Analisis ekonomi rumahtangga petani cendana

98 Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; c nyata pada  = 15 persen; b nyata pada  = 10 persen; d nyata pada  = 20 persen Berdasarkan Tabel 34, peubah yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan total rumahtangga adalah produksi usaha cendana, jumlah anggota keluarga produktif dan konsumsi total. Peubah produksi usaha cendana dan konsumsi total memiliki tanda parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, sedangkan peubah jumlah anggota keluarga produktif memiliki parameter negatif tidak sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Peningkatan produksi usaha cendana akan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Hal ini berdampak pada terpenuhinya pengeluaran untuk konsumsi total dalam rumahtangga atau semakin meningkatnya pendapatan total rumahtangga responden maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi total rumahtangga. Pernyataan ini logis, karena semakin besar pendapatan rumahtangga maka responden semakin memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jumlah anggota keluarga produktif memberikan nilai negatif terhadap pendapatan total dan berpengaruh nyata. Artinya bahwa ketersediaan anggota produktif dalam rumahtangga memberikan kontribusi yang masih rendah terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga. Hal ini dapat dijelaskan bahwa anggota produktif dalam rumahtangga di lokasi penelitian masih terhitung jumlah anak yang masih sekolah, SMA atau baru menyelesaikan jenjang SMA atau setara. Perhitungan nilai elastisitas menunjukkan bahwa total pendapatan rumahtangga sangat respon terhadap pengaruh peubah konsumsi total yang ditunjukkan dengan nilai elastisitas sebesar 1.12. Hal ini memberikan gambaran bahwa pendapatan rumahtangga petani cendana yang diperoleh baik dari usaha cendana dan luar usaha cendana lebih diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam keluarga baik konsumsi pangan dan non pangan. Sedangkan total pendapatan rumahtangga tidak respon terhadap keempat variabel lainnya yaitu produksi usaha cendana, jumlah anggota 99 keluarga produktif, konsumsi total, investasi sumberdaya manusia, dan total alokasi tenaga kerja keluarga. 4. Konsumsi Total Hasil pendugaan persamaan konsumsi total KT menunjukkan hasil bahwa sebagian tanda dugaan parameter tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan menurut kriteria ekonomi dan berpengaruh nyata. Nilai Koefisien determinasi R 2 menunjukkan nilai 0.66 berarti bahwa keragaman total pengeluaran rumahtangga sebesar 66 dapat dijelaskan oleh peubah penjelas yaitu total pendapatan rumahtangga TR, jumlah anggota keluarga JAK, pendidikan istri PDDKI, dan investasi sumberdaya manusia INV, sebagaimana disajikan pada tabel berikut. Tabel 35 Hasil pendugaaan parameter persamaan konsumsi total Peubah Parameter Dugaan t- hitung Taraf- nyata Elastisitas Intersept TR Total pendapatan rumahtangga JAK Jumlah angg keluarga PDDI Pendidikan istri INV Investasi SDM 1199794 0.038041 597660.6 -118516 2.833453 1.51 1.94 4.25 -2.05 2.47 0.1455 0.0644 b 0.0003 a 0.0521 b 0.0213 a 0.134915 0.618966 -0.1415 0.11486 R 2 = 0.66 F hitung = 11.12 Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; c nyata pada  = 15 persen; b nyata pada  = 10 persen; d nyata pada  = 20 persen Hasil pendugaan konsumsi total menunjukkan bahwa semua peubah dalam persamaan berpengaruh nyata terhadap konsumsi total yaitu total pendapatan rumahtangga TR, jumlah anggota keluarga JAK, pendidikan istri PDDI, dan investasi sumberdaya manusia INV. Pendapatan total rumahtangga memiliki tanda parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Ini berarti semakin meningkat pendapatan total rumahtangga responden maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi total rumahtangga. Hal ini logis, karena semakin besar pendapatan rumahtangga maka responden semakin memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang konsumsi semakin meningkat Purwita 2009. Hal ini juga mencerminkan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. 