Aplikasi Sistem Informasi Geografis SIG

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK MENENTUKAN LOKASI HUTAN KOTA DAN CONTOH PRA DESAIN HUTAN KOTA DI KECAMATAN BANYUWANGI, KABUPATEN BANYUWANGI AGE KRIDALAKSANA DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK MENENTUKAN LOKASI HUTAN KOTA DAN CONTOH PRA DESAIN HUTAN KOTA DI KECAMATAN BANYUWANGI, KABUPATEN BANYUWANGI AGE KRIDALAKSANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Age Kridalaksana NIM E34063106

Judul Skripsi : Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi

Nama : Age Kridalaksana NIM

: E 34063106

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS. Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. NIP.19501226 198003 1 002

NIP.19620316 198803 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP.19580915 198403 1 003

Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR

Allah SWT adalah sumber dari segala ilmu, penulis bersyukur atas setitik ilmu dan ridho yang dianugrahkan Allah SWT sehingga skripsi yang berjudul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi

Hutan Kota dan Contoh Pra desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi,

Kabupaten Banyuwangi” dapat diselesaikan. Penulis hanya berharap bahwa ilmu yang diperoleh tersebut mampu memberikan manfaat kebaikan bagi banyak pihak. Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan dari karya ilmiah ini karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karena itu peneliti selalu berharap saran, kritik dan masukan dari pembaca agar peneliti mampu mengembangkan diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Bogor, Oktober 2011

Age Kridalaksana NIM E34063106 Age Kridalaksana NIM E34063106

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 25 Januari 1988. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Drs. AH Hadiyin dan Dra. Sri Supadmi, dan mempunyai satu saudara yaitu Amesti Dyah Prameswari.

Penulis memulai pendidikan formal di SDN Penganjuran V Banyuwangi pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan formal di SLTPN 1 Banyuwangi pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2003. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Glagah Banyuwangi pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006.

Tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di IPB (Institut Pertanian Bogor) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selain mengikuti perkuliahan di Fakultas Kehutanan, penulis juga melakukan kegiatan PPEH (Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan) di Pangandaran dan Gunung Sawal pada tahun 2009. Tahun 2010, penulis mengikuti kegiatan PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) di HPGW (Hutan Pendidikan Gunung Walat) IPB. Penulis juga mengikuti kegiatan PKLP (Praktek Kerja Lapang Profesi) di Taman Nasional Baluran pada tahun 2010.

Penulis menyusun skripsi yang berjudul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis (GIS) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi” di bawah bimbingan Dr. Ir. Endes N Dahlan, MS. dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mamanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia yang tak terhingga yang dilimpahkan kepada penulis. Berbagai bantuan diterima penulis selama penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu, ibu, ibu (Dra. Sri Supadmi) dan bapak (Drs. AH. Hadiyin) atas kasih sayang, kebaikan dan segala sesuatu yang tidak mungkin bisa penulis hitung terlebih untuk membalasnya.

2. Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, pengetahuan dan meluangkan waktu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

3. Keluarga kedua penulis “OMDA Lare Blambangan Banyuwangi”, yang telah memberi wawasan, pengalaman, pengetahuan, kehangatan keluarga dan kasih sayang selama penulis menempuh ilmu di Bogor.

4. Teman – teman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata angkatan 43, bersama kalian waktu berjalan begitu cepat dan penulis baru menyadarinya saat satu persatu dari kalian mengucapkan perpisahan.

5. Teman – teman laboratorium analisis spasial lingkungan (kakak tingkat, adik tingkat, teman satu angkatan). Penulis tidak mampu menyebutkan setiap nama kalian satu persatu karena kalian semua sangat berarti bagi penulis dan penulis hanya mengingat bahwa penulis berhutang banyak hal dari kalian semua.

6. Marisha ARL 45, Atik ARL 45, Mita ARL 44, terima kasih atas bantuan simbol pohon. Mungkin kalian akan melupakan penulis karena pertemuan kita begitu singkat, namun penulis tidak akan pernah melupakan sesuatu yang telah kalian berikan kepada penulis dan penulis berharap di lain kesempatan dapat melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan kalian.

7. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, pemerintah Kecamatan Banyuwangi, BAPPEDA Banyuwangi atas kesediannya memberi fasilitas kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Teman didaerah penulis “Mohammad Salahuddin Thalut”, terima kasih atas segala bantuan dan semoga kita tetap menjadi teman baik selamanya.

vii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Penandaan lokasi dengan GPS (Global Positioning System) .............................. 62 2. Classification accuracy assessment report ......................................................... 64

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota merupakan pusat kegiatan manusia yang dicirikan dengan kegiatan perdagangan atau jasa dan sebagai pusat pemerintahan. Pembangunan kota cenderung diarahkan menuju pembangunan fisik kota yang identik dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk aktifitas manusia. Pembangunan kota yang lebih mengutamakan pembangunan fisik dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan kota, terutama dalam hal kenyamanan. Ilmu arsitektur mengenal paling sedikit empat macam kenyamanan, yaitu: kenyamanan ruang, kenyamanan penglihatan, kenyamanan pendengaran dan kenyamanan termis (Karyono 2001). Kenyamanan termis merupakan jenis kenyamanan yang sangat berkaitan dengan pembangunan fisik kota. Umumnya pembangunan fisik kota yang tidak diimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau perkotaan, sehingga mengakibatkan suhu perkotaan meningkat bahkan menyebabkan terjadinya fenomena heat island di perkotaan.

Fenomena kenaikan suhu memang sudah terjadi sejak abad dua puluh dan terjadi di seluruh kota di Indonesia tidak terkecuali Kecamatan Banyuwangi. Suhu

udara rata-rata tahunan telah bertambah kira-kira 0.3 o C sejak tahun 1900. Sementara itu tahun 1990 menjadi dekade terpanas abad ini. Tahun 1998 menjadi

tahun terpanas hampir 1°C di atas rata-rata tahun 1961-1990. Rata-rata suhu udara di Indonesia mengalami peningkatan berkisar 0,2-1°C yang terjadi sejak tahun 1970 sampai tahun 2008 akibat adanya pemanasan global (Firman 2009) .

