahunan antar zona agroklimat C ………….

44

9

10 Rata-rata kelembaban udara (%) pada berbagai zona agroklimat
(Zona A, B dan C).…………………………………………………….

46

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lahan kering merupakan salah satu lahan yang potensial

untuk

pengembangan komoditi pertanian. Hal ini didasari oleh luasnya mencapai 88,6
% dari total lahan di Indonesia dan belum dimanfaatkan secara optimal namun
memiliki prospek yang sangat besar untuk penyediaan pangan bagi masyarakat.
Ketersediaan lahan tersebut ditunjang oleh keanekaragaman tanaman yang dapat
tumbuh dengan fungsi sebagai pengganti makanan pokok beras ataupun sebagai
komplementer dan subtitusi makanan. Pemanfatan lahan secara optimal dan
berkelanjutan merupakan salah satu tujuan dari pembangunan pertanian.
Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan
basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan.
Lahan yang yang sesuai untuk budidaya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha
(52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan
sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar sampai
bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan
mencakup 23,26 juta ha sedang pada lahan dengan lereng15−30%, lebih sesuai
untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai
untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44
juta ha.

Sebagian besar lahan kering

tersebar pada dataran rendah yakni

hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran
tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl (39,35%) (Hidayat dan Mulyani,
2002; Adimihardja et al. 2005; Notohadiprawiro 200; Minardi 2009).
Pengembangan komoditi pangan dapat juga dilakukan pada lahan
kehutanan dengan syarat-syarat teknis dan kebijakan yang berlaku. Luas hutan di
Indonesia mencapai 180 juta hektar, namun sebagian besar hutan tersebut telah
mengalami deforestasi (kerusakan hutan) dan dalam kondisi rusak akibat bekas
area HPH (hak penguasaan hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya
sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari
deforestasi sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer (BPS Kehutanan
2010).
1

Lahan pertanian yang dapat ditanami hanya sekitar 60 juta ha atau 30 %
dari total luas lahan. Lebih dari 87 % dari total lahan pertanian atau lebih dari 52
Juta ha yang dapat ditanami adalah lahan kering, sedangkan 13 % sisanya berupa
lahan sawah. Jumlah sebesar 52 juta ha tersebut meliputi areal kebun/ladang,
tanaman perkebunan, semak belukar dan pepohonan serta lahan lahan yang belum
dimanfaatkan atau lahan bero.
Terdapat beberapa kendala yang kurang mendukung pada pengembangan
sistem usahatani di lahan kering diantaranya adalah (1) kendala dari segi fisik dan
kesuburan tanah yang sangat minim serta terbatasnya ketersediaan air sepanjang
tahun (2) topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi yang rawan, sehingga
laju infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi; (3) hujan yang tidak tersebar secara
merata, dan kemampuan tanah yang rendah untuk menyimpan air, (4) masih
terbatasnya dukungan paket

teknologi, laju perbaikan dan penyaluran paket

teknologi pada proses produksi berlangsung lambat; (5) terbatasnya prasarana,
jangkauan pelayanan dan kemudahan serta ketersediaan agroinput dan pemasaran
hasil sangat terbatas; (6) lokasi pengembangan yang tersebar, terpencil dengan
skala pengembangan yang ada umumnya tidak mencapai minimum skala
ekonomi, sehingga mempersulit pelayanan bimbingan dan penyuluhan; (7) benih
yang digunakan pada umumnya masih benih lokal dengan ciri umum berumur
panjang dengan produktivitas rendah (Las et al. 1997; Sitorus 2001; Kusmana
1988; Arsyad 2000).
Menurunnya laju produksi pertanian (pangan dan buah-buahan) pada
tahun terakhir ini, yang bersamaan dengan krisis ekonomi nasional dan regional,
menyebabkan pendapatan petani semakin rendah.
banyak kalangan untuk

Hal ini juga menyadarkan

mereformasi arah pembanguan

pertanian dengan

meletakkan sektor pertanian sebagai andalan penggerak pemulihan dan
pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan hal tersebut perlu dipertajam ruang
lingkupnya dengan memasukkan pemanfaatan sumberdaya lahan kering sebagai
sumber produksi pangan andalan,

melalui upaya yang terencana untuk

pertumbuhan sistem usaha pertanian intensif berkelanjutan.

