Habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch Audebert, 1797) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Jawa Barat

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah mamalia tertinggi
kedua di dunia setelah Brazil. Salah satu jenis mamalia yang hidup di Indonesia
adalah satwa primata, dan dari jumlah total 40 spesies satwa primata yang dapat
diidentifikasi di Indonesia, 30% diantaranya merupakan spesies endemik pada
wilayah tertentu di Indonesia (McNeely 1990). Terdapat sedikitnya tiga spesies
satwa primata endemik berasal dari famili Hylobatidae.
Hylobatidae adalah salah satu famili satwa primata yang sebagian besar
spesiesnya hidup di Indonesia. Famili Hylobatidae terdiri atas sembilan spesies
yang tersebar di kawasan Asia Tenggara, enam spesies diantaranya termasuk
ke dalam Genus Hylobates, yaitu Hylobates agilis F. Cuvier (ungko, dark handed
gibbon), Hylobates klosii Miller (siamang kerdil, kloss’s gibbon), Hylobates lar
Linnaeus (ungko lengan putih, white handed gibbon), Hylobates moloch
Audebert (owa jawa, silvery gibbon), Hylobates muelleri Martin (kelawat, gray
gibbon) dan Hylobates pileatus Gray. Dari keenam spesies ini hanya H. pileatus
yang penyebarannya tidak meliputi wilayah Indonesia (Geissmann 2002; Silvery
Gibbon Website 2002). Tiga dari lima spesies Genus Hylobates merupakan
spesies yang hidup endemik di beberapa pulau di Indonesia. Salah satu diantara
spesies tersebut adalah owa jawa yang hanya bisa diidentifikasi di Pulau Jawa,
yaitu di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada saat ini, populasi spesies tersebut

hanya dapat diidentifikasi di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi
lainnya, seperti di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung HalimunSalak dan TN. Gunung Gede Pangrango.
TN. Gunung Halimun-Salak memiliki keanekaragaman tumbuhan dan
satwa yang tinggi, beberapa diantaranya termasuk ke dalam kategori kritis. Dari
61 jenis mamalia yang hidup di TN. Gunung Halimun-Salak, empat diantaranya
termasuk ke dalam ordo primata, terdiri dari tiga spesies termasuk dalam
kategori

monyet (monkey), yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis

Raffles), surili (Presbytis comata Desmarest) dan lutung (Trachypithecus auratus
Geoffroy Sain-Hilaire), serta satu spesies termasuk ke dalam kategori kera kecil
(lesser apes), yakni owa jawa (H. moloch Audebert).

2
Seiring dengan semakin meningkatnya ancaman terhadap populasi owa
yang mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah populasi secara nyata di alam,
maka terjadi perubahan status dari kategori genting (endangered) tahun 1986,
menjadi kritis (critically endangered) pada tahun 1996 dalam daftar International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Kenaikan

status tersebut akibat terjadinya penurunan populasi owa jawa di alam yang
cukup tajam, sedangkan Convention on International Trade of Endangered
Species of Flora and Fauna (CITES), owa jawa dikategorikan ke dalam Apendiks
I yang berarti satwa tersebut telah terancam punah, sehingga perdagangannya
harus diatur sangat ketat dan hanya diperbolehkan untuk hal-hal khusus.
Kritisnya populasi owa jawa disebabkan oleh aktivitas manusia yang semakin
tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan hidup yang sangat tinggi
tersebut berdampak negatif secara langsung terhadap pemanfaatan hasil hutan
dan lahan hutan yang tidak terkendali, sehingga mengakibatkan berkurangnya
habitat secara drastis. Aktivitas yang memiliki dampak negatif secara langsung
terhadap menurunnya populasi owa jawa antara lain, perusakan habitat;
perburuan dan penangkapan untuk keperluan satwa peliharaan serta hilangnya
koridor sebagai dampak negatif dari hilangnya habitat. Deforestasi habitat ini
merupakan ancaman utama terhadap populasi owa jawa. Lebih dari 96% habitat
asli owa jawa telah hilang akibat dari kerusakan yang terjadi (MacKinnon 1980),
sedangkan secara spesifik, persentase hilangnya habitat di TN. Gunung
Halimun-Salak pada tahun 2001 adalah 2,5% dari total luas kawasan 42,000 ha
(Supriatna 2006). Habitat yang tersisa saat ini merupakan hutan-hutan
terfragmentasi antara satu dengan lainnya. Akibat semakin berkurangnya habitat
satwa primata, IUCN atau World Conservation Union (1996), menyatakan bahwa

lebih dari sepertiga spesies primata telah dikategorikan ke dalam spesies kritis
(critically endangered), genting (endangered) dan rentan (vulnerable). Selain
berkurangnya luasan habitat yang berdampak negatif langsung terhadap
penurunan populasi owa jawa, daya dukung habitat dan regenerasi jenis pohon
yang sangat berperan dalam mendukung kelangsungan hidup owa jawa masih
belum banyak diketahui. Penelitian terhadap kebutuhan utama satwa berupa
sumber pakan dan tempat berlindung merupakan aspek yang berperan sangat
penting terhadap upaya kelestarian satwa.

3
Informasi populasi owa jawa di alam sampai saat ini masih sangat
terbatas dan bervariasi. Kappeler (1981) memprediksi populasi owa jawa di alam
berkisar antara 2.400-7.900 individu. Jumlah populasi ini menurun cukup tajam
dalam kurun waktu 14 tahun menjadi 2.700 individu (Asquith et al. 1995). Pada
tahun 2000, owa jawa termasuk ke dalam salah satu dari 25 spesies satwa
primata paling terancam punah di dunia (Mittermeier et al. 2005). Penelitian
terakhir tentang populasi owa jawa memprediksi jumlah satwa tersebut ada pada
kisaran 4.000-4.500 individu (Nijman 2004). Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, terdapat variasi estimasi populasi owa jawa dalam rentang waktu 23
tahun, dengan demikian, masih sangat diperlukan penelitian populasi owa jawa

secara meyeluruh pada kawasan yang dihuni owa jawa, sehingga bisa diperoleh
informasi populasi yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan status
spesies tersebut dalam daftar IUCN maupun dalam menentukan langkah
konservasi yang akan dilaksanakan. Informasi kemampuan reproduksi dan
tingkah laku owa jawa di penangkaran, perlu pula diketahui sebagai pembanding
kemampuan reproduksi owa jawa di alam. Informasi ini dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam menentukan tindakan pengelolaan di dalam suatu kawasan.
Selain itu, perlu pula diketahui prediksi populasi spesies tersebut pada masa
yang akan datang melalui pendekatan aspek biologi, habitat dan potensi
ancaman

terhadap

populasi

tersebut,

sehingga

bisa


diketahui

prediksi

kelangsungan atau kepunahan spesies dimaksud pada kurun waktu tertentu.

Tujuan
Penelitian dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:
1) memperoleh keeratan hubungan antara kerapatan pohon pakan dan pohon
tidur dengan kepadatan populasi owa jawa. Berdasarkan pendekatan dua
peubah tersebut dapat diperoleh suatu model estimasi populasi;
2) mendapatkan estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung Halimun-Salak
berdasarkan penelitian di hutan primer dan sekunder;
3) memperoleh informasi tentang pengaruh fragmentasi terhadap kepadatan
dan ukuran kelompok owa jawa;
4) memperoleh perbedaan daerah jelajah berdasarkan kondisi habitat yang
dihuni.