Fakta bahwa suhu bumi semakin meningkat, mengindikasikan bahwa faktor termal perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pembangunan kota karena faktor kenyamanan suhu bekaitan langsung dengan manusia di lokasi tersebut. Idealistina (1991) menyatakan bahwa suhu nyaman diperlukan manusia untuk mengoptimalkan produktifitas kerja. Standar kenyamanan termal yang berlaku di Indonesia berpedoman pada standar Amerika [ANSI/ASHRAE 55-1992] dan

merekomendasikan suhu nyaman 22.5 o -26 C, atau disederhanakan menjadi 24 C

±2 o C, atau rentang antara 22 C hingga 26 C.

Hutan kota merupakan suatu konsep yang dipercaya mampu untuk mengembalikan atau menstabilkan kondisi kenyamanan lingkungan perkotaan. Hutan kota dibangun dengan elemen lanskap utama berupa tegakan pohon.

Kemampuan pohon untuk menyerap polusi, menghasilkan oksigen (O 2 ) dari proses fotosintesis, meningkatkan kenyamanan termal, meredam kebisingan, memberi naungan, memberi nilai estetika, dll adalah alasan yang memperkuat bahwa hutan kota mampu mengembalikan keseimbangan dan kenyamanan lingkungan perkotaan. Fungsi hutan kota semakin optimal apabila hutan kota dibangun pada lokasi yang tepat, oleh karena itu diperlukan klasifikasi dan penilaian lahan sebelum menentukan lokasi untuk pembangunan hutan kota.

Hutan kota merupakan suatu kawasan hutan yang berada pada perkotaan. Pengertian hutan kota tentunya perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat, karena kawasan hutan yang akan dibangun berada di perkotaan yang merupakan pusat aktivitas manusia. Pengertian hutan dan pengertian kota tersebut dapat disatukan dengan membuat suatu desain tertentu sehingga manfaat kawasan hutan dapat dirasakan secara optimal tanpa harus menggangu aktivitas manusia di kawasan perkotaan tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah melakukan klasifikasi lahan untuk menentukan lokasi hutan kota, memetakan lokasi hutan kota serta membuat satu contoh desain hutan kota pada lokasi tertentu di Kecamatan Banyuwangi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Kota

2.1.1 Pengertian

Hutan kota adalah komunitas tumbuh-tumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis (Irwan 2007).

Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota menyatakan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak.

Dahlan (1992), ada dua pendekatan yang dipakai dalam membangun hutan kota. Pendekatan pertama, hutan kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu saja. Penentuan luasannya pun dapat berdasarkan: (1). Prosentase, yaitu luasan hutan kota ditentukan dengan menghitung dari luasan kota; (2). Perhitungan per kapita, yaitu luasan hutan kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya dan (3). Berdasarkan isu utama yang muncul. Pendekatan kedua, semua areal yang ada di suatu kota pada dasarnya adalah areal untuk hutan kota. Pada pendekatan ini komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan industri dipandang sebagai suatu enklave (bagian) yang ada dalam suatu hutan kota.

2.1.2 Manfaat Hutan Kota dalam Menurunkan Suhu

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan lain-lain. sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey & Deneke 1978).

Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya suatu hutan sangat dipengaruhi oleh : panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang.

Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

a. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5 - 31,0° C dengan kelembaban

66 - 92%.

b. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7 - 33,1° C dengan kelembaban 62 - 78%.

c. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3 - 32,1° C dengan kelembaban 62 - 78%.

2.1.3 Tipe dan Bentuk Hutan Kota

Dahlan (1992) membagi hutan kota menjadi bebrapa tipe dan bentuk. Tipe hutan kota, antara lain: tipe pemukiman, tipe kawasan industri, tipe rekreasi dan keindahan, tipe pelestarian plasma nutfah, tipe perlindungan, tipe pengamanan. Bentuk hutan kota, antara lain: jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun raya, hutan raya, kebun binatang, hutan lindung, kuburan dan taman makam pahlawan.

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)

2.2.1 Aplikasi Sistem Informasi Geografis

Pengindraan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990).

Temaja (2010) menggunakan metode pengindraan jauh untuk menduga distribusi suhu permukaan Kota Denpasar dengan data berupa Citra Lansat 7 ETM+. Suhu permukaan Kota Denpasar berdasarkan estimasi band 6 pada Citra Landsat dibedakan menjadi 17 kelas suhu permukaan yaitu dengan selang nilai Temaja (2010) menggunakan metode pengindraan jauh untuk menduga distribusi suhu permukaan Kota Denpasar dengan data berupa Citra Lansat 7 ETM+. Suhu permukaan Kota Denpasar berdasarkan estimasi band 6 pada Citra Landsat dibedakan menjadi 17 kelas suhu permukaan yaitu dengan selang nilai

suhu permukaan terendah yaitu 17,9 o C pada wilayah Kecamatan Denpasar yaitu tipe penutupan lahan mangrove.

Fajar (2010) menduga penutupan lahan dan distribusi suhu permukaan Kota Palembang dengan melakukan analisis estimasi Citra Landsat 7 ETM+. Hasil interpretasi dan analisis Citra Landsat 7 ETM+ pada tahun 2001 dan 2010 menunjukkan adanya perubahan tutupan lahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan non vegetasi yang cukup besar terjadi di pingguran Kota Palembang. Perubahan penggunaan lahan tersebut berakibat pada perubahan iklim mikro, diantaranya adalah peningkatan suhu permukaan, penurunan kelembaban relatif dan peningkatan indeks kenyaman. Sebaran suhu di Kota Palembang berkisar

antara 27 o C sampai 39 C. suhu pada ruang terbuka hijau berkisar antara 27 C

sampai 32 o C, sedangkan suhu pada area terbangun > 33

C. Nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dapat membantu dalam membedakan tutupan vegetasi dan non vegetasi dan memiliki kolerasi berupa hubungan berkebalikan dengan suhu permukaan, yaitu kenaikan suhu permukaan disertai dengan penurunan NDVI atau sebaliknya.

Yusri (2011) menggunakan metode pengindraan jauh untuk menduga perubahan penutupan lahan Taman Nasional Gunung Ciremai dan menggunakan data dasar berupa Citra Landsat 7 ETM+. Tipe penutupan lahan yang ada di Taman Nasional Gunung Ciremai dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu hutan alam, hutan tanaman, semak belukar, ladng, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Pada tahun 2006-2009 terjadi penurunan luas hutan alam sebesar 51,21 Ha, peningkatan luas hutan tanaman sebesar 92,88 Ha, kemudian diikuti oleh penurunan lahan terbuka sebesar 979,2 Ha, peningkatan semak belukar sebesar 746,73 Ha, peningkatan luas ladang 178,29 Ha serta badan air mengalami penurunan luas sebesar 1,62 Ha.