2

Salah satu sistem usahatani yang mampu memperkecil kendala
pengembangan pertanian dilahan kering adalah dengan sistem agroforestri.
Agroforestri

merupakan

sistem

dan

teknologi

penggunaan

lahan

yang

mengkombinasikan produksi tanaman dan kehutanan pada unit lahan yang sama.
Agroforestri adalah pola usahatani produktif yang tidak saja mengetengahkan
kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi (Chozin 1995, Kusmarini 2002,
Arifin 2002 dan, Wijayanto 2002 dan Nair 1993). Sistem agroforestri dapat
menumbuhkan tanaman pada kondisi sub-optimum, menggantikan spesies/
varietas yang toleran terhadap naungan seperti talas-talasan (Chozin 2006).
Penerapan sistem agroforestri sebenarnya telah banyak diterapkan di
beberapa lokasi lahan kering yang berkemiringan curam, sekaligus sebagai
komplemen teknologi konservasi lahan. Sistem ini mampu memberikan
pendapatan yang cukup tinggi bagi masyarakat dan berkesinambungan karena
memiliki resiliensi yang tinggi (Darusman 2002). Kendala dalam pemanfaatan
lahan di bawah tegakan (agroforestri) adalah rendahnya intensitas radiasi surya,
yang berakibat pada proses pertumbuhan dan produksi.

Naungan dapat

mengurangi jumlah anakan, bobot kering tajuk, indeks luas daun dan hasil padi
gogo (Marler 1994; Murty dan Dey 1992; Ahmed 1990; Chozin 2006 dan Haris
et al. 1999).
Pengembangan sistem usahatani pada daerah aliran sungai (DAS)
diarahkan kepada pengelolaan lahan yang mempunyai efek ganda terhadap
keberlanjutan lingkungan. Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (lanskap)
yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi tanah
dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh
terhadap penggunaan lahan. Berdasarkan penggunaan lahan di DAS secara garis
besar dikelompokkan menjadi : hutan, tegalan, perkebunan sawah, permukiman
dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umumnya didasarkan
pada karakteriktik lahan dan daya dukung lingkungan yang ada.

Sistem

agroforestri merupakan salah satu sistem pertanaman yang mampu menjaga
kelestarian lingkungan. Sistem ini baik dikembangakan karena mempunyai
manfaat dari segi pelestarian, keanekaragaman jenis (biodiversity), unsur hara
(biogeokimia), fisik tanah, serta peningkatan tingkat pendapatan masyarakat.

3

Pencapaian sistem ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan
faktor lingkungan fisik, sosial-ekonomi dan teknologi secara terpadu. (Chozin
1995, Arifin et al. 2009, Darusman 2002 dan Widaningsih 1991).
Di beberapa daerah pada bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah
banyak diusahakan usahatani dengan kombinasi beberapa tanaman tahunan,
sedangkan pada daerah dengan kemiringan rendah umumnya diusahakan tanaman
pangan dan palawija atau tanaman makanan ternak. Pengelolaan lahan kering,
khususnya di sekitar DAS dengan sistem agroforestri sangat diperlukan sebagai
sumberdaya pembangunan yang memiliki potensi strategis antara lain : (1) lahan
kering merupakan luasan terbesar dari wilayah budidaya, (2) lahan kering dapat
memasok sebagai besar komoditas andalan (3) lahan kering mempunyai
keanekaragaman komoditas untuk pengembangan agroindustri (Widaningsih
1991; Suhara 1991 dan Badrun 1998)
Agar pembangunan pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan, maka
usahatani yang dilaksanakan harus memperhatikan daya dukung lahan dan
kesesuaian lahan untuk komoditas yang diusahakan, supaya lahan tidak cepat
terdegradasi. Untuk itu perlu pengelolaan tanah dan usahatani yang bersifat
spesifik sesuai zona agroklimat untuk pertumbuhan tanaman. Teknologi sistem
usahatani konservasi di DAS yang dapat mengendalikan erosi tanah pada lahan
kering, khususnya di bagian hulu. Terdapat 4 (empat) komponen dalam teknologi
sistem usahatani konservasi yaitu (1) teknologi pengawetan tanah dan air, (2)
pola tanaman tahunan yang mendukung kegiatan konservasi tanah dan air, (3)
pola tanam semusim yang dikombinasikan dengan tanaman tahunan. (Sinukaban
2003; Sitorus 2001; Fagi et al. 1988).
Pola tanam dengan sistem agroforestri yang selama ini dilakukan oleh
masyarakat belum didasarkan pada pertimbangan keberlanjutan suatu usahatani,
tetapi hanya sebagai usaha sampingan yang belum dikelola secara optimal.
Beragamnya jenis tanaman yang diusahakan petani, serta belum adanya pola
pertanaman agroforestri yang optimal, khususnya di DAS, maka diperlukan
adanya model pengembangan agroforestri yang mempunyai produktivitas tinggi
dan berkelanjutan berdasarkan zona agroklimat. Faktor paling dominan untuk
menentukan zona agroklimat adalah iklim yang banyak ditentukan oleh ketinggian

