Perbandingan sistem ekstraksi dan validasi penentuan xantorrhizol dari temulawak secara kromatografi cair kinerja tinggi
PERBANDINGAN SISTEM EKSTRAKSI DAN VALIDASI
PENENTUAN XANTORRHIZOL DARI TEMULAWAK
SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
SRI WAHYUNI NUR
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK
SRI WAHYUNI NUR. Perbandingan Sistem Ekstraksi dan Validasi Penentuan
Xantorrhizol dari Temulawak. Dibimbing oleh LATIFAH KOSIM DARUSMAN dan
IRMANIDA BATUBARA.
Xantorrhizol merupakan salah satu komponen minyak atsiri yang terdapat pada
temulawak dan memiliki aktivitas antioksidan, antikanker, dan antibakteri. Sistem
ekstraksi yang efektif dan efesien diperlukan untuk mengekstraksi xantorrhizol dari
temulawak sehingga dapat diterapkan dalam industri. Analisis kadar xantorrhizol
dilakukan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Untuk meyakinkan bahwa
metode analisis KCKT dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan maka
metode tersebut divalidasi. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sistem ekstraksi
xantorrhizol dan membuktikan bahwa metode KCKT memenuhi persyaratan validasi.
Ekstraksi xantorrhizol dilakukan dengan menggunakan empat sistem ekstraksi yang
berbeda. Parameter validasi yang dievaluasi terdiri atas limit deteksi, limit kuantifikasi,
linearitas, ketelitian, dan ketepatan.
Sistem ekstraksi yang menggunakan rimpang temulawak yang tidak dikupas kulitnya
dan dimaserasi selama 24 jam dengan etanol adalah yang terbaik. Kadar xantorrhizol
dalam ekstrak ialah 107.92 ppm atau 1.11%b/b. Analisis KCKT standar xantorrhizol
menghasilkan puncak dengan waktu retensi 7.910 ± 0.092 menit. Limit deteksi dan limit
kuantitasi metode adalah 9.83 ppm dan 65.79 ppm. Persamaan regresi y = 165608 +
104355x dan nilai koefisien korelasi 0.9998 menunjukkan analisis ini memiliki linearitas
yang tinggi. Metode analisis ini memiliki ketelitian dan ketepatan yang baik dengan nilai
simpangan baku relatif 1.52% dan rerata perolehan kembali sebesar 106.27 ± 1.79%.
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan kadar xantorrhizol secara kuantitatif.
ABSTRACT
SRI WAHYUNI NUR. Comparison of Extraction Systems and Validation of
Xanthorrhizol Determination from Java Turmeric. Supervised by LATIFAH KOSIM
DARUSMAN and IRMANIDA BATUBARA.
Xanthorrhizol is one component of volatile oils in java turmeric (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) and shows antioxidant, anticancer, and antibacterial activities. An
effective and efficient extraction system is needed to extract xanthorrhizol from java
turmeric so that it can be applied in industry. Xanthorrhizol content analysis was done by
high performance liquid chromatography (HPLC). To make sure that HPLC analysis
method can be used for the intended purpose then the method was validated. The
objectives of this research were to compare xanthorrhizol extraction systems and prove
that HPLC method fulfill the terms of validation. Xanthorrhizol extraction was done by
four different extraction systems. Parameters of validation consisted of limit of detection
(LOD), limit of quantification (LOQ), linearity, precision, and accuracy.
The system using rhizome of java turmeric without peeling and macerated for 24
hours using ethanol was the best. Xanthorrhizol content in the extract was 107.92 ppm or
1.11%w/w. HPLC identification of xanthorrhizol standard showing peaks with retention
time 7.910 ± 0.092 minutes. LOD and LOQ of this method were 9.83 ppm and 65.79
ppm, respectively. Regression equation y = 165608 + 104355x and with coefficient
correlation value 0.9998 showed the high linearity of this analysis. The method had good
precision and accuracy with relative standard deviation 1.52% and average recovery
106.27 ± 1.79%. This method is valid to be used for determining xanthorrhizol content
quantitatively.
PERBANDINGAN SISTEM EKSTRAKSI DAN VALIDASI
PENENTUAN XANTORRHIZOL DARI TEMULAWAK
SECARA KROMATOGRAFI KINERJA TINGGI
SRI WAHYUNI NUR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul : Perbandingan Sistem Ekstraksi dan Validasi Penentuan
dari Temulawak secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Nama : Sri Wahyuni Nur
NIM : G44201007
Xantorrhizol
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S.
NIP 130536681
Irmanida Batubara, S.Si., M.Si.
NIP 132312528
Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131473999
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun
berdasarkan hasil penelitian dengan judul Perbandingan Sistem Ekstraksi dan Validasi
Penentuan Xantorrhizol dari Temulawak yang dilaksanakan mulai Juli 2005 sampai
Februari 2006 di Laboratorium Kimia Analitik dan Pusat Studi Biofarmaka, Institut
Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah K.
Darusman, MS, dan Ibu Irmanida Batubara, MSi. selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, saran, dan ilmu selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah
ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB atas
bantuan dana penelitian yang merupakan kerjasama dengan University of Yonsei, Korea
Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, adik-adik
tersayang (Ardi dan Irwan) dan seluruh keluarga atas segala doa, dukungan semangat,
perhatian, dan kasih sayangnya.
Penulis berterima kasih kepada Om Eman, Ibu Enung, dan seluruh staf serta
laboran Kimia Analitik atas fasilitas dan bantuan yang telah diberikan. Terima kasih
kepada Ibu Nunuk, Zaim, dan rekan-rekan dari Pusat Studi Biofarmaka atas bantuannya
selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Sekar, Nersy,
Aning, Nita, Lia, Wulan, Anis, Rehan, Pipit, Green House Family, D5, rekan-rekan
seperjuangan di Laboratorium Kimia Analitik, dan teman-teman Kimia angkatan 38 atas
saran, semangat, kerja sama, dan kebersamaannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
Sri Wahyuni Nur
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 18 Februari 1984 dari ayah Saleh Waluya
Nur dan ibu Rohanah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Cikarang dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB. Penulis memilih Program Studi Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada tahun 2004 penulis melakukan praktik lapangan di PT
Indofarma (Persero) Tbk di Cibitung, Bekasi.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Kimia Dasar I,
Kimia Analitik I, Kimia Analitik II, Kimia Anorganik II pada tahun ajaran 2004/2005,
dan Kimia Analitik Instrumental pada tahun ajaran 2005/2006. Penulis juga aktif sebagai
pengurus Biro Forum Aktivitas Remaja Bernuansa Islami DKM Al-Ghifari IPB tahun
2003/2004.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................... viii
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak............................................................................................................. 1
Komposisi Kimia Temulawak................................................................................ 2
Xantorrhizol ........................................................................................................... 2
Ekstraksi................................................................................................................. 2
Uji Kesesuaian Sistem............................................................................................ 3
Validasi .................................................................................................................. 3
Parameter-parameter Validasi ............................................................................... 3
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ........................................................... 4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ...................................................................................................... 4
Metode Penelitian .................................................................................................. 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Pendahuluan .................................................................................................... 7
Ekstraksi Xantorrhizol ........................................................................................... 8
Analisis dengan KLT............................................................................................. 9
Uji Kesesuaian Sistem............................................................................................ 10
Validasi Metode Penentuan Xantorrhizol dengan KCKT...................................... 10
Pengukuran Kadar Xantorrhizol dengan KCKT .................................................... 12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan................................................................................................................ 12
Saran ...................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 13
LAMPIRAN .................................................................................................................... 15
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kadar air dan kadar abu temulawak............................................................................. 7
2 Uji fitokimia pendahuluan rimpang temulawak
......... 8
3 Rendemen hasil ekstraksi rimpang temulawak ............................................................ 9
4 Uji fitokimia ekstrak temulawak.................................................................................. 9
5 Hasil uji kesesuaian sistem .......................................................................................... 10
6 Waktu retensi dan luas puncak larutan standar xantorrhizol ....................................... 11
7 Hasil uji ketelitian ........................................................................................................ 11
8 Data perolehan kembali ............................................................................................... 11
9 Konsentrasi dan kadar xantorrhizol pada ekstrak ....................................................... 12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman temulawak .................................................................................................... 2
2 Rimpang temulawak .................................................................................................... 2
3 Xantorrhizol ................................................................................................................. 2
4 Kromatogram hasil KLT standar xantorrhizol (s), ekstrak sistem ekstraksi 1 (1),
ekstrak sistem ekstraksi 2 (2), ekstrak sistem ekstraksi 3 (3), dan ekstrak sistem
ekstraksi 4 (4)............................................................................................................... 9
5 Kurva standar xantorrhizol .......................................................................................... 11
6 Kromatogram ekstrak (a) sistem ekstraksi 1 (b) sistem ekstraksi 4............................. 13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Bagan alir penelitian .................................................................................................. 16
2
Bagan alir ekstraksi xantorrhizol ............................................................................... 17
3
Bagan persiapan larutan dengan metode penambahan standar .................................. 18
4
Hasil analisis kadar air rimpang temulawak .............................................................. 18
5
Hasil analisis kadar abu rimpang temulawak............................................................. 19
6
Data rendemen hasil ekstraksi rimpang temulawak................................................... 19
7
Nilai Rf dan warna bercak hasil KLT ........................................................................ 20
8
Kromatogram larutan standar xantorrhizol 122.82 ppm ............................................ 20
9
Perhitungan faktor ikutan (T)..................................................................................... 22
10 Kromatogram larutan standar xantorrhizol konsentrasi (a) 9.83 ppm (b) 24.56 ppm
(c) 73.69 ppm (d) 98.26 ppm (e) 147.39 ppm............................................................ 23
11 Kromatogram larutan blanko ..................................................................................... 24
12 Perhitungan kadar xantorrhizol dalam ekstrak rimpang temulawak .......................... 25
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara
tropis yang kaya akan keanekaragaman
tumbuhan. Jumlah spesies tumbuhan yang ada
di Indonesia lebih dari 30.000 spesies dan
tidak kurang dari 7.000 spesies di antaranya
diketahui memiliki khasiat sebagai obat.
Namun dari 7.000 spesies tersebut, hanya
sekitar 300 spesies atau 4.5% yang telah
dimanfaatkan dan diolah (Deptan 2004). Data
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki potensi kekayaan tanaman obat yang
sangat besar tetapi belum dimanfaatkan secara
optimal.
Temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza
Roxb.) adalah tanaman asli Indonesia yang
tumbuh berumpun. Tanaman ini telah lama
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia sebagai obat tradisonal, zat warna,
maupun sebagai bahan pangan. Temulawak
merupakan salah satu tanaman obat unggulan
Departemen Pertanian (Deptan) dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun
2004 (Deptan 2004).
Kandungan kimia rimpang temulawak
adalah zat pati (sebagai kandungan terbanyak,
biasanya digunakan sebagai bahan makanan),
kurkuminoid, dan minyak atsiri (Sidik et al.
1992). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui
bahwa
khasiat
temulawak
terutama
disebabkan oleh dua kandungan utamanya,
yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri.
Kurkuminoid memberikan warna kuning pada
rimpang temulawak, yang terdiri atas
kurkumin dan desmetoksikurkumin. Minyak
atsiri temulawak mempunyai rasa yang tajam
dengan bau khas aromatik, terdiri atas 32
komponen yang secara umum bersifat
meningkatkan produksi getah empedu dan
antiinflamatori. Kandungan utama dalam
minyak atsiri temulawak adalah xantorrhizol,
germakren, trisiklin, dan afla-aromadendren
(Oei et al. 1985).
Xantorrhizol merupakan suatu senyawa
yang khas dari temulawak dan memiliki
aktivitas antibakteri, antiseptik, dan antibiotik
(Sirait et al. 1985). Industri yang mengolah
temulawak umumnya menggunakan metode
penggodokan untuk mendapatkan campuran
yang berkhasiat. Metode yang digunakan
sebagian besar menggunakan air sebagai
pelarut. Hal ini kurang efektif karena banyak
senyawa aktif termasuk xantorrhizol yang
tidak larut dengan baik di dalam air. Oleh
karena itu perlu dicari metode ekstraksi yang
lebih baik untuk mengambil xantorrhizol
dalam temulawak sehingga dapat diterapkan
dalam industri.
Xantorrhizol dari temulawak dapat
dianalisis dengan berbagai macam cara, yaitu
dengan menggunakan kromatografi gas (KG),
kromatografi
gas-spektrometri
massa,
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT),
spektrofotometri ultraviolet (UV), dan
kromatografi lapis tipis (KLT). Analisis kadar
xantorrhizol pada penelitian ini menggunakan
KCKT karena metode tersebut memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang lain. Selain itu KCKT hanya
memerlukan jumlah sampel yang sedikit
(beberapa mikroliter), dapat digunakan untuk
sampel yang bersifat volatil maupun
nonvolatil, dan waktu analisis yang lebih
cepat (Hendayana et al. 1994). Hasil analisis
yang akurat dan absah akan diperoleh apabila
metode yang digunakan telah tervalidasi.
Validasi merupakan suatu kegiatan untuk
membuktikan bahwa metode analisis telah
dilakukan dengan benar sesuai dengan tujuan
yang diinginkan (Green 1996). Untuk
meyakinkan bahwa metode analisis dapat
digunakan dan menjamin mutu produk yang
dihasilkan sesuai persyaratan, maka metode
tersebut harus divalidasi. Pada umumnya,
metode analisis tersebut harus memenuhi
syarat penerimaan parameter validasi, yaitu
ketelitian,
ketepatan,
linearitas,
dan
spesifisitas.
