Kajian Keragaman Genetik Sapi Bali di Pusat Pembibitan Sapi Bali Menggunakan Penciri Mikrosatelit

KAJIAN KERAGAMAN GENETIK SAPI BALI DI PUSAT
PEMBIBITAN SAPI BALI MENGGUNAKAN
PENCIRI LOKUS MIKROSATELIT

WIKE ANDRE SEPTIAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul dalam Kajian Keragaman
Genetik Sapi Bali di Pusat Pembibitan Sapi Bali Menggunakan Penciri Lokus
Mikrosatelit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014

Wike Andre Septian
NIM D151114041

RINGKASAN
WIKE ANDRE SEPTIAN. Kajian Keragaman Genetik Sapi Bali Di Pusat
Pembibitan Sapi Bali Menggunakan Penciri Lokus Mikrosatelit. Dibimbing oleh
JAKARIA dan CECE SUMANTRI.
Sapi Bali merupakan salah satu plasma nutfah nasional yang telah banyak
diketahui memiliki keunggulan sebagai potong dan tersebar hampir diseluruh
wilayah Indonesia. Pemanfaatan dan perbaikan mutu genetik sapi Bali tidak bisa
mengenyampingkan upaya pelestarian sapi Bali. Saat ini program persilangan dan
distribusi bibit sapi Bali yang tidak terarah akan menjadi ancaman terhadap
timbulnya erosi genetik pada sapi Bali. Upaya dalam mencegah terjadinya erosi
genetik pada sapi Bali khususnya di pusat pembibitan sapi Bali perlu dilakukan
karateristik genetik. Salah satu pendekatan untuk melakukan karakteristik genetik
memalui pendekatan penciri mikrosatelit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman mikrosatelit di tiga

pusat peternakan BPTU Bali, BPT-HMT Serading Sumbawa di Nusa Tenggara
Barat, dan Village Breeding Center Kabupaten Barru di Sulawesi Selatan. Jumlah
hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 96 ekor terdiri dari 32 ekor
sapi dari BPTU Provinsi Bali, 32 ekor sapi bali dari BPT-HMT Serading
Sumbawa, dan 31 ekor sapi Bali dari Village Breeding Center Kabupaten Barru.
Lokus mikrosatelit digunakan untuk menentukan keragaman adalah SPS115
lokus, INRA037, MM12, dan ETH185 berdasarkan metode fragmen floureschenly
berlabel. Analisis data mikrosatelit pada sapi Bali di tiga lokasi yang berbeda
dilakukan dengan menggunakan Program POPGEN1.2, Cervus, dan POPTREE2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman mikrosatelit pada sapi Bali
terdeteksi 32 alel dari tiga lokasi yang berbeda, dan terdapat alel spesifik di setiap
lokasi. Nilai rata – rata yang diamati heterosigositas (Ho) dan heterozigositas yang
diharapkan (He), masing – masing 0.418 dan 0.604, sedangkan nilai rata-rata
polymorphism informative content (PIC) adalah 0.579. Keseimbangan HardyWeinberg secara umum menunjukkan bahwa lokus yang digunakan dalam sapi
Bali di tiga populasi berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg, kecuali lokus
INRA037 dan ETH185. Keragaman genetik antara populasi pada sapi Bali adalah
0.033 (3%), sedangkan laju inbreeding adalah 0.296 (29,6%). pohon genetik di
tiga lokasi menunjukkan bahwa populasi sapi Bali di BPTU Bali dan VBC Barru
memiliki jarak genetik yang dekat dibandingkan dengan populasi sapi Bali di
BPT-HMT Serading Sumbawa. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa

karakteristik sapi Bali di tiga populasi pusat pembibitan berbeda, jadi diperlukan
program pemuliaan yang terarah di setiap populasi pusat pembibitan sapi Bali.
Kata kunci: sapi Bali, keragaman genetik, mikrosatelit

SUMMARY
WIKE ANDRE SEPTIAN. Genetic Diversity of Bali Cattle Based On
Microsatellite Marker In Breeding Centre Indonesia. Supervised by JAKARIA
and CECE SUMANTRI.
Bali cattle is one of Indonesian germ plasm with specific purpose for beef
cattle because of its superiority and spread out in many different region of
Indonesia. The utility and genetic improvement of Bali cattle must be sinergized
with the conservation programme. Recently, uncontrolled of crossbreeding and
breed distribution of Bali cattle has become one threat on genetic variation. In
order to prevent genetic erotion of Bali cattle in breeding centre, genetic
characterization is needed.
This study aims to determine diversity of microsatellites in three breeding
centers BPTU Bali cattle in Bali, BPT-HMT Serading Sumbawa in West Nusa
Tenggara, and Village Breeding Center in South Sulawesi. The number of animals
used in this study was 96 head consists of 32 head of cattle from BPTU Bali
Province, 32 head of bali cattle from BPT-HMT Serading Sumbawa, and 31 head

of bali cattle from Village Barru Breeding Center Barru distric. Microsatellite
locus used to determine the diversity is the locus SPS115, INRA037, MM12, and
ETH185 based method fragments floureschenly labeled. Data analysis
microsatellite in Bali cattle at three different locations performed using
POPGEN1.2, Cervus, and POPTREE2 Program.
The results showed that microsatellite diversity in Bali cattle detected 32
alleles from three different locations, and there are specific alleles at each
location. Mean values observed heterozygosity (Ho) and expected heterozygosity
(He), respectively 0418 and 0604, while the average value of polymorphism
informative content (PIC) was 0.579. The Hardy-Weinberg equilibrium in general
suggests that the locus used in the Bali cattle in three populations are in
equilibrium, except locus INRA037 and ETH185. The genetic diversity between
populations on Bali cattle is 0.033 (3%), while the inbreeding rate was 0.296 (29.6
%). Bali cattle phylogeny tree with three locations showed that the population of
Bali cattle in BPTU Bali and VBC Barru have close genetic distance compared to
the population of Bali cattle in BPT-HMT Serading Sumbawa. The results of this
study provide information that the characteristics of Bali cattle in there breeder
centers are different, so we need targeted breeding program in each populations.
Keywords: Bali cattle, genetics diversity, microsatellite


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN KERAGAMAN GENETIK SAPI BALI DI PUSAT
PEMBIBITAN SAPI BALI MENGGUNAKAN
PENCIRI MIKROSATELIT

WIKE ANDRE SEPTIAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada UjianTesis : Dr Ir Chalid Talib, MS

Judul Tesis

:

Nama
NIM

:
:

Kajian Keragaman Genetik Sapi Bali di Pusat Pembibitan Sapi Bali

Menggunakan Penciri Mikrosatelit
Wike Andre Seprtian
D151114041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Jakaria, SPt, MSi
Ketua

