Habitat characteristics and potency of mud crabs Scylla serrata, S.transquaberica, and S.olivacea in Cibako Mangrove Forest, Sancang, Garut Residence, West Java

KARAK
KTERISTIK
K HABITA
AT DAN PO
OTENSI KEPITING BA
AKAU
(Scylla serrrata, S.tran
nsquaberica,, dan S.oliva
acea) DI HU
UTANMAN
NGROVE
CIBA
AKO, SANC
CANG KAB
BUPATEN GARUT JA
AWA BAR
RAT

IRVA
AN AVIAN
NTO


SEKOLAH
S
H PASCA SARJANA
S
IN
NSTITUT P
PERTANIA
AN BOGOR
R
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Habitat
dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di
Hutan Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut Jawa Barat adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari tesis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Irvan Avianto
NIM C251090111

 

 

RINGKASAN
IRVAN AVIANTO. Karakteristik Habitat dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla
serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di Hutan Mangrove Cibako, Sancang
Kabupaten Garut Jawa Barat. Dibimbing Oleh Sulistiono dan Isdrajad
Setyobudiandi
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - Nopember 2011. Lokasi
penelitian terdiri dari 6 (enam) stasiun, masing-masing ditempatkan pada 3 (tiga)

zona. Stasiun 1 dan 2 ditempatkan di zona A, merupakan kawasan depan hutan
mangrove. Stasiun 3 dan 4 ditempatkan di zona B, merupakan kawasan tengah
hutan mangrove. Stasiun 5 dan 6 ditempatkan di zona C, merupakan kawasan
belakang hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan
informasi tentang karakteristik habitat dan potensi kepiting bakau berdasarkan
jumlah, jenis, dan distribusi ukuran.
Metode penelitian yang digunakan adalah survey. Pengamatan
karakteristik habitat dilakukan secara in-situ dengan metode pengambilan sampel
line plot transect. Evaluasi pengelompokkan karakteristik habitat menggunakan
cluster analysis, sedangkan analisis hubungan potensi kepiting bakau dengan
karakteristik habitat menggunakan correspondence analysis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter kualitas air, fraksi
substrat, dan produksi serasah pada stasiun 1 dan 2 terdapat kemiripan, sehingga
stasiun tersebut diklasifikasikan sebagai kelompok zona A. Kemiripan nilai
parameter pada stasiun 3 dan 4 diklasifikasikan sebagai kelompok zona B, dan
kemiripan nilai parameter pada stasiun 5 dan 6 diklasifikasikan sebagai kelompok
zona C.
S.serrata dominan berada di zona A yang bersubstrat lumpur dengan
kisaran salinitas antara 24 – 30 ppt, berjumlah 73 ind. S.tanquaberica dominan
berada di zona B yang bersubstrat lumpur dengan kisaran salinitas antara 22 – 25

ppt, berjumlah 94 ind. S.olivacea dominan berada di zone C yang bersubstrat liat
dengan kisaran salinitas antara 18 – 23 ppt, berjumlah 45 ind. Kelimpahan
kepiting bakau dijumpai pada bulan gelap, dimana kelimpahan di zona A adalah
57 ind, zone B adalah 68 ind, and zone C adalah 32 ind. Kepiting bakau memiliki
sifat fototaksis negatif, karena kebiasaannya berdiam dan bersembunyi pada
substrat yang tidak terkena cahaya secara langsung.
Kerapatan mangrove yang tinggi dijumpai di zona A dan B, dimana ketiga
jenis kepiting berasosiasi dengan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi,
dimana rata-rata bobot serasah sebagai sumber makanan bagi makrozoobentos
masing-masing adalah 200.15 g dan 208.72 g . Rata-rata kelimpahan individu
makrozobentos yang menjadi sumber makanan kepiting bakau masing-masing
adalah 13 ind/m2 dan 17 ind/m2. Oleh karena itu kepiting bakau akan tertarik
menempati di zona yang memiliki kelimpahan serasah dan makrozoobentos
sebagai sumber makanannya.
Kata Kunci : Kepiting Bakau, kelimpahan, kerapatan mangrove, serasah, dan
makrozoobentos

 

 


SUMMARY
Habitat Characteristics and Potency of Mud Crabs Scylla serrata,
S.transquaberica, and S.olivacea in Cibako Mangrove Forest, Sancang, Garut
Residence, West Java. Supervised by Sulistiono and Isdrajad Setyobudiandi.
The research was conducted in August - November 2011. The site contains
six stations, each station in three zones. Station 1 and 2 was placed in zona A
where zone A in the front area of mangrove forest. Station 3 and 4 was placed in
zone B that location in the middle of mangrove forests. Station5 and 6 was placed
in zone B where location in behind the mangrove forest. This study aims to obtain
data and information on the habitat characteristics and potency of mud crab based
on the existence of species, abundance, and size distribution.
The method used was a survey. Observations of habitat characteristics
performed in-situ by the method of sampling transect line plot. Cluster evaluation
of habitat characteristic used cluster analysis. Analysis of habitat characteristics
with potency of mud crab used correspondence analysis.
The results showed that the parameters of habitat 1 and 2 had been
similarity, and this was classified as groups of zone A. The similarity of
parameters in station 3 and 4 were classified as group of Zone B, and the
similarity of parameters in stations 5 and 6 were classified as group of zone C.

