Studi penyebaran sub-ordo ophidia di Pulau Jawa dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG)

STUDI PENYEBARAN SUB-ORDO OPHIDIA DI PULAU
JAWA DENGAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM
INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

EKO HARTANTO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Penyebaran SubOrdo Ophidia di Pulau Jawa dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi
Geografis (SIG) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Eko Hartanto
NIM E34100011

ABSTRAK
EKO HARTANTO. Studi Penyebaran Sub-Ordo Ophidia di Pulau Jawa dengan
Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Dibimbing oleh
MIRZA DIKARI KUSRINI dan LILIK BUDI PRASETYO.
Ular merupakan salah satu reptil yang tergolong ke dalam subordo
ophidia.Informasi tentang jumlah jenis ular dan penyebarannya di Pulau Jawa
masih belum tersedia,sehingga penelitian perlu dilakukan. Studi jenis dan
distribusi ular di Pulau Jawa dapat dilakukan dengan mengecek keberadaan
spesimen di museum dan juga studi literaturi hasil penelitian seperti jurnal dan
publikasi lainnya tentang penemuan jenis ular di Pulau Jawa.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ular di Pulau Jawa terdiri dari 100 jenis dari 15 famili dan
didominasi oleh keluarga colubridae yang memiliki 42 jenis. Catatan hasil
penelitian jenis ular paling banyak ditemukan di Jawa Barat, sehingga jumlah

jenis yang paling banyak ditemukan adalah di Jawa Barat yaitu 78 jenis. Hal ini
diduga karena penelitian yang tidak merata di Jawa dimana penelitian terbanyak
dilakukan di Jawa Barat dibandingkan propinsi lainnya di Jawa. Jumlah ular
sebagian besar ditemukan di 0-500 mdpl yaitu 60 jenis dan akan berkurang
dengan semakin bertambahnya ketinggian.
Kunci: distribusi, pulau jawa, ular

ABSTRACT
EKO HARTANTO. Study the spread of Ophidia Suborder in Java using
Geographic Information System (GIS) Aplication. Supervised by MIRZA
DIKARI KUSRINI and LILIK BUDI PRASETYO.
Snake is one of reptiles that belong to the Ophidia suborder. Information on
the number of species of snake and its distribution in Java is lacking so that
research needs to be done. Information on number of species and distribution of
snakes in Java can be obtained through checking existencing specimens in the
museum and also through literature studies (i.e. journals and other publications)
about the discovery of snakes on the island of Java. The results showed that
snakes in Java consist of 100 species from 15 families and dominated by
Colubridae which has 42 species. The highest record of snakes finding is in West
Java (78 species). This may be caused by the discrepencies in research effort in

Java where the highest research effort was carried out in West Java compared to
other provinces in Java The number of snakes are highest low elevation (0-500 m
above sea level), which has 60 species and decrease with increasing elevation.
Keywords: distribution, Java Island, snakes

STUDI PENYEBARAN SUB-ORDO OPHIDIA DI PULAU
JAWA DENGAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM
INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

EKO HARTANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah ular,
dengan judul Studi Penyebaran Sub-Ordo Ophidia di Pulau Jawa dengan
Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi
dan Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo MSc selaku pembimbing karya ilmiah
ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Amir Hamidi
dan para staff dari Laboratorium Herpetologi Museum Zoologi Bogoriensis
(MZB) yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya. Tak lupa diungkapkan
terimakasih kepada keluarga kecil Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH)
HIMAKOVA, kepada sahabat-sahabat wisma pinokio dan keluarga Nepenthes
Raflesiana atas do’a dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Desember 2014

Eko Hartanto

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan

1

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Lokasi


2

Metode Pengumpulan Data

2

Pengolahan Data

2

Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Komposisi Jenis Ular di Pulau Jawa


4

Penyebaran Ular Berdasarkan Ketinggian

9

Penyebaran Ular Berdasarkan Tutupan Lahan
SIMPULAN DAN SARAN

10
13

Simpulan

13

Saran

14


DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

18

DAFTAR TABEL
1 Perbandingan jumlah jenis per Provinsi

8

DAFTAR GAMBAR
1 Proses pembuatan peta topografi (ketinggian)
2 Skema pembuatan peta persebaran ular (Ophidia) di Pulau Jawa.
3 Peta penyebaran ular berdasarkan: a) titik koordinat, b) batas desa, c)
batas kecamatan, dan d) batas kabupaten.
4 Komposisi jenis ular per famili

5 Peta jumlah jenis ular berdasarkan kabupaten
6 Peta penyebaran ular berdasarkan ketinggian
7 Grafik hubungan jumlah jenis dengan ketinggian
8 Penyebaran ular berdasarkan tutupan lahan

3
4
5
6
8
9
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar jenis ular di Jawa berdasarkan hasil penelitian
2 Jenis ular di Pulau Jawa berdasarkan periode tahun penemuan.
3 Perbandingan jenis hasil penelitian dengan hasil de Rooij (1917)

18

32
37

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki tingkat
keanekaragaman hayati yang tinggi, salah satunya pada jenis reptilia. Indonesia
memiliki keanekaragaman jenis reptil maupun amfibi sebesar 16% dari jumlah
jenis reptil dan amfibi di dunia, serta memiliki tingkat kekayaan jenis dan
endemisitas yang tinggi (Iskandar dan Erdelen 2006, IBSAP 2003). Pulau Jawa
merupakan salah satu pulau di Indonesia yang menyediakan habitat bagi berbagai
jenis reptil dari dataran rendah sampai dataran tinggi atau pun pegunungan.
Ular merupakan jenis reptil yang termasuk dalam ordo Squamata dengan
subordo Ophidia (Serpentes), dan merupakan binatang melata yang tidak mampu
menghasilkan panas tubuh sendiri. Kestabilan suhu tubuh didapat dengan cara
berpindah dari tempat hangat ke tempat dingin atau sebaliknya (Marlon 2014).
Ular berperan sebagai penyeimbang ekosistem, dalam hal pengendali hama dan
menjadi mangsa dari spesies satwa lain yang memiliki trophic level yang lebih
tinggi. Herbert et al. (2012) menyatakan bahwa ular bisa ditemukan dari dataran
rendah hingga dataran tinggi, baik di dalam tanah, pohon, air tawar, air payau
sampai perairan air laut kecuali daerah dengan suhu rendah seperti kutub.
Beberapa jenis ular seperti kobra dan sanca dimanfaatkan oleh masyarakat karena
diduga bermanfaat sebagai obat bagi berbagai penyakit (Arisnagara 2009).
Pemantauan sebaran spasial spesies ular perlu dilakukan untuk mengetahui
keberadaan dan jumlah spesies ular di pulau jawa dengan menggunakan sistem
informasi geografis. Sistem informasi geografis (SIG) merupakan sistem untuk
pengambilan, penggabungan, pemeriksaan, penyimpanan, dan menganalisis data
yang berguna menyederhanakan proses dan mengefisienkan pekerjaan (Prahasta
2005). Informasi mengenai jumlah jenis ular di Pulau Jawa secara keseluruhan
belum ada, kecuali yang telah di laporkan oleh de Rooij (1917). Sejauh ini
penelitian tentang jenis ular hanya dilakukan pada lokasi-lokasi tertentu dan
merupakan bagian dari penelitian keanekaragaman reptil. Spesimen hasil
penelitian tersebut biasanya diawetkan dan dimasukkan ke dalam museum untuk
diidentifikasi jenis lebih lanjut dan juga sebagai koleksi jenis. Selain itu, data yang
ada di museum juga bermanfaat dalam banyak hal seperti bahan perbandingan
antara data terdahulu dan data sekarang dengan hubungannya dengan perubahan
lingkungan (Hartigan et al. 2010). Data museum juga dapat digunakan dalam
studi penyebaran jenis ular yaitu dengan mengecek keberadaan lokasi penemuan
spesimen yang ada di museum. Selain mengecek data museum, studi penyebaran
ular juga dilakukan dengan melakukan studi terhadap jurnal-jurnal dan publikasi
lainnya yang terkait dengan jenis ular serta lokasi ditemukannya di Pulau Jawa.

