PENGADAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KO (2)

PENGADAAN RUANG TERBUKA HIJAU
DI KOTA-KOTA

Oleh:
Valda Teorintina Goretti
135060601111046

JURUSAN PERENCANAAN VILAYAH & KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013

PENGADAAN RUANG TERBUKA HIJAU
DI KOTA-KOTA
Valda Teorintina Goretti
135060601111046
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya

Abstract
Green Open Space is a space which is planned to complete the needs and activities together
in the open space. Green Open Space is be a place which accommodate human activity in a

area which has no cover in the physical form. But, more rise the urban life, open space more
dwindle too and it will be impact on environmental health. To prevent it, the goverment begin
to do the program to provide Green Open Space in urban areas. Beside that, Green Open
Space has function as a socialization media for community and as a education facilities.
The Provide of Green Open Space needs to notice the prevail regulations and the factors in
the management so that, it is not harmful to the environment.
Keywords: green open spaces, urban areas.
Abstrak
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan ruang yang direncanakan untuk memenuhi
kebutuhan dan aktivitas bersama di ruang terbuka. Ruang Terbuka Hijau menjadi suatu
wadah yang menampung kegiatan manusia dalam suatu lingkungan yang tidak mempunyai
penutup dalam bentuk fisik. Namun semakin berkembangnya kehidupan perkotaan, ruang
terbuka semakin berkurang yang akhirnya berdampak pada kesehatan lingkungan. Untuk
mencegahnya, pemerintah mulai melaksanakan program pengadaan Ruang Terbuka Hijau di
perkotaan. Selain untuk tujuan tersebut, RTH mempunyai fungsi sebagai media sosialisasi
masyarakat dan sarana pendidikan. Pengadaan RTH perlu memerhatikan peraturan-peraturan
yang berlaku dan faktor-faktor dalam pengelolaan RTH supaya pengadaan RTH tidak
berdampak buruk bagi lingkungan.
Kata Kunci: ruang terbuka hijau, perkotaan.


Pendahuluan
Perkembangan kota pada awalnya, sebagian besar wilayah merupakan ruang terbuka
dan ruang terbuka hijau, namun karena adanya kebutuhan menampung penduduk dan
ativitasnya, ruang terbuka dan terbuka hijau tersebut cenderung mengalami peubahan
menjadi kawasan permukiman. Fungsinya sebagai tempat kegiatan manusia, membuat kota
berkembang dengan pesat. Hampir seluruh permukaannya, terutama di pusat kota tertutup
oleh jalan, gedung, dan bangunan yang kompleks. Kurangnya kesadaran masyarakat akan
penataan ruang kota, menimbulkan kawasan kumuh, kawasan permukiman yang gersang dan
kemacetan yang tinggi. Permasalahan kota seperti bisa menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan sehingga kota menuntut adanya kondisi fisik lingkungan yang aman,
nyaman, dan sehat bagi penghuninya. Untuk memulihkan kondisi lingkungan yang semakin
menurun, penduduk kota dan pemerintah membuat lingkungan buatan seperti Ruang Terbuka
Hijau (RTH) yang memaksimalkan lahan-lahan yang masih tersisa dengan ditanami tanaman
hias dan dijadikan jalur hijau atau taman kota. Kawasan perkotaan yang padat akan gedung
dan permukiman juga harus diimbangi dengan fasilitas perkotaan sesuai yang tercantum
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahin 2008 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional yang menyatakan bahwa fasilitas perkotaan, antara lain, meliputi
pendidikan, kesehatan, ekonomi, keamanan, perbankan, peribadatan, sosial budaya, hiburan,
olahraga, dan ruang terbuka hijau.
Ruang Terbuka Hijau mempunya fungsi vital bagi manusia, makhluk hidup lainnya,

dan keadaan iklim di perkotaan, antara lain sebagai daya dukung ekosistem, pengendalian gas
berbahaya yang dikeluarkan kendaraan bermotor, pengamanan lingkungan hidrologis,
pengendalian suhu udara perkotaan, pengendalian keadaan panas (thermoscape), dan
pengendalian bahaya-bahaya lingkungan (Hakim, 2000 dalam Antara et al, 2012:2). Ruang
Terbuka Hijau baik publik maupun privat memilik fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi
ekologis dan memiliki fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural atau fungsi
estetetika, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi.
Pengadaan Ruang Terbuka Hijau di perkotaan harus disesuaikan dengan ketentuan
yang berlaku supaya tidak berdampak negatif terhadap lingkungan, misalnya Perencanaan
RTHKP dalam Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Pasal 9 yang
menyatakan luas ideal RTH minimal 20% dari luar kawasan perkotaan dan mencakup
RTHKP publik dan privat. Selain itu, ada faktor-faktor yang perlu diperhatikan yaitu faktor
fisik, sosial, ekonomi, budaya, dan terlayaninya hak-hak masyarakat untuk mendapatkan
tempat yang nyaman.

