Analisis ekonomi rumahtangga petani cendana
98 Keterangan: a nyata pada
= 5 persen; c nyata pada = 15 persen; b nyata pada
= 10 persen; d nyata pada = 20 persen Berdasarkan Tabel 34, peubah yang berpengaruh nyata terhadap
pendapatan total rumahtangga adalah produksi usaha cendana, jumlah anggota keluarga produktif dan konsumsi total. Peubah produksi usaha cendana dan
konsumsi total memiliki tanda parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, sedangkan peubah
jumlah anggota keluarga produktif memiliki parameter negatif tidak sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen.
Peningkatan produksi usaha cendana akan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Hal ini berdampak pada terpenuhinya pengeluaran untuk
konsumsi total dalam rumahtangga atau semakin meningkatnya pendapatan total rumahtangga responden maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi
total rumahtangga. Pernyataan ini logis, karena semakin besar pendapatan rumahtangga maka responden semakin memiliki kemampuan untuk membeli
barang-barang konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jumlah anggota keluarga produktif memberikan nilai negatif terhadap
pendapatan total dan berpengaruh nyata. Artinya bahwa ketersediaan anggota produktif dalam rumahtangga memberikan kontribusi yang masih rendah
terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga. Hal ini dapat dijelaskan bahwa anggota produktif dalam rumahtangga di lokasi penelitian masih
terhitung jumlah anak yang masih sekolah, SMA atau baru menyelesaikan jenjang SMA atau setara.
Perhitungan nilai elastisitas menunjukkan bahwa total pendapatan rumahtangga sangat respon terhadap pengaruh peubah konsumsi total yang
ditunjukkan dengan nilai elastisitas sebesar 1.12. Hal ini memberikan gambaran bahwa pendapatan rumahtangga petani cendana yang diperoleh baik
dari usaha cendana dan luar usaha cendana lebih diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam keluarga baik konsumsi pangan dan
non pangan. Sedangkan total pendapatan rumahtangga tidak respon terhadap keempat variabel lainnya yaitu produksi usaha cendana, jumlah anggota
99 keluarga produktif, konsumsi total, investasi sumberdaya manusia, dan total
alokasi tenaga kerja keluarga. 4. Konsumsi Total
Hasil pendugaan persamaan konsumsi total KT menunjukkan hasil bahwa sebagian tanda dugaan parameter tidak sesuai dengan hipotesis yang
diharapkan menurut kriteria ekonomi dan berpengaruh nyata. Nilai Koefisien determinasi R
2
menunjukkan nilai 0.66 berarti bahwa keragaman total pengeluaran rumahtangga sebesar 66 dapat dijelaskan oleh peubah
penjelas yaitu total pendapatan rumahtangga TR, jumlah anggota keluarga JAK, pendidikan istri PDDKI, dan investasi sumberdaya manusia INV,
sebagaimana disajikan pada tabel berikut. Tabel 35 Hasil pendugaaan parameter persamaan konsumsi total
Peubah Parameter
Dugaan t-
hitung Taraf-
nyata Elastisitas
Intersept TR Total pendapatan
rumahtangga
JAK Jumlah angg keluarga PDDI Pendidikan istri
INV Investasi SDM 1199794
0.038041 597660.6
-118516 2.833453
1.51 1.94
4.25 -2.05
2.47 0.1455
0.0644
b
0.0003
a
0.0521
b
0.0213
a
0.134915 0.618966
-0.1415 0.11486
R
2
= 0.66 F
hitung
= 11.12
Keterangan: a nyata pada = 5 persen; c nyata pada = 15 persen; b nyata
pada = 10 persen; d nyata pada = 20 persen
Hasil pendugaan konsumsi total menunjukkan bahwa semua peubah dalam persamaan berpengaruh nyata terhadap konsumsi total yaitu total
pendapatan rumahtangga TR, jumlah anggota keluarga JAK, pendidikan istri PDDI, dan investasi sumberdaya manusia INV.
