Analisis Dinamika Daya Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan Pp 07 04 Terhadap Perubahan Musim

ANALISIS DINAMIKA DAYA HASIL LATEKS BEBERAPA
GENOTIPE KARET HARAPAN PP/07/04 TERHADAP
PERUBAHAN MUSIM

SAYURANDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Dinamika Daya
Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 terhadap Perubahan
Musim adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Sayurandi
NRP A253140091

RINGKASAN
SAYURANDI. Analisis Dinamika Daya Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet
Harapan PP/07/04 Terhadap Perubahan Musim. Dibimbing oleh DESTA
WIRNAS dan SEKAR WOELAN.
Pertumbuhan dan produktivitas tanaman karet (Hevea brasiliensis) ditentukan
oleh faktor genotipe, faktor lingkungan, dan interaksi genotipe x lingkungan.
Kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap produksi karet salah satu
adalah kondisi curah hujan bulanan. Tujuan penelitian ini adalah 1) mendapatkan
informasi tentang keragaman hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04, 2)
mendapatkan informasi tentang dinamika hasil lateks genotipe karet harapan
PP/07/04 pada musim yang berbeda dan fase gugur daun yang berbeda, dan 3)
mendapatkan genotipe karet harapan yang stabil dan berdaya hasil lateks tinggi di
dua musim.
Pengujian plot promosi dibangun di Kebun Percobaan Balai Penelitian
Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet, Kabupaten Deli Serdang - Provinsi Sumatera

Utara. Sebanyak 15 genotipe karet dan 2 klon pembanding PB 260 dan RRIC 100
yang ditanam pada tahun 2004 digunakan sebagai bahan penelitian ini. Seluruh
genotipe yang diuji dalam penelitian telah dievaluasi daya hasil lateksnya selama
lima tahun di pengujian plot promosi. Rancangan percobaan yang digunakan pada
penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dua faktor dengan tiga
ulangan. Faktor pertama adalah 15 genotipe karet harapan dan 2 klon pembanding
yaitu PB 260 dan RRIC 100, sedangkan faktor kedua adalah faktor musim yaitu
periode bulan basah (Agustus - Nopember 2015) dan periode bulan kering
(Januari - Maret 2016) menurut klasifikasi Oldeman.
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah karakter pertumbuhan lilit
batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter
pembuluh lateks, kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan
aliran lateks, indeks penyumbatan, kadar karet kering, dan indeks hasil, daya hasil
lateks, dan dinamika fase gugur daun 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan
klon pembanding PB 260 dan RRIC 100.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman komponen hasil
dan daya hasil lateks di antara genotipe karet harapan PP/07/04. Dinamika hasil
lateks genotipe karet harapan PP/07/04 dipengaruhi oleh perubahan musim. Fase
gugur daun memiliki pengaruh nyata terhadap hasil lateks 15 genotipe karet
harapan PP/07/04. Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi pada

semua fase gugur daun, sedangkan hasil lateks paling rendah terdapat pada
genotipe HP 92/388 dan HP 92/726.
Semua karakter yang diamati memiliki nilai heritabilitas tinggi dengan nilai
h2bs antara 0.52 – 0.93 dan koefisien keragaman genetik (KKG) antara 6.00 –
44.79%. Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan bahwa karakter lilit batang,
panjang alur sadap, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, kecepatan
aliran lateks, kadar karet kering, dan indeks hasil merupakan karakter komponen
hasil yang memiliki nilai korelasi nyata dan bersifat positif terhadap daya hasil
lateks, sedangkan indeks penyumbatan memiliki hubungan nyata namun bersifat
negatif terhadap daya hasil lateks.

Berdasarkan hasil pengamatan hasil lateks selama 6 tahun menunjukkan
bahwa genotipe HP 92/309 dan HP 92/726 memiliki hasil lateks tinggi, sedangkan
genotipe HP 92/211, HP 92/366, dan HP 92/542 memiliki hasil lateks tinggi dan
pertumbuhan tanaman jagur. Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling
tinggi dan stabil di dua musim, sedangkan genotipe HP 92/726 tergolong stabil,
namun hasil lateksnya tergolong rendah. Genotipe HP 92/838 memiliki hasil
lateks rendah dan kurang stabil.
Kata kunci: Hevea brasiliensis, genotipe, hasil lateks, komponen hasil, korelasi,
musim


SUMMARY
SAYURANDI. The Analysis of Latex Yield Potential Dynamic of Some
Promising Rubber Genotypes PP/07/04 Toward Seasons Change. Supervised by
DESTA WIRNAS and SEKAR WOELAN.
Growth and productivity of rubber plant (Hevea brasiliensis) are determined
by genetic factor, environments, and genotype x environment interaction. The
environmental conditions greatly influence to growth and latex yield potential are
the condition of the monthly rainfalls. The objectives of the research were 1) to
get information about the variance of latex yield of promising rubber genotypes
PP/07/04, 2) to get information about the dynamic of latex yield potential of
promising rubber genotypes PP/07/04 in different seasons, and 3) to get the
promising rubber genotypes which were stable and high latex yield potential in
two seasons.
The plot promotion trial was conducted at Experimental Garden, Sungei Putih
Research Centre, Indonesian Rubber Research Institute, Deli Serdang Residance North Sumatra Province. Exactly 15 genotypes and 2 control clones i.e PB 260
and RRIC 100 which were used as the research materials which have been planted
in 2004. The promising rubber genotypes which were used in this research have
been evaluated based on latex yield potential for five years of tapping in plot
promotion trial. The experimental design used was Random Completely Design

(RCD) two factors with three replications. The first factor was genotypes
consisted of 15 genotypes and 2 control clones of PB 260 and RRIC 100, the
second factor was season consisted of the wet months period (August - November
2015) and dry months period (January - March 2016) based on the classification
of Oldeman.
The parameters observed in this research were girth growth, long of tapping
panel, barkthickness, number of latex vessels, diameter of latex vessels, sucrose
content, anorganic phosphate content, thiol content, latex flow rate, plugging
index, dry rubber content, and yield index, latex yield potential, and leaf fall
phases of 15 rubber promising genotypes of PP/07/04 and control clones of PB
260 and RRIC 100.
The research results showed that there were significantly different to yield
component characters and latex yield potential of rubber promising genotypes
PP/07/04. The dynamics of latex yield of promising rubber genotypes of PP/07/04
were influenced by seasons change. The leaf fall phases had significantly different
to latex yield of 15 rubber promising genotypes of PP/07/04. The genotype HP
92/542 had the higher latex yield in all of leaf fall phases, while the lower latex
yield was found by HP 92/388 and HP 92/726 genotypes.
Based on heritability value showed that the all of yield component characters
and latex yield potential had high heritability with h2bs value among 0.52 – 0.93