Tujuan
penelitian
ini
adalah
membandingkan sistem ekstraksi yang
berbeda terhadap kadar xantorrhizol yang
terekstraksi dari rimpang temulawak dan
memperoleh hasil validasi metode analisis
xantorrhizol dengan KCKT. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik
dan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian
Bogor dan berlangsung dari bulan Juli 2005
sampai Februari 2006.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak
Curcuma xanthorrhiza Roxb. atau yang
dikenal dengan nama temulawak menurut Oei
et al. (1985) merupakan salah satu tumbuhan
dari 16 jenis temu-temuan yang tumbuh di
Indonesia dan sudah lama digunakan dalam
pengobatan tradisional (Gambar 1). Curcuma
berasal dari kata Arab: kurkum yang berarti
kuning. Xanthorrhiza berasal dari kata
Yunani: xanthos berarti kuning dan rhiza
berarti akar. Temulawak dikenal juga dengan
nama geelwortel (Belanda), Javanischer
gelbwurzel (Jerman), koneng gede (Sunda),
dan temolobak (Madura) (Oei et al. 1985).
Sesuai
dengan
klasifikasi
botani,
temulawak termasuk dalam
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Gambar 1 Tanaman temulawak.
Temulawak dapat digunakan sebagai jamu
untuk obat demam (malaria), pegal-pegal, dan
sembelit. Air perasan atau rebusannya dapat
dipakai
sebagai
alternatif
pengobatan
gangguan hati dan penyakit kuning. Selain itu,
ekstrak temulawak juga dapat menambah
nafsu makan, menurunkan kadar kolesterol
dan trigliserida darah, menghambat kerja
enzim yang penting untuk pertumbuhan sel
tumor, serta mencegah dan menyembuhkan
jerawat (Sidik et al.1992).
sebagai bahan pangan, bahan baku industri,
dan bahan baku obat ialah pati, minyak atsiri,
dan kurkuminoid (Sidik et al. 1992). Minyak
atsiri atau
minyak menguap merupakan
komponen
dalam
temulawak
yang
memberikan bau yang khas, sedangkan
kurkuminoid yang memberikan warna kuning
pada temulawak terdiri atas kurkumin dan
desmetoksikurkumin.
Xantorrhizol
Xantorrhizol
merupakan
komponen
minyak atsiri rimpang temulawak yang
termasuk ke dalam kelompok terpen
teroksigenasi (Setijadi 1985). Xantorrhizol
merupakan komponen yang khas dalam
minyak atsiri rimpang temulawak.
Gambar 3 menunjukkan struktur kimia
xantorrhizol. Rumus molekulnya ialah
C15H22O dengan bobot molekul 218.3 g/mol
(Sidik 1992). Nama IUPAC (International
Union of Pure and Applied Chemistry) dari
xantorrhizol adalah 5-(1,5-dimetil-heks-4enil)-2-metil-fenol. Xantorrhizol merupakan
minyak yang tidak berwarna serta larut dalam
DMSO (dimetilsulfatoksida) dan etanol
100%.
CH3
OH
CH3
CH3
H3C
Komposisi Kimia Temulawak
Gambar 3 Xantorrhizol.
Semua bagian dari temulawak berkhasiat,
namun bagian yang paling berharga adalah
rimpangnya atau umbinya (Gambar 2).
Rimpang temulawak ini mengandung lebih
dari 100 macam senyawa seperti pati, protein,
serat, kurkumin, glikosida, toluil metil
karbinol, kalium oksalat, essoil, Lsikloiprenmirsen,
dan minyak atsiri
(Wijayakusuma 2001).
Xantorrhizol memiliki banyak kegunaan,
salah satunya dalam bidang farmasi. Senyawa
ini memiliki aktivitas antikanker. Selain itu,
xantorrhizol juga dapat digunakan sebagai
antiseptik atau antibiotik pada pengobatan gigi
dengan cara mematikan Streptococcus mutans
yang merupakan salah satu bakteri penyebab
sakit gigi (Hwang et al. 2000).
Ekstraksi
Gambar 2 Rimpang temulawak.
Kandungan kimia rimpang temulawak
yang memberi arti pada penggunaannya
Pemilihan metode ekstraksi yang tepat
tergantung pada tekstur dan kandungan air
dalam bahan yang diekstraksi dan jenis
senyawa yang diisolasi (Harborne 1996).
Minyak atsiri yang terkandung dalam
temulawak dapat diperoleh dengan cara
distilasi uap dengan menggunakan pelarut air,
eter, alkohol, benzena, toluena, atau
kombinasi pelarut-pelarut tersebut (Oei et al.
1985). Hasil ekstraksi antara bahan kering dan
bahan basah dengan air atau alkohol
menunjukkan bahwa kadar minyak atsiri
tertinggi ternyata diperoleh dari ekstraksi
bahan kering dengan menggunakan alkohol.
Cara lain untuk mengekstraksi minyak
atsiri, yaitu dengan menggunakan metode
maserasi dan pelarut etanol. Cara ini mungkin
akan memberi hasil yang lebih baik karena
akan mengurangi terjadinya dekomposisi atau
degradasi komponen karena pengaruh suhu
(Sidik 1992).
Setijadi (1985) melakukan ekstraksi
minyak atsiri rimpang temulawak dengan
menggunakan gas karbondioksida superkritik
sebagai pelarut. Gas karbondioksida pada
keadaan superkritik berada dalam bentuk
fluida superkritik sehingga dapat digunakan
sebagai pelarut. Keuntungan metode ini ialah
ekstraksi dapat dilakukan pada suhu kritik
karbondioksida yang relatif rendah, yaitu 31.3
ºC, sehingga dekomposisi dan degradasi
komponen-komponen yang tidak tahan
pemanasan tidak akan terjadi. Polaritas
karbondioksida superkritik dapat diatur
melalui pengaturan tekanan sehingga dapat
digunakan untuk mengekstraksi seluruh
komponen yang berbeda-beda kepolarannya.
Uji Kesesuaian Sistem
Uji kesesuaian sistem adalah pengujian
yang dimaksudkan untuk memastikan
kesesuaian dan keefektifan sistem operasional
yang digunakan (Depkes 2001). Uji ini
diperlukan jika metode analisis yang
dilakukan digunakan secara rutin. Proses
pengerjaan uji kesesuaian sistem ini yaitu
dengan mengukur larutan standar sebanyak
lima kali dan menghitung faktor ikutan (T)
puncak kromatogram yang dihasilkan. Kriteria
penerimaan uji kesesuaian sistem yaitu jika
0.5 ≤ T ≤ 2.0 (Levin 2002; FDA 1994).
Validasi
Validasi menurut SK Menkes RI No.43/
MENKES/SK/II/1988
tentang
CPOB
merupakan suatu tindakan pembuktian dengan
cara yang sesuai bahwa tiap bahan, prosedur,
kegiatan,
sistem,
perlengkapan
atau
mekanisme yang digunakan dalam produksi
dan pengawasan akan senantiasa mencapai
hasil yang diinginkan (Depkes 2001). ASEAN
GMP (Association of South East Asian Nation
Good Manufacturing Practice) menyatakan
bahwa validasi adalah kegiatan membuktikan
dengan pasti bahwa material, proses,
prosedur, aktifitas, sistem, peralatan atau
mekanisme yang digunakan di pabrik akan
mencapai hasil yang diharapkan pada standar
yang konsisten (ASEAN 1996).
Validasi menurut Levin (2002) dibagi
menjadi empat kelas, yaitu kelas A, B, C, dan
D. Kelas A digunakan untuk identifikasi suatu
senyawa. Kelas B untuk mendeteksi dan
menentukan adanya pengotor. Kelas C dapat
menentukan senyawa secara kuantitatif dan
kelas D untuk mencari ciri suatu senyawa.
Parameter-parameter Validasi
Parameter-parameter validasi yang diuji
pada penelitian ini adalah limit deteksi, limit
kuantifikasi, linearitas, ketelitian, dan
ketepatan.
Limit Deteksi
Limit deteksi merupakan konsentrasi
analit terendah yang menghasilkan respons
yang masih dapat dideteksi oleh sistem, pada
umumnya perbandingan respons antara
analit:derau adalah 3:1. Penentuan limit
deteksi harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum memulai proses validasi (Depkes
2001; Green 1996).
Limit Kuantifikasi
Limit kuantifikasi adalah konsentrasi
analit terendah yang terdapat dalam sampel
yang dapat diukur secara tepat dan teliti. Limit
kuantifikasi
dapat
dihitung
sebagai
konsentrasi analit yang memiliki respons
analit:derau sebesar 10:1 (Green 1996; ICH
1994).
Linearitas
Linearitas suatu metode analisis adalah
ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian
atau korelasi antara kadar analit dengan
respons detektor. Linearitas diukur dengan
menghitung koefisien korelasi (r) yang
didapat dari kurva hubungan antara kadar
analit dengan respons detektor (Depkes 2001).
Respons detektor yang digunakan ialah luas
puncak. r yang didapat harus lebih besar dari
0.990 (ICH 1994). Secara matematis, nilai r
dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
r=
Σ i {( x i − x )( y i − y )}
{Σ i ( x i − x )}{Σi ( y i − y )}
Keterangan:
r = koefisien korelasi
xi = konsentrasi analit setiap ulangan
x = konsentrasi analit rata-rata
yi = luas puncak setiap ulangan
y = luas puncak rata-rata
Ketelitian
Ketelitian suatu metode analisis adalah
ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian
atau kedekatan setiap hasil analisis yang
dilakukan berulang pada sampel yang
homogen pada kondisi analisis yang sama
(Depkes 2001). Ketelitian diukur dengan
menghitung simpangan baku relatif (SBR) dari
enam kali pengukuran ulang, yang dihitung
dengan menggunakan rumus:
SB =
Σ in=1 ( x i − x ) 2
n −1
SBR (%) = 100 . SB
x
Keterangan:
SB
= simpangan baku
= kadar analit pada setiap ulangan
xi
= kadar analit rata-rata
x
n
= jumlah pengulangan
SBR = simpangan baku relatif
Kromatografi
(KCKT)
Cair
Kinerja
Tinggi
Kromatografi merupakan salah satu
metode pemisahan komponen-komponen
campuran dalam keadaan kesetimbangan
diantara dua fase yaitu fase diam yang dapat
menahan cuplikan dan fase gerak yang dapat
membawa
cuplikan.
Kromatografi
berdasarkan fase geraknya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu kromatografi gas dan
kromatografi cair (Day & Underwood 2002).
KCKT merupakan salah satu contoh
kromatografi cair yang menggunakan zat cair
sebagai fase gerak. Selain untuk pemisahan,
metode ini juga dapat digunakan untuk
analisis kualitatif dan kuantitatif. Keuntungan
menggunakan KCKT antara lain jumlah
sampel yang diperlukan
sangat sedikit
(beberapa mikroliter), waktu yang diperlukan
oleh suatu komponen untuk mencapai detektor
atau waktu retensinya hanya dalam beberapa
menit, dan batas deteksinya sampai nanogram
perliter. Instrumen dasar KCKT terdiri dari
pompa, sistem pemasukan sampel, kolom,
detektor,f dan rekorder (Hendayana et al.
1994).
BAHAN DAN METODE
Syarat penerimaan parameter validasi ini,
yaitu nilai SBR harus lebih kecil dari 2.0%
(ASEAN 1996, ICH 1994).
Ketepatan
Ketepatan merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat kedekatan hasil analisis
(kadar) suatu analit dengan nilai yang sebenarnya (Depkes 2001). Ketepatan diukur
dengan menghitung perolehan kembali (PK)
menggunakan metode penambahan standar.
Perolehan kembali ditentukan menggunakan
rumus:
PK (%) = a − b × 100%
c
Keterangan:
a = konsentrasi sampel + konsentrasi standar
yang terukur
b = konsentrasi sampel
c = konsentrasi
standar
teoretis
yang
ditambahkan
Nilai PK bergantung pada matriks
sampel, prosedur proses sampel, dan
konsentrasi analit. Batas penerimaan PK
menurut ICH (1994) adalah 80-110%.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan ialah
rimpang temulawak, standar xantorrhizol
dengan kemurnian 98.259%, NaOH 0.1N,
etanol, indikator universal, karbon aktif,
kloroform, NH4OH, H2SO4, pereaksi Mayer,
pereaksi Wagner, pereaksi Dragendorf, serbuk
Mg, amil alkohol, FeCl3, dietil eter, etil
asetat, toluena, lempeng KLT,
dan air
distilata.
Peralatan yang dperlukan ialah maserator,
radas penguap berputar, neraca analitik
Precisa XT 220A, eksikator, tanur, oven,
sonikator Branson 1510, perangkat KCKT
Hitachi dengan detektor UV-Vis L-2420, dan
filter 0.2 µm.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas persiapan bahan
baku, penentuan kadar air dan kadar abu, uji
fitokimia, ekstraksi, analisis KLT, persiapan
injeksi KCKT, validasi metode penentuan
xantorrhizol dengan KCKT, dan pengukuran
kadar xantorrhizol dalam rimpang temulawak
menggunakan KCKT. Bagan alir penelitian
terdapat pada Lampiran 1.
Persiapan Bahan Baku
Rimpang temulawak segar yang berasal
dari Kabupaten Semarang, hasil penelitian
lapangan Pusat Studi Biofarmaka IPB, dibagi
menjadi dua bagian yaitu dikupas dan tanpa
dikupas kulitnya. Rimpang tersebut dicuci
hingga bersih, kemudian diiris dan
dikeringkan pada suhu 40 oC. Temulawak
yang kering tersebut kemudian dihaluskan dan
disimpan.
