Keragaan Pertumbuhan Padi Genotipe F1 Dan Galur Tetua Pada Kondisi Tercekam Suhu Tinggi

KERAGAAN PERTUMBUHAN PADI GENOTIPE F1 DAN
GALUR TETUA PADA KONDISI TERCEKAM SUHU TINGGI

RIZKY PARAMITA SASTI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaan Pertumbuhan
Padi Genotipe F1 dan Galur Tetua pada Kondisi Tercekam Suhu Tinggi adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 25 Agustus 2014
Rizky Paramita Sasti
NIM A2410015

ABSTRAK
RIZKY PARAMITA SASTI. Keragaan Pertumbuhan Padi Genotipe F1 dan Galur
Tetua pada Kondisi Tercekam Suhu Tinggi. Dibimbing oleh DESTA WIRNAS
dan TRIKOESOEMANINGTYAS.

Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan University Farm
IPB, Cikabayan, Dramaga, Bogor. Tujuan Penelitian untuk mendapatkan
informasi tentang keragaan karakter pertumbuhan genotipe F1 padi dan seluruh
tetuanya pada kondisi cekaman suhu tinggi. Rancangan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Bahan tanam yang digunakan adalah
varietas padi sebagai tetua yaitu Mekongga, Situ Patenggang, IPB 6R, Marinah,
IR64, dan IPB 4S serta 9 genotipe F1 yang dihasilkan melalui persilangan antara
tetua yaitu Marinah x Mekongga, IR64 x Mekongga, IPB 4S x Mekongga, IPB 6R
x Situ Patenggang, Marinah x Situ Patenggang, IR64 x Situ Patenggang, IPB 4S x
Situ Patenggang, Marinah x IPB 6R, IR64 x IPB 6R. Peubah yang diamati adalah

tinggi tanaman 45 hari setelah semai (HSS), tinggi tanaman 110 HSS, kehijauan
daun 45 HSS, kehijauan daun 110 HSS, jumlah anakan total, jumlah anakan
produktif, umur heading, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah
gabah hampa, jumlah gabah bernas, jumlah gabah total, persen gabah hampa,
bobot gabah bernas, dan bobot 1000 butir. Hasil genotipe menunjukkan dampak
yang signifikan terhadap tinggi tanaman 110 HSS, kehjauan daun 110 HSS,
jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, umur panen, panjang malai, jumlah
gabah hampa, jumlah gabah bernas, jumlah gabah total, persen gabah hampa,
bobot gabah bernas, dan bobot 1000 butir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada perbedaan rerata tinggi tanaman 110 HSS, kehjauan daun 110 HSS, jumlah
anakan total, jumlah anakan produktif, umur panen, panjang malai, jumlah gabah
hampa, jumlah gabah bernas, jumlah gabah total, persen gabah hampa, bobot
gabah bernas, dan bobot 1000 butir antara genotipe yang diamati . IPB 6R,
Marinah, dan IPB 4S merupakan penggabung terbaik untuk karakter yang diamati
pada kondisi suhu tinggi.
Kata kunci: F1, padi, kondisi suhu tinggi

ABSTRACT
RIZKY PARAMITA SASTI. Growth Performance of Rice Genotype F1 and
parental gripped in High Temperature Conditions. Supervised by DESTA

WIRNAS dan TRIKOESOEMANINGTYAS.
The experiment was conducted at the greenhouse of University Farm IPB,
Cikabayan, Dramaga, Bogor. The purpose of research was to obtain information
on variability of character growth of F1 rice genotypes and parents under high

temperature stress conditions. The design used was a completely randomized
design with three replications. Planting material used was rice varieties, namely:
Mekongga, Situ Patenggang, IPB 6R, Marinah, IR64, IPB 4S and 9 F1 genotypes
generated through crossing among the parents, namely: Marinah x Mekongga,
IR64 x Mekongga, IPB 4S x Mekongga, IPB 6R x Situ Patenggang, Marinah x
Situ Patenggang, IR64 x Situ Patenggang, IPB 4S x Situ Patenggang, Marinah x
IPB 6R, IR64 x IPB 6R. Traits observed were plant height 45 days after sowing
(HSS), plant height 110 HSS, leaf greenness 45 HSS, leaf greenness 110 HSS,
the total number of tillers, number of productive tillers, time of heading, time of
flowering, time of harvesting, length of penicle, number of empty grain, number
of filled grain, number of total grain, percent of empty grain, weight of filled
grain, and weight of 1000 grain. Genotyping results showed a significant effect on
plant height 110 HSS, leaf greenness 110 HSS, the total number of tillers, number
of productive tillers, time of harvesting, length of penicle, number of empty grain,
number of filled grain, number of total grain, percent of empty grain, weight of

filled grain, and weight of 1000 grain. Results showed that there was different
mean of plant height 110 HSS, leaf greenness 110 HSS, the total number of tillers,
number of productive tillers, time of harvesting, length of penicle, number of
empty grain, number of filled grain, number of total grain, percent of empty
grain, weight of filled grain, and weight of 1000 grain among genotypes
evaluated. IPB 6R, Marinah, dan IPB 4S were good combiner for the characters
observed under high temperature conditions.
Keywords: F1, rice, high temperature conditions

KERAGAAN PERTUMBUHAN PADI GENOTIPE F1 DAN
GALUR TETUA PADA KONDISI TERCEKAM SUHU TINGGI

RIZKY PARAMITA SASTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaika.
Penelitian ini telah dilaksanakan sejak Maret sampai Juli 2014 dengan judul
Keragaan Karakter Pertumbuhan Padi Genotipe F1 dan Galur Tetua pada Kondisi
Tercekam Suhu Tinggi.
Pada Kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr Desta Wirnas, SP Msi dan Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc selaku
pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan, arahan, saran dan
motivasi untuk pelaksanaan penelitian.
2. Dr Ir Heni Purnamawati, MSc Agr selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan masukan untuk perbaikan skripsi.
3. Dr Ir Ketty Suketi, Msi selaku pembimbing akademik atas arahan dan
masukan selama penulis melaksanakan studi.

4. Papa, Mama, Adik, Ohven Fernandes SE beserta seluruh keluarga besar
yang selalu mendukung dalam aktivitas penulis.
5. Pemerintahan Daerah Kabupaten Lahat yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis selama pendidikan S-1 di Institut Pertanian Bogor.
6. Louis Eben Ezer Ginting dan Siti Marwiyah SP MSi dan teman-teman
lainnya di Laboratorium Pemuliaan Tanaman yang selalu bersedia
membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.
Semoga penelitian ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca.