Tujuan
Penelitian mengenai studi persebaran subordo Ophidia di Pulau Jawa ini
bertujuan untuk:
1. Mengkaji jenis-jenis ular yang terdapat di Pulau Jawa.
2. Mengkaji persebaran jenis ular di Pulau Jawa.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penyebaran
ular di Pulau Jawa serta dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam
pengelolaan habitat agar kelestarian ular tetap terjaga.

METODE
Waktu dan Lokasi
Kegiatan pengumpulan data dilakukan pada bulan April - Juni 2014 dengan
studi pustaka serta studi spesimen di Laboratorium Herpetologi Museum
Zoological Bogoriense (MZB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Metode Pengumpulan Data
1.
2.
3.
4.
5.

Data jenis ular dan sebarannya dikumpulkan dari berbagai sumber, yaitu:
Data spesimen yang terdapat di Museum Zoological Bogoriense (MZB), LIPI.
Jurnal peer review yang mengulas tentang penemuan jenis maupun
keanekaragaman jenis ular di lokasi tertentu.
Skripsi, tesis dan disertasi yang berhubungan dengan ular.
Laporan-laporan proyek maupun kegiatan ekspedisi baik yang dipublikasikan
seperti di majalah atau Warta Herpetofauna maupun yang tidak dipublikasikan.
Laporan masyarakat dalam media sosial yang dilengkapi dengan keterangan
jenis (termasuk foto) dan lokasi. Media sosial yang digunakan adalah grup
facebook SIOUX (https://www.facebook.com/groups/siouxsnakerescue/). Grup
SIOUX merupakan kelompok pecinta ular.

Data jenis ular yang diperoleh dari berbagai jenis sumber dan atributnya
kemudian dimasukkan ke dalam lembar pengamatan dan dikelompokkan
berdasarkan:
1. Nama ilmiah
2. Nama lokal atau nama Indonesia
3. Jumlah Individu yang ditemukan pada waktu yang sama pada lokasi tertentu
4. Lokasi penemuan (desa, kecamatan, kabupaten, povinsi, dan koordinat)
5. Waktu penemuan (tanggal/bulan/tahun)
6. Nama kolektor
7. Lokasi koleksi (bila ada)
8. Referensi atau sumber laporan
Pengolahan Data
Pengolahan data diawali dengan menyiapkan layer-layer yang diperlukan
dalam input data. Layer-layer tersebut diataranya adalah peta Pulau Jawa, peta

3
tutupan lahan dan peta topografi (DEM). Pengolahan peta-peta tersebut dilakukan
dengan aplikasi sistem informasi geografis.
Pembuatan Peta batas administrasi Pulau Jawa
Peta batas administrasi pulau Jawa yang digunakan berupa peta batas desa,
kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Peta batas administrasi diperoleh dari Badan
Informasi Geospasial (BIG), dalam format digital.
Pembuatan peta tutupan lahan
Tutupan lahan merupakan pemanfaatan dan penataan suatu lahan. Data
tutupan lahan diperoleh dari situs webgis kehutanan (Kemenhut 2011), kemudian
diolah dengan menggunakan ArcGIS 9.3. Tutupan lahan diklasifikasikan kedalam
pemukiman, persawahan, perkebunan, semak belukar, pertanian, lahan terbuka
dan hutan.
Pembuatan Peta Topografi (DEM)
DEM merupakan suatu citra yang memetakan ketinggian suatu lokasi dari
permukaan bumi. Pembuatan peta DEM dilakukan dengan menggunakan software
ArcGIS 9.3. Peta ketinggian diklasifikasikan dengan interval perlimaratus meter
dari permukaan laut yaitu antara 0-500 mdpl, 500-1000 mdpl, 1000-1500 mdpl,
1500-2000 mdpl, 2000-2500 mdpl, 2500-3000 mdpl, 3000-3500 mdpl, dan 35004000 mdpl.
Data DEM

Surfacing

Peta Ketinggian
Gambar 1 Proses pembuatan peta topografi (ketinggian)
Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan
aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk membuat peta persebaran ular
(Ophidia). Input data ular ke dalam peta dilakukan dengan mengklasifikasikan
lokasi penemuan berdasarkan desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi.
Kemudian hasilnya di overlay dengan peta Pulau Jawa, peta tutupan lahan dan
peta topografi (ketinggian). Adapun skema pembuatan peta persebaran ular dapat
dilihat dalam Gambar 2.

4

Spread Sheet

Data Spasial

Data DEM

Analisis Spasial

Lokasi Penyebaran

Surfacing

Peta Tata Guna
Lahan

Peta Penyebaran
Ular

Peta Elevasi

Peta Penyebaran Ular
Berdasarkan Tata Guna
Lahan

Peta Penyebaran Ular
Berdasarkan Ketinggian

Gambar 2 Skema pembuatan peta persebaran ular (Ophidia) di Pulau Jawa.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Jenis Ular di Pulau Jawa
Data jenis ular di Pulau Jawa dari hasil yang dikumpulkan adalah sebanyak
2576 data. Berdasarkan data tersebut, hanya sebagian kecil data jenis ular yang
memiliki titik koordinat yaitu 18 titik, sedangkan data yang lain lokasi
penemuannya hanya menyebutkan batas desa, kecamatan dan kabupaten bahkan
terdapat beberapa jenis ular yang lokasi penemuannya hanya dituliskan di provinsi
tertentu dan di Pulau Jawa. Jumlah data yang menyebutkan lokasi penemuan pada
batas desa adalah sebanyak 688 data, yang menyebutkan lokasi penemuan pada
batas kecamatan adalah sebanyak 1640 data, yang menyebutkan batas kabupaten
adalah sebanyak 2367 data, dan jumlah data yang menyebutkan lokasi penemuan
hanya di Pulau Jawa dan data yang tidak disebutkan lokasi penemuannya adalah
sebanyak 208 data. Penyebaran jenis ular berdasarkan koordinat, batas desa,
kecamatan dan kabupaten dapat dilihat pada Gambar 3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis ular yang ada di Pulau
Jawa adalah sebanyak 100 jenis dari 15 famili (Lampiran 1). Famili Colubridae
merupakan famili yang memiliki jumlah jenis yang paling banyak yaitu 42 jenis,
sedangkan famili yang jumlah jenisnya paling sedikit adalah famili
Cylindropiidae,
Gerrhopilidae,
Lamprophiidae,
Pseudoxenodontidae,
Xenodermatidae dan Xenopeltidae yaitu masing-masing satu jenis (Gambar 4).
Lang dan Vogel (2005) menyatakan bahwa famili Colubridae merupakan famili

5
dengan jumlah jenis yang paling banyak dibandingkan famili yang lainnya. Hal
ini menyebabkan jenis terbanyak yang ada di Pulau Jawa adalah jenis yang
tergolong kedalam famili Colubridae.

b)

c)

d)

Gambar 3 Peta penyebaran ular berdasarkan: a) titik koordinat, b) batas desa, c)
batas kecamatan, dan d) batas kabupaten.