and coefficient of genetic variance (CGV) among 6.00 – 44.79%. Based on
correlation analysis showed that girth, long tapping panel, number of latex
vessels, diameter of latex vessels, latex flow rate, dry rubber content, and yield
index had significantly correlation and positive value toward latex yield potential,

while plugging index had significantly correlation but negative value toward latex
yield potential.
Based on evaluation result of latex yield potential for six years of tapping
showed that HP 92/309 and HP 92/726 genotypes had higher latex yield, while
HP 92/211, HP 92/366, and HP 92/542 genotypes had higher latex yield and
growth vigorous. The genotype HP 92/542 had higher latex yield and stable in
two seasons, while genotype HP 92/726 was stable but had low latex yield. The
genotype HP 92/838 had low latex yield and unstable.
Keywords: Hevea brasiliensis, genotypes, latex yield, yield components,
correlation, seasons

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS DINAMIKA DAYA HASIL LATEKS BEBERAPA
GENOTIPE KARET HARAPAN PP/07/04 TERHADAP
PERUBAHAN MUSIM

SAYURANDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ade Wachjar, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini ialah
Analisis Dinamika Daya Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04
terhadap Perubahan Musim.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Desta Wirnas, SP, MSi dan Dr Dra
Sekar Woelan, MP selaku pembimbing. Penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang tulus atas waktu serta kesempatan yang telah diluangkan oleh
komisi pembimbing dalam membimbing, mengarahkan, serta menjadi teladan
bagi penulis. Penghargaan serta rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan
pula kepada:
1. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, dan Ketua
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB yang telah
memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan jenjang Pascasarjana IPB.

2. Dr Ir Ade Wachjar, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis.
3. Direktur Pusat Penelitian Karet yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
4. Kepala Balai Penelitian Sungei Putih yang telah memberikan beasiswa internal
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB
pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman.
5. Para peneliti di Balai Penelitian Sungei Putih yang selalu memberikan motivasi
untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
6. Para teknisi UPP&PT dan UPPT Balai Penelitian Sungei Putih terkhusus
kepada Bapak Indra Gunawan, Ibu Ervina Amd, Bapak Ngateno dan Bapak
Gani yang telah banyak membantu dalam kegiatan pengamatan lapang dan
laboratorium.
7. Rekan-rekan angkatan PBT 2014 yang saling memberikan motivasi untuk
menyelesaikan studi S2 pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak, ibu, mertua serta
seluruh keluarga, atas segala doa, dan kasih sayangnya. Penulis juga sampaikan
terima kasih yang tidak terhingga pada istri tercinta Nurul Atika, SH dan kedua
putri tersayang Oryza Sabrina (5 tahun) dan Raihana Anisa Mandhira (2 bulan)

yang telah banyak memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan studi
S2 ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Karet
serta pertanian pada umumnya dan menjadi amal ibadah bagi penulis. Amin.
Bogor, Juni 2016
Sayurandi

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

ix

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

xi


DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian

1
1
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Karet
Syarat Tumbuh Tanaman Karet
Pemuliaan Tanaman Karet
Tahapan Pengujian Genotipe Hasil Seleksi
Interaksi Genotipe dan Musim
Keragaman Genetik dan Heritabilitas

4
4
6
6
8
9
10

3 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan Genetik
Metode Penelitian
Analisis Data

12
12
12
12
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Iklim di Lokasi Penelitian
Analisis Komponen Hasil pada Karakter Pertumbuhan dan Anatomi
Kulit Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04
Analisis Komponen Hasil pada Karakter Fisiologi dan Sifat Aliran
Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 pada Bulan Kering
dan Bulan Basah
Analisis Daya Hasil Lateks pada Berbagai Fase Gugur Daun 15
Genotipe Karet Harapan PP/07/04
Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas
Hubungan antara Karakter Komponen Hasil dangan Daya Hasil Lateks
Analisis Daya Hasil Lateks 15 Genotipe Karet Harapan PP/07/04
pada TM-1 sampai dengan TM-6
Seleksi Genotipe Karet Harapan PP/07/04 yang Stabil dan Berdaya
Hasil Tinggi

18
18

47

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

51
51
51

20

22
36
39
41
43

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

52
59

RIWAYAT HIDUP

61

DAFTAR TABEL
1 Model sidik ragam rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor
2 Model sidik ragam rancangan acak lengkap (RAL) dua faktor
3 Data rata-rata iklim 10 tahun terakhir wilayah Kecamatan Galang,
Kabupaten Deli Serdang
4 Sidik ragam karakter lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah
pembuluh lateks, dan diameter pembuluh lateks beberapa genotipe
karet harapan PP/07/04
5 Pertumbuhan lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah
pembuluh lateks, dan diameter pembuluh lateks 15 genotipe karet
harapan PP/07/04 pada umur 11 tahun
6 Sidik ragam karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol,
kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet
harapan PP/07/04 dan klon pembanding
7 Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan
aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan
PP/07/04
8 Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan
aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan
PP/07/04 pada musim berbeda
9 Pengaruh interaksi genotipe dan musim terhadap kadar sukrosa, kadar
fosfat anorganik, dan kadar thiol 15 genotipe karet harapan PP/07/04
dan klon pembanding
10 Pengaruh interaksi genotipe dan musim pada kecepatan aliran lateks
dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon
pembanding
11 Sidik ragam kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks 15
genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding
12 Kadar karet kering, indeks hasil dan hasil lateks 15 genotipe karet
harapan PP/07/04 dan klon pembanding
13 Pengaruh musim terhadap kadar karet kering, indeks hasil dan hasil
lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04
14 Pengaruh interaksi genotipe dan musim pada karakter indeks hasil dan
hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding
15 Sidik ragam daya hasil lateks terhadap fase gugur daun 15 genotipe
karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding
16 Hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 terhadap fase gugur
daun
17 Nilai pendugaan komponen ragam, heritabilitas, dan koefisien
keragaman genetik beberapa karakter komponen hasil dan daya hasil
lateks beberapa genotipe karet harapan PP/07/04