100 Jumlah anggota keluarga nyata mempengaruhi konsumsi total pada taraf 5 persen. Hal ini sesuai penelitian Suprapto 2001 dan Purwita 2009, bahwa jumlah anggota keluarga mempengaruhi konsumsi rumahtangga. Jumlah anggota keluarga responden dalam penelitian ini rata-rata 4 orang. Besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi rumahtangga, yang berarti apabila jumlah anggota keluarga bertambah, maka pengeluaran konsumsi rumahtangga juga meningkat. Peubah pendidikan istri bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Artinya bahwa semakin tinggi pendidikan istri, mempunyai kecenderungan mengurangi konsumsi. Semakin tinggi pendidikan istri, maka istri mempunyai kemampuan mengalokasikan pendapatan rumahtangga untuk peningkatan sumberdaya anggota keluarga yaitu pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Peubah pengeluaran investasi sumberdaya manusia memiliki koefisien positif dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Ini berarti pengeluaran investasi sumberdaya manusia akan meningkatkan konsumsi rumahtangga. Namun pada lokasi penelitian, pengeluaran untuk investasi sumberdaya manusia masih sangat rendah sehingga belum mengurangi pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan konsumsi total. Masyarakat mendapatkan bantuan pendidikan melalui pelayanan dana bantuan operasional sekolah BOS dan bantuan kesehatan melalui pelayanan asuransi kesehatanan bagi masyarakat miskin ASKESKIN dari pemerintah setempat. Hasil analisis elastisitas menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga terhadap konsumsi total bersifat inelastis terhadap keempat peubah dalam persamaan yaitu total pendapatan rumahtangga, jumlah anggota keluarga, pendidikan istri, dan investasi sumberdaya manusia. Perilaku ekonomi rumahtangga petani terkait produksi cendana membutuhkan alokasi tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja yang disewa, dan biaya sarana produksi. Biaya sarana produksi sangat respon terhadap produksi cendana. Alokasi tenaga keluarga di luar usaha cendana sangat ditentukan jumlah anggota produktif yang tersedia dalam rumahtangga. Pendapatan rumahtangga 101 dipengaruhi oleh produksi cendana, jumlah anggota produktif dan konsumsi total. Konsumsi total sangat respon terhadap pendapatan rumahtangga. Berdasarkan keragaan ekonomi rumahtangga petani cendana, dapat disimpulkan bahwa pendapatan cendana yang diproleh dari produksi cendana memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan rumahtangga dan permasalahan petani cendana yang diperoleh dari hasil analisis yaitu aspek sosial terkait tenaga kerja keluarga dan di luar keluarga dari segi kuantitas dan kualitas, dan aspek ekonomi terkait kebutuhan sarana produksi cendana dan kebutuhan konsumsi rumahtangga. Proses Pembuatan Kebijakan 1. Analisis Isi Kebijakan a. Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986 tentang Cendana Penguasaan pemerintah provinsi NTT terhadap cendana sudah berlangsung selama 30 tahun sejak tahun 1966-1999. Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 tentang cendana merupakan perda yang keempat sejak terbentuknya Provinsi NTT pada tahun 1958. Perda provinsi No. 16 Tahun 1986 terdiri dari 13 bab dan 17 pasal. Pasal dalam Perda tersebut yang mengandung substansi penting yaitu penguasaan pemerintah provinsi terhadap cendana berdasarkan kepemilikannya Pasal 4, di mana kayu cendana dibedakan: a Kayu cendana yang tumbuh di atas tanah negara dan tanah pemerintah daerah adalah milik pemerintah daerah, b Kayu cendana yang diusahakan, ditanam dan dipelihara oleh perorangan atau badan hukum di atas tanah perorangan atau badan hukum tersebut adalah milik perorangan atau badan hukum, dan c Kayu cendana yang tumbuh secara alami di atas tanah perorangan atau badan hukum yang sedang diusahakan maka kayu cendana adalah milik pemerintah daerah. Pembagian hasil cendana di lahan milik sesuai pasal 4 butir c ditetapkan 85 untuk pemerintah dan 15 untuk masyarakat Pasal 11. Penguasaan pemerintah daerah Provinsi NTT terhadap cendana yang tumbuh secara alami di lahan milik tidak terlepas dari hak menguasai negara atas semua hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya sesuai pasal 5 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. Hak menguasai negara tertuang 102 dalam wewenang untuk: 1 menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara, 2 mengatur pengurusan hutan dalam arti luas, dan 3 menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. UU No. 5 Tahun 1967 menyatakan pembagian hutan berdasarkan peruntukannya di bagi menjadi hutan tetap, hutan cadangan dan hutan lainnya Pasal 4. Yang dimaksud hutan lainnya adalah hutan yang ada di luar kawasan hutan dan di luar hutan cadangan, misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik atau tanah yang dibebani hak-hak lainnya. Status hukum pengurusan hutan pada hutan lainnya menurut Salim 2004 mempunyai makna bahwa tanahnya merupakan hak dari pemegang hak atas tanah tetapi status tegakan hutan yang tumbuh di atas tanah tersebut ditentukan sebagai berikut: a Pengurusan tegakan hutan yang tumbuh di atas tanah tersebut yang sebelumnya merupakan hutan alam berada di bawah pengurusan pemerintah c.q. Menteri Kehutanan, b Tegakan hutan yang tumbuh di atas tanah HGU, HGB, hak pakai, dan lain-lain yang ditanam oleh pemegang hak yang bersangkutan, maka menjadi pemilik tegakan kayu tersebut adalah pemegang hak yang bersangkutan. Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa isi Perda provinsi NTT 16 tahun 1986 mengandung makna yaitu berdasarkan status hukum pengelolaan cendana yang berada di lahan masyarakat dimasukkan dalam status hukum hutan lainnya. Selain itu, informasi yang memperkuat penguasaan cendana oleh pemerintah yaitu cendana yang ada di Propinsi NTT selama ini tumbuh secara alami dan sejak masa kerajaan menjadi milik raja-raja yang berkuasa. Masyarakat di NTT belum pernah menanam cendana atau mengenal konsep menanam cendana Pello 2000. Pembagian hasil 15 untuk masyarakat merupakan nilai jasa pemeliharaan premi yang diberikan pemerintah atas cendana yang tumbuh di lahan masyarakat, berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku sebelumnya seperti terlihat pada Tabel 36. Dalam pelaksanaan Perda No. 16 Tahun 1986, pemilik lahan baik perseorangan atau badan hukum harus menunjukkan bukti kepemilikan lahan 103 untuk mendapatkan bagian 15 dengan menunjukkan sertifikat tanahsertifikat hak guna tanahgambar situasi GShak ulayat yang disyahkan Pengadilan Negeri atau fotocopy bukti pelunasan pembayaran pajak bumi dan bangunan PBB terakhir yang dilegalisir oleh Kepala DesaLurah sesuai Keputusan Gubernur NTT No. 7 tahun 1993. Tabel 36 Bagi hasil cendana berdasarkan Perda Provinsi NTT Pembagian Hasil Perda Timor No. 40 1953 Perda No. 11 Tahun 1966 Perda No. 7 1980 Perda No. 16 1986 Kawasan hutan Tanah milik Di luar tanah milik Masyarakat Tokoh masyarakat adat PahtuafTobe Kepala Pemerintahan Desa Temukung Wakil raja Fetor Kepala Swapraja Kas Pemda Kabupaten Kas Pemda Provinsi 40 senkg + Upah 20 senkg 15 senkg 2 senkg 5 senkg - - Upah 3 2 1 - 74 20 50 2 1 1 - 36 10 Upah 3 2 1 - 74 20 Upah - - - - 50 50 15 - - - - 42.50 42.50 Jumlah 100 100 100 100 100 Penguasaan hak pemerintah terhadap cendana dapat dijelaskan melalui teori bundle of right Schlanger Ostrom 1992. Penguasaan negara dalam pemanfaatan sumberdaya milik negara seperti hutan, dalam pelaksanaannya hak kepemilikan dibedakan dalam empat bentuk yaitu memasuki dan memanfaatkan access dan withdrawal, menentukan bentuk pengelolaan management, menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain exclusion dan dapat memperjualbelikan hak alienation. Sedangkan hak yang seharusnya dimiliki masyarakat mempunyai empat kelompok dari yang tertinggi sampai terendah yaitu pemilik, kepunyaan, penyewapemakai, dan pengguna yang disajikan pada Tabel 37. Pemerintah provinsi dalam hal ini berperan sebagai “pemilik” semua sumberdaya alam termasuk cendana yaitu hak pemanfaatan, pengelolaan, pembatasan dan pelepasan, sedangkan masyarakat tidak diberi hak apapun. 104 Tabel 37 Hak-hak terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat Jenis Hak Pemilik Owner Kepunyaan Proprietor Penyewa Pemakai Claimant Pengguna Autorize d User Memasuki dan memanfaatkan Accesss dan Withdrawal X X X X Menentukan bentuk pengelolaan Management X X X Menentukan keikutsertaan mengeluarkan pihak lain Exclusion X X Dapat memperjual-belikan hak Alination X Sumber: Schlanger Ostrom 1992 Penguasaan pemerintah terhadap cendana menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya cendana yang dimiliki dan didasari narasi kebijakan yang terkait nilai-nilai terhadap cendana pada masa lampau yang sulit dirubah sehingga menghambat terjadinya pembaharuan kebijakan. Nilai-nilai masa lampau dari aspek sejarah menunjukkan penguasaan cendana oleh raja-raja Timor pada masa sebelum kolonial. Tingkat kepatuhan masyarakat kepada raja sebagai penguasa dan pemilik cendana kemudian diadopsi pada pasca kemerdekaan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada setiap periode. Sistem pemerintahan yang dominan berakibat pada keputusan pemerintah bersifat terpusat berdasarkan informasi yang dimiliki tanpa memperhatikan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Ketidakmampuan tersebut akibat lemahnya para pengambil keputusan memahami kondisi sosial yang kompleks complex societies. Kondisi tersebut dicirikan dengan keputusan yang terpusat, aliran informasi yang tinggi, koordinasi yang tinggi, intruksi kewenangan formal, dan pemusatan sumber daya Diamond 2005 dalam Kartodiharjo 2008. Perda provinsi No. 16 Tahun 1986 selama masa berlakunya pernah mengalami perubahan pertama melalui Perda provinsi No. 2 Tahun 1996 pada tanggal 28 Pebruari 1996. Hal penting dari perda tersebut adalah perubahan pasal pembagian bagi hasil cendana yaitu 60 untuk pemerintah dan 40 untuk masyarakat. pemerintah. Perubahan perda