6

Gambar 4 Komposisi jenis ular per famili
Jumlah jenis ular di Pulau Jawa sebelumnya pernah dilaporkan oleh de
Rooij pada tahun 1917 yaitu sebanyak 109 jenis dari 15 famili. Namun setelah di
koreksi dengan reptile database (Uetz dan Hosek 2014), dari 109 jenis ular yang
dilaporkan oleh de Rooij (1917) terdapat beberapa jenis yang merupakan sinonim
dari satu jenis (Lampiran 3). Jenis Dryophis mycterizans dan Dryophis
xanthozona merupakan sinonim dari Ahaetulla mycterizans. Jenis
Dipsadomorphus jaspideus dan Dipsadoides decipiens merupakan sinonim dari
Boiga jaspidea. Jenis Calamaria linnaei dan Calamaria sondaica merupakan
sinonim dari Calamaria linnaei. Jenis Calamaria lumbricoidea, Calamaria
bungaroides dan Calamaria vermiformis merupakan sinonim dari Calamaria
lumbricoidea. Jenis Zamenis korros dan Ablabes libertatis merupakan sinonim
dari Ptyas korros. Jenis Hydrophis frontalis dan Hydrophis polyodontiis
merupakan sinonim dari Hydrophis caerulescens. Jumlah ular yang dilaporkan
oleh de Rooij setelah dikoreksi dengan reptile database adalah sebanyak 101 jenis.
Apabila hasil penelitian dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan oleh
de Rooij (1917), maka jenis hasil penelitian mengalami penurunan jumlah yaitu
dari 101 jenis menjadi 100 jenis tetapi dengan jumlah famili yang sama yaitu 15
famili (Lampiran 3). Selain mengalami penurunan jumlah jenis, komposisi
jenisnya juga mengalami berbeda. Terdapat 16 jenis yang tercatat dalam laporan
de Rooij (1917) yang tidak ditemukan dalam penelitian yaitu Brachyorrhus albus,
Calamaria javanica, Calamaria margaritophora, Calamaria melanota,
Calamaria occipitalis, Calamaria pavimentata, Calamaria sumatrana,
Chrysopelea chrysochlora, Hydrophis viperinus, Oligodon propinquus, Platurus
laticaudatus, Platurus schistorhynchus, Thalassophis annandalei, Typhlops

7
bisubocularis, Typhlops polygrammicus, dan Xenelaphis hexagonotus. Selain itu,
terdapat 15 jenis hasil penelitian yang tidak tercatat dalam laporan de Rooij
(1917) yaitu Boiga irregularis, Calamaria albiventer, Calamaria modesta,
Daboia siamensis, Dendrelaphis underwoodi, Hydrophis atriceps, Hydrophis
caerulescens, Hydrophis curtus, Hydrophis elegans, Hydrophis melanocephalus,
Hydrophis ornatus, Hydrophis spiralis, Sibynophis collaris, Sibynophis
melanocephalus, dan Xenochrophis melanzostus. Akan tetapi, untuk jenis
Calamaria albiventer masih belum dipastikan benar dalam mengidentifikasi
karena jenis ini merupakan hasil ekspedisi mahasiswa dan spesimennya tidak ada
sehingga tidak dapat diidentifikasi jenis kembali. Tidak ditemukannya jenis yang
dilaporkan oleh de Rooij (1917) bukan berarti jenis tersebut sudah tidak ada di
Pulau Jawa, akan tetapi masih banyak lokasi di pulau Jawa yang belum
tereksplorasi sehingga jenis tersebut masih belum ditemukan kembali.
Berdasarkan jenis ular hasil penelitian, terdapat jenis ular yang memiliki
potensi sebagai satwa invasif yaitu jenis Boiga irregularis. Boiga irregularis
merupakan jenis ular yang berasal dari Papua New Guinea (Savidge 1988). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa jenis Boiga irregularis ditemukan di
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah pada tahun 2006. Rodda dan Fritts (1992)
menyatakan bahwa Boiga irregularis merupakan jenis invasif di Guam.
Keberadaan Boiga irregularis menyebabkan terjadinya penurunan tingkat
biodiversitas di Guam. Boiga irregularis telah memusnahkan sebagian besar jenis
burung dan herpetofauna di Guam, menyebabkan kepunahan lokal lebih dari
setengah burung dan kadal spesies asli Guam serta dua dari tiga spesies kelelawar
asli Guam. Beberapa spesies asli kadal di Guam punah atau terancam punah
akibat keberadaan ular ini.
IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources) merupakan salah satu lembaga konservasi yang secara luas diakui
paling komprehensif dan dengan pendekatan objektif untuk mengevaluasi status
konservasi suatu spesies tumbuhan dan hewan (IUCN 2014). IUCN
mengkategorikan status konservasi spesies tumbuhan dan hewan ke dalam 8
kategori yaitu punah (EX), punah di alam (EW), kritis (CR), genting (EN), rentan
(VU), hampir terancam (NT), resiko rendah (LC) dan kurang data (DD) (IUCN
2014). Dari 101 jenis ular di Pulau Jawa, terdapat 77 jenis yang tergolong
kedalam kategori LC, lima jenis DD, tiga jenis VU, dan 16 jenis tidak termasuk
ke dalam kategori IUCN karena merupakan jenis yang belum dievaluasi oleh
IUCN (Lampiran 1). Jenis ular yang tergolong kategori rentan (VU) diantaranya
adalah Ophiophagus hannah, Python bivittatus dan Tetralepis fruhstorferi. Selain
itu, terdapat lima jenis ular yang tergolong kedalam Appendix II (Ptyas mucosus,
Naja sputatrix, Ophiophagus Hannah, Malayapython reticulatus dan Python
bivittatus) dan satu jenis tergolong kedalam Appendix III (Xenoxhrophis piscator).
Jenis yang termasuk ke dalam Appendix II merupakan jenis yang tidak terancam
punah akan tetapi dimungkinkan akan terancam punah apabila perdagangannya
tidak di atur (Soehartono 2003). Namun, dalam daftar jenis Appendix II terdapat
satu jenis ular di Pulau Jawa yang status konservasinya terancam yaitu
Ophiophagus hannah yang tergolong kategori rentan (VU).

8
Tabel 1 Perbandingan jumlah jenis per Provinsi
Jumlah
Tahun
Tahun
Jumlah
spesimen penemuan
penemuan
Provinsi
jenis
tercatat
terlama
terkini
39
117
1932
2014
Banten
27
76
1905
2014
DI Yogyakarta
26
69
1905
2014
DKI Jakarta
78
1344
1904
2014
Jawa Barat
43
255
1905
2014
Jawa Tengah
63
524
1905
2013
Jawa timur

Jumlah
tahun
penemuan
25
11
25
92
27
33

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa jumlah jenis ular di Pulau Jawa berbeda
untuk masing-masing provinsi. Provinsi yang memiliki jumlah jenis yang paling
banyak adalah provinsi Jawa Barat yaitu 78 jenis dan tepatnya didominasi di
kabupaten Bogor yaitu 55 jenis (Gambar 5). Hal ini disebabkan karena data
eksplorasi ular yang paling banyak dilakukan adalah di provinsi Jawa Barat. Hal
ini terlihat dari jumlah tahun penemuan di Jawa Barat jauh lebih banyak
dibandingkan di provinsi lainnya yaitu 92 tahun dari 100 tahun selang waktu
penemuan ular. Sehingga jumlah spesimen yang tercatat dan jumlah jenis ular di
Jawa Barat jauh lebih banyak dibandingkan di provinsi lainnya yaitu 1344
spesimen dari 78 jenis. Masih banyak lokasi yang belum tereksplorasi sehingga
masih banyak jenis-jenis ular yang kemungkinan dapat ditemukan di Pulau Jawa.