15
15
18

20

22

23

24

26

29

31
32
32
33
35
36
37

39

18 Koefisien korelasi antara karakter komponen hasil dengan daya hasil
lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04
19 Daya hasil lateks beberapa genotipe karet harapan PP/07/04 selama 6
tahun sadap
20 Genotipe karet harapan PP/07/04 yang terseleksi berdasarkan karakter
komponen hasil yang berkorelasi nyata terhadap daya hasil lateks
21 Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol 5
genotipe terseleksi
22 Nilai ragam dalam genotipe, standar deviasi, dan koefisien keragaman
genotipe PP/07/04 di bulan basah
23 Nilai ragam dalam genotipe, standar deviasi, dan koefisien keragaman
genotipe PP/07/04 di bulan kering

42
43
46
47
48
49

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Diagram alir penelitian
Kondisi jumlah curah hujan selama tahun 2007 – Maret 2016
Kondisi jumlah hari hujan selama tahun 2007 – Maret 2016
Kondisi suhu udara selama tahun 2007 – Maret 2016
Kondisi kelembaban udara selama tahun 2007 – Maret 2016
Fluktuasi curah hujan bulan Agustus 2015 – Maret 2016
Pengaruh kondisi daun pada setiap fase terhadap hasil lateks 15
genotipe karet PP/07/04
8 Hubungan antara pertumbuhan lilit batang dan hasil lateks beberapa
genotipe PP/07/04
9 Hubungan antara hasil lateks dengan ragam dalam genotipe dari 15
genotipe karet PP/07/04 di bulan basah
10 Hubungan antara hasil lateks dengan ragam dalam genotipe dari 15
genotipe karet PP/07/04 di bulan kering

3
18
19
19
19
26
38
44
48
49

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah curah hujan selama tahun 2007 – Maret 2016 di Kecamatan
Galang, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara

59

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai
penting untuk menghasilkan devisa negara. Total volume karet yang diekspor
pada tahun 2013 sebesar 2.7 juta ton dan menghasilkan devisa negara sebesar
US$ 7.861 milyar. Hal ini menjadikan karet menduduki posisi terbesar kedua
penghasil devisa negara non migas setelah kelapa sawit. Indonesia telah
menduduki urutan kedua penghasil karet terbesar di dunia setelah Thailand
berdasarkan volume ekspor (BPS 2014).
Pemerintah telah menargetkan untuk menjadi produsen karet nomor satu
dunia pada tahun 2025. Diharapkan dengan menjadi produsen karet nomor satu
dunia, maka akan meningkatkan devisa negara dan lebih mempermudah dalam
pengendalian harga karet di pasar dunia. Kebijakan pemerintah dalam pencapaian
target produksi adalah dengan cara meningkatkan produksi karet nasional sebesar
4 juta ton karet kering atau rata-rata produktivitas karet nasional menjadi sebesar
1 200 kg ha-1. Indonesia merupakan negara yang memiliki perkebunan karet
terluas di dunia dengan luas areal sekitar 3.56 juta ha, namun produktivitas karet
nasional masih tergolong rendah yaitu 1 050 kg ha-1 (Deptan 2014). Rendahnya
produktivitas karet Indonesia disebabkan oleh 85% dari total luas areal merupakan
perkebunan karet rakyat yang sebagian besar masih menggunakan bahan tanam
dengan kualitas rendah (Dirjenbun 2010).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai target produksi
nasional adalah dengan menyebarluaskan klon-klon karet unggul ke berbagai
daerah sentra perkebunan karet. Klon karet unggul menjadi salah satu komponen
teknologi terpenting untuk mendukung kinerja dan kesinambungan industri
perkaretan nasional yang efisien dan berdaya saing tinggi. Penanaman klon
unggul di berbagai perkebunan besar secara nyata telah meningkatkan
produktivitas kebun serta efisiensi usaha tani karet (Aidi-Daslin et al. 2012).
Upaya untuk mendapatkan klon unggul dilakukan melalui tahapan
persilangan, seleksi, dan pengujian klon secara bertahap pada program pemuliaan
karet konvensional. Pengujian genotipe diawali dengan uji keturunan (progeny
test) pada populasi tanaman semaian F1 hasil persilangan, uji pendahuluan, uji
plot promosi hingga pengujian lanjutan/multilokasi. Tahapan seleksi dalam
kegiatan pemuliaan perlu dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan
sehingga potensi keunggulan suatu klon karet dapat diketahui (Tan 1987;
Simmonds 1989).
Aktivitas pemuliaan karet di Indonesia telah menghasilkan berbagai klon
karet unggul dengan potensi produktivitas karet yang dihasilkan mencapai lima
kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman karet asal bibit semaian (Woelan
2013). Klon karet anjuran skala komersial seperti PB 260, PB 330, PB 340, RRIC
100, BPM 24, IRR 112, dan IRR 118 telah banyak berkembang di berbagai
perkebunan besar dan rakyat dengan produktivitas aktualnya dapat mencapai
2 000 – 2 500 kg ha-1 (Aidi-Daslin et al. 2009; Aidi-Daslin 2011).
Di samping oleh klon, daya hasil karet juga dipengaruhi oleh musim.
Wilayah perkebunan karet di Indonesia terletak pada posisi geografis yang
berbeda yaitu terletak di bagian utara dan selatan khatulistiwa. Letak geografis
yang berbeda tersebut menyebabkan distribusi hujan yang berbeda pada masing-

