Morfotipe Ektomikoriza Famili Dipterocarpaceae dengan Metode Lubang Bor di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor

MORFOTIPE EKTOMIKORIZA FAMILI DIPTEROCARPACEAE
DENGAN METODE LUBANG BOR DI HUTAN
PENELITIAN HAURBENTES, BOGOR

MUHAMMAD GINANJAR MULYANA

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Morfotipe Ektomikoriza
Famili Dipterocarpaceae dengan Metode Lubang Bor di Hutan Penelitian
Haurbentes, Bogor adalah benar karya saya bersama komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Muhammad Ginanjar Mulyana
NIM G34070075

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
MUHAMMAD GINANJAR MULYANA. Morfotipe Ektomikoriza Famili
Dipterocarpaceae dengan Metode Lubang Bor di Hutan Penelitian Haurbentes,
Bogor. Dibimbing oleh NAMPIAH SUKARNO dan UTUT WIDYASTUTI.
Di Indonesia, famili Dipterocarpaceae dapat hidup pada tanah masam yang
miskin unsur hara dan aktivitas dekomposisi bahan organik yang rendah karena
tumbuhan ini hidup bersimbiosis membentuk ektomikoriza. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari morfotipe ektomikoriza di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor.
Sampel akar diperoleh dengan membuat lubang bor berdiameter 5 cm dengan
kedalaman 15 cm. Analisis morfotipe dilakukan dengan mengamati bentuk
percabangan, warna, mantel, dan rizomorf yang terbentuk pada akar yang

terkolonisasi cendawan ektomikoriza. Berdasarkan hasil analisis dari 191 potong
akar dari 48 sampel lubang bor menunjukkan bahwa delapan spesies tumbuhan dari
famili Dipterocarpaceae dikolonisasi oleh cendawan ektomikoriza dengan rata-rata
kolonisasi sebesar 34.71 % (2.15 x 102 cm) yang membentuk 12 morfotipe yang
berbeda. Ke-12 morfotipe tersebut ialah tidak bercabang hitam lurus, tidak
bercabang hitam bengkok, tidak bercabang krem bengkok, monopodial piramida
cokelat lurus, monopodial menyirip hitam bergelombang, monopodial menyirip
cokelat lurus, monopodial menyirip cokelat bengkok, monopodial menyirip cokelat
bergelombang, menyirip tidak beraturan hitam bergelombang, menyirip tidak
beraturan cokelat bergelombang, menyirip tidak beraturan cokelat bengkok, dan
menyirip tidak beraturan krem bengkok. Kelimpahan kolonisasi akar tertinggi
diperoleh dari morfotipe menyirip tidak beraturan cokelat bergelombang yaitu
sebesar 32.54 %, sedangkan terendah dari morfotipe monopodial menyirip hitam
bergelombang yaitu sebesar 0.37 %.
Kata kunci:

Dipterocarpaceae, Ektomikoriza, Hutan Penelitian Haurbentes,
Morfotipe

ABSTRACT

MUHAMMAD GINANJAR MULYANA. Root tip Morphotypes of
Dipterocarpaceae Ectomycorrhizas Based on Coring Method in Haurbentes
Conservation Forest, Bogor. Supervised by NAMPIAH SUKARNO and UTUT
WIDYASTUTI.
In Indonesian, Dipterocarpaceae grows in nutrient-poor and acidic soils
which usually characterized by low rates of organic matter decomposition, due to
it’s selective advantage of ectomycorrizas association. This research aimed to study
ectomycorrizal root tip morphotypes in Haurbentes conservation forest, Bogor. The
root tip morphotype was determinited by observation of root branching pattern,
colour, mantle, and rhizomorph. One hundred ninety one root tips from 48 core
samples derived from 8 spesies of Dipterocarpaceae were observed for root
colonization and morphotype. Data showed that roots of all plant species were
colonized by ectomycorrizas with the average value 34.72% or 2.15 x 102 cm. They

produced 12 different morphotypes. They were unramified-simple black straight,
unramified-simple black bent, unramified-simple cream colored bent, monopodial
pyramide brown straight, monopodial pinnate black tortuous, monopodial pinnate
brown straight, monopodial pinnate brown bent, monopodial pinnate brown
tortuous, irregularly pinnate black tortuous, irregularly pinnate brown tortuous,
irregularly pinnate brown bent, and irregularly pinnate cream colored bent. The

highest value of root colonization abundance was observed from irregularly pinnate
brown morphotype (32.54 %), while the lowest was found in monopodial pinnate
black tortuous (0.37 %).

Keywords: Dipterocarpaceae, Ectomycorrhizas, Haurbentes conservation forest,
Root tips morphotype

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MORFOTIPE EKTOMIKORIZA FAMILI DIPTEROCARPACEAE
DENGAN METODE LUBANG BOR DI HUTAN
PENELITIAN HAURBENTES, BOGOR


MUHAMMAD GINANJAR MULYANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Morfotipe Ektomikoriza Famili Dipterocarpaceae dengan Metode
Lubang Bor di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor
Nama
: Muhammad Ginanjar Mulyana
NIM