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Salundik, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Oktober 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas segala rahmat, taufiq,
hidayah, serta inayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang di pilih dan dilaksanakan sejak oktober 2013 adalah
“Karakteristik Keragaman Genetik Sapi Bali di Pusat Pembibitan Sapi Bali
Menggunakan Pendekatan Penciri Mikrosatelit” merupakan syarat
penyelesaian pendidikan program magister pada program studi Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan. Shalawat serta salam semoga senang tiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad Salllallahu alaihi wassalam keluarga, para sahabat, dan
para pengikut yang diridhoi-Nya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian tesis ini adalah hasil

sumbangsih materi maupun pemikiran dari beberapa pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini, terutama kepada Yang terhormat
Bapak Dr Jakaria S.Pt, M.Si dan Prof Dr Ir Cece Sumantri MAgrSc selaku ketua
dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan,
motivasi dan saran sejak berupa sebuah ide hingga penyelesaian tesis. Bapak Dr Ir
Chalid Talib MS selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Niken Ulupi MS selaku
Sekretaris Program studi ITP serta Dr Ir Salundik M.Si Ketua Program studi
Pascasarjana ITP pada ujian tesis penulis atas saran dan masukan memperkaya
muatan pada hasil karya penulis. Bapak Prof Dr Muladno MSA Sebagai Ketua
Departemen Ilmu Produksi Teknologi Peternakan dan Prof Dr Ir Luki Abdullah
MAgrSc selaku Dekan Fakultas Peternakan atas beberapa diskusi yang merupakan
motivasi, arahan, wawasan baru, dan bimbingan selama masa studi. Rektor dan
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 dengan baik.
Kolega khusus yang membantu penulis dan menjadi sahabat selama
kegiatan penelitian bang Eryk Andreas SPt MSi, Ferdy Saputra SPt MSi, Irenz
SPt MSi, Selvi SSi, dan Hikmawati SPt MSi serta teman-teman ITP 2011. Rekan
The Helix 2012 Sri Wahyuni SPt MSi, Marlinda SPt MSi, Tya SPt MSi, Raden

Jatu SPt MSi, Fuad Hasan SPt MSi, Annisa Oktavia Rini SPt MSi, Pandu SPt MSi
dan tim ABGSci secara keseluruhan yang telah memberikan kesan mendalam
dalam aktivitas selama studi di mayor genetika. Rekan ITP 2012 yang telah
menjadi sahabat dalam menguatkan penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.
Terimakasih juga kepada abang saya Ayub Rizal SPt MSi dan Ismail SPt MSi
serta teteh Irma SPt MSi dan drh Arfiani Idris MSi yang senang tiasa bersedia
menjadi sahabat diskusi hangat beragam topik. Terimakasih pula penulis ucapkan
kepada sahabat di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler LIPI Paska
Partogi Agung SPt MSi, Ari Sulandari SPt MSc, Saiful Anwar SPt MSi dan
Lusiana SPt yang rela tiap hari menjadi sahabat kerja, bersedia bertukar cerita dan
ilmu.
Sembah sujud kepada kedua orang tua tercinta Ayah Drs Suwito dan Ibu
Rusnarikawati yang berusaha kuat dalam membesarkan, mendidik, dan do’anya
yang tiada putus di setiap sepertiga malam untuk keberhasilan putranya. Serta
kepada adik tercinta Wika Tedy Prayoga dan Khairunnisa H yang menjadi
penyemangat dalam setiap usaha menjadi kakak yang baik.

Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut
membantu penulis demi suksesnya penyelesaian studi Master di Institut Pertanian
Bogor ini.Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Salllallahu alaihi wassalam

Bogor, Desember 2014

Wike Andre Septian

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sumberdaya Genetik Ternak
Program Pemuliaan dan Pelestarian Sapi Bali
Sapi Bali
Mikrosatelit

3
3
4
5
5

3 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Analisis Data

6
6
6
6
7
9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi dan GenotypingEmpat Lokus Mikrosatelit
Frekuensi Alel Lokus Mikrosatelit
Nilai Heterozigositas dan Keseimbangan Hardy-Weinberg
Laju Inbreeding dan Keragaman Genetik Sapi Bali
Jarak Genetik Sapi Bali
Strategi Pengembangan dan Pelestarian Sumberdaya Genetik Sapi Bali

9
9
13
16
17
19
20

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

21
21
22

DAFTAR PUSTAKA

22

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1. Lokus mikrosatelit, posisi di kromosom, sekuen primer, dan panjang
alel
2. Frekuensi alel empat lokus mikrosatelit di tiga populasi
3. Keragaman genetik sapi Bali di tiga pusat pembibitan sapi Bali
4. Nilai Fis, Fit, dan Fst, dari empat lokus mikrosatelit
5. Nilai Ho, He, danPIC dari empat lokus mikrosatelit
6. Nilai PIC dari empat lokus mikrosatelitbeberapa bangsa sapi
6. Jarak genetik antar pusat pembibitan sapi Bali

8
15
16
18
18
18
19

DAFTAR GAMBAR
1. Hasil amplifikasi primer lokus mikrosatelit SPS115 pada sapi Bali
menggunakan gel agaros 1,5% dan pewarnaan ethidium bromide. M=
marker DNA 100 bp. Sampel 1-16 = produk amplifikasi antara 234310 bp
2. Hasil amplifikasi primer lokus mikrosatelit MM12 pada sapi Bali
menggunakan gel agaros 1,5% dan pewarnaan ethidium bromide. M=
marker DNA 100 bp. Sampel 1-16 = produk amplifikasi antara 101145bp
3. Hasil amplifikasi primer lokus mikrosatelit INRA037 pada sapi Bali
menggunakan gel agaros 1,5% dan pewarnaan ethidium bromide. M=
marker DNA 100 bp. Sampel 1-16 = produk amplifikasi antara 112180 bp
4. Hasil amplifikasi primer lokus mikrosatelit ETH185 pada sapi Bali
menggunakan gel agaros 1,5% dan pewarnaan ethidium bromide. M=
marker DNA 100 bp. Sampel 1-16 = produk amplifikasi antara 214260 bp
5. Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit SPS115 dengan M13
FAM menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi homozigot
6. Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit SPS115 dengan M13 FAM
menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi heterozigot
7. Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit MM12 dengan M13 TET
menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi homozigot
8. Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit MM12 dengan M13 TET
menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi heterozigot
9. Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit INRA037 dengan M13
FAM menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi homozigot
10. Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit INRA037 dengan M13
FAM menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi heterozigot
11. Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit ETH185 dengan M13
FAM menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi homozigot
12. Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit ETH185 dengan M13
FAM menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi heterozigot
13. Diagram filogenetik ke tiga populasi pusat pembibitan sapi Bali