2
masing wilayah, sehingga kondisi tersebut yang mengakibatkan pola produksi
karet tahunan di Indonesia sangat berfluktuasi. Pada semester pertama produksi
karet menurun di wilayah bagian utara khatulistiwa sebab memasuki musim
kemarau seperti yang terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan sebagian
pulau kalimantan, sedangkan produksi karet meningkat di bagian selatan
khatulistiwa sebab memasuki musim hujan seperti di Provinsi Riau, Sumatera
Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, dan pulau Jawa. Sebaliknya,
pada semester dua produksi karet meningkat pada wilayah bagian utara dan
menurun pada wilayah bagian selatan disebabkan perubahan distribusi curah
hujan (Junaidi et al. 2015).
Kondisi curah hujan rendah (musim kemarau) seperti di Provinsi Sumatera
Utara pada umumnya terjadi pada bulan Januari – April, sedangkan curah hujan
cukup tinggi terjadi pada bulan Mei – Desember. Sejumlah penelitian
membuktikan bahwa faktor agroklimat seperti curah hujan sangat menentukan
produktivitas karet (Yeang & Paranjothy 1982; Roux et al. 2000; Gireesh et al.
2011). Seiring dengan perubahan musim, tanaman karet secara siklik periodik
mengalami gugur daun pada musim kemarau dan pembentukan daun sempurna
terjadi pada saat musim hujan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi
produktivitas tanaman (Siregar 2014).
Kondisi curah hujan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi
tanaman. Tanaman kakao mengalami pertumbuhan yang melambat akibat
cekaman kekeringan (Prihastanti et al. 2015). Kondisi kelapa sawit yang
kekurangan air berakibat terhadap daun muda tidak membuka, pelepah daun
menua sampai pupus patah, dan menurunkan produksi kelapa sawit mencapai 1040% (Siregar et al. 1995). Klon karet seri RRIC dan RRISL di Sri Lanka
menunjukkan adanya respon klon terhadap perubahan musim (Gunasekara et al.
2013).
Penelitian tentang pengaruh musim terhadap produktivitas karet di Indonesia
masih sangat terbatas. Pengujian-pengujian klon pada umumnya belum
mempertimbangkan respon tiap klon secara spesifik terhadap perubahan musim,
meskipun klon-klon unggul sudah ditanam pada berbagai lokasi kebun. Sejauh ini,
laporan-laporan kinerja klon-klon yang sedang diuji belum menyajikan adanya
dinamika produksi karet menurut musim (Woelan et al. 2013).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya telah diperoleh sejumlah genotipe
harapan hasil uji populasi semaian F1 yang dilanjutkan pada uji plot promosi.
Materi genetik yang digunakan pada pengujian plot promosi ini merupakan hasil
seleksi genotipe terbaik dari 828 genotipe F1 hasil persilangan 31 120 bunga
pada tahun 1992. Terdapat 15 genotipe harapan yang pada saat ini masih dalam
proses evaluasi di pengujian plot promosi di Kebun Percobaan Balai Penelitian
Sungei Putih yang ditanam pada tahun 2004 (Woelan et al. 2012).
Pengamatan hasil lateks pada pengujian plot promosi telah berjalan selama 5
tahun. Hasil pengamatan selama lima tahun yaitu dari tahun pertama sadap (TM1) sampai dengan tahun ke lima sadap (TM-5) memperlihatkan potensi hasil
lateks genotipe harapan lebih tinggi dibandingkan dengan klon komersial, namun
hasil lateks yang dihasilkan masing-masing genotipe cukup bervariasi pada setiap
bulannya. Kondisi curah hujan yang berbeda pada setiap bulan diduga sebagai
penyebab hasil lateks berfluktuasi. Penelitian mengenai dinamika hasil lateks
beberapa genotipe karet terhadap perubahan musim dianggap penting sebab

3
pertumbuhan tanaman dan produksi karet merupakan dua peubah agronomi
penting yang sangat dipengaruhi oleh variasi musim. Diperolehnya genotipe yang
stabil dan berdaya hasil tinggi pada kondisi tersebut merupakan harapan bagi
pemulia tanaman karet.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan informasi tentang keragaman hasil lateks genotipe karet harapan
PP/07/04.
2. Mendapatkan informasi tentang dinamika hasil lateks genotipe karet harapan
PP/07/04 pada musim berbeda.
3. Mendapatkan genotipe karet harapan yang stabil dan berdaya hasil lateks tinggi
di dua musim.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat keragaman hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04.
2. Terdapat dinamika hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04 akibat
perubahan musim.
3. Terdapat genotipe karet harapan yang stabil dan berdaya hasil tinggi di dua
musim.
Genotipe karet harapan hasil
persilangan 1992

Pengujian Plot Promosi PP/07/04
sejak tahun 2004

 Studi keragaman hasil lateks genotipe harapan PP/07/04 di dua
musim
 Studi dinamika hasil lateks genotipe harapan PP/07/04 akibat
perubahan musim
 Studi dinamika hasil lateks pada berbagai fase gugur daun
 Seleksi genotipe stabil dan berdaya hasil tinggi

Genotipe karet harapan yang stabil dan berdaya
hasil lateks tinggi
Gambar 1 Diagam alir penelitian

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Karet
Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) merupakan tanaman tahunan
(perenial) yang termasuk pada famili Euphorbiaceae penghasil lateks yang telah
lama dibudidayakan di wilayah Asia tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika.
Tanaman ini merupakan tanaman introduksi yang berasal dari lembah Tapajos,
Brazil dan masuk ke Indonesia diperkirakan pada tahun 1877 seiring penjajahan
zaman kolonial Belanda (Woelan 2013).
Tanaman karet berbentuk pohon dengan tinggi tanaman dapat mencapai 10 25 m, bercabang dan mengandung banyak lateks di dalam tanaman. Daun
berbentuk elips atau oval berwarna hijau. Setiap tangkai daun terdiri dari tiga
anak daun, dan memiliki petiola pendek. Pada umumnya bagian atas daun
berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawah agak cerah dengan panjang daun
berukuran 5 – 35 cm dan lebar 2.5 – 12.5 cm (Sianturi 1996).
Tanaman karet tergolong ke dalam tanaman berumah satu (monoceous) yang
bersifat unisexual yaitu pada satu tanaman terdapat bunga betina (femineus) dan
bunga jantan (masculus) yang letaknya terpisah (Dijkman 1951). Bunga karet
termasuk bunga majemuk tidak terbatas yang berbentuk rangkaian (inflorecentia).
Tangkai utamanya (pedenculus) bercabang terdiri dari beberapa malai (panicula)
yang berbentuk piramida atau kerucut (Darjanto & Satifah 1982). Bunga betina
tumbuh di ujung tangkai dan cabang, sedangkan bunga jantan tumbuh di setiap
tangkai bunga yang tersusun dari tiga bunga (trifolia). Kedua bunga ini memiliki
tangkai pendek, berbau harum, berwarna kuning untuk bunga jantan dan kuning
kehijauan untuk bunga betina.
Ukuran bunga betina pada umumnya lebih besar dari bunga jantan. Bunga
betina terdiri atas dasar bunga, tenda bunga, dan bakal buah. Dasar bunga
berwarna hijau, tenda bunga terdiri dari lima helai daun bunga yang saling
berlekatan pada bagian bawah dan terbelah, sedangkan pada bagian ujung
membelah. Bunga jantan terdiri atas tangkai sari (filamen) dan kepala sari (anther).
Kepala sari melekat pada tangkai sari tersusun dalam dua lingkaran yang masingmasing lingkaran terdiri dari lima kepala sari (Dijkman 1951).
Karakteristik bunga betina pada beberapa tetua karet bervariasi antara 5 - 16
bunga per tangkai dan 49 - 130 bunga per karangan. Ukuran bunga betina berkisar
8 - 10 mm dengan panjang tangkai putik 3.5 - 4 mm. Karakteristik bunga jantan
pada beberapa tetua karet cukup bervariasi, yaitu 295 - 500 bunga per tangkai atau
2 065 – 2 640 bunga per karangan. Masing-masing bunga jantan dari setiap tetua
tumbuh pada setiap tangkai utama dan cabang-cabangnya, untuk satu tangkai
bunga tersusun atas tiga bunga jantan yang berwarna kuning (Pasaribu & Woelan
2007).
Buah jadi (fruit set) merupakan produk dari keberhasilan persilangan secara
alami maupun secara buatan. Satu buah tanaman karet biasanya mengandung tiga
butir biji tetapi kadang-kadang ada yang empat biji. Biji karet dilindungi oleh
lapisan luar (epicarp) dan lapisan dalam (endocarp). Epicarp berwarna hijau
muda sedangkan endocarp berwarna putih pudar. Biji yang telah masak fisiologis
memiliki epicarp berwarna hijau tua dan endocarp mengeras dan mengayu. Jika
epicarp kering buah akan pecah dan melepaskan biji (Dijkman 1951).