Analisis Pendahuluan
Penetapan Kadar Air. Cawan porselin
dikeringkan pada temperatur 105 oC selama
30 menit, lalu ditempatkan di dalam eksikator
dan ditimbang. Rimpang temulawak yang
telah dihaluskan ditimbang sekitar 3 g dan
dimasukkan ke dalam cawan porselin. Sampel
beserta cawannya dikeringkan pada suhu 105
o
C selama 3 jam dan selanjutnya dimasukkan
ke dalam eksikator, lalu ditimbang. Prosedur
dilakukan berulang kali sampai didapatkan
bobot yang tetap dengan selisih kurang lebih
0.001 g. Pekerjaan dilakukan rangkap tiga
(Depkes 1995).
Kadar air = a – b x 100%
a
Keterangan:
a = bobot sampel sebelum dikeringkan
b = bobot sampel setelah dikeringkan
Penetapan Kadar Abu. Cawan porselin
dikeringkan pada temperatur 600 ºC selama
30 menit, lalu didinginkan dalam eksikator
dan ditimbang. Rimpang temulawak yang
telah dihaluskan ditimbang sekitar 3 g dan
dimasukkan ke dalam cawan porselin. Sampel
beserta cawannya dipanaskan dengan
pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi.
Cawan yang berisi sampel tersebut
dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan
suhu 600 ºC selama 30 menit, lalu
didinginkan dalam eksikator, kemudian
ditimbang. Prosedur dilakukan berulang kali
sampai didapatkan bobot yang tetap dengan
selisih kurang lebih 0.001 g. Pekerjaan
dilakukan rangkap tiga (Depkes 1995)
Kadar abu = a x 100%
b
Keterangan:
a = bobot abu sampel
b = bobot sampel
Uji Fitokimia. Uji yang dilakukan terdiri
atas uji flavonoid, alkaloid, steroid, terpenoid,
tanin, dan saponin (Harborne 1996).
Uji Flavonoid dan Saponin. Sebanyak 10
mL ekstrak ditambah 0.5 g serbuk Mg, 0.2
mL HCl dan 2 mL amil alkohol lalu dikocok.
Jika lapisan amil alkohol menjadi berwarna
cokelat maka positif terdapat flavonoid. Uji
saponin dilakukan dengan pengocokan 10 mL
filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10
detik. Adanya saponin ditunjukkan dengan
terbentuknya buih yang stabil.
Uji Alkaloid. Sebanyak 1 g ekstrak ditambah 10 mL CHCl3 dan beberapa tetes NH4OH.
Kemudian larutan disaring dan ekstrak yang
dihasilkan dikocok dengan 10 tetes H2SO4
2M. Lapisan asamnya diambil dan ditambah
pereaksi Mayer, Wagner, dan Dragendorf.
Hasil uji akan positif apabila terbentuk
endapan putih ketika direaksikan dengan
pereaksi Mayer, endapan cokelat dengan
pereaksi Wagner, dan endapan merah jingga
dengan pereaksi Dragendorf.
Uji Tanin. Sebanyak 4 mL ekstrak
dipanaskan selama 10 menit lalu disaring.
Filtrat yang diperoleh ditambah FeCl3 1%,
jika dihasilkan warna biru tua atau hijau maka
hasil uji positif terhadap tanin.
Uji Steroid dan Terpenoid. Bahan
diekstraksi dengan 10 mL etanol panas lalu
disaring dan diuapkan sampai kering. Residu
yang diperoleh dilarutkan dalam eter dan
disaring kembali sehingga diperoleh dua
bagian larut eter dan residu. Bagian yang larut
eter langsung diuji dengan dua tetes asam
asetat anhidrat dan H2SO4. Residu dilarutkan
kembali ke dalam HCl 2N dan disaring lagi,
residu yang diperoleh ditambah eter dan
dilakukan uji yang sama. Uji positif
ditunjukkan dengan warna biru atau hijau
untuk steroid dan merah ungu untuk
terpenoid.
Ekstraksi
Sistem ekstraksi xantorrhizol yang
dilakukan ada empat:
1. Ekstraksi xantorrhizol
dari
rimpang
temulawak tanpa kupas dengan perendaman
dalam NaOH.
Sebanyak 10 g serbuk temulawak tanpa
dikupas kulitnya direndam dalam larutan
NaOH 0.1 N selama 5 jam, kemudian dicuci
dengan akuades dan disaring. Residu
direndam lagi dalam NaOH 0.1 N selama 1
jam, lalu dicuci dengan akuades sampai pH ±
7 dan disaring lagi. Kemudian residu tersebut
dikeringkan. Residu temulawak yang telah
dikeringkan lalu diekstraksi dengan 50 mL
etanol selama 5 jam. Ekstrak yang dihasilkan
kemudian dipekatkan dengan radas penguap
berputar. Ekstrak ini kemudian dipanaskan
pada suhu 50 ºC, ditambahkan 0.1 g karbon
aktif, lalu disaring dan diambil filtratnya.
Filtrat yang diperoleh diuji secara kualitatif
dengan KLT dan uji fitokimia.
2. Ekstraksi xantorrhizol dari temulawak
tanpa kupas dan tanpa perendaman dalam
NaOH.
Serbuk temulawak yang tidak dikupas
kulitnya sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam
erlenmeyer dan diekstraksi dengan 100 mL
etanol selama 5 jam. Ekstrak yang dihasilkan
kemudian dipekatkan dengan radas penguap
berputar.
Ekstrak
tersebut
kemudian
dipanaskan pada suhu 50 ºC, ditambahkan 0.1
g karbon aktif, lalu disaring. Filtrat yang
dihasilkan lalu diuji secara kualitatif dengan
KLT dan uji fitokimia.
3. Ekstraksi xantorrhizol dari temulawak yang
dikupas kulitnya.
Sebanyak 10 g serbuk temulawak yang
dikupas kulitnya ditambah 100 mL etanol dan
diaduk selama 24 jam. Ekstrak yang
dihasilkan kemudian disaring dan diambil
filtratnya untuk diuji secara kualitatif dengan
KLT dan uji fitokimia.
4. Ekstraksi xantorrhizol dari temulawak
tanpa dikupas kulitnya.
Sebanyak 10 g serbuk temulawak yang
kulitnya tidak dikupas ditambah 100 mL
etanol dan diaduk selama 24 jam. Ekstrak
yang diperoleh kemudian disaring dan diambil
filtratnya untuk diuji secara kualitatif dengan
KLT dan uji fitokimia.
Bagan alir ekstraksi xantorrhizol disajikan
pada Lampiran 2.
Analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT)
Empat ekstrak yang dihasilkan dari empat
sistem ekstraksi yang berbeda dan standar
xantorrhizol ditotolkan pada lempeng silika
gel GF254 sebagai fase diam. Fase gerak yang
digunakan yaitu toluena:etil asetat (95:5).
Lempeng silika gel dimasukkan ke dalam
bejana pengembang yang berisi fase gerak
yang telah dijenuhkan. Lempeng tersebut
setelah selesai kemudian dikeringudarakan
dan dilakukan pengamatan bercak dengan
menggunakan lampu UV pada panjang
gelombang 254 nm.
Persiapan Injeksi KCKT
Persiapan injeksi KCKT terdiri atas
beberapa tahap, yaitu persiapan larutan stok
standar xantorrhizol, persiapan larutan standar
xantorrhizol, persiapan larutan ekstrak
temulawak, dan persiapan larutan ekstrak
temulawak dengan penambahan standar
xantorrhizol.
Persiapan Larutan Stok Standar
Xantorrhizol.
Larutan
stok
standar
xantorrhizol dibuat dengan menimbang 0.020
mg standar xantorrhizol dengan kemurnian
98.259%. Standar lalu dilarutkan dalam etanol
sampai volumenya 10 mL. Larutan tersebut
diambil 5.0 mL dan diencerkan sampai
volumenya 10 mL. Konsentrasi larutan stok
standar yang diperoleh yaitu 1000 ppm,
sedangkan konsentrasi standar xantorrhizol
yang sebenarnya adalah 982.59 ppm.
Persiapan
Larutan
Standar
Xantorrhizol.
Larutan
stok
standar
xantorrhizol 982.59 ppm diambil sebanyak
0.50, 0.75, 1.00, 1.25, dan 1.50 mL dan
dilarutkan dengan etanol sehingga volumenya
10 mL. Konsentrasi larutan standar yang
diperoleh sebesar 48.13, 73.69, 98.26, 122.82,
dan 147.39 ppm. Larutan ini kemudian
disaring dengan menggunakan filter 0.2 μm.
Persiapan
Larutan
Ekstrak
Temulawak. Filtrat ekstrak temulawak yang
dhasilkan dari proses ekstraksi ditepatkan
volumenya menjadi 100 mL dengan
menambahkan etanol. Larutan ekstrak diambil
10 mL dan dilarutkan dengan 90 mL sehingga
diperoleh 100 mL larutan ekstrak dengan
pengenceran sepuluh kali. Larutan ini
kemudian disaring dengan menggunakan filter
0.2 μm.
Persiapan Larutan Campuran Ekstrak
Temulawak dengan Standar Xantorrhizol
(Metode Penambahan Standar). Larutan ini
dibuat dengan menambahkan larutan stok
standar xantorrhizol 982.59 ppm sebesar 0.75,
1.00, dan 1.25 mL masing-masing ke dalam 1
mL larutan ekstrak temulawak awal yang
belum diencerkan. Campuran tersebut
ditepatkan volumenya menjadi 10 mL dengan
etanol dan disaring dengan filter 0.2 μm
sehingga diperoleh konsentrasi standar 73.69,
98.26, dan 122.82 ppm. Bagan persiapan
terdapat pada Lampiran 3.
Uji Kesesuaian Sistem
Larutan standar xantorrhizol 122.82 ppm
diinjeksikan ke dalam KCKT sebanyak 5 kali
pengulangan.
Faktor
ikutan
dihitung
berdasarkan kromatogram yang diperoleh.
Validasi Metode Penentuan Xantorrhizol
Kadar xantorrhizol dianalisis dengan
menggunakan KCKT. Kolom yang digunakan
adalah kolom C18 yang berbahan pengisi
silika dengan detektor ultraviolet (UV).
Rincian metode yang diperoleh dari Pusat
Studi Biofarmaka hasil kerjasama dengan LG
Company, Korea Selatan, belum dapat
diberikan.
Limit deteksi dan Limit Kuantifikasi.
Larutan
standar
xantorrhizol
dengan
konsentrasi 9.83, 24.56, 48.13, 73.69, dan
98.26 ppm diinjeksikan langsung ke dalam
kolom KCKT. Limit deteksi pengukuran ini
merupakan konsentrasi xantorrhizol terendah
yang menghasilkan respons analat:derau
sebesar 3:1, sedangkan limit kuantifikasi 10:1.
Linearitas. Larutan standar xantorrhizol
dengan konsentrasi 48.13, 73.69, 98.26,
122.82, dan 147.39 ppm diinjeksikan ke
dalam KCKT masing-masing sebanyak 3 kali.
Ketelitian. Uji ketelitian menggunakan
larutan ekstrak temulawak metode ekstraksi
yang dapat mengekstraksi xantorrhizol
terbesar dibandingkan dengan metode yang
lain. Larutan ini diinjeksikan sebanyak 6 kali.
Ketepatan. Ketepatan metode ini diuji
dengan menggunakan metode penambahan
standar. Larutan ekstrak temulawak yang akan
diukur langsung diinjeksikan ke dalam KCKT
sebanyak 3 kali. Kemudian larutan campuran
ekstrak temulawak dan standar xantorrhizol
konsentrasi 73.69, 98.26, dan 122.82 ppm
diinjeksikan masing-masing sebanyak 3 kali.
Pengukuran Kadar Xantorrhizol
Larutan ekstrak temulawak yang diperoleh
dari proses ekstraksi kemudian diukur kadar
xantorrhizolnya dengan menggunakan KCKT.
Kadar xantorrhizol ditentukan berdasarkan
kurva standar yang merupakan hubungan
antara konsentrasi standar dengan luas puncak
xantorrhizol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Pendahuluan
Penentuan kadar air berguna untuk
mengetahui ketahanan suatu bahan yang akan
disimpan agak lama, karena kandungan air di
dalam suatu bahan merupakan media tumbuh
bakteri dan mikroorganisme. Hasil analisis
kadar air dapat dilihat pada Lampiran 4 dan
rerata kadar air ditampilkan dalam Tabel 1.
Kadar air rimpang temulawak yang segar
adalah sebesar 64.66%. Kandungan air
rimpang temulawak segar cukup besar,
sehingga tidak baik untuk disimpan dalam
waktu yang lama. Untuk menanggulanginya
maka rimpang temulawak segar harus
dikeringkan terlebih dahulu karena kadar air
yang
kecil
memungkinkan
untuk
penyimpanan bahan yang lama. Rimpang
temulawak
yang
telah
dikeringkan
mempunyai kadar air yang lebih kecil, yaitu
3.69%, artinya rimpang temulawak kering
lebih tahan lama untuk disimpan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Winarno (1997),
yaitu bila kadar air yang terkandung dalam
suatu bahan berkisar antara 3-7%, maka
kestabilan optimum bahan akan tercapai dan
pertumbuhan mikroba dapat dikurangi. Di
samping itu, kadar air rimpang temulawak
segar berguna untuk mengetahui berapa
banyak rimpang temulawak kering yang
diperoleh setelah proses pengeringan.
Kadar air juga dapat dipakai untuk
menentukan kadar zat aktif berdasarkan bobot
keringnya karena jumlah air yang terkandung
bergantung pada perlakuan yang telah dialami
bahan dan kelembaban udara tempat
penyimpanan. Bahan yang sama jika
dianalisis pada waktu yang berbeda dapat
menghasilkan kadar zat aktif yang berbeda
pula bila kelembaban bahan tersebut berubah.