Gambar 5 Peta jumlah jenis ular berdasarkan kabupaten
Berdasarkan tahun penemuannya, dari 100 jenis ular di Pulau Jawa terdapat
12 jenis ular yang baru ditemukan pada periode tahun 2006-2014 yaitu Ahaetulla
mycterizans, Boiga irregularis, Calamaria albiventer, Dendrelaphis underwoodi,

9
Dryophiops rubescens, Oligodon signatus, Sybinophis collaris, Hydrophis
atriceps, Hydrophis curtus, Hydrophis melanocephalus, Hydrophis stokesii, dan
Python bivittatus. Selain itu, terdapat juga jenis ular yang hanya dijumpai pada
periode tahun sebelum tahun 1945 yaitu Hydrophis hardwickii. Sedangkan 14
jenis ditemukan di semua periode tahun diantaranya adalah Ahaetulla prasina,
Calamaria linnaei, Coelognathus flavolineatus, Dendrelaphis pictus, Ptyas korros,
Cylindrophis ruffus, Bungarus candidus, Calliophis intestinalis, Naja sputatrix,
Homalopsis buccata, Rhabdophis chrysargos, Rhabdophis subminiatus,
Indotyphlops braminus dan Calloselasma rhodostoma (Lampiran 2).
Penyebaran Ular Berdasarkan Ketinggian
Pulau Jawa memiliki ketinggian tempat mulai 0 meter dari permukaan laut
hingga puncak tertinggi di Pulau Jawa yaitu gunung semeru dengan ketinggian
mencapai 3676 meter dari permukaan laut. Peta ketinggian Pulau Jawa di
klasifikasikan menjadi sembilan kelas dengan interval 500 m yaitu antara 0-500 m,
500-1000 m, 1000-1500 m, 1500-2000 m, 2000-2500 m, 2500-3000 m, 30003500 m dan 3500-4000 m (Gambar 5). Analisis peta penyebaran ular dengan
ketinggian Pulau Jawa dilakukan pada jenis ular yang memiliki titik koordinat
GPS dan batas desa ditemukannya jenis tersebut (Gambar 6).

Gambar 6 Peta penyebaran ular berdasarkan ketinggian
Hasil analisis menunjukkan bahwa penyebaran ular menyebar pada desa
yang mempunyai ketinggian dari 0-3000 mdpl. Pada ketinggian 0-500 mdpl
ditemukan 60 jenis dari 14 famili, pada ketinggian 500-1000 mdpl ditemukan 36
jenis dari 9 famili, pada ketinggian 1000-1500 mdpl ditemukan 38 jenis dari 10
famili, pada ketinggian 1500-2000 mdpl ditemukan 33 jenis dari 10 famili, pada
ketinggian 2000-2500 mdpl ditemukan 17 jenis dari 6 famili dan pada ketinggian
2500-3000 mdpl ditemukan 14 jenis dari 5 famili (Gambar 6).

10
Jumlah Jenis Ular Berdasarkan ketinggian

Jumlah Jenis (individu)

70

60

60
50
36

40

38
33

30
17

20

14

10
0
0-500

500-1000 1000-1500 1500-2000 2000-2500 2500-3000
Selang Ketinggian (mdpl)

Gambar 7 Grafik hubungan jumlah jenis dengan ketinggian
Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa jumlah jenis ular mengalami
penurunan seiring dengan bertambah ketinggian suatu lokasi. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan Primack et al. (1998) bahwa komposisi komunitas dan
keragaman jenis lebih besar di dataran rendah dibandingkan dengan dataran tinggi
serta kelimpahan jenis akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya
ketinggian. Selain itu, ular merupakan binatang berdarah dingin yang tidak bias
menghasilkan suhu tubuh sendiri. Suhu tubuh ular bergantung terhadap suhu
lingkungannya, sehingga pada suhu daerah yang dingin akan lebih jarang
dijumpai ular. Colubridae, Natricidae, Pareatidae, Viperidae dan Xenodermatidae
merupakan famili yang memiliki penyebaran yang merata dari ketinggian 0-500
mdpl, hingga ketinggian 2500-3000 mdpl. Sedangkan famili yang paling kecil
penyebarannya adalah famili Acrochordidae dan Gerrhopilidae yaitu hanya pada
ketinggian 0-500 mdpl.
Penyebaran Ular Berdasarkan Tutupan Lahan
Analisis peta penyebaran ular dengan tutupan lahan tidak dapat dilakukan
untuk semua jenis. Hal ini dikarenakan unit terkecil dari lokasi penemuan ular
berbeda-beda. Ada lokasi penemuan ular yang memiliki titik koordinat GPS dan
ada juga yang hanya menyebutkan batas desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Data penyebaran peta yang dapat di analisis dengan peta tutupan lahan adalah
jenis yang memiliki titik koordinat GPS (Gambar 5). Hal ini dikarenakan satu
desa akan memiliki lebih dari satu tutupan lahan sehingga apabila yang digunakan
adalah batas desa akan terjadi kerancuan jenis tersebut ditemukan pada tutupan
lahan yang seperti apa, begitu juga dengan batas kecamatan dan kabupaten.

11

Gambar 8 Penyebaran ular berdasarkan tutupan lahan
Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa terdapat 18 titik dari 15 jenis dan 6
famili. Hasil overlay titik koordinat dengan tutupan lahan menujukkan bahwa titik
paling banyak ditemukan pada lahan perkebunan yaitu 9 titik dari 8 jenis,
kemudian pada lahan pemukiman ditemukan 4 titik dari 3 jenis, pada lahan hutan
ditemukan 3 titik dari 3 jenis dan pada lahan sawah ditemukan 2 titik dari 2 jenis.
Jenis yang ditemukan di lahan perkebunan diantaranya adalah Aplopeltura boa,
Dendrelaphis formosus, Ptyas korros, Trimeresurus puniceus, Ahaetulla prasina,
Xenochrophis trianguligerus, Calamaria linnaei dan Rhabdophis chrysargoides.
Jenis yang ditemukan di lahan pemukiman diantaranya adalah Naja sputatrix,
Calloselasma rhodostoma dan Lycodon capucinus. Jenis yang ditemukan pada
lahan hutan diantaranya adalah Dendrelaphis formosus, Coelognathus
flavolineatus dan Calliophis intestinalis. Jenis yang ditemukan pada lahan sawah
diantaranya adalah Homalopsis buccata dan Boiga drapiezii.
Aplopeltura boa merupakan jenis ular yang tergolong kedalam famili
Pareatidae. Aplopeltura boa yang memiliki titik koordinat ini ditemukan pada
tahun 2001. David dan Vogel (1996) menyatakan bahwa Aplopeltura boa
merupakan jenis yang hidup di hutan hujan tropis, hutan pegunungan tropis dan
subtropis. Lim et al. (2010) juga menyatakan bahwa Aplopeltura boa merupakan
jenis yang hidup di hutan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada perubahan habitat
di titik lokasi penemuan Aplopeltura boa yang pada tahun 2001 merupakan hutan
kemudian sekarang menjadi lahan perkebunan.
Dendrelaphis formosus merupakan jenis ular yang tergolong kedalam famili
Colubridae. Pada tahun 1999 Dendrelaphis formosus ditemukan pada lahan hutan,
sedangkan pada tahun 2013 ditemukan di lahan perkebunan. David dan Vogel