5
Biji karet memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi tergantung pada
masing – masing tetua. Biasanya biji berbentuk bulat atau lonjong (ellips), dengan
panjang biji berkisar 14 - 25 mm dan rata-rata berat biji berkisar 3.5 – 6.0 g.
Bentuk permukaan perut (ventral) biji agak rata dan punggung (dorsal) agak
menonjol. Kulit biji biasanya keras, berkilat dan berwarna cokelat atau cokelat
keabu-abuan dengan banyak batik (mozaik) pada permukaan punggung, namun
dijumpai sedikit atau tidak ada pada bagian perut biji (Webster & Baulkwill
1989).
Lateks merupakan produk sekunder yang berbentuk cairan berwarna putih
susu yang dihasilkan di dalam jaringan kulit (floem). Lateks yang dihasilkan
tersebut merupakan hasil dari proses fotosintesis yang terjadi di bagian daun dan
ditransfer ke dalam bagian tanaman. Lateks yang mengalami pengeringan tersebut
dikenal sebagai karet alam (natural rubber). Di dalam kulit lunak terdapat deretan
pembuluh tapis yang vertikal mengandung sukrosa yang merupakan bahan dasar
pembentukan lateks (Ginting 1990).
Lateks mengandung partikel karet (isoprena) yang dihasilkan oleh tanaman
karet yang tergolong sebagai politerpen yang disintesis melalui lintasan asam
mevalonat. Sebagai prekusor dari isoprena adalah asetil koA atau asam asetat,
tetapi dalam jaringan berupa sukrosa yang mudah ditranslokasikan (Jacob et al.
1998). Secara fisiologis produksi lateks pada tanaman karet dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu biosintesis atau regenerasi lateks antara dua penyadapan dan
lamanya lateks mengalir setelah penyadapan (Kekwick 1989).
Lateks pada tanaman karet dihasilkan dan disimpan dalam sel khusus yang
disebut pembuluh lateks (laticifer) yang terletak di dalam jaringan floem.
Pembuluh lateks merupakan derivat kambium dan tersusun sebagai cincin
konsentris pada kulit tanaman. Terdapat celah (anastomoses) diantara masingmasing cincin pembuluh yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga
lateks dapat mengalir dari seluruh daerah aliran lateks pada kulit saat proses
penyadapan (Woelan 2013).
Kandungan partikel karet mengisi 30-50% dari berat lateks yang dikeluarkan
oleh tanaman karet yang sedang disadap. Kandungan partikel karet ini merupakan
90% total padatan kering dari lateks. Di dalam lateks segar, karet ditemukan
sebagai partikel karet berbentuk bulat lonjong dengan ukuran 0.009 – 3.0 µm.
Satu partikel karet mengandung beberapa ratus molekul hidrokarbon.
Hidrokarbon dikelilingi oleh sebuah membran yang terdiri dari protein dan lipid
termasuk fosfolipid. Membran terlihat sebagai bagian yang ultra tipis untuk
menjaga osmotikum partikel karet dan ketipisannya mencapai 0.01 µm. Puncak
berat molekul karet yang tinggi sampai rendah berkisar antara 1 – 2.5 x 106 dan 1
– 2 x 105 (Tanaka 1989).
Tanaman karet yang memiliki nilai ekonomis terletak pada kulit batang
karena kulit batang menghasilkan lateks. Untuk mengeluarkan lateks dari kulit
batang dilakukan dengan cara menyadap kulit tersebut. Penyadapan biasanya
dilakukan setelah tanaman memenuhi kriteria matang sadap yaitu tanaman
berumur 5-6 tahun. Sejalan dengan ditemukan klon-klon generasi baru dengan
pertumbuhan jagur dapat mempercepat matang sadap yaitu di bawah umur 5
tahun. Kriteria matang sadap yang digunakan yaitu lilit batang pada ketinggian
1.3 m di atas bekas pertautan okulasi telah mencapai ukuran 45 cm dan 60%
populasi tanaman sudah mencapai kriteria tersebut (Siagian & Siregar 2013).