S.serrata dominated in zona A where the substrat were mud with range of
salinity between 24 – 30 ppt, totaled 73 ind. S.tanquaberica dominated in zone B
where the substrat were mud with range of salinity between 22 – 25 ppt, totaled
94 ind. S.olivacea dominated in zone C where the substrat were clay with range
of salinity between 18 – 23 ppt, totaled 45 ind. The abundance of mud crabs were
in dark moon, where totaled zona A was 57 ind, zone B was 68 ind, and zone C
was 32 ind. Mud crabs had possess of negative phototactic, because the habit of
mud crab often refuge and hiding on a substrate that was not exposed to light
directly.
The high density of mangroves were found in zona A and B. which Third
of mud crabs associated with mangrove that had density so higher. The average of
litter weight as source of food for macrozoobentos, each which of was 200.72 g
and 204.83 g. The average of macrozoobentos abundance, each which of was 13
ind/m2 dan 17 ind/m2 . Therefore, mud crabs would interest to settle in zone that
had abundance of macrozoobentos as source of food.
Keywords: Mud crabs, abundance, mangrove density, litter, macrozoobentos

 
 
 

 
 
 
 
 
 
 

 

 

 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB


 

 

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POTENSI KEPITING BAKAU
(Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) DI HUTAN MANGROVE
CIBAKO, SANCANG KABUPATEN GARUT JAWA BARAT

IRVAN AVIANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013


 

 

Judul Tesis

Nama
NIM

: Karakteristik Habitat Dan Potensi Kepiting Bakau
(Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di
Hutan Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut
Jawa Barat
: Irvan Avianto
: C251090111

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr Ir Sulistiono, M.Sc

Ketua

Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Enan M Adiwilaga

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Juni 2013

Tanggal Lulus:

 

 

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Ridwan Affandi, DEA

 

 

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan pendidikan di sekolah pascasarjana
Institut Pertanian Bogor program studi pengelolaan sumberdaya perairan. Ucapan
terima kasih ini disampaikan kepada :
1. Ayahanda Saeful Abidin dan Ibunda Hestiningsih yang telah memberikan
kasih sayang setulus hati dan ketulusan doa dalam membimbing kesabaran,
ketabahan, dan kemandirian dalam menjalankan makna hidup.
2. Isteriku Siti Sayidah Haryati dan kedua anakku Ghefira Silviana dan
Revanny Maulida yang selalu mendampingi dengan cinta kasih dan
menuntun penulis untuk selalu jujur, amanah, dan ikhlas.
3. Dr Ir Enan M Adiwilaga yang telah membimbing selama melaksanakan
pendidikan.
4. Dr Ir Sulistiono, M.Sc dan Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan Tesis ini .
5. Beasiswa Unggulan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah
membantu biaya sekolah pascasarjana.
6. Bapak AB Soesanto yang telah membimbing dan membantu selama
melaksanakan pendidikan.
7. Dinas peternakan, perikanan, dan kelautan kabupaten Garut yang telah
memberikan izin belajar.
8. BKSDA wilayah V propinsi Jawa Barat yang telah memberikan izin untuk
melaksanakan penelitian di wilayah konservasi hutan mangrove Cibako,
Sancang Kabupaten Garut.
9. Perangkat kerja UPTD kecamatan Singajaya, Peundeuy, Cibalong, dan
Pameungpeuk yang telah membantu pelaksanaan penelitian kepiting bakau di
hutan mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut
10. Rekan-rekan seperjuangan program studi pengelolaan sumberdaya perairan
angkatan 2009. Prawira Atmadja, Rahmi, Astri Wulandari, Kadri, Tri,
Supyan dan Kadar Hasani
11. Muhammad Mukhlis yang telah mengingatkan dan membantu menyelesaikan
administrasi selama melaksanakan pendidikan
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam melaksanakan pendidikan
di sekolah pascasarjana program studi pengelolaan sumberdaya perairan.
Semoga kebaikan ini dibalas oleh Allah Subhanahu wata’aladengan
pahala yang berlipat ganda.Amin ya robbal Alamin.
Bogor, Juli 2013

Penulis

 