: G34070075

Disetujui oleh

Dr Ir Nampiah Sukarno
Pembimbing I

Dr Ir Utut Widyastuti, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Innalhamdalillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Jalla Jalaluhu
atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah ektomikoriza, dengan
judul Morfotipe Ektomikoriza Famili Dipterocarpaceae dengan Metode Lubang
Bor di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor. Kegiatan penelitian ini berlangsung
dari bulan Juni-November 2013 di Laboratorium Mikologi Departemen Biologi
IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Nampiah Sukarno selaku
pembimbing I dan pemberi dana penelitian, Ibu Dr Ir Utut Widyastuti MSi selaku
pembimbing II, Ibu Dr Ir Nunik Sri Ariyanti MSi dan Ibu Dr Ir Sri Listiyowati MSi
yang telah banyak memberi motivasi dan saran, serta Prof Dr Alex Hartana selaku
penguji atas saran dan masukkannya. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Staf Departemen Biologi, keluarga besar Laboratorium
Mikologi IPB, keluarga besar Wisma Asri, keluarga besar Lembur Alit, keluarga
besar Lab Biokontrol Balithi, keluarga besar Center of Tropical Animal Studies
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB, keluarga
besar Serang, keluarga besar Jampang, ayah, ibu, adik, neng Saprilian SH, serta
keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014


Muhammad Ginanjar Mulyana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Bahan dan Alat

2

Prosedur

2

HASIL DAN PEMBAHASAN


3

Hasil

3

Pembahasan

7

SIMPULAN

9

DAFTAR PUSTAKA

10

LAMPIRAN


12

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1 Keragaman morfotipe, persentase kolonisasi dan kelimpahan
ektomikoriza pada akar tumbuhan, dan panjang akar yang terkolonisasi
cendawan ektomikoriza famili Dipterocarpaceae dari 48 sampel
lubang bor di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor dengan
menggunakan metode garis sentuh

6

DAFTAR GAMBAR
1 Persen kolonisasi ektomikoriza berdasarkan lubang bor dari 48 sampel
di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor
2 Total panjang akar tumbuhan famili Dipterocarpaceae yang
terkolonisasi ektomikoriza berdasarkan lubang bor dari 48 sampel di
Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor
3 Dua belas morfotipe ektomikoriza yang diperoleh dari 48 sampel
lubang bor di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor

4

4
5

DAFTAR LAMPIRAN
1

Daftar lubang bor, nama tanaman inang, dan kondisi lingkungan
di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor

12

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Famili Dipterocarpaceae secara alami tumbuh baik di hutan hujan tropis dan
menjadi bagian yang sangat penting di dalam ekosistem tersebut. Dipterocarpaceae
juga merupakan famili tumbuhan yang sering dijadikan pilihan utama dalam
program reboisasi di Indonesia sebagai upaya menjaga kelestarian hutan yang terus
terancam akibat eksploitasi hutan yang semakin tidak terkendali (Newman et al.
1999). Selain itu, spesies dari famili ini menghasilkan produk kayu dan non kayu
yang bernilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan negara yang memiliki
keragaman spesies tertinggi dari famili Dipterocarpaceae yang mencapai 13 genus
dari total keseluruhan 16 genus di dunia (CIFOR 1998). Famili Dipterocarpaceae
di Indonesia dapat dijumpai di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan
Papua. Selain tumbuh di habitat aslinya, tumbuhan famili ini ditanam di Kawasan
Hutan dengan Tujuan Khusus yaitu Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor sebagai
upaya konservasi plasma nutfah dan produksi benih dari berbagai spesies dari famili
Dipterocarpaceae di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman
mikroorganisme tertinggi di dunia, termasuk keragaman cendawan ektomikoriza.
Keragaman cendawan ektomikoriza yang tinggi sangat menentukan keberhasilan
dan efektifitas simbiosis pada kondisi tanah yang beragam. Kondisi lingkungan
hutan yang memiliki tanah masam, miskin unsur hara, dan aktivitas dekomposisi
bahan organik rendah bukan merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan dan
dominasi famili tumbuhan ini di hutan hujan tropis karena tumbuhan tersebut dapat
membentuk simbiosis ektomikoriza (Moyersoen et al. 2001). Ektomikoriza
merupakan simbiosis mutualisme antara cendawan asal tanah dengan perakaran
tumbuhan (Brundrett 2004). Simbiosis ini ditandai dengan terbentuknya struktur
tubuh buah cendawan di luar akar, jalinan hifa yang menyelubungi akar rambut
tumbuhan inang (mantel), hifa eksternal dan rizomorf yang mengeksplorasi tanah,
dan jaringan hartig di daerah intraseluler epidermis serta korteks akar (Olsson et al.
2000). Interaksi antara cendawan dan inangnya merubah struktur fisik, anatomi,
dan morfologi akar yaitu akar terlihat memendek, menebal, dan memiliki warna
yang berbeda dari akar yang tidak terkolonisasi cendawan ektomikoriza (Brundrett
et al. 1996).
Penelitian mengenai simbiosis ektomikoriza pada famili Dipterocarpaceae
telah banyak dilakukan di Indonesia, namun hanya terbatas pada aspek penyerapan
unsur hara oleh cendawan ektomikoriza dan pengaruhnya terhadap tumbuhan inang
(Riniarti 2002; Prameswari 2004; Turjaman et al. 2005; Turjaman et al. 2006; Noor
2009; Turjaman et al. 2011). Aspek keragaman morfotipe ektomikoriza pada famili
Dipterocarpaceae masih belum banyak dipublikasikan. Saat ini, ini tercatat hanya
terdapat laporan morfologi ektomikoriza pada tanaman Dipterocarpaceae dari luar
negeri yaitu keragaman ektomikoriza Dipterocarpaceae di Argentina (Becerra et al.
2004), Thailand (Amornpitak et al. 2006), Venezuela (Moyersoen 2006), dan
Guyana (Brearley 2012; Smith et al. 2013). Oleh karena itu, penelitian untuk
mempelajari keragaman morfotipe ektomikoriza famili Dipterocarpaceae di
Indonesia khususnya Hutan Penelitian Haurbentes perlu dilakukan.