6
Syarat Tumbuh Tanaman Karet
Tanaman karet pada umumnya mampu tumbuh baik di daerah dataran rendah
hingga menengah yaitu pada ketinggian 0 – 400 m di atas permukaan laut, kondisi
curah hujan berkisar 1 800 – 2 500 mm tahun-1, jumlah curah hujan 115 - 150 hari
tahun-1, serta memiliki bulan kering selama 3 - 4 bulan tahun-1 dan bulan basah
selama 8 - 9 bulan tahun-1 (Darmandono 1995). Kisaran suhu optimum yang baik
untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman karet adalah berkisar 25 – 28 oC
(Thomas et al. 1995).
Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang
secara signifikan dapat mempengaruhi produktivitas tanaman karet adalah curah
hujan (jumlah dan frekuensinya), ketinggian tempat, topografi, dan sifat-sifat fisik
tanah (Sugiyanto et al. 1998; Hadi et al. 2007). Menurut Basuki (1990) penurunan
produksi akibat kesalahan penanaman klon yang tidak sesuai pada daerah basah
(curah hujan >3 000 mm tahun-1 tanpa bulan kering) dapat mencapai 7 - 40%,
karena tanaman terserang penyakit gugur daun secara berkepanjangan. Penurunan
populasi tanaman dan terlambatnya buka sadap dari beberapa klon yang ditanam
pada daerah dengan agroklimat basah (curah hujan >2 500 mm tahun-1, dengan 56 bulan basah) dibandingkan dengan daerah yang lebih kering (Suhendry 2001).
Ketinggian tempat (elevasi) berpengaruh negatif terhadap produktivitas karet,
pada ketinggian >700 m dpl sudah memberikan efek yang buruk bagi
pertumbuhan dan produksi karet. Bentuk muka lahan (topografi) dengan
kemiringan 17 - 40% harus memperhatikan kesesuaian klon untuk daerah tersebut.
Untuk daerah berbukit, dengan kemiringan lebih dari 40% sudah memberikan
resiko yang besar untuk tanaman karet (Sugiyanto et al. 1998). Disamping
berbagai faktor diatas, kemungkinan dapat terjadi perubahan iklim karena
pemanasan global yang dapat mempengaruhi daerah optimum untuk budidaya
tanaman (Mearns 2000).
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi produktivitas karet. Penanaman
klon-klon tertentu pada suatu lingkungan (agroekosistem) akan menjadi
pertimbangan penting, agar diperoleh produktivitas klon yang optimal. Indonesia
dengan keragaman lingkungan yang luas, memerlukan alternatif pilihan berbagai
jenis klon unggul yang sesuai untuk lingkungan tertentu (Suhendry 2001).
Pemuliaan Tanaman Karet
Program pemuliaan tanaman karet bertujuan untuk mendapatkan klon dengan
potensi hasil lateks tinggi, pertumbuhan tanaman jagur, resisten terhadap penyakit,
toleran terhadap angin, kualitas karet tinggi, serta respon terhadap stimulansia
(Lasminingsih & Situmorang 1990). Kemajuan pemuliaan tanaman karet dapat
diukur dari pencapaian peningkatan potensi produksi dari klon-klon unggul baru
dibandingkan dengan klon sebelumnya. Selama empat generasi siklus pemuliaan
tanaman karet dari tahun 1910 sampai dengan saat ini telah mencapai kemajuan
yang cukup signifikan terhadap peningkatan hasil lateks yang telah mencapai
lima kali lipat dibandingkan dengan tanaman seedling.
Kegiatan pemuliaan tanaman karet di Indonesia telah berjalan selama empat
generasi. Generasi pertama (G1) dimulai pada tahun 1910 – 1935. Materi genetik
yang digunakan pada G1 merupakan tanaman semaian terpilih dengan rata-rata
produksi karet sebesar 704 kg ha-1. Generasi kedua (G2) dimulai pada tahun 1935
– 1960. Materi genetik merupakan klon primer seperti Tjir 1, PR 107, GT 1,

7
AVROS 2037 dengan produksi karet berkisar 1 200 – 1 500 kg ha-1. Generasi
ketiga (G3) dimulai pada tahun 1960 – 1985. Materi genetik merupakan klon hasil
persilangan tetua unggul.
Klon karet yang termasuk pada G3 yaitu BPM 1, BPM 107, PR 255, dan TM
2. Klon-klon tersebut memiliki produksi karet berkisar 1 750 – 2 000 kg ha-1.
Generasi keempat (G4) dimulai pada tahun 1985 – 2010. Materi genetik
merupakan klon hasil persilangan tetua unggul generasi ketiga. Klon yang
tergolong pada G4 seperti IRR 104, IRR 118, IRR 220, dan IRR 311. Klon
tersebut memiliki produksi karet berkisar 2 100 – 2 500 kg ha-1. Klon karet pada
G4 memiliki produksi karet tinggi dan memiliki masa tanaman belum
menghasilkan (TBM) lebih singkat yaitu selama empat tahun (Aidi-Daslin et al.
2009). Klon-klon tersebut diseleksi melalui serangkaian kegiatan evaluasi
beberapa karakter pendukung di antaranya adalah karakter komponen hasil yang
berkaitan dengan produksi karet.
Karakter komponen hasil merupakan karakter kuantitatif yang memiliki
pengaruh terhadap hasil (Woelan et al. 2013). Karakter komponen hasil seperti
pertumbuhan tanaman (lilit batang, tebal kulit), anatomi kulit (jumlah pembuluh
lateks, diameter pembuluh lateks, partikel karet), fisiologi lateks (sukrosa, fosfat
anorganik, tiol, indeks penyumbatan, kadar karet kering dan indeks hasil)
memiliki hubungan yang cukup kuat terhadap hasil lateks. Karakter lilit batang
dan tebal kulit merupakan parameter penentu dalam awal tanaman karet dapat
disadap. Kriteria tanaman dapat disadap jika pada ketinggian 130 cm memiliki
lingkar batang sebesar 45 cm dengan ukuran tebal kulit ≥ 7 mm. Selain itu,
pertumbuhan tanaman yang jagur sangat diharapkan untuk mempersingkat masa
tanaman belum menghasilkan (Siagian dan Siregar 2013).
Tanaman karet menghasilkan lateks yang disimpan di dalam sel khusus yang
disebut pembuluh lateks dan berada di dalam jaringan floem kulit pohon.
Pembuluh lateks dibentuk oleh aktivitas kambium yang tersusun sebagai cincin
konsentris, bercabang, dan mempunyai pori penghubung antar pembuluh lateks.
Percabangan dan pori antara pembuluh ini akan membantu aliran lateks ke daerah
yang mengalami pelukaan. Pembuluh lateks yang berada di lapisan paling luar
berumur lebih tua dan mempunyai ukuran sel yang lebih besar dibandingkan
pembuluh dekat kambium. Jumlah pembuluh lateks, jumlah cincin pembuluh
lateks dan diameter pembuluh lateks menjadi faktor histologis yang menentukan
produksi karet (Atminingsih 2015). Tanaman karet mempunyai ciri khas
dibandingkan dengan tanaman bergetah lain karena dalam pembuluh lateks tidak
terdapat pati tetapi lebih banyak sukrosa (Kekwick 2001).
Pembentukan partikel karet diawali dengan proses fotosintesis yang
menghasilkan glukosa, sukrosa atau karbohidrat lain, lipid, protein, dan metabolit
sekunder melalui berbagai lintasan yang terkoordinasi dengan proses respirasi
(glikolisis dan siklus trikarboksilat). Metabolit sekunder berupa senyawa fenolik
maupun produk sekunder mengandung N yang secara spesifik mempunyai
lintasan tertentu antara lain lintasan siklamat, malonat maupun mevalonat (Taiz &
Zeiger 1991).
Molekul sukrosa melalui serangkaian reaksi enzimatik akan membentuk
molekul asetat atau asetil-coA sebagai prekursor utama dari cis-poliisoprena
menghasilkan energi kimia berupa ATP serta akumulasi senyawa pereduksi
NAD(P)H. Aktivitas enzim invertase dilaporkan memberikan peran penting dalam