 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus – November 2011 ini
adalah Habitat kepiting bakau, dengan judul Karakteristik Habitat Dan Potensi
Kepiting Bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea) di Hutan
Mangrove Cibako, Sancang Kabupaten Garut Jawa Barat .
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sulistiono, M.Sc dan
Bapak Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir
Ridwan Affandi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Enan M Adiwilaga yang telah membantu
mengarahkan penulis selama pengumpulan data dan penulisan tesis. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Penulis

 

 

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
Hipotesis

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA

4

Kepiting Bakau
Kualifikasi
Taksonomi dan Morfologi
Habitat
Substrat
Makanan
Suhu
Salinitas
Kedalaman Air
pH
Mangrove
Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut
3 METODE

10

Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode dan Desain Penelitian
Alat
Bahan
Metode Kerja
Vegetasi Mangrove
Substrat
Makanan Alami
Serasah
Makrozoobentos
Kualitas Air
Ukuran
Analisis Data
Pengelompokkan karakteristik Habitat
Ketersediaan Makanan Alami
Kerapatan Jenis Mangrove
Distribusi Individu Kepiting Bakau Parameter Kualitas Air Antar
Stasiun dan Antar Bulan 
Distribusi Ukuran Kepiting Bakau Masing-masing Jenis Antar Umur
Bulan

 

4
4
4
5
5
5
6
6
6
7
7
8

 

10
10
11
11
11
11
12
12
12
12
12
13
13
13
13
14
14 
14

Hubungan Sebaran Jenis Kepiting Bakau Masing-Masing Kelas
Ukuran Antar Bulan Pada Setiap Stasiun
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat Derah Penelitian
Vegetasi Mangrove
Produksi Serasah
Fraksi Substrat
Kelimpahan Makrozoobentos
Kualitas air
Suhu
Salinitas
pH
Kedalaman Air
Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan
Jenis Kepiting Bakau di Hutan Mangrove Cibako
Jumlah Individu Kepiting Bakau
Distribusi kepiting Bakau Berdasarkan Umur Bulan
Hubungan Potensi Kepiting Bakau dengan Karakteristik Habitat
Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau
5 SIMPULAN DAN SARAN

14
15
15
15
16
18
19
21
21
22
23
24
25
26
27
29
31
36
37

Simpulan
Saran

37
37

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

42

RIWAYAT HIDUP

44

 

 

DAFTAR TABEL
1. Alat yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya.
11 
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya.
11 
3. Kerapatan individu jenis mangrove di stasiun penelitian (ind/ha)
16 
4. Rata-rata produksi serasah selama penelitian (g) dan hasil uji BNT
antar stasiun dan bulan pengamatan
17 
Tabel 5. Rata-rata Fraksi Substrat selama penelitian antar stasiun (%)
18 
Tabel 6. Rata - rata jumlah Makrozoobentos selama penelitian antar stasiun
(ind/m2)
19 
Tabel 7. Rata-rata suhu selama penelitian (0C) dan hasil uji BNT antar stasiun
dan bulan pengamatan
21 
Tabel 8. Rata-rata salinitas selama penelitian (ppt) dan hasil uji BNT antar
stasiun dan bulan pengamatan
22 
Tabel 9. Rata-rata pH selama penelitian dan hasil uji BNT antar stasiun dan
bulan pengamatan
23 
Tabel 10. Rata-rata suhu selama penelitian (0C) dan hasil uji BNT antar stasiun
dan bulan pengamatan
24 
Tabel 11.Hasil Uji BNT rata-rata nilai parameter habitat antar stasiun dalam
bulan pengamatan.
25 
Tabel 12. Ciri-ciri morfologis kepiting Bakau yang tertangkap di Mangrove
Cibako, Sancang Kabupaten Garut
27 
Tabel 13. Hasil uji BNT rata-rata jumlah individu jenis kepiting bakau antar
zona penelitian dan antar bulan pengambilan sampel
28 
Tabel 14. Hasil uji BNT sebaran rata-rata jumlah individu kelas ukuran
kepiting bakau antar umur bulan
29 
Tabel 15. Kelimpahan kepiting bakau berdasarkan karakteristik habitat di zona
Penelitian
31 
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Alir Pemecahan Masalah

Gambar 4. Alat Tangkap Bubu
12 
Gambar 3. Skema metode pengumpulan data lapangan
13 
Gambar 5. Dendogram kemiripan karakteristik habitat antar stasiun
26 
Gambar 6. Peta penglompokkan berdasarkan kemiripan habitatantar stasiun 1
dan 2, 3 dan 4, serta 5 dan 6
26 
Gambar 7. Grafik distribusi jumlah individu kelas ukuran S.serrata,
S.tranquaberica, dan S.olivacea menurut zona panelitian dan bulan 31 
Gambar 8. Grafik analisis faktorial koresponden antara kelas ukuran kepiting
bakau dengan zona A, B, C dan bulan pengamatan (8=Agustus, 9 =
September, 10 = Oktober, 11 = November)
32 