Bogor, 25 Agustus 2014
Rizky Paramita Sasti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

2

Hipotesis

2


TINJAUAN PUSTAKA

2

Pemanasan Global dan Dampaknya bagi Pertanian

2

Pengaruh Suhu Tinggi Terhadap Pertanaman Padi

3

Pemuliaan Tanaman Padi

4

Heritabilitas

5


Daya Gabung
METODE PENELITIAN

5
6

Tempat dan Waktu

6

Bahan dan Alat

6

Metode Pelaksanaan

7

Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

8
9

Kondisi Umum Penelitian

9

Keragaan Pertumbuhan Berbagai Genotipe Tetua dan F1 pada kondisi
Tercekam Suhu Tinggi
Heritabilitas
Nilai Daya Gabung Umum dan Khusus Genotipe-genotipe
SIMPULAN DAN SARAN

10
17
19
22


Simpulan

22

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

5

6
7

8

9

10
11
12
13

Respon tanaman padi terhadap suhu berbeda pada beberapa stadia
pertumbuhan (Yoshida 1978)
Analisis ragam genotipe berdasarkan rancangan acak lengkap
Hasil analisis ragam pengaruh genotipe pada pertumbuhan genotipe F1
Nilai tengah karakter tinggi tanaman dan kehijauan daun fase vegetatif
dan generatif pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu
tinggi
Nilai tengah karakter jumlah anakan total dan jumlah anakan
produktif pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu
tinggia
Nilai tengah karakter umur heading, umur berbunga, dan umur panen
pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu tinggi
Nilai tengah karakter panjang malai, jumlah gabah hampa, jumlah
gabah bernas, dan jumlah gabah total pertumbuhan genotipe F1 dan
tetua pada kondisi suhu tinggia
Nilai tengah karakter jumlah gabah hampa, jumlah gabah bernas, dan
jumlah gabah total pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi
suhu tinggia
Nilai tengah karakter persen gabah hampa, bobot gabah bernas, dan
bobot 1000 butir pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi
suhu tinggia
Nilai komponen ragam, heritabilitas dan koefisien keragaman genetik
pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu tinggi
Nilai daya gabung umum tetua padi sawah pada kondisi suhu
Nilai daya gabung khusus tetua padi sawah pada kondisi suhu
Nilai daya gabung khusus tetua padi sawah pada kondisi suhu

3
8
11

12

13
14

15

16

17
18
20
21
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Gambar malai padi
Alat yang digunakan untuk penelitian
Deskripsi Varietas Mekongga
Deskripsi Varietas Situ Patenggang
Deskrpsi Varietas IPB Batola IPB 6R (Jenis Padi Rawa)
Deskripsi Varietas IR-64
Deskripsi Varietas IPB 4S

27
28
29
30
31
31
32

2

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) merupakan bahan pangan utama bagi masyarakat
Indonesia. Konsumsi beras yang semakin banyak menyebabkan permintaannya
semakin tinggi dari tahun ke tahun. Upaya peningkatan produksi nasional terus
dilakukan antara lain melalui peningkatan pendampingan penerapan paket
teknologi, pengamatan dan pengendalian serangan organisme penganggu tanaman
(OPT), fasilitas penyediaan sarana produksi, gerakan olah tanah dan tanam padi,
fasilitas penanganan panen dan pasca panen, fasilitas pemasaran hasil, melalui
gerakan seluruh stakeholders mulai dari tingkat pusat hingga desa (Deptan 2013).
Upaya lain yang dilakukan untuk peningkatan produksi padi adalah melalui
pengembangan varietas unggul baru dan penambahan areal panen melalui
peningkatan intensitas penanaman (Daradjat et al. 2001).
Pemanasan global yang terjadi saat ini merupakan salah satu kendala
dalam peningkatan produksi padi di Indonesia. Fenomena pemanasan global yang
terjadi menurut beberapa ahli tidak lagi bisa dianggap remeh karena dampak yang
ditimbulkan oleh fenomena ini sudah semakin serius dalam kehidupan manusia.
Hal ini diperkirakan akan menyebabkan perubahan seperti naiknya muka air laut,
meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan
pola presipitasi (Smart 2011). IPCC (2011) melaporkan bahwa akibat pemanasan
global telah terjadi peningkatan suhu sebesar 0.15 – 0.3 0C dan jika peningkatan
suhu terus berlanjut maka diperkirakan pada tahun 2040 lapisan es di kutub-kutub
bumi akan habis meleleh dan tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar.
Menurut Suarsana dan Wahyuni (2011) meningkatnya suhu permukaan bumi
dapat mengakibatkan menurunnya produksi pertanian di Indonesia.
Menurut Nishiyama dan Satake (1981) tanaman padi di daerah tropis akan
mengalami gangguan pertumbuhan akibat cekaman suhu tinggi. Suhu tinggi
cenderung meningkatkan penguapan air, dalam hal ini akan sangat mempengaruhi
tekanan turgor daun dan secara otomatis mempengaruhi pembukaan stomata.
Gejala gangguan cekaman suhu tinggi beragam pada berbagai fase pertumbuhan
padi. Beberapa gangguan yang dapat terjadi pada pertumbuhan padi antara lain
peningkatan jumlah bulir hampa dan proses pemasakan bulir padi tidak sempurna.
Abdullah et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu penyebab kehampaan pada
bulir adalah tidak seimbangnya antara sink yang besar dengan source (sumber)
yang sedikit. Sifat–sifat yang akan terjadi antara lain daun terkulai dan cepat
luruh, berumur genjah sehingga asimilat yang dihasilkan rendah dan kurang
mencukupi untuk pengisian bulir, akibatnya kehampaan tinggi. Suhu yang terlalu
tinggi akan mengurangi mutu padi yaitu saat menjadi beras akan mudah hancur
dan berkapur. Tsukaguchi dan Lida (2008) menyatakan bahwa suhu yang tinggi
menyebabkan meningkatnya putih susu atau biji putih pada bulir padi, salain itu
suhu tinggi selama periode pengisian bulir dapat mempercepat pertumbuhan bulir,
sehingga kualitas bulir tidak maksimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya
akumulasi pati selama tahap pematangan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala peningkatan suhu
muka bumi dalam budidaya padi adalah penggunaan varietas toleran suhu tinggi.

3
Varietas toleran suhu tinggi dapat diperoleh melalui kegiatan pemuliaan. Kegiatan
pemuliaan dapat dimulai dengan melakukan persilangan sehingga diperoleh
populasi yang mempunyai keragaman. Keragaman populasi yang dihasilkan dari
persilangan tersebut digunakan sebagai sumber perakitan varietas baru.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah
berhasil menyeleksi beberapa varietas yang mempunyai tingkat toleransi berbeda
untuk kondisi suhu tinggi (Mubarrozah 2013; Noviarini 2013). Varietas yang
terpilih digunakan sebagai materi genetik untuk persilangan sehingga diperoleh
genotipe F1.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang keragaan
pertumbuhan dan hasil genotipe F1 padi dan seluruh tetua, pola pewarisan serta
daya gabung tetua pada kondisi cekaman suhu tinggi.