12
(1996) dan Stuebing dan Inger (1999) menyatakan bahwa Dendrelaphis formosus
hidup pada hutan primer, hutan sekunder, hutan hujan tropis dataran rendah,
semak belukar dan kebun karet. Dendrelaphis formosus merupakan jenis ular
yang hidup di pepohonan atau arboreal. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi
penemuan Dendrelaphis formosus masih sesuai dengan habitat aslinya.
Ptyas korros merpakan jenis ular yang tergolong kedalam famili Colubridae.
Jenis ini ditemukan tahun 2013 pada tipe penggunaan lahan berupa perkebunan.
Lokasi penemuan tersebut sesuai dengan habitat Ptyas korros seperti yang
disebutkan Yanuarefa et al. (2012) bahwa Ptyas korros menempati habitat
persawahan, kebun dan pekarangan.
Trimeresurus puniceus merupakan jenis ular yang tergolong kedalam famili
Viperidae. Jenis ini ditemukan tahun 1998 pada tipe penggunaan lahan berupa
perkebunan. David dan Vogel (1996) menyatakan bahwa Trimeresurus puniceus
hidup di habitat hutan hujan tropis, hutan pegunungan tropis dan subtropics, hutan
bamboo, semak belukar di pegunungan, perkebunan dan areal budidaya terutama
kebun teh dan kopi. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penemuan masih sesuai
sebagai habitat Trimeresurus puniceus.
Ahaetulla prasina merupakan jenis ular yang tergolong kedalam famili
Colubridae. Jenis ini ditemukan tahun 1996 pada tipe penggunaan lahan berupa
perkebunan. Ahaetulla prasina merupakan jenis yang memiliki penyebaran yang
luas dan dapat dijumpai disemua tipe habitat. Ahaetulla prasina dapat dijumpai
dari pepohonan sekitar rumah, semak belukar tepi jalan, hutan sekunder, hutan
primer, perkebunan dan lokasi lain yang bervegetasi (Lang dan Vogel 2005;
Stuebing dan Inger 1999; Yanuarefa et al. 2012).
Xenochrophis trianguligerus merupakan jenis ular yang tergolong kedalam
famili Natricidae. Jenis ini ditemukan pada tahun 1996 dan 2013 namun samasama ditemukan pada lahan perkebunan. Xenochrophis trianguligerus merupakan
jenis ular semi aquatic yang biasa ditemukan ditepian sungai. Meskipun tepi
sungai merupakan habitat yang umum untuk jenis ini, jenis ini juga ditemukan
disekitar kolam-kolam kecil dan sawah. Xenochrophis trianguligerus dapat
ditemukan di daerah hutan hujan tropis dan perkebunan (Stuebing dan Inger 1999;
David dan Vogel 1996).
Calamaria linnaei merupakan jenis ular yang tergolong kedalam famili
Colubridae. Jenis ini ditemukan tahun 2014 di lahan perkebunan. Calamaria
linnaei dapat ditemukan di permukaan tanah lantai hutan dataran rendah. Jenis ini
umumnya menempati hutan dataran rendah hingga dataran tinggi di Jawa, dan
sering ditemukan di hutan dan perkebunan (IUCN 2012).
Rhabdophis chrysargoides merupakan jenis ular yang tergolong kedalam
famili Natricidae. Jenis ini ditemukan pada lahan perkebunan. Menurut Lang dan
Vogel (2005), jenis ini ditemukan di tepi danau, sepanjang sungai baik aliran
primer dan sekunder, hutan dataran rendah dan pegunungan dan didaerah sekitar
pedesaan.
Naja sputatrix merupakan jenis ular yang termasuk kedalam famili Elapidae.
Jenis ini ditemukan tahun 2012 dan tahun 2013 di daerah pemukiman. Lokasi
penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian Parjoni (2012) bahwa di Jawa Timur,
Naja sputatrix membangun sarangnya pada beberapa tipe habitat seperti sawah,
daerah ekoton, kebun masyarakat, hutan jati, pemukiman dan rel kereta api.
Yanuarefa et al. (2012) menyebutkan bahwa Naja sputatrix menempati habitat

13
berupa daratan, sawah, daerah rimbun yang lembab, dan banyak menempati
lubang-lubang tanah.
Calloselasma rhodostoma merupakan jenis ular yang termasuk kedalam
famili Viperidae. Jenis ini ditemukan tahun 2012 pada daerah pemukiman. Das
(2010) yang diacu dalam IUCN (2012) mengatakan bahwa jenis ini dapat
dijumpai pada hutan dataran rendah dan sub pegunungan, juga dapat ditemukan di
daerah perkebunan.
Lycodon capucinus merupakan jenis ular yang termasuk kedalam famili
Colubridae. Jenis ini ditemukan tahun 2014 pada daerah pemukiman. Lycodon
capucinus memiliki penyebaran di sekitar rumah penduduk dan bahkan di kotakota kecil jenis ini masuk ke dalam rumah untuk mencari mangsanya yaitu cicak
rumah (Stuebing dan Inger 1999).
Coelognathus flavolineatus merupakan jenis ular yang termasuk kedalam
famili Colubridae. Jenis ini ditemukan 1999 pada penggunaan lahan berupa hutan.
Lang dan Vogel (2005) mengatakan bahwa jenis ini sering dijumpai di daerah
hutan terutama di daerah yang terbuka seperti tepi atau sisi jalur, savana, semak
belukar dan padangrumput, dan ditemukan juga di daerah perkebunan, sawah dan
pinggir perkotaan.
Calliophis intestinalis merupakan jenis ular yang termasuk kedalam famili
Elapidae. Jenis ini ditemukan tahun 1996 pada penggunaan lahan berupa hutan.
Calliophis intestinalis dijumpai pada perkebunan, hutan primer dan hutan
sekunder. Biasanya jenis ini hidup di lantai hutan, di bawah batu, akar, batang
tumbang dan beberapa puing-puing (Stuebing dan Inger 1999; David dan Vogel
1996).
Homalopsis buccata merupakan jenis ular yang termasuk kedalam famili
Homalopsidae. Jenis ini ditemukan tahun 2012 pada lahan sawah. Sawah
merupakan salah satu habitat bagi jenis ini karena ini merupakan jenis akuatik.
Homalopsis buccata ditemukan di sungai, rawa, kolam, sawah dan jenis ini
merupakan jenis pemakan ikan (Stuebing dan Inger 1999; David dan Vogel 1996).
Boiga drapiezii merupakan jenis ular yang termasuk kedalam famili
Colubridae. Jenis ini ditemukan tahun 2011 pada lahan sawah. David dan Vogel
(1996) menyatakana bahwa Boige drapiezii merupakan jenis yang memangsa
kadal dan juga burung. Sawah menyediakan pakan yang cukup bagi jenis ini
karena sawah merupakan salah satu habitat beberapa jenis kadal dan cicak.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Jumlah jenis ular di Pulau Jawa terkini adalah 100 jenis dari 15 famili, lebih
sedikit daripada hasil laporan de Rooij (1917).
2. Record hasil penelitian paling banyak dilakukan di Jawa Barat.
a. Jenis ular paling banyak ditemukan di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten
Bogor.
b. Jenis ular paling banyak ditemukan pada ketinggian 0-500 meter dpl.
Jumlah jenis ular berkurang dengan semakin tinggi elevasi.