Pendapatan total rumahtangga memiliki tanda parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Ini
berarti semakin meningkat pendapatan total rumahtangga responden maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi total rumahtangga. Hal ini logis,
karena semakin besar pendapatan rumahtangga maka responden semakin memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang konsumsi semakin
meningkat Purwita 2009. Hal ini juga mencerminkan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani.
100 Jumlah anggota keluarga nyata mempengaruhi konsumsi total pada taraf
5 persen. Hal ini sesuai penelitian Suprapto 2001 dan Purwita 2009, bahwa jumlah anggota keluarga mempengaruhi konsumsi rumahtangga. Jumlah
anggota keluarga responden dalam penelitian ini rata-rata 4 orang. Besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi rumahtangga, yang
berarti apabila jumlah anggota keluarga bertambah, maka pengeluaran konsumsi rumahtangga juga meningkat.
Peubah pendidikan istri bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Artinya bahwa semakin tinggi pendidikan istri, mempunyai
kecenderungan mengurangi konsumsi. Semakin tinggi pendidikan istri, maka istri mempunyai kemampuan mengalokasikan pendapatan rumahtangga untuk
peningkatan sumberdaya anggota keluarga yaitu pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan.
Peubah pengeluaran investasi sumberdaya manusia memiliki koefisien positif dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Ini berarti pengeluaran
investasi sumberdaya manusia akan meningkatkan konsumsi rumahtangga. Namun pada lokasi penelitian, pengeluaran untuk investasi sumberdaya
manusia masih sangat rendah sehingga belum mengurangi pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan konsumsi total. Masyarakat mendapatkan
bantuan pendidikan melalui pelayanan dana bantuan operasional sekolah BOS dan bantuan kesehatan melalui pelayanan asuransi kesehatanan bagi
masyarakat miskin ASKESKIN dari pemerintah setempat. Hasil analisis elastisitas menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga
terhadap konsumsi total bersifat inelastis terhadap keempat peubah dalam persamaan yaitu total pendapatan rumahtangga, jumlah anggota keluarga,
pendidikan istri, dan investasi sumberdaya manusia. Perilaku ekonomi rumahtangga petani terkait produksi cendana
membutuhkan alokasi tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja yang disewa, dan biaya sarana produksi. Biaya sarana produksi sangat respon terhadap produksi
cendana. Alokasi tenaga keluarga di luar usaha cendana sangat ditentukan jumlah anggota produktif yang tersedia dalam rumahtangga. Pendapatan rumahtangga
101 dipengaruhi oleh produksi cendana, jumlah anggota produktif dan konsumsi total.
Konsumsi total sangat respon terhadap pendapatan rumahtangga. Berdasarkan keragaan ekonomi rumahtangga petani cendana, dapat
disimpulkan bahwa pendapatan cendana yang diproleh dari produksi cendana memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan rumahtangga dan
permasalahan petani cendana yang diperoleh dari hasil analisis yaitu aspek sosial terkait tenaga kerja keluarga dan di luar keluarga dari segi kuantitas dan kualitas,
dan aspek ekonomi terkait kebutuhan sarana produksi cendana dan kebutuhan konsumsi rumahtangga.
Proses Pembuatan Kebijakan 1.