9

9

9

10
11
11
11
12
12
12
13
13
19

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan
sumberdaya genetik ternak. Sapi Bali merupakan salah satu sumberdaya genetik
ternak yang memiliki potensi besar dalam penyediaan kebutuhan daging sapi
Nasional. Populasi sapi Bali saat ini berdasarkan hasil pendataan sapi potong, sapi
perah dan kerbau adalah 4 658 781 atau sekitar 31% dari jumlah total sapi potong
di Indonesia. Sapi Bali tersebar di semua wilayah Indonesia dengan populasi
terbanyak terdapat pada Sulawesi Selatan 954 901 ekor, Bali 637 463 ekor, Nusa
Tenggara Barat 672 472 ekor, dan Nusa Tenggara Timur 683 928 ekor. Indonesia
sebagai pusat sapi Bali dunia memiliki beberapa pusat pembibitan sapi Bali. Pusat
pembibitan sapi Bali di Indonesia dibagi menjadi dua balai pembibitan yaitu Balai
Pembibitan Ternak Unggul Pulukan Bali di Provinsi Bali dan Balai Pembibitan
Ternak dan Hijauan Makan Ternak Serading di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara
Barat, dan satu pusat pembibitan berbasis peternakan rakyat yaitu Village
Breeding Center di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Minimnya informasi
genetik pada sapi Bali di pusat pembibitan menjadi hal penting untuk arah
kebijakan program pembibitan sapi Bali secara nasional.
Saat ini program persilangan dan distribusi bibit sapi Bali yang tidak
terarah akan menjadi ancaman terhadap timbulnya erosi genetik pada sapi Bali.
Persilangan dan distribusi yang tidak berdasarkan data hasil pencatatan dapat
mengakibatkan laju inbreeding pada populasi sapi Bali. Hal ini merupakan salah
satu bentuk ancaman kepunahan yang disebabkan oleh genetic stochasticity, yaitu
perubahan genetik secara acak (genetic drift) dan meningkatnya inbreeding.
Shaffer (1981) menyatakan bahwa genetic stochasticity adalah hilangnya variasi
genetik terhadap alel-alel yang bersifat ekonomis atau meningkatkan alel-alel
merugikan. Upaya dalam mencegah terjadinya erosi genetik dan fenomena genetic
stochasticity pada sapi Bali khususnya di pusat pembibitan sapi Bali perlu
dilakukan karakterisasi genetik. Salah satu pendekatan untuk melakukan
karakterisasi genetik pada ternak sapi melalui pendekatan penciri mikrosatelit.
Mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik yang ideal karena
penanda ini bersifat polimorfik tinggi (highly polymorphic), menyebar secara acak,
sifatnya kodominan,dan melimpah diseluruh genom (Stevanovic et al. 2010;
Guichoux et al. 2011) atau dikenal dengan sebutan simple sequence repeats
(SSRs) atau short tandem repeats (STRs) (Kelkar et al. 2008). Penciri
mikrosatelit memiliki keunggulan dapat mengetahui keragaman genetik antar dan
dalam populasi, mudah secara teknik, murah, tidak membutuhkan waktu yang
lama, dan memiliki akurasi tinggi (Kimberly dan Robert 2006; Xiaojuan et al.
2007). Food and Agricultural Organitation (FAO) melalui program Global
Strategy for The Management of Farm Animal Genetics Resources memandu dan
mengerakkan konservasi serta pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya genetik
ternak untuk memperkuat pembangunan, ketahanan pangan, serta mencegah
terjadinya erosi sumberdaya genetik ternak. FAO melalui program Molecular
Genetic Characterization of Animal Resources merekomendasikan 30 lokus
mikrosatelit untuk digunakan dalam karakteristik genetik pada ternak lokal di
beberapa negara berkembang (FAO 2011).

2
Penggunaan penciri mikrosatelit secara luas telah dilakukan dalam kajian
keragaman genetik pada bangsa sapi di Eropa (Canon et al. 2001; Beja et al.
2003), sapi Japannese Black (Kim et al. 2002), sapi lokal China (Zhang et al.
2007), dan sapi lokal Vietnam (Lan et al. 2013). Penggunaan penciri mikrosatelit
pada sapi Bali telah dilaporkan oleh Nijman et al. (2003), Maskur et al. (2007),
Handiwirawan et al. (2003), Kusdiantoro et al. (2009), dan Winaya et al. (2010).
Beberapa hasil penelitian tersebut masih sangat terbatas dalam analisis sapi Bali
antar populasi dan metode. Penelitian terdahulu untuk mengetahui hubungan
genetik antar bangsa sapi lokal Indonesia dan sebagian besar dilakukan dengan
metode pewarnaan perak (PAGE). Belum ada penelitian yang berbasis demografi
dari populasi – populasi sapi Bali di Indonesia. Pada saat ini penggunaan penciri
mikrosatelit yang sangat populer adalah teknik fragment fluorescently berlabel.
Selain itu fragment fluorescently juga dikenal dengan teknik penambahan M13
tailed forwads atau disebut juga teknik an economi method (Schuelke 2000).
Metode ini dinilai lebih efektif dalam menginterprestasikan hasil analisis pada
lokus mikrosatelit. Berdasarkan hal tersebut diatas maka penelitian menggunakan
penciri mikrosatelit dengan fragment fluorescently berlabel perlu dilakukan pada
sapi Bali di ketiga pusat pembibitan sapi Bali di Indonesia.
Perumusan Masalah
Sapi Bali yang tersebar luas di wilayah-wilayah Indonesia merupakan
potensi sumberdaya genetik ternak untuk keberlangsungan ketersediaan daging di
Indonesia. Akan tetapi tersebarnya sapi Bali bisa menjadi ancaman erosi genetik
jika persilangan dan distribusi bibit sapi Bali tidak berlandaskan pemetaan genetik
di setiap wilayah sapi Bali khususnya di pusat pembibitan sapi Bali di Indonesia.
Penggunaan penciri genetik seperti mikrosatelit merupakan salah satu cara
memetakan potensi genetik berdasarkan demografi. Berasarkan hal tersebut, maka
penggunaan penciri mikrosatelit pada sapi Bali berdasarkan demografi menjadi
sangat berperan penting dalam mengetahui karakteristik genetik sapi Bali ditiga
pusat pembibitan sapi Bali serta sebagai landasan dalam penentuan arah kebijakan
program pemuliaan sapi Bali.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji karakteristik genetik sapi Bali di ketiga
lokasi pusat pembibitan sapi Bali di BPTU Bali, BPT-HMT Serading Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat, dan Village Breeding Center Kabupaten Barru Sulawesi
Selatan menggunakan pendekatan penciri mikrosatelit.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu informasi dalam
menentukan program pemuliaan dan distribusi bibit sapi Bali di pusat pembibitan
sapi Bali di Indonesia.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian identifikasi karakteristik genetik sampel sapi Bali
dari tiga pusat pembibitan sapi Bali, BPTU Bali, BPT-HMT Serading Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat, dan Village Breeding Center Kabupaten Barru, Sulawesi
Selatan dengan menggunakan empat lokus penciri mikrosatelit yaitu INRA037,
SPS115, MM12, dan ETH185.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sumberdaya Genetik Ternak
Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang kaya akan sumberdaya
genetik ternak. Sumberdaya genetik merupakan substansi pada individu di dalam
populasi yang membentuk karakteristik genetik unik. Keunikan karakteristik
genetik terbentuk melalui proses domestikasi dan pemanfaatan ternak dengan cara
perkawinan yang terprogram untuk membentuk rumpun atau galur baru
(Departemen Pertanian RI 2006). Salah satu sumberdaya genetik ternak lokal
Indonesia adalah sapi Bali. Sapi Bali merupakan sapi lokal hasil domestikasi dari
Banteng liar (bibos banteng) yang merupakan hewan kelas bovidae primitif yang
terjadi sekitar 3500 SM di Indonesia (Namikawa et al. 1980; Rollinson 1984).
Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan dilaksanakan
pengiriman ke Sulawesi, pengiriman dilakukan pada tahun 1920 dan 1927. Pada
tahun 1927 sapi Bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan (Rampi) sebanyak 5 ekor
dan pada tahun 1940 jumlahnya telah mencapai 80 ekor.
Pada tahun 1947 sapi Bali disebarkan ke provinsi ini secara besar besaran.
Sapi-sapi ini yang kemudian menjadi cikal bakal sapi Bali di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1964 di Bali terjadi musibah penyakit jembrana secara besar-besaran
yang menyebabkan sapi Bali tidak boleh dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai
ternak bibit. Mulai periode inilah sumber sapi Bali bagi daerah lain di Indonesia
digantikan oleh NTT, Sulawesi dan NTB (Talib, 2002).
Pelestarian sumberdaya genetik sangat penting dilakukan karena merupakan
bagian dari keragaman hayati dalam memenuhi kebutuhan pangan saat ini
maupun masa yang akan datang. Perlestarian sumberdaya genetik merupakan
salah satu sudut pandang akan potensi jaminan peningkatan kehidupan sosial
ekonomi pada saat ini atau pada masa yang akan datang (Maskur 2012). Pada saat
ini nilai ekonomis dari sumberdaya genetik ternak untuk ketahanan pangan lebih
menonjol dibandingkan dalam konteks pelestarian, sehingga dalam proses
peningkatan produktivitas sering kali kurang tepat dan mengancam eksistensi dari
ternak lokal yang memiliki nilai ekonomis/produktivitas lebih rendah. Praktek
breeding dan persilangan dilakukan hampir dibeberapa negara berkembang seperti
Indonesia. Persilangan dilakukan dengan mengimpor ternak yang memiliki
produktivitas lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas ternak lokal.
Konsekuensi nyata dalam praktek persilangan adalah menurunnya keragaman
hayati dan mengancam eksistensi sumberdaya genetik ternak lokal (Maskur 2012).
Berdasarkan hal tersebut, pentingnya sumberdaya genetik ternak lokal harus
disadari oleh semua pihak untuk melakukan konservasi genetik pada ternak lokal.
Upaya pemerintah dengan arah kebijakan menjadikan pulau-pulau yang

