Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Salatig (2)

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Salatiga
Oleh:
Dani Bagus Aris Tyawan
Danibagus14@students.unnes.ac.id
Abstrak
Perkembangan kesejahteraan masyarakat dari waktu ke arah yang lebih maju
menjadikan keseimbangan ekologi mulai terabaikan sehingga luasan
terbangun pada suatu wilayah menjadikan salah satu faktor penyempitan
Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH di Kota Salatiga masih kurang memenuhi
persyaratan minimal 30 persen sesuai yang di amanahkan dalam Undangundang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Luas wilayah Kota
Salatiga adalah 5.678 hektar. Namun hingga saat ini ruang terbuka hijau yang
ada di wilayah Kota Salatiga baru mencapai sekitar 15,9 persen. Jadi
setidaknya masih butuh sekitar 902 hektar lagi lahan yang dapat digunakan
sebagai ruang terbuka hijau. Pemkot Salatiga di harapkan mengeluarkan
kebijakan penghijauan perkarangan rumah atau lahan kosong yang belum
dihijaukan secara intensif dan berkala. Serta memberikan sosialisasi terkait
pentingnya RTH dalam meminimalisir pencemaran udara. Instansi/dinas terkait
yang menangani kondisi tanaman yang ada di taman kota perlu melakukan
monitoring secara intensif periodik terhadap vegetasi RTH di Kota Salatiga.
Dinas lingkungan hidup Kota Salatiga telah menyiapkan tiga titik untuk di
jadikan RTH berupa taman publik. Yakni di daerah Promasan, Kumpulrejo dan

Tegalrejo, Argomulya serta di daerah Kecandran Sidomukti Kota Salatiga.
Sehingga cepat ataupun lambat kebutuhan RTH di setiap kota di Indonesia
harus memenuhi setidaknya minimal 30 persen untuk menjadikan ekologi
tetap terjaga keseimbangannya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya inovatif pembangunan kota dewasa ini yang semakin pesat yang
membawa konsekuensi makin meningkatnya kebutuhan lahan untuk
kebutuhan lahan untuk mengakomodasi pembangunan dan perkembangan
kota tersebut. Lahan-lahan kosong potensial yang selama ini cukup tersedia
menjadi semakin menurun.
Ruang terbuka hijau sebenarnya juga merupakan kebutuhan yang tidak
dapat diabaikan, seperti juga halnya fasilitas sosial lainnya, seperti
peribadatan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Ruang terbuka hijau juga
termasuk salah satu elemen kota dan kehadirannya dalam suatu kota
didasarkan pada ketentuan dan standar-standar tertentu.
Pembangunan diwilayah perkotaan mempunyai kecepatan yang
mengagumkan dan perkembangan ini dijumpai pada semua sektor terutama
sektor ekonomi. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan fasilitas pendukung

menjadi sangat penting. Upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana
ini menyebaban kebutuhan dan akibat terbatasnya sumber daya lahan maka
akan terjadi konversi lahan hijau untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Permasalahan lingkungan hingga saat ini tidak kunjung usai terkadang
mulai terabaikan dengan kesibukan masyarakat, bahkan kesadaran akan
pentingnya kelestarian lingkungan masih kurang. Melalui pendidikan
lingkungan, sistem informasi menjadi salah satu media pembelajaran yang
cukup relevan dalam mengkaji keseimbangan ekologi. Selain itu, adanya
sistem informasi RTH merupakan salah satu upaya dalam menerapkan
kesadaran dan pengetahuan terkait kelestarian lingkungan sekitar sehingga
bermanfaat dalam membangkitkan kesadaran akan pentingnya kelestarian
lingkungan sejak dini.
Fungsi ruang terbuka hijau (RTH) sangat penting dalam keseimbangan
ekologi wilayah terutama diwilayah perkotaan. Dapat diamati bahwa kota
merupakan pusat perkembangan dan pertumbuhan masyarakat dalam sebuah
wilayah. Wilayah perkotaan dicirikan dengan berbagai keberagaman aktifitas
yang dilakukan oleh masyarakat, mulai dari kegiatan ekonomi, industri,
pendidikan,
kebudayaa,