Hipotesis
Terdapat keragaman karakter pertumbuhan padi genotipe F1 dan tetuanya
dalam cekaman suhu tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA
Pemanasan Global dan Dampaknya bagi Pertanian
Pemanasan global (global warming) saat ini sudah menjadi isu global yang
senantiasa mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak di seluruh lapisan
masyarakat dunia, tidak terkecuali Indonesia. Mulai dari kalangan pemerintah,
organisasi kemasyarakatan sampai dengan orang awam, semuanya membicarakan
tentang pemanasan global, mengingat dampak yang ditimbulkanya sangat dahsyat
dan dapat mengancam kualitas serta kelangsungan hidup manusia di muka bumi,
karena itu perlu penanganan secara serius dan berkelanjutan agar permasalahan
yang muncul dapat dipecahkan secara menyeluruh (Riyanto 2007).
Pemanasan global dapat meningkatkan suhu permukaan bumi yang
disebabkan terakumulasinya gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca
diantaranya yaitu CO2 (Karbon Dioksida), CH4 (Metana), N2O (Nitrogen Oksida),
dan SF6 (Sulfur Hexafluoro) (Kartikawati et al. 2011). Menurut Suarsana dan
Wahyuni (2011) meningkatnya suhu permukaan bumi dapat mengakibatkan
menurunnya produksi pertanian di Indonesia, seperti tanaman pangan yang rentan
terhadap peningkatan suhu. Las (2007) menyatakan bahwa dampak peningkatan
suhu terhadap tanaman pangan adalah terjadinya peningkatan transpirasi yang
menurunkan produktivitas tanaman, peningkatan konsumsi air, percepatan
pematangan buah/biji yang menurunkan mutu hasil, dan perkembangan beberapa

4
organisme pengganggu tanaman (OPT). Produksi pertanian yang mampu
mencapai ketahanan pangan nasional berkelanjutan adalah produksi yang dapat
mencukupi kebutuhan seluruh penduduk pada kondisi iklim seperti apapun.
Sumarno et al. (2008) menyatakan bahwa kecukupan pangan hingga 2025 bagi
Indonesia tidak menggembirakan yaitu akan mengalami kekurangan pangan jika
tidak melakukan inovasi terhadap semua komoditas pertanian yang akan
dihadapkan dengan pemanasan global.

Pengaruh Suhu Tinggi Terhadap Pertanaman Padi
Tanaman memiliki berbagai kepekaan terhadap suhu. Ada nilai-nilai
ambang batas suhu luar yang membuat tanaman menjadi rentan terhadap
perubahan suhu yang ekstrim. Strake dan Yoshida (1978) melaporkan bahwa
sterilitas gabah pada varietas padi Indica diinduksi ketika terkena suhu tinggi
sebelum dan saat bunga mekar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya jumlah
serbuk sari yang jatuh pada stigma, dengan demikian beras diperkirakan akan
menurun selama kasus suhu tinggi pada saat berbunga.
Suhu bersama dengan penyinaran adalah pendorong utama untuk
pengembangan tanaman ( Kroff et al. 1995). Suhu optimum untuk pengembangan
normal padi berkisar 27-32 0C (Yin et al. 1996). Suhu tinggi mempengaruhi
hampir semua tahap pertumbuhan padi, yaitu dari munculnya bunga, pemasakan,
dan panen. Prasad et al. (2006) melaporkan bahwa stres suhu tinggi selama
berbunga pada padi menyebabkan penurunan produksi serbuk sari. Penurunan
perkecambahan serbuk sari dan aktivitasnya dapat dianggap sebagai faktor
fisiologi yang bertanggung jawab terhadap penurunan produksi gabah, penurunan
produksi gabah ini disebut karakter fenotipe tanaman padi pada suhu tinggi (Tang
et al. 2008).
Menurut Yoshida (1978) suhu kritis untuk stadium perkecambahan, proses
anakan, inisiasi dan perkembangan inflorens bunga, serta proses pemasakan bulir
padi telah diidentifikasi (Tabel 1).
Tabel 1 Respon tanaman padi terhadap suhu berbeda pada beberapa stadia
pertumbuhan (Yoshida 1978)
Stadia pertumbuhan
Perkecambahan
Pertumbuhan dan perkembangan kecambah
Pengakaran
Pemanjangan daun
Penganakan
Inisiasi primordia malai
Diferensiasi malai
Antesis
Pematangan

Kisaran suhu kritis (0C)
Rendah
Tinggi
Optimum
16-19
45
18-40
12-35
35
25-30
16
35
25-28
7-12
45
31
9-16
33
25-31
15
15-20
30
22
35-36
30-33
12-18
>30
20-29

Suhu lebih tinggi dari optimal yang menyebabkan kemandulan bunga
sehingga terjadi penurunan hasil padi (Nakagawa et al. 2003). Kehampaan gabah
meningkat pada suhu lebih tinggi dari 35 0C (Matsui et al. 1997). Menurut

5
Nishiyama dan Satake (1981) tanaman padi di daerah tropis dapat mengalami
gangguan pertumbuhan akibat cekaman suhu tinggi. Gejala gangguan cekaman
suhu tinggi beragam pada berbagai fase pertumbuhan padi. Beberapa gangguan
yang dapat terjadi pada pertumbuhan padi antara lain turunnya daya berkecambah
pada benih padi, klorosis daun, penurunan tinggi tanaman, penurunan jumlah
anakan pada fase vegetatif, pemutihan spikelet, penurunan jumlah bulir padi yang
terbentuk, perlambatan fase bunting, peningkatan jumlah bulir hampa,
peningkatan spikelet steril, dan proses pemasakan bulir padi tidak sempurna.

Pemuliaan Tanaman Padi
Kebutuhan beras secara nasional terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk (Susanto et al. 2003). Produksi padi di Indonesia
pada tahun 2013 sekitar 69.27 juta ton ( BPS 2013), sedangkan kebutuhan padi
pada tahun 2025 diperkirakan sekitar 70 juta ton (IRRI 2001). Upaya yang
dilakukan untuk peningkatan produksi padi melalui pengembangan varietas
unggul baru melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Kegiatan pemuliaan padi
dilakukan dengan cara melakukan rekayasa terhadap sifat genetik yang
menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Kekerabatan yang tinggi atau latar
belakang genetik yang sempit menyebabkan tidak diperolehnya peningkatan
potensi hasil yang nyata, sehingga terjadi kemandegan peningkatan potensi hasil
padi di Indonesia (Susanto et al. 2003). Menurut Daradjat et al. (2009) varietas
unggul padi sawah merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di
Indonesia. Perakitan varietas padi sawah juga dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi agroekosistem. Sejalan dengan hal tersebut,
pemuliaan padi di Indonesia terus berkembang sesuai dengan semakin
kompleksnya kebutuhan, sehingga tipe varietas yang dihasilkan mengalami
perkembangan. Cara yang tepat yaitu melakukan penelitian dengan cara
pemuliaan tanaman melalui perakitan padi tipe baru (PTB).
PTB memiliki sifat-sifat penting, yaitu anakan produktif sedikit (8-10
batang), malai lebat (200-250 gabah/malai) dan bernas, tinggi tanaman sedang
(80-100 cm), daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua, umur sedang (110-130
hari), perakaran dalam, serta tahan terhadap hama dan penyakit ( Khush 1995).
Sebelum melakukan perakitan PTB para pemulia tanaman harus memilih tetuatetua yang unggul dalam beberapa hal diantaranya tahan terhadap hama dan
penyakit serta toleran suhu tinggi. Peluang untuk perbaikan genetik padi masih
terbuka, terutama dengan memanfaatkan introgresi gen-gen dari strain primitif,
tipe liar, dan varietas lokal (Suprihatno dan Daradjat 2009).
Landasan pemikiran dalam pembentukan padi tipe baru adalah
peningkatan indeks panen (IP) dan produksi biomassa tanaman. IP adalah
perbandingan bobot kering gabah dengan total biomassa tanaman ( Khush 1996).
Menurut Khush (1996) indeks panen memperbanyak distribusi gabah ke sink
daripada ke source. Caranya dengan meningkatkan sink size melalui peningkatan
jumlah gabah per malai dan translokasi asimilat ke gabah, serta meningkatkan
masa pengisian gabah antara lain dengan penundaan senescence kanopi,
memperpanjang masa pengisian biji, dan meningkatkan ketahanan terhadap rebah.
Biomassa tanaman ditingkatkan dengan memodifikasi kanopi sehingga

6
pembentukan kanopi dan penyerapan hara berlangsung cepat serta konsumsi
karbon berkurang.