4

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1) informasi kerapatan pohon pakan dan pohon tidur dapat digunakan dalam
memprediksi kepadatan populasi owa jawa, sedangkan kepadatan populasi
dapat dipakai dalam menduga populasi owa jawa. Model estimasi populasi
bermanfaat dalam menduga estimasi populasi owa jawa di TN. Gunung
Halimun-Salak dan di kawasan lainnya;
2) informasi populasi owa jawa dapat digunakan sebagai dasar dalam
melakukan pengelolaan habitat dan mengidentifikasi potensi ancaman
terhadap spesies tersebut;
3) fragmentasi habitat dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan
tindakan pengelolaan sebagai upaya melindungi populasi owa jawa;
4) perbedaan luas daerah jelajah dapat dijadikan sebagai indikasi baiknya suatu
habitat yang dihuni.

Hipotesis
Dalam penelitian kajian habitat dan populasi owa jawa di TN. Gunung
Halimun-Salak, dapat dikemukakan beberapa hipotesis:
1) populasi dan sebaran owa jawa di kawasan hutan pegunungan sangat erat
hubungannya dengan sebaran dan kerapatan pohon pakan dan pohon tidur;

2) pergerakan owa jawa selain dipengaruhi oleh ketersediaan pohon pakan dan
pohon tidur, dipengaruhi pula oleh kondisi habitatnya;
3) fragmentasi habitat berpengaruh terhadap komposisi dan ukuran kelompok
serta kepadatan populasi owa jawa.
Latar belakang penelitian dan kondisi yang menyebabkan keadaan
tersebut serta penelitian yang dilakukan sebagai upaya memperoleh informasi
populasi owa jawa dan potensi habitatnya, terangkum dalam kerangka pemikiran
seperti disajikan pada Gambar 1.

5

Kerangka Pemikiran

Populasi Owa Jawa

Penurunan daya dukung habitat:
• terbatas pada kawasan yang
dilindungi (taman nasional, cagar
alam dan hutan lindung)
• fragmentasi

• konversi lahan
• estimasi hilangnya habitat owa
jawa: 96% (MacKinnon 1980)

Analisis
vegetasi

Analisis pohon
pakan

• Jumlah dan
jenis vegetasi
• Indeks Nilai
Penting

Penurunan jumlah populasi:
• endemik
• kritis (critically endangered)
• appendiks I (CITES)
• estimasi populasi 4.000-4.500

individu (Nijman 2004)

• Penelitian populasi
• Model estimasi populasi
• Potensi ancaman

Analisis
pohon tidur

• Jumlah dan jenis
vegetasi
• Indeks Nilai Penting
• Profil pohon






Kepadatan populasi

Kepadatan kelompok
Ukuran populasi
Karakteristik populasi

• Parameter daya dukung habitat • Parameter populasi

Model estimasi populasi

Prediksi dinamika populasi

• Manajemen habitat
• Kontrol kawasan secara efektif
terutama pada pohon pakan dan
pohon tidur
• Pemberlakuan hukum secara tegas

• Manajemen populasi
• Kontrol kawasan secara rutin dan
efektif terutama pada owa
• Pemberlakuan hukum secara tegas


Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian (Modifikasi dari Bailey 1984)

TINJAUAN PUSTAKA
Habitat
Habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan
dasar populasi, yakni kebutuhan

terhadap sumber pakan, air dan tempat

berlindung (Alikodra 2002). Owa jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa
yang keberadaannya saat ini terbatas pada kawasan taman nasional dan hutan
lindung di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penyebarannya terutama di Taman
Nasional Gunung Halimun, Gunung Gede, TN. Ujung Kulon, Gunung Simpang,
Leuweung Sancang, dan Gunung Tilu (Kappeler 1984; Nijman dan Van Ballen
1998). Secara spesifik, habitat owa jawa adalah hutan tropika, mulai dataran
rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 0-1.600 m di atas permukaan laut
(Massicot 2001; CII 2000; Rinaldi 1999), sedangkan Rowe (1996) menyatakan
bahwa habitat owa jawa adalah hutan primer dan sekunder serta hutan hujan
tropika dari ketinggian setara permukaan laut sampai 1.500 m dpl. Hutan hujan
tropika di bawah ketinggian 1.500 m dpl. merupakan habitat eksklusif bagi owa
jawa (CII 2000; Kappeler 1981) karena beberapa sebab, yaitu 1) spesies
tumbuhan hutan di atas ketinggian 1.500 m dpl bukan merupakan sumber pakan,
dan 2) banyaknya lumut yang menutupi pepohonan menyulitkan owa jawa
melakukan pergerakan atau perpindahan. Rowe (1996) menyatakan bahwa pada
wilayah di atas ketinggian 1.500 m dpl, hanya terdapat sedikit spesies tumbuhan,
dan jenis tumbuhan tersebut tidak sesuai untuk dimanfaatkan dalam melakukan
pergerakan dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu, suhu di atas 1.500 m dpl.
lebih rendah dibandingkan suhu di bawah ketinggian tersebut.
Owa jawa adalah satwa yang benar-benar hidup arboreal sehingga
membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan. Habitat yang
sesuai bagi owa jawa adalah 1) hutan dengan tajuk yang relatif tertutup, 2) tajuk
pohon tersebut memiliki cabang horizontal, dan 3) habitat yang memiliki sumber
pakan yang tersedia sepanjang tahun (Kappeler 1984). Owa jawa sangat jarang
turun ke permukaan tanah, dan menggunakan sebagian besar waktunya di tajuk
pohon bagian atas, sehingga kelangsungan hidupnya tergantung pada pohon
sebagai pelindung dan sumber pakan (Kuester 2000). Faktor utama yang
membatasi

penyebaran

owa

jawa

adalah

struktur

ketinggian

pohon

7
untuk melakukan aktivitas bergelayutan (branchiation), serta keragaman floristik
yang berkaitan dengan variasi persediaan pakan spesies tersebut (Kappeler
1984a).
Persentase hilangnya hutan antara tahun 1980 dan 1995 di beberapa
negara di dunia antara lain: Afrika 10,5%; Amerika Latin dan Karibia 9,7%; Asia
dan Oceania 6,4%, sedangkan rerata hilangnya luas hutan pada negara-negara
yang memiliki primata adalah 125.140 km2 (Chapman dan Peres 2001). Di
Indonesia, luas habitat owa jawa menyusut sekitar 96% dari semula memiliki
habitat seluas 43.274 km2 menjadi sekitar 1.608 km2 akibat pertumbuhan
penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat (CII 2000). Prediksi hilangnya habitat
di beberapa kawasan yang dihuni owa jawa menunjukkan persentase yang
bervariasi: Cagar Alam Gunung Simpang, hampir kehilangan 15% (dari 15.000
ha); TN. Ujung Kulon kehilangan 4% dari 76.100 ha; dan TN. Gunung Halimun
kehilangan 2,5% dari 42.000 ha luas kawasannya (Supriatna 2006).
Kerusakan habitat yang disebabkan oleh kegiatan penebangan selain
menyebabkan populasi owa jawa menurun, juga menyebabkan perubahan
tingkah laku pada beberapa spesies, diantaranya: 1) Lar gibbon (Hylobates lar)
menunjukkan kecenderungan peningkatan tingkah laku berdiam diri dan
menghindar, sedangkan tingkah laku bersuara menurun; 2) pola aktivitas pada
H. Lar dan Presbytis melalophos menunjukkan peningkatan waktu istirahat dan
penurunan pada aktivitas makan dan bergerak; 3) pada kedua spesies tersebut
terjadi perpindahan dari kanopi atas ke bagian tengah; 4) pada saat terjadi
gangguan yang sangat tinggi, aktivitas saling bersuara gibbon sering terhenti,
dan tingkat bersuara tersebut akan tetap mengalami tekanan sampai beberapa
tahun setelah aktivitas penebangan berhenti (Johns 1986). Akibat dari kerusakan
hutan yang terjadi, maka habitat yang dapat dihuni owa jawa semakin sempit dan
hanya tersisa terutama di Pulau Jawa bagian barat dan sebagian Jawa Tengah,
seperti disajikan pada Gambar 2 (Nijman 2001).

