3. Pembuatan Film Poliuretan
Pembuatan film poliuretan pada penelitian ini merupakan modifikasi prosedur pembuatan poliuretan yang dilakukan oleh Kaushiva
et al.
2006 dan Kong Narine 2007. Poliol yang digunakan dalam pembuatan film poliuretan
terdiri dari tiga jenis yaitu: poliol L.OHV, poliol H.OHV dan poliol komersial. Diagram alir pembuatan bahan pelapis poliuretan disajikan pada Lampiran 4.
Sejumlah poliol tertentu dicampurkan dengan pelarut, dan aditif dalam wadah pencampur. Campuran diaduk hingga merata pada suhu kamar selama 10
menit untuk mendapatkan campuran yang homogen. Dari campuran poliol yang diperoleh, diambil masing-masing 4 mL kemudian dimasukkan dalam dua buah
wadah terpisah. Kedalam wadah A ditambahkan 1 ml Isosianat A dan kedalam wadah B ditambahkan 1 mL isosianat B. Campuran diaduk dalam suhu ruang
selama 3 menit, kemudian diaplikasikan pada panel ABS yang telah disiapkan. Prosedur ini berlaku untuk poliol L.OHV, poliol H.OHV dan poliol komersial.
Hasil aplikasi dibiarkan dalam suhu ruang selama 15 menit untuk menguapkan pelarut yang berada dibawah lapisan film. Selanjutnya, hasil aplikasi
dikeringkan dengan oven selama 30 menit pada temperatur 70
o
C. Setelah dikeluarkan dari oven, panel aplikasi dibiarkan dingin pada suhu kamar selama 24
jam sebelum dilakukan pengujian film poliuretan. Lapisan film poliuretan yang dihasilkan diuji daya kilap, tingkat
kekerasan, daya rekat, dan analisis spektrofotometer inframerah. Prosedur pengujian daya kilap, tingkat kekerasan, dan daya rekat lapisan film poliuretan
disajikan pada lampiran 5.
Rancangan Percobaan
Dalam pembuatan poliol, untuk mengetahui pengaruh faktor dan atau antar faktor terhadap respon penelitian digunakan alat bantu rancangan percobaan
faktorial 3x4x4 dengan tiga faktor yaitu persen asam akrilat AA terhadap EJP, persen katalis TEA TEA dan waktu reaksi dengan setiap perlakuan dilakukan
tiga kali ulangan. Faktor AA dilakukan dengan tiga taraf, yaitu 1,4, 2,9, dan
4,3, faktor TEA dengan empat taraf yaitu, 0, 1, 2, dan 3, sedangkan faktor waktu reaksi dengan empat taraf yaitu, 60, 120, 180, dan 240 menit.
Model umum untuk rancangan tersebut adalah sebagai berikut Sudjana, 1994:
Keterangan: = nilai pengamatan pengaruh AA ke-i, TEA ke-j, dan waktu reaksi
ke-k pada ulangan ke-l.
µ
= rata-rata sebenarnya = pengaruh AA taraf ke-i.
= pengaruh TEA pada taraf ke-j = pengaruh waktu reaksi pada taraf ke-k
= pengaruh interaksi perlakuan AA pada taraf ke-i, dan TEA pada taraf ke-j
= pengaruh interaksi perlakuan TEA pada taraf ke-j, dan waktu reaksi pada taraf ke-k.
= pengaruh interaksi perlakuan AA pada taraf ke-i, dan waktu reaksi pada taraf ke-k
= pengaruh interaksi perlakuan AA pada taraf ke-i, TEA pada taraf ke-j, dan waktu reaksi pada taraf ke-k
= galat, berupa pengaruh acak dari unit eksperimen ke-l dalam kombinasi perlakuan ijk
Di sisi lain untuk mempelajari proses pembuatan film poliuretan, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial
dengan ulangan sebanyak tiga kali. Sebagai perlakuan yaitu: A jenis poliol L.OHV, H-OHV, Komersial, dan B jenis isosianat Isosianat A dan Isosianat
B. Model umum untuk rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut Sudjana, 1994:
Keterangan: = nilai pengamatan pengaruh jenis poliol ke-i, dan jenis isosianat ke-j
pada ulangan ke-k.
µ
= rata-rata sebenarnya = pengaruh jenis poliol dan jenis isosianat pada taraf ke-i.
= pengaruh jenis isosianat pada taraf ke-j
= pengaruh interaksi perlakuan jenis poliol pada taraf ke-i, dan jenis isosianat pada taraf ke-j
= galat, berupa pengaruh acak dari unit eksperimen ke-k dalam kombinasi perlakuan ij
Parameter yang diamati meliputi tingkat kekerasan, daya kilap, dan daya rekat lapisan film poliuretan.
Analisis data
Tabulasi data penelitian dianalisis dengan bantuan perangkat lunak Minitab Ver.14 untuk analisis faktorial.
Response surface methodology
RSM digunakan untuk mencari fungsi yang tepat dalam memprediksi respons penelitian
bilangan hidroksil. RSM adalah sekumpulan metode matematika dan teknik statistik yang bertujuan untuk membuat model dan melakukan analisis mengenai
respons yang dipengaruhi oleh beberapa variabel Iriawan Astuti 2006. Dalam penelitian ini, output RSM berupa grafik respon dan grafik kontur
digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel terhadap respon data penelitian secara visual. Fasilitas output RSM berupa grafik respon dan grafik
kontur telah disediakan oleh Mnitab Ver.14 sebagai kelengkapan dari output analisis keragaman desain faktorial yang dipilih dalam rancangan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Epoksidasi Minyak Jarak Pagar
Epoksida minyak jarak pagar EJP yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki warna yang relatif sama dengan minyak jarak pagar yang digunakan
sebagai bahan baku. Minyak jarak pagar sebagai bahan baku utama penelitian diperoleh dari BPPT Serpong Jawa Barat. Minyak diambil dari hasil pengepresan
biji jarak pagar menggunakan unit pengepres yang dimiliki oleh BPPT, kemudian dilanjutkan dengan proses
degumming
sehingga diperoleh minyak jarak pagar yang terbebas dari kandungan getahlendir yang terdiri dari fosfatida, protein,
residu, karbohidrat, dan poliol tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak.
Analisis bilangan iodin dan bilangan oksirana yang dilakukan terhadap EJP yang dipisahkan dari campuran reaksi dan telah dikeringkan dengan Na
2
SO
4
anhidrat memberikan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kualitas Minyak Jarak Pagar dan EJP
Parameter Minyak Jarak Pagar
EJP Bilangan iodin g I
2
100g Bilangan Oxirana
108.9 0.04
10.8 3.15
Tabel 5 memperlihatkan nilai bilangan iodin minyak jarak pagar sebesar 108,9 g I
2
100g menurun pada EJP menjadi 10,8 g I
2
100g, sebaliknya bilangan oksirana pada EJP meningkat dibandingkan bilangan oksirana minyak menjadi
sebesar 3,15. Penurunan bilangan iod yang terjadi mengindikasikan terjadinya proses oksidasi ikatan rangkap akibat perlakuan penelitian, sedangkan
peningkatan bilangan oksirana mengindikasikan telah terbentuk cincin epoksida sebagai salah satu produk oksidasi ikatan rangkap yang terdapat pada minyak
jarak. Reaksi pembentukan epoksida dari minyak nabati telah dilaporkan oleh Hill 2000; Guner
et al.
2006; Sugita
et al.
2007a; dan Meyer
et al.
2008.
C C
O O
H C
R O
C C
O C
R
O +
O H
Gambar 11 Mekanisme reaksi epoksidasi menggunakan asam perkarboksilat
Gambar 11 menggambarkan mekanisme reaksi epoksidasi ikatan rangkap menggunakan asam perkarboksilat dalam suasana asam yang termasuk reaksi
adisi elektrofilik Edenborough 1999. Epoksida yang terbentuk merupakan senyawa antara yang dapat bereaksi lebih lanjut membentuk senyawa diol dengan
adanya nukleofil. Gugus pergi berupa anion karboksilat dapat bereaksi lebih lanjut dengan epoksida terprotonasi membentuk asam konjungat yaitu asam karboksilat
dan epoksida netral. Nilai bilangan oksirana EJP sebesar 3,15 yang diperoleh pada penelitian
ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Meyer
et al.