Heritabilitas
Karakter agronomi, produksi dan kuantitas hasil dikendalikan oleh banyak
gen. Menurut Syukur et al. (2012) permasalahan yang terjadi adalah seberapa jauh
karakter disebabkan oleh faktor genetik sebagai akibat aksi gen dan seberapa jauh
disebabkan oleh lingkungan. Karakter yang muncul dari satu tanaman merupakan
hasil dari genetik dan lingkungan, yaitu P = G + E. Ragam fenotipe terdiri dari
ragam genetik dan ragam lingkungan serta interaksi antara keduanya. Ragam
genetik satu populasi sangat penting dalam program pemuliaan sehingga
pendugaannya perlu dilakukan. Besarnya ragam fenotipe akan diwariskan dan
diukur oleh parameter yang disebut heritabilitas.
Poehlman et al. (1995) menyatakan bahwa heritabilitas adalah potensi
suatu individu untuk mewariskan karakter tertentu pada keturunannya.
Heritabilitas dapat juga diartikan sebagai rasio ragam genetik terhadap ragam
fenotipe (Sjamsudin 1990). Dengan kata lain, heritabilitas suatu karakter
merupakan ukuran relatif dalam pewarisan sifat dan pengaruh lingkungan (Roy
2000), sehingga dalam penentuan nilai heritabilitas yang penting untuk
diperhatikan salah satunya adalah ragam fenotipik dari karakter yang akan
dianalisis. Ragam fenotipik ini dapat dibedakan berdasarkan unit dasar
perhitungannya sehingga terdapat nilai heritabilitas berdasarkan plot basis dan
nilai heritabilitas berdasarkan mean basis. Heritabilitas berdasarkan plot basis
menggambarkan keragaman yang terjadi dalam blok/kelompok karena tidak
dikoreksi dengan ulangan dan lokasi. Heritabilitas (h2) plot basis adalah rasio
ragam genetik terhadap ragam fenotipe plot basis, sedangkan ragam fenotipe
adalah penjumlahan dari ragam genotipe, ragam lingkungan dan ragam interaksi
genotipe dan lingkungan.
Pengujian suatu genotipe padi terhadap lingkungan tertentu atau seleksi
pada lingkungan tertentu, selain menilai pertumbuhannya di lapangan dan
hasilnya secara fenotipe juga diperlukan data genetiknya, seperti nilai duga
heritabilitas. Besar kecilnya nilai duga heritabilitas sangat penting dalam program
pemuliaan tanaman terutama dalam menentukan apakah karakter tersebut dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi serta kapan waktu yang tepat untuk melakukan
seleksi. Menurut Prinaria et al. (1995) nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan
seleksi dapat dilakukan sejak generasi awal, sedangkan jika nilai heritabilitas
rendah sebaiknya seleksi terhadap karakter tersebut dilakukan pada generasi
lanjut.

Daya Gabung
Daya gabung meupakan metode statistik untuk mengevaluasi hasil
persilangan galur murni. Persilangan tiap galur dengan beberapa galur
menghasilkan perbedaan nilai pada rata-rata keragaan tanaman. Rata-rata

7
keragaan galur ketika ditampilkan sebagai simpangan dari rata-rata seluruh
persilangan disebut kemampuan daya gabung umum (DGU). Setiap persilangan
dapat memiliki nilai simpangan yang lebih besar atau lebih kecil dari nilai yang
diharapkan, simpangan tersebut selanjutnya disebut daya gabung khusus (DGK)
dari dua galur dalam persilangan (Acquaah 2007).
Kualitas kombinasi antar tetua dapat dilihat dari besarnya DGU dan DGK
hasil persilanagn. Besarnya nilai DGU maupun DGK mencerminkan besarnya
aksi gen aditif dan dominan pada persilangan (Kim dan Rutger 1986). Konsep
DGU antar tetua dalam persilangan digunakan untuk menilai variasi genetik yang
disebabkan oleh gen aditif (Johnson dan King 1998). Aksi gen dalam konsep
DGU dan DGK berupa aksi gen aditif atau interaksi antara aditif x aditif dan aksi
gen non-aditif (Acquaah 2007).
Analisis persilangan digunakan untuk menduga aksi gen dominan dan aksi
gen aditif. Metode yang digunakan untuk menduga aksi gen adalah metode
Griffing. Aksi gen dominan dilihat melalui nilai duga daya gabung khusus
(DGK), sedangkan aksi gen aditif dilihat melalui nilai duga daya gabung umum
(DGU). Heterosis adalah keunggulan hibrida atau hasil persilangan (F1 ) yang
melebihi nilai kisaran rata-rata kedua tetuanya (Syukur et al. 2012). Heterosis
dapat terjadi karena adanya akumulasi gen dominan dan gen over-dominan.
Keunggulan turunan hasil persilangan dapat dinilai dari besarnya nilai heterosis,
daya gabung umum dan daya gabung khusus.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian telah dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan University
Farm IPB, Cikabayan, Dramaga, Bogor pada bulan Maret sampai Juli 2014.
Perhitungan bulir padi, penimbangan dan pengeringan bulir padi dilakukan di
Laboratorium Pemuliaan, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 genotipe padi sebagai
tetua yaitu Mekongga, Situ Patenggang, IPB 6R, Marinah, IR64, dan IPB 4S serta
9 geotipe F1 yaitu Marinah x Mekongga, IR64 x Mekongga, IPB 4S x Mekongga,
IPB 6R x Situ Patenggang, Marinah x Situ Patenggang, IR64 x Situ Patenggang,
IPB 4S x Situ Patenggang, Marinah x IPB 6R, IR64 x IPB 6R. Media tanam yaitu
campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Pupuk dasar yang
digunakan adalah Urea 250 kg ha-1, SP-36 100 kg ha-1, KCl 75 kg ha-1, dan bahan
pengendali hama yang digunakan adalah insektisida berbahan aktif deltamethrin
25 g l-1.

8
Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat pengolahan tanah, ember, bak
plastik penyemaian, meteran, alat tulis, termometer maksimum-minimum,
timbangan digital, dan SPAD 502 digital.