8

Gambar 2. Habitat Owa Jawa (Nijman 2001)
Gibbon lebih menyukai pohon tinggi untuk melakukan aktivitasnya. Pada
kondisi hutan yang terganggu, aktivitas gibbon berubah dari kanopi bagian atas
ke bagian tengah seperti ditunjukkan H. Lar dan H. Moloch pada Gambar 3.

Gambar 3. Persentase Penggunaan Kanopi oleh Dua Spesies Hylobates
pada Hutan Terganggu dan Tidak Terganggu (Nijman 2006)
Owa jawa diketahui hanya dapat diidentifikasi pada ketinggian tertentu.
Pasang (1989) mengidentifikasi kelompok owa jawa di TN. Gunung Halimun
pada ketinggian 1.250 m dpl. Walaupun sebagian peneliti menyatakan bahwa
ketinggian 1.600 m dpl. merupakan posisi tertinggi sebaran owa jawa, terdapat
laporan yang menyatakan bahwa spesies tersebut diidentifikasi pula pada
ketinggian 2.400 m dpl. (Kool 1992; Nijman dan Van Balen 1998). Faktor-faktor

9
yang membatasi penyebaran owa jawa berdasarkan ketinggian tempat (Balai
Taman Nasional Gunung Halimun 1997):
1) struktur dan kerapatan pohon membatasi perilaku pergerakan dari satu tajuk
ke tajuk lain,
2) keragaman komposisi floristik yang relatif rendah menyebabkan kurangnya
potensi dan keragaman pakan, dan
3) rendahnya temperatur pada malam hari.

Pohon Pakan
Pada dasarnya, sumber pakan satwa primata dibedakan ke dalam tiga
kategori (Fleagle 1988):
1. struktural, yaitu bagian tumbuhan yang meliputi daun, batang, cabang, dan
materi tumbuhan lainnya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa);
2. bagian reproduktif, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan
buah (matang atau mentah);
3. materi dari hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata
maupun invertebrata.
Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan owa jawa sebagai
sumber pakan. Bagian pohon yang biasanya dimanfaatkan adalah buah, daun,
dan bunga. Kelompok gibbon pada umumnya mengkonsumsi buah matang
dalam proporsi yang tinggi (Geissmann 2004). Persentase jenis pakan tertinggi
adalah buah-buahan matang (61%), daun-daunan (38%) dan bunga (1%)
(Kappeler 1984; Rowe 1996; Kuester 1999).
Terdapat 125 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan gibbon sebagai sumber
pakan, terdiri dari 108 jenis pohon, 14 jenis tumbuhan liana, dua jenis tumbuhan
palma dan satu jenis epifit. Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber
pakan adalah Dillenia excelsa (Jack) Gilg, Dracontomelon mangiferum Blume,
Garcinia dioica Blume, Ficus callosa Willd., Saccopetalum horsfieldii (Benn.)
Baillon ex. Pierre, Ficus variegata Blume, Eugenia polyanta Wright, Flacourtia
rukam Zoll. & Moritzi, Bridelia minutiflora Hook.f. dan Antidesma bunius Sprengel
(Kappeler 1984). Berdasarkan hasil penelitiannya, Rinaldi (1999) menyatakan
terdapat 27 jenis tumbuhan yang merupakan sumber pakan owa jawa di TN.
Ujung Kulon, diantaranya adalah purut (Parartocarpus veneroso), kiara koang
(Schefflera macrostachya Jacq), kiara beunyeur (Ficus callopylla Blume), dahu

10
(Dracontomelon puberulum Miq) dan kicalung (Diospyros hermaphroditica
Bakh.).
Pohon pakan dan pohon tidur merupakan bagian habitat yang memiliki
peranan sangat penting bagi kehidupan gibbon. Buah-buahan merupakan
sumber pakan utama gibbon dibandingkan bagian lain pada pohon pakan
tersebut

(Whiten

1982).

Walaupun

demikian,

gibbon

diidentifikasi

pula

mengkonsumsi pucuk daun, tangkai muda, bunga dan beberapa hewan
invertebrata (Gittins 1982).
Jenis pohon dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan pohon
yang paling umum digunakan sebagai sumber pakan bagi gibbon. Jenis pohon
lain yang sering digunakan sebagai sumber pakan berasal dari famili
Leguminosae,

Myrtaceae,

Annonacea,

Rubiaceae,

Guttiferaceae

dan

Anacardiaceae (Chivers 2000).
Spesies yang memiliki sumber pakan sama dengan owa jawa adalah dua
spesies lutung (Presbytis aygula, P. cristatus), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), bajing (Ratufa bicolor), kelelawar (Pteropus vampyrus) dan tiga
spesies rangkong (Anthracoceros convexus, Buceros rhinoceros, Rhyticerus
undulates) (Kappeler 1981). Berdasarkan kesamaan sumber pakan tersebut, di
TN. Ujung Kulon, owa jawa bersaing dalam menggunakan sumber pakan dengan
spesies satwa primata lain, yaitu surili (P. comata), lutung (Trachipithecus
auratus), dan monyet ekor panjang (M. fascicularis) (Iskandar 2001).
Pohon Tidur
Pohon tidur adalah jenis pohon yang digunakan owa jawa sebagai tempat
tidur dan tempat berlindung dari predator. Pohon tidur pada sebagian satwa
primata merupakan salah satu tempat yang dipertahankan dari gangguan
kelompok lain dan merupakan core area dari spesies tersebut. Core area adalah
lokasi tertentu di dalam daerah jelajah yang dipertahankan secara intensif
terhadap gangguan kelompok lain. Pemilihan tempat untuk istirahat dan tidur
dilakukan secara hati-hati sehingga diperoleh lokasi yang benar-benar cocok
(Fruth dan McGrew 1998). Pada umumnya, pohon yang dipilih sebagai pohon
tidur adalah pohon yang cukup tinggi, rindang dan rimbun sehingga selain bisa
terhindar dari predator, dapat pula digunakan untuk berlindung dari perubahan
cuaca (Reichard 1998).