2008 sebesar 4,75 menggunakan pereaksi HCOOH dan H
2
O
2
50, suhu 50
o
C dan waktu reaksi 5 jam. Rendahnya bilangan oksirana diduga disebabkan oleh
penggunaan H
2
O
2
yang berlebih yang dapat menyebabkan reaksi pembukaan cincin epoksida dari EJP. Selain itu, pembukaan cincin juga diduga karena katalis
Amberlite IR-120 yang digunakan merupakan resin asam penukar kation. Persentase EJP hasil epoksidasi yang diperoleh dapat berkurang akibat
adanya serangan nukleofil terhadap cincin epoksida menghasilkan senyawa diol. Serangan nukleofil terhadap cincin epoksida dapat terjadi dalam suasana asam
maupun basa. Secara umum, mekanisme reaksi pembentukan diol dalam suasana asam dapat dilihat pada Gambar 12.
Suasana asam
O H
O OH
Nu
+H
+
Nu Suasana basa
O O
OH OH
H OH
SN
2
HO OH
+ OH
Gambar 12 Mekanisme reaksi pembentukan diol
Hasil analisis menunjukkan dalam penelitian ini telah terbentuk gugus hidroksil pada produk EJP akibat reaksi samping epoksida dengan sisa peroksida,
H
2
O, dan asam asetat. Reaksi pembukaan cincin epoksida oleh sisa peroksida dalam campuran reaksi yang dikatalis asam didukung oleh penelitian yang
dilaporkan oleh Campanella Baltanas 2005, dimana pada kondisi tersebut reaksi pembukaan cincin secara kinetik memiliki Ea = 16,3
±
0,72 kkalmol. Lama waktu reaksi sebesar 12 jam yang digunakan dalam proses epoksidasi pada
penelitian ini juga diduga menjadi penyebab terjadinya reaksi pembukaan cincin epoksida. Hasil penelitian yang dilaporkan Chou Chang 1986; Gan
et al.
1992; dan Rangarajan
et al.
1995, waktu reaksi proses epoksidasi yang dapat meminimalkan reaksi pembukaan cincin adalah 4 jam.
Reaksi epoksidasi minyak jarak pagar menjadi EJP memiliki energi aktivasi sebesar 45,43 kJmol Sugita
et al.
2007b yang setara dengan 10,86 kkalmol relatif lebih rendah dibandingkan energi aktivasi reaksi pembukaan
cincin sebesar 16,3 kkalmol Campanella Baltanas 2005. Secara teoretis reaksi epoksidasi minyak jarak pagar menghasilkan EJP lebih dominan
dibandingkan reaksi pembukaan cincinnya. Namun demikian, perbedaan energi
aktivasi yang juga relatif kecil tersebut tetap memungkinkan terjadinya reaksi pembukaan cincin epoksida sehingga sebagian produk EJP telah mengalami reaksi
pembukaan cincin. Gambar 13 menunjukkan reaksi pembukaan cincin epoksida minyak
nabati oleh adanya air, peroksida, asam karboksilat dan asam peroksikarboksilat dalam suasana asam Campanella Baltanas 2005. Bilangan oksirana EJP yang
relatif rendah dalam penelitian diprediksi disebabkan oleh reaksi ini.
Gambar 13 Reaksi Pembukaan cincin epoksida minyak nabati
Berdasarkan hasil analisis FTIR produk epoksidasi Lampiran 7, spektrum EJP menunjukkan adanya serapan untuk gugus -OH, C-O, C=O, dan
oksirana berturut-turut diperoleh pada bilangan gelombang 3472 cm
-1
, 1241 cm
-1
; 1743 cm
-1
; 1169 cm
-1
dan 723 cm
-1
. Munculnya pita serapan yang melebar pada 3472 cm
-1
menunjukkan adanya gugus hidroksil yang terbentuk akibat reaksi pembukaan cincin epoksida. Serapan pada bilangan gelombang 1377 cm
-1
memberikan indikas disimpulkan gugus h
pada atom C sekunde
Poliol yang d berwarna kekuningan
sintesis dibandingkan kekuningan yang tam
diprediksi berasal d dipisahkan dari bahan
Senyawa beta karoten lazim terdapat pada b
minyak yang lebih o warna kuning pada pr
Keterangan: MINYAK
EJP K
L.OHV H.OHV
ISO
Gambar 1
Bahan baku epoksidasi minyak ja
asi adanya gugus hidroksil sekunder, s hidroksil yang terbentuk adalah gugus hidrok
der.
Pembuatan Poliol
dihasilkan pada penelitian ini berwujud c an. Gambar 14 memperlihatkan perbedaan wa
an poliol komersial, minyak jarak pagar dan i mpak pada minyak jarak pagar, EJP, dan pol
dari senyawa pengotor berwarna yang han baku minyak jarak pagar pada proses pem
ten yang berwarna kuning merupakan salah sat a bahan nabati termasuk minyak jarak pagar. P
optimal diprediksi dapat mengurangi hingga produk akhir poliol berbasis minyak jarak paga
: Minyak jarak pagar; : Epoksida jarak pagar;
: Poliol komersial; : Poliol sintesis dengan bilangan hidroksil renda
: Poliol sintesis dengan bilangan hidroksil tinggi : Isosianat
r 14 Hasil sintesis poliol dari minyak jarak p
u pembuatan poliol minyak jarak pagar ad jarak pagar pada tahap sebelumnya. Dalam
sehingga dapat roksil yang terikat
cair agak kental warna poliol hasil
n isosianat. Warna oliol hasil sintesis
belum mampu emurnian minyak.
satu senyawa yang r. Proses preparasi
ga menghilangkan gar ini.
dah; ggi;
pagar
adalah EJP hasil am penelitian ini,
reaksi pembukaan cincin epoksida pada EJP menjadi poliol dilakukan dengan menggunakan pereaksi utama asam akrilat mengacu pada prosedur yang
dilaporkan oleh Chasar
et al.
2003 yang telah dimodifikasi. Penggunakan TEA selain sebagai katalis reaksi juga dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya reaksi
oligomerisasi Wool Koht 2007. Transformasi EJP menjadi poliol pada berbagai ragam AA, TEA dan
waktu reaksi telah berhasil dilakukan pada penelitian ini. Variasi AA, TEA dan waktu reaksi sebanyak 48 jenis perlakukan dengan tiga kali ulangan
menghasilkan respon bilangan hidroksil, bilangan oksirana dan rendemen reaksi yang berbeda-beda. Data pengujian poliol hasil sintesis meliputi: bilangan
hidroksil, bilangan oksirana, dan rendemen hasil reaksi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Data hasil analisis menunjukkan bilangan hidroksil, bilangan oksirana dan rendemen poliol berturut-turut berkisar 70.23 – 134,96 mg KOHg, 0,03 – 0,14
dan 58,93 – 91,53. Data bilangan hidroksil yang lengkap digunakan untuk mempelajari pengaruh asam akrilat, katalis TEA, dan waktu reaksi terhadap
pencapaian bilangan hidroksil poliol. Bilangan hidroksil merupakan parameter utama kualitas poliol yang digunakan untuk perhitungan dalam reaksinya dengan
isosianat menghasilkan poliuretan. Data bilangan oksirana poliol pada semua ragam perlakuan menunjukkan
penurunan dibandingkan dengan data bilangan oksirana sebesar 3,15 pada EJP, hal ini mengindikasikan bahwa reaksi pembukaan cincin epoksida pada penelitian
ini berhasil. Salah satu bukti hasil reaksi pembukaan cincin oksirana adalah terbentuknya gugus hidroksil yang ditunjukkan oleh hasil analisis bilangan
hidroksil. Penurunan bilangan oksirana tidak secara linier berimbas terhadap kenaikan bilangan hidroksil sebab reaksi pembukaan cincin epoksida diduga
menghasilkan produk yang beragam selain poliol. Dugaan produk dari hasil reaksi pembukaan epoksida dapat dilihat pada Gambar 13.
Rendemen poliol yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 58,93 dan 91,53 dengan rata-rata 80,24. Rendemen terendah terjadi pada
kondisi reaksi 1,4 AA, 2 TEA dan waktu reaksi 120 menit, sedangkan
rendemen tertinggi dicapai pada penggunaan 2,9 AA, 3 TEA dan waktu reaksi 180 menit. Data rendemen poliol sintesis secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 6. Hasil analisis keragaman terhadap rendemen poliol menunjukkan bahwa
AA, TEA, dan waktu reaksi berpengaruh secara nyata terhadap rendemen poliol yang dihasilkan. Variasi level AA. TEA dan waktu reaksi secara
parsial dapat digunakan untuk memprediksi penurunan atau peningkatan rendemen dari poliol yang dihasilkan. Analisis keragaman rendemen poliol
ditunjukkan pada Lampiran 8. Reaksi pembukaan cincin epoksida minyak nabati dengan asam akrilat
dapat menghasilkan senyawa beta hidroksi ester Guner
et al.