Metode Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahapan kegiatan yang meliputi
persiapan media tanam yaitu ember yang diisi campuran tanah dan pupuk kandang
dengan perbandingan 2:1. Penyemaian yaitu benih disemai pada bak plastik di
tempat persemaian dengan media tanam tanah dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1. Pupuk daun N, P, K, Mg, Humat, Fulfat, Ca, dan C diberikan
pada umur 13 hari dengan dosis 600 ml air dan 1.8 gram untuk merangsang
pertumbuhan daun. Bibit hasil persemaian dipindah tanam setelah berumur 20 hari
ke media tanam dalam ember. Bibit ditanam satu bibit per ember. Semua tanaman
mulai awal tanam sampai 45 hari setelah semai (HSS) diberi cekaman suhu tinggi.
Umur 45 HSS sampai 83 HSS semua tanaman dibiarkan pada kondisi optimum,
kemudian diberi perlakuan cekaman suhu tinggi kembali sampai panen. Pupuk
Urea diberikan sebanyak dua kali yaitu ½ bagian diberikan satu hari setelah tanam
dan sisanya pada 3 minggu setelah tanam (MST). Pupuk SP-36 dan KCl diberikan
sekaligus pada satu hari setelah tanam.
Penyiraman dilakukan berselang yaitu mengisi air dalam ember sampai
penuh dan setelah airnya kering lalu disiram kembali yang dilakukan sampai 10
hari sebelum panen. Pengendalian gulma dilakukan secara manual. Pengendalian
hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan tingkat serangan. Pengendalian hama
burung dilakukan dengan memasang jaring di sekeliling dan di atas area
penelitian. Kondisi pertanaman siap panen ditandai dengan 80% tanaman
menguning. Kegiatan panen dilakukan dengan cara ratun yaitu memotong padi
dengan menyisakan satu ruas menggunakan sabit saat 80 % malai telah
menguning. Penanganan pasca panen yang dilakukan adalah penjemuran,
perontokan, pemisahan gabah bernas dan hampa, pengeringan, perhitungan, dan
penimbangan gabah padi. Padi dijemur agar mudah dirontokkan. Setelah
dirontokan gabah bernas dan hampa dipisahkan menggunakan air garam dengan
konsentrasi 5% yaitu 5 gram dalam 95 ml air. Gabah padi yang sudah terpisah
dilakukan pengeringan, perhitungan gabah dilakukan manual, dan penimbangan
bobot 1000 butir serta bobot gabah bernas dilakukan menggunakan timbangan
digital.
Pengamatan dilakukan tanaman untuk karakter sebagai berikut:
1. Tinggi pada semua tanaman saat 45 HSS, diukur dari permukaan tanah
hingga ujung daun tertinggi.
2. Tinggi pada semua tanaman saat 110 HSS, diukur dari permukaan tanah
hingga ujung malai.
3. Kehijauan daun saat 45 HSS dan 110 HSS, diukur dengan menggunakan
SPAD 502 digital pada daun yang telah membuka sempurna.
4. Jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif, diamati saat fase
reproduktif.
5. Umur heading yaitu saat malai muncul.

9
6. Umur berbunga yaitu dihitung mulai dari tanam sampai 50% tanaman
dalam setiap satuan percobaan berbunga.
7. Umur panen, dihitung mulai dari tanam sampai 80% tanaman telah
menguning dalam setiap satuan percobaan.
8. Panjang malai, dihitung setelah dipanen yaitu diukur dari leher malai
sampai ujung malai pada saat panen yaitu 5 malai contoh/tanaman.
9. Jumlah gabah hampa per malai dan per tanaman.
10. Jumlah gabah bernas per malai dan per tanaman.
11. Jumlah gabah total yaitu jumlah gabah hampa dengan gabah bernas.
12. Persentase gabah hampa yaitu jumlah gabah hampa dibagi dengan jumlah
gabah total dikali 100%.
13. Bobot gabah bernas per tanaman yaitu pada saat gabah kering panen.
14. Bobot 1000 butir per tanaman yaitu bobot 1000 butir gabah bernas pada
saat kering panen.

Analisis Data
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
genotipe sebagai perlakuan. Setiap satuan percobaan diulang 3 kali. Genotipe
yang digunakan terdiri dari 6 tetua dan 9 genotipe F1 sehingga ada 45 satuan
percobaan. Model rancangan yang digunakan adalah:
Yij = µ + τi + εij

Keterangan :
Yij
= respons pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j
µ = nilai tengah umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i
εij
= pengaruh galat percobaan

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam dengan uji F
pada taraf nyata 5%. Jika uji F berpengaruh nyata maka nilai tengah diuji lanjut
dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf nyata 5% (Gomez and Gomez
1995). Data juga dihitung nilai heritabilitas dan koefisien keragaman genetik
(KKG). Analisis ragam untuk genotipe disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Analisis ragam genotipe berdasarkan rancangan acak lengkap
Sumber keragaman
Ulangan (r)
Genotipe (g)
Galat (e)

Derajat bebas
r-1
g-1
(g-1)(r-1)

Kuadrat tengah
KTr
KTg
KTe

Nilai harapan
kuadrat tengah
Ve + r V g
Ve

Pendugaan komponen ragam genetik, ragam lingkungan, dan ragam
fenotipe berdasarkan Tabel 2. Menurut Singh dan Chaudhary (1979) dilakukan
dengan cara sebagai berikut:

10
Ragam genetik (Vg) =

;

Ragam fenotipe (Vp) = Vg +Ve
h2bs= (

Ragam lingkungan (Ve): KTe ;

x 100 %

KKG = (Vg/ )1/2 x 100 %
Keterangan :
= rataan umum genotipe
r = ulangan
Nilai daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) diduga
berdasarkan modifikasi Singh dan Chaudhary (1979):
DGU =

Keterangan:

s

= Rata-rata nilai tengah tetua betina ke-i x tetua jantan
= Rata-rata nilai tengah seluruh genotipe F1
= Standar deviasi nilai tengah seluruh genotipe F1

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Suhu di dalam rumah kaca berkisar 22 oC - 50 oC. Beberapa tanaman tidak
disulam karena benih F1 terbatas. Semua tanaman pada fase vegetatif dan
generatif ditanam dalam kondisi suhu tinggi. Hama belalang (Valanga
nigricornis) menyerang tanaman saat fase vegetatif yang menyebabkan daun
berlubang. Serangan belalang ini diatasi secara kimia dengan penyemprotan
insektisida berbahan aktif Deltamethrin 25 g l-1. Penyakit blast juga menyerang
tanaman saat fase vegetatif yang disebabkan oleh jamur Piricularia oryzae.
Belalang (Valanga nigricornis), wereng cokelat (Nilaparvata lugens), dan
walang sangit (Leptocorisa spp.) menyerang tanaman pada fase generatif. Wereng
cokelat menyerang bagian bawah batang padi yang menyebabkan tanaman
menjadi layu dan kering. Walang sangit menyerang bulir padi saat masak susu,
sehingga bulir padi menjadi kosong atau hampa. Pengendalian wereng cokelat dan
walang sangit dilakukan secara kimia yaitu dengan penyemprotan pestisida.
Burung juga merusak beberapa tanaman yang menyebabkan batang menjadi
terkulai dan rebah. Pengendalian serangan burung yaitu dengan memasang jaring
di atas dan di sekeliling area penelitian. Hama dan penyakit hanya menyerang
beberapa tanaman dan belum menimbulkan kerugian.

11
Makarim dan Suhartatik (2009) menyatakan pertumbuhan tanaman padi
dibagi ke dalam tiga fase yaitu: vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan
bakal malai/primordia), reproduktif (primordia sampai pembungaan), pematangan
(pembungaa sampai gabah matang). BPTP Bengkulu (2007) melaporkan lama
fase vegetatif tidak sama untuk semua varietas sedangkan fase reproduktif dan
pematangan gabah umumnya sama untuk setiap varietas.