2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfotipe ektomikoriza famili
Dipterocarpaceae di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor

METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan ialah sampel akar dan tanah dari rizosfer tumbuhan
famili Dipterocarpaceae di Hutan Penelitian Haurbentes, dan larutan FAA
(Formaline -Acetic acid-Alcohol), sedangkan peralatan yang digunakan ialah
mikroskop stereo, vorteks, tabung 1.5 mL, cawan petri, kamera mikroskop digital
(Optilab Camera Microscope), dan plastik klip.

Lokasi Pengambilan Sampel Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor.
Lokasi hutan terletak pada Kecamatan Curug-Jasinga, Kabupaten Bogor atau 60
km ke arah Rangkasbitung dengan letak astronomis 6°32’ LS - 6°33’ LS dan 106°26’
BT - 106°27’ BT.
Prosedur
Koleksi Sampel Akar dan Tanah
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara membuat petak percobaan seluas
100 m x 100 m, selanjutnya dilakukan pembuatan lubang bor berdiameter 5 cm
dengan kedalaman 15 cm. Pembuatan lubang bor dilakukan secara acak sebanyak
48 lubang bor dengan radius sekitar 10 m. Sampel tanah yang berisi akar
selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik klip. Spesies tumbuhan dari famili
Dipterocarpaceae yang tumbuh di sekitar pembuatan lubang bor dicatat sebagai
data tanaman inang yang terkolonisasi ektomikoriza. Selanjutnya, sampel disimpan
pada suhu 4-6 ºC hingga siap digunakan. Parameter yang diukur pada saat koleksi
sampel ialah kondisi lingkungan berupa suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya
matahari.

Preparasi Sampel dan Analisis Morfotipe Ektomikoriza
Akar rambut yang diperoleh pada setiap lubang bor dipisahkan dari tanahnya.
Sampel akar kemudian dicuci dengan air mengalir, dibersihkan dari tanah atau pasir
yang tersisa, lalu dibilas dengan akuades. Akar yang telah bersih selanjutnya
dianalisis morfotipe ektomikoriza yang terbentuk dengan menggunakan mikroskop
stereo dan kunci identifikasi ektomikoriza Agerer (1996). Berbagai morfotipe yang
diperoleh selanjutnya dikelompokkan berdasarkan bentuk percabangan, warna,

3
mantel, dan rizomorf yang terbentuk, kemudian dilakukan penghitungan terhadap
persen kolonisasi dan dominasinya menggunakan metode garis sentuh (gridline
intersect method) dengan petak berukuran 0.5 cm x 0.5 cm. Persen kolonisasi (C)
dan kelimpahan (A) dihitung menggunakan metode Brundrett et al. (1996) dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
C =

A =

J

a a a

T a a a

J

J

a

a

a a

a

x 100%

x 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Lingkungan Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor
Hasil pengukuran kondisi lingkungan di Hutan Penelitian Haurbentes
menunjukkan bahwa kondisi tanah pada wilayah tersebut tergolong tanah masam
dengan pH 3.8-5.8, rata-rata intensitas cahaya sebesar 638.65 lux, suhu 32.56 oC,
dan kelembapan relatif sebesar 63.56 %. Jumlah spesies tumbuhan di dalam plot
percobaan yang terdiri dari 48 lubang bor ialah Shorea selanica Blume, Shorea
pinanga Scheff, Shorea stenoptera Burck, Shorea ovalis, Shorea leprosula Miq.,
Shorea seminis (de Vriese) Sloot., Hopea mengerawan Miq., dan Vatica
odorata (Griff.) Sym. (Lampiran 1). Setiap lubang bor berada diantara satu sampai
tiga spesies tumbuhan famili Dipterocarpaceae.
Analisis Morfotipe Ektomikoriza
Ke 48 lubang bor sampel memiliki akar yang bersimbiosis dengan cendawan
ektomikoriza dengan nilai kolonisasi yang cukup bervariasi. Nilai terendah
diperoleh pada lubang bor nomor 18 yaitu kolonisasi sebesar 14.29 % dengan
spesies tumbuhan S. pinanga Scheff, sedangkan nilai tertinggi pada lubang bor
nomor 5 yaitu sebesar 56.83% dengan tumbuhan inang S. stenoptera Burck dan S.
selanica Blume (Gambar 1). Rata-rata persen kolonisasi ektomikoriza dari 48
lubang bor pada famili Dipterocarpaceae di Hutan Penelitian Haurbentes sebesar
34.71 % dengan total panjang akar yang terkolonisasi ektomikoriza sebesar 2.15 x
102 cm dari 6.18 x 102 cm sampel akar yang teramati. Total panjang akar tertinggi
yang terkolonisasi ektomikoriza diperoleh dari lubang bor nomor 28 yaitu sebesar
11.00 cm dengan tanaman inang S. leprosula Miq., sedangkan total panjang akar
terendah yaitu sebesar 1.57 cm berasal dari lubang bor nomor 18 dengan tanaman
inang S. pinanga (Gambar 2).