2.3 Pra Desain Lanskap

2.3.1 Pengertian

Desain lanskap adalah sebuah perluasan dari perencanaan tapak (Laurie 1986, diacu dalam Heryani 2008). Desain lanskap adalah proses yang membawa kualitas spesifik yang diberikan kepada ruang diagramatik rencana tapak dan merupakan level lain dimana arsitektur lanskap didiskusikan dan dikritik. Hasil dari proses desain adalah gambar kerja yang segera terwujud. Pra desain merupakan tahap persiapan desain. Hasil dari tahap ini adalah konsep perancangan site plan, denah, tapak, potongan dan perspektif (Anonim 2007).

2.3.2 Prinsip Desain

Pembuatan desain lanskap pada umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip desain agar menghasilkan desain yang berkualitas. Ried (1993) diacu dalam Heryani (2008) mengungkapkan prinsip desain meliputi : unity, harmony, interest, simplicity, emphasis, balance, scale dan proportion.

a. Kesatuan (Unity) Unity adalah penyatuan dari beberapa elemen desain sehingga dari semua komponen menghasilkan suatu kesatuan. Unity merupakan kualitas kesatuan dan perpaduan yang dicapai meliputi pengaturan berbagai elemen lanskap dengan keseluruhan pengaturan tema.

b. Keselarasan (Harmony) Harmony merupakan unsur penyelaras. Harmony merupakan pernyataan untuk kesesuaian antara elemen-elemen lanskap dengan lingkungan sekitarnya. Teknik untuk menunjukkan harmony yaitu dengan menunjukkan gambar yang akan direncanakan dalam bagian tertentu terhadap bentuk secara keseluruhan ide dan penyangga yang cukup antara elemen-elemen yang berbeda. Pada umumnya, aturannya adalah menghindari solusi yang memunculkan keanehan. Nilai keaslian dan fungsional akan menambah nilai harmony.

c. Menarik perhatian (Interest) Interest bukanlah prinsip dasar dalam pengaturan, tetapi aspek yang sangat penting terhadap kepuasan estetik dan keberhasilan suatu desain. Interest akan dicapai dengan memperkenalkan berbagai bentuk ukuran, tekstur dan warna, perubahan arah, pergerakan, suara dan kualitas cahaya.

d. Kesederhanaan (Simplicity) Simplicity sebagai unsur kesederhanaan. Simplicity merupakan hasil dari pengurangan elemen yang tidak penting, sehingga akan memiliki nilai ekonomis pada garis, bentuk, tekstur dan warna. Hal ini merupakan suatu dasar untuk membawa kemurnian dan tujuan desain. Simplicity akan membawa ke arah yang ekstrim, walaupun kesederhanaan menghilangkan kemonotonan

e. Aksentuasi (Emphasis) Emphasis menitikberatkan pada elemen atau pola tertentu. Emphasis atau dominan merupakan hal penting untuk diberikan pada suatu elemen lanskap. Elemen lanskap yang ada disekitarnya membutuhkan pengaturan dengan fokus terhadap atraksi, pengaruh dan kekuatan, dibatasi dengan menggunakan emphasis pada tempat istirahat untuk mata dan penolong orintasi. Seluruh gambar akan terasa menyenangkan ketika seseorang mudah untuk menemukan hal penting. Emphasis dapat dicapai dengan menentukan penggunaan yang kontras.

Emframement dan focalization merupakan prinsip pelengkap pada emphasis . Hal tersebut merupakan teknik untuk menyesuaikan dan mendukung lingkungan di sekitar lanskap. Focalization terjadi ketika elemen-elemen disekitarnya merupakan struktur yang dijadikan sebagai pemandangan utama, walaupun perhatiannya harus pasti terhadap daerah penting yang berguna bagi pengguna.

Ketika prinsip emphasis digunakan terhadap eleman lanskap berupa garis atau permukaan yang berpola, maka hasilnya adalah ritme. Ritme adalah emphasis yang sifatnya berulang dan beraturan. Istirahat, variasi dan getaran dapat mewujudkan perasaan yang bergerak pada lanskap.

f. Keseimbangan (Balance) Balance merupakan perasaan yang menyatakan pada keseimbangan. Hal itu berimplikasi pada kestabilan dan digunakan untuk menimbulkan perasaan damai dan nyaman. Keseimbangan dibagi menjadi dua keseimbangan formal (simetrik) dan non formal (asimetrik). Keseimbangan formal meliputi bentuk geometri, simetri dan memiliki karakter berupa pengulangan elemen-elemen yang serupa, serta memiliki sekmen pusat. Keseimbangan non formal memiliki bentuk non geometrik dan asimetrik.

g. Skala dan Proporsi (Scale dan Proportion) Scale dan proportion, mengacu pada pembidangan relatif antara ketinggian, panjang, luas, masa dan volume. Scale dan proportion menunjukkan perbandingan yang relatif dari tinggi, lebar, luas, jumlah dan volume. Perbandingan antara elemen dengan area yang ditempati. Proportion mengacu pada bagian dari suatu objek dalam hubungannya dengan sisa objek tersebut, sedangkan scale adalah perbandingan seluruh objek dalam hubungannya dengan objek yang lain.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 11 bulan dan dimulai pada bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian beserta fungsinya disajikakan pada Tabel 1. Tabel 1 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan Bahan Fungsi

A. Alat 1. Kamera

Mengambil gambar di lokasi penelitian 2. GPS (Global Positioning System)

Untuk menandai dan mengambil posisi koordinat geografi lapangan

3. Alat tulis Mencatat hasil penelitian 4. Software ERDAS 9.1

Mengolah data spasial

5. Software ArcGIS 9.3

Mengolah data spasial

6. Software Corel Draw X3 Membuat desain hutan kota 7. Software Photoshop CS4

Membuat desain hutan kota 8. Komputer

Menjalankan software yang digunakan dalam penelitian

B. Bahan 1. Citra Landsat 7 ETM

Bahan untuk estimasi suhu permukaan bumi, bahan untuk membuat peta penutupan lahan dan peta jarak dari pemukiman