 

xii 

Gambar 9. Grafik analisis faktorial koresponden antara kepiting bakau terhadap
kerapatan mangrove, bobot serasah, dan kepadatan mangrove dalam
zona penelitian
34 

 

xiii 

 
1

 

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perairan pantai Sancang berada di wilayah pesisir Samudera Hindia yang
merupakan bagian wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Secara geografis pantai
Sncang terletak antara 7°42' 32.15" - 7°45' 32.15" Lintang Selatan dan
107°49'34.15"- 107°52'18.10" Bujur Timur. Kawasan pesisir tersebut memiliki
hutan mangrove dengan luas sebesar 144,1 ha (Badan Konservasi Sumberdaya
Alam Wilayah V Jawa Barat, 2008). Kondisi kawsasan mangrove di pesisir
Sancang ini relatif masih utuh, karena belum ada intervensi dari luar akibat
pengalihan fungsi kawasan mangrove dan penebangan liar. Ekosistem hutan
mangrove memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting sebagai penyangga
kehidupan, termasuk kehidupan masyarakat setempat. Secara langsung dan tidak
langsung manfaat ini telah dirasakan oleh masyarakat sebagai sumber mata
pencaharian dalam menangkap ikan, udang dan kepiting. Disamping itu ekosistem
mangrove merupakan salah satu sumberdaya wilayah pesisir yang berperan
sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makanan (feeding ground),
tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi organisme. Salah satu organisme yang memiliki hubungan ekologi
pada kawasan mangrove adalah kepiting bakau.
Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikanan ekonomis penting
yang dikonsumsi sebagai sumber makanan hewani yang berkualitas dan dijadikan
komoditas ekspor, sehingga kepiting bakauditempatkan sebagai jenis makanan
laut ekslusif dengan harga yang cukup mahal.
Penangkapan kepiting bakau di kawasan mangrove Cibako, Sancang terus
dilaksanakan oleh nelayan sebagai sumber mata pencaharian guna memenuhi
kebutuhan konsumsi keluarga maupun penjualan ke pasar lokal maupun luar dari
wilayah Garut. Hingga kini usaha penangkapan kepiting bakau di kawasan
hutan mangrove Sancang terus dilakukan, namun pemanfaatan sumberdaya
hayati species tersebut sampai saat ini belum dikelola. Oleh karena itu agar
sumberdaya kepiting di masa yang akan datang tidak terjadi degradasi populasi
akibat meningkatnya penangkapan diperlukan upaya pengelolaan. pengelolaan ini
tidak akan berhasil baik tanpa didasari ketersediaan data akurat tentang
karakteristik habitat dan potensi kepiting bakau (Scylla spp) di hutan mangrove
sancang yang sampai saat ini informasi tersebut belum diketahui secara lengkap.
Untuk mendapatkan data dan informasi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian.
Perumusan Masalah
Hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh oleh nelayan Sancang
banyak didominasi oleh kepiting mudaberukuran kecil. Hal ini diduga akibat
intensitas penangkapan yang terus meningkat. Penangkapan dilakukan secara
terus menerus mengakibatkan kepiting bakau yang memasuki individu baru
cenderung menurun, sehingga struktur populasi kepiting bakau di hutan Cibako,
Sancang mengalami degradasi. Untuk mengatasi masalah ini, maka perlu
dilakukan berbagai upaya pengelolaan agar sumberdaya kepiting bakau tetap
terjaga. Salah satu upaya pengelolaan yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan populasinya, yaitu mempertahankan habitat yang ideal bagi
kepiting bakau dan mengurangi tekanan terhadap populasi, diantaranya dengan
 
 
 

 
2

 

pembatasan penangkapan dan upaya penangkapan. Berdasarkan pemikiran di
atas, maka upaya pengelolaan untuk mengatasi penurunan populasi kepiting
tersebut dapat ditempuh dengan cara (1). Mengidentifikasi tipe habitat kepiting
bakau berdasarkan variasi lingkungan yang cocok bagi kepiting baik untuk
reproduksi maupun pertumbuhan (2). Mengidentifikasi jenis dan jumlah individu
masing-masing jenis dan ukuran kepiting bakau, sehingga dapat diukur struktur
populasi di berbagai tipe habitat, dan (3). Menganalisis pola distribusi kepiting
bakau di berbagai tipe habitat pada karakteristik habitat yang mempengaruhinya,
sehingga dapat dianalisis kecocokan habitat berdasarkan jenis dan ukuran kepiting
bakau. Kerangka perumusan masalah di atas dapat dilihat dalam gambar 1.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang
karakteristik habitat dan kaitannya dengan keberadaan kepiting bakau berdasarkan
jumlah, jenis, dan ukuran di hutan bakau Cibako, Sancang.
Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi daerah dan waktu
penangkapan dan acuan pengambilan keputusan dalam pengelolaan daerah
konservasi kepiting bakau
Hipotesis
Sumberdaya kepiting bakau (Scylla serrata. S.olivacea, dan
S.tranquaberica) di hutan mangrove Cibako, Sancang dapat berkelanjutan akan
ditentukan oleh distribusi ukuran dalam kesesuaian karateristik habitat.