tersebut didasari semakin menurunnya populasi cendana di alam dan Perda No. 16 Tahun 1986 belum mampu mendorong partisipasi masyarakat untuk menanam dan memelihara cendana 105 akibat pembagian hasil yang tidak berpihak kepada masyarakat. Pembagian hasil dalam Perda No. 2 tahun 1996 diharapkan dapat mengembalikan minat masyarakat untuk menanam dan memelihara cendana. Belum sempat berlakunya Perda 2 Tahun 1996, pada tanggal 20 Mei 1996 pemerintah daerah provinsi mengeluarkan sebuah kebijakan untuk melakukan penggumpulan kayu illegal yang berada di masyarakat yang terkenal dengan “Operasi Bersahabat”. Hasil wawancara dengan beberapa informan menyatakan kebijakan pemerintah tersebut dipengaruhi oleh pihak luar yaitu pengusaha cendana saat itu. Proses pelaksanaaannya terjadi penyimpangan yaitu penebangan cendana secara besar-besaran di lapangan bukan hanya mengumpulkan kayu illegal. Ini terbukti dengan produksi cendana tahun 1996 yang mencapai 2 458 ton atau 6 kali dari produksi sebelumnya. Genap satu tahun pasca pelaksanaan operasi sahabat, pemerintah provinsi mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 12 Tahun 1997 tentang Larangan Penebangan Pohon Cendana pada tanggal 18 September 1997. Larangan penebangan cendana selama 5 tahun terhitung 1 Oktober 1997 sampai 1 Oktober 2002 didasari berkurangnya populasi cendana dan mengamankan cendana sebagai asset pemerintah daerah. Penguasaan cendana oleh pemerintah provinsi melalui berbagai peraturan tanpa mempertimbangkan kelestarian dan sosial budaya masyarakat menyebabkan populasi cendana terancam punah di alam. Hal memberikan gambaran kegagalan pemerintah provinsi dalam pengelolaan cendana. b. Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986 Tahun 1998, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah. Pasal 5 peraturan tersebut menyebutkan penyerahan urusan kehutanan kepada daerah tingkat II, salah satunya kegiatan pengelolaan hasil hutan non kayu yang mencakup kegiatan pengusahaan, pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. PP No. 62 Tahun 1998 menjadi dasar pertimbangan pemerintah provinsi mengeluarkan Perda No. 2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986. 106 Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 terdiri dari 2 Pasal yaitu Pasal pencabutan Perda provinsi NTT 16 tahun 1986 dan Pasal pemberlakuan Perda No. 2 tahun 1999. Bagian penjelasan Perda No. 2 tahun 1999 dinyatakan bahwa dalam rangka pengembangan otonomi daerah dan pemberlakuan UU No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dilakukan penataan kembali segala jenis produk hukum yaitu Perda Tingkat I dan II. Dengan pemberlakuan PP No. 16 tahun 1998 tersebut, cendana termasuk hasil hutan non kayu digolongkan dalam Retribusi Perizinan tertentu yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II. Berdasarkan penjelasan tersebut, pengelolaan cendana diserahkan kepada daerah tingkat II di Provinsi NTT. Namun apabila daerah tingkat II belum menetapkan Perda tentang cendana maka pemerintah Gubernur akan menetapkan Petunjuk Pelaksanaannya. Hingga penelitian berlangsung petunjuk pelaksanaan tersebut tersebut belum diterbitkan karena kurangnya pengawasan dan pengontrolan pemerintah provinsi terhadap kabupaten pasca pelaksanaan otonomi daerah. c. Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana terdiri dari 9 bab dan 17 Pasal. Pasal yang penting dalam penelitian kebijakan yaitu Pasal 2 tentang status kepemilikan cendana yaitu: a cendana yang tumbuh secara alami atau dibudidayakan di atas tanah milik perorangankelompok adat dan badan hukum lainnya menjadi milikdikuasai perorangan kelolmpok adat serta badan hukum tersebut, b cendana yang tumbuh secara alami atau dibudidayakan di atas tanah negara atau pemerintah daerah menjadi milik pemerintah daerah. Pasal tersebut merupakan pengakuan kepemilikan cendana kepada masyarakat untuk cendana yang berada di lahan milik karena selama ini cendana dikuasai oleh pemerintah melalui Perda provinsi. Pasal ini diperkuat dengan kebebasan masyarakat menjual cendana yang dimiliki Pasal 7. Namun pengakuan ini dibatasi dengan proses perijinan pemungutan cendana dan kewajiban masyarakat membayar pungutan Iuran Hasil Cendana IHC sebesar 10 kepada pemerintah dari harga jual cendana minimal Pasal 9. Kewajiban masyarakat membayar 10, berarti masyarakat mendapatkan pengakuan 90 dari cendana yang dimiliki. Kebijakan tersebut walaupun sudah 107 bersifat insentif kepada masyarakat, namun tingkat penerimaan masyarakat terhadap Perda masih rendah. Hal ini disebabkan karena keterlibatan masyarakat dan tokoh masyarakatadat dalam proses perumusan Perda sangat kecil, dan tahap sosialisasi yang