Jika kadar air bahan diketahui maka bobot
kering bahan juga akan dapat ditentukan, dan
bobot kering itu tetap. Jadi, apabila zat aktif
bahan tidak rusak dan bahan juga tidak
mengalami perubahan kecuali kadar airnya,
maka kadar zat aktif yang ditentukan
berdasarkan bobot keringnya akan konstan
nilainya (Harjadi 1986).
Penentuan kadar abu dilakukan untuk
menentukan
kandungan
bahan-bahan
anorganik atau mineral dalam suatu bahan.
Hasil analisis kadar abu rimpang temulawak
disajikan pada Lampiran 5. Tabel 1
menunjukkan rerata kadar abu rimpang
temulawak segar berdasarkan bobot kering
adalah 6.20% dan rimpang temulawak kering
5.30%. Kadar abu rimpang temulawak segar
lebih besar daripada yang kering, artinya
kandungan bahan anorganik dalam rimpang
temulawak yang segar lebih besar dari yang
telah dikeringkan.
Tabel 1 Kadar air dan kadar abu temulawak
Kadar air*
Kadar abu*
Temulawak
(%)
(%)
Kering
3.69
5.30
Segar
64.66
6.20
*rerata dari tiga kali ulangan.
Uji fitokimia dilakukan sebagai uji awal
untuk mengetahui kandungan senyawa
metabolit sekunder dalam temulawak dan
pengaruh proses pengeringan rimpang
temulawak dari segar menjadi kering. Uji ini
meliputi uji flavonoid, alkaloid, steroid,
terpenoid, tanin, dan saponin. Uji terpenoid
penting dilakukan karena xantorrhizol
merupakan salah satu senyawa terpenoid,
yaitu seskuiterpen. Uji yang lain dilakukan
untuk mengetahui adanya senyawa lain yang
dapat menggangu analisis berikutnya.
Hasil uji fitokimia pendahuluan rimpang
temulawak disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan pada hasil tersebut diketahui
bahwa proses pengeringan temulawak pada
suhu 40 oC tidak merusak kandungan senyawa
terpenoid yang ada dalam rimpang
temulawak. Selain terpenoid, semua rimpang
temulawak mengandung senyawa yang lain,
yaitu flavonoid, alkaloid, dan steroid.
Senyawa inilah yang diduga akan menggangu
analisis selanjutnya dengan menggunakan
KCKT.
Tabel 2 Uji fitokimia pendahuluan rimpang
temulawak
Uji
Flavonoid
Dragendorf
Mayer
Wagner
Steroid
Terpenoid
Tanin
Saponin
Tanpa
kupas
segar
++
+
+
+++
+++
-
Kupas
segar
++
+
+
+++
+++
-
Tanpa
kupas
kering
++
+
+
+++
+++
-
Kupas
kering
++
+
+
+++
+++
-
*tanda (-) menyatakan hasil uji negatif, tanda (+)
menyatakan hasil uji positif dan intensitas warnanya.
Ekstraksi Xantorrhizol
Proses ekstraksi dilakukan dengan
menggunakan empat sistem ekstraksi yang
berbeda. Penggunaan empat sistem ekstraksi
dimaksudkan untuk mendapatkan satu sistem
ekstraksi yang dapat mengekstraksi kadar
xantorrhizol terbesar. Semua sistem ekstraksi
menggunakan etanol sebagai pelarut karena
xantorrhizol memiliki kelarutan yang tinggi
dalam etanol. Selain itu, sampai saat ini di
Indonesia hanya air dan etanol yang
diperbolehkan sebagai pelarut dalam bidang
farmasi karena tidak berbahaya bagi tubuh.
Metode maserasi digunakan pada semua
sistem ekstraksi. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah terjadinya dekomposisi komponenkomponen yang tidak tahan pemanasan (Sidik
1992). Di samping itu, untuk skala industri
metode ini cukup praktis dan tidak
memerlukan dana yang besar.
Sistem ekstraksi 1 menggunakan rimpang
temulawak kering yang tidak dikupas kulitnya
dan kemudian direndam dalam NaOH. Proses
perendaman ini bertujuan menghilangkan
pengotor atau senyawa yang berbobot molekul
besar seperti lemak (Robinson 1995). Residu
kemudian dikeringkan, lalu diekstraksi dengan
menggunakan pelarut etanol. Setelah itu
ekstrak dipanaskan dan ditambahkan karbon
aktif untuk menghilangkan pengotor yang ikut
terekstraksi. Sistem ekstraksi 2 hampir sama
dengan sistem 1, tetapi pada sistem 2 rimpang
temulawak tidak direndam dahulu dalam
NaOH. Dua sistem ekstraksi ini dapat
menunjukkan pengaruh proses perendaman
dalam NaOH terhadap rendemen dan kadar
xanthorrhizol hasil ekstraksi.
Sampel yang digunakan pada sistem
ekstraksi 3 adalah rimpang temulawak kering
yang sudah dikupas kulitnya dan langsung
diekstraksi dengan etanol tanpa perendaman
dalam NaOH, pemanasan, dan penambahan
karbon aktif. Sistem ekstraksi 4 sama dengan
yang ketiga, hanya sampel yang digunakan
rimpang temulawak kering yang tidak dikupas
kulitnya. Kedua sistem ini memperlihatkan
pengaruh dari sampel, antara yang dikupas
kulitnya dan tidak, terhadap rendemen serta
kadar xantorrhizol yang terekstraksi.
Data rendemen hasil ekstraksi ditampilkan
pada Lampiran 6, sedangkan rerata rendemen
dapat dilihat pada Tabel 3. Sistem ekstraksi 4
memiliki rendemen terbesar dibandingkan
dengan yang lain, yaitu 4.40%. Hal ini
disebabkan oleh waktu ekstraksi atau maserasi
pada sistem ini lebih lama dibandingkan yang
lain, yaitu 24 jam. Artinya kontak atau
interaksi antara serbuk rimpang temulawak
dengan etanol sebagai pelarut lebih lama
sehingga
komponen-komponen
dalam
temulawak lebih banyak terekstraksi oleh
etanol. Sistem ekstraksi 3 juga memiliki
waktu ekstraksi yang sama dengan sistem 4
tetapi rendemen ekstraksi yang dihasilkan
lebih kecil karena menggunakan rimpang
temulawak yang kulitnya dikupas. Beberapa
senyawa aktif temulawak, di antaranya adalah
xantorrhizol, berada di kulit ataupun di antara
kulit dan daging rimpang temulawak,
sehingga jika rimpang temulawak dikupas
maka senyawa-senyawa tersebut akan hilang
dan mengurangi rendemen ekstraksi yang
dihasilkan.
Sistem ekstraksi 1 memiliki rendemen
terkecil, yaitu 0.55%, sedangkan rendemen
sistem ekstraksi 2 sebesar 4.10%. Ekstrak
kedua sistem ini mengalami proses pemanasan
pada suhu 50 °C dan penambahan karbon
aktif yang diperkirakan dapat menghilangkan
pengotor yang ikut terekstraksi, namun
perbedaan rendemen yang dihasilkan cukup
besar. Hal ini dikarenakan oleh rimpang
temulawak sistem 1 sebelum diekstraksi
dengan etanol direndam terlebih dahulu dalam
NaOH yang dapat menghilangkan pengotor
sehingga rendemen ekstraksi akan berkurang
dan ekstrak yang dihasilkan diperkirakan akan
lebih murni. Rendemen kedua sistem ini lebih
kecil dibandingkan dengan sistem ekstraksi 4
karena waktu ekstraksinya yang lebih singkat
dari sistem 4, yaitu 5 jam.
Tabel 3 Rendemen hasil ekstraksi rimpang
temulawak*
Sistem
ekstraksi
Bobot
sampel (g)
Bobot
ekstrak (g)
Rendemen
(%)
1
10.0081
0.0554
0.58
2
10.0092
0.3965
4.10
3
10.0053
0.3250
3.37
0.4376
4.54
4
10.0029
* rerata dari tiga kali ulangan
Uji fitokimia dilakukan kembali terhadap
ekstrak yang dihasilkan untuk mengetahui
senyawa lain yang ikut terekstraksi yang dapat
berpengaruh terhadap analisis selanjutnya
dengan menggunakan KCKT. Hasil uji
fitokimia ekstrak disajikan pada Tabel 4.
Semua ekstrak mengandung senyawasenyawa yang sama seperti sebelum
diekstraksi, yaitu flavonoid, alkaloid, steroid,
dan terpenoid dengan intensitas warna yang
sama, kecuali sistem ekstraksi 1. Ekstrak ini
diperkirakan
mengalami
penurunan
kandungan flavonoid, steroid, dan terpenoid
yang ditunjukkan dengan berkurangnya
intensitas warna yang terbentuk.
Analisis dengan KLT
Analisis dengan KLT dilakukan untuk
menentukan adanya kandungan xantorrhizol
dalam ekstrak dan menentukan ekstrak yang
akan dianalisis dengan menggunakan KCKT.
Eluen pengembang yang digunakan yaitu
toluena:etil asetat (95:5) yang merupakan
eluen yang khas untuk xantorrhizol. Lempeng
KLT yang digunakan adalah silika gel GF254
karena lempeng ini mengandung indikator
fluorosensi yang akan membuatnya bersinar
jika dikenai sinar yang memiliki panjang
gelombang yang tepat pada daerah UV
(Gritter et al. 1991). Hal ini diperlukan untuk
penampakan bercak yang tidak terlihat oleh
mata.
Gambar 4 merupakan kromatogram hasil
KLT ekstrak rimpang temulawak setelah
disinari oleh sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm. Lempeng KLT tampak
berwarna hijau dan semua bercak muncul
dengan warna kuning, kecuali bercak yang
dapat diamati secara langsung berwarna
jingga. Nilai Rf dan warna bercak standar
xantorrhizol dan ekstrak hasil ekstraksi dapat
dilihat pada Lampiran 7. Standar xantorrhizol
muncul dengan bercak tunggal berwarna
kuning yang berekor, menunjukkan adanya
ketidakmurnian standar. Standar xantorrhizol
yang
digunakan
memiliki
kemurnian
98.259%. Nilai Rf standar xanthorrhizol
0.5311 maka bercak yang memiliki nilai Rf ±
0.5311 dan warna bercak yang sama diduga
merupakan xantorrhizol.
Tabel 4 Uji fitokimia ekstrak temulawak
Uji
Flavonoid
Dragendorf
Mayer
Wagner
Steroid
Terpenoid
Tanin
Saponin
1*
+
+
+
+
++
-
2*
++
+
+
+++
+++
-
3*
++
+
+
+++
+++
-
4*
++
+
+
+++
+++
-
*1: sistem ekstraksi 1, 2: sistem ekstraksi 2, 3: sistem
ekstraksi 3, 4: sistem ekstraksi 4, tanda (-) menyatakan
hasil uji negatif, tanda (+) menyatakan hasil uji positif
dan intensitas warnanya.
S 1 2 3
4
Gambar 4 Kromatogram hasil KLT standar
xantorrhizol (s), ekstrak sistem
ekstraksi 1 (1), ekstrak sistem
ekstraksi 2 (2), ekstrak sistem
ekstraksi 3 (3), dan ekstrak sistem
ekstraksi 4 (4).
Ekstrak yang memiliki bercak dengan nilai
Rf dan warna yang sama dengan standar
adalah ekstrak sistem ekstraksi 1, 3, dan 4.
Ekstrak sistem ekstraksi 2 tidak memiliki
bercak dengan nilai Rf yang sama dengan
standar atau bercak xantorrhizol. Hal ini
dikarenakan oleh waktu ekstraksi sistem 2
hanya 5 jam, sehingga xantorrhizol dalam
rimpang temulawak tidak ikut terekstraksi
atau hanya sedikit sekali yang terekstraksi.
Proses pemanasan dan penambahan karbon
aktif terhadap ekstrak sistem 2 yang bertujuan
untuk menghilangkan pengotor, juga diduga
menghilangkan xantorrhizol sehingga analisis
KLT menunjukkan bahwa ekstrak ini tidak
mengandung xantorrhizol.
Ekstrak dengan jumlah bercak paling
banyak adalah ekstrak sistem ekstraksi 4
dengan tujuh bercak dan ekstrak yang
mempunyai bercak paling sedikit ialah ekstrak
sistem ekstraksi 1 dan 2. Menurut Gritter et al.
(1991) bercak tunggal pada KLT menandakan
tingkat kemurnian yang baik. Banyaknya
bercak menunjukkan adanya senyawa selain
xantorrhizol yang ikut terekstrak yang diduga
akan mengganggu analisis KCKT. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hasil ekstraksi
rimpang temulawak yang dihasilkan tidak
murni.
Ekstrak yang akan dianalisis kadar
xantorrhizolnya dengan KCKT berdasarkan
rendemen hasil ekstraksi, hasil KLT, dan uji
fitokimia adalah ekstrak sistem ekstraksi 1
dan 4. Ekstrak sistem 4 dipilih karena
menghasilkan
rendemen
terbesar
dibandingkan dengan yang lain dan hasil
analisis KLT menunjukkan bahwa ekstrak 4
mengandung xantorrhizol. Ekstrak 1 dipilih
berdasarkan
analisis
KLT
yang
memperlihatkan bahwa ekstrak 1 memiliki
jumlah senyawa dan pengotor paling sedikit
dan mengandung xantorrhizol walaupun
rendemennya paling kecil.
Uji Kesesuaian Sistem
Analisis kadar xantorrhizol dilakukan
dengan KCKT menggunakan kolom C18,
dengan detektor UV. Sistem elusi yang
digunakan adalah gradien, yaitu adanya
perubahan komposisi eluen selama elusi
berlangsung. Sistem ini dapat meningkatkan
efisiensi pemisahan komponen-komponen
sampel, mempercepat waktu pemisahan tanpa
mengurangi resolusi puncak yang muncul di
awal (Skoog et al. 1992). Analisis KCKT ini
menggunakan metode fase terb
PENENTUAN XANTORRHIZOL DARI TEMULAWAK
SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI
SRI WAHYUNI NUR
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK
SRI WAHYUNI NUR. Perbandingan Sistem Ekstraksi dan Validasi Penentuan
Xantorrhizol dari Temulawak. Dibimbing oleh LATIFAH KOSIM DARUSMAN dan
IRMANIDA BATUBARA.