4

Kolonisasi ektomikoriza (%)

70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47
Lubang bor ke-

Gambar 21

Persen kolonisasi ektomikoriza berdasarkan lubang bor dari 48
sampel di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor

Panjang akar terkolonisasi (cm)

12,00
10,00
8,00

6,00
4,00
2,00
0,00
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47
Lubang bor ke-

Gambar32 Total panjang akar tumbuhan famili Dipterocarpaceae yang
terkolonisasi ektomikoriza berdasarkan lubang bor dari 48 sampel
di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor
Hasil karakterisasi morfotipe ektomikoriza dari 48 sampel akar
Dipterocarpaceae di Hutan Penelitian Haurbentes berdasarkan Colour Atlas of
Ectomycorrhizae (Agerer 1996) diperoleh dua belas morfotipe ektomikoriza yang
berbeda. Ke 12 morfotipe tersebut ialah morfotipe tidak bercabang hitam lurus,
tidak bercabang hitam bengkok, tidak bercabang krem bengkok, monopodial
piramida cokelat lurus, monopodial menyirip hitam bergelombang, monopodial
menyirip cokelat lurus, monopodial menyirip cokelat bengkok, monopodial
menyirip cokelat bergelombang, menyirip tidak beraturan hitam bergelombang,
menyirip tidak beraturan cokelat bergelombang, menyirip tidak beraturan cokelat
bengkok, dan menyirip tidak beraturan krem bengkok (Gambar 3).

5

a

5 mm

5 mm

d

5 mm

e

5 mm

g

5 mm

h

5 mm

j

2.5 mm

5 mm

b

k

5 mm

5 mm

5 mm

5 mm

c

f

i

l

Keterangan :
(a) morfotipe tidak bercabang hitam lurus, b) morfotipe tidak bercabang hitam bengkok, c)
morfotipe tidak bercabang krem bengkok, d) morfotipe monopodial piramida cokelat lurus, e)
morfotipe monopodial menyirip hitam bergelombang, f) morfotipe monopodial menyirip cokelat
lurus, g) morfotipe monopodial menyirip cokelat bengkok, h) morfotipe monopodial menyirip
cokelat bergelombang, i) morfotipe menyirip tidak beraturan hitam bergelombang, j) morfotipe
menyirip tidak beraturan cokelat bergelombang, k) morfotipe menyirip tidak beraturan cokelat
bengkok, dan l) morfotipe menyirip tidak beraturan krem bengkok

Gambar43

Dua belas morfotipe ektomikoriza yang diperoleh dari 48 sampel
lubang bor di Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor

Data keragaman ektomikoriza dari famili Dipterocarpaceae di Hutan
Penelitian Haurbentes berdasarkan jenis morfotipe yang diperoleh dari 48 sampel
lubang bor tersaji pada Tabel 1. Berdasarkan jenis morfotipe yang terbentuk,
morfotipe yang mempunyai nilai frekuensi persen kolonisasi tertinggi ialah
morfotipe menyirip tidak beraturan cokelat bergelombang yaitu 30.21 %,
sedangkan nilai terendah diperoleh dari morfotipe monopodial menyirip hitam
bergelombang sebesar 0.60 %.

7

7

Tabel11 Keragaman morfotipe, persentase kolonisasi dan kelimpahan ektomikoriza pada akar tumbuhan, dan panjang akar yang
terkolonisasi cendawan ekomikoriza famili Dipterocarpaceae dari 48 sampel lubang bor di Hutan Penelitian Haurbentes,
Bogor dengan menggunakan metode garis sentuh

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Jenis morfotipe
Tidak bercabang hitam lurus
Tidak bercabang hitam bengkok
Tidak bercabang krem bengkok
Monopodial piramida cokelat lurus
Monopodial menyirip hitam
bergelombang
Monopodial menyirip cokelat lurus
Monopodial menyirip cokelat
bengkok
Monopodial menyirip cokelat
bergelombang
Menyirip tidak beraturan hitam
bergelombang
Menyirip tidak beraturan cokelat
bergelombang
Menyirip tidak beraturan cokelat
bengkok
Menyirip tidak beraturan krem
bengkok
Total

Jumlah potongan akar
Terkolonisasi
Total
Terkolonisasi
utuh*
------------------ (buah) -------------------2
10
3
4
25
4
3
10
4
2
10
4
2
18
4
82
6

490
28

122
8

3

20

6

27

367

45

Panjang akar

Rata-rata
Total
Terkolonisasi
satuan
------------------ (cm) ------------------3.93
1.81
0.55
9.82
1.57
0.79
3.93
1.57
0.52
3.93
1.57
0.79
7.07
1.57
0.79

Frekuensi
Kolonisasi

Kelimpahan

------------ (%) -----------0.81
0.55
0.90
0.73
1.08
0.73
1.08
0.73
0.60
0.37

192.50
11.00

47.93
3.14

0.58
0.52

26.64
2.29

22.67
1.46

7.86

2.36

0.79

0.81

1.10

140

144.18

55.00

2.04

24.66

25.59

436

178

171.29

69.93

1.55

30.21

32.54

13

148

70

58.14

27.50

2.12

9.95

12.80

2

11

4

4.32

1.57

0.79

0.98

0.73

191

1573

547

617.96

214.89

11.83

100.00

100.00

* jumlah total akar terkolonisasi ektomikoriza yang diperoleh dari 48 lubang bor sebelum dipotong-potong untuk penghitungan akar dengan metode garis sentuh

9

77

7

Frekuensi persentase kelimpahan morfotipe ektomikoriza yang diperoleh di
Hutan Penelitian Haurbentes diperoleh nilai tertinggi dari jenis menyirip tidak
beraturan cokelat bergelombang sebesar 32.54 % dan terendah yaitu sebesar 0.37 %
dari jenis morfotipe monopodial menyirip hitam bergelombang. Panjang akar
terkolonisasi berasal dari morfotipe menyirip tidak beraturan cokelat bergelombang
sebesar 69.93 cm, sedangkan kolonisasi akar terendah sebesar 1.57 cm. Rata-rata
panjang akar terkolonisasi ektomikoriza terbesar diperoleh dari morfotipe menyirip
tidak beraturan cokelat bengkok yaitu sebesar 2.12 cm, sedangkan yang terpendek
diperoleh ialah morfotipe monopodial menyirip hitam bergelombang sebesar 0.37
cm.