Analisis Isi Kebijakan
a. Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986 tentang Cendana Penguasaan pemerintah provinsi NTT terhadap cendana sudah berlangsung
selama 30 tahun sejak tahun 1966-1999. Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 tentang cendana merupakan perda yang keempat sejak terbentuknya Provinsi NTT
pada tahun 1958. Perda provinsi No. 16 Tahun 1986 terdiri dari 13 bab dan 17 pasal. Pasal
dalam Perda tersebut yang mengandung substansi penting yaitu penguasaan pemerintah provinsi terhadap cendana berdasarkan kepemilikannya Pasal 4, di
mana kayu cendana dibedakan: a Kayu cendana yang tumbuh di atas tanah negara dan tanah pemerintah daerah adalah milik pemerintah daerah, b Kayu
cendana yang diusahakan, ditanam dan dipelihara oleh perorangan atau badan hukum di atas tanah perorangan atau badan hukum tersebut adalah milik
perorangan atau badan hukum, dan c Kayu cendana yang tumbuh secara alami di atas tanah perorangan atau badan hukum yang sedang diusahakan maka kayu
cendana adalah milik pemerintah daerah. Pembagian hasil cendana di lahan milik sesuai pasal 4 butir c ditetapkan 85 untuk pemerintah dan 15 untuk
masyarakat Pasal 11. Penguasaan pemerintah daerah Provinsi NTT terhadap cendana yang tumbuh
secara alami di lahan milik tidak terlepas dari hak menguasai negara atas semua hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya sesuai pasal 5 ayat 2 UU No. 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. Hak menguasai negara tertuang
102 dalam wewenang untuk: 1 menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan,
penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara, 2 mengatur pengurusan hutan dalam arti
luas, dan 3 menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai hutan. UU No. 5 Tahun 1967 menyatakan pembagian hutan berdasarkan
peruntukannya di bagi menjadi hutan tetap, hutan cadangan dan hutan lainnya Pasal 4. Yang dimaksud hutan lainnya adalah hutan yang ada di luar kawasan
hutan dan di luar hutan cadangan, misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik atau tanah yang dibebani hak-hak lainnya. Status hukum pengurusan hutan pada
hutan lainnya menurut Salim 2004 mempunyai makna bahwa tanahnya merupakan hak dari pemegang hak atas tanah tetapi status tegakan hutan yang
tumbuh di atas tanah tersebut ditentukan sebagai berikut: a Pengurusan tegakan hutan yang tumbuh di atas tanah tersebut yang sebelumnya merupakan hutan alam
berada di bawah pengurusan pemerintah c.q. Menteri Kehutanan, b Tegakan hutan yang tumbuh di atas tanah HGU, HGB, hak pakai, dan lain-lain yang
ditanam oleh pemegang hak yang bersangkutan, maka menjadi pemilik tegakan kayu tersebut adalah pemegang hak yang bersangkutan.
Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa isi Perda provinsi NTT 16 tahun 1986 mengandung makna yaitu berdasarkan status hukum pengelolaan
cendana yang berada di lahan masyarakat dimasukkan dalam status hukum hutan lainnya. Selain itu, informasi yang memperkuat penguasaan cendana oleh
pemerintah yaitu cendana yang ada di Propinsi NTT selama ini tumbuh secara alami dan sejak masa kerajaan menjadi milik raja-raja yang berkuasa. Masyarakat
di NTT belum pernah menanam cendana atau mengenal konsep menanam cendana Pello 2000. Pembagian hasil 15 untuk masyarakat merupakan nilai
jasa pemeliharaan premi yang diberikan pemerintah atas cendana yang tumbuh di lahan masyarakat, berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku sebelumnya
seperti terlihat pada Tabel 36. Dalam pelaksanaan Perda No. 16 Tahun 1986, pemilik lahan baik
perseorangan atau badan hukum harus menunjukkan bukti kepemilikan lahan
103 untuk mendapatkan bagian 15 dengan menunjukkan sertifikat tanahsertifikat
hak guna tanahgambar situasi GShak ulayat yang disyahkan Pengadilan Negeri atau fotocopy bukti pelunasan pembayaran pajak bumi dan bangunan PBB
terakhir yang dilegalisir oleh Kepala DesaLurah sesuai Keputusan Gubernur NTT No. 7 tahun 1993.