dilakukan belum sampai ketingkat desakelurahan sehingga masyarakat tidak mengetahui keberadaan perda cendana. Selain itu, kewajiban membudidaya dan melestarikan cendana yang dibebankan kepada masyarakat Pasal 3 dan 4, mengalami kendala karena tidak sesuai dengan keadaan ekonomi dan sosial yang terdapat di masyarakat. Hasil analisis secara kuantitatif menunjukkan bahwa secara umum masyarakat di lokasi penelitian memiliki sumberdaya yang rendah yaitu tingkat pendidikan SD atau SMP, kurangnya pengetahuan bagaimana mendapatkan benihbibit cendana yang berkualitas, teknik penananaman, pemeliharaan, dan penanganan hama penyakit cendana, serta kebutuhan sarana produksi. Selain itu, masyarakat di lokasi penelitian masih dihadapkan pada persoalan bagaimana berusaha untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga terutama untuk kebutuhan konsumsi. Apabila dikaitkan dengan isi Perda pada Pasal 3 dan 4 yang disebutkan di atas, memberikan gambaran terdapat gap atau kesenjangan antara isi Perda Kabupaten TTS dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Artinya isi perda Kabupaten TTS tentang cendana belum mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan dan pelestarian cendana. Permasalahan di atas diperparah dengan kewajiban pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pengembangan cendana yang tertuang dalam Pasal 12, dalam tahap implementasi tidak dilaksanakan sampai sekarang. Besarnya iuran hasil cendana sebesar 10, dirinci lagi yaitu 30 untuk desakelurahan penghasil, 5 untuk instansi pemungut, 3 untuk pembinaan dan pengawasan kepada instansi teknis operasional dan sisanya untuk kas pemerintah daerah. Namun sampai dengan kegiatan penelitian, realisasi pungutan 10 sangat sulit dilakukan dan proporsi untuk desakelurahan, instansi pemungut dan pembinaan dan pengawasan tidak dapat dilaksanakan. Hasil wawancara dengan petugas pemungut iuran hasil cendana mengatakan bahwa sulitnya memantau transaksi jual beli cendana yang terjadi di masyarakat karena pedagang 108 pengumpul biasanya langsung ke desa atau masyarakat membawa sendiri kayu cendana ke pengrajin di Kota Kupang. Berdasarkan hasil analisis isi kebijakan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana dapat disimpulkan bahwa pengakuan kepemilikan cendana kepada masyarakat sudah bernilai insentif dan merupakan perubahan mendasar dalam perubahan kebijakan cendana selama ini di Kabupaten TTS khususnya dan Propinsi NTT secara umum. Namun, keberadaan Perda belum menjawab permasalahan umum pada masyarakat sehingga Perda cendana sulit diterima dan dilaksanakan masyarakat. Proses sosialisasi yang belum menjangkau seluruh masyarakat dan tahapan implementasi tidak dilakukan menyebabkan tingkat penerimaan Perda di masyarakat sangat rendah. Hal ini menunjukkan lemahnya keseriusan pemerintah atau kemauan politik dalam pengembangan cendana. Dengan demikian apa yang menjadi dasar pertimbangan dan tujuan yang ingin dicapai dari Perda cendana tidak akan berhasil.

2. Analisis Proses Pembuatan Kebijakan

Analisis pembuatan Perda provinsi No. 16 Tahun 1986, Perda No. 2 Tahun 1996 dan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana yang berlaku hingga sekarang akan dianalisis menggunakan evaluasi pendekatan proses pembuatan kebijakan yang dilakukan IDS 2006, yang mengkaji peran diskursusnarasi, aktor atau jaringan serta politik dan kepentingan dalam penyusunan suatu kebijakan. a. Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986 tentang Cendana a.1. Dasar Pertimbangan Dasar pertimbangan pembuatan Perda No. 16 Tahun 1986 adalah Perda tentang cendana yang berlaku sebelumnya mulai Perda No. 11 Tahun 1966 yang mengalami perubahan tiga kali sudah tidak sesuai dengan kebijakan peningkatan produksi dan kelestariannya sehingga perlu diubah dan diganti dengan peraturan yang baru. Perubahan dalam pengelolaan cendana tersebut diharapkan dapat lebih menjamin kelestarian cendana di samping meningkatkan pendapatan penduduk dan pemerintah daerah. Dasar hukum yang menjadi acuan dalam pembuatan Perda yaitu UU No. 5 Tahun 1974 109 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan PP No. 21 Tahun 1970 tentang HPHHPHH, Jo PP No. 18 Tahun 1975 tentang perubahan Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970. Penguasaan cendana oleh pemerintah provinsi didasari narasi kebijakan yang terkait nilai-nilai yang melekat pada cendana sejak masa lampau. Diskursus kebijakan yang berkembang yaitu nilai ekonomis cendana sebagai asset dan sumber penghasilan untuk rakyat, daerah dan negara sehingga pengelolaannya diatur pemerintah daerah. Nilai ekonomi cendana yang tinggi mendorong pemerintah untuk tetap menguasai cendana sebagai sumber pendapatan daerah PAD. Masa orde baru, pemerintah lebih menekankan kepada pembagunan ekonomi Wrangham 2003. Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang terpusat top down pada masa itu yang menggambarkan pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya yang diperpanjang sampai ke tingkat daerah. Proses penyusunan Perda mengikuti peraturan perundangan yang berlaku yaitu UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dinas kehutanan provinsi selaku instansi teknis menyusun ranperda cendana kemudian diajukan kepada pemerintah provinsi untuk dilakukan pembahasan dengan Biro Hukum terkait penulisan dan kaidah-kaidah norma hukum. Hasil pembahasan yang disetujui Gubernur dilanjutkan pembahasan bersama DPRD provinsi. Sesuai peraturan yang berlaku, maka ranperda provinsi yang sudah dibahas di tingkat provinsi akan ditetapkan dan disyahkan di tingkat pusat melalui menteri dalam negeri. Peran lembaga legislatif pada proses penyusunan perda cendana sangat kecil dibandingkan peran pemerintah yang berhubungan dengan situasi politik dan ekonomi yang terjadi. Pada masa orde baru tidak ada pusat legislatif pada jantung pemerintahan. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden dan menteri-menteri dengan mengorbankan DPR dan badan peradilankehakiman Wrangham 2003. Tingginya permintaan cendana dari luar daerah dan keberadaan industri penyulingan minyak kerajinan cendana, 110 memperkuat peran pemerintah sebagai pemilik cendana termasuk pembagian jatah bahan baku tiap industri pertahun. Peran ilmu pengetahuan dan informasi terkait cendana masih sedikit dan sulit diperoleh. Perda apapun yang berkaitan dengan sumberdaya alam harus dibuat berdasarkan hasil temuan ilmiah Patlis 2004. Pengetahuan atau kearifan lokal cendana “banu haumeni” dan peran lembaga adat yg selama memiliki aturan dalam mengatur cendana tidak dijadikan acuan dalam proses penyusunan. Upaya konservasi sumberdaya alam akan berhasil apabila aspek- aspek ekonomi dan sosial yang ada di seputar sumberdaya tersebut dan masyarakat yang memanfaatkannya juga diperhitungkan Borrini-Feyerabend 1997 dalam Patlis 2004. negeri dan departemen kehutanan. Pasal pembagian hasil cendana termasuk dalam pasal perubahan penambahan pada tahapan pengesahan Perda yang dilakukan di Jakarta. Pembagian hasil penjualan cendana dalam Perda sebelum ditetapkan yaitu 50 untuk pemerintah provinsi dan 50 untuk kabupaten penghasil. Dalalm pasal ini menunjukkan bahwa penguasaan penuh pemerintah provinsi terhadap cendana dengan mengabaikan hak masyarakat terhadap cendana.. Persentase bagi hasil untuk masyarakat dalam Perda sebesar 15 dimaksudkan sebagai upah balas jasa pemerintah terhadap upaya pemeliharaan cendana yang berada di lahan masyarakat. Bagi hasil tersebut didasari sistem bagi hasil cendana untuk masyarakat yang terdapat dalam Perda Timor No. 4 Tahun 1953 40 senkg untuk masyarakat dan Perda Provinsi NTT No. 11 tahun 1966 50 untuk masyarakat. Pembagian hasil dalam Perda Timor yang merupakan peraturan yang pertama kali mengatur cendana pasca kemerdekaan merupakan penghargaan pemerintah Timor atas jasa pemeliharaan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap cendana. Hal ini dilakukan karena sejak masa kerajaan, Portugis, dan Belanda VOC, masyarakat tidak pernah mendapat bagian apapun dari cendana yang berada di lahannya. Dalam penjelasan Perda Timor dinyatakan bahwa 111 pembagian tersebut dirasakan jauh dari keadilan berdasarkan situasi pasa masa itu dan diharapkan akan berubah lebih tinggi ke depannya. Proses pembuatan Perda cendana menunjukkan pelaku pembuat kebijakan tidak menjadikan hasil-hasil studi dan kajian masalah kebijakan sebagai landasan pengambilan keputusan. Yang terjadi adalah pengetahuan pembuat kebijakan yang dipakai untuk kepentingan ekonomi dan politik pada masa itu. Keputusan yang sifatnya teknis biasanya dilakukan dengan sangat terbuka melibatkan banyak pihak. Sebaliknya semakin bersifat politis keputusan semakin tertutup prosesnya dan hanya melibatkan pihak-pihak tertentu. Menurut Kartodihardjo 2006, hal tersebut di atas menunjukkan pada tiga hal yaitu: 1 Kebijakan yang lahir seringkali tanpa subyek atau sumber masalah kebijakan tidak datang dari pihak yang menghadapi masalah subyek tetapi dari opini elit tertentu, 2 Kenyataan ini dapat sebagai alasan mengapa lembaga-lembaga penelitian formal seringkali tertinggal untuk berperan memproduksi pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan, 3 Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh keyakinan masa lalu yang sudah usang atau kurangnya keyakinan atas apa yang sebenarnya terjadi di lapangan sehingga isi