 
 
 

 
3

 

Kualitas
Air dan substrat

Mangrove

Habitat
Layak ?

Pertumbuhan
Somatik dan
Gonadik

Searasah dan
Makrozoobentos
Komunitas
Kepiting Bakau

Manajemen
Penangkapan

Distribusi Jenis
dan Ukuran

Penangkapan

Gambar 1. Diagram Alir Pemecahan Masalah

 
 
 

Intensitas
Penangkapan ?

Potensi
Sumberdaya
kepiting bakau
berkelanjutan

 

 

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kepiting Bakau
Kualifikasi
Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam
subfamili
yaitu : Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae,
Podophthalminae, dan Portuninae.
Dinamakan kepiting bakau karena banyak ditemukan di wilayah hutan
mangrove. Meskipun demikian, kepiting bakau memiliki nama lokal yang
beragam. Masyarakat di wilayah jawa mengenalnya dengan nama kepiting, di
Maluku tengah di kenal sebagai ketang nene, sedangkan di sebagaian Sumatera
dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina, atau kepiting. Estampador
(1949a) membagi genus Scylla.atas tiga jenis dan satu varietas, yaitu : S. serrata
(Forskal), S. oceanic (Dana), S. tranqueberica (Fabricius) dan S. serrata var.
paramamosain (Estampador). Seiiring
dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, maka berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode
Allozyme electrophoresis dan Mitocondria DNA. Keenan et al. (1988)
menyatakan bahwa kepiting bakau kepiting bakau terdiri atas empat jenis yaitu
:S.serrata, S. tranquebarica, S. Paramamosain, dan S. olivacea.
Taksonomi dan Morfologi
Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong dalam famili
Portunidae adalah : Karapas pipih agak cembung, berbentuk heksagonal atau
agak persegi, bentuk umum adalah bulat bertelur memanjang atau berbentuk
kebulat-bulatan, Karapas umumnya berbentuk lebih besar dari pada panjangnya
dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya; tetapi antero-lateral
Karapas berduri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili
Podophthalminae) sampai sembilan buah; dahi lebar, secara terpisah dengan
jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah;
antenna (antenullae) kecil, terletak melintang atau menyerong; pasangan kaki
terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama pada dua ruas (ada
beberapa genus yang berkaki tidak berbentuk demikian) (Moosa 1981).
Untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla, Estampador (1949b)
merpergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda utama, walapun
menurut Warner (1977), identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja
mungkin akan keliru, karena kondisi setempat seperti cahaya, panas, dan warna
latar belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap
disperse pigmen pada tubuh kepiting bakau. S.olivacea dan S. tranquebarica
mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau keabu-abuan, atau disebut juga
warna hijau buah zaitun, sedangkan S.serrata dan S. paramamosain mempunyai
dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keabu-abuan sampai abu-abu.
Estampador (1949a) mengkaji juga beberapa perbedaan morfologis untuk
membedakan keempat jenis dari genus S.seperti : sumber pembuat warna,
bentuk H pada Karapas, bentuk duri pada dahi Karapas, bentuk duri pada
fingerjoint dan bentuk rambut/ setae.

 
 