2005; Mannari Goel 2007. Berdasarkan hasil analisis, bilangan hidroksil poliol minyak jarak
pagar yang dihasilkan meningkat secara signifikan dengan meningkatnya AA. Grafik peningkatan bilangan hidroksil akibat peningkatan AA disajikan pada
Gambar 15.
Gambar 15 Pengaruh parsial AA terhadap bilangan hidroksil
Gambar 15 menunjukkan peningkatan bilangan hidroksil akibat peningkatan AA yang cukup signifikan. Peningkatan bilangan hidroksil
disebabkan oleh asam akrilat merupakan donor proton yang baik yang dapat
79.34 94.18
119.23
40 50
60 70
80 90
100 110
120 130
140
1.4 2.9
4.3
AA B
il a
n g
a n
H id
r o
k si
l m
g K
O H
g
mengkatalisis reaksi pembukaan cincin epoksida. Kelimpahan proton dalam campuran reaksi yang berasal dari asam akrilat menyebabkan terbentuknya cincin
epoksida yang terprotonasi dalam suasana asam. Serangan nukleofil akrilat terhadap cincin epoksida terprotonasi menghasilkan senyawa beta hidroksi ester
akrilat. Fungsi utama penggunaan TEA dalam penelitian ini adalah sebagai katalis
dan penghambat terjadinya reaksi oligomerisasi Mannari Goel 2007. Reaksi oligomerisasi dapat terjadi akibat peningkatan konsentrasi H
+
yang berasal dari asam akrilat. Pengaruh penggunaan TEA terhadap bilangan hidroksil secara
parsial dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Pengaruh parsial TEA terhadap bilangan hidroksil
Pada konsentrasi TEA yang rendah, poliol yang dihasilkan cenderung memiliki bilangan hidroksil yang rendah karena sebagian gugus epoksida
terkonversi menjadi dimer, trimer, dan atau oligomer. Penggunaan TEA pada konsentrasi yang tinggi dapat menekan terjadinya reaksi oligomerisasi, tetapi
penggunaan TEA dengan konsentrasi berlebihan justru diprediksi dapat memperlambat reaksi pembukaan cincin epoksida karena terjadi netralisasi proton
dari asam akrilat oleh sifat basa dari TEA.
87.49 90.58
103.51 108.74
40 50
60 70
80 90
100 110
120
1 2
3
TEA B
il a
n g
a n
H id
r o
k si
l m
g K
O H
g
Gambar 17 Pengaruh parsial waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil
Pengaruh parsial waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil poliol pada Gambar 17 menunjukkan pola peningkatan bilangan hidroksil dengan nilai yang
relatif kecil. Peningkatan bilangan hidroksil hanya berkisar antara 0,02 – 3,61 mg KOHg untuk tiap kenaikan waktu 60 menit. Waktu reaksi 180 menit terlihat
cukup efisien untuk menghasilkan poliol dengan bilangan hidroksil 99,90 mg KOHg. Reaksi pembukaan cincin epoksida tidak memerlukan waktu yang lama
karena protonasi epoksida oleh H
+
dari asam akrilat cukup efektif untuk terjadinya reaksi ini.
Hasil analisis keragaman terhadap bilangan hidroksil poliol menunjukkan bahwa AA, TEA dan waktu reaksi berpengaruh nyata terhadap bilangan
hidroksil. Hasil analisis secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 7. Gambar 18 memperlihatkan respon bilangan hidroksil pada variasi AA
dan waktu reaksi. Pengaruh variasi TEA belum bisa terlihat pada grafik tersebut, pengaruh variasi TEA dapat dilihat secara jelas pada grafik kontur
yang ditunjukkan pada Gambar 18. Pembahasan selanjutnya, karena grafik respon hanya memperlihatkan dua buah variabel dari tiga variabel yang ada, maka
pengaruh ketiga variabel secara bersama-sama terhadap respon ditunjukkan melalui grafik kontur.
99.92 99.90
96.29 94.21
40 50
60 70
80 90
100 110
120
60 120
180 240
W aktu Re aksi Me nit B
il a
n g
a n
H id
r o
k si
l m
g K
O H
g
Gambar 18 R
Pada Gambar poliol apabila AA
memberikan pengaru Kenaikan bilangan hi
tinggi dibandingkan k waktu reaksi.
Gambar 19 m waktu reaksi dan A
secara konsisten me 4.0 dan waktu rea
bilangan hidroksil 9 penggunaan TEA 1
KOHg Gambar 19b yang berturut-turut m
KOHg dan 120-130 m
Respons bilangan hidroksil pada variasi waktu reaksi
ar 18, memperlihatkan terjadinya kenaikan bi AA bertambah besar, sedangkan kenaikan
aruh relatif kecil terhadap kenaikan bila hidroksil akibat peningkatan AA secara jel
n kenaikan bilangan hidroksil yang disebabka
memberikan informasi yang lebih lengkap men AA pada variasi penggunaan katalis TEA. K
enyebabkan kenaikan bilangan hidroksil. Pa eaksi 60 menit, penggunaan TEA 0 menye
90 – 100 mg KOHg Gambar 19a, s ternyata bilangan hidroksil berada pada kisa
b. Pola yang sama terjadi pada penggunaan T menghasilkan bilangan hidroksil pada kisar
0 mg KOHg Gambar 19c dan 19d.
AA dan
bilangan hidroksil an waktu reaksi
ilangan hidroksil. jelas terlihat lebih
kan oleh kenaikan
engenai pengaruh Kenaikan TEA
Pada kondisi AA yebabkan kisaran
sedangkan pada isaran 100-110 mg
TEA 2 dan 3 aran 110-120 mg
Gambar 19 Pengar 2
Gambar 20 Resp aruh waktu reaksi dan AA pada TEA 0
c dan 3 d terhadap bilangan hidroksil
spons bilangan hidroksil pada variasi AA
a
c
0 a, 1 b, sil
A dan TEA
b
d
Pengaruh vari dapat dilihat pada Ga
respon bilangan hidr terhadap kenaikan bi
tinggi dari 2,5 mem pada konsentrasi TEA
dampak yang berarti optimal pada TEA s
Gambar 21 Pengaru menit b, 180
Gambar 21 m dan AA pada vari
TEA berpengaruh k gambaran, pada wakt
ariasi AA dan TEA terhadap respon bil Gambar 20. Kenaikan AA secara siginifika
droksil poliol. Kenaikan TEA juga berpeng bilangan hidroksil, namun pada konsentrasi T
emberikan respon yang relatif stabil. Hasil ini m EA lebih besar dari 2,5, kenaikan TEA tid
rti terhadap bilangan hidroksil. Penggunaan k sebesar 3 pada berbagai variasi AA dan w
aruh AA dan TEA pada waktu reaksi 60 80 menit c dan 240 menit d terhadap bila
memberikan informasi lebih lanjut mengenai p ariasi waktu reaksi. Kenaikan waktu reaksi p
h kecil terhadap peningkatan bilangan hidroksil ktu reaksi 60 menit, AA 1,5 dan TEA 0,
a
c
bilangan hidroksil kan meningkatkan
ngaruh signifikan i TEA yang lebih
i mengindikasikan tidak memberikan
katalis diprediksi waktu reaksi.
60 menit a, 120 ilangan hidroksil
i pengaruh TEA i pada AA dan
sil poliol. Sebagai , poliol memiliki
b
d
bilangan hidroksil ku menit dengan kondis
kurang dari 80 mg KO variabel AA dan TEA
Gambar 22 R
Respon bilang Gambar 22 menunju
terhadap peningkatan interaksi antara wak
Gambar 18. Disisi bilangan hidroksil po
TEA juga sejenis de Berdasarkan r
waktu reaksi yang dit hidroksil dipengaruhi
waktu reaksi merupak bilangan hidroksil ak
cukup tinggi. kurang dari 70 mg KOHg, sedangkan pada w
disi AA dan TEA yang sama diperoleh bil KOHg. Pola yang sama terjadi pada hampir se
A.