4
merupakan habitat asli ternak lokal seperti pulau Sumbawa dan Nusa Penida Bali
sebagai lokasi konservasi genetik. Proses pemurnian yang dilakukan harus
berpijak pada informasi genetik yang terdapat pada populasi tersebut, sehingga
sebuah kebijakan pemurniaan tepat berfungsi sebagai tindakan pelestarian
sumberdaya genetik.
Program Pemuliaan dan Pelestarian Sapi Bali
Upaya dalam melestarikan sapi Bali sebenarnya sudah tercatat dalam
sejarah Indonesia bahkan sebelum Indonesia resmi menjadi negara. Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya sumberdaya genetik ternak
khususnya sapi Bali sudah ada sejak dulu. National Research Council (1983)
mencatat pada tahun 1913 pemerintah sudah melahirkan produk hukum yang
melarang adanya persilangan pada sapi Bali untuk mempertahankan kemurnian
bangsa sapi Bali. Pada saat itu konsentrasi pelestarian di arahkan ke dua tempat
yaitu Pulau Bali dan Pulau Sumbawa. Program pemuliaan pada sapi Bali dengan
memulai program seleksi pada sapi Bali di awali tahun 1942. Program seleksi ini
terus di kembangkan dengan melibatkan peternak sapi Bali. Tahun 1949
pemerintah memberikan insentif bagi peternak yang memiliki ternak jantan baik
untuk dipertahankan (Payne & Rollinson 1973).
Keseriusan pemerintah dalam upaya pengembangan dan pelestarian sapi
Bali ditunjukkan dengan Undang Undang No. 6 tahun 1967. Undang Undang
tersebut merupakan landasan dalam pengembangan dan pelestarian ternak lokal di
Indonesia termasuk sapi Bali. Dalam hal ini semua program pengembangan harus
sejalan dengan mempertahakan serta meningkatkan mutu genetik ternak di
Indonesia melalui upaya pemurnian atau melalui persilangan antar bangsa
(Djarsanto 1997). Soehadji (1990) menyatakan bahwa praktek program pemuliaan
pada sapi Bali pada tahun 1986 melalui Proyek Pengembangan dan Pembibitan
Sapi Bali (P3Bali) yang mencangkup Pulau Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi
Selatan sebagai pusat pembibitan.
Pada tahun 2013 upaya dalam pelestraian sapi Bali melalui keputusan
Direktur
Jendral
Peternakan
Nomor:18020/KPTS/PD.420/F2.3/02/201.
Pemerintah mengeluarkan pedoman pelaksanaan pembibitan sapi potong asli
Indonesia di Pulo Raya untuk sapi Aceh, pulau Sapudi untuk sapi Madura, dan
Pulau Nusa Penida untuk sapi Bali. Selain itu melalui surat keputusan menteri
pertanian indonesia Nomor:4437/Kpts/SR.120/7/2013 menetapkan Kabupaten
Barru sebagai wilayah sumber bibit sapi Bali berbasis peternakan rakyat.
Dalam perkembangannya program sapi Bali masih perlu banyak perbaikan
dalam program pemuliaan dan distribusi bibit sapi Bali. Saat ini program
persilangan dan distribusi bibit sapi Bali yang tidak terarah akan menjadi ancaman
terhadap timbulnya erosi genetik pada sapi Bali. Program persilangan dan
distribusi bibit pada sapi Bali yang tidak terarah dapat mengakibatkan laju
inbreeding pada populasi sapi Bali. Program pemuliaan perlu dilakukan dengan
berlandaskan informasi genetik sapi Bali di setiap populasi pusat pembibitan.