Pembahasan
Hutan daratan rendah atau hutan tropis basah di Indonesia dikenal dengan
istilah hutan pamah atau kerangas. Karakteristik khusus pada kawasan ini ialah
kondisi tanah yang miskin unsur hara, pH rendah, aktifitas dekomposisi bahan
organik yang rendah, lapisan humus yang tipis, dan kandungan nitrogen, fosfor,
serta air yang rendah (Moyersoen et al. 2001). Namun demikian, kondisi tersebut
tidak mempengaruhi pembentukkan berbagai spesies tumbuhan dari famili
Dipterocarpaceae untuk tumbuh di Indonesia, karena tumbuhan tersebut secara
obligat membentuk simbiosis mutualisme ektomikoriza untuk mencukupi nutrisi
yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya (Smith dan Read 2008). Selain itu, famili
Dipterocarpaceae mampu hidup pada jenis tanah podsolik merah kuning yang
terdapat pada daerah dengan iklim basah dengan kelembaban tinggi dan ketinggian
tempat 0 – 800 m dpl., serta curah hujan di atas 2000 mm/tahun dengan rentang
musim kemarau yang pendek (CIFOR 1998). Hutan Penelitian Haurbentes
merupakan tempat tumbuh yang memenuhi kriteria optimal tempat tumbuh
berbagai spesies dari famili Dipterocarpaceae, terlihat dari aktivitas pembungaan
dan produktivitas buah yang baik dari famili Dipterocarpaceae di Hutan Penelitian
ini (Suzuki dan Gadrinab 1989). Fakta tersebut diperkuat dengan publikasi
Balitbanghut (2007) yang menyatakan bahwa Hutan Penelitian Haurbentes
merupakan hutan hujan tropis dataran rendah (250 m dpl) yang didominasi oleh
jenis tanah podsolik merah kuning, regosol, dan acid brown forest soil (tanah
dengan pH masam), dengan curah hujan rata-rata sebesar 4.276 mm/tahun. Tidak
hanya itu, Mandang dan Kagemori (2003) mengungkapkan bahwa wilayah JasingaRangkasbitung merupakan daerah hutan tua dan pusat perkembangan tanaman
hutan famili Dipterocarpaceae, yang dibuktikan dengan ditemukannya batuan fosil
tanaman hutan dari Dipterocarpoxylon sp. pada lapisan tanah Ploicene di wilayah
Jasinga Bogor yang tidak jauh berbeda dengan beberapa fosil-fosil yang diperoleh
di hutan Sumatra dan Kalimantan.
Famili Dipterocarpaceae yang terdapat di Hutan Penelitian Haurbentes
meliputi H. mengerawan Miq., S. selanica Blume., S. stenoptera Burck., S.
stenoptera Burck. forma, S. pinanga Scheff, S. seminis (de Vriese) Sloot., S.
leprosula Miq., Shorea palembanica, Shorea mechisopteryx Ridley, dan Shorea
platyclados V Sl (Istomo et al. 1999). Keberadaan beberapa spesies tersebut dapat
dibuktikan dengan ditemukannya delapan spesies tumbuhan dari famili
Dipterocarpaceae pada petak percobaan seluas 104 m2.