5

Habitat
Substrat
Tekstur substrat disekitar hutan mangrove umumnya terdiri dari lumpur
dan tanah liat. Hal ini sangat memungkinkan karena partikel lumpur atau tanah
liat dapat mengendap dengan cepat karena air disekitarnya relatif tenang
(Clough et al. 1983). Gerakan air yang lamban ini akan menyebabkan partikel
sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar sehingga
menghasilkan kumpulan lumpur yang halus. Substrat yang halus banyak
mengandung serasah dan bahan organik yang dihasilkan dari daun-daun
mangrove yang jatuh ke lumpur sekitar pohon mangrove yang terdekompisisi
oleh bakteri, sehingga serasah pada substrat tersebut sangat mendukung bagi
makanan organisme tertentu, yaitu organisme pemakan detritus dari kelompok
Gastropoda (Ellobiidae dan Potamididae). Gastropda diketahui merupakan salah
satu makanan alami kepiting bakau. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Opnai
(1986), yang menyatakan bahwa 89% isi lambung kepiting bakau adalah
bivalvia, gastropoda, dan moluska lainnya. Dengan demikian dalam kaitannya
dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau, kandungan substrat dasar
perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung penting, karena
mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan makanan
alami kepiting bakau.
Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap perairan zona intertidal
dan sering membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada
substrat yang lunak (Quensland Department of Primary Industries, 1989a;
Hutching & Seanger, 1987), sedangkan Pagcatipunan (1972) melaporkan bahwa
kepiting bakau sebelum melakukan pergantian kulit (moulting) akan masuk ke
dalam lubang hingga Karapasnya mengeras.
Makanan
Kepiting bakau pada fase megalopa bersifat karnivora, dan setelah dewasa
bersifat omnivorous scavenger dan pemakan sesama jenis (cannibal) . Menurut
Pagctipunan (1972); Hill (1976); Hutching & Seanger (1987) bahwa kepiting
bakau dewasa juga merupakan pemakan organisme bentos atau organisme yang
bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis
gastropda dan krustase. Hutching & Seanger (1987) menyatakan bahwa kepiting
bakau hidup disekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya
(pneumatophore).
Perairan disekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting
bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.
Pendapat ini didukung oleh Snedaker & Getter (1985) serta Moosa et al. (1985)
yang menyatakan bahwa kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan
serasah dimana habitatnya adalah perairan intertidal yang bersubstrat lumpur.
Menurut Karsy (1996) bahwa kepiting yang akan makan dengan cara
menyerang musuhnya dengan menangkap menggunakan capit (chela),
selanjutnya merobe-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut
akan dibawa ke mulut dengan bantuan kedua capitnya. Waktu makan kepiting
bakau tidak teratur, tetapi umumnya lebih aktif di malam hari daripada siang
hari, sehingga kepiting bakau tergolong sebagai hewan nokturnal, yang aktif di
 
 
 

 
 

6

malam hari (Queensland Department of Primary Industries, 1989b). Hal ini
senada yang dikemukan oleh Hill (1976) bahwa kepiting bakau aktif mencari
makan pada malam hari terutama pada periode bulan gelap. Aktivitas mencari
makan dilakukan lebih satu kali dalam semalam. Hal ini terbukti dari frekuensi
pengisian lambung kepiting bakau yang dapat berlangsung beberapa kali
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pengaturan
proses kehidupan dan distribusi organism. Suhu suatu badan air dipengaruhi
oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dan permukaan laut (altitude), waktu
dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman
dari badan air tersebut.
Hill et al. (1989); Queensland Departement of Primary Industries (1989a)
menyatakan bahwa suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas dan
nafsu makan, namun suhu air yang rendah di bawah 200C akan mengakibatkan
aktfitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu
pertumbuhan akan terhenti walaupun kepiting masih tetap hidup.
Di perairan hutan mangrove Segara Anakan, kepiting bakau ditemukan
pada perairan dengan kisaran suhu 28,8oC – 360C (Wahyuni & Sunaryo, 1981),
sedangkan di perairan Laguna Segara Anakan, kepiting bakau ditemukan pada
kisaran suhu 13-400C (Sulistiono et al., 1994). Toro (1987) menjumpai kepiting
bakau pada perairan dengan kisaran suhu air 27.6-30.50C.
Salinitas
Keberadaan salinitas akan mempengaruhi keseimbangan cairan, koefesien
penyerapan, tekanan osmosis dan viskositas. Menurut Mardjono et al.(1994)
mengungkapkan perubahan salinitas akan mempengaruhi sifat fungsional dan
struktur organisme. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas,
maka kepiting bakauakan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan
lingkungan melalui proses osmosis dan difusi.
Nybakken (1992) menyatakan bahwa kepiting memiliki pengaturan
osmosis yang berkembang dengan baik. Keberhasilan kepiting hidup di daerah
estuaria disebabkan oleh kemampuan permeabilitas organ tubuh bagian
kerangka luar terhadap pengaturan konsentrasi ion cairan tubuhnya.Pada
dasarnya osmoregulasi (pengaturan osmosis) terjadi melalui pengeluaran air oleh
organ ekskretod disertai dengan pengambilan ion dari lingkungan untuk
mengimbangi kehilangan ion yang tidak dapat dihindari pada saat pengeluaran
air.
Secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau
cukup luas. Karsy (1996) melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada
kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 ppt sampai lebih besar dari 30 ppt,
sedangkan Wahyuni & Ismail (1987) menjumpai kepiting bakau dewasa di
perairan mangrove Muara Dua Segara Anakan pada kisaran salinitas 2 – 34 ppt.
Kedalaman Air
Kedalam air biasanya terjadi karena keadaan pasang surut, dimana hal ini
mempengaruhi terhadap perkawinan. Namun demikian kepiting bakau juga
dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni & Ismail (1987) mendapatkan
 
 
 

 
 