Ruang Terbuka
Ruang terbuka (open spaces) memiliki pengertian hampir sama dengan Ruang
Terbuka Hijau (RTH), dan ruang publik (public spaces). Menurut UUPR No.20 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, ruang terbuka adalah ruang yang berfungsi sebagai wadah untuk
kehidupan manusia, baik secara individu maupun kelompok, serta wadah makhluk lainnya

untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan.
Ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan secara umum terdiri dari ruang
terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari
ruang terbuka yang ada di wilayah perkotaan. Diisi dengan tumbuhan, tanaman dan vegetasi
yang mendukung manfaat ekologi, sosial budaya, dan arsitektural. Sedangkan ruang terbuka
non hijau dapat berupa Ruang Terbuka Biru (RTB) dan ruang terbuka uang diperkeras
(paved). Ruang Terbuka Biru iniberupa permukaan sungai, danau, dan areal-areal genangan
retensi.
Ruang Terbuka Hijau
Menurut Pasal 1 butir 31 UUPR, Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Awalnya
istilah RTH hanya untuk vegetasi berkayu yaitu pepohonan dan mserupakan bagian yang tak
terpisahkan dari lingkungan kehidupan manusia. Didalam Undang-Undang No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang ditetapkan bahwa RTH minimal harus memiliki luas 30% dari
luas total wilayah.
Klasifikasi Ruang terbuka Hijau
Hasni (2010:229), mengklasifikasikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi:
1. kawasan hijau pertamanan kota, contoh: Daerah Thamrin;
2. kawasan hijau hutan kota, contoh: hutan bakau;

3. kawasan hijau rekreasi kota, contoh: TMII, Ancol;
4. kawasan hijau kegiatan olahraga, contoh: Gelora Senayan;
5. kawasan hijau pemakaman, contoh: Tempat Pemakaman Umum;
6. kawasan hijau pertanian;
7. kawasan hijau jalur hijau;
8. kawasan hijau pekarangan, contoh: pekarangan rumah.

Dari sudut asalnya, RTH terbagi menjadi:
1. RTH ada secara alami, dan
2. RTH ada karena planning (RTH akibat pembangunan).
Pentingnya Ruang Terbuka Hijau
Secara fisiologis, tanaman bersifat menetralisir keadaan lingkungan yang berada di
bawah daya tampung lingkungan. Kemampuan yang dimiliki ini berasal dari proses
fotosintesis yang mampu menyerap polusi udara, maka fungsi tanaman dalam ruang terbuka
hijau adalah sebagai berikut:
a.

ameliorasi iklim, dapat memengaruhi dan memperbaiki iklim mikro;

b.


memberikan perlindungan terhadap terpaan angin kencang dan peredam suara;

c. memberikan perlindungan terhadap terik sinar matahari;
d.

memberikan perlindungan terhadap asap dan gas beracun, serta penyaring udara kotor
dan debu

e.

mencegah erosi;

f.

sarana penyumbang keindahan dan keserasian antara struktur buatan manusia secara
alami;

g. secara tidak langsung untuk memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat.
h. membantu peresapan air hujan;

j.

sebagai tempat konservasi satwa dan tanaman lain;

k. sarana penelitian dan pendidikan;
l.

sebagai pelembut, pengikat, dan pemersatu bangunan;

m. meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar ruang terbuka hijau, apabila jenis tanaman
yang ditanam bernilai ekonomi;
n. sarana untuk bersosialisasi antar warga masyarakat;
o. sebagai media pengaman antar jalur jalan.
Dampak Kurangnya Ruang Terbuka Hijau dalam Kota terhadap Kesehatan
Ruang Terbuka Hijau memang sangat penting bagi kelangsungan hidup, baik manusia
maupun makhluk hidup lainnya. Kurangnya Ruang Terbuka Hijau dalam Kota yang dominan
dengan polusi dapat berdampak negatif.
1. Tidak terserap dan terjerapnya partikel timbal.
Sumber utama timbal yang mencemari udara di perkotaan adalah kendaraan bermotor,
sekitar 60%-70% (Hasni 2010:238).