8
Hasil pengukuran kondisi lingkungan pada saat pengambilan sampel
diperoleh kondisi yang sangat mendukung simbiosis ektomikoriza yakni pH tanah
3.8-5.8 dengan suhu lingkungan berkisar 32.56 oC. Kondisi ini sangat mendukung
perkembangan cendawan ektomikoriza dan pertumbuhan tanaman famili
Dipterocarpaceae di Hutan Penelitian Haurbentes. Umumnya ektomikoriza di
wilayah hutan tropis berkembang dengan baik pada kondisi tanah masam dengan
pertumbuhan optimal pada pH 4-6. Bahkan tidak sedikit cendawan yang mampu
hidup pada pH sangat masam yaitu 2.7, namun dengan jumlah kolonisasi akar yang
jauh menurun dibanding pH optimal (Dighton dan Skeffington 1987). Selain pH,
faktor suhu lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan ektomikoriza di
alam. Suhu optimal untuk pertumbuhan cendawan ektomikoriza berkisar antara 1827 oC, namun demikian terdapat ektomikoriza yang mampu hidup pada suhu
ekstrim seperti suhu -2 oC atau bahkan 40 oC (Fakuara 1988; Smith dan Read 2008).
Marx et al. (1992) membagi persentase kolonisasi cendawan ektomikoriza
menjadi empat kelompok, yakni sangat baik (75-100 %), baik (50-74 %), sedang
(24-49 %), dan rendah (1-24%). Berdasarkan standarisasi tersebut, maka secara
umum persen kolonisasi ektomikoriza dari 48 lubang bor famili Dipterocarpaceae
di Hutan Penelitian Haurbentes, tergolong kelompok sedang (34.71%). Keragaman
morfotipe ektomikoriza yang diperoleh pada Hutan Penelitian Haurbentes yaitu 12
morfotipe. Keragaman tersebut diperoleh berdasarkan tipe percabangan, bentuk
ujung akar, warna akar, bentuk khas permukaan mantel, dan bentuk rizomorf atau
hifa yang berada di sekitar akar yang terkolonisasi cendawan ektomikoriza.
Dalam penelitian ini tidak dilakukan isolasi cendawan yang bersimbiosis
dengan akar tanaman Dipterocarpaceae yang diperoleh, namun karakterisasi
morfotipe akar famili Dipterocarpaceae yang bersimbiosis dengan cendawan
ektomikoriza dapat digunakan untuk menduga genus cendawan ektomikoriza yang
bersimbiosis. Terdapat tiga macam keuntungan menggunakan metode karakterisasi
morfotipe ektomikoriza dalam estimasi langsung kekayaan dan keragaman spesies
ektomikoriza. Pertama, struktur yang berbeda pada akar berektomikoriza dapat saja
menunjukkan bahwa cendawan yang bersimbiosis dengan akar tersebut berbeda
spesies. Sehingga dapat dipastikan bahwa semakin beragam struktur morfotipe
cendawan, maka semakin tinggi pula keragaman spesies cendawan yang diperoleh
(Agerer 1996). Kedua, struktur reproduktif cendawan (tubuh buah) ektomikoriza
biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, jika pun ada hanya pada
waktu-waktu tertentu, sehingga tidak efektif dalam penelitian mengenai kekayaan
dan keragaman ektomikoriza, bahkan tidak sedikit ektomikoriza yang sama sekali
tidak memproduksi tubuh buah. Ketiga, tanpa bergantung pada penemuan tubuh
buah di alam, karena sangat sulit ditemukan tubuh buah di alam dalam kondisi yang
segar (Horton dan Bruns 2001; Moser 2005; Nara 2006).
Selain nilai persentase kolonisasi dan kelimpahan ektomikoriza, parameter
ektomikoriza yang penting lainnya ialah keragaman morfotipe. Hasil identifikasi
keragaman ektomikoriza di Hutan Penelitian Haurbentes diperoleh 12 morfotipe
berbeda dari 48 lubang bor. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Sukarno
et al. (2013) yang melakukan penelitian ektomikoriza di Hutan Penelitian
Haurbentes meskipun dengan metode yang berbeda yakni metode runut akar,
diperoleh beberapa morfotipe yang memiliki ciri-ciri serupa dengan hasil penelitian
ini. Sukarno et al. (2013) mendapatkan 43 kelompok cendawan ektomikoriza dari
50 jenis morfotipe ektomikoriza di Hutan Penelitian Haurbentes. Beberapa

9
morfotipe tersebut diantaranya ialah morfotipe sederhana hitam yang dikolonisasi
oleh cendawan Russula sp., morfotipe menyirip monopodial cokelat dikolonisasi
Russula sp., dan morfotipe menyirip tidak beraturan dikolonisasi cendawan
Sebacina sp. dan Tomentella sp. sebagai cendawan ektomikoriza yang
mendominasi. Hal serupa juga dikemukakan Becerra et al. (2004) yang meneliti
keragaman ektomikoriza berdasarkan morfotipenya pada tanah masam di Argentina,
diperoleh beberapa morfotipe yang memiliki ciri-ciri serupa dengan hasil penelitian
ini, beberapa diantaranya ialah morfotipe tidak bercabang umumnya dikolonisasi
oleh Lactarius omphaliformis, Naucoria escharoides, atau Tomentella sp.,
morfotipe monopodial menyirip dikolonisasi cendawan Naucoria sp. Gyrodon sp.,
dan Lactarius sp., serta morfotipe menyirip tidak beraturan yang dikolonisasi
cendawan Tomentella sp., Russula sp., dan Alnirhiza sp. Selanjutnya, Moser et al.
(2009) melaporkan bahwa morfotipe monopodial piramida cokelat dikolonisasi
oleh cendawan Boletus sp. atau Genea sp., morfotipe monopodial menyirip menuju
menyirip tidak beraturan dikolonisasi oleh cendawan Inocybe sp., Sebacina sp.,
atau Tomentella sp.. Fakta lain menyebutkan bahwa genus ektomikoriza yang
umumnya ditemukan pada hutan matang berupa genus Russula, Cortinarius, dan
Amanita (Nara 2006). Hal ini memperkuat dugaan bahwa famili Dipterocarpaceae
di Hutan Penelitian Haurbentes dikolonisasi ektomikoriza dengan morfotipe yang
mendominasi berupa morfotipe monopodial menyirip menuju menyirip tidak
beraturan.

SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa delapan spesies tumbuhan dari famili
Dipterocarpaceae di Hutan Penelitian Haurbentes dikolonisasi oleh cendawan
ektomikoriza. Dua belas morfotipe ektomikoriza berhasil diperoleh dari 191 potong
akar yang terkolonisasi ektomikoriza yang berasal dari 48 lubang bor. Ke-12
morfotipe tersebut ialah morfotipe tidak bercabang hitam lurus, tidak bercabang
hitam bengkok, tidak bercabang krem bengkok, monopodial piramida cokelat lurus,
monopodial menyirip hitam bergelombang, monopodial menyirip cokelat lurus,
monopodial menyirip cokelat bengkok, monopodial menyirip cokelat
bergelombang, menyirip tidak beraturan hitam bergelombang, menyirip tidak
beraturan cokelat bergelombang, menyirip tidak beraturan cokelat bengkok, dan
menyirip tidak beraturan krem bengkok. Persentase kolonisasi ektomikoriza
termasuk ke dalam kelompok klasifikasi sedang (34.71 %) dengan kelimpahan
kolonisasi akar tertinggi diperoleh dari morfotipe menyirip tidak beraturan cokelat
bergelombang yaitu sebesar 32.54 %, sedangkan kelimpahan terendah dari
morfotipe monopodial menyirip hitam bergelombang yaitu sebesar 0.37 %. Total
panjang akar terkolonisasi ektomikoriza sebesar 2.15 x 102 cm dari 6.18 x 102 cm
sampel akar famili Dipterocarpaceae yang teramati.