perdagangan,
pelayanan
dan
sebagainya.
Kenampakan lain ditunjukan dengan jumlah penduduk yang cukup tinggi yang
menitik beratkan terhadap pembangunan sarana dan prasarana kota.
Akibatnya keadaan lingkungan perkotaan berkembang secara ekonomis,
namun menurun secara ekologi.
Taman kota atau taman hijau merupakan komponen sebagian dari RTH di
dalam kota yang dibuat untuk menciptakan keindahan, kenyamanan,
keamanan, dan kesehatan bagi penggunanya. Taman kota atau taman hijau
dilengkapi dengan beberapa fasilitas untuk kebutuhan masyarakat kota
Semarang sebagai tempat rekreasi. Selain itu, taman kota atau taman hijau di
fungsikan sebagai paru-paru kota, pengendali iklim mikro, konservasi tanah
dan air, dan berbagai habitat flora dan fauna.1
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya
pencemaran lingkungan di perkotaan. Seperti, mempertahankan dan
meningkatkan kualitas lingkungan maupun menyusun alogaritma RTH dengan
penataan vegetasi.
Secara pencitraaan, politik tata ruang saat ini adalah negatif,. Segala

bentuk kejadian bencana alam diidentikkan dengan kegagalan menjalankan
fungsi penyelenggaraan tata ruang. Citra penataan ruang harus dipulihkan.
Salah satu cara adalah dengan penguatan fungsi dan peran kelembagaan yang
jelas dan tegas kewenangannya agar masyarakat dapat percaya akan
kemampuan institusi lokal dan nasional untuk mampu mengatasi dan
mencegah bencana serta kerugian jiwa dan material yang terlanjur
menyengsarakan warga.2
Konservasi merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh manusia untuk
melestarikan lingkungannya. Dalam Antropologi Ekologi, kajian tentang
konservasi berfokus pada pola hubungan antara manusia dan lingkungannya,
sebab keduanya merupakan satu ekosistem yang saling mempengaruhi.
Manusia dapat mempengaruhi alam dengan cara mengolah dan
mengeksploitasinya, tetapi sebaliknya, lingkungan dengan segala perubahan
yang terjadi di dalamnya juga dapat mempengaruhi pola hidup manusia.3
1.2 Kronologi Kasus
1 Triyono & Soemarmo, Ruang Terbuka Hijau dalam Kota, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 53.
2 Nurul Akhmad, Tinjauan Regulasi Rencana Tata Ruang Kota Semarang Menggunakan Pendekatan Paradigma
Pengurangan Resiko Bencana, (Pandecta, Volume 5, Nomor 2, Juli 2010), hlm 184.
3 Asma Luthfi, Persepsi Masyarakat Sekaran Tentang Konservasi Lingkungan, (Jurnal Komunitas, Vol. 3, No. 1, tahun
2011), hlm. 31.


Luas wilayah Kota Salatiga adalah 5.678 hektar. Namun hingga saat ini
ruang terbuka hijau yang ada di wilayah Kota Salatiga baru mencapai sekitar
15,9 persen. Jadi setidaknya masih butuh sekitar 902 hektar lagi lahan yang
dapat digunakan sebagai ruang terbuka hijau. Dinas lingkungan hidup Kota
Salatiga telah menyiapkan tiga titik untuk di jadikan RTH berupa taman publik.
Yakni di daerah Promasan, Kumpulrejo dan Tegalrejo, Argomulya serta di
daerah Kecandran Sidomukti Kota Salatiga. Sehingga cepat ataupun lambat
kebutuhan RTH di setiap kota di Indonesia harus memenuhi setidaknya minimal
30 persen untuk menjadikan ekologi tetap terjaga keseimbangannya.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi keberadaan RTH di Kota Salatiga ?
2. Bagaimana cara mengoptimalkan ruang terbuka hijau ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Keberadaan RTH di Kota Salatiga
Pada bahasa normatif, makna lingkungan hidup terdapat pada UndangUndang No.32 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) UUPPLH bahwa lingkungan hidup
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu

sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.4
Melestarikan dan mempertahankan kualitas lingkungan hidup harus
memiliki beberapa sarana utama sebagai syaratnya. Paling pokok adalah
institusi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan. Tentunya dibarengi
dengan ketersediaan sarana dengan segala implikasinya. Tanpa hal ini
semuanya tidak akan dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud. 5
Kota Salatiga tercatat memiliki luas wilayah sebesar 5.678.110 hektar
atau 56.781km2. penduduk Kota Salatiga belum menyebar secara merata di
seluruh wilayah. Umumnya, penduduk banyak tinggal di daerah perkotaan.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya, maka
kebutuhan akan lahan terbangun pun semakin meningkat. Kebutuhan akan
lahan terbangun untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia mengakibatkan
konversi tipe penutupan lahan, sehingga ruang terbuka hijau (RTH) yang
terdapat pada suatu wilayah di Kota Salatiga mengalami penurunan. Dampak
dari penurunan luasan ruang terbuka hijau yaitu meningkatnya suhu udara
rerata di Kota Salatiga.
Peningkatan suhu udara rerata di perkotaan dapat terkendali dengan
keberadaan vegetasi pepohonan, dalam wujud hutan kota dan pepohonan yang
tersebar di Kota tersebut. Namun, penting dipertimbangkan bahwa hutan kota