kebijakan tidak benar-benar sebagai jawaban atas masalah kebijakan. Hasil analisis pembuatan Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 menunjukkan bahwa narasi kebijakan dalam penyusunan Perda terkait nilai- nilai yang melekat pada cendana sejak masa lampau. Diskursus kebijakan yang berkembang yaitu nilai ekonomi cendana sebagai asset dan sumber penghasilan untuk rakyat, daerah dan negara. Peran pemerintah sebagai aktor tunggal menunjukkan sistem politik dan ekonomi pemerintahan pada masa era orde baru yang merupakan gambaran kepentingan-kepentingan pemerintah sebagai penguasa. Ketiadaan peran pengetahuan dan informasi, keterlibatan pihak lain dan masyarakat, pertimbangan ekonomi dan sosial budaya, serta pengalaman pengelolaan pada masa sebelumnya tidak dijadikan argumen memperbaiki kebijakan pengelolaan cendana. 112 b. Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 tentang Pencabutan Perda No. 16 Tahun 1986 Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 merupakan prakarsa DPR provinsi yang disetujui oleh pemerintah didasari dengan berlakunya peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan kehutanan kepada daerah TK II. Proses pencabutan berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi serta konservasi dengan memberikan peluang kepada pemerintah daerah TK II mengelola cendana sebagai hasil SDA daerah dan meningkatkan PAD. Pemerintah pada periode ini mendapat banyak kritikan dan masukan dari berbagai pihak antara lain perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk memperhatikan kelestarian cendana di alam dan pengelolaan cendana lebih melibatkan peran serta masyarakat. Pengkajian terkait cendana sudah banyak dilakukan dan menjadi bahan pertimbangan dalam pencabutan Perda No. 16 tahun 1986.

c. Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana

Penyusunan Perda Kabupaten TTS tentang cendana merupakan pengalaman pertama pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan di bidang kehutanan pasca pelaksanaan otonomi daerah sesuai UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya mulai berlaku secara efektif sejak 1 Januari 2001. Selain memberikan landasan kewenangan kepada pemerintah kabupaten, kebijakan desentralisasi juga mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat sesuai UU No. 25 tahun 1999. Kedua peraturan tersebut disusun sebagai upaya kolektif untuk menata kembali sistem pemerintahan yang lebih adil dan demokratis serta mendorong terwujudnya kemakmuran di daerah. Proses pembuatan Perda cendana Kabupaten TTS diawali pada akhir tahun 1999. Situasi pembuatan Perda ini terjadi pada kondisi tidak menentu yakni masa peralihan pelaksanaan otonomi daerah, dan pasca pelaksanaan “Operasi Bersahabat“. Hasil wawancara dengan tim perumus dan ketua pansus pembahasan Perda cendana menunjukkan penyusunan Perda dilakukan dalam internal dinas kehutanan kabupaten dengan tujuan 113 menyikapi kekosongan aturan yang mengatur cendana setelah pemerintah provinsi mencabut perda tentang cendana dan menyerahkan pengelolaannya kepada kabupaten, mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat, dan menjaga pertumbuhan populasi cendana yang semakin menurun. Keterbatasan pemerintah dalam penyusunan Perda dilakukan dengan mengutip dari Perda provinsi tentang cendana sebelumnya dan Perda Kabupaten Sumba Timur No. 19 Tahun 2000 yang berlaku. Perda Kabupaten TTS adalah perda tentang cendana kedua yang dirumuskan setelah Perda Kabupaten Sumba Timur. Model penyusunan Perda cendana demikian termasuk model inkremental atau tahap demi tahap tanpa ada perubahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan dengan kebijakan sebelumnya Agustino 2008; Sutton 1999, IDS 2006 c.1. Dasar Pertimbangan Pertimbangan yang dijadikan dasar yang tertuang dalam bagian menimbang Perda No. 25 Tahun 2001 tentang cendana yaitu: 1 Menghindari kepunahan cendana, perlu melibatkan peran serta dan memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk bertanggungjawab atas kelangsungan dan kepemilikannya, tidak hanya menjadi monopoli pemerintah daerah dan Badan Usaha tertentu agar masyarakat dapat menikmati hasilnya demi kesejahteraan rakyat; 2 Berdasarkan Pasal 5 huruf g PP No. 6 Tahun 1998, maka pengelolaan hasil hutan non kayu cendana menjadi kewenangan daerah; 3 Cendana adalah jenis tumbuhan yang menghasilkan kayu beraroma khas dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi yang merupakan asset Kabupaten TTS, perlu dibudidayakan, dikembangkan, dan dilestarikan serta dimanfaatkan sehingga menjadi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, terlihat bahwa pemerintah daerah bertujuan menyelamatkan tanaman cendana dari kepunahan di alam dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pelibatan peran masyarakat didasari dengan kegagalan kebijakan sebelumnya dan sikap apatis masyarakat terhadap cendana. Dengan dasar nilai ekonomi cendana diharapkan cendana menjadi asset Kabupaten TTS dan komoditi yang memiliki keunggulan komparatif. Besarnya 114 sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT selama ini diharapkan pengelolaan cendana juga dapat meningkatkan PAD Kabupaten TTS ke depannya. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan cendana dapat terwujud apabila masyarakat juga dilibatkan dalam proses penyusunan Perda melalui kegiatan konsultasi publik. Konsultasi publik adalah musyawarah antara masyarakat dan pemerintah untuk mencari cara terbaik atau untuk memecahkan suatu persoalan dalam pengelolaan cendana. Konsultasi publik biasanya dilakukan oleh lembaga eksekutif pemerintah atau dengar pendapat umum yang biasanya dilakukan oleh lembaga legislatif. Hasil wawancara dan studi dokumen menunjukkan bahwa tahap konsultasi publik tidak dilakukan dalam setiap tahapan proses perumusan Perda cendana. c.2. Tahapan Penyusunan Perda Tahapan yang dilakukan dalam penyusunan perda Kabupaten TTS yaitu: 1. Penyusunan rancangan Perda Ranperda yang dilakukan tim perumus dari Dinas Kehutanan Kabupaten sebagai instansi pemrakarsa mulai akhir tahun 1999 sampai awal 2001. Tim ini terdiri dari 4 orang. Pelibatan tokoh adat, kelompok tani, pengusaha, dan masyarakat sangat kecil dan tidak terbuka. Naskah akademik dan konsultasi publik dalam tahap ini tidak dilakukan. 2. Hasil Ranperda dinas kehutanan dikonsultasikan dan dibahas di bagian hukum dan ekonomi sekretaris daerah Kabupaten TTS. Materi pembahasan terutama berkaitan dengan penulisan dan kaidah-kaidah norma hukum Perda. Pada tahap ini dijelaskan mengenai latar belakang, tujuan, dan prinsip-prinsip yang hendak dibangun dalam Perda tersebut. Hasil rancangan tidak dilakukan asistensi ditingkat provinsi karena tanggapan dari biro hukum provinsi menyatakan cendana sudah diserahkan ke daerah tingkat II Kabupaten sehingga kewenangan pembuatan Perda menjadi kewenangan kabupaten sesuai PP No. 62 tahun 1998 Djelahat T 11 Januari 2011, komunikasi pribadi 3. Hasil pembahasan Ranperda dengan bagian hukum, diserahkan kepada kepala daerah Bupati melalui sekretaris daerah. Ranperda yang sudah mendapat persetujuan kepala daerah, selanjutnya dilakukan pengajuan pembahasan Ranperda ke DPRD Kabupaten TTS melalui Nota Pengantar Kepala Daerah. 115 Berdasarkan nota pengantar tersebut, dewan membentuk panitia khusus Pansus untuk membahas ranperda. Rapat panitia khusus dilaksanakan pada tanggal 3 –25 Agustus 2001 atau selama 17 hari kerja yang diketuai oleh Drs. Daniel Taneo. Selain Ranperda cendana, pansus juga membahas 17 ranperda lainnya. Dinas kehutanan sebagai instansi teknis dalam pembahasan di tingkat dewan di wakili oleh Jeskial Faah selaku pelaksana tugas Plt Kepala Dinas Kehutanan. Rapat paripurna berlangsung pada tanggal 16 Oktober sampai 5 November 2001 yang bertujuan mendengarkan laporan Ranperda dari pansus, mendengarkan pemandangan umum dari fraksi, pembahasan ranperda lainya 21 buah, dan penetapan Perda-Perda termasuk Perda tentang cendana. Berdasarkan tahapan penyusunan Perda cendana di atas menunjukkan pembahasan di tingkat legislatif tidak dilakukan dengar pendapat umum untuk menyaring aspirasi masyarakat. Tanpa keterlibatan pihak lain dan masyarakat, secara substansi Perda diangap tidak realistik, sulit diterima, dan dipercaya oleh masyarakat Kartodihardjo Jhamtani 2006. Lebih lanjut dikatakan penyusunan perda melalui proses multipihak memungkinkan pertukaran informasi serta dialog secara langsung dapat memperbaharui pandangan pemerintah yang memiliki hak mutlak sebagai pengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan c.3. Proses pembuatan Perda Penyaringan aspirasi masyarakat dilakukan pada saat kunjungan kerja di kecamatandesa selama proses penyusunan Perda cendana. Keterlibatan pihak luar merupakan pihak yang dipilih secara khusus oleh pemerintah seperti tokoh adat, kelompok tani, pengusaha, dan LSM sedangkan peran perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan instansi terkait belum dilibatkan. Hal ini menunjukkan kurangnya keseriusan pemerintah daerah dalam mengelola cendana dan tidak mempelajari kegagalan pengalaman kebijakan sebelumnya. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan diyakini sebagai suatu keharusan mengingat pengelolaan hutan oleh negara selama ini telah terbukti tidak mampu menjamin kelestarian sumberdaya hutan dan tidak pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan Herawati 2010.