Respons bilangan hidroksil pada variasi T waktu reaksi
angan hidroksil pada variasi TEA dan wa jukkan kenaikan waktu reaksi tidak berpeng
an bilangan hidroksil, hal yang sama telah dip aktu reaksi dan AA terhadap respon bil
isi lain, kenaikan TEA berpengaruh terh poliol. Pola respon bilangan hidroksil akibat p
dengan pola sebelumya pada Gambar 20. respon bilangan hidroksil akibat variasi A
ditunjukkan oleh Gambar 18, 20 dan 22, penin hi secara dominan oleh variabel AA dan T
akan variabel yang tidak dominan. Meskipun akibat kenaikan waktu reaksi namun kenaika
waktu reaksi 240 bilangan hidroksil
seluruh kombinasi
TEA dan
aktu reaksi pada ngaruh signifikan
diperlihatkan pada ilangan hidroksil
erhadap kenaikan t pengaruh variasi
AA, TEA dan ingkatan bilangan
TEA, sedangkan n terjadi kenaikan
kan tersebut tidak
Gambar 22 m penggunaan AA 1,4
grafik secara umum terhadap bilangan hi
menunjukkan kenaika konsisten pada berba
dominan dibandingka
Gambar 23 Pengar b,
Penggunaan T berdasarkan Gambar
KOHg. Pada Gamba poliol yang dihasilk
KOHg. Sedangkan, p menit, poliol yang di
memperlihatkan pengaruh TEA dan wak 4, 2,9 dan 4,3 terhadap respon bilangan
menunjukkan variasi waktu reaksi tidak ber hidroksil poliol seperti pada grafik respon.
ikan TEA mampu meningkatkan bilangan rbagai level AA yang digunakan. Pengaru
kan pengaruh waktu reaksi terhadap bilangan h
aruh TEA dan waktu reaksi pada AA 1 , dan c 4,3 terhadap bilangan hidroksil
TEA 1 dan waktu reaksi 60 menit, poliol ar 23a memiliki bilangan hidroksil pada kis
bar 23b, penggunaan TEA 1 dan waktu r ilkan memiliki bilangan hidroksil pada kisa
, pada Gambar 23c, penggunaan TEA 1 dan dihasilkan memiliki bilangan hidroksil pada k
a
c
aktu reaksi pada an hidroksil. Pola
berpengaruh nyata n. Grafik kontur
n hidroksil secara ruh TEA lebih
hidroksil poliol.
1,4 a, 2,9
yang dihasilkan kisaran 70-75 mg
reaksi 60 menit, isaran 85-90 mg
n waktu reaksi 60 a kisaran 110-115
b
mg KOHg. Hasil ini menunjukkan AA berpengaruh kuat terhadap bilangan hidroksil poliol yang dihasilkan dalam penelitian ini.
Bilangan hidroksil poliol hasil sintesis yang dihasilkan dari penelitian ini berada pada kisaran 70.23 – 134,92 mg KOHg, lebih rendah dari prediksi teoretis
230 – 240 mg KOHg dengan asumsi fungsionalitas EJP memiliki 3 gugus epoksidamol. Bilangan hidroksil poliol yang lebih rendah diduga disebabkan oleh
terjadinya reaksi-reaksi antara gugus hidroksil yang terbentuk dan gugus epoksida membentuk dimer, trimer atau oligomer. Reaksi oligomerisasi dapat terjadi lebih
cepat dengan adanya H
+
dari asam akrilat. Secara fisik, reaksi oligomerisasi ditandai dengan kenaikan viskositas poliol akibat kenaikan bobot molekul poliol
Ionescu 2005. Dalam penelitian ini, upaya untuk mencegah terjadinya reaksi
oligomerisasi telah dilakukan dengan menambahkan katalis TEA yang bersifat basa sehingga diharapkan dapat menurunkan konsentrasi H
+
dalam campuran reaksi. Mannari Goel 2007, melaporkan poliol yang dihasilkan dari epoksida
minyak kedelai yang secara teoretis memiliki bilangan hidroksil 440-450 mg KOHg, tetapi akibat dari terjadinya reaksi oligomerisasi poliol yang dihasilkan
hanya memiliki bilangan hidroksil pada kisaran 200 – 250 mg KOHg. Hasil tersebut sebanding dengan capaian bilangan hidroksil poliol yang dihasilkan
dalam penelitian ini. Penggunaan TEA selain berfungsi sebagai katalis dan mencegah terjadinya reaksi oligomerisasi, juga berfungsi lebih lanjut dalam
mengkatalis reaksi poliol dengan isosianat dalam reaksi pembentukan poliuretan. Reaksi pembukaan cincin epoksida selain dengan menggunakan asam
akrilat seperti yang telah dilaporkan, juga dapat dilakukan dengan cara hidrolisis, alkoholisis dan hidrogenolisis Ionescu 2005. Reaksi pembukaan cincin epoksida
dengan menggunakan alkohol dapat menghasilkan senyawa beta hidroksi eter dan keton Rios 2003. Hasil transformasi gugus epoksida menjadi gugus hidroksil
pada epoksida minyak nabati lebih dikenal sebagai poliol oleokimia. Penggunaan asam akrilat dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan target aplikasi
produk yang diinginkan yaitu sebagai bahan pelapis poliuretan.
Senyawa beta hidroksi ester yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara EJP dan asam akrilat secara teoretis menyediakan gugus hidroksil sekunder yang dapat
direaksikan dengan isosianat menghasilkan poliuretan. Adanya ikatan rangkap pada rantai ujung ester akrilat memungkinkan terjadinya reaksi lanjutan
menghasilkan polimer dengan bobot molekul yang lebih besar. Gugus akrilat dalam matrik polimer yang akan terbentuk setelah direaksikan dengan isosianat
diharapkan dapat memberikan karakter keras yang dibutuhkan dalam aplikasi pelapis.
Pembuatan Bahan Pelapis Poliuretan
Pembuatan bahan pelapis poliuretan berbasis minyak jarak pagar dilakukan dengan tahap-tahap, yaitu 1 pencampuran poliol dengan pelarut dan
aditif; 2 penambahan isosianat dengan rasio molar ekuivalen dengan poliol; 3 pelapisan pada panel plastik ABS; 4 penguapan pelarut; 5 pengeringan oven
bersuhu 70
o
C selama 30 menit; dan 6 pendinginan. Pembuatan film poliuretan dilakukan dengan tiga jenis poliol, yaitu poliol L.OHV, poliol H.OHV, dan poliol
komersial. Jenis isosianat yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu isosianat A dan isosianat B.
Bahan pelapis poliuretan dalam penelitian ini dibuat dari poliol dari minyak jarak pagar. Poliol yang digunakan pada tahap ini merupakan hasil
sintesis yang dipisahkan menjadi dua kelompok dan dilakukan analisis ulang bilangan hidroksil. Poliol dengan bilangan hidroksil 81,28 mg KOHg disebut
dengan poliol L.OHV, sedangkan poliol dengan bilangan hidroksil 117,43 mg KOHg disebut dengan poliol H.OHV.
Lapisan film poliuretan dari poliol hasil sintesis menampakkan warna film agak kekuningan dibandingkan film poliuretan dari poliol komersial. Warna
kuning pada poliol sintesis diduga disebabkan adanya pengotor dalam bahan baku poliol. Penyempurnaan proses preparasi bahan baku minyak jarak pagar diprediksi
dapat mengurangi timbulnya warna kuning pada film poliuretan. Hasil analisis lapisan film poliuretan yang dihasilkan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil Uji Film Poliuretan Jenis Poliol
Jenis Isosianat
Daya Kilap
a
Tingkat kekerasan
b
Daya rekat Adhesi
c
L.OHV Iso A
90
1
93
2
91
3
3
1
3
2
3
3
90
1
95
2
95
3
Iso B 91
1
89
2
85
3
3
1
3
2
2
3
98
1
91
2
86
3
H.OHV Iso A
90
1
90
2
88
3
3
1
3
2
4
3
94
1
90
2
91
3
Iso B 89
1
91
2
94
3
3
1
4
2
3
3
96
1
92
2
89
3
Komersial Iso A
95
1
97
2
94
3
3
1
3
2
4
3
100
1
98
2
100
3
Iso B 96
1
99
2
96
3
4
1
4
2
3
3
99
1
95
2
97
3
Keterangan :
1
ulangan ke-1;
2
ulangan ke-2;
3
ulangan ke-3
a
diukur dengan glossmeter bersudut 60
o b
data hasil konversi diukur dengan Mitsubishi pencil hardness
c
diukur dengan
metode crosscut test
Dalam teknologi poliuretan, bilangan hidroksil didefinisikan sebagai banyaknya gugus hidroksil yang dapat bereaksi dengan isosianat Ionescu 2005.