4

tempat di atas permukaan laut (elevasi)

dan curah hujan. Hal ini sangat

diperlukan untuk mengetahui produksi optimal dari jenis dan kombinasi tanaman
yang tepat. Disamping itu akan diperoleh waktu tanam tepat yang produksinya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar, sehingga komoditas tersebut bernilai
ekonomi tinggi.
Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan
petani pada sistem agroforestri, diantaranya dengan mengusahakan tanaman
semusim dan tahunan dengan jenis yang berproduktivitas tinggi serta bernilai
ekonomi tinggi. Saat ini masih sedikit program pemerintah, baik penelitian
ataupun paket-paket teknologi dalam pemanfaatan lahan kering untuk
pengembangan sistem agroforestri, karena masih terbatasnya informasi tentang
pelaksanaan

sistem agroforestri yang optimal.

Berdasarkan hal tersebut

diperlukan adanya kajian pemanfaatan lahan kering, yang mencakup interaksi
unsur iklim, ekofisiologis tanaman, kesesuaian agroklimat, analisis usahatani,
serta

analisis keberlanjutannya.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka

penelitian tentang kajian ekofisiologi tanaman semusim penyusun agroforetsri
pada beberapa zona agroklimat, diharapkan dapat memberikan solusi yang terbaik
untuk pengelolaan sistem agroforestri khususnya di daerah aliran sungai yang
sangat rentan terhadap degradasi lahan (Gambar 1).

Perumusan Masalah
Pengelolaan lahan kering yang kurang tepat atau tidak optimal di Daerah
Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan dampak kerusakan ekosistem.
Pemanfaatan DAS sangat beragam dan kompleks mulai dari hulu hingga hilir,
sehingga jika pengelolaannya tidak optimal sebagai sumber daya air di produksi
maka akan berdampak negatif. Salah satu dampak yang ditimbulkan adanya
berkurangnya bahan organik tanah, erosi, sedimentasi dan penurunan kualitas
serta kuantitas air. Sistem usahatani yang tidak memperhatikan aspek pengawetan
tanah dan air merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan atau
degradasi lahan.
Degradasi lahan dapat berdampak terhadap menurunnya produktivitas
lahan, karena itu diperlukan pengetahuan yang optimal. Pengelolaan

lahan di
5

DAS sangat terkait dengan aspek-aspek sumberdaya manusia (petani), teknologi,
sumberdaya tanah dan air serta aspek soial-ekonomi yang ada di masyarakat.
Penggunaan lahan umumnya didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung
lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dikaji melalui proses evaluasi
lahan untuk berbagai penggunaannya.
Tingginya tingkat kerusakan lahan erat kaitaannya dengan desakan
kebutuhan ekonomi masyarakat dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk,
yang tidak disertai dengan perluasan areal pertanian.