2. Tidak terserah dan terjerapnya debu semen.
Debu semen sangat berbahaya bagi kesehatan karena menyebabkan penyakit
sementosis. Hasni (2010:239), menyatakan bahwa tanaman yang baik dapat
dimanfaatkan dalam program RTH kota di kawsan pabrik semen, seperti mahoni,
bisbul, tanjung, kenari, dan meranti. Tanaman tersebut mempunyai kemampuan tinggi
menjerap (adsorpsi) dan menyerap (absorpsi).
3. Tidak ternetralisirnya hujan asam.
Menurut Smith (1965) dalam Hasni (2010:239), pohon dapat membantu proses gutasi
yaitu mengurangi dampak negatif hujan alam melalui proses fisiologi.
4. Tidak terserapnya karbon monoksida (CO).
5. Tidak terserapnya karbon dioksida (CO2).
Berkurangnya RTH kota, penyerapan gas CO2 juga berkurang. Proses fotosintesis
yang mengubah CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen tidak berjalan
maksimal.
6. Tidak teredamnya kebisingan.
Pohon dapat meredam melalui proses abrsopsi gelombang suara oleh daun, cabang,
dan ranting (Grey & Deneke 1970 dalam Hasni 2010:240). Penanaman berbagai jenis
tanaman yang cukup rapat dan tinggi dapat mengurangi kebisingan. Dedaunan
tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%.

7. Tidah tertahannya hembusan angin.
Struktur RTH dapat mengurangi angin kencang sebesar 75%-80% (Robinette 1983
dalam Husni 2010:240). Menurut Husni (2010:240), faktor-faktor yang harus
diperhatikan merancang RTH kota untuk penahan angin adalah sebagai berikut:
a. tanaman yang ditanam memiliki dahan kuat;
b. daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang;
c. akarnya menghujam masuk ke tanah;
d. memiliki cukup kerapatan (50%-60%);
e. tinggi dan lebar jalur RTH kota cukup besar.

8. Tidak terserap dan tertapisnya bau.
Tanaman dapat mengurangi bau baik menyerap bau secara langsung maupun menahan
gerakan angin yang berasal dari sumber bau ( Grey & Deneke 1978 dalam Hasni
2010:241).
Faktor-Faktor yang Harus Diperhatikan dalam Pengelolaan RTH
Kegiatan

pengelolaan

meliputi


perencanaan,

pelaksanaan,

pengawasan,

pemeliharaan, dan evaluasi. Menurut Hasni (2010:278), pengelolaan RTH harus tetap dan
supaya konsisten, perlu memerhatikan faktor-faktor berikut:
1. fisik, bentuknya bisa memnajang, bulat, persegi, persegi panjang, atau bentuk
geografis lain sesuai geo-topografinya;
2. sosial, RTH merupakan ruang untuk manusia bisa bersosialisasi;
3. ekonomi, RTH merupakan sumber produk yang bisa dijual;
4. budaya, sebagai ruang untuk mengekspresikan seni dan budaya masyarakat;
5. kebutuhan akan terlayaninya hak-hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan
yang aman, nyaman, indah, dan lestari.
Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaaan
Semakin pesatnya perkembangan dan pertumbuhan kota yang disertai alih fungsi
lahan, dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk
menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui RTH yang memadai serta perlu

menetapkan Peraturan Menteri dalam Negeri tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan (Hasni 2010:298).
Menurut Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007, Ruang Terbuka
Hijau Kawsan Perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial,
budaya, ekonomi, dan estetika. Sedangkan Penataan RTHKP adalah proses perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalianRTHKP.
Perencanaan RTHKP dalam Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007
Pasal 8 meliputi:
(1) RTHKP merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah
provinsi dan kabupaten/kota.
(2) RTHKP dituangkan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan dengan
skala peta sekurang-kurangnya 1:5000.

Luas RTHKP menurut Pasal 9 adalah sebagai berikut:
(1) luas ideal RTHKP minimal 20% dari luas kawasan perkotaan.
(2) luas RTHKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup RTHKP publik dan
privat
(3) luas RTHKP publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyediaannya menjadi
tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota yang dilakukan secara bertahap sesua
dengan kemampuan masing-masing daerah.
(4) RTHKP privat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyediaannya menjadi tanggung
jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan
melalui izn pemanfaatan ruang oleh pemerintah kabupaten/kota, kecuali Provinsi DKI
Jakarta oleh Pemerintah Provinsi.
Pengadaan Ruang Terbuka Hijau di Kota-Kota
Pengadaan RTH di perkotaan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
memperbaiki kesehatan lingkungan. Berikut beberapa kota di Indonesia yang mempunyai
Ruang Terbuka Hijau.
1. Surabaya

Kota Surabaya mendapat peringkat teratas
dalam sebuah lomba bertajuk Indonesia Green
Region Award (IGRA) yang diselenggarakan
oleh Kantor Berita Radio KBR68H bersama
Majalah

SWA.