Persen hidroksil OH juga dapat digunakan untuk menunjukkan banyaknya gugus hidroksil dalam poliol. Konversi bilangan hidroksil menjadi OH dapat
dilakukan dengan membagi bilangan hidroksil dengan 33. Jika bilangan hidroksil poliol dan kandungan NCO dalam isosianat diketahui, maka dapat dihitung
jumlah stoikiometrik poliol dan isosianat yang ekuivalen menggunakan persamaan berikut:
dengan, a = bobot isosianat
b = bobot poliol x = NCO dalam isosianat
y = OH dalam poliol
Berdasarkan perhitungan di atas, bobot poliol dan isosianat yang digunakan dalam formulasi dapat ditentukan secara tepat. Perhitungan ini perlu
dilakukan untuk mencegah kelebihan salah satu komponen terhadap komponen lainnya yang dapat berpengaruh terhadap kualitas film poliuretan. Pembuatan film
poliuretan diawali dengan pencampuran poliol dengan pelarut, aditif, dan dilanjutkan dengan pencampuran dengan isosianat.
Kelebihan jumlah komponen poliol dalam formulasi poliuretan menyebabkan adanya sisa gugus hidroksil yang tidak bereaksi dengan isosianat.
Lapisan film poliuretan yang mengandung sisa gugus hidroksil mengakibatkan terbentuknya rantai polimer yang tidak sempurna. Dalam tahap awal polimerisasi,
sisa gugus hidroksil menyebabkan lapisan film lambat kering, sedangkan lapisan film dengan gugus hidroksil bebas cenderung bersifat hidrofil sehingga mudah
rusak oleh pengaruh uap air. Kelebihan jumlah komponen isosianat dalam formulasi poliuretan menyebabkan lapisan film poliuretan rapuh karena sisa
isosianat dalam lapisan film bereaksi dengan uap air dari udara.
Gambar 24 Pengaruh Rasio Molar [NCO][OH] terhadap bobot molekul rata-rata poliuretan
Menurut Ionescu 2005, reaksi pembentukan poliuretan termasuk reaksi poliadisi sehingga rasio antara gugus reaktif dalam hal ini adalah rasio NCO
terhadap gugus hidroksil memiliki pengaruh yang kuat terhadap bobot molekul poliuretan yang dihasilkan. Bobot molekul optimal dapat diperoleh pada rasio
molar [NCO][OH] = 1. Kelebihan sedikit salah satu komponen poliol atau B
obo t
m ol
ek u
l r at
a- ra
ta
0.5 1 1.5 Rasio molar [NCO][OH]
OH terminated polyurethane
-NCO terminated polyurethane
isosianat, secara drastis menurunkan bobot molekul poliuretan yang dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar 24.
Lapisan film poliuretan yang terbentuk merupakan hasil reaksi gugus hidroksil pada poliol dengan gugus NCO pada isosianat membentuk ikatan uretan.
Reaksi poliol dengan isosianat membentuk ikatan uretan dapat dilihat pada Gambar 8. Sisa katalis TEA yang masih ada pada poliol sintesis dapat berfungsi
sebagai katalis dalam reaksi ini. Lapisan film poliuretan yang terbentuk selanjutnya dianalisis daya kilap, tingkat kekerasan dan daya rekatnya.
Berdasarkan hasil analisis keragaman pada lampiran 9, 10 dan 11 diketahui bahwa jenis poliol dan jenis isosianat yang digunakan hanya
berpengaruh terhadap daya kilap dan tingkat kekerasan. Daya kilap lapisan film yang berasal dari poliol komersial secara statistik tampak lebih baik dibandingkan
dengan poliol hasil sintesis, tetapi secara visual relatif seimbang Gambar 25.
Gambar 25 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap daya kilap lapisan film
Selanjutnya berdasarkan analisis keragaman pada Lampiran 9, jenis isosianat tidak berpengaruh terhadap daya kilap film poliuretan yang dihasilkan
secara signifikan, tetapi nampak dari Gambar 25, penggunaan isosianat A pada poliol L.OHV menghasilkan film dengan daya kilap lebih baik dibandingkan pada
poliol H.OHV, tetapi penggunaan isosianat B berpengaruh sebaliknya.
50 60
70 80
90 100
L.OHV H.OHV
Komersial
Jenis Poliol D
a y
a K
il a
p
Iso A Iso B
Daya kilap lapisan film tergantung pada tingkat kehalusan lapisan film kering yang terbentuk Talbert 2008. Permukaan lapisan film yang halus dapat
menghasilkan daya kilap yang tinggi, sebaliknya permukaan lapisan film yang kasar menghasilkan daya kilap rendah. Daya kilap juga didefinisikan kemampuan
permukaan lapisan film untuk memantulkan kembali sejumlah cahaya. Kekerasan merupakan ukuran ketahanan film terhadap lekukan
permukaan, gesekan, dan goresan. Sifat mekanis ini sangat penting bagi lapisan film untuk bertahan dari keausan akibat gesekan dan goresan. Menurut Marino
2003, kekerasan sangat diperlukan baik pada lapisan film yang digunakan untuk pemakaian di dalam interior maupun untuk pemakaian di luar eksterior.
Gambar 26 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan Isosianat yang berbeda terhadap tingkat kekerasan lapisan film
Gambar 26 menunjukkan tingkat kekerasan lapisan film bahan pelapis poliuretan yang berasal dari poliol dengan nilai bilangan hidroksil yang tinggi
cenderung memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan bilangan hidroksil meningkatkan kemampuan pembentukan
ikatan dengan isosianat. Semakin banyak ikatan jaringan yang terbentuk dalam matrik polimer, maka semakin keras lapisan film yang dihasilkan. Analisis
keragaman pada Lampiran 10 menunjukkan, jenis poliol dan jenis isosianat tidak berpengaruh terhadap tingkat kekerasan film poliuretan yang dihasilkan.
1 2
3 4
L.OHV H.OHV
Komersial
Jenis Poliol T
in g
k a
t K
ek er
a sa
n
Iso A Iso B
Tingkat kekerasan film poliuretan dari poliol komersial menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan film poliuretan dari poliol sintesis dengan
bilangan hidroksil yang bersesuaian meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Karakteristik struktur kimia poliol diduga menjadi penyebab munculnya fakta ini.
Film poliuretan dari poliol sintesis memiliki struktur yang cenderung meruah karena berasal dari turunan trigliserida, sehingga gaya antar molekul menjadi
lebih lemah dibandingkan dengan poliol komersial yang memiliki struktur relatif linier. Gaya antar molekul pada poliol komersial yang lebih kuat menyebabkan
penataannya didalam matriks polimer lebih rapat sehingga secara fisik menjadi lebih keras.
Menurut Mannari Massingill 2006, pada poliuretan berbasis minyak nabati, tingkat kekerasan film poliuretan cenderung meningkat dengan
peningkatan bilangan hidroksil. Tingkat kekerasan yang lebih tinggi disebabkan oleh meningkatnya kerapatan ikatan silang yang terbentuk dalam matrik polimer.
Dalam penelitian ini, poliuretan dari poliol H.OHV terbukti memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan poliuretan yang berasal dari poliol
L.OHV. Perbedaan jenis isosianat yang digunakan juga turut berpengaruh terhadap tingkat kekerasan lapisan film poliuretan terutama pada poliuretan yang
berasal dari poliol dengan bilangan hidroksil yang lebih rendah.
Gambar 27 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap daya rekat lapisan film
50 60
70 80
90 100
L.OHV H.OHV
Komersial
Jenis Poliol D
a y
a r
ek a
t
Iso A Iso B
Gambar 27 memperlihatkan pengaruh jenis poliol pada penggunan isosianat yang berbeda terhadap daya rekat lapisan film poliuretan. Lapisan film
yang berasal dari poliol komersial memiliki daya rekat yang lebih baik dibandingkan film dari poliol hasil sintesis. Perbedaan bilangan hidroksil antara
poliol L.OHV dan H.OHV tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap daya rekap lapisan film. Penggunaan Isosianat jenis A cenderung meningkatkan
daya rekat pada poliol dengan bilangan hidroksil yang lebih kecil L.OHV dan poliol komersial.