Xantorrhizol merupakan salah satu komponen minyak atsiri yang terdapat pada
temulawak dan memiliki aktivitas antioksidan, antikanker, dan antibakteri. Sistem
ekstraksi yang efektif dan efesien diperlukan untuk mengekstraksi xantorrhizol dari
temulawak sehingga dapat diterapkan dalam industri. Analisis kadar xantorrhizol
dilakukan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Untuk meyakinkan bahwa
metode analisis KCKT dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan maka
metode tersebut divalidasi. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sistem ekstraksi
xantorrhizol dan membuktikan bahwa metode KCKT memenuhi persyaratan validasi.
Ekstraksi xantorrhizol dilakukan dengan menggunakan empat sistem ekstraksi yang
berbeda. Parameter validasi yang dievaluasi terdiri atas limit deteksi, limit kuantifikasi,
linearitas, ketelitian, dan ketepatan.
Sistem ekstraksi yang menggunakan rimpang temulawak yang tidak dikupas kulitnya
dan dimaserasi selama 24 jam dengan etanol adalah yang terbaik. Kadar xantorrhizol
dalam ekstrak ialah 107.92 ppm atau 1.11%b/b. Analisis KCKT standar xantorrhizol
menghasilkan puncak dengan waktu retensi 7.910 ± 0.092 menit. Limit deteksi dan limit
kuantitasi metode adalah 9.83 ppm dan 65.79 ppm. Persamaan regresi y = 165608 +
104355x dan nilai koefisien korelasi 0.9998 menunjukkan analisis ini memiliki linearitas
yang tinggi. Metode analisis ini memiliki ketelitian dan ketepatan yang baik dengan nilai
simpangan baku relatif 1.52% dan rerata perolehan kembali sebesar 106.27 ± 1.79%.
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan kadar xantorrhizol secara kuantitatif.
ABSTRACT
SRI WAHYUNI NUR. Comparison of Extraction Systems and Validation of
Xanthorrhizol Determination from Java Turmeric. Supervised by LATIFAH KOSIM
DARUSMAN and IRMANIDA BATUBARA.
Xanthorrhizol is one component of volatile oils in java turmeric (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) and shows antioxidant, anticancer, and antibacterial activities. An
effective and efficient extraction system is needed to extract xanthorrhizol from java
turmeric so that it can be applied in industry. Xanthorrhizol content analysis was done by
high performance liquid chromatography (HPLC). To make sure that HPLC analysis
method can be used for the intended purpose then the method was validated. The
objectives of this research were to compare xanthorrhizol extraction systems and prove
that HPLC method fulfill the terms of validation. Xanthorrhizol extraction was done by
four different extraction systems. Parameters of validation consisted of limit of detection
(LOD), limit of quantification (LOQ), linearity, precision, and accuracy.
The system using rhizome of java turmeric without peeling and macerated for 24
hours using ethanol was the best. Xanthorrhizol content in the extract was 107.92 ppm or
1.11%w/w. HPLC identification of xanthorrhizol standard showing peaks with retention
time 7.910 ± 0.092 minutes. LOD and LOQ of this method were 9.83 ppm and 65.79
ppm, respectively. Regression equation y = 165608 + 104355x and with coefficient
correlation value 0.9998 showed the high linearity of this analysis. The method had good
precision and accuracy with relative standard deviation 1.52% and average recovery
106.27 ± 1.79%. This method is valid to be used for determining xanthorrhizol content
quantitatively.
PERBANDINGAN SISTEM EKSTRAKSI DAN VALIDASI
PENENTUAN XANTORRHIZOL DARI TEMULAWAK
SECARA KROMATOGRAFI KINERJA TINGGI
SRI WAHYUNI NUR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul : Perbandingan Sistem Ekstraksi dan Validasi Penentuan
dari Temulawak secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Nama : Sri Wahyuni Nur
NIM : G44201007
Xantorrhizol
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S.
NIP 130536681
Irmanida Batubara, S.Si., M.Si.
NIP 132312528
Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131473999
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun
berdasarkan hasil penelitian dengan judul Perbandingan Sistem Ekstraksi dan Validasi
Penentuan Xantorrhizol dari Temulawak yang dilaksanakan mulai Juli 2005 sampai
Februari 2006 di Laboratorium Kimia Analitik dan Pusat Studi Biofarmaka, Institut
Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah K.
Darusman, MS, dan Ibu Irmanida Batubara, MSi. selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, saran, dan ilmu selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah
ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB atas
bantuan dana penelitian yang merupakan kerjasama dengan University of Yonsei, Korea
Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, adik-adik
tersayang (Ardi dan Irwan) dan seluruh keluarga atas segala doa, dukungan semangat,
perhatian, dan kasih sayangnya.
Penulis berterima kasih kepada Om Eman, Ibu Enung, dan seluruh staf serta
laboran Kimia Analitik atas fasilitas dan bantuan yang telah diberikan. Terima kasih
kepada Ibu Nunuk, Zaim, dan rekan-rekan dari Pusat Studi Biofarmaka atas bantuannya
selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Sekar, Nersy,
Aning, Nita, Lia, Wulan, Anis, Rehan, Pipit, Green House Family, D5, rekan-rekan
seperjuangan di Laboratorium Kimia Analitik, dan teman-teman Kimia angkatan 38 atas
saran, semangat, kerja sama, dan kebersamaannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
Sri Wahyuni Nur
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 18 Februari 1984 dari ayah Saleh Waluya
Nur dan ibu Rohanah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Cikarang dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB. Penulis memilih Program Studi Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada tahun 2004 penulis melakukan praktik lapangan di PT
Indofarma (Persero) Tbk di Cibitung, Bekasi.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Kimia Dasar I,
Kimia Analitik I, Kimia Analitik II, Kimia Anorganik II pada tahun ajaran 2004/2005,
dan Kimia Analitik Instrumental pada tahun ajaran 2005/2006. Penulis juga aktif sebagai
pengurus Biro Forum Aktivitas Remaja Bernuansa Islami DKM Al-Ghifari IPB tahun
2003/2004.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................... viii
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak............................................................................................................. 1
Komposisi Kimia Temulawak................................................................................ 2
Xantorrhizol ........................................................................................................... 2
Ekstraksi................................................................................................................. 2
Uji Kesesuaian Sistem............................................................................................ 3
Validasi .................................................................................................................. 3
Parameter-parameter Validasi ............................................................................... 3
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ........................................................... 4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ...................................................................................................... 4
Metode Penelitian .................................................................................................. 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Pendahuluan .................................................................................................... 7
Ekstraksi Xantorrhizol ........................................................................................... 8
Analisis dengan KLT............................................................................................. 9
Uji Kesesuaian Sistem............................................................................................ 10
Validasi Metode Penentuan Xantorrhizol dengan KCKT...................................... 10
Pengukuran Kadar Xantorrhizol dengan KCKT .................................................... 12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan................................................................................................................ 12
Saran ...................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 13
LAMPIRAN .................................................................................................................... 15
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kadar air dan kadar abu temulawak............................................................................. 7
2 Uji fitokimia pendahuluan rimpang temulawak
......... 8
3 Rendemen hasil ekstraksi rimpang temulawak ............................................................ 9
4 Uji fitokimia ekstrak temulawak.................................................................................. 9
5 Hasil uji kesesuaian sistem .......................................................................................... 10
6 Waktu retensi dan luas puncak larutan standar xantorrhizol ....................................... 11
7 Hasil uji ketelitian ........................................................................................................ 11
8 Data perolehan kembali ............................................................................................... 11
9 Konsentrasi dan kadar xantorrhizol pada ekstrak ....................................................... 12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman temulawak .................................................................................................... 2
2 Rimpang temulawak .................................................................................................... 2
3 Xantorrhizol ................................................................................................................. 2
4 Kromatogram hasil KLT standar xantorrhizol (s), ekstrak sistem ekstraksi 1 (1),
ekstrak sistem ekstraksi 2 (2), ekstrak sistem ekstraksi 3 (3), dan ekstrak sistem
ekstraksi 4 (4)............................................................................................................... 9
5 Kurva standar xantorrhizol .......................................................................................... 11
6 Kromatogram ekstrak (a) sistem ekstraksi 1 (b) sistem ekstraksi 4............................. 13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Bagan alir penelitian .................................................................................................. 16
2
Bagan alir ekstraksi xantorrhizol ............................................................................... 17
3
Bagan persiapan larutan dengan metode penambahan standar .................................. 18
4
Hasil analisis kadar air rimpang temulawak .............................................................. 18
5
Hasil analisis kadar abu rimpang temulawak............................................................. 19
6
Data rendemen hasil ekstraksi rimpang temulawak................................................... 19
7
Nilai Rf dan warna bercak hasil KLT ........................................................................ 20
8
Kromatogram larutan standar xantorrhizol 122.82 ppm ............................................ 20
9
Perhitungan faktor ikutan (T)..................................................................................... 22
10 Kromatogram larutan standar xantorrhizol konsentrasi (a) 9.83 ppm (b) 24.56 ppm
(c) 73.69 ppm (d) 98.26 ppm (e) 147.39 ppm............................................................ 23
11 Kromatogram larutan blanko ..................................................................................... 24
12 Perhitungan kadar xantorrhizol dalam ekstrak rimpang temulawak .......................... 25
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara
tropis yang kaya akan keanekaragaman
tumbuhan. Jumlah spesies tumbuhan yang ada
di Indonesia lebih dari 30.000 spesies dan
tidak kurang dari 7.000 spesies di antaranya
diketahui memiliki khasiat sebagai obat.
Namun dari 7.000 spesies tersebut, hanya
sekitar 300 spesies atau 4.5% yang telah
dimanfaatkan dan diolah (Deptan 2004). Data
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki potensi kekayaan tanaman obat yang
sangat besar tetapi belum dimanfaatkan secara
optimal.
Temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza
Roxb.) adalah tanaman asli Indonesia yang
tumbuh berumpun. Tanaman ini telah lama
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia sebagai obat tradisonal, zat warna,
maupun sebagai bahan pangan. Temulawak
merupakan salah satu tanaman obat unggulan
Departemen Pertanian (Deptan) dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun
2004 (Deptan 2004).
Kandungan kimia rimpang temulawak
adalah zat pati (sebagai kandungan terbanyak,
biasanya digunakan sebagai bahan makanan),
kurkuminoid, dan minyak atsiri (Sidik et al.
1992). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui
bahwa
khasiat
temulawak
terutama
disebabkan oleh dua kandungan utamanya,
yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri.
Kurkuminoid memberikan warna kuning pada
rimpang temulawak, yang terdiri atas
kurkumin dan desmetoksikurkumin. Minyak
atsiri temulawak mempunyai rasa yang tajam
dengan bau khas aromatik, terdiri atas 32
komponen yang secara umum bersifat
meningkatkan produksi getah empedu dan
antiinflamatori. Kandungan utama dalam
minyak atsiri temulawak adalah xantorrhizol,
germakren, trisiklin, dan afla-aromadendren
(Oei et al. 1985).
Xantorrhizol merupakan suatu senyawa
yang khas dari temulawak dan memiliki
aktivitas antibakteri, antiseptik, dan antibiotik
(Sirait et al. 1985). Industri yang mengolah
temulawak umumnya menggunakan metode
penggodokan untuk mendapatkan campuran
yang berkhasiat. Metode yang digunakan
sebagian besar menggunakan air sebagai
pelarut. Hal ini kurang efektif karena banyak
senyawa aktif termasuk xantorrhizol yang
tidak larut dengan baik di dalam air. Oleh
karena itu perlu dicari metode ekstraksi yang
lebih baik untuk mengambil xantorrhizol
dalam temulawak sehingga dapat diterapkan
dalam industri.
Xantorrhizol dari temulawak dapat
dianalisis dengan berbagai macam cara, yaitu
dengan menggunakan kromatografi gas (KG),
kromatografi
gas-spektrometri
massa,
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT),
spektrofotometri ultraviolet (UV), dan
kromatografi lapis tipis (KLT). Analisis kadar
xantorrhizol pada penelitian ini menggunakan
KCKT karena metode tersebut memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang lain. Selain itu KCKT hanya
memerlukan jumlah sampel yang sedikit
(beberapa mikroliter), dapat digunakan untuk
sampel yang bersifat volatil maupun
nonvolatil, dan waktu analisis yang lebih
cepat (Hendayana et al. 1994). Hasil analisis
yang akurat dan absah akan diperoleh apabila
metode yang digunakan telah tervalidasi.
Validasi merupakan suatu kegiatan untuk
membuktikan bahwa metode analisis telah
dilakukan dengan benar sesuai dengan tujuan
yang diinginkan (Green 1996). Untuk
meyakinkan bahwa metode analisis dapat
digunakan dan menjamin mutu produk yang
dihasilkan sesuai persyaratan, maka metode
tersebut harus divalidasi. Pada umumnya,
metode analisis tersebut harus memenuhi
syarat penerimaan parameter validasi, yaitu
ketelitian,
ketepatan,
linearitas,
dan
spesifisitas.