11
Gibbon akan melakukan perpindahan pohon tidur secara berkala. Jantan
dan betina tidur pada pohon yang berbeda. Pada saat berada di pohon tidur,
gibbon tidak akan bersuara untuk menghindari bahaya (Islam dan Feeroz 1992).
Setelah melakukan jelajah harian, owa jawa akan kembali ke pohon tidur
beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai
kira-kira 14-17 jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur
terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa, dan terakhir
jantan dewasa (Reichard 1998). Rerata waktu yang digunakan Hylobates moloch
di pohon tidur di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah 13,05 jam
(Malone et al. 2006).
Pohon tidur dan pohon yang digunakan pada saat bersuara merupakan
tempat penting di dalam teritori gibbon. Terdapat banyak pohon tidur yang
digunakan gibbon pada satu lokasi. Banyaknya jumlah pohon tidur tersebut
berperan penting dalam mempertahankan kehangatan (Gittins 1982).

Owa Jawa (Hylobates moloch)
Klasifikasi dan Taksonomi
Genus Hylobates dikelompokkan ke dalam empat subgenus, yaitu
Bunopithecus, Hylobates, Nomascus dan Sympalangus seperti disajikan pada
Tabel 1 (Geissmann 1995).
Tabel 1. Klasifikasi dan Distribusi Genus Hylobates
Genus
Hylobates

Subgenus
Bunopithecus

Spesies
Hoolock

Subspesies
Hoolock

Hylobates

Agilis

Leuconedys
agilis albibarbis

Lar

?unko
Carpenteri
Entelloides
Lar
Vestitus
?yunnanensis

Moloch
Muelleri

Nomascus

Pileatus
Klosii
Concolor

Abboti
Funerius
Mueleri

Concolor
?jingdongensis

Penyebaran
Assam,
Bangladesh, Burma
Burma, Yunnan
Sumatra Barat,
Kalimantan
Malaysia, Sumatra
Thailand
Thailand, Burma
Semenanjung
Malaysia
Sumatra Utara
Yunnan
Jawa Barat
Kalimantan
Kalimantan
Kalimantan
Thailand, Kamboja
Pulau Mentawai
Vietnam, Yunann
Yunnan

12
Hainanus
ssp.nov.
cf.nasutus
?lu

Pulau Hainan
Vietnam
Vietnam
Laos

13
Tabel 1. (Lanjutan)
Genus

Subgenus

Spesies
leucogenys

Subspesies
Leucogenys
Siki

Gabriellae
Symphalangus

syndactylus

?continentis
Syndactylus

Penyebaran
Laos, Vietnam,
Yunnan
Laos, Vietnam
Laos, Vietnam,
Kamboja
Semenanjung
Malaysia
Sumatra

Owa jawa (Hylobates moloch) dikenal pula dengan nama Javan gibbon
atau Silvery gibbon, memiliki susunan taksonomi sebagai berikut (The IUCN Red
List of Threatened Species 2003): ordo: Primata; famili: Hylobatidae; genus:
Hylobates; spesies: Hylobates moloch (Audebert 1797), dan nama lokal: owa,
wau-wau kelabu.
Arti kata Hylobates menurut Nowak (1999) adalah penghuni pohon, oleh
karena itu ketangkasan genus ini dikenal melebihi satwa lain pada saat bergerak
dari satu pohon ke pohon lainnya.
Morfologi
Genus Hylobates tidak memiliki ekor, kepala berukuran kecil dan bulat,
hidung tidak menonjol, rahang kecil dan pendek, dada lebar dengan rambut yang
tebal dan halus (Grzimek 1972). Salah satu ciri mencolok dari Genus Hylobates
adalah adanya pembengkakan pada alat kelamin betina, terutama pada
Hylobates moloch, H. muelleri, H. agilis, H. Albibarbis dan H. lar. Pembengkakan
pada alat kelamin betina ini tidak begitu nyata pada H. pileatus (Mootnick 2006).
Owa jawa merupakan salah satu spesies dalam Genus Hylobates yang memiliki
bantalan duduk (ischial callosities). Bantalan duduk tersebut tidak terdapat pada
semua jenis satwa primata (Fleagle 1988).
Salah satu cara untuk membedakan populasi gibbon adalah melalui
perbedaan rambut. Berdasarkan perbedaan warna rambut tersebut, dapat pula
digunakan untuk membedakan jenis kelamin pada spesies tertentu (Chivers
1984). Owa jawa memiliki rambut tebal berwarna abu-abu keperakaan. Rambut
di atas kepala dan muka berwarna hitam, sedangkan alis berwarna putih
(Massicot 2006). Jantan dan betina owa jawa memiliki rambut tebal dan
berwarna abu-abu keperakan menutupi hampir seluruh tubuh. Rambut di atas
kepala berwarna gelap, beberapa diantaranya memiliki warna rambut lebih gelap

14
pada bagian dada. Warna rambut pada bayi berwarna lebih terang dibandingkan
owa jawa dewasa (Rowe 1996). CII (2000) menyatakan bahwa rambut pada
bagian kepala owa jawa berwarna abu-abu kehitaman, muka berwarna hitam
dengan alis berwarna abu-abu terang atau cenderung putih. Supriatna dan
Wahyono (2000) menambahkan, dagu pada beberapa individu owa jawa
berwarna gelap dan terdapat sedikit perbedaan warna rambut antara jantan dan
betina, terutama dalam tingkatan umur.
Bobot tubuh owa jawa sekitar 6 kg (Massicot 2001). Antara jantan dan
betina tidak terdapat perbedaan menyolok baik dari bobot badan maupun warna
rambut (Kuester 1999). Panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar antara
75-80 cm, memiliki lengan yang panjang dan tubuh ramping. Bentuk tubuh
seperti ini sangat ideal untuk melakukan pergerakan diantara tajuk pohon di
dalam hutan (Kuester 2000).
Owa jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga
memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan
berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk menggigit dan mengupas
makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan (Napier &
Napier 1967).

Status Konservasi
Sebagai upaya melindungi owa jawa dari kepunahan, spesies ini telah
dilindungi sejak jaman penjajahan Belanda oleh Undang-undang berdasarkan
ordonansi perlindungan binatang-binatang liar 1931 nomor 266 yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Dit. PPA 1978). Perlindungan terhadap
spesies endemik ini diganti oleh Undang-Undang No. 5/1990; Keputusan Menteri
Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 (http://www.tropenbos.
nl/2006).
Pada tahun 1986, owa jawa telah dimasukkan ke dalam kategori
endangered species dalam daftar IUCN. Status tersebut berubah pada tahun
1996, menjadi critically endangered species (CI 2000) setelah PHVA workshop
(Supritna et al. 1994). Mulai tahun 2000-2004, owa jawa termasuk ke dalam
salah satu dari 25 spesies primata yang paling terancam punah di dunia
(IUCN/CI 2000). Kategori Owa jawa dalam daftar CITES termasuk ke dalam
Appendix I (Kuester 1999).

15
Status owa jawa saat ini dikategorikan sangat kritis (genting) berdasarkan
pertimbangan: 1) pengurangan setidaknya 80% habitat layak huni atau
berkurangnya kualitas habitat selama tiga generasi terakhir (45 tahun) (Supriatna
et al. 1994); 2) estimasi populasi kurang dari 250 individu dewasa dan terjadi
penurunan secara terus menerus (http://www.tropenbos.nl/2006). Penyebab
sangat kritisnya populasi owa jawa dan satwa lain adalah akibat aktivitas
manusia yang tidak mempertimbangkan aspek kelestarian habitat dan satwa
yang hidup di dalamnya. Pada umumnya, hampir semua habitat spesies penting
di dareah penyebaran owa jawa telah musnah. Lebih dari 95% habitat owa jawa
dan lutung telah rusak, dan hanya 2% daerah penyebaran alaminya yang
dilindungi (Primack et al. 1998). Gambar 4 menyajikan berbagai ancaman
terhadap populasi primata dan langkah-langkah yang diperlukan dalam
melindungi populasi primata tersebut.