Gambar 1 Perubahan suhu maksimum dan minimum selama pertumbuhan
tanaman
Menurut Yoshida (1978) respon tanaman padi terhadap suhu berbeda pada
stadia pertumbuhan yaitu stadia pertumbuhan perkecambahan, proses anakan,
inisiasi dan perkembangan inflorens bunga, serta proses pemasakan bulir.
Suhartatik et al. (2008) menyatakan suhu udara yang tinggi (38 – 40 oC) pada fase
vegetatif diperlukan untuk merangsang pembentukan anakan, sedangkan dari fase
pengisian gabah sampai panen diperlukan udara yang sejuk (23 oC). Suhu
maksimum dan minimum selama pertumbuhan tanaman diukur untuk mengetahui
suhu rumah kaca dan suhu di lapang setiap hari (gambar 1).
Awal tanam (11 Maret) diberi perlakuan suhu tinggi dengan suhu harian
maksimum rata-rata
45 - 50 oC , sedangkan suhu harian minimum konstan 22 oC.
A
Umur 45 HSS tanaman ditanam pada kondisi optimum (5 April) dengan suhu
harian maksimum mengalami penurunan yaitu rata-rata 36 – 38 oC, sedangkan
suhu harian minimum konstan 22 oC. Tanaman dibiarkan pada kondisi optimum
selama 36 hari, kemudian diberi perlakuan suhu tinggi kembali dengan suhu
harian maksimum meningkat rata-rata sebesar 42 - 46 oC, sedangkan suhu
minimumnya tetap konstan 22 oC (Gambar 1).

12
Keragaan Pertumbuhan Berbagai Genotipe Tetua dan F1 pada
Kondisi Tercekam Suhu Tinggi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe tidak mempengaruhi
karakter tinggi tanaman pada 45 HSS, kehijauan daun pada 45 HSS, umur
heading, dan umur berbunga. Genotipe mempengaruhi tinggi tanaman 110 HSS,
kehijauan daun 110 HSS, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, umur
panen, panjang malai, jumlah gabah bernas/malai, jumlah gabah bernas/tanaman,
jumlah gabah hampa/malai, jumlah gabah hampa/tanaman, jumlah gabah
total/malai, jumlah gabah total/tanaman, persen gabah hampa, bobot gabah bernas,
dan bobot 1000 butir (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil analisis ragam pengaruh genotipe pada pertumbuhan genotipe F1
dan tetua dalam kondisi suhu tinggi
No

Karakter

F Hitung

Koefisien Keragaman

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Tinggi tanaman saat 45 HSS
Kehijauan daun saat 45 HSS
Tinggi tanaman saat 110 HSS
Kehijauan daun saat 110 HSS
Anakan total
Anakan produktif
Umur heading
Umur berbunga
Umur panen
Panjang malai
Jumlah gabah bernas/malai
Jumlah gabah hampa/malai
Jumlah gabah total/malai
Jumlah gabah bernas/tanaman
Jumlah gabah hampa/tanaman
Jumlah gabah total/tanaman
Persen gabah hampa
Bobot gabah bernas
Bobot 1000 butir

1.2tn
2.2tn
3.2*
2.4*
7.8*
8.9*
6.3tn
1.5tn
70.6**
14.3*
2787.5*
1920.9*
9028.3**
1.3*
1.2*
1.9*
4.2*
1.49*
101.3**

23.7
13.6
22.3
9.6
18.8
19.1
18.4
15.9
5.6
11.2
2.6
3.4
1.6
17.2
12.1
15.8
20.1
15.3
5.1

**berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%; *berpengaruh nyata pada taraf 5%;
berpengaruh nyata

tn

tidak

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman 45 HSS yang
tertinggi terdapat pada genotipe F1 Marinah x IPB 6R, sedangkan yang terendah
terdapat pada genotipe F1 IR64 x Mekongga. Kehijauan daun 45 HSS yang paling
hijau terdapat pada genotipe F1 Marinah x IPB 6R, sedangkan yang terendah
kehijauan daunnya terdapat pada genotipe F1 Marinah x Situ Patenggang (Tabel
4). Berdasarkan penelitian ini diketahui tinggi tanaman dan kehijauan daun 45
HSS tidak berbeda nyata diantara genotipe. Hal ini dikarenakan semua tanaman
berada pada kondisi yang sama dari awal pertanaman sampai fase bunting.
Rata-rata tinggi tanaman 110 HSS berkisar 90 – 122 cm. Tinggi tanaman
110 HSS yang paling tinggi adalah genotipe F1 Marinah x Situ Patenggang,
sedangkan yang paling rendah adalah genotipe Situ Patenggang (Tabel 4).

13
Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT (Tabel 4), rataan tinggi tanaman 110 HSS
genotipe F1 Marinah x Situ Patenggang berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan genotipe tetua Situ Patenggang. Genotipe tetua yaitu Mekongga, IPB 6R,
Marinah, IR64, dan IPB 4S menunjukkan tinggi tanaman tidak berbeda nyata
lebih tinggi dibandingkan genotipe F1 Marinah x Situ Patenggang. BB Padi (2009)
melaporkan bahwa tinggi padi IR64 yaitu berkisar 115 - 126 cm, sedangkan dalam
penelitian ini memiliki tinggi 99 cm. Penelitian sebelumnya tentang keragaan
pertumbuhan varietas padi pada kondisi suhu tinggi, tinggi padi IR64 109,1 cm
(Mubarrozah 2013).
Tabel 4 Nilai tengah karakter tinggi tanaman dan kehijauan daun fase vegetatif
dan generatif pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu
tinggi
Genotipe

Tetua:
Mekongga
Situ Patenggang
IPB 6R
Marinah
IR64
IPB 4S
Genotipe F1 :
Marinah x Mekongga
IR64 x Mekongga
IPB 4S x Mekongga
IPB 6R x Situ Patenggang
Marinah x Situ Patenggang
IR64 x Situ Patenggang
IPB 4S x Situ Patenggang
Marinah x IPB 6R
IR64 x IPB 6R

Tinggi
tanaman 45
HSS (cm)

Kehijauan
daun 45 HSS

Tinggi
tanaman 110
HSS (cm)a

Kehijauan
daun 110
HSSa

39.0
31.0
38.8
43.0
31.5
35.1

29.5
31.9
29.9
29.7
25.0
25.9

92.0abc
90.0c
115.7a
112.5a
99.0ab
103.0ab

51.6ab
47.7abc
49.0abc
47.5bc
49.5abc
50.5abc

33.0
16.0
20.0
46.0
33.0
31.0
42.0
52.3
29.5

27.2
26.3
29.5
33.1
18.6
24.9
28.9
35.9
30.9

115.6a
94.0abc
116.0a
116.0a
122.0a
91.7bc
114.0a
114.6a
104.5ab

52.8ab
46.8c
47.2c
45.0c
53.4ab
50.5ab
54.1ab
55.8ab
45.7c

a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT

Kehijauan daun 110 HSS pada semua genotipe rata-rata berkisar 45 - 55.
Genotipe yang menunjukkan hasil kehijauan daun terhijau adalah genotipe F1
Marinah x IPB 6R, sedangkan kehijaun daun yang rendah terdapat pada genotipe
F1 IPB 6R x Situ Patenggang (Tabel 4). Kehijaun daun saat 110 HSS belum
berkurang dikarenakan suplai hara dari daun belum disalurkan ke bulir padi.
Rata-rata anakan total berkisar 14 - 34 batang. Genotipe F1 IR64 x IPB 6R
memiliki anakan total paling banyak, sedangkan anakan total paling sedikit
terdapat pada genotipe Situ Patenggang (Tabel 5). Berdasarkan hasil uji lanjut
DMRT (Tabel 5), rataan jumlah anakan total genotipe F1 IR64 x IPB 6R berbeda
nyata lebih banyak dibandingkan dengan genotipe tetua Situ Patenggang, IPB 6R,
dan IPB 4S. Genotipe tetua yaitu Mekongga, Marinah, dan IR64 menunjukkan
jumlah anakan total tidak berbeda nyata lebih banyak dibandingkan genotipe F 1
IR64 x IPB 6R. Makarim dan Suhartantik (2009) menyatakan bahwa mata tunas