7

kepiting bakau pada kedalaman 30 – 79 cm di perairan dekat hutan mangrove,
dan kedalaman 30 – 125 cm di muara sungai.
Larva kepiting bakau yang berasal dari perairan laut banyak ditemukan di
sekitar wilayah estuaria pada kedalaman 50 – 125 cm danpadahutan mangrove
pada kedalaman < 30 cm dikarenakan terbawa oleh arus pada saat pasang.
Larva-larva tersebut selanjutnya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk
berlindung. Hutching & Seanger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau
tahap juvenil mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari
makanan kemudian kembali ke zona subtidal pada saat surut.
pH.
pH merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen. pH juga menunjukan
tingkat keasaman air yang dihitung berdasarkan nilai konsentrasi ion H+. Bila
ion H+ dalam air makin banyak, maka pH makin rendah dan perairan bersifat
asam dan sebaliknya. Menurut Effendie (2002) menyatakan bahwa Nilai pH
dapat mempengaruhi aktifitas biokimiawi, perubahan dalam sifat kimia alami
perairan dan pencemaran. Pada perairan alami perubahan PH yang tinggi ke pH
yang rendah dapat disangga oleh unsur kalsium yang terdapat dalam air.Sifat
tanah dasar dan kandungan karbondioksida dalam air merupakan penyebab
perubahan pH dalam sutau perairan.
Berdasarkan hasil penelitian Sudiarta (1988), dikatakan bahwa pada
perairan mangrove Segara Anakan, Kepiting Bakau ditemukan pada kisaran pH
6.16-7.50, sedangkan di pertambakan Muara Kamal, kepiting bakau ditemukan
pada kisaran pH 7.0-8.0 (Retnowati, 1991).
Mangrove
Mangrove merupakan komunitas pohon atau semak belukar yang
ditumbuh di wilayah pesisir intertidal maupun untuk individu jenis tumbuhan
lainnya yang berasosiasi dengan mangrove. Sedangkan hutan mangrove
merupakan suatu ekosistem penghubung antara daratan dan lautan yang meliputi
populasi tumbuhan, hewan dan jasad renik serta lingkungan fisiknya, diikat oleh
berbagai proses internal dan didalamnya terjadi proses pertukaran dan asimilasi
energi. Proses internal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal seperti
ketersediaan air, ketersediaan zat hara yang ditentukan oleh beberapa komponen
yang saling berinteraksi. Nybakken (1992) menyatakan bahwa faktor lingkungan
yang mempengaruhi komunitas hutan mangrove antara lain adalah salinitas,
suhu, pH, arus, kekeruhan, dan substrat.
Perairan disekitar hutan mangrove memiliki produktivitas tinggi, hal ini
terkait dengan serasah mangrove yang berada di perairan sekitarnya baik berupa
serasah maupun serasah yang terurai. Serasah mangrove akan dimanfaatkan oleh
protozoa dan bakteri yang selanjutnya akan diuraikan sebagai bahan organik dan
kemudian akan menjadi sumber energi bagi biota yang hidup diperairan.
Makrofauna dan mikroorganisme dipandang sebagai komponen penting dalam
proses dekomposisi. Disamping peranannya sebagai pengurai serasah,
mikroorganisme yang di ekspor ke perairan sekitarnya juga akan berperan
didalam rantai makanan.
Menurut
Bengen (2001) menyatakan bahwa Jenis-jenis tumbuhan
mangrove yang hidup dari pantai sampai ke arah daratan adalah bakau bandul
 
 
 

 
8

 