Masyarakat semakin

terdesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga melakukan usahatani
di DAS untuk memperoleh produk pertanian yang berproduksi dengan cepat
diantaranya tanaman semusim. Untuk mengurangi tingkat kerusakan lahan dan
penebangan tanaman tahunan maka salah satu pola tanam yang telah banyak
diterapkan adalah sistem agroforestri, sistem ini merupakan sistem pertanaman
antara tanaman pangan (semusim) dengan tanaman tahunan (kehutanan), yang
juga banyak dijumpai di DAS. Sistem agroforestri

diharapkan mampu

meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani serta penggunaan lahan
yang optimal (pendapatan maksimal dengan resiko lingkungan minimal) di lahan
kering.
Sistem agroforestri diharapkan petani dapat mengintegrasikan teknologi
budidaya pertanian dan kehutanan. Sehingga diperoleh sistem pengelolaan lahan
di DAS yang optimal, dengan demikian mampu meningkatkan

pertumbuhan

ekonomi masyarakat, memperkecil degradasi lahan dan meningkatkan fungsi
hidrologis lahan. Pemilihan jenis tanaman yang sesuai zona agroklimatnya dan
kombinasi tanaman dalam sistem agroforestri, merupakan suatu hal yang mutlak
diperhatikan di dalam sistem usahatani di DAS.

Penerapan ini diperlukan

pertimbangan kondisi kesesuaian lahan, waktu tanam dan ketersediaan air bagi
tanaman selama masa kritis pertumbuhan dan produksi.
Terdapat beberapa aspek penelitian yang dilakukan untuk menjawab
berbagai masalah pada sistem usahatani di lahan kering. Diantaranya adalah
aspek analisis pemanfaatan lahan kering melalui penyesuaian berbagai pola tanam
dan usahatani, ini didasari karena masih minimnya pedoman sistem pola tanam
yang tepat diterapkan

di lahan kering khususnya di DAS.

Hal lain yang

6

dilakukan adalah mengetahui perbedaan respon pertumbuhan tanaman terhadap
perbedaan tingkat naungan/ karakteristik iklim mikro pada setiap zona agroklimat
Pada aspek ini juga dianalisis vegetasi penyusun dan komposisi

sistem

agroforestri serta karakter ekofisiologinya.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bersifat sangat strategis karena menyangkut keberlanjutan
sistem pengelolaan lahan kering di wilayah DAS, melalui penerapan teknik pola
tanam yang bertujuan melakukan kajian ekofisiologi tanaman semusim penyusun
agroforestri pada beberapa zona agroklimat di DAS Ciliwung.

Secara khusus

penelitian ini bertujuan:
1. Menganalisis pola tanam

dan vegetasi penyusun agroforestri serta

karakteristik iklim mikro pada beberapa zona agroklimat
2. Menganalisis respon morfo-fisiologi tanaman semusim

penyusun

agroforestri pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimat.
3. Menganalisis produktifitas

lahan dan analisis finansial usahatani pola

agroforestri berdasarkan komposisi dan jenis tanaman penyusun
agroforestri.

Hipotesis
1. Terdapat perbedaan pola tanam, penyusun agroforestri dan karakteristik
iklim mikro pada beberapa zona agroklimat.
2. Terdapat perbedaan respon morfo-fisiologi tanaman semusim penyusun
agroforestri pada beberapa tingkat naungan dan zona agroklimat.
3. Berdasarkan produktifitas lahan dan analisis finansial diperoleh sistem
agroforestri yang terbaik berdasarkan komposisi dan jenis untuk setiap
zona agroklimat.

7

Manfaat Penelitian

1. Sebagai pedoman atau landasan penerapan sistem agroforestri dengan
komposisi dan jenis tanaman semusim dan tahunan yang terbaik pada
setiap zona agroklimat.
2. Dasar pertimbangan untuk mengusahakan usahatani sistem agroforestri
dengan mengetahui karakteristik iklim mikro dan karakter ekofisiologi
tanaman semusim pada perbedaan tingkat naungan dan zona agroklimat.
3. Dapat menjadi model untuk perencanaan sistem usahatani agroforestri
yang lebih produktif berdasarkan ratio

kesetaraan lahan dan analisis

finansial usahatani disetiap zona agroklimat.