Tujuan
penelitian
ini
adalah
membandingkan sistem ekstraksi yang
berbeda terhadap kadar xantorrhizol yang
terekstraksi dari rimpang temulawak dan
memperoleh hasil validasi metode analisis
xantorrhizol dengan KCKT. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik
dan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian
Bogor dan berlangsung dari bulan Juli 2005
sampai Februari 2006.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak
Curcuma xanthorrhiza Roxb. atau yang
dikenal dengan nama temulawak menurut Oei
et al. (1985) merupakan salah satu tumbuhan
dari 16 jenis temu-temuan yang tumbuh di
Indonesia dan sudah lama digunakan dalam
pengobatan tradisional (Gambar 1). Curcuma
berasal dari kata Arab: kurkum yang berarti
kuning. Xanthorrhiza berasal dari kata
Yunani: xanthos berarti kuning dan rhiza
berarti akar. Temulawak dikenal juga dengan
nama geelwortel (Belanda), Javanischer
gelbwurzel (Jerman), koneng gede (Sunda),
dan temolobak (Madura) (Oei et al. 1985).
Sesuai
dengan
klasifikasi
botani,
temulawak termasuk dalam
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Gambar 1 Tanaman temulawak.
Temulawak dapat digunakan sebagai jamu
untuk obat demam (malaria), pegal-pegal, dan
sembelit. Air perasan atau rebusannya dapat
dipakai
sebagai
alternatif
pengobatan
gangguan hati dan penyakit kuning. Selain itu,
ekstrak temulawak juga dapat menambah
nafsu makan, menurunkan kadar kolesterol
dan trigliserida darah, menghambat kerja
enzim yang penting untuk pertumbuhan sel
tumor, serta mencegah dan menyembuhkan
jerawat (Sidik et al.1992).
sebagai bahan pangan, bahan baku industri,
dan bahan baku obat ialah pati, minyak atsiri,
dan kurkuminoid (Sidik et al. 1992). Minyak
atsiri atau
minyak menguap merupakan
komponen
dalam
temulawak
yang
memberikan bau yang khas, sedangkan
kurkuminoid yang memberikan warna kuning
pada temulawak terdiri atas kurkumin dan
desmetoksikurkumin.
Xantorrhizol
Xantorrhizol
merupakan
komponen
minyak atsiri rimpang temulawak yang
termasuk ke dalam kelompok terpen
teroksigenasi (Setijadi 1985). Xantorrhizol
merupakan komponen yang khas dalam
minyak atsiri rimpang temulawak.
Gambar 3 menunjukkan struktur kimia
xantorrhizol. Rumus molekulnya ialah
C15H22O dengan bobot molekul 218.3 g/mol
(Sidik 1992). Nama IUPAC (International
Union of Pure and Applied Chemistry) dari
xantorrhizol adalah 5-(1,5-dimetil-heks-4enil)-2-metil-fenol. Xantorrhizol merupakan
minyak yang tidak berwarna serta larut dalam
DMSO (dimetilsulfatoksida) dan etanol
100%.
CH3
OH
CH3
CH3
H3C
Komposisi Kimia Temulawak
Gambar 3 Xantorrhizol.
Semua bagian dari temulawak berkhasiat,
namun bagian yang paling berharga adalah
rimpangnya atau umbinya (Gambar 2).
Rimpang temulawak ini mengandung lebih
dari 100 macam senyawa seperti pati, protein,
serat, kurkumin, glikosida, toluil metil
karbinol, kalium oksalat, essoil, Lsikloiprenmirsen,
dan minyak atsiri
(Wijayakusuma 2001).
Xantorrhizol memiliki banyak kegunaan,
salah satunya dalam bidang farmasi. Senyawa
ini memiliki aktivitas antikanker. Selain itu,
xantorrhizol juga dapat digunakan sebagai
antiseptik atau antibiotik pada pengobatan gigi
dengan cara mematikan Streptococcus mutans
yang merupakan salah satu bakteri penyebab
sakit gigi (Hwang et al. 2000).
Ekstraksi
Gambar 2 Rimpang temulawak.
Kandungan kimia rimpang temulawak
yang memberi arti pada penggunaannya
Pemilihan metode ekstraksi yang tepat
tergantung pada tekstur dan kandungan air
dalam bahan yang diekstraksi dan jenis
senyawa yang diisolasi (Harborne 1996).
Minyak atsiri yang terkandung dalam
temulawak dapat diperoleh dengan cara
distilasi uap dengan menggunakan pelarut air,
eter, alkohol, benzena, toluena, atau
kombinasi pelarut-pelarut tersebut (Oei et al.
1985). Hasil ekstraksi antara bahan kering dan
bahan basah dengan air atau alkohol
menunjukkan bahwa kadar minyak atsiri
tertinggi ternyata diperoleh dari ekstraksi
bahan kering dengan menggunakan alkohol.
Cara lain untuk mengekstraksi minyak
atsiri, yaitu dengan menggunakan metode
maserasi dan pelarut etanol. Cara ini mungkin
akan memberi hasil yang lebih baik karena
akan mengurangi terjadinya dekomposisi atau
degradasi komponen karena pengaruh suhu
(Sidik 1992).
Setijadi (1985) melakukan ekstraksi
minyak atsiri rimpang temulawak dengan
menggunakan gas karbondioksida superkritik
sebagai pelarut. Gas karbondioksida pada
keadaan superkritik berada dalam bentuk
fluida superkritik sehingga dapat digunakan
sebagai pelarut. Keuntungan metode ini ialah
ekstraksi dapat dilakukan pada suhu kritik
karbondioksida yang relatif rendah, yaitu 31.3
ºC, sehingga dekomposisi dan degradasi
komponen-komponen yang tidak tahan
pemanasan tidak akan terjadi. Polaritas
karbondioksida superkritik dapat diatur
melalui pengaturan tekanan sehingga dapat
digunakan untuk mengekstraksi seluruh
komponen yang berbeda-beda kepolarannya.
Uji Kesesuaian Sistem
Uji kesesuaian sistem adalah pengujian
yang dimaksudkan untuk memastikan
kesesuaian dan keefektifan sistem operasional
yang digunakan (Depkes 2001). Uji ini
diperlukan jika metode analisis yang
dilakukan digunakan secara rutin. Proses
pengerjaan uji kesesuaian sistem ini yaitu
dengan mengukur larutan standar sebanyak
lima kali dan menghitung faktor ikutan (T)
puncak kromatogram yang dihasilkan. Kriteria
penerimaan uji kesesuaian sistem yaitu jika
0.5 ≤ T ≤ 2.0 (Levin 2002; FDA 1994).
Validasi
Validasi menurut SK Menkes RI No.43/
MENKES/SK/II/1988
tentang
CPOB
merupakan suatu tindakan pembuktian dengan
cara yang sesuai bahwa tiap bahan, prosedur,
kegiatan,
sistem,
perlengkapan
atau
mekanisme yang digunakan dalam produksi
dan pengawasan akan senantiasa mencapai
hasil yang diinginkan (Depkes 2001). ASEAN
GMP (Association of South East Asian Nation
Good Manufacturing Practice) menyatakan
bahwa validasi adalah kegiatan membuktikan
dengan pasti bahwa material, proses,
prosedur, aktifitas, sistem, peralatan atau
mekanisme yang digunakan di pabrik akan
mencapai hasil yang diharapkan pada standar
yang konsisten (ASEAN 1996).
Validasi menurut Levin (2002) dibagi
menjadi empat kelas, yaitu kelas A, B, C, dan
D. Kelas A digunakan untuk identifikasi suatu
senyawa. Kelas B untuk mendeteksi dan
menentukan adanya pengotor. Kelas C dapat
menentukan senyawa secara kuantitatif dan
kelas D untuk mencari ciri suatu senyawa.
Parameter-parameter Validasi
Parameter-parameter validasi yang diuji
pada penelitian ini adalah limit deteksi, limit
kuantifikasi, linearitas, ketelitian, dan
ketepatan.
Limit Deteksi
Limit deteksi merupakan konsentrasi
analit terendah yang menghasilkan respons
yang masih dapat dideteksi oleh sistem, pada
umumnya perbandingan respons antara
analit:derau adalah 3:1. Penentuan limit
deteksi harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum memulai proses validasi (Depkes
2001; Green 1996).
Limit Kuantifikasi
Limit kuantifikasi adalah konsentrasi
analit terendah yang terdapat dalam sampel
yang dapat diukur secara tepat dan teliti. Limit
kuantifikasi
dapat
dihitung
sebagai
konsentrasi analit yang memiliki respons
analit:derau sebesar 10:1 (Green 1996; ICH
1994).
Linearitas
Linearitas suatu metode analisis adalah
ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian
atau korelasi antara kadar analit dengan
respons detektor. Linearitas diukur dengan
menghitung koefisien korelasi (r) yang
didapat dari kurva hubungan antara kadar
analit dengan respons detektor (Depkes 2001).
Respons detektor yang digunakan ialah luas
puncak. r yang didapat harus lebih besar dari
0.990 (ICH 1994). Secara matematis, nilai r
dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
r=
Σ i {( x i − x )( y i − y )}
{Σ i ( x i − x )}{Σi ( y i − y )}
Keterangan:
r = koefisien korelasi
xi = konsentrasi analit setiap ulangan
x = konsentrasi analit rata-rata
yi = luas puncak setiap ulangan
y = luas puncak rata-rata
Ketelitian
Ketelitian suatu metode analisis adalah
ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian
atau kedekatan setiap hasil analisis yang
dilakukan berulang pada sampel yang
homogen pada kondisi analisis yang sama
(Depkes 2001). Ketelitian diukur dengan
menghitung simpangan baku relatif (SBR) dari
enam kali pengukuran ulang, yang dihitung
dengan menggunakan rumus:
SB =
Σ in=1 ( x i − x ) 2
n −1
SBR (%) = 100 . SB
x
Keterangan:
SB
= simpangan baku
= kadar analit pada setiap ulangan
xi
= kadar analit rata-rata
x
n
= jumlah pengulangan
SBR = simpangan baku relatif
Kromatografi
(KCKT)
Cair
Kinerja
Tinggi
Kromatografi merupakan salah satu
metode pemisahan komponen-komponen
campuran dalam keadaan kesetimbangan
diantara dua fase yaitu fase diam yang dapat
menahan cuplikan dan fase gerak yang dapat
membawa
cuplikan.
Kromatografi
berdasarkan fase geraknya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu kromatografi gas dan
kromatografi cair (Day & Underwood 2002).
KCKT merupakan salah satu contoh
kromatografi cair yang menggunakan zat cair
sebagai fase gerak. Selain untuk pemisahan,
metode ini juga dapat digunakan untuk
analisis kualitatif dan kuantitatif. Keuntungan
menggunakan KCKT antara lain jumlah
sampel yang diperlukan
sangat sedikit
(beberapa mikroliter), waktu yang diperlukan
oleh suatu komponen untuk mencapai detektor
atau waktu retensinya hanya dalam beberapa
menit, dan batas deteksinya sampai nanogram
perliter. Instrumen dasar KCKT terdiri dari
pompa, sistem pemasukan sampel, kolom,
detektor,f dan rekorder (Hendayana et al.
1994).
BAHAN DAN METODE
Syarat penerimaan parameter validasi ini,
yaitu nilai SBR harus lebih kecil dari 2.0%
(ASEAN 1996, ICH 1994).
Ketepatan
Ketepatan merupakan ukuran yang menunjukkan tingkat kedekatan hasil analisis
(kadar) suatu analit dengan nilai yang sebenarnya (Depkes 2001). Ketepatan diukur
dengan menghitung perolehan kembali (PK)
menggunakan metode penambahan standar.
Perolehan kembali ditentukan menggunakan
rumus:
PK (%) = a − b × 100%
c
Keterangan:
a = konsentrasi sampel + konsentrasi standar
yang terukur
b = konsentrasi sampel
c = konsentrasi
standar
teoretis
yang
ditambahkan
Nilai PK bergantung pada matriks
sampel, prosedur proses sampel, dan
konsentrasi analit. Batas penerimaan PK
menurut ICH (1994) adalah 80-110%.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan ialah
rimpang temulawak, standar xantorrhizol
dengan kemurnian 98.259%, NaOH 0.1N,
etanol, indikator universal, karbon aktif,
kloroform, NH4OH, H2SO4, pereaksi Mayer,
pereaksi Wagner, pereaksi Dragendorf, serbuk
Mg, amil alkohol, FeCl3, dietil eter, etil
asetat, toluena, lempeng KLT,
dan air
distilata.
Peralatan yang dperlukan ialah maserator,
radas penguap berputar, neraca analitik
Precisa XT 220A, eksikator, tanur, oven,
sonikator Branson 1510, perangkat KCKT
Hitachi dengan detektor UV-Vis L-2420, dan
filter 0.2 µm.
Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas persiapan bahan
baku, penentuan kadar air dan kadar abu, uji
fitokimia, ekstraksi, analisis KLT, persiapan
injeksi KCKT, validasi metode penentuan
xantorrhizol dengan KCKT, dan pengukuran
kadar xantorrhizol dalam rimpang temulawak
menggunakan KCKT. Bagan alir penelitian
terdapat pada Lampiran 1.
Persiapan Bahan Baku
Rimpang temulawak segar yang berasal
dari Kabupaten Semarang, hasil penelitian
lapangan Pusat Studi Biofarmaka IPB, dibagi
menjadi dua bagian yaitu dikupas dan tanpa
dikupas kulitnya. Rimpang tersebut dicuci
hingga bersih, kemudian diiris dan
dikeringkan pada suhu 40 oC. Temulawak
yang kering tersebut kemudian dihaluskan dan
disimpan.