5
Sapi Bali
Sapi Bali yang berasal dari domestikasi banteng sangat dapat beradaptasi
dengan lingkungan aslinya. Sapi Bali (Bos-bibos Banteng) merupakan
domestikasi banteng liar termasuk famili bovidae, Genus bos dan Sub-Genus
bibos (Williamson & Payne 1978). Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa Sapi
Bali termasuk dalam familia bovidae, Genus bos dan Sub-Genus tersebut adalah
Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus. Sapi Bali memepunyai ciri-ciri
khusus antara lain: warna bulu merah bata, tetapi jantan dewasa berubah menjadi
hitam, warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, dan pada paha
kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada
ujung ekor hitam, bulu pada bagian telinga putih, terdapat garis hitam pada atas
punggung (Chamdi 2004).
Sapi Bali termasuk dalam kategori sapi kecil yang memiliki rata-rata tinggi
badan 112.55-115.74 cm (Supriyanto et al. 2008), 109.88 cm (Tonbesi et al.
2009), 102.40-108.80 (Soares & Dryden 2011), 106.97 cm (Zurahma & The
(2011). Menurut Field (2007) bahwa sapi masuk dalam kategori kecil jika tinggi
badan kurang dari 117.22 cm. Ukuran tubuh pada sapi Bali yang kecil
kemungkinan besar merupakan upaya adaptasi dalam mempertahankan hidup
pada kondisi lingkungan yang merjinal (Talib 2002). Pertambahan bobot badan
harian (PBBH) pada sapi Bali berkisar antara 0.05-0.1 kg/ekor/hari pada musim
kemarau, sedangkan pada musim penghujan antara 0.2-0.4 kg/ekor/hari (Bahar &
Rakhmat 2003). Rata-rata bobot lahir sapi Bali di beberapa daerah seperti Bali
adalah 16-18 kg/ekor, Sulawesi Selatan 12-13 kg/ekor, dan Nusa Tenggara Timur
10.5-15 kg/ekor. Salah satu kelebihan sapi Bali adalah performans reproduksi,
dimana kemampuan adaptasi reproduksi yang tinggi dibawah lingkungan marjinal
membuat sapi Bali banyak diminati. Sapi Bali memiliki rata-rata panjang siklus
esterus 21 hari dengan lama bunting berkisar antara 280-290 hari (Toelihere 2002;
Purwantara et al. 2012).
Mikrosatelit
Mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetik yang sering digunakan
untuk mengetahui keragaman genetik dalam dan antar populasi. Motif yang
berulang pada nukleotida sederhana dalam bentuk salinan berdampingan (tandem)
menjadikan mikrosatelit digunakan sebagai penciri genetik. Kelebihan penciri
mikrosateli memiliki sifat kodominan dan tersebar di seluruh genom sering
digunakan dalam kajian genetika populasi dan DNA fingerprinting (Ellgren 2004).
Keragaman mikrosatelit ditunjukan dengan variasi dalam jumlah pengulangan
sekuen nukleotida. Tingkat keragaman mikrosatelit secara positif berhubungan
dengan panjang dari sekuen berulang (Weber 1990). Tipe dan kemurnian
pengulangan merupakan bentuk dari keragaman mikrosatelit. Keragaman
mikrosatelit ini berkaitan dengan ketidakstabilan lokus. Keragaman yang tinggi
dari lokus mikrosateit dihasilkan dari kecepatan mutasi yang tinggi yaitu berkisar
10-3-10-5/lokus/generasi (Lehmann et al. 1996) dan 10-4 (Levinson & Gutman
1987).

6
Mikrosatelit merupakan salah satu penciri genetiik yang ideal untuk
analisis genom karena penanda ini bersifat polimorfik tinggi, menyebar secara
acak, dan melimpah (Tautz 1993). Dalam kajian genetika populasi mikrosatelit
digunakan untuk mendeteksi keragaman genetik, penetapan asal-usul keturunan,
penggalian sumber-sumber genetik dan menjadi penanda molekuler penting dalam
analisis genetik (Ciampolini et al. 1995). Mikrosatelit juga sering digunakan
untuk mempelajari pautan (linkage), pemetaan, analisis populasi, sistem
perkawinan dan struktur populasi (Silva et al. 1999). Sejumlah mikrosatelit telah
diaplikasikan untuk mendeteksi sejumlah alternatif alel pada lokus genetik
spesifik. Alel-alel individu mencerminkan frekuensi yang berbeda antar populasi
yang berbeda. Perbedaan yang besar pada alel ini memungkinkan ketersediaan
data dasar untuk pendugaan jarak genetik (Bradley et al. 1998). Perbedaan alel
yang dihasilkan disebabkan oleh perbedaan jumlah pengulangan basa (Bennet
2000).

3 METODE
Waktu dan Tempat
Peneltian ini dilaksanakan selama empat bulan, yaitu mulai Oktober 2013
sampai Januari 2014. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pembibitan Ternak
Unggul Sapi Bali (BPTU Bali) di Bali, Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan
Makan Ternak (BPT-HMT Serading) di Sumbawa, Nusa Tenggara Timur dan
Village Breeding Center Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Laboratorium
Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemulian dan Genetika Ternak, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Penelitian ini menggunakan sampel darah sapi Bali dari Balai Pembibitan
Ternak Unggul Sapi Bali (BPTU Bali) di Bali, Balai Pembibitan Ternak dan
Hijauan Pakan Ternak (BPT-HMT Serading) di Sumbawa, Nusa Tenggara Timur
dan Village Breeding Center Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Penentuan
sampel sapi di ambil 32 ekor di BPTU Bali, 32 ekor di BPT-HMT Serading, dan
31 ekor dari Village Breeding Center Kabupaten Barru sehingga diperoleh
keseluruhan 95 ekor.
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah jarum, vacutainer
holder, dan tabung dengan tambahan EDTA untuk menampung darah.Pada
analisis digunakan micropipette, incubator, vortex, sentrifuse, freezer, mesin
thermal cycler geneamp 9700 (ESCO), dan peralatan elektroforesis (CBS
scientific dan mupid).