8

Alur Penelitian
Kajian Ekofisologi Tanaman Semusim Penyusun Agroforestri Pada Beberapa Zona Agroklimat

Tahap I

Tahap II

Tahap III

Kondisi Eksisting
dan Iklim

Morfo-fiosologi

Produktivitas lahan
dan analisis finansial

• Interpretasi peta Peta DAS Ciliwung :
Peta Penutupan lahan, penggunaan lahan
dan Peta iklim
• Karakteristik usaha tani agroforestri
• Klasifikasi jenis tanaman agroforestri
(tanaman tahunan dan semusin)

• Adaptasi tanaman toleran naungan pada
zona agroklimat
• Respon morfologi dan fisiologi tanaman
• Karakteristik fisiologi tanaman toleran
naungan
(Laju fotosintesis, CO2 internal, konduktan
stomata, laju transpirasi dan PAR)
• Kesesuaian tanaman pada sistem
agroforestri pada beberapa zona agroklimat

• Pola tanam agroforestri
• Analisis produktivitas Lahan
• Analisis finansial usaha tani







Zona agroklimat
Iklim mikro Agroforestri
Karakteristik sistem agroforestri
Seleksi tanaman toleran naungan
Batas minimal tingkat naungan

• Karakterteristik/respon fisiologi
dan tanaman toleran naungan
• Kesesuaian tanaman dan efisiensi
penggunaan radiasi surya

• Pola agroforestri masing masing
zona agroklimat
• Efisiensi usaha tani Agroforestri

Rekomendasi pola tanam agroforestri pada setiap zona agroklimat

Gambar 1. Diagram alur penelitian
9

TINJAUAN PUSTAKA

Kendala dan potensi pemanfataan lahan kering untuk produksi pertanian
Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk bukan sawah
yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai
(DAS), sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah
kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber
air.

Pengembangan

pertanian

lahan

kering

seringkali

menghadapi

berbagai kendala, seperti fisik, kimia dan biologi tanah serta ketersediaan
air, yang semuanya menyebabkan produktivitasnya sangat rendah. Lahan
kering dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) jenis penggunaan, meliputi usaha
tani lahan kering (tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak diusahakan,
tanah hutan rakyat dan perkebunan) dan usaha tani lainnya (pekarangan/
bangunan, tanah rawa, tambak dan kolam/empang) (BPS 2009; Adimihardja
et al. 2005; Notohadiprawiro 2006 dan Minardi 2009).
Beberapa pengertian lahan kering diantaranya adalah lahan yang dalam
keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh tanah sepanjang tidak jenuh
air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di bawah kapasitas lapang.
Kelembaban tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca, fisiografis dan
edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas daratan di Indoensia,
sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al. 1991; Kartono
1998).
Menurut Prasad dan Power (1997) lahan kering di Indonesia menurut
sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala sebagai berikut :
topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi yang rawan, sehingga laju
infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi; hujan yang tidak tersebar secara merata,
dan kemampuan tanah yang rendah untuk menyimpan air. Kaidah umum yang
dinyatakan untuk dikembangkan adalah lahan kering antara kemiringan 0-15
%. Secara ideal lahan kering untuk budidaya tanaman pangan terbatas pada
daerah dengan relatif datar hingga berombak (kemiringan < 8%). Namun di
atas kemiringan 8% perlu persyaratan-persyaratan penanggulangan erosi
(Kusmana 1988 dan Sitorus 2001).

10

Rendahnya kandungan bahan organik pada lahan kering merupakan
salah satu kendala dalam meningkatkan produktivitasnya. Sisa dari tanaman
yang tumbuh di atasnya serta kotoran hewan merupakan sumber utama bahan
organik (Brady 1990). Sumberdaya lahan kering dan air secara ekonomi
maupun fisik merupakan sumberdaya terbatas yang kemanfaataannya sangat
ditentukan oleh kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup layak. Kondisi fisik
lahan kering umumnya lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang
amat beragam karena ketersediaan, tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi
masih rendah dan ketersediaan modal sangat terbatas dan peka terhadap erosi.
Penggunaan air dalam bidang pertanian sampai saat ini masih mengandalkan
air yang bersumber dari curah hujan dengan sedikit dalam bentuk irigasi
(Momuat dan Wahid 1997; Badrun 1998).
Lahan kering umumnya dijumpai di bagian hulu dan tengah daerah
aliran sungai dengan lereng yang curam, tanahnya kurang subur dan dangkal,
sehingga menjadi kendala dalam pengembangan potensinya untuk usaha
pertanian. Lahan kering yang secara topografis umumnya terdapat di DAS
sangat mempengaruhi daur hidrologi dan fungsi DAS. Keanekaragaman
topografi menjadikan keragaman pada jenis tanah, kesuburan iklim mikro dan
vegetasi dalam wilayah yang sempit. (Partorahardjo et al. 1997; Arsyad
2000; Adimihardja et al. 2005 ).
Ciri penting dari pengelolaan sistem pertanian lahan kering di daerah
beriklim kering adalah pembukaan lahan umumnya dilakukan dengan cara
tebas bakar.

Pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembabatan dan

pembakaran serasah atau sisa-sisa tanaman; kondisi permukaan tanah relatif
terbuka sepanjang tahun; terbatasnya penggunaan pupuk dan bahan organik
serta bibit unggul; dan belum diterapkannya teknik konservasi (Solahuddin
dan Ladamay 1997)
Bentuk-bentuk konservasi sesuai dengan kondisi

lahan yang

diusahakan, untuk daerah lahan kering miring masalah erosi adalah faktor
utama yang menyebabkan lahan menjadi marjinal dan produktivitasnya
menjadi turun, maka usaha konservasi yang dilakukan adalah mengurangi laju

11

erosi yang terjadi dengan cara memperpendek panjang lereng dan tingkat
kemiringan lereng (Sitorus 2001).
Pengelolaan

lahan

kering

bertujuan

untuk

memantapkan

dan

melestarikan produktivitas serta mempertahankan keanekaragaman alami
masyarakat biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, pengawetan
tanah dan air. Pengembangan pertanian di lahan kering berpotensi untuk
swasembada pangan. Potensi tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lahan
kering yang tersebar cukup luas di Indonesia (Sinukaban 1994).

Sistem Agroforestri dan Optimalisasi Penggunaan Lahan
Agroforestri diartikan secara luas terhadap suatu sistem usaha tani
yang mengintegrasikan secara spatial atau temporal tanaman pohon-pohonan
di dalam produksi tanaman rendah atau ikan, pada sebidang tanah yang sama.
Agroforestri

merupakan

bentuk

penggunaan

lahan

yang

dapat

mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan
yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian
baik

secara bersama-sama atau secara bergilir dengan menggunakan

manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat
setempat. (King dan Chandler 1978; Wijayanto 2002; Widaningsih 1991;
Arsyad 2000 ; Arifin 2005).
Sistem usahatani agroforestri secara garis besarnya dikelompokkan
menjadi 2 (dua) yaitu : (1). Sistem agroforestri sederhana, merupakan
perpaduan satu jenis tanaman tahunan dan satu atau beberapa jenis tanaman
semusim. Jenis pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi seperti
kelapa, karet, cengkeh, jati dan lain lain; atau bernilai ekonomi rendah seperti
dadap, lamtoro, kaliandra. Tanaman semusim biasanya padi, jagung,
palawija, sayur-mayur dan rerumputan; atau jenis tanaman lain seperti pisang,
kopi, coklat. Contoh: budidaya pagar (alley cropping) lamtoro dengan padi
atau jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah dan
lain-lain. (2). Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem
pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang
ditanam dan dirawat oleh penduduk setempat, dengan pola tanam dan

12

ekosistem menyerupai dengan yang dijumpai di hutan. Sistem ini mencakup
sejumlah besar komponen pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau
rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem
hutan alam baik primer maupun sekunder. Sistim agroforestri kompleks ini
dibedakan atas (a) pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest
kompleks. Pekarangan, biasanya terletak di sekitar tempat tinggal dan luasnya
hanya sekitar 0.1 – 0.3 ha; dengan demikian sistem ini lebih mudah
dibedakan dengan hutan. Contoh: kebun talun dan sebagainya. Agroforest
kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaic(gabungan) dari
beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok,
letaknya jauh dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan
biasanya tidak dikelola secara intensif (Hairiah et al. 2003; Sardjono et al.
2003).
Agroforestri mempunyai banyak bentuk, bila ditinjau dari segi ruang
dan waktu. Ditinjau dari segi ruang agroforestri mencakup dua dimensi yaitu
vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal, peran agroforestri terutama
berhubungan

erat

dengan

pengaruhnya

terhadap

ketersediaan

hara,

penggunaan dan penyelamatan (capture) sumber daya alam. Bila ditinjau dari
segi waktu, dua komponen agroforestri yang berbeda dapat ditanam
bersamaan atau bergiliran. Pola Kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian
sistem agroforestri harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah
terutama dari segi pemilihan jenis dan pergiliran tanaman pertan