xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan, demikianlah yang tercantum dalam penegasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah sebagai Negara
Hukum yang menghendaki bahwa hukum itu harus ditegakkan, yang artinya bahwa hukum itu harus dihormati dan ditaati oleh siapapun juga tanpa kecuali
baik oleh seluruh warga masyarakat ataupun oleh penguasa negara yang juga sebagai pembuat hukum itu sendiri. Penegakan hukum merupakan salah satu
usaha untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan suatu usaha pencegahan ataupun penindakan
setelah terjadinya suatu pelanggaran hukum, dengan kata lain hukum itu harus dilaksanakan baik secara preventif maupun represif.
Dalam penerapan hukum sering terjadi suatu penyimpangan- penyimpangan atau pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang berlaku di
Indonesia yang dapat mengakibatkan terganggunya ketertiban, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut sangatlah
dibutuhkan suatu penegakan hukum agar tercapai kepastian dan keadilan atas hukum yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat
menciptakan ketertiban, keamanan dan ketentraman didalamnya. Suatu upaya penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan dapat
mencapai hasil yang maksimal, hal ini tergantung dari beberapa aspek yang dapat mempengaruhinya. Aspek yang pertama adalah diperlukannya aparat
penegak hukum yang mampu menerapkan dan menegakkan hukum secara baik, yang dalam hal ini dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Aspek yang
kedua adalah hukumnya itu sendiri yang berupa peraturan perundang- 1
xiv undangan dan peraturan lain diluar Undang-undang misalnya : kebiasaan atau
adat, yurisprudensi. Aspek lainnya yang juga dapat mempengaruhi penegakan hukum adalah kesadaran hukum dari masyarakat serta pemerintah selaku
pengambil kebijakan dalam menjalankan pemerintahannya. Kesadaran hukum masyarakat haruslah dimulai dari lingkup yang
paling kecil yaitu lingkup di lingkungan keluarga. Dalam suatu lingkungan keluarga besar terdapat anggota-anggota keluarga diantaranya adalah ayah,
ibu, kakek, nenek, paman, bibi, anak dan lain-lain anggota keluarga. Namun banyak juga dalam keluarga kecil yang hanya terdapat ayah, ibu dan anak.
Ayah sebagai seorang kepala keluarga yang memimpin suatu keluarga. Ibu yang bertugas sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban mengurus rumah.
Dalam lingkungan keluarga ayah ibu sebagai pasangan suami istri haruslah bisa menjaga keharmonisannya. Apabila pasangan suami istri tidak
bisa menjaga hubungan dengan baik maka yang timbul adalah suatu pertengkaran dalam lingkungan keluarga. Pertengkaran dalam lingkungan
keluarga dapat menimbulkan kejahatan dalam lingkungan keluarga yang mana kejahatan ini sangatlah banyak terjadi namun jarang sekali yang terungkap
karena dianggap sebagai urusan pribadi keluarga. Hal tersebut juga dikarenakan oleh kebiasaan masyarakat yang cenderung menutup-nutupi atau
disembunyikan dari khalayak umum karena memang dianggap suatu aib keluarga.
Kejahatan yang timbul dalam lingkungan keluarga antara lain kekerasan fisik, pemukulan oleh suami, penganiayaan, kekerasan psikis dan
bahkan perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya maupun terhadap anaknya. Perkosaan yang dilakukan oleh suami pada umumnya
ditutup oleh korban, karena hanya dianggap sebagai urusan keluarga. Mungkin banyak orang tidak dapat menerima kalau seorang suami dianggap
memperkosa istrinya. Dalam anggapan mereka istri tidak selayaknya menolak suaminya yang menginginkan hubungan seksual. Dengan kata lain mereka
xv menganggap seorang istri harus selalu bersedia diajak berhubungan suami istri
untuk memenuhi keinginan seksual sang suami. Kekerasan yang dilakukan suami dalam lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang sangat buruk
terhadap perkembangan psikologi anak yang masih dalam pertumbuhan. Selama tiga dasawarsa, masalah anak, baik sebagai pelaku maupun
korban kejahatan kekerasan dapat dikatakan kurang mendapat perhatian dari penguasa. Sebagai pelaku kejahatan kekerasan, melalui berbagai kegiatan
ilmiah, sudah sering diusulkan agar penguasa pembuat UU menyusun kebijakan yang memberikan perlindungan anak. Baru sepuluh tahun yang lalu
penguasa menetapkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang “Pengadilan Anak”. Di samping perlunya perlindungan hukum bagi anak pelaku kejahatan
kekerasan, juga perlu adanya upaya perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan kekerasan. Empat tahun yang lalu penguasa telah menegesahkan
UU No. 23 Tahun 2002 tentang “Perlindungan Anak” dan dua tahun kemudian lahir juga UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Pencegahan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga” UU KDRT Sudaryono, 2007 : 87.