2. Citra ASTER GDEM Bahan untuk mendapatkan data kelerengan lahan dan data kontur di lokasi penelitian

3. Peta Rupa Bumi Bahan untuk melakukan proses koreksi geometrik pada citra

4. Peta Tanah Salah satu parameter untuk menentukan lokasi hutan kota

5. Peta rencana tata ruang wilayah Memberikan informasi rencana tata ruang Kabupaten Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi

3.3 Pengolahan Data

3.3.1 Pengolahan Awal Data

Penelitian dilakukan dengan menggunakan data dasar berupa peta dan citra satelit (Lansat 7 ETM+ dan ASTER GDEM). Setiap data memiliki format yang berbeda-beda. Data tersebut perlu diolah terlebih dahulu agar data memiliki format yang sama antara satu data dengan data yang lainnya sehingga data tersebut mudah untuk dianalisis. Kegiatan pengolahan awal data, antara lain :

a. Import data Import data merupakan kegiatan menyesuaikan format data yang dimiliki sehingga data sesuai dengan data yang diminta oleh software yang akan digunakan.

b. Layer stacking Layer stacking merupakan proses penggabungan band pada citra satelit. Layer stacking dilakukan apabila citra satelit memiliki lebih dari satu band, misalnya Citra Landsat 7 ETM+ yang memiliki delapan band. Sedangkan citra yang hanya memiliki satu band (misal : Citra ASTER GDEM), proses layer stacking tidak dilakukan

c. Koreksi geometrik Kegiatan koreksi geometrik sering dinamakan rektifikasi. Koreksi geometrik merupakan kegiatan memperbaiki pergeseran, rotasi dan perspektif citra sehingga orientasi, proyeksi dan anotasinya sesuai dengan yang ada pada peta. Koreksi geometri terdiri dari koreksi sistematik (karena karakteristik alat) dan non sistematik (karena perubahan posisi penginderaan). Koreksi sistematik biasanya telah dilakukan oleh penyedia data. Koreksi non sistematik biasanya dilakukan dengan suatu proses koreksi geometri. Proses ini memerlukan ikatan yang disebut titik kontrol medan (Ground control point/GCP), GCP tersebut dapat diperoleh dari peta, citra yang telah terkoreksi atau tabel koordinat penjuru. GCP kemudian disusun menjadi matrik transformasi untuk rektifikasi citra.

d. Pemotongan peta dan citra satelit Pemotongan peta dilakukan dengan tujuan untuk memperjelas batasan wilayah penelitian (wilayah studi). Hasil dari pemotongan peta adalah peta kerja.

Citra Landsat 7 ETM+

Layer Stacking

Import Data

Koreksi Geometrik

Peta RBI

Citra Terkoreksi

Pemotongan Citra

Citra sesuai wilayah studi

Gambar 1 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 7 ETM+.

Citra ASTER GDEM

Import Data

Koreksi Geometrik

Peta RBI

Citra Terkoreksi

Pemotongan Citra

Citra sesuai wilayah studi

Gambar 2 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ATER GDEM.

3.3.2 Pengolahan Band 6 untuk Estimasi Suhu Permukaan

Pengolahan band 6 pada Citra Landsat 7 ETM dilakukan untuk menghasilkan peta distribusi suhu permukaan. Estimasi nilai suhu permukaan dilakukan dengan mengunakan software ERDAS imagine 9.1, proses dilakukan dengan membuat model pada menu Model Maker ERDAS imagine 9.1 yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 7 ETM band 6. DN (Digital Number) merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan konversi menjadi nilai radiansi. Konversi nilai digital number menjadi nilai radiansi dilakukan dengan rumus sebagai berikut (USGS 2002):

Radiansi = gain x DN (digital number) + offset

Dengan nilai gain sebesar 0.05518, digital number adalah band 6 dari Citra Landsat 7 ETM dan nilai offset sebesar 1.2378.

Suhu permukaan didapatkan setelah dilakukan proses konversi Radian Spektral (Spectral Radiance) menjadi temperatur. Citra band thermal (band 6) dapat dikonversi menjadi peubah fisik dengan asumsi bahwa emisinya adalah satu. Persamaan konversi radian spektral menjadi temperatur adalah sebagai berikut:

Keterangan : T

: Suhu efektif (K) K2

: Konstanta Kalibrasi 2 (Tabel 2) K1

: Konstanta Kalibrasi 1 (Tabel 2) L

: Spectral radiance in watts/(meter squared * ster * µm) Konstanta K1 dan K2 untuk Landsat 5/TM dan Landsat 7/ETM dapat ditunjukkan dalam Tabel 2 dibawah ini : Tabel 2 Nilai Konstanta kalibrasi dari Band Thermal

Satelit K1 (W/(m 2 *ster* μm)) K2 (Kelvin)

Landsat 5/TM

1260.56 Landsat 7/ETM

Sumber : Handbook Landsat

Citra sesuai

Band 6

wilayah studi

Konversi Citra

Klasifikasi Suhu

Estimasi Band 6

Peta Distribusi Suhu

Gambar 3 Bagan alur tahapan pembuatan peta distribusi suhu.

3.3.3 Pembuatan Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng

Penelitian dilakukan dengan melakukan proses analisis Citra ASTER GDEM untuk memperoleh data ketinggian tempat dan kemiringan lereng di Kecamatan Banyuwangi dan proses analisis Citra ASTER GDEM dilakukan dengan mengunakan software ArcGIS 9.3. Data spasial lereng merupakan data yang memberi infomasi kemiringan suatu lahan yang mempunyai nilai satuan persen (%) berdasarkan derajat sudut kemiringan derajat (°). Lereng dengan nilai 100 % = 45° sudut kemiringan. Data spasial lereng dapat dibangun dengan melakukan proses analisis lereng pada data DEM (Digital Elevation Modeling), kemudian data tersebut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kecuraman suatu kawasan (klasifikasi lereng).

Citra ASTER GDEM

3D Analyst (Create countur)

3D Analyst (Create TIN From Feature)

TIN (Triangulated Irregular Network)

Surface Analyst (slope)

Peta Ketinggian

Peta Kemiringan lereng

Gambar 4 Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng.