Tabel 36 Bagi hasil cendana berdasarkan Perda Provinsi NTT
Pembagian Hasil Perda
Timor No. 40 1953
Perda No. 11 Tahun 1966 Perda
No. 7 1980
Perda No. 16
1986 Kawasan
hutan Tanah
milik Di luar
tanah milik Masyarakat
Tokoh masyarakat adat PahtuafTobe
Kepala
Pemerintahan Desa Temukung
Wakil raja Fetor Kepala Swapraja
Kas Pemda Kabupaten Kas Pemda Provinsi
40 senkg + Upah
20 senkg 15 senkg
2 senkg 5 senkg
- -
Upah 3
2 1
- 74
20 50
2 1
1 -
36 10
Upah 3
2 1
- 74
20 Upah
- -
- -
50 50
15 -
- -
- 42.50
42.50 Jumlah
100 100
100 100
100
Penguasaan hak pemerintah terhadap cendana dapat dijelaskan melalui teori bundle of right Schlanger Ostrom 1992. Penguasaan negara dalam
pemanfaatan sumberdaya milik negara seperti hutan, dalam pelaksanaannya hak kepemilikan dibedakan dalam empat bentuk yaitu memasuki dan memanfaatkan
access dan withdrawal, menentukan bentuk pengelolaan management, menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain exclusion dan dapat
memperjualbelikan hak alienation. Sedangkan hak yang seharusnya dimiliki masyarakat mempunyai empat kelompok dari yang tertinggi sampai terendah
yaitu pemilik, kepunyaan, penyewapemakai, dan pengguna yang disajikan pada Tabel 37. Pemerintah provinsi dalam hal ini
berperan sebagai “pemilik” semua sumberdaya alam termasuk cendana yaitu hak pemanfaatan, pengelolaan,
pembatasan dan pelepasan, sedangkan masyarakat tidak diberi hak apapun.
104 Tabel 37 Hak-hak terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat
Jenis Hak Pemilik
Owner Kepunyaan
Proprietor Penyewa
Pemakai Claimant
Pengguna Autorize
d User Memasuki dan memanfaatkan
Accesss dan Withdrawal X
X X
X Menentukan
bentuk pengelolaan
Management X
X X
Menentukan keikutsertaan
mengeluarkan pihak lain Exclusion
X X
Dapat memperjual-belikan hak Alination
X
Sumber: Schlanger Ostrom 1992 Penguasaan pemerintah terhadap cendana menunjukkan ketidakmampuan
pemerintah dalam mengelola sumberdaya cendana yang dimiliki dan didasari narasi kebijakan yang terkait nilai-nilai terhadap cendana pada masa lampau yang
sulit dirubah sehingga menghambat terjadinya pembaharuan kebijakan. Nilai-nilai masa lampau dari aspek sejarah menunjukkan penguasaan cendana oleh raja-raja
Timor pada masa sebelum kolonial. Tingkat kepatuhan masyarakat kepada raja sebagai penguasa dan pemilik cendana kemudian diadopsi pada pasca
kemerdekaan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada setiap periode. Sistem pemerintahan yang dominan berakibat pada keputusan pemerintah
bersifat terpusat berdasarkan informasi yang dimiliki tanpa memperhatikan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Ketidakmampuan tersebut akibat
lemahnya para pengambil keputusan memahami kondisi sosial yang kompleks complex societies. Kondisi tersebut dicirikan dengan keputusan yang terpusat,
aliran informasi yang tinggi, koordinasi yang tinggi, intruksi kewenangan formal, dan pemusatan sumber daya Diamond 2005 dalam Kartodiharjo 2008.
Perda provinsi No. 16 Tahun 1986 selama masa berlakunya pernah mengalami perubahan pertama melalui Perda provinsi No. 2 Tahun 1996 pada
tanggal 28 Pebruari 1996. Hal penting dari perda tersebut adalah perubahan pasal pembagian bagi hasil cendana yaitu 60 untuk pemerintah dan 40 untuk
masyarakat. pemerintah. Perubahan perda tersebut didasari semakin menurunnya populasi cendana di alam dan Perda No. 16 Tahun 1986 belum mampu
mendorong partisipasi masyarakat untuk menanam dan memelihara cendana
105 akibat pembagian hasil yang tidak berpihak kepada masyarakat. Pembagian hasil
dalam Perda No. 2 tahun 1996 diharapkan dapat mengembalikan minat masyarakat untuk menanam dan memelihara cendana.