10

DAFTAR PUSTAKA
[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2007. Kawasan
Hutan dengan Tujuan Khusus Haurbentes. [Internet]. Bogor: [diunduh 2014
Mar 1]. Tersedia pada: http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/951.
Agerer R. 1996. Colour Atlas of Ectomycorrhizae. Munchen (DE): Einhorn,
Schwabish Gmund D-73525.
Amornpitak TW, Vichitsoonthonkul T, Tanticharoen M, Cheevadhanarak S,
Ratchadawong S. 2006. Diversity of ectomycorrhizal fungi of
Dipterocarpaceae in Thailand. J Biosci. 6: 1059-1064.
Becerra A, Pritsch K, Arrigo N, Palma M, Bartoloni N. 2004. Ectomycorrhizal
colonization of Alnus acumiata Kunth. in Northwestern Argentina in relation
to season and soil parameters. Ann For Sci. 65: 325-332. doi:
10.1051/forest:2005027.
Brearley FQ. 2012. Ectomycorrhizal association of the Dipterocarpaceae.
Biotropica. 49: 637-648
Brundrett M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol
Rev. 79:473–495.
Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working With
Mycorrhizae in Forestry and Agriculture. Sydney (AU): Monograph ACIAR.
[CIFOR] Center for International Forestry Research. 1998. A Review of
Dipterocarps. Appanah S, Turnbull JM, editor. Bogor (ID): CIFOR.
Dighton, Skeffington RA. 1987. Effects of artificial acid precipitation on the
mycorrhizas of Scots pine seedlings. New Phytologist. 107: 191-202.
Fakuara MY. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. Bogor (ID):
PAU IPB.
Horton TR, Bruns TD. 2001. The molecular revolution in ectomycorrhizal ecology:
peeking into the black box. Mol Ecol. 10: 1855-1871.
Istomo, Cahyo W, Nurul H. 1999. Evaluasi pertumbuhan tanaman meranti (Shorea
spp.) di Haurbentes BKPH Jasinga KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat. J Man Hut Trop. 2: 13-32.
Mandang YI, Kagemori N. 2003. A fossil wood of Dipterocarpaceae from Pliocene
deposit in the West Region of Java Island, Indonesia. Biodiversitas. 5 (1): 2835.
Marx DH, Ruehle Jl, Cordel CE.1992. Methods for Studying Nursery and Field
Response of Trees to Spesific Ectomycorrhizal. Di dalam: Norris JR, Read
DJ, Varma AK. Methods in Microbiology: Techniques for Mycorrhizal
Research. San Diego (US). Academic Pr. hlm 383-340.
Moser AM. 2005. Comparison of ectomycorrhizas of Quercus garryana (Fagaceae)
on serpentine and non-serpentine soils in Southwestern Oregon. Am J Bot. 92
(2): 224-230.
Moser AM, Frank JL, D’Allura JA, Southworth D. 2009. Ectomycorrhizal
communities of Quercus garryana are similar on serpentine and nonserpentine soils. Plant Soil. 305: 185-194.
Moyersoen B. 2006. Pakaraimaea dipterocarpacea is ectomycorrhizal, indicating an
ancient Gondwana land origin for the ectomycorrhizal habit in
Dipterocarpaceae. New Phytologist. 172: 759-762.

11
Moyersoen B, Becker P, Alexander IJ. 2001. Are ectomycorrhizas more abundant
than arbuscular mycorrhizas in tropical health forest? New Phytologist.
150 :591-599.
Nara K. 2006. Ectomicorrhyzal networks and seedling establishment during early
primary succession. New Phytologist. 169:169-178.
Newman MF, Burgess PF, Whitmore TC. 1999. Pedoman Identifikasi Pohonpohon Dipterocarpaceae Jawa sampai Nugini. Bogor (ID): Prosea Indonesia.
Noor M. 2009. Simbion jamur ektomikoriza pada anakan Shorea spp. di rumah kaca
pada umur 7 bulan. J P Diptero. 3 (1) 1-7.
Olsson PA, Munzenberger B, Mahmood S, Erland S. 2000. Molecular and
anatomical evidence for three way association between Pinus sylvestris and
the ectomycorrhizal fungi Suillus bovinus and Gomphidius roseus. J Mycol.
16 (1): 8-9.
Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi cendawan ektomikoriza dan media
tumbuh terhadap pertumbuhan Shorea javanica K & V [tesis]. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
Riniarti M. 2002. Perkembangan kolonisasi ektomikoriza dan pertumbuhan semai
Dipterocarpaceae dengan pemberian asam oksalat dan asam humat serta
inokulasi ektomikoriza [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Smith ME, Henkel TW, Wehling JK, Fremies AK, Clarke HD, Vilgalys R. 2013.
The ectomycorrhizal fungal community in a Neotropical Forest dominated by
the endemic Dipterocarpaceae. PLoS ONE 8(1): 1-13. doi:
10.1371/journal.pone.0055160.
Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal symbiosis. 3th ed. London (GB): Academic
Pr.
Sukarno N, Srilistiyowati, Nurcahyo OD, Retnowati A, and Nara K. 2013. Diversity
of Shorea ectomycorrhiza. Japanese Mycorrhizal Symposium. 2013 Nov 16;
Sendai (JP).
Suzuki E, Gadrinab LU. 1989. Fruit production of a six year old Shorea stenoptera
plantation at Haurbentes, Bogor, Indonesia. Biotr. 2: 1-7.
Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005.
Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and
Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings.
J Int New Forest. 30:67-73.
Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2006.
Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings
inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J Trop Forest Scie. 18(4):166172.
Turjaman M, Tamai Y, Santoso E, Susanto A, Gaman S, Limin SH, Tamai Y, Osaki
M, Tawaraya K. 2011. Ectomycorrhizal fungi promote Growth of Shorea
balangeran in degraded peat swamp forest. Wetland Ecol Man. 19:331-339.