hanya dapat berperan secara optimal dalam mengendalikan suhu udara jika
luasnya proporsional dengan luas kota. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63
tahun 2002 tentang Hutan Kota menyebutkan, presentase luas hutan kota
paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi
setempat.6 Pernyataan PP ini sangat fleksibel, karena luas hutan kota dapat
saja ditetapkan antara 10%-100% dari luas kota.
Regulasi pada aspek penataan ruang memberikan alternatif lain dalam
menetapkan luas hutan kota. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, Pasal 29 ayat (2) mengatur, bahwa proporsi ruang terbuka
hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. 7 Kota
Salatiga memiliki luasan RTH sebesar 15,9%. Apabila mengacu pada UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 yang telah disebutkan sebelumnya, maka Kota
Salatiga masih belum memenuhi proporsi minimal luasan RTH, sehingga perlu
dilakukan pengembangan RTH di Kota Salatiga.
Ruang terbuka hijau (RTH), termasuk jalur hijau, taman kota, dan hutan
kota memegang peran penting dalam pembangunan perkotaan, terutama
terkait dalam merancang mada depan perkotaan. Pengembangan RTH
merupakan salah satu cara yang digunakan dalam rangka menjaga
keseimbangan iklim mikro dan mengatasi menurunnya kualitas lingkungan.
4 UU No.32 tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) UUPPLH.
5 H. Joni, Hukum Lingkungan Kehutanan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 5.

6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota.
7 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 ayat (2).

Dengan adanya RTH akan memberikan dampak terhadap penurunan suhu
udara dan suasana kota menjadi lebih nyaman.
Hutan kota merupakan salah satu bentuk RTH yang dipercaya mampu
memberikan dampak terhadap penurunan suhu udara. Kota Salatiga memiliki
beberapa hutan kota, diantaranya adalah hutan kota Bendosari dengan luas
1,8 hektar yang terletak ditepi jalur lingkar selatan Kota Salatiga dan hutan
kawasan Rumah Khalwat Roncalli dengan luas efektif hutan kota sebesar 1,5
hektar ditepi jalan Diponegoro.
Hutan kota Bendosari dikelola oleh Kantor Lingkungan Hidup Kota
Salatiga sedangkan hutan kawasan di Rumah Khalwat Roncalli dikelola oleh
yayasan Roncalli. Oleh karena instansi yang mengelola hutan berbeda maka
kebijakan yang digunakan dalam mengelola hutan tersebut juga akan berbeda,
baik itu dalam menentukan bentuk, struktur vegetasi, dan fungsi dari hutan
yang dikelola. Dengan begitu variasi suhu udara yang dihasilkan juga akan
berbeda.
Setidaknya masih dibutuhkan lahan untuk dijadikan kawasan RTH
sekurang-kurangnya 902 hektar untuk mencapai batas minimal RTH yang

ditentukan oleh UU Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Sehingga
pemerintah maupun dinas yang menangani ini masih terus berusaha sedikit
banyak untuk menambah kawasan RTH di Kota Salatiga. Dinas lingkungan
hidup telah menyiapkan tiga titik untuk dijadikan RTH berupa taman publik.
Yakni di Promasan, Kumpulrejo dan Tegalrejo, Agromulyo serta di Kecandran
Sidomukti.
2.2 Optimalisasi Ruang Terbuka Hijau
Usaha pengembangan ruang terbuka hijau dapat dilaksanakan dengan
cara intensifikasi dan cara ekstensifikasi. Cara yang pertama, intensifikasi
adalah usaha penanaman tanaman untuk mengkayakan dan memperbaiki
serta meningkatkan mutu tata hijau pada wilayah-wilayah yang sudah merupak
daerah-daerah tata hijau. Cara intensifikasi dapat dilakukan pada daerahdaerah yang tidak dimungkinkan lagi untuk dilaksanakan penambahan luas
ruang terbuka hijau karena keterbatasan lahan.
Ruang terbuka yang telah ada di perkotaan dengan struktur tegakan
tunggal dapat dikayakan dengan menambahkan struktur tambahan sehingga
kemampuan dalam menyerap CO2
semakin optimal. Optimalisasi ruang
terbuka hijau ini dilakukan dengan menanam vegetasi dari jenis jenis yang
berbeda untuk menciptakan struktur berlapis. Komposisi struktur yang ada
tinggal disesuaikan dengan penambahan jenis vegetasi baru yang sesuai