Menurut Baghdachi 1997, daya rekat antara film pelapis dan media dapat ditimbulkan oleh gaya ikatan primer ikatan kimia, gaya ikatan sekunder ikatan
hidrogen, gaya dispersi, dipol dan induksi, dan perekatan secara mekanis pori- pori atau kombinasinya. Daya rekat tersebut sangat tergantung pada sifat
permukaan media serta jenis resinpolimer yang digunakan. Daya rekat film yang baik dapat tercapai bila terjadi ikatan antara media dengan resinpolimer. Menurut
Backman Linberg 2002, untuk mendapatkan ikatan yang baik media dan polimer harus bersifat kompatibel dan dapat membangun beberapa macam gaya
ikatan. Berdasarkan hal tersebut di atas, daya rekat yang cukup baik lapisan film poliuretan dalam media lembaran ABS disebabkan oleh terbentuknya gaya-gaya
ikatan antara lembaran ABS dengan film poliuretan. Dari hasil analisis di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan jenis poliol
berpengaruh terhadap kualitas lapisan film poliuretan yang dihasilkan. Sebaliknya, jenis isosianat terlihat tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kualitas lapisan film poliuretan.
Analisis Spektrofotometer Inframerah
Hasil analisis spektrofotometer inframerah yang dilakukan terhadap sampel EJP, poliol hasil sintesis, poliol komersial, isosianat, film poliuretan dari
poliol hasil sintesis, dan film poliuretan dari poliol komersial disajikan pada Lampiran 12. Tabulasi data bilangan gelombang yang bersesuaian dengan gugus
fungsi spesifik pada masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 7.
Pada pembahasan sebelumnya diketahui bahwa reaksi epoksidasi EJP menghasilkan poliol sintesis secara kimia dibuktikan oleh penurunan bilangan
oksirana dan adanya bilangan hidroksil. Berdasarkan data serapan inframerah yang ditunjukkan pada Tabel 9, EJP menampakkan serapan –OH, C-O, C=O,
epoksi, dan -OH sekunder berturut-turut pada bilangan gelombang 3472 cm
-1
, 1169 dan 1241 cm
-1
, 1743 cm
-1
, 1169 dan 723 cm
-1
, dan 1377 dan 1241 cm
-1
. Adanya serapan-serapan yang mengindikasikan adanya gugus –OH menunjukan
sebagian epoksida yang terbentuk telah teroksidasi. Salah satu produk oksidasi epoksida tersebut teridentifikasi sebagai gugus hidroksil.
Tabel 7 Data korelasi bilangan gelombang serapan inframerah terhadap
gugus fungsi Gugus
fungsi Bilangan gelombang cm
-1
A B
C D
E F
-OH 3472
3521 3673
- -
- N-H
- -
- 3339
3339 3369
C-O 1169
1241 1169
1242 1165
1237 -
1177 1237
1245 C=O
1743 1743
1731 1716
1717 1716
isosianat -
- 2361
2270 2271
2338 epoksi
1169 723
1169 723
1165 847
- -
- -OH
sekunder 1377
1241 1376
1242 1382
- 1374
1245 -C-H
2854 2925
2854 2925
2945 3026
3060 2860
2936 2928
2856 2956
uretan -
- 1499
- 1537
1450 Keterangan:
A : epoksida jarak pagar EJP B : Poliol hasil sintesis
C : Poliol komersial D : Isosianat
E : Film poliuretan dari poliol hasil sintesis F : Film poliuretan dari poliol komersial
Spektrum poliol hasil sintesis menunjukkan adanya serapan gugus –OH, C-O, C=O, epoksi, dan -OH sekunder berturut-turut pada bilangan gelombang
3521 cm
-1
, 1169 dan 1242 cm
-1
, 1743 cm
-1
, 1169 dan 723 cm
-1
, dan 1376 dan
1242 cm
-1
. Masih munculnya pita serapan epoksida menunjukkan didalam sampel masih mengandung gugus epoksida yang diduga disebabkan gugus epoksida pada
EJP yang belum bereaksi. Adanya pita serapan –OH sekunder menunjukkan gugus hidroksil yang terbentuk pada poliol berikatan dengan atom C sekunder.
Dugaan ini memperkuat hasil penelitian Petrovic
et al.
2002, bahwa pembuatan poliol melalui tahapan epoksida dapat menghasilkan poliol dengan gugus
hidroksil pada posisi sekunder. Poliol komersial menunjukkan pola serapan inframerah yang mirip dengan
poliol sintesis, tetapi terdapat perbedaan dengan adanya serapan gugus uretan pada kombinasi bilangan gelombang 1499 cm
-1
. Adanya serapan uretan pada poliol komersial diduga jenis poliol komersial yang digunakan dalam penelitian
ini mengandung campuran poliol dan prepolimer poliuretan. Prepolimer ini biasanya ditambahkan dalam poliol untuk meningkatkan reaktifitas dengan
isosianat dan mempertinggi berat molekul polimer poliuretan yang terbentuk. Analisis pita serapan inframerah dari isosianat menunjukkan adanya
serapan N-H, C=O, dan isosianat berturut-turut pada bilangan gelombang 3339 cm
-1
, 1716 cm
-1
, dan 2270 cm
-1
. Serapan pada bilangan gelombang 2270 cm
-1
adalah pita serapan karakteristik dari isosianat seperti yang dilaporkan oleh Kong Narine 2007.
Analisis serapan inframerah pada lapisan film poliuretan yang berasal dari poliol sintesis dan komersial menunjukkan adanya serapan yang hampir sama.
Perbedaan intensitas serapan antara film dari poliol sintesis dan komersial pada bilangan gelombang 2271 cm
-1
dan 2338 cm
-1
yang menunjukkan serapan karakteristik isosianat disebabkan oleh perbedaan laju reaksi isosianat dengan
poliol yang bersesuaian. Intensitas serapan isosianat pada poliol sintesis nampak lebih tinggi dibandingkan pada Poliol komersial karena laju reaksi
polimerisasinya lebih lambat. Laju reaksi yang lebih cepat pada film dari poliol komersial didukung oleh adanya campuran prepolimer pada Poliol yang telah
dijelaskan sebelumnya. Sisa isosianat yang belum bereaksi pada film poliuretan yang terbentuk
akan bereaksi dengan sisa poliol yang masih ada pada matriks polimer yang ada
dan uap air disekitarnya. Masih adanya serapan –OH sekunder pada film poliuretan menunjukkan progres reaksi yang belum sempurna dari matrik polimer.
Hilangnya serapan karakteristik dari isosianat dapat digunakan untuk memprediksi berakhirnya reaksi polimerisasi pada matriks poliuretan.
Dalam teknologi poliuretan, posisi gugus hidroksil berpengaruh terhadap reaktifitasnya dengan isosianat. Poliol dengan gugus hidroksil primer lebih reaktif
daripada poliol dengan gugus hidroksil pada posisi sekunder. Perbedaan reaktifitas ini menentukan jenis aplikasi dari poliuretan. Poliol dengan gugus
hidroksil pada posisi sekunder berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pelapis poliuretan, karena memiliki reaktifitas terhadap isosianat yang lebih
rendah pada suhu ruang. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Kong Narine 2007, poliol dari minyak Canola dengan gugus hidroksil pada posisi primer
dapat digunakan untuk bahan plastik poliuretan karena memiliki reaktifitas yang lebih tinggi daripada poliol dengan gugus hidroksil pada posisi sekunder.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Poliuretan dapat dibuat dari poliol minyak jarak pagar dan isosianat. Poliol disintesis dari minyak jarak pagar dengan reaksi epoksidasi dilanjutkan dengan
reaksi pembukaan cincin epoksida menggunakan asam akrilat AA berkatalis trietilamin TEA. Poliol dari minyak jarak pagar ini merupakan salah satu bahan
alternatif non petrokimia yang dapat digunakan dalam teknologi bahan pelapis poliuretan.