12

LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar lubang bor, nama tanaman inang, dan kondisi lingkungan di
Hutan Penelitian Haurbentes, Bogor
No
Core
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Spesies tumbuhan
S. selanica Blume
S. pinanga Scheff
S. selanica Blume
S. pinanga Scheff
S. stenoptera Burck
S. stenoptera Burck
S. pinanga Scheff
S. stenoptera Burck
S. selanica Blume
V. odorata (Griff.) Sym.
H. mengerawan Miq.
H. mengerawan Miq.
S. stenoptera Burck
S. ovalis
S. pinanga Scheff
S. leprosula Miq.
H. mengerawan Miq.
S. leprosula Miq.
H. mengerawan Miq.
S. pinanga Scheff
S. stenoptera Burck
S. pinanga Scheff
S. stenoptera Burck
S. pinanga Scheff
S. stenoptera Burck
S. stenoptera Burck
S. stenoptera Burck
S. stenoptera Burck
S. seminis (de Vriese) Sloot.
S. pinanga Scheff
S. seminis (de Vriese) Sloot.
S. stenoptera Burck
S. pinanga Scheff
S. seminis (de Vriese) Sloot.
S. seminis (de Vriese) Sloot.
S. seminis (de Vriese) Sloot.
S. seminis (de Vriese) Sloot.

Intensitas
(lux)
187

Kelembapan
(% RH)
63.40

Suhu
(oC)
30.40

1350

65.30

30.40

1430
1373

65.00
58.20

30.80
33.20

1429

58.20

32.70

453

61.50

32.80

373

64.20

32.60

1770

67.60

32.90

1076

63.90

32.40

575

62.70

32.20

283

67.00

32.20

300

63.60

32.10

272

64.30

32.40

400
499
304
225
248
545
575
1157
224
373
455
266

70.10
66.90
65.80
70.80
62.10
64.80
68.20
69.50
60.70
59.70
65.40
62.90

32.60
33.00
32.70
32.70
33.00
32.70
32.40
32.20
31.90
32.50
32.80
32.70

13
Lampiran 1 (Lanjutan)
No
Core
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48

Spesies tumbuhan
S. seminis (de Vriese) Sloot.
S. stenoptera Burck
S. leprosula Miq.
S. leprosula Miq.
S. leprosula Miq.
S. leprosula Miq.
S. leprosula Miq.
S. leprosula Miq.
S. stenoptera Burck
S. stenoptera Burck
S. pinanga Scheff
S. pinanga Scheff
S. stenoptera Burck
S. stenoptera Burck
S. pinanga Scheff
S. pinanga Scheff
S. pinanga Scheff
S. pinanga Scheff
S. pinanga Scheff
S. pinanga Scheff
S. pinanga Scheff
S. pinanga Scheff
S. seminis (de Vriese) Sloot.

Intensitas
(lux)
837
299
1958
221
215
1249
1201
630
493
509
298
277
991
268
872
259
492
564
709
705
466
500
500

Kelembapan
(% RH)
60.30
65.10
60.00
62.80
59.40
62.00
65.30
65.20
60.30
58.60
60.70
60.20
59.80
61.40
61.40
63.80
62.90
62.40
63.70
63.30
66.00
66.00
64.33

Suhu
(oC)
33.40
34.00
33.50
33.40
33.80
33.20
32.60
33.00
33.40
33.30
33.20
33.70
33.10
32.70
31.60
32.90
32.70
32.50
31.40
31.80
31.80
31.70
31.70

14

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 15 Juni 1990 dari ayah Tatang
Mulyana dan ibu Ros Rosita. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1
Sukaresmi Cianjur, dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan diterima di
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Penulis mempunyai pengalaman sebagai asisten peneliti di Laboratorium
Biokontrol Balai Penelitian Tanaman Hias Departemen Pertanian RI, teknisi
Laboratorium Mikrobiologi Center of Tropical Animal Studies Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB, melaksanakan studi lapangan di
Situ Gunung pada tahun 2009, melaksanakan praktik lapangan di Laboratorium
Biokontrol Balithi pada tahun 2011. Penulis juga aktif menjadi staf Departemen
Sosial dan Kesejahteraan Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB IPB
Kabinet Oryza Sativa pada tahun 2007, staf Kementerian Kebijakan Nasional BEM
KM IPB Kabinet IPB Bersatu pada tahun 2008, staf Kementerian Kebijakan Daerah
BEM KM IPB Kabinet Generasi Inspirasi pada tahun 2009, Koordinator BEM seBogor pada tahun 2010, Koordinator Komunikasi dan Informasi Korps Sukarela
(KSR) PMI Cianjur pada tahun 2008-2009, dan Ketua Karang Taruna Komplek
Pertanian Landbauw 2011-sekarang.