dengan struktur yang belum ada (tanaman perdu, semak, pohon). Kondisi ni
akan menyebabkan kualitas ruang terbuka hijau akan bertambah baik karena
dengan pengaturan jenis dan komposisi tanaman yang ada dalam suatu lahan
terbuka hijau maka kemampuan tata hijau tersebut dalam menetralisir CO 2
juga semakin tinggi.
Cara yang kedua adalah cara ekstensifitasi. Ekstensifitasi dilakukan
sebagai upaya untuk pengembangan ruang terbuka hijau dengan
menambahkan luasan daerah tata hijau pada wilayah perkotaan yang masih
memungkinkan. Wilayah kota yang masih kosong dan belum termanfaatkan
dengan baik merupakan daerah yang potensil untuk dikembangkan menjadi
ruang terbuka baru. Pembangunan ruang terbuka tersebut dibangun dengan
bentuk dan tipe ruang terbuka hijau sesuai dengan kondisi lingkungan yang
ada. Untuk daerah yang padat penduduk, ekstensifikasi merupakan upaya
yang cukup sulit untuk dilakukan karena keterbatasan ketersediaan lahan.

Bentuk lain dari upaya pengoptimalan ruang terbuka hijau seperti
melaksanakan pembangunan rumah susun di daerah pemukiman padat dan
melakukan tanggung renteng penetralan CO2 pemukiman penduduk berbentuk
rumah susun akan menyebabkan tersedianya ruang terbuka hijau yang lebih
besar dan berimplikasi dengan jumlah pepohonan yang dapat ditanam juga

semakin besar.8
Selain itu, penanaman dengan sistem pot juga dapat dilakukan
khususnya pada daerah permukiman yang padat serta pembangunan kebuh
diatas rumah penduduk (roof garden). Sistem roof garden banyak ditemui
dinegara padat penduduk seperti Jepang. Sistem ini juga sangat baik
dikembangkan di Indonesia maupun bagi Kota Salatiga, khususnya di wilayah
perkotaan.9
Beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai usaha peningkatan fungsi
ruang terbuka hijau yang telah ada yaitu:10
1. Pembangunan dan atau perbaikan seerta pemeliharaan taman-taman
kota yang telah ada sehingga dapat difungsikan sebagaimana
mestinya.
2. Penanaman tanaman perdu dan pohon pada halaman rumah
penduduk dan halaman perkantoran atau instansi-instansi baik yang
dimiliki oleh pemerintah maupun swasta serta institusi pendidikan
yang ada di Kota Salatiga.
3. Penanaman tanaman dengan mempergunakan pot sebagai tempat
penanamannya dan mempergunakan sistem roof garden untuk
daerah-daerah permukiman padat, fasilitas bisnis seperti pertokoan,
pasar, dan hotel/wisma serta toko/ruko yang bertingkat.
4. Pengembangan ruang terbuka hijau pada jalur kanan dan kiri jalan
serta jalur tengan/median jalan.
5. Pengembangan ruang terbuka hijau pada daerah-daerah sempadan
sungai, pinggir-pinggir kanal dan pesisir pantai.
6. Menjaga kelestarian keberadaan ruang terbuka hijau yang telah ada
dengan pemberian sertifikat sebagai kawasan ruang terbuka hijau
yang tidak dapat dialih fungsikan.