Dewasa ini banyak sekali kejahatan perkosaan terhadap anak-anak, sehingga anak-anak dibawah umur yang seharusnya mendapat perlindungan
dari masyarakat menjadi korban. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita Arif Gosita, 1993:63.
Anak-anak merupakan manusia yang secara fisik, mental dan sosial belum dewasa, dan masih lemah. Akibat kelemahanya secara fisik, mental,
dan sosial inilah yang membuat anak-anak menjadi rawan terhadap kekerasan dan seringkali menjadi korban tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh
orang dewasa. Realitasnya, kekerasan seksual terhadap anak bisa jadi jauh lebih tinggi dari angka kejahatan yang selama ini terungkap dan dapat diadili.
Harus diingat, perkosaan adalah hal yang sensitif, sulit diungkapkan atau dibuktikan. Data kasus perkosaan yang tercatat barangkali hanya mewakili
sebagian kecil dari realitas yang sesungguhnya. Kekerasan seksual pada anak seringkali meninggalkan bekas traumatis yang sulit dihilangkan Sudaryono,
2007 : 88.
xvi Penelitian-penelitian mengenai reaksi terhadap tindak pidana
perkosaan telah dilakukan di Amerika. Penelitian dilakukan untuk mengetahui reaksi pria Amerika yang menyaksikan terjadinya tindak pidana perkosaan.
Dalam situasi kondisi yang telah dipersiapkan seperti benar-benar terjadi tindak pidana perkosaan, pria-pria yang menyaksikan terjadinya perkosaan
atau mengetahui telah terjadi tindak pidana perkosaan memiliki tiga pilihan reaksi yang akan dilakukannya, yaitu : berjalan pergi tanpa peduli telah terjadi
tindak pidana perkosaan, campurtangan secara langsung untuk menolongnya, dan campurtangan secara tidak langsung dengan memanggil polisi. Dari hasil
penelitian campurtangan lebih sering dilakukan oleh sekelompok pria yang mengetahui terjadinya tindak pidana perkosaan daripada satu orang pria yang
mengetahuinya. Kejernihan dalam berpikir, diskusi dalam kelompok dan perbandingan sosial pada kenyataannya dapat merangsang anggota kelompok
untuk menggambarkan situasi darurat yang memerlukan bantuan mereka. Dari penelitian ini dapat diketahui penjelasan-penjelasan umum mengenai sifat
alami, reaksi campur tangan dari orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana perkosaan
Herbert Harari, Oren Harari, Robert, V.W. 1985 : 653-658.
Dalam Pasal 285 KUHP ditegaskan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia diluar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 285 KUHP ini
mengatur tentang perkosaan terhadap wanita secara umum segala umur. Sedangkan perkosaan terhadap anak wanita dibawah umur diatur dalam
Pasal 287 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut: 1.
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum
lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umurnya wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut Pasal 291 dan 294.
xvii Tindak pidana perkosaan yang dilakukan terhadap anak-anak diatur
secara lebih khusus dalam Pasal 81 Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas
tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 enam puluh juta rupiah.
2. Ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa perkosaan menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di Indonesia KUHP dan
UU No 23 tahun 2002 adalah perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan. Kata-kata “memaksa” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” disini sudah menunjukkan betapa mengerikannya perkosaan
tersebut. Pemaksaan hubungan kelamin pada wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dan tidak dikehendakinya akan menyebabkan kesakitan hebat pada
korban. Gambaran penderitaan fisik korban perkosaan diperoleh dengan melihat luka-luka yang terdapat pada tubuh korban yang di dapat dari visum et
repertum Suryono Ekotama, 2001: 96. Ada beberapa jenis penyebab terjadinya perkosaan. Ada perkosaan
yang dilakukan karena kemarahan dan ada yang disebabkan karena mencari kepuasan seksual. Bagi orang yang telah menikah tentunya dapat melakukan
hubungan seksual dengan istrinya. Tetapi apabila istri tidak bersedia melakukan hubungan seksual dengan suaminya maka hal inilah yang dapat
menjadi pendorong seorang laki-laki melakukan perbuatan perkosaan dikarenakan mencari kepuasan seksualnya.
xviii Dari uraian mengenai arti pentingnya penegakan hukum di dalam
masyarakat, kesadaran hukum yang harus dimulai dari keluarga kecil, adanya masalah kejahatan perkosaan anak-anak, serta perlunya tindakan nyata dari
Negara dan masyarakat untuk melindungi hak dan kesejahteraan anak tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti dan menyusun masalah ini
dalam skripsi
dengan judul
“TINJAUAN TENTANG
KETURUTSERTAAN ISTRI
DALAM TINDAK
PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP
ANAK DIBAWAH UMUR.” STUDI PUTUSAN PN SURAKARTA NO.320 PID.B 2006 PN.SKA.
B. Perumusan Masalah