Analisis Pendahuluan
Penetapan Kadar Air. Cawan porselin
dikeringkan pada temperatur 105 oC selama
30 menit, lalu ditempatkan di dalam eksikator
dan ditimbang. Rimpang temulawak yang
telah dihaluskan ditimbang sekitar 3 g dan
dimasukkan ke dalam cawan porselin. Sampel
beserta cawannya dikeringkan pada suhu 105
o
C selama 3 jam dan selanjutnya dimasukkan
ke dalam eksikator, lalu ditimbang. Prosedur
dilakukan berulang kali sampai didapatkan
bobot yang tetap dengan selisih kurang lebih
0.001 g. Pekerjaan dilakukan rangkap tiga
(Depkes 1995).
Kadar air = a – b x 100%
a
Keterangan:
a = bobot sampel sebelum dikeringkan
b = bobot sampel setelah dikeringkan
Penetapan Kadar Abu. Cawan porselin
dikeringkan pada temperatur 600 ºC selama
30 menit, lalu didinginkan dalam eksikator
dan ditimbang. Rimpang temulawak yang
telah dihaluskan ditimbang sekitar 3 g dan
dimasukkan ke dalam cawan porselin. Sampel
beserta cawannya dipanaskan dengan
pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi.
Cawan yang berisi sampel tersebut
dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan
suhu 600 ºC selama 30 menit, lalu
didinginkan dalam eksikator, kemudian
ditimbang. Prosedur dilakukan berulang kali
sampai didapatkan bobot yang tetap dengan
selisih kurang lebih 0.001 g. Pekerjaan
dilakukan rangkap tiga (Depkes 1995)
Kadar abu = a x 100%
b
Keterangan:
a = bobot abu sampel
b = bobot sampel
Uji Fitokimia. Uji yang dilakukan terdiri
atas uji flavonoid, alkaloid, steroid, terpenoid,
tanin, dan saponin (Harborne 1996).
Uji Flavonoid dan Saponin. Sebanyak 10
mL ekstrak ditambah 0.5 g serbuk Mg, 0.2
mL HCl dan 2 mL amil alkohol lalu dikocok.
Jika lapisan amil alkohol menjadi berwarna
cokelat maka positif terdapat flavonoid. Uji
saponin dilakukan dengan pengocokan 10 mL
filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10
detik. Adanya saponin ditunjukkan dengan
terbentuknya buih yang stabil.
Uji Alkaloid. Sebanyak 1 g ekstrak ditambah 10 mL CHCl3 dan beberapa tetes NH4OH.
Kemudian larutan disaring dan ekstrak yang
dihasilkan dikocok dengan 10 tetes H2SO4
2M. Lapisan asamnya diambil dan ditambah
pereaksi Mayer, Wagner, dan Dragendorf.
Hasil uji akan positif apabila terbentuk
endapan putih ketika direaksikan dengan
pereaksi Mayer, endapan cokelat dengan
pereaksi Wagner, dan endapan merah jingga
dengan pereaksi Dragendorf.
Uji Tanin. Sebanyak 4 mL ekstrak
dipanaskan selama 10 menit lalu disaring.
Filtrat yang diperoleh ditambah FeCl3 1%,
jika dihasilkan warna biru tua atau hijau maka
hasil uji positif terhadap tanin.
Uji Steroid dan Terpenoid. Bahan
diekstraksi dengan 10 mL etanol panas lalu
disaring dan diuapkan sampai kering. Residu
yang diperoleh dilarutkan dalam eter dan
disaring kembali sehingga diperoleh dua
bagian larut eter dan residu. Bagian yang larut
eter langsung diuji dengan dua tetes asam
asetat anhidrat dan H2SO4. Residu dilarutkan
kembali ke dalam HCl 2N dan disaring lagi,
residu yang diperoleh ditambah eter dan
dilakukan uji yang sama. Uji positif
ditunjukkan dengan warna biru atau hijau
untuk steroid dan merah ungu untuk
terpenoid.
Ekstraksi
Sistem ekstraksi xantorrhizol yang
dilakukan ada empat:
1. Ekstraksi xantorrhizol
dari
rimpang
temulawak tanpa kupas dengan perendaman
dalam NaOH.
Sebanyak 10 g serbuk temulawak tanpa
dikupas kulitnya direndam dalam larutan
NaOH 0.1 N selama 5 jam, kemudian dicuci
dengan akuades dan disaring. Residu
direndam lagi dalam NaOH 0.1 N selama 1
jam, lalu dicuci dengan akuades sampai pH ±
7 dan disaring lagi. Kemudian residu tersebut
dikeringkan. Residu temulawak yang telah
dikeringkan lalu diekstraksi dengan 50 mL
etanol selama 5 jam. Ekstrak yang dihasilkan
kemudian dipekatkan dengan radas penguap
berputar. Ekstrak ini kemudian dipanaskan
pada suhu 50 ºC, ditambahkan 0.1 g karbon
aktif, lalu disaring dan diambil filtratnya.
Filtrat yang diperoleh diuji secara kualitatif
dengan KLT dan uji fitokimia.
2. Ekstraksi xantorrhizol dari temulawak
tanpa kupas dan tanpa perendaman dalam
NaOH.
Serbuk temulawak yang tidak dikupas
kulitnya sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam
erlenmeyer dan diekstraksi dengan 100 mL
etanol selama 5 jam. Ekstrak yang dihasilkan
kemudian dipekatkan dengan radas penguap
berputar.
Ekstrak
tersebut
kemudian
dipanaskan pada suhu 50 ºC, ditambahkan 0.1
g karbon aktif, lalu disaring. Filtrat yang
dihasilkan lalu diuji secara kualitatif dengan
KLT dan uji fitokimia.
3. Ekstraksi xantorrhizol dari temulawak yang
dikupas kulitnya.
Sebanyak 10 g serbuk temulawak yang
dikupas kulitnya ditambah 100 mL etanol dan
diaduk selama 24 jam. Ekstrak yang
dihasilkan kemudian disaring dan diambil
filtratnya untuk diuji secara kualitatif dengan
KLT dan uji fitokimia.
4. Ekstraksi xantorrhizol dari temulawak
tanpa dikupas kulitnya.
Sebanyak 10 g serbuk temulawak yang
kulitnya tidak dikupas ditambah 100 mL
etanol dan diaduk selama 24 jam. Ekstrak
yang diperoleh kemudian disaring dan diambil
filtratnya untuk diuji secara kualitatif dengan
KLT dan uji fitokimia.
Bagan alir ekstraksi xantorrhizol disajikan
pada Lampiran 2.
Analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT)
Empat ekstrak yang dihasilkan dari empat
sistem ekstraksi yang berbeda dan standar
xantorrhizol ditotolkan pada lempeng silika
gel GF254 sebagai fase diam. Fase gerak yang
digunakan yaitu toluena:etil asetat (95:5).
Lempeng silika gel dimasukkan ke dalam
bejana pengembang yang berisi fase gerak
yang telah dijenuhkan. Lempeng tersebut
setelah selesai kemudian dikeringudarakan
dan dilakukan pengamatan bercak dengan
menggunakan lampu UV pada panjang
gelombang 254 nm.
Persiapan Injeksi KCKT
Persiapan injeksi KCKT terdiri atas
beberapa tahap, yaitu persiapan larutan stok
standar xantorrhizol, persiapan larutan standar
xantorrhizol, persiapan larutan ekstrak
temulawak, dan persiapan larutan ekstrak
temulawak dengan penambahan standar
xantorrhizol.
Persiapan Larutan Stok Standar
Xantorrhizol.
Larutan
stok
standar
xantorrhizol dibuat dengan menimbang 0.020
mg standar xantorrhizol dengan kemurnian
98.259%. Standar lalu dilarutkan dalam etanol
sampai volumenya 10 mL. Larutan tersebut
diambil 5.0 mL dan diencerkan sampai
volumenya 10 mL. Konsentrasi larutan stok
standar yang diperoleh yaitu 1000 ppm,
sedangkan konsentrasi standar xantorrhizol
yang sebenarnya adalah 982.59 ppm.
Persiapan
Larutan
Standar
Xantorrhizol.
Larutan
stok
standar
xantorrhizol 982.59 ppm diambil sebanyak
0.50, 0.75, 1.00, 1.25, dan 1.50 mL dan
dilarutkan dengan etanol sehingga volumenya
10 mL. Konsentrasi larutan standar yang
diperoleh sebesar 48.13, 73.69, 98.26, 122.82,
dan 147.39 ppm. Larutan ini kemudian
disaring dengan menggunakan filter 0.2 μm.
Persiapan
Larutan
Ekstrak
Temulawak. Filtrat ekstrak temulawak yang
dhasilkan dari proses ekstraksi ditepatkan
volumenya menjadi 100 mL dengan
menambahkan etanol. Larutan ekstrak diambil
10 mL dan dilarutkan dengan 90 mL sehingga
diperoleh 100 mL larutan ekstrak dengan
pengenceran sepuluh kali. Larutan ini
kemudian disaring dengan menggunakan filter
0.2 μm.
Persiapan Larutan Campuran Ekstrak
Temulawak dengan Standar Xantorrhizol
(Metode Penambahan Standar). Larutan ini
dibuat dengan menambahkan larutan stok
standar xantorrhizol 982.59 ppm sebesar 0.75,
1.00, dan 1.25 mL masing-masing ke dalam 1
mL larutan ekstrak temulawak awal yang
belum diencerkan. Campuran tersebut
ditepatkan volumenya menjadi 10 mL dengan
etanol dan disaring dengan filter 0.2 μm
sehingga diperoleh konsentrasi standar 73.69,
98.26, dan 122.82 ppm. Bagan persiapan
terdapat pada Lampiran 3.
Uji Kesesuaian Sistem
Larutan standar xantorrhizol 122.82 ppm
diinjeksikan ke dalam KCKT sebanyak 5 kali
pengulangan.
Faktor
ikutan
dihitung
berdasarkan kromatogram yang diperoleh.
Validasi Metode Penentuan Xantorrhizol
Kadar xantorrhizol dianalisis dengan
menggunakan KCKT. Kolom yang digunakan
adalah kolom C18 yang berbahan pengisi
silika dengan detektor ultraviolet (UV).
Rincian metode yang diperoleh dari Pusat
Studi Biofarmaka hasil kerjasama dengan LG
Company, Korea Selatan, belum dapat
diberikan.
Limit deteksi dan Limit Kuantifikasi.
Larutan
standar
xantorrhizol
dengan
konsentrasi 9.83, 24.56, 48.13, 73.69, dan
98.26 ppm diinjeksikan langsung ke dalam
kolom KCKT. Limit deteksi pengukuran ini
merupakan konsentrasi xantorrhizol terendah
yang menghasilkan respons analat:derau
sebesar 3:1, sedangkan limit kuantifikasi 10:1.
Linearitas. Larutan standar xantorrhizol
dengan konsentrasi 48.13, 73.69, 98.26,
122.82, dan 147.39 ppm diinjeksikan ke
dalam KCKT masing-masing sebanyak 3 kali.
Ketelitian. Uji ketelitian menggunakan
larutan ekstrak temulawak metode ekstraksi
yang dapat mengekstraksi xantorrhizol
terbesar dibandingkan dengan metode yang
lain. Larutan ini diinjeksikan sebanyak 6 kali.
Ketepatan. Ketepatan metode ini diuji
dengan menggunakan metode penambahan
standar. Larutan ekstrak temulawak yang akan
diukur langsung diinjeksikan ke dalam KCKT
sebanyak 3 kali. Kemudian larutan campuran
ekstrak temulawak dan standar xantorrhizol
konsentrasi 73.69, 98.26, dan 122.82 ppm
diinjeksikan masing-masing sebanyak 3 kali.
Pengukuran Kadar Xantorrhizol
Larutan ekstrak temulawak yang diperoleh
dari proses ekstraksi kemudian diukur kadar
xantorrhizolnya dengan menggunakan KCKT.
Kadar xantorrhizol ditentukan berdasarkan
kurva standar yang merupakan hubungan
antara konsentrasi standar dengan luas puncak
xantorrhizol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Pendahuluan
Penentuan kadar air berguna untuk
mengetahui ketahanan suatu bahan yang akan
disimpan agak lama, karena kandungan air di
dalam suatu bahan merupakan media tumbuh
bakteri dan mikroorganisme. Hasil analisis
kadar air dapat dilihat pada Lampiran 4 dan
rerata kadar air ditampilkan dalam Tabel 1.
Kadar air rimpang temulawak yang segar
adalah sebesar 64.66%. Kandungan air
rimpang temulawak segar cukup besar,
sehingga tidak baik untuk disimpan dalam
waktu yang lama. Untuk menanggulanginya
maka rimpang temulawak segar harus
dikeringkan terlebih dahulu karena kadar air
yang
kecil
memungkinkan
untuk
penyimpanan bahan yang lama. Rimpang
temulawak
yang
telah
dikeringkan
mempunyai kadar air yang lebih kecil, yaitu
3.69%, artinya rimpang temulawak kering
lebih tahan lama untuk disimpan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Winarno (1997),
yaitu bila kadar air yang terkandung dalam
suatu bahan berkisar antara 3-7%, maka
kestabilan optimum bahan akan tercapai dan
pertumbuhan mikroba dapat dikurangi. Di
samping itu, kadar air rimpang temulawak
segar berguna untuk mengetahui berapa
banyak rimpang temulawak kering yang
diperoleh setelah proses pengeringan.
Kadar air juga dapat dipakai untuk
menentukan kadar zat aktif berdasarkan bobot
keringnya karena jumlah air yang terkandung
bergantung pada perlakuan yang telah dialami
bahan dan kelembaban udara tempat
penyimpanan. Bahan yang sama jika
dianalisis pada waktu yang berbeda dapat
menghasilkan kadar zat aktif yang berbeda
pula bila kelembaban bahan tersebut berubah.
Jika kadar air bahan diketahui maka bobot
kering bahan juga akan dapat ditentukan, dan
bobot kering itu tetap. Jadi, apabila zat aktif
bahan tidak rusak dan bahan juga tidak
mengalami perubahan kecuali kadar airnya,
maka kadar zat aktif yang ditentukan
berdasarkan bobot keringnya akan konstan
nilainya (Harjadi 1986).