8 I Mangunsong dan Jamartin Sihite, Prediksi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Barat Tahun 2005. (Jakarta:
Majalah Trisakti No.14/Th. IV/4/1994, 1994), hlm 17-22.
9 Syamsu Rijal, Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar Tahun 2017.
https://media.neliti.com/media/publications/8219-ID-kebutuhan-ruang-terbuka-hijau-di-kota-makassar-tahun2017.pdf
10 Ibid.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebutuhan akan lahan terbangun untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia mengakibatkan konversi tipe penutupan lahan, sehingga ruang
terbuka hijau (RTH) yang terdapat pada suatu wilayah di Kota Salatiga
mengalami penurunan. Dampak dari penurunan luasan ruang terbuka hijau
yaitu meningkatnya suhu udara rerata di Kota Salatiga.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 29
ayat (2) mengatur, bahwa proporsi ruang terbuka hijau (RTH) pada wilayah
kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Kota Salatiga memiliki luasan
RTH sebesar 15,9%. Apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 yang telah disebutkan sebelumnya, maka Kota Salatiga masih belum
memenuhi proporsi minimal luasan RTH, sehingga perlu dilakukan
pengembangan RTH di Kota Salatiga.
Kota Salatiga memiliki beberapa hutan kota, diantaranya adalah hutan
kota Bendosari dengan luas 1,8 hektar yang terletak ditepi jalur lingkar selatan
Kota Salatiga dan hutan kawasan Rumah Khalwat Roncalli dengan luas efektif
hutan kota sebesar 1,5 hektar ditepi jalan Diponegoro.
Setidaknya masih dibutuhkan lahan untuk dijadikan kawasan RTH
sekurang-kurangnya 902 hektar untuk mencapai batas minimal RTH yang
ditentukan oleh UU Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Sehingga
pemerintah maupun dinas yang menangani ini masih terus berusaha sedikit
banyak untuk menambah kawasan RTH di Kota Salatiga. Dinas lingkungan
hidup telah menyiapkan tiga titik untuk dijadikan RTH berupa taman publik.
Yakni di Promasan, Kumpulrejo dan Tegalrejo, Agromulyo serta di Kecandran
Sidomukti.
Usaha pengembangan ruang terbuka hijau dapat dilaksanakan dengan
cara intensifikasi dan cara ekstensifikasi. Cara yang pertama, intensifikasi
adalah usaha penanaman tanaman untuk mengkayakan dan memperbaiki
serta meningkatkan mutu tata hijau pada wilayah-wilayah yang sudah merupak
daerah-daerah tata hijau. Cara intensifikasi dapat dilakukan pada daerahdaerah yang tidak dimungkinkan lagi untuk dilaksanakan penambahan luas
ruang terbuka hijau karena keterbatasan lahan.
Cara yang kedua adalah cara ekstensifitasi. Ekstensifitasi dilakukan
sebagai upaya untuk pengembangan ruang terbuka hijau dengan
menambahkan luasan daerah tata hijau pada wilayah perkotaan yang masih
memungkinkan. Wilayah kota yang masih kosong dan belum termanfaatkan
dengan baik merupakan daerah yang potensil untuk dikembangkan menjadi
ruang terbuka baru. Pembangunan ruang terbuka tersebut dibangun dengan
bentuk dan tipe ruang terbuka hijau sesuai dengan kondisi lingkungan yang
ada. Untuk daerah yang padat penduduk, ekstensifikasi merupakan upaya
yang cukup sulit untuk dilakukan karena keterbatasan ketersediaan lahan.

Daftar Pustaka
Buku
Joni, H. Hukum Lingkungan Kehutanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
Triyono & Soemarmo. Ruang Terbuka Hijau dalam Kota. Jakarta: Bumi
Aksara. 2012.
Artikel Jurnal
Akhmad, Nurul. Tinjauan Regulasi Rencana Tata Ruang Kota Semarang
Menggunakan Pendekatan Paradigma Pengurangan Resiko Bencana. Pandecta,
Volume 5, Nomor 2, Juli 2010.
Luthfi, Asma. Persepsi Masyarakat Sekaran tentang Konservasi
Lingkungan. Jurnal Komunitas, Volume 3, Nomor 1, tahun 2011
Peraturan Perundang-undangan
UU Nomor 32 tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) UUPPLH
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota.
UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 ayat (2).
Internet
Rijal, Syamsu. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar tahun
2017.
https://media.neliti.com/media/publications/8219-ID-kebutuhan-ruangterbuka-hijau-di-kota-makassar-tahun-2017.pdf
Majalah
Mangunsong, I dan Jamartin Sihite. Prediksi Kebutuhan Ruang Terbuka
Hijau di Jakarta Barat Tahun 2005. Jakarta: Majalah Trisakti No.14/Th. IV/4/1994,
1994.

Lampiran
Koran Tribun Jateng, edisi Rabu, 6 September 2017, halaman 11.