Gambar 4. Ancaman Utama Terhadap Populasi Primata dan
Pendekatan dalam Melindungi Ordo tersebut
(Chapman dan Peres 2001).
Penelitian yang telah dilakukan terhadap populasi owa jawa di beberapa
kawasan di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada beberapa tahun terakhir
menunjukkan bahwa populasi spesies tersebut masih lebih dari 4.000 individu.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Nijman (2004) menyarankan peninjauan
kembali atas status owa jawa dari status saat ini critically endangered species

16
menjadi endangered species karena pertimbangan masih cukup banyaknya
populasi owa jawa di alam.

Penyebaran
Gibbon

lebih

menyukai

hutan

dataran

rendah

karena

memiliki

keanekaragaman dan kepadatan pohon-pohon berbuah sangat tinggi (Chivers
2000). Penyebaran owa jawa hanya terdapat di separuh P. Jawa ke arah barat.
Daerah sebaran di Jawa Barat meliputi TN. Gunung Gede Pangrango, TN.
Gunung Halimun, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA) Gunung Simpang, CA
Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Salak, HL Gunung Ciremai,
Gunung Papandayan, Gunung Wayang, Gunung Jayanti dan Gunung Porang. Di
Jawa Tengah, owa jawa dapat ditemukan di HL Gunung Slamet, Gunung Prahu,
dan Pegunungan Dieng (CII 2000; Nijmann dan Sozer 1995).
Spesies gibbon tersebar menurut geografis. Sebaran ini dapat digunakan
sebagai indikasi keragaman spesies tersebut selain perbedaan warna rambut.
Penyebaran gibbon berdasarkan letak geografis disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Penyebaran Gibbon Berdasarkan Letak
Geografis (Chivers 1984)

17

Owa jawa telah diidentifikasi keberadaannya pada 20 areal yang masih
berhutan, terutama di Jawa Barat. Pada beberapa areal dengan populasi owa
jawa sedikit, diperkirakan populasi tersebut tidak akan bertahan dalam kurun
waktu lama (Massicot 2006). Supriatna dan Wahyono (2000) membedakan owa
jawa menjadi dua subspesies, yaitu H. moloch moloch yang memiliki warna
rambut lebih gelap, dan H. moloch pangoalsoni dengan rambut berwarna lebih
terang. Menurut Geissmann (2004), owa jawa yang sebarannya di Jawa Barat
adalah H. moloch moloch, sedangkan di Jawa Tengah adalah H. moloch
pangoalsoni.

Aktivitas Harian dan Pola Interaksi
Pada saat melakukan aktivitas harian, owa jawa lebih bersifat arboreal
dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon ke pohon dilakukan dengan
cara bergelayutan atau brankiasi (Kuester 1999; Supriatna dan Wahyono 2000).
Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur,
menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan
anaknya serta mencari makan (CII 2000). Aktivitas tersebut ada di dalam daerah
jelajahnya. Pola aktivitas harian diawali dengan mengeluarkan suara disertai
pergerakan akrobatik sebelum mencari makan (Rinaldi 2003), siang hari
digunakan untuk beristirahat dengan saling menelisik antara jantan dan betina
pasangannya, atau antara induk dan anaknya, sedangkan pada malam hari, tidur
pada percabangan pohon (Cowlishaw 1996).
Pergerakan dari satu cabang ke cabang lain atau dari pohon ke pohon
lain dibagi ke dalam dua kecepatan, yaitu lokomosi cepat terjadi ketika
menghindari predator, terdengar suara peringatan dari betina dan ketika terjadi
perebutan teritori. Lokomosi lambat dilakukan pada saat menempuh jarak
pendek (50-100m) dan terdiri atas bergelayutan tanpa fase melayang, berjalan
dengan dua kaki (bipedal), berjalan dengan empat kaki (quadrupedal), fase
melayang untuk menjangkau cabang atau pucuk pohon (Kappeler 1981). Cara
bergerak owa jawa dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu: 1) brankiasi;
2) berjalan dengan dua kaki (bipedal); 3) memanjat; dan 4) melompat (leaping).
Aktivitas owa jawa di TN. Ujung Kulon dimulai antara jam 06.00 dan 7.15 pagi
tergantung kepada kondisi cuaca. Pada saat musim kemarau, aktivitas harian
owa jawa dimulai pada pukul 06:00 pagi, sedangkan pada musim hujan, aktivitas

18
dimulai pada pukul 07:15 pagi dan beristirahat pada siang hari. Aktivitas diawali
dengan bersuara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari pakan. Aktivitas
makan dimulai setelah matahari terbit dan aktivitas bersuara (Rinaldi 1999,
2003). Respon gibbon pada saat ada manusia yang mendekat adalah segera
menghindar, respon seperti ini bisa disertai oleh menggoyangkan cabang pohon
dan bersuara. Respon lain yang mungkin muncul adalah berdiam diri dan
bersembunyi. Respon bersuara biasanya terjadi apabila satwa mendeteksi
kehadiran manusia pada jarak yang sangat dekat (Nijman 2006).
Salah satu pola interaksi yang dilakukan owa jawa adalah bersuara
(Dallman & Geismann 2001). Terdapat dua jenis suara pada owa jawa, yaitu
usual dan unusual call. Usual call biasanya dikeluarkan oleh betina dewasa baik
secara solo maupun duet dengan jantan dewasa atau remaja. Aktivitas ini
dilakukan sebelum mengeksplorasi daerah jelajah dan teritori. Unusual call
dilakukan oleh betina dewasa, jantan dan anggota kelompok ketika bertemu
dengan kelompok lainnya di perbatasan teritori dan merespon adanya gangguan
(Rinaldi 1999). Pada pagi hari, owa akan bersuara berupa lengkingan nyaring
yang disebut morning call dengan durasi antara 10-30 menit. Owa jawa dan
siamang kerdil (H. klosii) tidak bersuara secara duet, melainkan suara solo
(Geismann dan Nijman 1999). Pada saat bersuara ini, betina owa jawa akan
lebih mendominasi (Dallmann and Geismann 2001). Suara owa jawa dapat
diidentifikasi hingga jarak 500-1.500 m (Kappeler 1981). Suara yang dapat
diidentifikasi menurut CII (2000):
1) suara betina untuk menandakan teritorinya;
2) suara jantan ketika bertemu kelompok lainnya;
3) suara antar individu ketika terjadi konflik; dan
4) suara anggota keluarga ketika melihat bahaya (alarm call, harassing call).