8
proses glikolisis di dalam pembuluh lateks (Mesquita et al 2006). Selanjutnya
melalui serangkaian reaksi enzimatik, Asetil-CoA yang dihasilkan dari glikolisis
membentuk rantai isoprena 5 karbon yaitu isopentenil pirofosfat (IPP).
Proses pembentukan IPP ini memerlukan energi terutama dalam bentuk ATP
dan tenaga pereduksi NADPH yang dihasilkan dari proses glikolisis. Isopentenil
pirofosfat dikatalisis oleh enzim isopentenil-difosfatisomerase sehingga
membentuk dimetilalil pirofosfat (DMAPP) (Atminingsih 2015). Enzim
Preniltransferase, maka DMAPP dan IPP membentuk geranil pirofosfat. Enzim
rubber transferase mengkatalis pemanjangan molekul karet dengan penambahan
molekul IPP secara berturut-turut. Biosintesis lateks dikontrol antara lain oleh
regulasi pH dan komposisi ion sitosol lateks (Jacob et al. 1989).
Metabolisme pembentukan partikel karet dipengaruhi oleh beberapa karakter
fisiologi yang dapat dideteksi dengan diagnosis lateks atau dengan mengamati
beberapa peubah fisiologi lainnya. Menurut Sumarmadji (1999), kandungan lateks
dan jaringan kulit yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan karakter fisiologi
adalah kadar sukrosa, fosfat anorganik (Pi), thiol (R-SH), pH lateks, total solid
content (TSC) atau Kadar Karet Kering (KKK) dan Indeks Penyumbatan (IP).
Sukrosa merupakan indikator yang penting karena merupakan prekursor
untuk mensintesis partikel karet. Fosfat anorganik merupakan indikator untuk
proses metabolisme. Tingginya kadar Pi mencerminkan aktifnya metabolisme
dalam biosintesis karet. Thiol merupakan aktivator berbagai enzim yang
diperlukan untuk stabilitas membran lutoid yaitu menetralisasi beberapa macam
senyawa oksigen toksik atau reactive oxygen species (ROS) seperti: O2, H2O2, dan
OH-. pH lateks berhubungan dengan aktivitas metabolisme lateks terutama
berpengaruh terhadap enzim yang berperan dalam biosintesis lateks. Total Solid
Content atau KKK merupakan pencerminan kemampuan biosintesis lateks.
Semakin tinggi kadarnya semakin lambat aliran lateks dan berkorelasi positif
dengan IP (Atminingsih 2015). Thiol juga berperan dalam mengaktifkan beberapa
enzim terutama yang berhubungan dengan cekaman lingkungan. Thiol berperan
menjaga stabilitas membran lutoid dengan cara menetralisir senyawa oksigen
toksik seperti O2, dan H2O2. Konsentrasi thiol akan semakin menurun dengan
adanya perlakuan stimulan (Nair et al 2004).
Tahapan Pengujian Genotipe Hasil Seleksi
Klon karet unggul dihasilkan dari serangkain kegiatan pemuliaan tanaman
karet secara konvensional yang membutuhkan waktu cukup panjang yaitu
berkisar 25 - 30 tahun. Tahapan pengujian klon karet terdiri dari uji keturunan
(progeny test), uji pendahuluan/ plot promosi, dan uji lanjutan/multilokasi. Tahap
awal dari kegiatan pemuliaan adalah melakukan kegiatan hibridisasi tetua unggul.
Hasil hibridisasi selanjutnya ditanam pada uji keturunan yang sering disebut
Seeding Evaluation Trial (SET). Evaluasi dilakukan pada tanaman F1 hasil
persilangan selama 2 – 3 tahun. Genotipe hasil persilangan tersebut ditanam
dengan jarak tanam 2 x 2 m. Seleksi individu dilakukan berdasarkan potensi hasil
lateks dan sifat pertumbuhan tanaman.
Uji plot promosi/pendahuluan merupakan tahap kedua dalam siklus
pemuliaan tanaman karet yang materi genetiknya menggunakan hasil seleksi di
pengujian F1 hasil persilangan. Genotipe yang terseleksi diperbanyak secara
vegetatif. Istilah genotipe yang dimaksud dalam penelitian ini adalah materi

9
genetik yang diperbanyak secara vegetatif namun masih dalam tahap evaluasi dan
belum dirilis. Masing-masing genotipe diperbanyak 30 – 60 tanaman dan ditanam
dengan jarak tanam 5 m x 4 m. Pengamatan yang dilakukan pada pengujian
tersebut umumnya lebih dititikberatkan pada seleksi genotipe-genotipe dengan
pertumbuhan jagur, produksi karet tinggi, dan tahan terhadap penyakit (Suhendry
2002). Pada uji pendahuluan/plot promosi akan diperoleh klon-klon unggul
harapan dengan nama seri IRR (Indonesian Rubber Research).
Uji lanjutan/adaptasi merupakan tahapan akhir dari siklus seleksi. pengujian
ini dilakukan bertujuan untuk menguji klon karet harapan yang berasal dari uji
pendahuluan/plot promosi. Pengujian klon karet harapan dilakukan pada berbagai
agroekosistem seperti daerah beriklim kering dan basah, air tanah dangkal,
berbagai ketinggian tempat, lahan pasang surut, daerah berbukit dan lain-lain.
Hasil pengujian ini akan diperoleh informasi interaksi genotipe dan
lingkungan. Jika tidak ditemukan interaksi genotipe dan lingkungan, maka untuk
menentukan klon yang ideal sangat mudah untuk dilakukan yaitu dengan memilih
klon-klon harapan dengan rata-rata hasil karet yang lebih tinggi. Jika ditemukan
interaksi genotipe dan lingkungan, maka pemilihan klon berdasarkan lokasi
spesifik. Karakter agronomi sangat penting digunakan sebagai parameter seleksi
dalam pemilihan klon-klon karet unggul. Respon sifat-sifat agronomi pada
interaksi genotipe dan lingkungan berguna dalam seleksi klon untuk ditanam pada
lingkungan luas atau hanya untuk lingkungan tertentu (Allard 1960; Aidi-Daslin
& Sayurandi 2006).
Interaksi Genotipe dan Musim
Peningkatan produktivitas tanaman dapat dilakukan dengan cara merakit
suatu varietas berdaya hasil tinggi. Genotipe harapan yang akan dijadikan suatu
varietas tidak hanya cukup melihat faktor genetik saja, namun pengaruh
lingkungan perlu diperhatikan sebab faktor lingkungan memiliki peranan dalam
penampilan fenotipe tanaman (Syukur et al. 2012). Perbedaan penampilan
tanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi suhu, cahaya, musim, dan nutrisi.
Penelitian berkaitan dengan daya hasil tanaman pada genotipe karet harapan
terhadap perubahan musim (kemarau dan hujan) perlu dilakukan untuk
mengetahui penampilan tanaman dan perbedaan potensi produktivitas tanaman.
Menurut Sari et al. (2013) dalam pengujian varietas tanaman perlu
memperhatikan besarnya interaksi antara genotipe dan lingkungan. Evaluasi
calon varietas baru perlu dilakukan untuk mengetahui keunggulan potensi hasil
dan interaksi genotipe terhadap lingkungan (Kuswanto 2007). Lingkungan
sebagai tempat tumbuh tanaman juga memiliki peran yang tidak kalah penting
terhadap daya hasil. Lingkungan tumbuh yang sesuai akan mendukung
pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga tanaman dapat berproduksi
secara optimal. Suatu karakter tidak dapat berkembang dengan baik apabila hanya
dipengaruhi oleh genetik tanpa lingkungan yang sesuai. Sebaliknya, keadaan
lingkungan yang optimal tidak akan menyebabkan suatu karakter dapat
berkembang dengan baik tanpa didukung oleh genetik tanaman (Aidi-Daslin &
Sayurandi 2006).
Produktivitas tanaman karet sangat dipengaruhi oleh faktor genotipe, musim,
dan interaksi antara genotipe dan musim. Proporsi besarnya ragam genetik secara
berurutan disebabkan oleh faktor genotipe, lingkungan, interaksi genotipe dan