14
c. Ular paling banyak ditemukan di perkebunan. Sisanya di sawah, pemukiman,
dan hutan.
Saran
1. Dalam survey ular data harus dilengkapi dengan informasi detil seperti titik
koordinat, habitat, aktivitas, lokasi dan waktu survey.
2. Eksplorasi ular di jawa sebaiknya dilakukan di lokasi yang minim data.
3. Penemuan spesies yang diragukan jenisnya harus diambil spesimennya agar
dapat dilakukan identifikasi lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Arisnagara F. 2009. Pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan di Daerah
Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. [Skripsi]. Bogor(ID): Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB.
David P, Vogel G. 1996. The Snakes of Sumatra. An Annotated Checklist and Key
with Natural History Notes. Edition Chimaira. Brno (CZ).Bekros.
de Rooij N. 1917. The Reptiles of Indo-Australian Archipelago. II. Ophidia.
Netherland (NL): E.J. Brill Leiden.
Endarwin W. 2007. Sanca Kembang di Kampus IPB Dramaga. Warta
Herpetofauna Edisi VIII. 4-5.
Eprilurahman R, Hilmy MF, Qurniawan TF. 2009. Studi keanekaragaman reptil
dan amfibi di Kawasan Ekowisata Linggo Asri, Pekalongan, Provinsi Jawa
Tengah. Berkala Penelitian Hayati. 15:93-97.
Eprilurahman R, Qurniawan TF, Kusuma KI, Chomsun HK. 2010. Studi awal
keanekaragaman herpetofauna di Petungkriyono Kabupaten Pekalongan
Provinsi Jawa Tengah. Zoo Indonesia. 19(1):19-30.
Febrianty B. 2010. Ekspedisi KPH “Python” di Cikabayan, IPB. Warta
Herpetofauna. 3(2):14-15.
Fitri A. 2007. Ada katak dan reptil apa aja sih di Gunung Salak dan sekitarnya?.
Warta Herpetofauna Edisi VII. 5-6.
Hartigan A, Phalen DN, Slapeta J. 2010. RMeseuarscheum material reveals a frog
parasite emergence after the invasion of the cane toad in Australia. Parasites
& Vectors. 3:50
Herbert, Rompis ALT, Batan IW. 2012. Jenis ular dan sebarannya di Kecamatan
Kuta Selatan Badung Bali. Indonesia Medicus Veterinus. 1(1): 55 – 70.
[HIMAKOVA] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. 2008. Laporan Rafflesia (Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata
Indonesia) keanekaragaman hayati Gunung Simpang. [Laporan]. Bogor(ID):
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan IPB.
[HIMAKOVA] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. 2009. Eksplorasi biodiversitas cagar alam Rawa Danau sebagai
dasar pengelolaan dan perlindungan fungsi reservoir alam. [Laporan].

15
Bogor(ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Fakultas Kehutanan IPB.
[HIMAKOVA] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. 2011. Laporan Rafflesia (Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata
Indonesia) Taman Nasional Gunung Halimun Salak. [Laporan]. Bogor(ID):
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan IPB.
[HIMAKOVA] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. 2012. Laporan Rafflesia (Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata
Indonesia) Taman Wisata Alam Sukawayana, Cagar Alam Sukawayana, dan
Cagar Alam Tangkuban Perahu. [Laporan]. Bogor(ID): Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB.
[HIMAKOVA] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. 2013. Korelasi biodiversitas kawasan Cagar Alam Bojonglarang
Jayanti dengan social budaya masyarakat sekitar kawasan. [Laporan].
Bogor(ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Fakultas Kehutanan IPB.
Husna N. 2006. Sebaran Spasial dan Keanekaragaman Ular di Berbagai Tipe
Penggunaan Lahan di SKW 1 Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo
[skripsi]. Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB.
[IBSAP] Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan. 2003. Strategi dan
Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Ministry of
National Development Planning.
Inger RF, Voris HK. 2001. The Biogeographical Relations of the Frogs and
Snakes of Sundaland. Journal of Biogeography. 28:863-891.
Iskandar DT, Erdelen WR. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in
Indonesia: issues and problems. Amphibian and Reptile Conservation. 4 (1):
60 – 87.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resourches.
2012. The IUCN Red List of Threatened Species. Calloselasma rhodostoma.
[Internet].
[diunduh
2014
September
4].
Tersedia
pada:http://www.iucnredlist.org/details/192168/0.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resourches.
2012. The IUCN Red List of Threatened Species. Calamaria linnaei.
[Internet].
[diunduh
2014
September
4].
Tersedia
pada:
http://www.iucnredlist.org/ details/192045/0.
Jayanto H, Yudha DS. 2014. Mengintip herpetofauna lokal dari pos jerapah,
Taman Safari Indonesia II, Prigen. Warta Herpetofauna. 2(1):4-6.
Kelompok Peneliti, Pengamat, dan Pemerhati Herpetofauna. 2011. Laporan
Penelitian Eksplorasi Cagar Alam Pulau Sempu Keanekaragaman Jenis
Herpetofauna di Cagar Alam Pulau Sempu Kecamatan Sumbermanjing,
Kabupaten Malang, Jawa Timur [Laporan]. Yogyakarta(ID): Bagian
Konservasi Sumber Daya Hutan, Universitas Gadjah Mada.
[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 2011. Peta Interaktif. [Internet]. [diunduh
2014 Juli 29]. Tersedia pada: http://appgis.dephut.go.id/appgis/.
[KPH HIMAKOVA] Kelompok Pemerhati Herpetofauna, Himpunan Mahasiswa
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 2010. Raffles 2010,

16
Herpetofauna Cagar Alam Gunung Burangrang. Warta Herpetofauna:
3(2);20-21.
Kurniati K, Crampton W, Goodwin A, Sinkins S. 2001. Herpetofauna Diversity of
Ujung Kulon National Park an Inventory Sesult in 1990. Berkala Penelitian
Hayati. 6:113-128.
Kurniati H. 2004. The Reptiles Species in Gunung Halimun National Park, West
Java, Indonesia. Berita Biologi. 7(1 & 2): 73-79. Edisi Khusus: Biodiversitas
Taman Nasional Gunung Halimun (III).
Lang R, Vogel G. 2005. The Snakes of Sulawesi. A Field Guide to the Land
Snakes of Sulawesi. Edition Chimaira, Frankfurt am Main. ISBN: 1613-2327.
Lim BL, Wira NA, Chan KO, Daicus B, Norhayati A. 2010. An Updated
Checklist of the Herpetofauna of Pulau Singa Besar, Langkawi, Peninsular
Malaysia. Malays. Appl. Biol. 39(1): 13-23.
Marlon R. 2014. Panduan Visual dan Identifikasi Lapang 107+ Ular Indonesia.
Jakarta (ID): PT. Indonesia Printer.
Mumpuni. 2001. Keanekaragaman Herpetofauna di Taman Nasional Gunung
Halimun, Jawa Barat. Berita Biologi. 5(6):711-720.
Parjoni. 2012. Tata Niaga, Parameter Demografi dan Karakteristik Habitat Ular
Sendok Naja Sputatrix (Boie. 1827) di Provinsi Jawa Timur [Tesis].
Bogor(ID): Sekolah Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor.
Perhutani Unit 1. 2011. Laporan Hasil Pemantauan Keanekaragaman Hayati
(Biodiversity) Tahun 2011 [Laporan]. Kendal(ID): KPH Kendal.
Prahasta E. 2005. Konsep – Konser Dasar Sistem Informasi Geografi. Bandung
(ID): Informatika Bandung.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi.
Jakarta(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Qurniawan TF, Addien FU, Eprilurahman R, Trijoko. 2012. Eksplorasi
Keanekaragaman Herpetofauna di Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulon
Progo Yogyakarta. Jurnal Teknosains. 1(2):78-85.
Qurniawan TF, Eprilurahman R. 2012. Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di
Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Biota. 17(2):78-84.
Qurniawan TF. 2013. Amfibi dan Reptil Karst Gunung Sewu Zona batur Agung,
Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Biota. 18(2):72-85.
Qurniawan TF, Eprilurahman R. 2013. Keanekaragaman Jenis Amfibi dan Reptil
Gumuk Pasir, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Zoo Indonesia. 22(3):815.
Rahardian R. 2012. Psammodynastes pulverulentus (Boie, 1827) di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango. Warta Herpetofauna. 5(3):29-31.
Rahayuningsih M, Abdullah M. 2012. Persebaran dan Keanekaragaman
Herpetofauna dalam Mendukung Konservasi Keanekaragaman Hayati di
Kampus Sekaran Universitas Negeri Semarang. Indonesian Journal of
Conservation. 1(1):1-10.
Riendriasari SD. 2009. Herpetofauna di Pulau Tinjil, Banten. Warta Herpetofauna.
3(1):12-13.
Rodda GH, Fritts TH. 1992. The Impact of Introduction of the Colubrid Snake
Boiga irregularis on Guam’s Lizards. Journal of Herpetology. 26(2):166174.