Populasi
Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu
satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya
(Alikodra 2002). Kappeler (1981) memperkirakan populasi owa jawa antara 2.400
dan 7.900 individu. Empat belas tahun kemudian, populasi owa jawa dinyatakan
menurun cukup tajam menjadi 2.700 individu (Asquith et al. 1995). Penurunan
populasi yang cukup tajam ini disebabkan oleh rusak atau hilangnya habitat
akibat meningkatnya populasi manusia yang disertai meningkatnya kebutuhan

19
manusia akan lahan untuk pengembangan sektor pertanian lainnya. Pada tahun
2000, Supriatna dan Wahyono menyatakan estimasi populasi owa jawa pada
kisaran 2.000 dan 4.000 individu, bahkan diperkirakan jumlah sebenarnya bisa
melebihi populasi tersebut. Peningkatan estimasi populasi tersebut dipertegas
dengan hasil penelitian Nijman (2004) yang melaporkan hasil survei yang
dilakukannya di Pulau Jawa dengan memprediksi populasi owa jawa berada
pada kisaran 4.000-4.500 individu. Tabel 2 menyajikan populasi owa jawa di
beberapa lokasi di P. Jawa.
Tabel 2. Populasi Owa Jawa pada beberapa lokasi di Pulau Jawa
No.

Lokasi

Estimasi Populasi
(individu)

Sumber

447

1

456-1.149

2

1.

TN. Gunung Gede Pangrango

2.

TN. Gunung Halimun

3.

Cagar Alam Gunung Salak

271

1

4.

Cagar ALam Gunung Simpang

476

1

5.

TN Ujung Kulon

560

3

6.

Gunung Papandayan

527

1

7.

Gunung Slamet

96

1

Keterangan:
1 = Djanubudiman et al. (2005); 2 = Rinaldi (2003); 3 = Asquith et al. (1995)

Aktivitas yang berakibat secara langsung terhadap menurunnya populasi
owa jawa antara lain: 1) hilangnya habitat; 2) perburuan dan penangkapan untuk
keperluan hewan peliharaan; dan 3) hilangnya koridor sebagai dampak dari
hilangnya habitat. Selain itu, faktor yang turut berperan semakin menurunnya
populasi owa jawa adalah tingkat reproduksinya yang relatif rendah (Geissmann
1991).
Kepadatan kelompok dan populasi owa jawa pada berbagai tipe habitat
dan ketinggian tempat menunjukkan jumlah kelompok dan populasi berbeda.
Tabel 3 menyajikan kepadatan kelompok dan kepadatan populasi owa jawa
berdasarkan ketinggian dari atas permukaan laut.

20
Tabel 3. Kepadatan Kelompok dan Populasi Owa Jawa Berdasarkan
Ketinggian di Atas Permukaan Laut (dpl.)
Lokasi

Ketinggian
(m dpl)

Kepadatan

Sumber

Kelompok
(kelompok/km2)

Populasi
(individu/km2)

0-100

2,9

8,3

1

600-1200

5,6

9,9

2

Telaga Warna

1.300-1.400

1,1-2,1

3,3-6,3

3

Gunung Dieng

300-1.300

0,9-1,1

3,0-3,6

4

Ujung Kulon
Gunung Halimun

Keterangan:
1. Gurmaya et al. 1995; 2. Sugarjito et al. 1997; 3. Nijman 2004; 4. Nijman dan
Van Balen 1998
Kepadatan populasi owa jawa di hutan hujan dataran rendah adalah 2
individu/km2 dan di hutan hujan dataran tinggi 7 individu/km2. Perbedaan
kepadatan ini disebabkan habitat owa jawa lebih banyak tersebar di dataran
tinggi sampai pada ketinggian 1.600 m dpl (Massicot 2001). Kepadatan populasi
owa jawa yang diidentifikasi di daerah Cibiuk dan Reuma Jengkol yang
merupakan bagian dari kawasan TN Ujung Kulon, yaitu 9,2 individu/km2. Rerata
kepadatan kelompok pada kedua daerah di TN Ujung Kulon tersebut adalah 2,8
kelompok/km2, dengan besar ukuran kelompok 3,3 individu. Kisaran jumlah
individu yang ditemukan pada setiap identifikasi adalah 1-5 individu (Iskandar
2001), sedangkan pada tahun 1984, Kappeler melaporkan hasil penelitiannya
yang memperkirakan kepadatan kelompok owa jawa di TN. Ujung Kulon sekitar
2,7 kelompok/km2.
Komposisi Kelompok
Owa jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Selain
kedua induk, terdapat 1-2 individu anak yang belum mandiri (Supriatna dan
Wahyono 2000), sehingga rerata setiap kelompok berjumlah 4 individu (Kuester
1999). Pada kelompok tertentu hanya terdiri dari pasangan induk jantan dan
betina (Nijman 2004). Kematangan seksual owa jawa baru dicapai pada umur
4-5 tahun, sedangkan periode kebuntingan berkisar antara 190-214 hari dengan
interval kelahiran 3-4 tahun (Geismann 1991). Dalam sistem monogami,
keberhasilan jantan dalam bereproduksi cenderung menurun, hal ini diperkirakan
karena ketersediaan niche dan penyebaran sumber pakan. Selain itu, energi

21
yang

diperoleh

dari

sumber

pakan

digunakan

untuk

berpatroli

dan

mempertahankan teritori (Chivers 2000). MacKinnon dan MacKinnon (1984)
menyatakan bahwa keuntungan kelompok dengan sistem hidup monogami dan
mempertahankan teritori adalah 1) mengurangi aktivitas reproduksi yang tidak
diperlukan dan meningkatkan perlindungan bagi anak-anaknya yang masih kecil;
2) mengurangi gangguan dan kompetisi dengan kelompok lain; 3) meningkatkan
efisiensi dalam menemukan sumber pakan; dan 4) mengurangi kompetisi dalam
perkawinan. Kekurangan kelompok populasi dengan sistem hidup monogami
adalah 1) tidak fleksibel dalam penggunaan ruang; 2) perbandingan jenis kelamin
tidak beragam sehingga menyebabkan berkurangnya keberhasilan reproduksi;
3) kecilnya ukuran kelompok mengurangi kemampuan berkompetisi dengan
spesies lain; 4) peningkatan spesiasi merupakan bagian dari evolusi. Owa jawa
yang kehilangan pasangannya, tidak akan mencari pengganti pasangan sampai
akhir hayatnya. Kondisi demikian, dapat mempercepat penurunan populasi
(Sudarmadji 2002).
Gibbon dengan sistem hidup monogami lebih memfokuskan sumber
pakannya pada pohon berbuah dengan diameter besar dan tinggi untuk
menghindari persaingan dengan kelompok yang terdiri dari banyak jantan dan
banyak betina (multi-male multi-female) seperti macaques dan orangutan. Lebih
dari 60% waktu makannya digunakan untuk mengkonsumsi buah-buahan
(Chivers 2000).
Umur betina siap kawin berkisar antara 6-7 tahun (CII 2000). Pasangan
owa jawa akan menghasilkan 5-6 anak selama masa reproduksinya yaitu antara
10-20 tahun. Anak yang dihasilkan setiap kelahiran berjumlah satu individu,
dengan lama menyusui sekitar tujuh bulan. Jarak antara satu kelahiran dengan
kelahiran berikutnya adalah 40 bulan (Kuester 2000). Jantan dan betina muda
menjelang dewasa atau mencapai dewasa kelamin akan meninggalkan
kelompoknya dan hidup mandiri dengan pasangannya sebagai kelompok
keluarga yang baru (Kirkwood & Stathatos 1992).
Di alam, satwa yang termasuk famili Hylobatidae dapat bertahan hidup
sampai usia 30-35 tahun (Mommens 1998; Arazpa 2004), sedangkan di
penangkaran, umumnya dapat hidup sampai umur 44 tahun. Hylobates moloch
diduga dapat mencapai kisaran umur yang sama (Kuester 2000).