10
lingkungan. Informasi mengenai interaksi genotipe dan lingkungan berguna untuk
menentukan adaptasi genotipe di lingkungan tertentu serta menentukan stabilitas
genotipe.
Pada tanaman karet, kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap daya
hasil lateks adalah jumlah curah hujan, hari hujan, suhu udara dan radiasi matahari.
Untuk wilayah di Indonesia kondisi yang lebih berperan adalah jumlah curah
hujan dan hari hujan, sedangkan faktor suhu dan radiasi bukan faktor pembatas
utama (Oktavia & Lasminingsih 2010). Kondisi tanaman pada saat musim
kemarau mengakibatkan tanaman menggugurkan daunnya. Kondisi tersebut
menyebabkan kapasitas fotosintesis tanaman karet menurun, sehingga berakibat
menurunnya hasil lateks. Penurunan daya hasil lateks umumnya terjadi pada
waktu pembentukan daun baru (Cahyo et al. 2011).
Keragaan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan serta
interaksi keduanya. Lingkungan dapat didefinisikan sebagai gabungan semua
peubah bukan genetik yang mempengaruhi ekspresi genotipik, termasuk lokasi,
musim, dan pengelolaan tanaman. Keragaan daya hasil yang tidak konsisten
terhadap perubahan lingkungan merupakan indikasi adanya interaksi genotipe x
lingkungan. Adanya pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan terhadap daya
hasil maka seleksi yang dapat dilakukan adalah menyeleksi genotipe yang
memiliki daya hasil tinggi dan stabil serta menyeleksi genotipe yang memiliki
daya hasil tinggi dan beradaptasi baik pada lingkungan spesifik (Syukur et al.
2012).
Keragaman Genetik dan Heritabilitas
Ragam genetik dan heritabilitas merupakan parameter genetik yang penting
dalam pemuliaan tanaman. Ragam genetik adalah ragam yang diwariskan oleh
tetua kepada turunannya. Proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipe suatu
karakter disebut heritabilitas. Heritabilitas adalah proporsi keragaman genetik
dalam suatu populasi yang diwariskan dari tetua kepada turunannya. Heritabilitas
dapat dianalisis berdasarkan perbandingan keragaman genetik dengan keragaman
fenotipe.
Heritabilitas adalah parameter genetik yang digunakan untuk mengukur
kemampuan suatu genotipe dalam populasi tanaman dalam mewariskan karakter
yang dimilikinya atau suatu pendugaan yang mengukur sejauh mana variabilitas
penampilan suatu genotipe dalam populasi terutama yang disebabkan oleh
peranan faktor genetik. Heritabilitas suatu karakter penting diketahui, terutama
untuk menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses
seleksi. Heritabilitas merupakan parameter genetik untuk memilih sistem seleksi
yang efektif.
Heritabilitas dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu broad-sense heritability
yang merefleksikan semua kemungkinan kontribusi faktor genetik terhadap
keragaman fenotipe, sedangkan yang kedua adalah narrow-sense heritability yang
merupakan perbandingan keragaman genetik aditif terhadap keragaman fenotipe
(Roy 2000). Heritabilitas dalam pemuliaan tanaman memiliki fungsi sebagai salah
satu alat ukur dalam sistem seleksi yang efisien dan efektif untuk menggambarkan
seleksi genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya (Fehr 1987). Menurut
Syukur et al. (2012), heritabilitas merupakan tolok ukur yang menentukan apakah

11
perbedaan penampilan suatu karakter disebabkan oleh faktor genetik atau
lingkungan.
Keragaman yang muncul dari suatu populasi tanaman merupakan hasil
kombinasi genotipe dan pengaruh lingkungan. Keragaman adalah perbedaan yang
ditimbulkan dari suatu penampilan populasi tanaman. Keragaman genetik
merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
pemuliaan tanaman. Adanya keragaman genetik dalam suatu populasi berarti
terdapat variasi nilai genotipe antar individu dalam populasi tersebut. Keragaman
menentukan efektifitas seleksi. Seleksi akan efektif apabila keragaman luas.
Selain keragaman, heritabilitas juga menetukan efektifitas suatu seleksi.
Heritabilitas merupakan suatu parameter genetik yang mengukur kemampuan
suatu genotipe dalam populasi tanaman untuk mewariskan karakter yang dimiliki.
Makin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat maka makin besar pengaruh genetiknya
dibanding lingkungan.
Heritabilitas dalam arti yang luas adalah semua aksi gen termasuk sifat
dominan, aditif, dan epistasis. Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar dari 0
sampai 1. Nilai 0 ialah bila seluruh variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor
lingkungan, sedangkan nilai 1 bila seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik.
Dengan demikian nilai heritabilitas akan terletak antara kedua nilai ekstrim
tersebut (Welsh 2005). Hanson (1963) menyatakan nilai heritabilitas dalam arti
luas menunjukkan genetik total dalam kaitannya keragaman genotipe, sedangkan
menurut Poespodarsono (1988), bahwa makin tinggi nilai heritabilitas satu sifat
maka makin besa