Belum sempat berlakunya Perda 2 Tahun 1996, pada tanggal 20 Mei 1996 pemerintah daerah provinsi mengeluarkan sebuah kebijakan untuk melakukan
penggumpulan kayu illegal yang berada di masyarakat yang terkenal dengan “Operasi Bersahabat”. Hasil wawancara dengan beberapa informan menyatakan
kebijakan pemerintah tersebut dipengaruhi oleh pihak luar yaitu pengusaha cendana saat itu. Proses pelaksanaaannya terjadi penyimpangan yaitu penebangan
cendana secara besar-besaran di lapangan bukan hanya mengumpulkan kayu illegal. Ini terbukti dengan produksi cendana tahun 1996 yang mencapai 2 458 ton
atau 6 kali dari produksi sebelumnya. Genap satu tahun pasca pelaksanaan operasi sahabat, pemerintah provinsi
mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 12 Tahun 1997 tentang Larangan Penebangan Pohon Cendana pada tanggal 18 September 1997. Larangan
penebangan cendana selama 5 tahun terhitung 1 Oktober 1997 sampai 1 Oktober 2002 didasari berkurangnya populasi cendana dan mengamankan cendana sebagai
asset pemerintah daerah. Penguasaan cendana oleh pemerintah provinsi melalui berbagai peraturan tanpa mempertimbangkan kelestarian dan sosial budaya
masyarakat menyebabkan populasi cendana terancam punah di alam. Hal memberikan gambaran kegagalan pemerintah provinsi dalam pengelolaan
cendana. b. Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda Provinsi No.
16 Tahun 1986 Tahun 1998, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 62 Tahun 1998 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah. Pasal 5 peraturan tersebut menyebutkan penyerahan urusan kehutanan kepada
daerah tingkat II, salah satunya kegiatan pengelolaan hasil hutan non kayu yang mencakup kegiatan pengusahaan, pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non
kayu. PP No. 62 Tahun 1998 menjadi dasar pertimbangan pemerintah provinsi mengeluarkan Perda No. 2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda Provinsi NTT
No. 16 Tahun 1986.
106 Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 terdiri dari 2 Pasal yaitu Pasal
pencabutan Perda provinsi NTT 16 tahun 1986 dan Pasal pemberlakuan Perda No. 2 tahun 1999. Bagian penjelasan Perda No. 2 tahun 1999 dinyatakan bahwa dalam
rangka pengembangan otonomi daerah dan pemberlakuan UU No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dilakukan penataan kembali segala
jenis produk hukum yaitu Perda Tingkat I dan II. Dengan pemberlakuan PP No. 16 tahun 1998 tersebut, cendana termasuk hasil hutan non kayu digolongkan
dalam Retribusi Perizinan tertentu yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II. Berdasarkan penjelasan tersebut, pengelolaan cendana diserahkan kepada
daerah tingkat II di Provinsi NTT. Namun apabila daerah tingkat II belum menetapkan Perda tentang cendana maka pemerintah Gubernur akan menetapkan
Petunjuk Pelaksanaannya. Hingga penelitian berlangsung petunjuk pelaksanaan tersebut tersebut belum diterbitkan karena kurangnya pengawasan dan
pengontrolan pemerintah provinsi terhadap kabupaten pasca pelaksanaan otonomi daerah.
c. Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana terdiri dari 9
bab dan 17 Pasal. Pasal yang penting dalam penelitian kebijakan yaitu Pasal 2 tentang status kepemilikan cendana yaitu: a cendana yang tumbuh secara alami
atau dibudidayakan di atas tanah milik perorangankelompok adat dan badan hukum lainnya menjadi milikdikuasai perorangan kelolmpok adat serta badan
hukum tersebut, b cendana yang tumbuh secara alami atau dibudidayakan di atas tanah negara atau pemerintah daerah menjadi milik pemerintah daerah. Pasal
tersebut merupakan pengakuan kepemilikan cendana kepada masyarakat untuk cendana yang berada di lahan milik karena selama ini cendana dikuasai oleh
pemerintah melalui Perda provinsi. Pasal ini diperkuat dengan kebebasan masyarakat menjual cendana yang dimiliki Pasal 7. Namun pengakuan ini
dibatasi dengan proses perijinan pemungutan cendana dan kewajiban masyarakat membayar pungutan Iuran Hasil Cendana IHC sebesar 10 kepada pemerintah
dari harga jual cendana minimal Pasal 9. Kewajiban masyarakat membayar 10, berarti masyarakat mendapatkan
pengakuan 90 dari cendana yang dimiliki. Kebijakan tersebut walaupun sudah
107 bersifat insentif kepada masyarakat, namun tingkat penerimaan masyarakat
terhadap Perda masih rendah. Hal ini disebabkan karena keterlibatan masyarakat dan tokoh masyarakatadat dalam proses perumusan Perda sangat kecil, dan tahap
sosialisasi yang dilakukan belum sampai ketingkat desakelurahan sehingga masyarakat tidak mengetahui keberadaan perda cendana. Selain itu, kewajiban
membudidaya dan melestarikan cendana yang dibebankan kepada masyarakat Pasal 3 dan 4, mengalami kendala karena tidak sesuai dengan keadaan ekonomi
dan sosial yang terdapat di masyarakat. Hasil analisis secara kuantitatif menunjukkan bahwa secara umum
masyarakat di lokasi penelitian memiliki sumberdaya yang rendah yaitu tingkat pendidikan SD atau SMP, kurangnya pengetahuan bagaimana mendapatkan
benihbibit cendana yang berkualitas, teknik penananaman, pemeliharaan, dan penanganan hama penyakit cendana, serta kebutuhan sarana produksi. Selain itu,
masyarakat di lokasi penelitian masih dihadapkan pada persoalan bagaimana berusaha untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga terutama untuk kebutuhan
konsumsi. Apabila dikaitkan dengan isi Perda pada Pasal 3 dan 4 yang disebutkan di
atas, memberikan gambaran terdapat gap atau kesenjangan antara isi Perda Kabupaten TTS dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Artinya isi perda
Kabupaten TTS tentang cendana belum mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan dan pelestarian cendana. Permasalahan di atas
diperparah dengan kewajiban pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pengembangan cendana yang tertuang dalam Pasal 12, dalam tahap
implementasi tidak dilaksanakan sampai sekarang. Besarnya iuran hasil cendana sebesar 10, dirinci lagi yaitu 30 untuk
desakelurahan penghasil, 5 untuk instansi pemungut, 3 untuk pembinaan dan pengawasan kepada instansi teknis operasional dan sisanya untuk kas pemerintah
daerah. Namun sampai dengan kegiatan penelitian, realisasi pungutan 10 sangat sulit dilakukan dan proporsi untuk desakelurahan, instansi pemungut dan
pembinaan dan pengawasan tidak dapat dilaksanakan. Hasil wawancara dengan petugas pemungut iuran hasil cendana mengatakan bahwa sulitnya memantau
transaksi jual beli cendana yang terjadi di masyarakat karena pedagang
108 pengumpul biasanya langsung ke desa atau masyarakat membawa sendiri kayu
cendana ke pengrajin di Kota Kupang. Berdasarkan hasil analisis isi kebijakan Perda Kabupaten TTS No. 25
Tahun 2001 tentang cendana dapat disimpulkan bahwa pengakuan kepemilikan cendana kepada masyarakat sudah bernilai insentif dan merupakan perubahan
mendasar dalam perubahan kebijakan cendana selama ini di Kabupaten TTS khususnya dan Propinsi NTT secara umum. Namun, keberadaan Perda belum
menjawab permasalahan umum pada masyarakat sehingga Perda cendana sulit diterima dan dilaksanakan masyarakat.
Proses sosialisasi yang belum menjangkau seluruh masyarakat dan tahapan implementasi tidak dilakukan menyebabkan tingkat penerimaan Perda di
masyarakat sangat rendah. Hal ini menunjukkan lemahnya keseriusan pemerintah atau kemauan politik dalam pengembangan cendana. Dengan demikian apa yang
menjadi dasar pertimbangan dan tujuan yang ingin dicapai dari Perda cendana tidak akan berhasil.