7
ProsedurPenelitian
Koleksi Darah dan Ekstraksi DNA
DNA genom sapi Bali diisolasi dari sel darah utuh (whole blood). Darah
sapi Bali ditampung menggunakan tabung vaccutainer dari vena jugularis (+ 10
ml) dengan larutan EDTA 10%. Prosedur isolasi DNA berdasarkan pada metode
standar phenol-chloroform Sambrook et al. (2001) yang dimodifikasi oleh
Andreas et al. (2010). Darah yang telah diawetkan dicuci menggunakan Tris
EDTA dengan konsentrasi rendah (low TE). Pada setiap tahap pencucian
disentriugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama dua menit kemudian diulang
sebanyak lima kali dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan etanol
absolute yang terdapat pada sampel darah yang telah diawetkan dengan
menggunakan buffer lisis sel, yaitu 40 µl SDS 10%, 10 µl Proteinase-K 5 mg/ml,
dan 1 x STE sampai 400 µl. Larutan di goyang pelan-pelan dalam inkubator pada
suhu 55 oC selama 2 jam. DNA dimurnikan dengan menambahkan 200 µl larutan
phenol 400 µl CIAA Cloroform Isoamil Aiconaol : 24:1 dan 40 µl SM NaCl
kemudian digoyang dalam suhu ruang selama 1 jam. Larutan disentrifus pada
kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. DNA diendapkan dengan 800 µl etanol
absolut dan 40 µl 5M NaCl. Freezing selama satu malam kemudian disentrifus
pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Bagian supernatan dibuang,
selanjutnya DNA dilarutkan dengan 100 µl 80% TE. Kualitas DNA yang
diperoleh dievaluasi melalui elektroforesis 1,5% gel agarose selama kurang lebih
45 menit dengan voltase 100 V. Selanjutnya divisualisasikan dengan Ultraviolet
(UV) Transiluminator. Konsentrasi DNA dihitung menggunakan Nanodrop
Spectrophotometer.
Amplifikasi lokus mikrosatelit
Lokus mikrosatelit yang digunakan merupakan rekomendasi Food and
Agricultural Organitation (FAO) di dalam program Molecular Genetic
Characterization of Animal Resources (FAO 2011) (Tabel 1). Amplifikasi setiap
lokus mikrosatelit memerlukan 30 µl volume reaksi yang terdiri dari 0.3 µl primer
forwad dengan M13 tailed primer (FAM, HEX, NED/TAMRA, dan TET) (Tabel
1) dan 0.3 µl primer reverse, 15 greentaq 2x mastermix kit-PCR, dan DW 13.4 µl.
amplifikasi lokus mokrosatelit menggunakan alat Thermal Cycler (AB System)
dan GeneAmp PCR System 9700 Applied Biosystem dengan kondisi sebagai
berikut: denaturasi awal 95 oC selama 5 menit, denaturasi akhir 95 oC 45 detik,
anneling 60 oC 45 detik, ekstensi awal 72 oC 1 menit, dan ekstensi akhir 72 oC 5
menit, dengan 35 siklus. Hasil amplifikasi di verifikasi dengan elektroforesis
menggunakan gel agarose 1.5% pada 5 x TBE penyangga selama kurang lebih 45
menit dengan voltase 100 V. Selanjutnya divisualisasikan dengan ultraviolet (UV)
Transiluminator

8
Tabel 1 Lokus mikrosatelit, posisi di kromosom, sekuens primer, dan panjang alel
Sekuens (5'-3')
Posisi di
Panjang
Forward
Lokus
Kromosom
(pb)
Rervese
GATCCTGCTTATATTTAACCAC
INRA037
10
112-148
AAAATTCCATGGAGAGAGAAAC
CAAGACAGGTGTTTCAATCT
MM12
9
101-145
ATCGACTCTGGGGATGATGT
TGCATGGACAGAGCAGCCTGGC
ETH185
17
214-246
GCACCCCAACGAAAGCTCCCAG
AAAGTGACACAACAGCTTCTCCAG
SPS115
15
104-158
AACGAGTGTCCTAGTTTGGCTGTG
Sumber: FAO 2011

Analisis Data
Data penelitian ini dianalisis menggunakan program POPGEN1.2 (Yeh et
al.1999) dan Cervus (Kalinowski et al. 2007). Data karakteristik genetik yang
diamati yaitu frekuensi genotipe, jumlah alel (na), alel efektif (ne), frekuensi alel,
keseimbangan Hardy-Weinberg (HW), Heteozigositas pengamatan (Ho),
Heterozigositas harapan (He), laju inbreeding dalam populasi (Fis), nilai
keragaman (Fst), dan pholymorpism informative content (PIC). Jarak genetik di
dapat dari frekuensi alel dengan menggunakan software POPTREE2 (Takezaki et
al. 2010). Dendogram menggunakan metoda UPGMA (Unweighted Pair Group
Method with Arithmetic Mean) dengan bootsrap 1000 kali.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi dan Genotyping Empat Lokus Mikrosatelit
Amplifikasi terhadap ke empat lokus mikrosatelit menunjukkan kisaran
panjang produk PCR masing-masing ETH185 214-260 pb (Gambar 1), SPS115
234-310 pb (Gambar 2), INRA037 112-180 pb (Gambar 3), dan MM12 101-145
pb. Suhu optimal anneling yang digunakan pada proses amplifikasi DNA ke
empat lokus mikrosatelit sama, yaitu 60 oC selama 45 detik. Suhu optimal
anneling merupakan suhu optimal untuk berlangsungnya penempelan primer
sesuai dengan sekuen DNA komplementer yang akan diperbanyak dalam proses
amplifikasi. Suhu optimal anneling pada proses amplifikasi DNA berkisar antara
55-72 oC (Viljoen et al. 2005). Suhu anneling yang digunakan merupakan hasil
optimasi untuk mencari suhu optimal anneling. Suhu optimal anneling dibutuhkan
supaya primer dapat berkomplemen dan menempel dengan targetnya bergantung
pada volume campuran PCR dan konsentrasi primer (Pelt-Verkuil et al. 2008).
Hasil amplifikasi ini yang menjadi acuan dilakukan analisis selanjutnya yaitu
fragment analisis untuk menentukan frekuensi alel dan genotipe.

9

Gambar 1 Hasil amplifikasi primer lokus mikrosatelit SPS115 pada sapi Bali
menggunakan gel agaros 1,5% dan pewarnaan ethidium bromide. M =
marker DNA 100 pb. Sampel 1-16 = produk amplifikasi antara 259305 pb.

Gambar 2 Hasil amplifikasi primer lokus mikrosatelit MM12 pada sapi Bali
menggunakan gel agaros 1,5% dan pewarnaan ethidium bromide. M =
marker DNA 100 pb. Sampel 1-16 = produk amplifikasi antara 121123 pb.

Gambar 3 Hasil amplifikasi primer lokus mikrosatelit INRA037 pada sapi Bali
menggunakan gel agaros 1,5% dan pewarnaan ethidium bromide. M =
marker DNA 100 pb. Sampel 1-16 = produk amplifikasi antara 132162 pb.

10

Gambar 4 Hasil amplifikasi primer lokus mikrosatelit ETH185 pada sapi Bali
menggunakan gel agaros 1,5% dan pewarnaan ethidium bromide. M =
marker DNA 100 pb. Sampel 1-16 = produk amplifikasi antara 230256 pb.
Hasil fragment analysis menampilkanke empat lokus mikrosatelit semuanya
polimorfik di pusat pembibitan, yang berarti semua lokus mikrosatelit memiliki
alel lebih dari satu. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa suatu alel pada
populasi dikatakan polimorfik jika memiliki lebih dari satu alel dengan frekuensi
lebih dari 1%. Hasil fragment analysis menunjukkan kondisi homozigot pada
SPS115 (Gambar 5), MM12 (Gambar 7), INRA037 (Gambar 9), dan ETH185
(Gambar 11). Hasil fragment analysis yang menunjukkan kondisi heterozigot
pada ke empat lokus mikrosatelit disajikan SPS115 (Gambar 6), MM12 (Gambar
8), INRA037 (Gambar 10), dan ETH185 (Gambar 12).
Lokus mikrosatelit SPS115 dengan menggunakan M13 FAM terdapat 20
genotipe di tiga pusat pembibitan sapi Bali. Genotipe yang ditemukan pada lokus
SPS115 di ketiga pusat pembibitan yaitu AA, BA, BB, BC, CC, AD, BD, CD,
DD, BE, CE, DE, EE, AF, CF, FF, DG, BI, BH, BJ. Genotipe CB merupakan
genotipe terbanyak pada lokus SPS115 di tiga pusat pembibitan sapi Bali. Lokus
mikrosatelit MM12 dengan M13 TET memiliki tiga genotipe yaitu AA, AB, dan
BB. Genotipe BB merupakan genotipe terbanyak yang ditemukan pada lokus
MM12 di ketiga pusat pembibitan sapi Bali. Lokus mikrosatelit INRA037 dengan
menggunakan M13 HEX memiliki 44 genotipe di tiga pusat pembibitan yaitu, CD,
CH, HH, DJ, EF, CC, EE, HK, DF, EL, DD, FL, JJ, CJ, JM, AE, FJ, EK, AH, CF,
CK, EI, FF, EH, FK, II, JJ, EJ, GK, JK, DF, GG, FH, CE, KK, CG, FG, DD, FF,
GH, DK, CH, AK, dan BH. Lokus ETH185 dengan menggunakan M13
NED/TAMRA memiliki 12 genotipe yaitu, AE, AC, AB, AA, DD, AD, AF, CF,
EE, FF, BB, dan BC. Lokus MM12 memiliki jumlah genotipe paling rendah
dibandingkan dengan SPS115, INRA037, dan ETH 185. Sedangkan lokus
INRA037 merupakan lokus dengan genotipe terbanyak diantara tiga lokus
mikrosatelit yang lain.