14
akan tumbuh menjadi anakan ditentukan oleh jarak tanam, radiasi, hara mineral,
dan budi daya. Jumlah anakan total tidak semua memiliki malai.
Tabel 5 Nilai tengah karakter jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif
pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu tinggia
Genotipe
Tetua:
Mekongga
Situ Patenggang
IPB 6R
Marinah
IR64
IPB 4S
Genotipe F1
Marinah x Mekongga
IR64 x Mekongga
IPB 4S x Mekongga
IPB 6R x Situ Patenggang
Marinah x Situ Patenggang
IR64 x Situ Patenggang
IPB 4S x Situ Patenggang
Marinah x IPB 6R
IR64 x IPB 6R

Jumlah Anakan total

Jumlah Anakan poduktif

27.0abc
14.0c
21.7bc
28.8abc
30.5ab
16.2bc

16.0abc
12.0c
21.2bc
27.8abc
28.5abc
14.3bc

28.6abc
16.0bc
22.0bc
28.0abc
23.0bc
23.7bc
18.0bc
23.6bc
34.5a

28.0abc
15.0bc
21.0bc
28.0abc
22.0bc
22.7bc
17.0bc
23.3bc
33.5a

a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT

Anakan yang mampu menghasilkan malai disebut dengan anakan
produktif. Jumlah anakan produktif berpengaruh langsung terhadap jumlah malai
yang dihasilkan, makin banyak anakan produktif makin tinggi jumlah gabah yang
akan diperoleh (Fadjry et al. 2012). Rata - rata jumlah anakan produktif berkisar
12 – 33 batang. Anakan produktif paling banyak terdapat pada genotipe F1 IR64 x
IPB 6R, sedangkan anakan produktif paling sedikit terdapat pada genotipe Situ
Patenggang (Tabel 5). Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT (Tabel 5), rataan
jumlah anakan produktif genotipe F1 IR64 x IPB 6R berbeda nyata lebih banyak
dibandingkan dengan genotipe tetua Situ Patenggang, IPB 6R, dan IPB 4S.
Genotipe tetua yaitu Mekongga, Marinah, dan IR64 menunjukkan jumlah anakan
produktif tidak berbeda nyata lebih banyak dibandingkan genotipe F1 IR64 x IPB
6R. Berdasarkan deskripsi varietas dari Balai Besar Padi (2009), jumlah anakan
produktif pada Mekongga yaitu 13 - 16 batang, sedangkan pada penelitian ini
memiliki 26 batang. Penelitian sebelumnya tentang keragaan pertumbuhan
varietas padi pada kondisi suhu tinggi, jumlah anakan produktif Mekongga 26
batang. Jumlah anakan produktif Mekongga saat penelitian lebih banyak dari
deskripsi varietas . Hal ini diduga suhu yang tinggi lebih cepat merangsang
perkembangan jumlah anakan sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak
(Mubarrozah 2013).
Umur heading adalah fase mulai munculnya malai pada batang daun
bendera. Umur heading yang paling cepat terdapat pada genotipe F1 IR64 x Situ
Patenggang, sedangkan yang paling lambat terdapat pada genotipe F1 IR64 x

15
Mekongga (Tabel 6). Umur keluarnya malai dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungannya (Yeti dan Ardian 2010).
Tabel 6 Nilai tengah karakter umur heading, umur berbunga, dan umur panen
pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu tinggi
Genotipe
Tetua:
Mekongga
Situ Patenggang
IPB 6R
Marinah
IR64
IPB 4S
Genotipe F1 :
Marinah x Mekongga
IR64 x Mekongga
IPB 4S x Mekongga
IPB 6R x Situ Patenggang
Marinah x Situ Patenggang
IR64 x Situ Patenggang
IPB 4S x Situ Patenggang
Marinah x IPB 6R
IR64 x IPB 6R

Umur heading
(HSS)

Umur berbunga
(HSS)

Umur panen
(HSS)a

79.0
86.0
87.3
89.6
82.5
86.1

82.0
87.0
89.8
92.3
85.0
88.2

124.0a
128.0a
124.3a
121.6a
123.5a
123.0a

84.3
93.0
86.0
76.0
89.0
75.0
78.0
80.3
82.5

87.3
96.0
87.0
80.0
92.0
80.0
80.0
85.3
84.5

119.3b
124.0a
124.0a
116.0c
122.5a
121.0a
119.0b
121.3a
117.5bc

a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT

Umur berbunga yang paling cepat terdapat pada genotipe F1 IR64 x Situ
Patenggang, IPB 6R x Situ Patenggang dan IPB 4S x Situ Patenggang karena
waktu berbunganya sama, sedangkan umur berbunga yang paling lambat terdapat
pada genotipe F1 IR64 x Mekongga (Tabel 6). Menurut Wibowo (2010) faktorfaktor yang mempengaruhi cepat atau tidaknya muncul bunga yaitu suhu, radiasi
matahari, kelembaban dan musim pada saat fase generatif. Pada saat penelitian di
lahan dengan kondisi suhu udara yang tinggi bila siang dan suhu rendah pada
malam hari, siang hari sangat bagus karena intensitas cahaya matahari yang
diterima oleh tanaman sangat tinggi, sedangkan pada kondisi yang lembab dapat
mengakibatkan daun tanaman akan menguning karena proses cahaya yang
digunakan daun sedikit dan mempengaruhi proses pembungaannya.
Umur heading, umur berbunga, dan umur panen memiliki hubungan yang
positif yaitu semakin cepat heading, pembungaan dan umur panen akan semakin
cepat pula. Penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe F1 IPB 6R x Situ
Patenggang memiliki umur panen yang pendek, sedangkan yang memiliki umur
panen panjang adalah genotipe Situ Patenggang (Tabel 6). BB padi (2009)
melaporkan bahwa umur tanaman pada Situ Patenggang yaitu berkisar antara 110
- 120 hari, namun pada penelitian ini umur Situ Patenggang adalah 128 hari.
Umur panennya lebih lambat dari deskripsi varietas. Hal ini dikarenakan intensitas
cahaya yang diterima tanaman tidak merata sehingga mempengaruhi proses
pembungaan menjadi lambat.
Panjang malai terpanjang terdapat pada genotipe F1 IR64 x Mekongga,
sedangkan yang terpendek terdapat pada genotipe F1 IR64 x IPB 6R (Tabel 7).