3.3.4 Analisis Penutupan Lahan

Data tutupan lahan diperoleh dari hasil analisis interprestasi citra satelit (Citra Landsat 7 ETM+) dengan mengunakan software ERDAS Imagine 9.1. Berikut adalah tahapan untuk mengolah citra satelit sehingga citra satelit dapat diinterpretasikan:

a. koreksi citra satelit (koreksi radiometri dan koreksi geometri),

b. penyusunan citra komposit warna,

c. fusi citra satelit,

d. filter prosesing. Penentuan dan pembuatan kelas penutupan lahan didasarkan atas interpretasi warna pixel – pixel Citra Landsat 7 ETM. Hasil interpretasi tersebut kemudian dicocokkan dengan data survey lapangan untuk menentukan tingkat akurasi pembuatan kelas tutupan lahan tersebut. Analisis penutupan lahan tersebut

bertujuan untuk mengetahui lokasi-lokasi yang tidak termaanfaatkan yang nantinya dapat dijadikan sebagai lokasi untuk pembangunan hutan kota.

Citra sesuai wilayah studi

Klasifikasi sementara

Analisis

Pengecekan

Penutupan lahan

Lapangan

Peta penutupan

lahan

Gambar 5 Bagan alur tahapan pembuatan peta penutupan lahan.

3.3.5 Pembuatan Peta Jarak dari Pemukiman (Peta Buffer Pemukiman)

Peta jarak dari pemukiman merupakan proses lanjutan dari tahapan analisis penututupan lahan. Klasifikasi tutupan lahan berupa areal terbangun/pemukiman dijadikan dasar untuk membuat peta jarak dari pemukiman. Peta jarak dari pemukiman yaitu peta yang menunjukkan selang jarak tertentu dari pemukiman penduduk. Proses pembuatan peta jarak dari pemukiman dilakukan dengan bantuan software ArcGIS 9.3.

Klasifikasi areal

pemukiman

Analyst tool (buffer)

Peta jarak pemukiman

Gambar 6 Bagan alur tahapan pembuatan peta jarak dari pemukiman.

3.3.6 Pembuatan Peta Jenis Tanah

Peta jenis tanah didapatkan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Banyuwangi yang berupa peta analog. Penelitian membutuhkan peta digital untuk melakukan proses analisis, oleh karena itu peta analog tersebut diubah menjadi peta digital dengan melakukan proses digitasi. Proses digitasi peta dilakukan dengan bantuan software ArcGIS 9.3 dan mengunakan metode digitasi on screen.

Peta Jenis

Tanah (analog)

Digitasi on screen

Peta Jenis

Tanah (digital)

Gambar 7 Bagan alur tahapan pembuatan peta jenis tanah.

3.3.7 Penentuan Prioritas Lokasi Hutan Kota

Mekanisme penentuan lokasi untuk pembangunan hutan kota dilakukan dengan cara skoring. Setiap kriteria yang digunakan (peta suhu permukaan, peta kemiringan lahan, peta tutupan lahan, peta jarak dari pemukiman dan peta tanah) di klasifikasikan kemudian diberi nilai yang berbeda-beda. Skor total merupakan penjumlahan nilai dari peta suhu permukaan, peta kemiringan lahan, peta tutupan lahan, peta jarak dari pemukiman dan peta tanah). Kombinasi penjumlahan dari kelima kriteria tersebut akan menghasilkan nilai maksimal dan nilai minimal. Berdasarkan nilai maksimal dan minimal tersebut, dibuatlah selang prioritas lahan untuk penentuan lokasi hutan kota.

Penentuan tapak untuk contoh pra desain hutan kota Kecamatan Banyuwangi mengacu pada peta prioritas lokasi hutan kota yang telah dibuat, namun karena hanya akan dipilih satu lokasi sebagai contoh hutan kota di Kecamatan Banyuwangi maka tapak yang dipilih harus memiliki nilai lebih dibandingkan tapak lainnya. Nilai lebih dari suatu tapak dapat berupa nilai

sejarah, nilai budaya, nilai sosial, dll. Nilai lebih dari suatu tapak dapat dilihat dan ditentukan setelah melakukan kegiatan verifikasi hasil (peta prioritas lokasi hutan kota) di lapang. Verifikasi lapang menghasilkan tapak yang terpilih sebagai contoh pra desain hutan kota di Kecamatan Banyuwngi.

Peta Distribusi

Peta jarak dari Suhu

Peta jenis tanah

overlay

Skor total

Peta Prioritas untuk pembangunan

hutan kota

Peta penutupan Verifikasi

lahan

lapang

Pemilihan tapak

Gambar 8 Bagan alur tahapan penentuan lokasi hutan kota.

3.3.8 Tahapan Pra Desain Lanskap

Tahapan-tahapan untuk mendesain lanskap dengan menggunakan Metode Gold (1980), yaitu :

a. Persiapan awal Penetapan tujuan desain dan informasi tentang program serta instansi terkait. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan model (desain) hutan kota, dengan mengunakan informasi dasar berupa data kesesuaian lahan hasil analisis Citra Landsat yang telah diolah sebelumnya dengan menggunakan pendekatan SIG (Sistem Informasi Geografis).

b. Inventarisasi Tahapan pengecekan lapang secara langsung untuk mengetahui karakteristik tapak, elemen-elemen lanskap yang ada dan melakukan penghayatan tapak.

c. Analisis Data hasil inventarisasi yang didapat, selanjutnya dilakukan proses analisis untuk mengetahui potensi tapak baik secara spasial maupun non-spasial dari berbagai aspek dan faktor yang ada di lapangan.

d. Sintesis Hasil yang diperoleh dari tahap analisis dikembangkan sebagai suatu masukan untuk mendapatkan hasil sintesis yang sesuai dengan tujuan desain. Hal- hal yang negatif dicarikan jalan keluarnya melalui berbagai alternatif yang terbaik, sedangkan hal-hal yang positif dikembangkan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperoleh berupa suatu konsep perencanaan serta alternatif pengembangan.

e. Master plan Master plan merupakan kesimpulan dari keseluruhan tahap inventarisasi, analisis dan sintesis. Tahap ini menggambarkan aktivitas, fasilitas-fasilitas yang dapat dikembangkan, tata letak dan elemen lanskap yang mendukung keberadaan tapak yang berupa zonasi tapak, tata guna lahan dan landscape plan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Peta Tematik Kecamatan Banyuwangi