11

Gambar 5 Hasil fragment analysislokus mikrosatelit SPS115 dengan M13 FAM
menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi homozigot.

Gambar 6 Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit SPS115 dengan M13 FAM
menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi heterozigot.

Gambar 7 Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit MM12 dengan M13 TET
menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi homozigot.

12

Gambar 8 Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit MM12 dengan M13 TET
menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi heterozigot.

Gambar 9 Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit INRA037 dengan M13
HEX menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi homozigot.

Gambar 10 Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit INRA037 dengan M13
HEX menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi heterozigot.

13

Gambar 11 Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit ETH185 dengan M13
NED/TAMRA menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi
homozigot.

Gambar 12 Hasil fragment analysis lokus mikrosatelit ETH185 dengan M13
NED/TAMRA menggunakan software GeneMapper 4.0 kondisi
heterozigot.
Frekuensi Alel Lokus Mikrosatelit
Ukuran dan jumlah alel terdeteksi untuk setiap lokus ditampilkan pada
Tabel 2. Terdapat 31 alel yang teramplifikasi dari ke empat lokus mikrosatelit
yang digunakan pada penelitian ini, dengan kisaran 2-13 alel. Jumlah alel untuk
masing-masing lokus yaitu10 alel untuk lokus SPS115, 2 alel untuk MM12, 13
alel untuk INRA037, dan 6 alel untuk ETH185 di tiga pusat pembibitan sapi Bali.
Hasil analisis dari keempat lokus mikrosatelit per populasi menunjukkan populasi
BPTU Bali memiliki 25 alel dengan rata-rata 6.25, populasi BPT-HMT Serading
26 alel dengan rata-rata 6.50, dan VBC Kabupaten Barru 23 alel dengan rata-rata
5.75 (Tabel 2).

14
Hasil analisis menunjukkan pada lokus SPS115 ukuran alel berkisar antara
259 sampai 305 pb, sedangkan menurut FAO (2011) berkisar 234-258 pb, dengan
demikian semua alel melebihi kisaran FAO. Ukuran alel lokus MM12 yang
terdeteksi pada penelitian ini berkisar antara 121-123 pb, sedangkan menurut FAO
(2011) berkisar 101-145 pb, dengan demikian semua alel yang ditemukan
ukurannya sesuai dengan FAO (2011). Pada lokus INRA037 ukuran alelnya
berkisar 132-162 pb, sedangkan menurut FAO (2011) berkisar 112-148 pb,
sehingga terdapat lima alel yang berbeda yaitu alel I (150 pb), K (154 pb), L (156
pb), dan M (162 pb). Ukuran alel lokus ETH185 menunjukkan kisaran 230-256 pb,
sedangkan pada rekomendasi FAO (2011) berkisar 214-246 pb, sehingga hanya
terdapat satu alel yang melebihi yaitu alel F (256 pb). Total terdapat 16 alel pada
sapi Bali di tiga pusat pembibitan sapi Bali yang berbeda dengan rekomendasi
FAO (2011). Hal ini kemungkinkan besar merupakan alel baru yang belum pernah
terdeteksi dari sapi di populasi sebelumnya. Sumantri et al. (2006) menyatakan
bahwa alel berbeda yang ditemukan dipopulasi yang berbeda merupakan alel baru
yang belum pernah terdeteksi pada sapi di populasi yang lain.
Frekuensi alel untuk masing-masing lokus mikrosatelit disajikan dalam
Tabel 2. Frekuensi alel pada lokus SPS115 menunjukkan alel B (261 pb
merupakan alel yang memiliki frekuensi tertinggi pada ketiga pusat pembibitan
sapi Bali (tabel 2). Frekuensi alel tertinggi pada masing-masing lokasi pada lokus
SPS115 alel D (265 pb) di BPTU sapi Bali, alel B (261 pb) di BPT-HMT
Serading dan VBC Barru. Tabel 2 memperlihatkan terdapat beberapa alel spesifik
dari lokus SPS115 yaitu alel G (271 pb) dan I (303 pb) di BPT-HMT Serading,
alel H (301 pb) dan J (305 pb) di VBC Kabupaten Barru. Alel spesifik merupakan
alel yang hanya ditemui di satu populasi saja. Terdeteksi dua alel pada lokus
mikrosatelit MM12 di tiga populasi pusat pembibitan sapi Bali yaitu, alel A (121
pb) dan alel B (123 pb). Alel B (123 pb) merupakan alel yang memiliki frekuensi
tertinggi dengan rata-rata diatas 90% disemua populasi. Pada lokus mikrosatelit
INRA037 alel yang memiliki frekuensi tertinggi untuk semua populasi adalah alel
J (152 pb). Frekuensi alel tertinggi pada masing-masing populasi untuk lokus
INRA037 yaitu alel H (148 pb) di BPTU sapi Bali, alel F (144 pb) di BPT-HMT
Serading, dan alel K (154 pb) pada VBC Barru. Terdeteksi 3 alel spesifik pada
lokus INRA037 di tiga pusat pembibitan sapi Bali yaitu I (150 pb) di BPT-HMT
Serading dan L (156 pb), M (162 pb) di BPTU Sapi Bali. Frekuensi alel tertinggi
pada lokus mikrosatelit ETH185 untuk semua populasi adalah alel A (230 pb)
yang juga memiliki frekuensi tertinggi di tiga pusat pembibitan sapi Bali. Hasil
penelitian ini menunjukkan terdapat tiga lokus yang efektif digunakan karena
memiliki lebih dari empat alel pada sapi Bal yaitu, SPS115, INRA037, dan
ETH185. Lokus mikrosatelit yang memiliki alel lebih dari empat, efektif
digunakan untuk evaluasi keragaman genetik (Barker 1994; Lan et al. 2013).