22
Daerah Jelajah
Daerah jelajah (home range) adalah luas areal yang digunakan suatu
kelompok satwa dari suatu spesies dalam melakukan aktivitasnya pada kurun
waktu tertentu. Rowe (1996) mendefinisikan daerah jelajah sebagai estimasi
penggunaan lahan oleh suatu kelompok pada kurun waktu tertentu. Daerah
jelajah bisa sangat berbeda dari tahun ke tahun tergantung perubahan cuaca,
ketersediaan sumber pakan, persaingan dengan kelompok lain dalam satu
spesies yang sama, dan gangguan yang ditimbulkan oleh manusia, seperti
perburuan, penebangan pohon dan meluasnya kegiatan pertanian. Pernyataan
Rowe tentang perubahan luas daerah jelajah, sama dengan yang dikemukakan
Collinge (1993), bahwa luas daerah jelajah bisa berubah tergantung dari
ketersediaan sumber pakan, air dan tempat berlindung. Daerah jelajah terbentuk
berdasarkan jelajah harian suatu kelompok yang merupakan rata-rata jarak
tempuh suatu kelompok dalam melakukan aktivitas hariannya. Ditambahkan
pula, daerah jelajah harian bisa berubah setiap harinya tergantung pergerakan
kelompok dalam melakukan aktivitasnya. Jelajah harian (day range) adalah jarak
tempuh rata-rata suatu kelompok dalam satu hari, sedangkan core area adalah
areal di dalam daerah jelajah yang paling sering digunakan oleh satu kelompok
(Rowe 1996).
Owa

jawa

sangat

tergantung

kepada

daerah

jelajah

yang

telah

dikuasainya. Walaupun banyak mengalami gangguan, owa jawa akan tetap
bertahan pada wilayah yang telah dikuasai tersebut, sehingga perilaku ini
menyebabkan kelangsungan hidup spesies tersebut mudah terancam jika hutan
mengalami kerusakan (Geissmann 2002).
Daerah jelajah gibbon bervariasi satu sama lain, H. lar di Thailand, 16 ha,
H. moloch di Jawa, 17 ha, hoolock di Bangladesh, 45 ha, H. lar di Malaysia, 56
ha, sedangkan luas daerah jelajah siamang berkisar antara 30-40 ha. (Chivers
2000). Luas daerah jelajah owa jawa sekitar 17 ha, luasan ini lebih sempit dari
rata-rata luas daerah jelajah Genus Hylobates yaitu 34,2 ha (Nowak 1999).
Genus Hylobates adalah satwa primata yang sangat mempertahankan teritori.
Sekitar 75% spesies dalam genus ini mempertahankan teritori kelompoknya dari
kelompok lain (Nowak 1997). Cara untuk menandai teritori pada kelompok ini
adalah dengan mengeluarkan suara nyaring pada pagi hari (Leighton 1987)
dalam kisaran waktu antara 10-20 menit (Geissmann 2000).

23
Penangkaran
Penangkaran merupakan suatu upaya mengembangbiakkan satwa liar
yang dilakukan secara intensif di dalam kandang. Pengembangbiakkan satwa
primata

di

dalam

penangkaran

mempunyai

dua

tujuan

utama,

yaitu

menghasilkan satwa untuk kepentingan penelitian biomedis, serta melindungi
spesies satwa yang terancam punah (De Mello 1991).
Pada dasarnya, sisitem perkandangan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
sistem perkandangan tertutup (indoor enclosures) dan sistem perkandangan
terbuka (outdoor enclosures). Pada sistem perkandangan tertutup, satwa
ditempatkan di dalam suatu bangunan sehingga satwa tidak terganggu oleh
cuaca maupun lingkungan luar, sedangkan pada sistem perkandangan terbuka,
satwa ditempatkan pada kandang terbuka yang memungkinkan adanya
pengaruh dari perubahan cuaca di luar (Bismark 1984). Berdasarkan tipenya,
kandang dibagi menjadi tiga bagian (Bennet 1995), yaitu: 1) kandang individual
(jantan/betina) dan sering disebut kandang individual atau berpasangan; 2)
individual jantan/banyak betina, biasa disebut kandang harem; 3) banyak jantan
dan banyak betina, disebut juga kandang kelompok (troop). Berdasarkan
lokasinya, kandang dibagi ke dalam tiga lokasi: 1) dalam ruangan, biasanya
diperuntukkan bagi kandang individual atau berpasangan; 2) kandang di luar
ruangan, biasanya disebut kandnag koral atau kandang lapang; 3) kandang
dalam/luar, disebut runs, biasanya merupakan gabungan konsep kedua jenis
kandang tersebut.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada saat mendisain suatu
kandang antara lain adalah: 1) memberikan kenyamanan fisik pada satwa yang
sedang dikandangkan; 2) sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan
normal satwa; 3) pemeliharaan yang sesuai dan mampu menjaga kesehatan
satwa; 4) kandang harus memenuhi syarat penelitian dan perawatan satwa
(Bennet et al 1995). Pertimbangan tersebut salah satunya bertujuan mengurangi
tingkat stres yang biasa terjadi pada satwa di dalam penangkaran. Ukuran
kandang satwa primata berdasarkan bobot badan disajikan pada Tabel 4.

24
Tabel 4. Rekomendasi Ukurang Kandang Satwa Primata Berdasarkan Berat Badan
Satwa Primata

Berat (kg)

Luas/individu

Tinggi

ft2

m2

in

cm

Monyet
Kelompok 1

≤1

1.6

0.14

20

50.80

Kelompok 2

≤3

3.0

0.27

30

76.20

Kelompok 3

≤10

4.3

0.39

30

76.20

Kelompok 4

≤15

6.0

0.54

32

81.28

Kelompok 5

≤25

8.0

0.72

36

91.44

Kelompok 6

≤30

10.0

0.90

46

116.84

Kelompok 7

>30

15.0

1.35

46

116.84

Kera
Kelompok 1

≤20

10.0

0.90

55

139.70

Kelompok 2

≤35

15.0

1.35

60

152.40

Kelompok 3

>35

25.0

2.25

84

213.36

Sumber: Institute of Laboratory Animal Resources, Commission on Life Sciences,
National Research Council (1996)

Model Estimasi Populasi
Model adalah suatu contoh, acuan atau pola (Badudu dan Zain 1996),
Dalam studi ekologi, model merupakan formulasi yang memberikan gambaran
tentang keadaan sebenarnya (real world situation). Populasi berubah-ubah
sepanjang waktu, maka dengan adanya model dimungkinkan untuk mengadakan
ramalan-ramalan mengenai keadaan populasi yang bersangkutan untuk waktuwaktu tertentu. Suatu model dapat diaplikasikan pada sesuatu yang bersifat
sederajat atau bisa pula digunakan pada sesuatu yang bersifat beda dengan
kemungkinan

dilakukannya

koreksi

terhadap

model

yang

sudah

ada

(Tarumingkeng 1994). Dalam menentukan suatu model populasi dapat dilakukan
pendekatan satu atau lebih parameter yang berpengaruh terhadap keadaan
suatu populasi pada habitat tertentu. Dengan model, penjelasan mengenai
sistem serta hubungan-hubungannya dapat diberikan secara kualitatif maupun
kuantitatif (Tarumingkeng 1994).
Estimasi

populasi

adalah

suatu

upaya

dalam

menjelaskan

dan

meramalkan perkembangan suatu populasi. Dalam menentukan estimasi
populasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung yang berpengaruh terhadap
keadaan suatu populasi. Hasil yang diperoleh dari estimasi populasi merupakan

25
gambaran tentang keadaan suatu populasi pada waktu dan tempat tertentu
berdasarkan faktor yang mempengaruhinya (Tarumingkeng 1994).