4.1.1 Peta Suhu Permukaan

Hutan kota memliki fungsi untuk menurunkan dan menstabilkan suhu di perkotaan sehingga suhu kota menjadi nyaman. Parameter suhu permukaan digunakan dalam penelitian sebagai bahan pertimbangan untuk perencanaan hutan kota, terutama untuk menentukan lokasi hutan kota supaya hutan kota yang akan dibangun berfungsi optimal. Mom & Wiesebron (1940) diacu dalam Mannan (2007) menyatakan bahwa tingkatan kenyamanan termal dibagi mulai dari dingin tidak nyaman, sejuk nyaman, nyaman atau optimal nyaman, hangat nyaman,

sampai panas tidak nyaman. Kondisi termal sejuk nyaman adalah antara 20,5 o C

sampai 22,8 o C, nyaman optimal adalah antara 22,8 C sampai 25,8

C, dan panas

nyaman adalah antara 25,8 o C sampai 27,1

C. SNI 03-6572-2001 menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal orang ada tiga, yaitu: temperatur udara kering, kelembaban udara relatif dan pergerakan udara. Kenyamanan termal untuk daerah tropis dibagi menjadi tiga, antara lain: sejuk

nyaman (temperatur efektif 20,5 o C-22,8 C), nyaman optimal (temperatur efektif

22,8 o C-25,8 C) dan hangat nyaman (temperatur efektif 25,8 C – 27,1 C). Kelembaban udara relatif untuk daerah tropis yang dianjurkan 40%-50% tetapi

ooo

untuk ruangan yang jumlah orangnya padat seperti ruang pertemuan, kelembaban udara relatif masih diperbolehkan berkisar antara 55% sampai 60%. Kondisi nyaman termal dipertahankan oleh kecepatan udara yang jatuh ke atas kepala tidak boleh lebih besar dari 0,25m/detik dan sebaiknya lebih kecil dari 0,15m/detik. Indonesia juga biasa menggunakan standar kenyamanan termal yang berpedoman pada standar Amerika [ANSI/ASHRAE 55-1992] dan

merekomendasikan suhu nyaman 22.5 o -26 C, atau disederhanakan menjadi 24 C

±2 o C, atau rentang antara 22 C hingga 26 C. Pendugaan suhu permukaan bumi dapat dilakukan dengan teknologi

remote sensing yaitu dengan melakukan analisis Citra Landsat 7 ETM+. Landsat 7 ETM+ dapat digunakan untuk menduga suhu permukaan karena Landsat 7 ETM+

21

dilengkapi oleh sensor thermal IR yang terdapat pada band 6. Suhu permukaan diperoleh dengan mengkonversi DN (digital number) band 6 menjadi radian spectral (spectral radiance), radian spectral kemudian dikonversi menjadi temperatur.

Pembuatan peta suhu permukaan Kecamatan Banyuwangi dilakukan dengan mengolah band 6 dari Citra Landsat 7 ETM + path 117; row 066, tanggal pengambilan citra 15 Maret 2010. Kelas suhu nyaman yang digunakan untuk pembuatan peta suhu permukaan mengacu pada standar suhu nyaman yang dipakai oleh Indonesia (standar ANSI/ASHRAE 55-1992) sehingga tingkatan kenyamanan suhu di Kecamatan Banyuwangi dikalsifikasikan menjadi 3 kelas,

antara lain: dibawah nyaman (< 22 o C), nyaman (22 C-26

C) dan diatas nyaman

(> 26 o C). Hasil pengolahan band 6 menjadi temperatur disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Suhu permukaan Kecamatan Banyuwangi

No. Kelas suhu ( o C)

Luas area (hektar)

Persentase (%)

1. < 22 o C 518,206 9,383 %

2. 22 o C-26 C 4.402,800 79,716 % 3. > 26 o C 602,100 10,901 % Total 5.523,106 100%

Hasil yang diperoleh dari analisis band 6 menunjukkan bahwa 79,716% wilayah di Kecamatan Banyuwangi berada dalam rentang suhu yang nyaman dan hanya 20,284% wilayah Kecamatan Banyuwangi yang memiliki suhu tidak nyaman. Namun, apabila peta suhu permukaan tersebut di overlay (ditumpang tindihkan) dengan peta tutupan lahan maka dapat diketahui bahwa sebagian besar distribusi suhu nyaman dan dibawah nyaman tersebut berada pada daerah persawahan, badan air dan perkebunan sedangkan wilayah pemukiman atau areal terbagun yang terdapat di pusat kota memiliki suhu permukaan diatas nyaman. Fenomena tersebut biasa disebut heat island, heat island adalah suatu keadaan dimana suhu perkotaan lebih tinggi jika dibandingkan suhu lingkungan sekitarnya. Fenomena tersebut juga membuktikan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) dapat membuat suhu lingkungan menjadi lebih nyaman.

4.1.2 Peta Ketinggian Tempat dan Peta Kemiringan Lereng

Ketinggian tempat dan kemiringan lereng merupakan hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan peruntukan kawasan dalam perencanaan suatu wilayah. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan pemerintah yang ditetapkan berdasarkan ketinggian tempat dan kemiringan lahan, sebagai contoh :

a. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa kriteria hutan lindung antara lain : kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan atau kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih,

b. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriterian Teknis Kawasan Budi Daya menyatakan bahwa salah satu kriteria teknis kawasan peruntukan pemukiman adalah topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%), sedangkan salah satu kriteria teknis kawasan peruntukan pariwisata adalah memiliki kemiringan lahan yang memungkinkan dibangun tanpa memberikan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan.

Parameter ketinggian tempat dan kemiringan lereng perlu diperhitungkan dalam penentuan lokasi hutan kota karena berkaitan dengan tujuan pengembangan hutan kota dan tingkat kesulitan pengolahan lanskap hutan kota.

Sistem informasi geografis (SIG) memberikan kemudahan dalam melakukan analisis mengenai ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Penelitian dilakukan dengan mengaplikasikan SIG untuk memperoleh data mengenai ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data citra satelit yang bernama Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) Global Digital Elevation Model (GDEM). ASTER GDEM merupakan hasil kerjasama NASA bersama dengan Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI), GDEM diproses menggunakan stereo-correlating 1,3 juta scene arsip image optik ASTER. Meliputi 83 derajat lintang utara dan 83 derajat lintang selatan, yang berarti hampir 99% permukaan bumi tercover oleh GDEM dengan tingkat

ketelitian 30 meter. Data ASTER GDEM selanjutnya dianalisis dengan software ArcGIS 9.3 untuk mendapatkan peta kontur dan peta kemiringan lereng.

Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian yang sama terhadap bidang referensi yang digunakan. Kemiringan dari suatu lahan dapat ditentukan dengan adanya interval kontur dan jarak antara dua kontur, sedangkan jarak horizontal antara dua garis kontur dapat ditentukan dengan cara interpolasi.

Kemiringan lereng adalah besaran yang dinyatakan dalam derajat/persen (%) yang menunjukkan sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi tempat. Kemiringan lahan dapat digolongkan dalam 7 (tujuh) golongan sebagai berikut (Deptan 2008):

a. Datar : kemiringan lahan antara 0-3% .

b. Landai/ berombak : kemiringan lahan antara 3-8%.

c. Bergelombang : kemiringan lahan antara 8-15%.

d. Berbukit : kemiringan lahan antara 15-30%.

e. Agak Curam : kemiringan lahan antara 30-45%.

f. Curam : kemiringan lahan antara 45-65%.

g. Sangat Curam : kemiringan lahan > 65%. Analisis Citra ASTER GDEM menghasilkan dua jenis peta, yaitu : peta kontur yang memberikan informasi mengenai ketinggian tempat di Kecamatan Banyuwangi dan peta kemiringan lereng yang memberikan informasi mengenai kemiringan lereng di Kecamatan Banyuwangi. Garis kontur dari hasil analisis, memberikan informasi bahwa ketinggian tempat maksimal di Kecamatan Banyuwangi adalah 260 m diatas permukaan laut (dpl). Penentuan kelas kemiringan lereng di Kecamatan Banyuwangi berpedoman pada ketentuan Deptan (2008). Hasil analisis kemiringan lereng memberikan informasi bahwa di Kecamatan Banyuwangi terdapat lima kelas lereng, yaitu : datar (kemiringan lereng antara 0-3%), landai/berombak (kemiringan lereng antara 3-8%), bergelombang (kemiringan lereng antara 8-15%), berbukit (kemiringan lereng antara 15-30%) dan agak curam (kemiringan lereng antara 30-45%). Data mengenai kemiringan lereng di Kecamatan Banyuwangi disajikan pada Tabel 4.

25

Tabel 4 Kelas kemiringan lereng Kecamatan Banyuwangi.

No. Kelas Kemiringan lahan

Luas area (Ha)

Persen area (%)

1 Datar 3060,912

55,420

2 Landai/Berombak

5 Agak Curam

3,711

0,068

Total 5.523,106 100%

4.1.3 Peta Tutupan Lahan

Peta tutupan lahan adalah peta yang memberikan informasi mengenai objek-objek yang tampak di permukaan bumi (Campbel 1987). Informasi mengenai tutupan lahan memberikan kemudahan dalam melakukan analisis perencanaan dan pengembangan suatu wilayah. Tutupan lahan suatu daerah dapat diduga dan dipetakan dengan menggunakan teknologi remote sensing (pengindraan jauh). Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan teknologi remote sensing dalam kegiatan pembuatan peta tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi. Teknologi remote sensing dipilih dalam penelitian karena teknologi tersebut memiliki keuntungan yaitu dapat menduga tutupan lahan dengan cepat pada wilayah yang luas.

Satellite image berupa Citra Landsat 7 ETM+, path 117; row 066, tanggal pengambilan 15 Maret 2010 merupakan data yang diolah untuk mendapatkan peta tutupan lahan di Kecamatan Banyuwangi. Landsat 7 ETM+ digolongkan sebagai pasif remote sensing, terdiri dari 8 band dan memiliki resolusi spasial 30 m x 30 m (kecuali band 6 yang memiliki resolusi spasial 60 m x 60 m dan band 8 yang memiliki resolusi spasial 15 m x 15 m).

Pembuatan peta tutupan lahan dilakukan dengan cara menginterpretasikan pixel-pixel dari Citra Landsat 7 ETM+ menjadi kelas tutupan lahan tertentu. Kelas tutupan lahan yang telah dibuat kemudian diuji tingkat keakurasiannya dengan data survey lapangan (berupa titik GPS). Klasifikasi tutupan lahan dibuat dengan mengacu pada ketentuan SNI 7645:2010. Klasifikasi tutupan lahan menurut SNI 7645:2010 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Klasifikasi tutupan lahan SNI 7645:2010

Kelas penutup lahan

Deskripsi

1. Daerah bervegetasi Daerah dengan liputan vegetasi (minimal 4%) sedikitnya selama 2 bulan, atau dengan liputan Lichens/Mosses lebih dari 25% jika tidak terdapat vegetasi lain.

1.1 Daerah pertanian Areal yang diusahakan untuk budi daya tanaman pangan dan holtikultura. Vegetasi alamiah telah dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti dengan tanaman anthropogenik dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Antar masa tanam, area ini sering kali tanpa tutupan vegetasi. Seluruh vegetasi yang ditanam dengan tujuan untuk dipanen, termasuk dalam kelas ini.

1.2 Daerah bukan pertanian Areal yang tidak diusahakan untuk budi daya tanaman pangan dan holtikultura.

29

Kelas penutup lahan

Deskripsi

2. Daerah tak bervegetasi

Daerah dengan total liputan vegetasi kurang dari 4% selama lebih dari 10 bulan, atau daerah dengan liputan Lichens/Mosses kurang dari 25% (jika tidak terdapat vegetasi berkayu atau herba).

2.1 Lahan terbuka

Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semialamiah, maupun artifisial. Menurut karakteristik permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi consolidated dan unconsolidated surface.

2.2 Pemukiman dan lahan bukan Lahan terbangun dicirikan oleh adanya subtitusi pertanian yang berkaitan

penutup lahan yang bersifat alami atau semialami oleh penutup lahan yang bersifat artifisial dan kadang- kadang kedap air.

2.3 Perairan

Semua kenampakan perairan, termasuk laut, waduk, terumbu karang, dan padang lamun.