15
Tabel 2 Jumlah frekuensi alel empat lokus di tiga pusat pembibitan sapi Bali

Lokus

Ukuran bp
simbol

SPS115

259(A)
261(B)
263(C)
265(D)
267(E)
269(F)
271(G)
301(H)
303(I)
305(J)

MM12

121(A)
123(B)

INRA037

132(A)
134(B)
136(C)
140(D)
142(E)
144(F)
146(G)
148(H)
150(I)
152(J)
154(K)
156(L)
162(M)

ETH185

230(A)
232(B)
236(C)
238(D)
240(E)
256(F)

BPTU Bali
Jumlah
Frekuensi
n = 28
4(6.2%)
16(25%)
9(14.1%)
23(35.9%)
3(4.6%)
1(1,5%)

Populasi
BPT-HMT Serading
Jumlah
Frekuensi
n = 24
5(7.8%)
15(23.4%)
13(20.3%)
2(3.1%)
3(4.6%)
8(12.5%)
1(1.5%)*

VBC Barru
Jumlah
Frekuensi
n = 26
1(1.6%)
25(40.3%)
5(8.1%)
10(16.1%)
5(8.1%)
4(6.4%)
1(1.6%)*

1(1.5%)*
n = 32
3 (4.6%)
61 (95.4%)
n = 31
2 (3.1%)
10 (15.6%)
7 (10.9%)
6 (9.4%)
5 (7.8%)
14 (21.8%)
9 (14.1%)
6 (9.4%)
2 (3.1%)*
1 (1.5%)*
n = 29
35 (54.6%)
2 (3.1%)
3 (4.7%)
11 (17.2%)
4 (6.2%)
3 (4.7%)

n = 32
2 (3.1%)
62 (96.9%)
n = 27
1 (1.5%)
5 (7.8%)
4 (6.25%)
7 (10.9%)
13 (20.3%)
1 (1.5%)
4 (6.2%)
3 (4.7%)*
10 (15.6%)
6 (9.4%)

n = 25
20 (31.2%)
3 (4.7%)
4 (6.2%)
9 (14.1%)
7 (10.9%)
6 (9.4%)

1(1.6%)*
n = 31
5 (8.1%)
57 (91.9%)
n = 31
1 (1.6%)
1 (1.6%)
10 (16.1%)
3 (4.8%)
2 (3.2%)
7 (11.3%)
8 (12.9%)
6 (9.6%)
9 (14.5%)
15 (24.19%)

n = 16
20 (32.2%)

6 (9.7%)
6 (9.7%)

Keterangan: *Alel Spesifik; n: Jumlah sampel yang teramplifikasi

Tingginya rata-rata jumlah alel pada sapi Bali kemungkinan disebabkan
adanya mutasi pada lokus mikrosatelit tersebut atau ada introduksi gen pada
populasi tersebut (Hilimia 2013). Almaida et al. (2000) menyatakan bahwa laju
mutasi yang sangat tinggi mengakibatkan polimorfisme pada lokus mikrosatelit
sangat tinggi, hal ini dikarenakan sekuens lokus tersebut tidak terlalu panjang
(Short Tandem Repeats). Lokus mikrosatelit memiliki laju perubahan basa
nukleotida tinggi yang disebabkan adanya perubahan jumlah ulangan dari urutan
basa bergandengan mencapai 10 -3/gamet/generasi (Muladno 2006).

16
Nilai Heterozigositas dan Keseimbangan Hardy-Weinbreg
Nilai heterozigositas merupakan cara paling akurat dalam mengukur
variasi genetik, sedangkan keragaman genetik dalam populasi diukur dengan ratarata heterozigositas jika lokus yang diamati lebih dari satu lokus (Nei dan Kumar
2000). Hasil analisis (Tabel 3) nilai heterozigositas rata-rata pada masing-masing
pusat pembibitan sapi Bali termasuk rendah berkisar 0.34 sampai 0.46, sesuai
dengan pendapat Javanmard et al. (2005) bahwa nilai heterozigositas
menunjukkan keragaman rendah jika kurang dari 0.50.
Tabel 3 menunjukkan bahwa populasi BPTU sapi Bali merupakan
populasi yang memiliki nilai heterozigositas rata-rata tertinggi di antara populasi
yang lain. Nilai heterozigositas rata-rata di BPTU sapi Bali 0.46 dengan nilai
heterozigositas rata-rata harapan 0.34. Hasil analisis menunjukkan BPTU sapi
Bali memiliki keragaman genetik yang tinggi pada lokus SPS115 dan INRA037.
Lokus INRA037 memiliki nilai heterozigositas paling tinggi (0.70) di BPTU sapi
Bali sedangkan lokus mikrosatelit yang memiliki nilai heterozigositas terendah
lokus MM12 (0.09). Tabel 3 di BPT-HMT Serading dan Village Breeding Center
Kabupaten Barru tampak bahwa nilai heterozigositas rendahdi empat lokus
mikrosatelit karena di bawah nilai heterozigositas harapan. Adapun nilai
heterozigositas paling tinggi ditemukan pada lokus SPS115 dan nilai
heterozigositas terendah pada lokus MM12. Rendahnya nilai heterozigositas
pengamatan dibandingkan nilai heterozigositas harapan merupakan indikasi
adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) dampak dari proses
seleksi yang sangat intensif (Machado et al. 2003).
Tabel 3 Keragaman genetik sapi Bali di tiga pusat pembibitan sapi Bali
Populasi
Lokus
N
Na
Ne
Ho
He
AS
HW
SPS115
28
6
3.51 0.57
0.73
0
ns
BPTU Sapi MM12
32
2
1.09 0.09
0.09
0
ns
INRA037
31
11
7.33 0.70
0.87
3
ns
Bali
ETH185
29
6
2.43 0.48
0.59
0
ns
Rata – rata
30 6.25 3.25 0.46
0.57
SPS115
24
8
4.62 0.70
0.80
2
ns
BPT-HMT MM12
32
2
1.06 0.06
0.06
0
ns
Sumbawa
INRA037
27
10
6.91 0.66
0.87
1
*
ETH185
25
6
3.95 0.24
0.76
0
*
Rata – rata
27 6.50 4.13 0.41
0.62
SPS115
26
8
3.40 0.65
0.72
2
ns
VBC
MM12
31
2
1.17 0.09
0.15
0
ns
Kabupaten
INRA037
31
10
6.74 0.61
0.86
0
*
Barru
ETH185
16
3
2.16 0.00
0.55
0
*
Rata – rata
26 5.75 3.37 0.34
0.57
Keterangan: N:Jumlah sampel yang teramplifikasi; Na:jumlah alel pengamatan; Ne:alel yang
efektif; Ho:Heterozigositas pengamatan; He:Heterozigositas harapan; AS:Alel Spesifik;
HW:keseimbangan Hardy-Weinberg; ns: not significant; *P