17
Savidge JA. 1988. Food Habits of Boiga irregularis, an Introduced Predator on
Guam. Journal of Herpetology. 22(3):275-282.
Sotaradu CRG. 2014. Perbandingan Keanekaragaman dan Sebaran Spasial Reptil
di Pulau Peucang dan Cidaon [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB.
Stuebing RB, Inger RF. 1999. A Field guide to The Snakes of Borneo. Natural
History Publ. Borneo(ID). Kota Kinabalu.
Suwardiansyah. 2009. Tahura Pancoran Mas yang Terlupakan. Warta
Herpetofauna. 2(2): 10.
Uetz P, Hosek J. 2014. The Reptile Database. [internet]. [diunduh 2014 Agustus
5]. Tersedia pada: http://www.reptile-database.org
Yanuarefa MF, Haryanto G, Utami J. 2012. Panduan Lapang Herpetofauna
(Amfibi dan Reptil) Taman Nasional Alas Purwo. Jawa Timur(ID): Balai
Taman Nasional Alas Purwo.
Yuniar D, Noer MI. 2012. Jenis-jenis Reptilia di Pusat Pendidikan dan Konservasi
Alam Bodogol, Bogor, Jawa Barat [Laporan]. Jakarta(ID): Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta.

18
Lampiran 1 Daftar jenis ular di Jawa berdasarkan hasil penelitian
Status
Spesies
Sumber
IUCN CITES
Famili Acrochordidae
Acrochordus granulatus
LC
Marlon (2014); Yanuarefa et al. (2012); MZB (185, 174, 186, 3323, 3324, 3325,
3326, 3327, 3328, 3329, 3330, 3331, 3332, 3333, 3334, 3335, 3336, 3337, 3338,
3339, 3340, 3341, 4171, 4172, 4173, 4174, 4175, 4279, 4372, 4373, 4374, 4375,
4376, 4377, 4378, 4379, 4380, 4381, 4382, 4383, 4384, 4385, 4386, 4387, 4388,
4389, 4390, 4391, 4392, 4393, 4394, 4395, 4396, 4397, 4398, 4399, 4400, 4401,
4402, 4403, 4404, 4405, 4406, 4407, 4408, 4409, 4410, 4411, 4412, 4413, 4414,
4415, 4416, 4417, 4418, 4419, 4420, 4421, 4422, 4423, 4424, 4425, 4426, 4427,
4428, 4429, 4430, 4431, 4432, 4433, 4434, 4435, 4436, 4437, 4439, 4440, 4441,
4442, 4443, 4444, 4445, 4446, 4447, 4448, 4449, 4450, 4451, 4452, 4453, 4454,
4455, 4456, 4457, 4458, 4459, 4460, 4461, 4462, 4463, 4464, 4465, 4466, 4467,
4468, 4469, 4470, 4471, 4472, 4473, 4474, 4475, 4476, 4477, 4478, 4479)
Acrochordus javanicus
LC
Marlon (2014); MZB (3343, 3344, 3345, 3346, 3347, 3348, 176, 181, 3349, 3350,
3351, 3352, 3353, 3354, 3355, 3356, 3357, 3358)
Famili Colubridae
Ahaetulla mycterizans
LC
Marlon (2014); MZB (3511)
Ahaetulla prasina
LC
Eprilurahman et al. (2009); Eprilurahman et al. (2010); Fitri (2007); Group SIOUX
(Agus rheno [diunggah: 13 Mei 2014]); Husna (2006); Kelompok Peneliti, Pengamat,
dan Pemerhati Herpetofauna UGM (2011); KPH HIMAKOVA (2010); Kurnati
(2004); Kurniati et al. (2001); HIMAKOVA (2009); HIMAKOVA (2012);
HIMAKOVA (2013); Marlon (2014); Mumpuni (2001); MZB (954, 1152, 4730,
4731, 1330, 1342, 1345, 1346, 3809, 1347, 2774, 2775, 3729, 3730, 520, 602, 607,
560, 894, 4756, 995, 963, 984, 1011, 4743, 4758, 982, 1032, 1078, 1103, 1180, 1245,
1343, 1348, 1510, 1498, 1778, 1638, 1824, 1825, 1967, 1826,

Lampiran 1 Daftar jenis ular di Jawa berdasarkan hasil penelitian (lanjutan)
Status
Spesies
Sumber
IUCN CITES
4736, 4737, 4738, 4739, 4740, 4741, 4742, 2072, 2129, 3615, 3616, 2351, 2674,
2675, 2676, 2693, 2933, 2794, 2804, 2871, 2956, 3164, 3173, 3174, 3092, 3653,
3654, 3655, 4745, 4746, 4747, 4748, 4749, 4750, 4751, 3279, 3508, 3796, 4113,
5274, 5278, 5177, 5202, 5205, 5206, 5414, 5415, 5416, 1111, 1112, 3044, 3045,
3046, 3901, 3902, 3903, 3904, 3905, 3906, 3907, 3908, 3909, 3910, 3911, 3912,
3913, 3914, 3915, 3916, 3917, 3918, 3919, 3920, 3921, 3922, 3923, 3924, 3925,
3926, 5356, 5357, 516, 1053, 1058, 1064, 1461, 5207, 5309, 5310, 5311, 5312, 5313,
514) ; Qurniawan & Eprilurahman (2012); Qurniawan (2013); Qurniawan et al.
(2012); Rahayuningsih dan Abdullah (2012); Sotaradu (2014); Yanuarefa et al.
(2012); Yuniar dan Noer (2012)
Boiga cynodon
LC
Marlon (2014); MZB (3857, 919, 678, 831, 832, 1170, 2151, 827, 837, 838)
Boiga dendrophila
Marlon (2014); MZB (1159, 808, 833, 839, 840, 3772, 3773, 3774) ; Yanuarefa et al.
(2012)
Boiga drapiezii
LC
Marlon (2014); Mumpuni (2001); MZB (807, 781, 2663, 3778, 3788, 4494, 4495,
4500)
Boiga irregularis
MZB (3777)
Boiga jaspidea
LC
MZB (3161)
Boiga multomaculata
Group SIOUX (Indra echa [diunggah: 14 Agustus 2013]); HIMAKOVA (2009);
HIMAKOVA (2012); Marlon (2014); MZB (3817, 768, 823, 888, 782, 779, 986,
1294, 1686, 1698, 1969, 2164, 2182, 2198, 4771, 3549, 769, 2092)
Boiga nigriceps
LC
Marlon (2014); MZB (773) ; Yuniar dan Noer (2012)
Calamaria albiventer
LC
HIMAKOVA (2003)
Calamaria bicolor
LC
MZB (747)