Penelitian dilakukan dengan membagi Kecamatan Banyuwangi menjadi 5 kelas tutupan lahan, yaitu: areal terbangun/pemukiman, persawahan, perkebunan, lahan terbuka dan tambak sedangkan awan merupakan kelas yang tidak memiliki data. Data kelas tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Klasifikasi tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi

No. Kelas tutupan lahan

Luas area (Ha)

Persen area (%)

1 Areal terbangun/pemukiman

4 Lahan terbuka

Klasifikasi tutupan lahan yang telah dibuat kemudian diuji tingkat akurasinya dengan menggunakan data survey lapangan berupa 45 titik koordinat GPS (Global Positioning System ) yang mewakili tiap kelas lahan. Hasil dari uji akurasi menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian antara data survey lapangan dengan kelas tutupan lahan yang dibuat adalah sebesar 95,74%, data hasil uji akurasi di sajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Uji akurasi kelas tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi

No. Kelas tutupan lahan

terbangun/pemukiman 2 Persawahan

4 Lahan terbuka

Overall classification accuracy

95,74%

4.1.4 Peta Jarak dari Pemukiman (Peta Buffer Pemukiman)

Manusia merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan hutan kota karena hutan kota dibangun di areal perkotaan yang memiliki interaksi tinggi dengan aktivitas manusia, jadi tinggi-rendahnya tingkat pemanfaatan hutan kota oleh manusia akan memberikan gambaran besarnya kebutuan manusia dan tingkat kepuasan manusia terhadap keberadaan hutan kota. Fungsi hutan kota yang berkaitan dengan manusia akan optimal apabila hutan kota yang dibangun mampu mengakomodasi dan menunjang berbagai aktivitas manusia. Fungsi hutan kota yang berkaitan dengan manusia misalnya hutan kota sebagai tempat rekreasi warga perkotaan, sebagai tempat masyarakat bertemu, sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi bagi masyarakat kota, hutan kota juga dapat berfungsi sebagai identitas dan kebanggan kota. Secara garis besar pembangunan hutan kota diharapkan dapat menjadi suatu wahana sosial yang dapat menyatukan seluruh anggota masyarakat perkotaan dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai aktivitas yang dapat dilakukan didalamnya.

Interaksi masyarakat perkotaan dengan hutan kota kemungkinan akan tinggi apabila lokasi hutan kota yang dibangun mudah dijangkau atau diakses oleh masyarakat perkotaan. Peta jarak dari pemukiman (peta buffer pemukiman) dapat digunakan sebagai parameter penduga prioritas lahan untuk perencanaan pembangunan hutan kota berdasarkan jarak dari masyarakat. Parameter jarak dari pemukiman mengasumsukan bahwa masyarakat sebagai kumpulan manusia yang berada dalam suatu kawasan pemukiman. Indonesia belum memiliki standar untuk menentukan lokasi hutan kota berdasarkan jarak dari pemukiman. Grove dan Cresswell (1983) dalam City Landscape memberikan contoh kasus pengembangan pembangunan pertamanan yang diterapkan di Rotterdam dalam rangka optimalisasi distribusi penyediaan ruang terbuka hijau kota, salah satunya berkaitan tentang penentuan ruang terbuka hijau berdasarkan jarak dari pemukiman. Pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam selengkapnya disajikan pada Tabel 8.

32

Tabel 8 Pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam

Unit Jenis Ruang Terbuka

Keterangan

Hijau

1 Ruang Terbuka Hijau di

a. Luas = + 50-5000m2

Lokasi Perumahan (House b. Jarak Tempuh, max = 250 m Block Greenspace)

c. Lokasi : di dalam area perumahan d. Standard : 2,8-3,7 m2/ penduduk

2 Ruang Terbuka Hijau di

a. Luas = + 5000m2 (4 Ha)

Bagian Kota (Quarter b. Jarak Tempuh, Max = 400 m Greenspace)

c. Lokasi : radius + 300-500 m d. Standard : 3,6-4,5 m2/ penduduk

3 Ruang Terbuka Hijau Di

a. Luas = + min 8 Ha

Wilayah Kota (District

b. Jarak tempuh, max = 800 m

Greenspace)

c. Lokasi : di wilayah kota d. Standar : 3,7-4,8 m2/ penduduk e. Ruang Terbuka ini melayani 2 s/d 3 ruang terbuka

hijau bagian wilayah kota

4 Ruang Terbuka Hijau Kota

a. Luas = 20-200 Ha

(Town Greenspace) b. Dapat berfungsi sebagai daerah rekreasi c. Standar : 9-12,8 m2/ penduduk

Standar teknis yang tidak dimiliki oleh Indonesia untuk menentukan lokasi hutan kota berdasarkan jarak dari pemukiman meyebabkan peneliti menggunakan asumsi pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam dan beberapa asumsi lain dalam pembuatan peta jarak dari pemukiman (peta buffer pemukiman) di Kecamatan Banyuwangi. Jarak dari pemukiman diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu : jarak 0-400 m dari pemukiman, jarak 400-800 m dari pemukiman dan > 800 m dari pemukiman. SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan menyatakan bahwa asumsi dasar lingkungan perumahan adalah jarak ideal jangkauan pejalan kaki adalah 400 m dan kecepatan rata-rata pejalan kaki adalah 4000 m/jam, atas dasar tersebut maka dibuat kelas jarak dari pemukiman pertama sebesar 0-400 m. Asumsi penentuan kelas jarak sebesar 0-400 m adalah hutan kota dapat diakses hanya dengan 6 menit berjalan kaki, dengan kemudahan akses tersebut diharapkan interaksi antara hutan kota dengan masyarakat semakin tinggi. Sedangkan penentuan kelas kedua sejauh 400- 800 m lebih didasarkan pada pembagian kelas ruang terbuka hijau di kota Rotterdam yang menyatakan jarak maksimal ruang terbuka hijau di wilayah kota adalah 800 m.

4.1.5 Peta Jenis Tanah

Tanah merupakan salah satu kriteria yang selalu menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan perencanaan peruntukan wilayah, tidak terkecuali dalam perencanaan pembangunan hutan kota. Tanah diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang masing-masing diantaranya memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda. Tanah merupakan substrat (media tumbuh) pohon atau tanaman yang akan ditanam pada hutan kota. Peta jenis tanah diperlukan untuk mengetahui sebaran jenis tanah dimasing-masing lokasi sehingga desain hutan kota yang akan dibangun dapat disesuaikan dengan kondisi tanah di lokasi tersebut.