Penentuan kadar abu dilakukan untuk
menentukan
kandungan
bahan-bahan
anorganik atau mineral dalam suatu bahan.
Hasil analisis kadar abu rimpang temulawak
disajikan pada Lampiran 5. Tabel 1
menunjukkan rerata kadar abu rimpang
temulawak segar berdasarkan bobot kering
adalah 6.20% dan rimpang temulawak kering
5.30%. Kadar abu rimpang temulawak segar
lebih besar daripada yang kering, artinya
kandungan bahan anorganik dalam rimpang
temulawak yang segar lebih besar dari yang
telah dikeringkan.
Tabel 1 Kadar air dan kadar abu temulawak
Kadar air*
Kadar abu*
Temulawak
(%)
(%)
Kering
3.69
5.30
Segar
64.66
6.20
*rerata dari tiga kali ulangan.
Uji fitokimia dilakukan sebagai uji awal
untuk mengetahui kandungan senyawa
metabolit sekunder dalam temulawak dan
pengaruh proses pengeringan rimpang
temulawak dari segar menjadi kering. Uji ini
meliputi uji flavonoid, alkaloid, steroid,
terpenoid, tanin, dan saponin. Uji terpenoid
penting dilakukan karena xantorrhizol
merupakan salah satu senyawa terpenoid,
yaitu seskuiterpen. Uji yang lain dilakukan
untuk mengetahui adanya senyawa lain yang
dapat menggangu analisis berikutnya.
Hasil uji fitokimia pendahuluan rimpang
temulawak disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan pada hasil tersebut diketahui
bahwa proses pengeringan temulawak pada
suhu 40 oC tidak merusak kandungan senyawa
terpenoid yang ada dalam rimpang
temulawak. Selain terpenoid, semua rimpang
temulawak mengandung senyawa yang lain,
yaitu flavonoid, alkaloid, dan steroid.
Senyawa inilah yang diduga akan menggangu
analisis selanjutnya dengan menggunakan
KCKT.
Tabel 2 Uji fitokimia pendahuluan rimpang
temulawak
Uji
Flavonoid
Dragendorf
Mayer
Wagner
Steroid
Terpenoid
Tanin
Saponin
Tanpa
kupas
segar
++
+
+
+++
+++
-
Kupas
segar
++
+
+
+++
+++
-
Tanpa
kupas
kering
++
+
+
+++
+++
-
Kupas
kering
++
+
+
+++
+++
-
*tanda (-) menyatakan hasil uji negatif, tanda (+)
menyatakan hasil uji positif dan intensitas warnanya.
Ekstraksi Xantorrhizol
Proses ekstraksi dilakukan dengan
menggunakan empat sistem ekstraksi yang
berbeda. Penggunaan empat sistem ekstraksi
dimaksudkan untuk mendapatkan satu sistem
ekstraksi yang dapat mengekstraksi kadar
xantorrhizol terbesar. Semua sistem ekstraksi
menggunakan etanol sebagai pelarut karena
xantorrhizol memiliki kelarutan yang tinggi
dalam etanol. Selain itu, sampai saat ini di
Indonesia hanya air dan etanol yang
diperbolehkan sebagai pelarut dalam bidang
farmasi karena tidak berbahaya bagi tubuh.
Metode maserasi digunakan pada semua
sistem ekstraksi. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah terjadinya dekomposisi komponenkomponen yang tidak tahan pemanasan (Sidik
1992). Di samping itu, untuk skala industri
metode ini cukup praktis dan tidak
memerlukan dana yang besar.
Sistem ekstraksi 1 menggunakan rimpang
temulawak kering yang tidak dikupas kulitnya
dan kemudian direndam dalam NaOH. Proses
perendaman ini bertujuan menghilangkan
pengotor atau senyawa yang berbobot molekul
besar seperti lemak (Robinson 1995). Residu
kemudian dikeringkan, lalu diekstraksi dengan
menggunakan pelarut etanol. Setelah itu
ekstrak dipanaskan dan ditambahkan karbon
aktif untuk menghilangkan pengotor yang ikut
terekstraksi. Sistem ekstraksi 2 hampir sama
dengan sistem 1, tetapi pada sistem 2 rimpang
temulawak tidak direndam dahulu dalam
NaOH. Dua sistem ekstraksi ini dapat
menunjukkan pengaruh proses perendaman
dalam NaOH terhadap rendemen dan kadar
xanthorrhizol hasil ekstraksi.
Sampel yang digunakan pada sistem
ekstraksi 3 adalah rimpang temulawak kering
yang sudah dikupas kulitnya dan langsung
diekstraksi dengan etanol tanpa perendaman
dalam NaOH, pemanasan, dan penambahan
karbon aktif. Sistem ekstraksi 4 sama dengan
yang ketiga, hanya sampel yang digunakan
rimpang temulawak kering yang tidak dikupas
kulitnya. Kedua sistem ini memperlihatkan
pengaruh dari sampel, antara yang dikupas
kulitnya dan tidak, terhadap rendemen serta
kadar xantorrhizol yang terekstraksi.
Data rendemen hasil ekstraksi ditampilkan
pada Lampiran 6, sedangkan rerata rendemen
dapat dilihat pada Tabel 3. Sistem ekstraksi 4
memiliki rendemen terbesar dibandingkan
dengan yang lain, yaitu 4.40%. Hal ini
disebabkan oleh waktu ekstraksi atau maserasi
pada sistem ini lebih lama dibandingkan yang
lain, yaitu 24 jam. Artinya kontak atau
interaksi antara serbuk rimpang temulawak
dengan etanol sebagai pelarut lebih lama
sehingga
komponen-komponen
dalam
temulawak lebih banyak terekstraksi oleh
etanol. Sistem ekstraksi 3 juga memiliki
waktu ekstraksi yang sama dengan sistem 4
tetapi rendemen ekstraksi yang dihasilkan
lebih kecil karena menggunakan rimpang
temulawak yang kulitnya dikupas. Beberapa
senyawa aktif temulawak, di antaranya adalah
xantorrhizol, berada di kulit ataupun di antara
kulit dan daging rimpang temulawak,
sehingga jika rimpang temulawak dikupas
maka senyawa-senyawa tersebut akan hilang
dan mengurangi rendemen ekstraksi yang
dihasilkan.
Sistem ekstraksi 1 memiliki rendemen
terkecil, yaitu 0.55%, sedangkan rendemen
sistem ekstraksi 2 sebesar 4.10%. Ekstrak
kedua sistem ini mengalami proses pemanasan
pada suhu 50 °C dan penambahan karbon
aktif yang diperkirakan dapat menghilangkan
pengotor yang ikut terekstraksi, namun
perbedaan rendemen yang dihasilkan cukup
besar. Hal ini dikarenakan oleh rimpang
temulawak sistem 1 sebelum diekstraksi
dengan etanol direndam terlebih dahulu dalam
NaOH yang dapat menghilangkan pengotor
sehingga rendemen ekstraksi akan berkurang
dan ekstrak yang dihasilkan diperkirakan akan
lebih murni. Rendemen kedua sistem ini lebih
kecil dibandingkan dengan sistem ekstraksi 4
karena waktu ekstraksinya yang lebih singkat
dari sistem 4, yaitu 5 jam.
Tabel 3 Rendemen hasil ekstraksi rimpang
temulawak*
Sistem
ekstraksi
Bobot
sampel (g)
Bobot
ekstrak (g)
Rendemen
(%)
1
10.0081
0.0554
0.58
2
10.0092
0.3965
4.10
3
10.0053
0.3250
3.37
0.4376
4.54
4
10.0029
* rerata dari tiga kali ulangan
Uji fitokimia dilakukan kembali terhadap
ekstrak yang dihasilkan untuk mengetahui
senyawa lain yang ikut terekstraksi yang dapat
berpengaruh terhadap analisis selanjutnya
dengan menggunakan KCKT. Hasil uji
fitokimia ekstrak disajikan pada Tabel 4.
Semua ekstrak mengandung senyawasenyawa yang sama seperti sebelum
diekstraksi, yaitu flavonoid, alkaloid, steroid,
dan terpenoid dengan intensitas warna yang
sama, kecuali sistem ekstraksi 1. Ekstrak ini
diperkirakan
mengalami
penurunan
kandungan flavonoid, steroid, dan terpenoid
yang ditunjukkan dengan berkurangnya
intensitas warna yang terbentuk.
Analisis dengan KLT
Analisis dengan KLT dilakukan untuk
menentukan adanya kandungan xantorrhizol
dalam ekstrak dan menentukan ekstrak yang
akan dianalisis dengan menggunakan KCKT.
Eluen pengembang yang digunakan yaitu
toluena:etil asetat (95:5) yang merupakan
eluen yang khas untuk xantorrhizol. Lempeng
KLT yang digunakan adalah silika gel GF254
karena lempeng ini mengandung indikator
fluorosensi yang akan membuatnya bersinar
jika dikenai sinar yang memiliki panjang
gelombang yang tepat pada daerah UV
(Gritter et al. 1991). Hal ini diperlukan untuk
penampakan bercak yang tidak terlihat oleh
mata.
Gambar 4 merupakan kromatogram hasil
KLT ekstrak rimpang temulawak setelah
disinari oleh sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm. Lempeng KLT tampak
berwarna hijau dan semua bercak muncul
dengan warna kuning, kecuali bercak yang
dapat diamati secara langsung berwarna
jingga. Nilai Rf dan warna bercak standar
xantorrhizol dan ekstrak hasil ekstraksi dapat
dilihat pada Lampiran 7. Standar xantorrhizol
muncul dengan bercak tunggal berwarna
kuning yang berekor, menunjukkan adanya
ketidakmurnian standar. Standar xantorrhizol
yang
digunakan
memiliki
kemurnian
98.259%. Nilai Rf standar xanthorrhizol
0.5311 maka bercak yang memiliki nilai Rf ±
0.5311 dan warna bercak yang sama diduga
merupakan xantorrhizol.
Tabel 4 Uji fitokimia ekstrak temulawak
Uji
Flavonoid
Dragendorf
Mayer
Wagner
Steroid
Terpenoid
Tanin
Saponin
1*
+
+
+
+
++
-
2*
++
+
+
+++
+++
-
3*
++
+
+
+++
+++
-
4*
++
+
+
+++
+++
-
*1: sistem ekstraksi 1, 2: sistem ekstraksi 2, 3: sistem
ekstraksi 3, 4: sistem ekstraksi 4, tanda (-) menyatakan
hasil uji negatif, tanda (+) menyatakan hasil uji positif
dan intensitas warnanya.
S 1 2 3
4
Gambar 4 Kromatogram hasil KLT standar
xantorrhizol (s), ekstrak sistem
ekstraksi 1 (1), ekstrak sistem
ekstraksi 2 (2), ekstrak sistem
ekstraksi 3 (3), dan ekstrak sistem
ekstraksi 4 (4).
Ekstrak yang memiliki bercak dengan nilai
Rf dan warna yang sama dengan standar
adalah ekstrak sistem ekstraksi 1, 3, dan 4.
Ekstrak sistem ekstraksi 2 tidak memiliki
bercak dengan nilai Rf yang sama dengan
standar atau bercak xantorrhizol. Hal ini
dikarenakan oleh waktu ekstraksi sistem 2
hanya 5 jam, sehingga xantorrhizol dalam
rimpang temulawak tidak ikut terekstraksi
atau hanya sedikit sekali yang terekstraksi.
Proses pemanasan dan penambahan karbon
aktif terhadap ekstrak sistem 2 yang bertujuan
untuk menghilangkan pengotor, juga diduga
menghilangkan xantorrhizol sehingga analisis
KLT menunjukkan bahwa ekstrak ini tidak
mengandung xantorrhizol.
Ekstrak dengan jumlah bercak paling
banyak adalah ekstrak sistem ekstraksi 4
dengan tujuh bercak dan ekstrak yang
mempunyai bercak paling sedikit ialah ekstrak
sistem ekstraksi 1 dan 2. Menurut Gritter et al.
(1991) bercak tunggal pada KLT menandakan
tingkat kemurnian yang baik. Banyaknya
bercak menunjukkan adanya senyawa selain
xantorrhizol yang ikut terekstrak yang diduga
akan mengganggu analisis KCKT. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hasil ekstraksi
rimpang temulawak yang dihasilkan tidak
murni.
Ekstrak yang akan dianalisis kadar
xantorrhizolnya dengan KCKT berdasarkan
rendemen hasil ekstraksi, hasil KLT, dan uji
fitokimia adalah ekstrak sistem ekstraksi 1
dan 4. Ekstrak sistem 4 dipilih karena
menghasilkan
rendemen
terbesar
dibandingkan dengan yang lain dan hasil
analisis KLT menunjukkan bahwa ekstrak 4
mengandung xantorrhizol. Ekstrak 1 dipilih
berdasarkan
analisis
KLT
yang
memperlihatkan bahwa ekstrak 1 memiliki
jumlah senyawa dan pengotor paling sedikit
dan mengandung xantorrhizol walaupun
rendemennya paling kecil.
Uji Kesesuaian Sistem
Analisis kadar xantorrhizol dilakukan
dengan KCKT menggunakan kolom C18,
dengan detektor UV. Sistem elusi yang
digunakan adalah gradien, yaitu adanya
perubahan komposisi eluen selama elusi
berlangsung. Sistem ini dapat meningkatkan
efisiensi pemisahan komponen-komponen
sampel, mempercepat waktu pemisahan tanpa
mengurangi resolusi puncak yang muncul di
awal (Skoog et al. 1992). Analisis KCKT ini
menggunakan metode fase terb