16
Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT (Tabel 7), rataan panjang malai genotipe F1
IR64 x Mekongga berbeda nyata lebih panjang dibandingkan dengan genotipe
tetua Mekongga, Marinah, dan IR64. Genotipe tetua yaitu Situ Patenggang, IPB
6R, dan IPB 4S menunjukkan panjang malai tidak berbeda nyata lebih panjang
dibandingkan genotipe F1 IR64 x Mekongga.
Tabel 7 Nilai tengah karakter panjang malai, jumlah gabah hampa, jumlah gabah
bernas, dan jumlah gabah total pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada
kondisi suhu tinggia
Genotipe

Tetua:
Mekongga
Situ Patenggang
IPB 6R
Marinah
IR64
IPB 4S
Genotipe F1
Marinah x Mekongga
IR64 x Mekongga
IPB 4S x Mekongga
IPB 6R x Situ Patenggang
Marinah x Situ Patenggang
IR64 x Situ Patenggang
IPB 4S x Situ Patenggang
Marinah x IPB 6R
IR64 x IPB 6R

Panjang
malai
(cm)

Jumlah
gabah
hampa/
malai
(butir)

Jumlah
gabah
bernas /
malai
(butir)

Jumlah
gabah total
/ malai
(butir)

23.0cd
28.0ab
31.7a
23.8cd
23.1cd
30.3a

36.4cd
34.0cd
121.2ab
100.5ab
26.1d
57.9bcd

108.2abc
102.6abc
143.0a
86.2bc
81.5c
142.4a

144.6d
136.6d
264.2b
186.7d
107.6d
200.4c

28.6bc
33.0a
28.2bc
28.6bc
31.9a
29.2ab
28.4bc
30.8a
22.7d

92.8bc
183.0a.
78.0bcd
59.0bcd
100.5ab
33.4cd
58.8bcd
90.6bc
55.9bcd

126.9ab
131.6ab
110.4abc
166.0a
165.9a
125.3ab
191.4a
189.7a
110.9abc

219.7c
314.6a
188.4d
225.0c
266.4b
158.8d
250.2b
280.3a
166.8d

a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT

Jumlah gabah hampa yang tinggi disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi
sehingga terjadi sterilisasi dan bisa disebabkan oleh serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Suhartatik et al. (2008) menyatakan bahwa suhu
maksimal untuk mencapai sterilisasi rendah yaitu berkisar 23 oC – 27 oC.
Penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah gabah hampa/malai yang paling sedikit
ditunjukkan oleh genotipe IR64, sedangkan jumlah gabah hampa/malai yang
paling banyak ditunjukkan oleh genotipe F1 IR64 x Mekongga. Jumlah gabah
bernas/malai yang paling banyak ditunjukkan oleh genotipe F1 IPB 4S x Situ
Patenggang, sedangkan yang paling sedikit ditunjukkan oleh genotipe IR64.
Jumlah gabah total/malai yang paling banyak ditunjukkan oleh genotipe F1 IR64 x
Mekongga, sedangkan yang paling sedikit terdapat pada genotipe IR64 (Tabel 7).

17

Tabel 8 Nilai tengah karakter jumlah gabah hampa, jumlah gabah bernas, dan
jumlah gabah total pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu
tinggia
Genotipe

Tetua:
Mekongga
Situ Patenggang
IPB 6R
Marinah
IR64
IPB 4S
Genotipe F1
Marinah x Mekongga
IR64 x Mekongga
IPB 4S x Mekongga
IPB 6R x Situ Patenggang
Marinah x Situ Patenggang
IR64 x Situ Patenggang
IPB 4S x Situ Patenggang
Marinah x IPB 6R
IR64 x IPB 6R

Jumlah gabah
hampa/tanaman
(butir)

Jumlah gabah
bernas /tanaman
(butir)

Jumlah gabah
total /tanaman
(butir)

946.4bc
408.0c
2804.9a
2904.5a
743.8bc
917.6bc

2813.2c
1231.2d
3138.2b
2451.3c
2322.7c
2027.6c

3759.6bcd
1639.2d
5943.1ab
5355.9ab
3066.5bcd
2945.3cd

2530.8a
2745.0a
1638.0ab
1652.0ab
2211.0a
740.1bc
999.6bc
2199.6a
1864.6ab

3536.7b
1974.0d
2318.4c
4648.0a
3649.8b
2856.4c
3253.8b
4476.8a
3747.0b

6067.5a
4719.0bc
3956.4bcd
6300.0a
5860.8ab
3596.5bcd
4253.4bc
6676.5a
5611.6ab

a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata menurut uji DMRT

Penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah gabah hampa/tanaman yang
paling sedikit ditunjukkan oleh genotipe Situ Patenggang, sedangkan jumlah
gabah hampa/tanaman yang paling banyak ditunjukkan oleh genotipe Marinah
(Tabel 8). Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT (Tabel 8), rataan jumlah gabah
hampa/tanaman genotipe Marinah berbeda nyata lebih banyak dengan semua
genotipe F1 kecuali IR64 x Situ Patenggang dan IPB 4S x Situ Patenggang.
Jumlah gabah bernas/tanaman yang paling banyak ditunjukkan oleh genotipe F1
IPB 6R x Situ Patenggang, sedangkan yang paling sedikit ditunjukkan oleh
genotipe Situ Patenggang. Jumlah gabah total/tanaman yang paling banyak
ditunjukkan oleh genotipe F1 Marinah x IPB 6R, sedangkan yang paling sedikit
terdapat pada genotipe Situ Patenggang (Tabel 8). Penelitian sebelumnya tentang
keragaan pertumbuhan varietas padi pada kondisi suhu tinggi, jumlah gabah
hampa/tanaman, jumlah gabah bernas/tanaman, dan jumlah gabah total/tanaman
yang paling sedikit adalah Situ Patenggang (Mubarrozah 2013).
Penelitian ini menunjukkan genotipe Situ Patenggang memiliki persentase
gabah hampa sebesar 24.8 %, sedangkan menurut penelitian Choliq et al. (2004)
Situ Patenggang memiliki persentasi gabah hampa sebesar 7.9 %. Terdapat
perbedaan persentasi yang cukup jauh. Hal ini diduga kondisi suhu saat ini lebih
tinggi sehingga mengganggu dalam proses pengisian gabah. Genotipe F1 IR64 x
Situ Patenggang memiliki persen gabah hampa paling sedikt, sedangkan genotipe
F1 IR64 x Mekongga memiliki persen gabah hampa paling banyak. Genotipe F1

18
Marinah x IPB 6R memiliki bobot gabah bernas paling tinggi, sedangkan genotipe
F1 IR64 x Mekongga memiliki bobot gabah bernas paling rendah (Tabel 9).
Tabel 9 Nilai tengah karakter persen gabah hampa, bobot gabah bernas, dan bobot
1000 butir pertumbuhan genotipe F1 dan tetua pada kondisi suhu tinggia
Genotipe
Tetua:
Mekongga
Situ Patenggang
IPB 6R
Marinah
IR64
IPB 4S
Genotipe F1
Marinah x Mekongga
IR64 x Mekongga
IPB 4S x Mekongga
IPB 6R x Situ Patenggang
Marinah x Situ Patenggang
IR64 x Situ Patenggang
IPB 4S x Situ Patenggang
Marinah x IPB 6R
IR64 x IPB 6R

Persen gabah
hampa (%)

Bobot gabah
bernas (g)

Bobot 1000 butir
(g)

25.0abc
24.8abc
49.7ab
53.8a
24.4abc
26.8abc

68.1bcd
61.3bcd
81.3ab
67.2bcd
68.6bcd
53.9cd

22.3d
22.4d
23.6c
22.9d
23.8c
24.8b

39.5ab
58.1a
41.4ab
26.2abc
36.9ab
20.5c
23.5bc
31.7ab
33.5ab

91.4a
32.8d
58.8cd
82.3ab
70.9bc
84.6ab
87.0ab
102.1a
76.9bc

22.8d
17.9e
27.6a
23.9c
23.1c
25.4b
26.3a
22.4d
22.1d

a

Angka yang diikuti huruf yan