Kota

ini

melipatgandakan RTH (Amri 2011).
2. Manado

berhasil

Kota Manado dikelilingi wilayah pegunungan dengan udara sejuk dan berada di tepi
panyai Laut Sulawesi atau Teluk
Manado

yang

indah.

Karakteristik

lanskap alami Kota Manado terdiri dari
trimatra yaitu pantai, dataran, dan
perbukitan. Pengadaan RTH di Manado
dimaksudkan untuk melindungi areal
topografikal tersebut, sehingga dapat mengendalikan gangguan kerusakan dan
penurunan kualitas kota. Luas RTH di Kota Manado saat ini mencapai 70% dari luas
wilayah kota (Moniaga 2008).
3. Probolinggo
Kota Probolinggo merupakan jajaran kota yang terletak di sepanjang Pantai Utara
Jawa (Pantura). Kota ini menghubungkan antar kota/kabupaten yang terletak di Jawa
Timur bagian barat dan timur. Letaknya yang strategis dapat berdampak pada
perkembangan kota dari segi tata guna lahan, sistem transportasi, permukiman, dan
industri. Perkembangan ini juga dapat
berdampak pada lingkungan apabila
tidak dikelola dengan baik. Beberapa
tahun

terakhir,

pemerintah

Kota

Probolinggo berupaya melaksanakan
berbagai
lingkungan

program
untuk

pelestarian
memperbaiki

kualitas Kota Probolinggo diantaranya penyediaan RTH publik (Setiawan & Hermana
2013:171).
4.

Bogor
Kota Bogor terkenal dengan sebutan
Kota Hujan. RTH di Kota Bogor sudah
ada sejak tahun 1994-2004, diantaranya
Kebun Raya Bogor, Lapangan Olahraga
Pajajaran, dan Taman Topi. Menurut
hasil penelitian Asiani (2007), menunjukkan bahwa Kebun Raya Bogor mempunyai
kondisi RTH sangat baik dengan suhu udara lebih rendah dan kelembapan lebih tinggi
dari lokasi lain.

5. Tabanan
Kota Tabanan, Bali masih memenuhi standar luasan ideal RTH dalam kota karena
mempunyai RTH seluas 1036,89 ha atau sebesar 35,16% dari luas Kota Tabanan.
Dalam penataan ruang kota baik kawasan pusat kota maupun kawasan pengembangan
menyediakan ruang untuk RTH di Kota Tabanan (Antara et al. 2012:1).

Kesimpulan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) memiliki peran vital dalam memperbaiki kesehatan
lingkungan. Kurangnya RTH di kawasan perkotaan akan berdampak negatif tidak hanya bagi
manusia tetapi juga kelangsungan hidup bagi makhluk hidup lainnya. RTH mempunyai
fungsi sebagai sarana sosialisasi masyarakat dan pendidikan. Dalam pengadaan RTH,
pemerintah perlu memerhatikan peraturan yang berlaku dan faktor-faktor pengelolaan supaya
pengadaan RTH tepat sasaran dan tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.
Daftar Pustaka
Amri, A. B. 2011. Lima Kota Paling Hijau di Indonesia, VIVA News,
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/248785-lima-kota-paling-hijau-di-indonesia
(diakses 17 Oktober 2013)
Antara, I. G. M. Y., Wesnawa, I. G. S. & Suditha, I. N. (Penyunting). 2012. Ketersediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam Tata Ruang Kota Tabanan. Jurnal Geografi.
Aristian, F. 2011. Ruang Terbuka Hijau dalam Perencanaan Kota,
http://febryaristian.blogspot.com/2011/06/makalah-tentang-ruang-terbuka-hijau.html (diakses
17 Oktober 2013)
Asiani, Y. 2007. Pengaruh Kondisi Ruang
Terbuka Hijau (RTH) pada Iklim Mikro di
Kota

Bogor. Tesis. Tidak dipublikasikan. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Hasni. 2010. Hukum Penataan Ruang dan
Penatagunaan Tanah. Jakarta: Rajawali Pers.

Moniaga, I. L. 2008. Studi Ruang Terbuka Hijau Kota Manado dengan Pendekatan Sistem
Dinamik. Tesis. Tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Putri, F. W. E. 2013. Analisis nilai keberlanjutan pengelolaan ruang terbuka hijau pada
kawasan perkotaan di kota bengkulu, http://uripsantoso.wordpress.com/2013/05/02/analisisnilai-keberlanjutan-pengelolaan-ruang-terbuka-hijau-pada-kawasan-perkotaan-di-kotabengkulu/ (diakses 31 Oktober 2013)
Setiawan, A. & Hermana, J. 2013. Analisa Kecukupan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan
Penyerapan Emisi CO2 dan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen di Kota Probolinggo. Jurnal
Teknik POMITS. II (2): 171-174.
Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.