Poliol disintesis dari minyak jarak pagar melalui pembentukan epoksida minyak jarak pagar EJP dilanjutkan dengan reaksi pembukaan cincin epoksida
dengan AA dilakukan pada berbagai ragam AA, TEA dan waktu reaksi. Bilangan hidroksil, bilangan oksirana dan rendemen poliol yang dihasilkan
berturut-turut berkisar 70.23-134,92 mg KOHg, 0,029-0,138, dan 58,93- 91,53. Rata-rata bilangan hidroksil, bilangan oksirana, dan rendemen poliol
yang dihasilkan berturut-turut adalah 97,42 mg KOHg, 0,067, dan 80,24. Persen AA dan TEA memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap bilangan
hidroksil poliol dibandingkan dengan waktu reaksi. Pada pembuatan film poliuretan, jenis poliol berpengaruh terhadap daya
kilap, tingkat kekerasan, dan daya rekat lapisan film poliuretan yang terbentuk. Jenis isosianat tidak berpengaruh terhadap daya kilap, tingkat kekerasan, dan daya
rekap lapisan film. Secara visual, kualitas lapisan film poliuretan yang diperoleh dari poliol L.OHV dan H.OHV relatif sama dengan poliuretan dan poliol
komersial.
Saran
Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut terhadap kualitas poliuretan berbasis minyak jarak pagar menggunakan parameter yang lebih lengkap sesuai
dengan standar industri bahan pelapis poliuretan.
DAFTAR PUSTAKA
Adebowale KO Adedire CO. 2006. Chemical composition and insecticidal properties of the underutilized
Jatropha curcas
seed oil.
African Journal of Biotechnology
105:901-906. Arthur AT. 2007.
Coatings technology: fundamentals, testing, and processing techniques.
USA: Taylor Francis Group, LLC. [BPS] Biro Pusat Statistik 1998.
Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Vol 2, 1989 – 1998
. Backman AC, Linberg KAH. 2002. Interaction between wood and polyurethane
alkyd lacquer resulting in a decrease in the glass transition temperatur.
J.Appl.Polym Sci Part A: PolymerChem
36:391-400. Baghdachi JA. 1997. Fundamental of Adhesion.
Journal of Coating Tech
69: 85- 91.
Broshears WC, JJ Esteb, J Richter, and AM Wilson 2004. Simple epoxide formation for the organic laboratory using oxone.
Journal of Chemical Education
81:1-5. Budi FS. 2001. Pengembangan Proses Konversi Minyak Sawit CPO menjadi
Polyurethane. [tesis] Bandung: Jurusan Teknik Kimia, Intitut Teknologi Bandung.
Campanella A, Baltanas MA. 2005. Degradation of the Oxirane Ring of Epoxidized Vegetable Oils in Liquid System: I.Hydrolysis and Attack by
H
2
O
2
.
Latin American Applied Research
. 35:205-210. Chasar DW, Sagamore H, Hughes MJ, penemu; Noveon Inc. 8 Mei 2003.
Method of Making Oleochemical Oil-based Polyols. US Patent 0 088 054. Chou T, Chang J 1986. Acetic acid as an oxygen carrier between two phases for
epoxidation of oleic acid.
Chem Eng. Commun.
41:253-266. Cowd MA, Stark JG. 1991.
Kimia Polimer. Bandung
: Penerbit ITB Dryuk VG. 1976. The mechanism of epoxidation of olefin by peracid.
Tetrahedron
32:2855-2866. Edenborough M. 1999.
Organic Reaction Mechanisms a step by step approach.
Second edition. USA: Taylor Francis Inc. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986.
Kimia Organik
. Jilid 1, penerjemah Pudjatmaka AH. Jakarta: Erlangga.
Fies M, Endres H, Ronald K. 2007.
UV Curing resins based on renewable raw materials
. Germany: Cognis Deutschland GmbH. Gall RJ, Greenspan FP. 1955. Epoxy fatty acid ester plasticizer.
Industrial and Engineering Chemical
45:2722-2726. Gan LH, Goh SH, Ooi KS. 1992. Kinetic studies of epoxidation and oxyrane
cleavage of palm olein methyl esters.
J. Am. Oil Chem. Soc.
69:347-351. Goud VV, Patwardhan AV, Pradan NC. 2005. Studies on the epoxidation of
mahua oil
madhumica indica
by hydrogen peroxide.
Bior. Tech.
12:1365- 1371.
Gubitz GM, Mittelbach M, and Trabi M, 1999. Exploitation of the tropical seed plant
Jatropha curcas L
.
BioresourceTechnology
: 67:1-7. Guner FS, Yusuf Y, Erciyes AT. 2006. Polymers from triglyceride oils.
Prog. Polym. Sci.
31:633-670. Hambali E.
et al.
2006.
Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel
. Jakarta: Penebar Swadaya.
Haya MD. 1991. Mempelajari pembuatan senyawa epoksi dari minyak kelapa sawit kasar dan fraksinya [skripsi]. Bogor: Fateta IPB.
Heller J. 1996. Physic nut
Jatropha curcas L.
promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. I. Institut of plant genetics and
crop plant research gaterslebenInternational plant genetic resources institut, Rome. 66 pp.
Hill K. 2000. Fats and Oils as Oleochemical raw materials.
Pure Appl. Chem
. 72:1255-1264.
Hoong SS.
et al.
2005. Palm based polyol for coating.
MPOB Information Series
. 278:1-3.
IAL Consultant 2001.
Global overview of the polyurethane CASE markets
. North American office: Publication May 2001.
Ionescu M. 2005.
Chemistry and Technology of Polyols for Polyurethanes
. United Kingdom: Rapra Technology Limited.
Iriawan N, Astuti SP. 2006.
Mengolah data statistik dengan mudah menggunakan Minitab 14.
Yogyakarta: Andi Offset.
Isaacs NS. 1974.
Reactive Intermediates in Organic Chemistry.
London: John Wiley and Sons.
Kaushiva BD, Moore MN. 2006. penemu; Bayer Material Science LLC 100 Bayer Road Pittsburg, PA. 19 Oktober 2006. Polyurethane foams made with
vegetable oil hydroxylate, polymer polyol and aliphatic polyhydroxy alcohol. US Patent 0 235 100 A1.
Kirk RE, Othmer DF. 1951.
Encyclopedia of Chemical Technology
. Volume ke-8. Ed ke-2. New York: J Wiley
Kong X, Narine SS. 2007. Physical properties of polyurethane plastic sheets produced from polyols from canola oil.
Biomacromolecules
8:2203-2209. Kricheldorf HR, Oscar N, Graham S. 2005.
Handbook of polymer synthesis
. New York: Marcel Dekker.
Lane BS, Burgess K. 2002. Metal-catalysed epoxidation of alkenes with hydrogen peroxide.
J. Am Chem Soc.
103:2457-2474. Lye OT, Norin ZKS, Salmiah A. 2006. Production of Moulded Palm-Based
Flexible Polyurethane Foams.
Journal of Palm Research
. 18:198-203. Mannari V, Massingill JL. 2006. Two Component High Solid Polyurethane
Coating System based on Soy Polyol.
Journal of Coating Technology Research
. Mannari V, Goel A. 2007. Novel vegetable oil-based functional intermediates for
advanced coating systems.
Renewable resources and biorefinnery conference-RRB-III
: Belgium. March J. 1992.
Advances Organic Chemistry Reactions, Mechanism, and Structure
. fourth Ed. New York: John Wiley and Sons. Marino S. 2003. All about oil based varnish. http:www.wordworking.com [9
Maret 2003]. Massingill, 2006. High performance low VOC coating. Final Report Seminar,
Institute for environmental and industrial science, Texas State University. Meyer P.
et al.
2008. Epoxidation of Soybean Oil and Jatropha Oil.
Thammasat Int J Sc Tech
13:1-5. Mulyani A, Agus F, Allelorung D. 2006. Potensi sumber daya lahan untuk
pengembangan jarak pagar
Jatropha curcas L.
di Indonesia.
Jurnal Litbang Pertanian
25:1-18.
Narine SS, Jin Y, Xiaohue K. 2007. Production of Polyols from Canola Oil and their Chemical Identification and Physical Properties.
J. Amer Oil Soc.
84:173-179. Petrovic ZS, Zlatanic A, Lava CC, Sinadinovic-Fiser S. 2001.
Epoxidation of soybean oil in toluene with peroxoacetic and peroxoformic acids – Kinetics
and side reactions
. Kansas: Pitsburg State University, Kansas Polymer Reasearch Center.
Petrovic ZS, Ivan JJ. penemu; Pittsburg State University. 4 Juni 2002. Process for the synthesis of epoxidized natural oil-based isocyanate prepolymer for
application in polyurethanes. Patent. US 6,399,698 B1. Petrovic ZS, Ivan JJ, Guo A. 2002. Laminates from the soy based polyurethanes
and natural sintetic fibers.
Mat. Res. Soc. Symp. Proc.
702:1-5. Petrovic ZS, Zhang W, Javni I. 2005. Structure and properties of polyurethanes
prepared from triglyceride polyols by ozonolysis.