Simulasi Populasi
Simulasi adalah pekerjaan tiruan atau meniru (Echols dan Shadily 1976).
Simulasi populasi adalah suatu upaya untuk mengetahui status suatu populasi
pada masa yang akan datang berdasarkan pendekatan keadaan populasi saat
ini, data biologi, potensi ancaman terhadap populasi tersebut dan berbagai aspek
yang mempengaruhi suatu populasi.
Simulasi populasi owa jawa bertujuan untuk mengetahui prediksi populasi
spesies tersebut pada kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan faktorfaktor ancaman terhapat populasi owa jawa pada saat itu.

Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi sosial adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan
masyarakat (Badudu dan Zain 1996). Kondisi sosial ekonomi bisa diartikan
sebagai keadaan ekonomi suatu masyarakat yang berhubungan sangat erat
dengan mata pencaharian masyarakat tersebut dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Jenis mata pencaharian dan kemampuan setiap individu dalam
menjalani mata pencaharian tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan
keadaan sosial ekonomi lingkungannya.
Sosial ekonomi masyarakat hutan yang berada di lingkungan hutan,
memanfaatkan hutan untuk kebutuhan hidup secara langsung atu melalui
pemanfaatan lahan hutan sebagai kawasan agroforestry. Pemanfaatan hutan
yang tidak terkendali dapat mempengaruhi populasi satwa terutama melalui
perburuan.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan
September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak,
meliputi tiga lokasi di wilyah Resor Leuwi Waluh, Kabupaten Sukabumi: Citarik
(06047.956’ Lintang Selatan dan 106033.002’ Bujur Timur) pada kisaran
ketinggian 1.109-1.274 m di atas permukaan laut (dpl), Cibeureum (06047.567’
LS dan 106034.433’ BT) pada kisaran ketinggian 939-1.297 m dpl. dan Cisalimar
(06045.361’ LS dan 106033.622’ BT) pada kisaran ketinggian 927-1.105 m dpl.
serta satu lokasi di Resor Cikaniki, Kabupaten Bogor (06044.798’ LS dan
106032.274’ BT) pada kisaran ketinggian 986-1.185 m dpl. Gambar 7 menyajikan
lokasi dan jalur penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak.

Gambar 7. Lokasi dan Jalur Penelitian di TN. Gunung Halimun-Salak
Penelitian tingkah laku owa jawa dilakukan di fasilitas penangkaran Pusat
Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat
Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM IPB) pada bulan April sampai Juli 2006.
Sebagai pembanding, digunakan data sekunder owa jawa yang berasal dari
Pusat Primata Schmutzer, Jakarta dan Kebun Binatang Taman Sari, Bandung.

31
Bahan dan Alat
Bahan
Satwa yang dijadikan target penelitian adalah owa jawa (Hylobates
moloch) yang terdiri dari lima kelompok di Citarik dan Cikaniki, empat kelompok
di Cibeureum dan tiga kelompok di Cisalimar dengan rerata setiap kelompok tiga
ekor. Selain itu, diamati pula satu kelompok owa jawa di fasilitas penangkaran
PSSP LPPM IPB yang terdiri dari sepasang induk dan satu bayi jantan untuk
meneliti tingkah laku serta sepasang induk dan dua individu anak pada saat
membandingkan kemampuan reproduksi.
Bahan yang digunakan untuk kepentingan analisis vegetasi adalah
alkohol 70% yang digunakan sebagai bahan pengawet daun tumbuhan terutama
yang tidak dikenali nama lokalnya. Contoh daun tumbuhan dalam setiap tipe
hutan dan ketinggian dianalisis di Herbarium Bogoriense, Bogor.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras dan
lunak sebagai berikut, 1) peta lokasi disertai dengan foto land sat; 2) Global
Positioning System (GPS) untuk mencatat koordinat pada saat owa jawa
diidentifikasi dan melakukan analisis vegetasi; 3) ArcView GIS 3,2 untuk
menganalisis data koordinat hasil pencatatan dengan GPS; 4) program Minitab
14, perangkat lunak yang digunakan untuk mendapatkan persamaan garis
regresi linier; 5) progam Vortex 9.6, untuk menduga populasi pada kurun waktu
tertentu di masa yang akan datang; 6) teropong binokuler; 7) kompas; 8) kamera;
9) plant press untuk membuat sampel vegetasi yang tidak diketahui nama lokal
atau tidak diketahui jenisnya; dan 10) alat tulis.

Metode Pengumpulan Data
Penentuan Lokasi
Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan survei pendahuluan dan
informasi sebaran owa jawa dan tipe habitat yang disukai spesies tersebut dari
penelitian sebelumnya, serta informasi dari petugas taman nasional dan
masyarakat sekitar. Kriteria lain dalam penentuan lokasi penelitian adalah
berdasarkan perbedaan tipe hutan, yaitu 1) hutan primer, 2) hutan sekunder,
3) hutan yang berdekatan dengan pemukiman/perkebunan, dan 4) lokasi

32
penelitian yang digunakan sebagai lokasi ekowisata. Luas masing-masing
wilayah yang dijadikan areal penelitian adalah 35 ha, dengan kisaran ketinggian
lokasi penelitian berkisar antara 927-1297m di atas permukaan laut (dpl).

Analisis Vegetasi
Pengumpulan data vegetasi dilakukan menggunakan metode garis
berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998) di hutan primer Citarik dan Cikaniki,
serta hutan Cibeureum dan Cisalimar. Pada setiap lokasi penelitian dibuat tiga
plot sampel vegetasi sehingga total plot sampel berjumlah 12 plot dengan
kriteria 1) lokasi identifikasi owa jawa, dan 2) perbedaan topografi dan habitat
yang mewakili lokasi penelitian. Pencatatan jenis vegetasi dilakukan pada setiap
ukuran plot yang dibuat pada berbagai tingkatan: semai, pancang, tiang dan
pohon. Disain Metode Garis Berpetak disajikan pada Gambar 8.
5
2

10
Arah jalur

20

Gambar 8. Desain Metode Garis Berpetak
keterangan:
plot 2 m x 2 m untuk tingkat semai (permudaan dengan tinggi mencapai 1,5 m);
plot 5 m x 5 m untuk tingkat pancang (permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5
m dan berdiameter kurang dari 10 cm);
plot 10 m x 10 m untuk tingkat tiang (pohon berdiameter antara 10-19 cm);
plot 20 m x 20 m untuk tingkat pohon (diameter batang pohon minimal 20 cm).
Identifikasi pohon pakan dan pohon tidur dila