KETEBATASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA (2)

‘KETEBATASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA
MAKASSAR’

Ekologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan makluk
hidup dan lingkungannya. Setiap makhluk hidup memiliki ketergantungan dengan alam atau
lingkungan di sekitarnya, sehingga tercipta hubungan diantara keduanya. Pada dasarnya,
hubungan/interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya berada dalam suatu
keseimbangan, apabila terjadi ketidakseimbangan, alam akan memulihkan “dirinya”. Namun,
akibat ulah/kegiatan manusia yang berlebihan, keseimbangan ini kemudian menjadi
terganggu.
Pembangunan diwilayah perkotaan mempunyai kecepatan yang mengagumkan dan
perkembangan ini dijumpai pada semua sektor terutama sektor ekonomi. Hal ini
menyebabkan kebutuhan akan fasilitas pendukung menjadi sangat penting. Upaya
pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana ini pada wilayah perkotaan menjadi kebutuhan
dan akibat terbatasnya sumber daya lahan maka akan terjadi konversi lahan hijau untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open
spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik,
introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh
RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan
wilayah perkotaan tersebut. Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi : RTH publik,

yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah
(pusat, daerah)

20 % luas wilayah , dan

RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang

berlokasi pada lahan-lahan milik privat dengan 10 % luas wilayah.
Cerminan perkembangan pembangunan kota dapat terlihat pada pemandangan fisik
kota yang mempunyai kecenderungan meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan
visualisasi alamnya. Lahan-lahan perkotaan banyak yang dialih fungsikan menjadi
permukiman, pertokoan, tempat industri dan lain-lain. Keadaan yang kurang harmonis antara
manusia dengan lingkungan mengakibatkan lingkungan perkotaan hanya maju secara
ekonomi namun mundur secara ekologi. Terganggunya kestabilan ekosistem perkotaan juga
akan berdampak pada penurunan air tanah, intrusi alir laut, banjir/genangan, penurunan

permukaan tanah, abrasi pantai, pencemaran air seperti air minum berbau dan mengandung
logam berat, pencemaran udara seperti meningkatnya kadar CO, menipisnya lapisan ozon,
pencemaran karbondioksida dan belerang serta pemandangan suasana yang gersang.
Disamping itu terjadi polusi suara atau bunyi berupa tingginya tingkat kebisingan.

Kota Makassar menurut

penelitian menunjukkan bahwa pertambahan penduduk

setiap tahun berbanding lurus dengan kebutuhan akan ruang terbuka hijau. Dari data tahun
2000 misalnya, dengan jumlah penduduk 1.112.688 jiwa maka membutuhkan ruang terbuka
hijau seluas 556,34 ha. Tahun 2001 memperlihatkan bahwa terjadi pertambahan jumlah
penduduk dari tahun sebelumnya menjadi 1.130.384 jiwa sehingga membutuhkan ruang
terbuka hijau seluas 565,19 ha. Tahun 2007 memperlihatkan pertumbuhan penduduk yang
pesat dengan laju 1,67, penduduk Kota Makassar menjadi 1.235.239 jiwa sehingga ruang
terbuka hijau yang dibutuhkan untuk menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh setiap penduduk
Kota Makassar seluas 617,62 ha.
Permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif
untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi,
industri dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam
perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya.
Hal ini umumnya merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan
dan tidak ekonomis. Maka dari itu perlunya keberadaan RTH untuk melestarikan dan
menjaga kestabilan lingkungan perkotaan.
RTH perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi. Berbagai fungsi yang

terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi ) dan nilai estetika yang
dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas
lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai
kebanggaan dan identitas kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam
suatu sistem perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya
harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya.
Solusi dari permasalahn RTH dapat di lakukan beberapa upaya yang harus dilakukan
oleh Pemerintah antara lain adalah:


Melakukan revisi UU 24/1992 tentang penataan ruang untuk dapat lebih
mengakomodasikan kebutuhan pengembangan RTH;



Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk peyelenggaraan
dan pengelolaan RTH;




Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai dengan karakteristik kota,
dan indikator keberhasilan pengembangan RTH suatu kota;



Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH melalui
gerakan kota hijau (green cities);



Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH untuk berbagai jenis dan
bentuk yang ada di beberapa wilayah kota.



Upaya yang dilakukan masyarakat adalah tetap menjaga kebersihan
lingkungan dan senantiasa mendukung seluruh rencana pemerintah dalam
merencanakan RTH di wilayah kota.