19

20
Lampiran 1 Daftar jenis ular di Jawa berdasarkan hasil penelitian (lanjutan)
Status
Spesies
Sumber
IUCN CITES
Calamaria linnaei
LC
Eprilurahman et al. (2010); MZB (1075, 1614, 920, 998, 4788, 4789, 753, 756, 733,
734, 735, 736, 749, 731, 742, 848, 849, 858, 3834, 3835, 3836, 3837, 3838, 3839,
3840, 3841, 3842, 3843, 3844, 3845, 3846, 3847, 847, 850, 777, 948, 949, 952, 415,
416, 902, 907, 965, 979, 972, 1050, 1262, 1093, 1098, 1106, 1193, 1439, 3825, 1203,
3833, 1436, 1444, 1443, 3832, 4790, 1578, 1667, 1713, 1714, 1727, 1739, 2044,
1993, 3794, 5172, 5420, 1395, 1396, 1224, 3534, 759, 4792, 4793, 4794, 4795, 4796,
4797, 4798, 760, 3523, 4492); Qurniawan & Eprilurahman (2012); Qurniawan et al.
(2012); Yuniar dan Noer (2012)
Calamaria lumbricoidea
LC
Kurnati (2004); Marlon (2014); MZB (748, 754, 744, 960, 978, 1516, 3162, 3797,
5275)
Calamaria modesta
LC
MZB (752, 4772, 4774, 4775, 4776, 4777, 4778, 4779, 4780, 4773, 5241, 3128)
Calamaria schlegeli
LC
Kurnati (2004); Mumpuni (2001); MZB (5418, 3515, 755, 758, 2356, 2594, 2749,
3165, 1001); Warta Herpetofauna; Yuniar dan Noer (2012)
Calamaria virgulata
LC
MZB (3516, 3517, 3518, 3519, 3520, 757, 738, 970, 1394, 1084, 1261, 1408, 1506,
1440, 1643, 1644)
Chrysopelea paradisi
LC
Husna (2006); Marlon (2014); MZB (1160, 915); Yanuarefa et al. (2012)
Coelognathus flavolineatus
LC
Marlon (2014); Mumpuni (2001); MZB (938, 3065, 278, 890, 932, 4827, 4828, 829,
906, 958, 1000, 1091, 1445, 1253, 1269, 1411, 1415, 1477, 1678, 1451, 1662, 1671,
1672, 2098, 2006, 1861, 1904, 2061, 2189, 2195, 2225, 2441, 2772, 2773, 2795,
3150, 3152, 3542, 126, 1416, 277, 286, 279, 2939, 3871, 2453)
Coelognathus radiatus
LC
Group SIOUX (Indra echa [diunggah: 23 Agustus 2013 dan 11 Desember 2013]);
Marlon (2014); MZB (1777, 1610, 122, 4800, 44, 98, 120, 1012, 1423, 1589, 1590,
1624, 2224, 3071, 5371, 2913, 42)
Dendrelaphis caudolineatus
Marlon (2014); MZB (1069)

Lampiran 1 Daftar jenis ular di Jawa berdasarkan hasil penelitian (lanjutan)
Status
Spesies
Sumber
IUCN CITES
Dendrelaphis formosus
LC
Febrianty (2010); Laporan Rafflesia Himakova; Marlon (2014); Mumpuni (2001);
MZB (5400, 1756, 1770, 1771, 1492, 18, 24, 1105, 1738, 1888, 2452, 5179, 5180,
1349, 4020, 25, 3171)
Dendrelaphis pictus
Husna (2006); KPH HIMAKOVA (2006); Febrianty (2010); Kurnati (2004);
Laporan Rafflesia Himakova; Marlon (2014); Mumpuni (2001); MZB (1157, 1351,
1915, 2942, 2943, 3811, 3812, 1760, 1769, 931, 3737, 134, 139, 851, 853, 885, 953,
999, 1167, 1350, 1353, 1352, 1728, 2723, 2692, 2722, 2779, 3169, 3170, 3798, 5136,
5370, 5175, 5176, 5401, 146, 1107, 3138, 3139, 3140, 3141, 3142, 3927, 3928, 3929,
3930, 3931, 3932, 3933, 3934, 3935, 3936, 3937, 3938, 3939, 3940, 3941, 3942,
3943, 3944, 3945, 3946, 3947, 3948, 3949, 3950, 3951, 5355, 5, 1054, 1056, 1065,
1757, 3361, 3552, 5316, 5317, 5318, 5319, 5320, 5321, 5322, 5323, 5324, 1331,
1332, 1860, 2666); Qurniawan & Eprilurahman (2012); Qurniawan (2013);
Riendriasari (2009); Yanuarefa et al. (2012); Yuniar dan Noer (2012)
Dendrelaphis underwoodi
LC
MZB (3553)
Dryophiops rubescens
LC
Husna (2006); MZB (3452); Yanuarefa et al. (2012)
Elapoidis fusca
LC
Mumpuni (2001); MZB (2296, 2596, 2935, 2746, 2785, 772, 4831, 696, 4832, 1003,
4493)
Gongylosoma baliodeirus
LC
KPH HIMAKOVA; Kurnati (2004); Marlon (2014); Mumpuni (2001); MZB (912,
771, 860, 862, 1696, 3581, 2355, 2748, 3154, 3155, 3156, 3157, 3158, 2945, 783,
4833, 4834, 4835, 4836, 4837, 4838, 4839, 4840, 4841, 4842)
Gongylosoma longicauda
LC
MZB (767)
Gonyosoma oxycephalum
LC
KPH HIMAKOVA; Kurniati et al. (2001); Marlon (2014); MZB (108, 911, 3819,
1701, 1702, 1703, 1704, 1705, 1502, 1503, 85, 43, 884, 103, 113, 114, 1100, 1101,
1501, 4801, 1458, 1507, 1623, 1626, 1668, 1706, 1789, 1795, 1813, 1877, 1884,
2122,
21

22
Lampiran 1 Daftar jenis ular di Jawa berdasarkan hasil penelitian (lanjutan)
Status
Spesies
Sumber
IUCN CITES
3075, 3120, 93, 99, 3775, 3776, 3779, 3780, 3781, 3782, 3783, 3784, 3785, 5354);
Qurniawan & Eprilurahman (2012); Qurniawan et al. (2012); Yanuarefa et al. (2012)
Liopeltis tricolor
LC
Kurnati (2004);Kurniati at al. (2001); MZB (763, 904, 1096, 1099, 1486, 4846, 4847
4848, 4849, 4850, 1448, 1534, 1639, 1700, 1707, 2035, 2803, 3159)
Lycodon capucinus
LC
Group SIOUX (Seagate kusyen [diunggah: 5 Juni 2012]; Indra echa [diuggah: 13 Juli
2013]; Mulyadi M [diunggah: 4 Agustus 2013]; Arif Rahman