Biomacromolecules
6:713–719. Prociak AF, Bagdal D. 2006. Microwave-Enhanced Synthesis of Vegetable Oil-
Based Polyols for Polyurethane Applications [abstract]. Cracow University of Technology, Department of Chemistry and Technology of Polymers, ul.
Warszawska 24, Krakow 31-155 Poland.
Rangarajan B, Havey A, Grulke EA, Culnan PD. 1995. Kinetic parameters of a two-phase model for
in situ
epoxidation of soybean oil.
J. Am. Oil Chem. Soc.
72:1161-1169. Rios LA. 2003. Heterogeneously catalysed reactions with vegetable oils:
epoxidation and nucleophilic epoxide ring-opening with alcohol [disertasi]. Aachen: The Institute of Chemical Technology and Heterogeneous
Catalysis. University RWTH.
Royall EE, Harrel JR. 1955. Oxigenated Derivatives of D-
α
-pinene and d- limonene. Preparation and use of monoperpthalat acid.
J. Chem. Soc.
77:3405-3408. Rupilius W, Ahmad S. 2007. The changing world of oleochemical. Malaysian
Palm Oil Board. [terhubung berkala] http:mpob.gov.my [02 Juli 2007]. Shah S, Shanna S, Gupta MN. 2003. Biodiesel preparation by lipase-catalysed
transesterification of jatropha oil.
Energy Fuels
18:154-159. Solomon TWG. 1980.
Organic Chemistry.
Edisi ke-2. New York: John Wiley. Sudjana 1994.
Desain dan Analisis Eksperimen
. Bandung: Tarsito
Sugita P, Sjahriza A, Arifin B, Suharto J. 2007a.
in press.
Optimization of
Jatropha curcas L.
methyl ester epoxidation with Amberlite IR-120 catalyst [Presented in ICOWOBAS UNAIR Surabaya 7-8 Agustus 2007]
Sugita P, Sjahriza A, Arifin B, Suharto J. 2007b.
in press.
Kinetic study of
Jatropha curcas L
. methyl ester epoxidation reaction with Amberlite IR-120 catalyst. [Presented in ICOWOBAS UNAIR Surabaya 7-8 Agustus 2007]
Szycher M. 1999.
Isocyanate chemistry
, sycher’s handbook of poliuretans. CRC Press, New York, pp 4–1 to 4–40.
Talbert R. 2008.
Paint Technology Handbook
. CRC Press Taylor and Francis Group USA.
Thomson T. 2005.
Polyurethane as specialty chemicals
:
principles and applications
. USA: CRC Press LLC. Wijanarko A, Alfa A, Budi S. 2004. Perancangan Awal Pabrik Polyurethane
Berbasis Minyak Jarak di Indonesia.
Jurnal Teknologi
. 2:109-119. Wilkes GL, Sohn S, Tamami B. penemu; Virginia Tech Intellectual Properties,
Inc. 16 Mei 2006. Nonisocyanate polyurethane materials, and their preparation from epoxidized soybean oils and related epoxidized vegetable
oils, incorporation of carbon dioxide into soybean oil, and carbonation of vegetable oils. US Patent. 7,045,557 B2.
Wood W, Termini 1958. Ion exchange resin catalyst stability in
in-situ
epoxidation.
JAOCS
35:331-335. Wool RP, Khot SN. 2007. Bio-based Resins and Natural Fibers. Publication is
copyrighted by ASM International. Material Park, Ohio, USA. [terhubung berkala] http:www.asminternational.org [14 April 2007].
Lampiran 1 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian
Minyak jarak pagar
Epoksidasi
Analisis bilangan Iod, bilangan oksirana, dan analisis IR
Epoksida minyak jarak pagar EJP
Pembuatan poliol variasi nisbah asam akrilat : EJP;
TEA; dan waktu reaksi
Poliol Analisis bilangan hidroksil,
bilangan oksirana, Rendemen dan analisis IR
Bilangan hidroksil?
Poliol L.OHV
Poliol H.OHV
Poliol Komersial
Pembuatan Film poliuretan Variasi jenis poliol dan jenis isosianat
rata-rata
rata-rata
Film poliuretan
Uji daya kilap, tingkat kekerasan dan daya rekat
Lampiran 2 Diagram Alir Pembuatan Epoksida Minyak Jarak Pagar
100 g Minyak jarak pagar
57,8 g H
2
O
2
Ya Netralisasi
campuran 8 mL Asam asetat
glasial
29 mL Toluena
3 Amberlite IR-120
Epoksidasi 12 jam, 70±2
o
C Pencampuran
10 menit, suhu ruang
Larutan Pemisahan dengan
corong pisah
Pencucian
Pencampuran
Epoksida minyak jarak pagar EJP
Air Na
2
SO
4
anhidrat Dekantasi
Fasa organik?
Tidak dibuang
Analisis bilangan Iod, bilangan oksirana, dan analisis IR
Lampiran 3 Diagram Alir Pembuatan Poliol
100 g EJP
Ya Netralisasi
campuran TEA 0,
1, 2 dan
AA 2,1g; 4,3g; 6,5g
Toluena
Reaksi pembukaan cincin epoksida
60, 120, 180 dan 240 menit
Pencampuran 10 menit, suhu ruang
Larutan Pemisahan dengan
corong pisah
Pencucian Pemanasan
50±2
o
C
Poliol Air
Na
2
SO
4
anhidrat Dekantasi
Fasa organik?
Tidak dibuang
Analisis bilangan hidroksil, bilangan oksirana, Rendemen dan analisis IR
Pencampuran
Lampiran 4 Diagram Alir Pembuatan Bahan Pelapis Poliuretan
Poliol L.OHV, H.OHV dan
Komersial
Aplikasi Isosianat A dan
isosianat B Aditif
Pelarut
Pencampuran 3 menit, suhu
ruang Pencampuran
10 menit, suhu ruang
Panel ABS
Penguapan Pelarut 15 menit, suhu
kamar Pengeringan oven
70
o
C, 30 menit Pendinginan 24
jam, suhu ruang
Film Poliuretan
Uji daya kilap, tingkat kekerasan, daya rekat dan analisis IR
Bahan pelapis poliuretan
Lampiran 5 Prosedur Analisis
1. Analisis bilangan hidroksil poliol Budi F.S. 2001
Bilangan hidroksil didefiniskan sebagai jumlah miligram KOH yang ekivalen terhadap kandungan hidroksil sampel berdasarkan pada berat minyak atau lemak yang
tidak terasetilasi. Bahan yang digunakan: asam asetat anhidrid, larutan NaOH, sampel poliol, aquades, indikator PP. Alat yang digunakan : erlenmeyer 500 mL, tabung reaksi
dengan tutup segelnya, bekerglass 250 mL, buret 50 mL, pendingin balik, hot plate, pipet ukur 5 mL, neraca dan oven.
Sampel poliol sebanyak 2,8 – 3,2 g dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan dengan 1 - 1,2 g 0,9 – 1,1 mL asam asetat anhidrid. Tabung reaksi ditutup
dengan rapat disegel dan dikocok sampai rata. Campuran dipanaskan 2 jam pada posisi vertikal dalam oven pada suhu 150 ± 5
o
C kemudian didinginkan. Campuran yang diperoleh dituangkan ke dalam erlenmeyer 500 mL yang berisi 50 mL air. Tabung dan
tutup dibilas dengan air panas dan kemudian dengan air dingin sampai volume ± 200 mL. Campuran dididihkan dibawah pendingin balik, didinginkan dan pendingin balik
dibilas. Campuran yang telah dingin dititrasi dengan larutan NaOH 0,5 N dan indikator PP 10 tetes. Standarisasi dilakukan dengan mellakukan run blank pada asam asetat
anhidrid prosedur sama tetapi tidak menggunakan poliol dan pemanasan. Jika sampel mengandung asam lemak bebas harus dilakukan koreksi.
Bilangan OH
-
= V
1
-V
2
x N
2
x 56,1 W + V
3
x N
3
x 56,1B Keterangan:
W = berat sampel untuk asetilasi g B = berat sampel untuk titrasi keasaman sampel g
V
1
= volume NaOH untuk titrasi blangko mL V
2
= volume NaOH untuk titrasi sampel terasetilasi mL V
3
= volume KOH untuk titrasi keasaman sampel mL. N
2
= normalitas larutan NaOH N
3
= normalitas larutan KOH.
2. Analisis bilangan oksirana