(Rhizophora mucronata), Api-api (Avicenia marina), bogem (Sonneratia alba),
nyirih (Xylocarpus moluccensis), tancang (Bruguiera gymnorrhiza), dan nipah
(Nypa fructicans). Interaksi jenis-jenis
mangrove tersebut
dengan
lingkungannya mampu menciptakan kondisi yang sesuai bagi berlangsungnya
proses biologi beberapa organisme akuatik, seperti pemijahan dan daerah
asuhan. Daerah perairan sekitar hutan mangrove diduga memberikan tempat
berlangsungnya proses biologi biota laut apabila lingkungannya relatif stabil dan
tidak terlalu berfluktuatif, tergenang pada periode dan kedalaman tertentu, serta
tersedia makanan bagi larva ikan, kepiting dan udang.
Kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap mangrove, dan sering
ditemukan membenamkan diri dalam substrat lumpur, atau menggali lubang
pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Qensland Department of
Industries 1989a). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972), menyatakan bahwa setelah
mengganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melinduingi dirinya dengan
cara membenamkan diri, atau besembunyi dalam lubang sampai karapasnya
mengeras. Hutcing & Seanger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup
di sekitar hutan mangrove, dan memakan akar-akarnya (pneumatophore).
Sementara Hill (1982), menyatakan bahwa perairan disekitar hutan mangrove
sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya
seperti bentos dan serasah cukup tersedia.
Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut
Hari bulan adalah usia bulan yang dihitung sejakbulan gelap hingga
bulan gelap berikutnya,biasanya dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran adalah
sejak gelap pertama sampai dengan bulan berbentuk setengah purnama.
Kuadran II adalah sejak setengah pumama sampaibulan bulat penuh (purnama).
Kuadran III adalah sejak bulan bulat penuh (purnama) sampai berbentuk
setengah pumama kedua. Kuadran IV adalah sejak bulan berbentuk setengah
purnama kedua sampai bulan gelap kembali. Perbedaan tampilan tersebut
disebabkan posisi relatif bulan terhadap matahari. Lama tiap periode rata-rata
tujuh hari, satu bulan terdiri atas 28 hari atau 29 hari (terkadang 30 hari).
Kedudukan relatif bulan terhadap matahari tersebut menimbulkan pasang
surut atau perubahan tinggi permukaan perairan di bumi (Sirait, 1997).
Disamping naik turunnya permukaan air laut akibat kedudukan bulan,
kedudukan bulan dapat pula menyebabkan pencahayaan alami pada malam hari
yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan perairan. Pada saat bulan purnama,
kolom perairan lapisan atas menjadi relative tenang. Keadaan ini dimanfaatkan
oleh fauna yang aktif di malam hari yang mengandalkan indera penglihatan
untuk mencari makan, melakukan pemijahan dan ruaya. Pasca saat periode bulan
gelap, aktivitas fauna-fauna tersebut berbeda. Selain faktor cahaya, faktor lain
yang cukup berpengaruh pada fauna perairan dangkal adalah faktor arus.
Pada saat pasang naik,fauna laut dapat bergerak ke perairan yang lebih
dangkal yakniyang dekat dengan garis pantai. Sebagian fauna akan beruaya ke
pantai mencari makan memanfatkan fauna-fauna lain di dasar perairan yang
tidak terendam air secara berkala. Sebagian ikan yang beruaya masuk ke muaramuara sungai jauh ke pedalaman. Pada saat surut sebaliknya, fauna umumnya
akan menjauhi pantai garis.

 
 
 

 
 

9

Pada saat puncak periode bulan gelap dan bulan terang (purnama) jarak
bulan terhadap bumi minimum, Sehingga biasanya akan terjadi pasang penuh
yang mengakibatkan arus pasang surut yang kuat. Perubahan kondisi permukaan
laut ini dapat berpengaruh nyata terhadap hasil tangkap harian, contohnya
rajungan. Pada waktu bulan gelap, rajungan tidak aktif mencari makan,
sedangkan pada periode bulan terang aktivitas rajungan meningkat. Susilo
(1992) menyarankan penangkapan rajungan sebaiknya dilaksanakan pada saat
periode bulan sabit pertama, periode bulan terang, dan periode bulan
setengah pumama kedua.
Keadaan pencahayaan bulan berpengaruh terhadap ikan hasil tangkapan
nelayan (Sutowo, 1984). Untuk mengoperasikan alat tangkapikan yang
menggunakan cahaya sebagai pemikat untuk mengumpulkan ikan, periode bulan
yang paling produktif adalah saat bulan gelap dan periode bulan setengah
purnama.

 
 
 

 
10

 

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Cibako, Sancang
terletak antara posisi 7°42' 32.15" - 7°45' 32.15" LS dan 107°42'34.15"107°52'18.10" Bujur Timur, dimana secara administrasi kawasan ini merupakan
bagian pengelolaan Badan Konservesai Sumber daya Alam (BKSDA) Wilayah
V Jawa Barat. Pada hutan mangroveini terdapat sungai Cibako yang terhubung
dengan samudera Indonesia dan memiliki estuari, sehingga perairan tersebut
sangat dipengaruhi oleh gerakan pasang surut Samudera Indonesia. Penelitian
ini akan berlangsung selama empat bulan dengan frekuensi pengambilan contoh
sebanyak 16 (enam belas) kali.

Metode dan Desain Penelitian

Gambar 2. Lokasi Penelitian (Sumber : BKSDA Wilayah V Jawa Barat)

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Lokasi/
stasiun penelitian terdiri dari 6 (enam) stasiun. Pada seluruh stasiun ini
dilakukan pengukuran kualitas air, karakteristik habitat, dan distribusi ukuran,
jenis, dan jumlah kepiting bakau. Pengukuran dan Pengambilan sampel
dilakukan sebanyak 16 kali dalam waktu (empat) bulan dengan survey dalam
petak pengamatan berukuran 20 x 20 m dengan metode line plots transect
(Bengen, 1997).
Pengambilan sampel kepiting dilakukan pada masing-masing stasiun
penelitian dengan menggunakan alat tangkap bubu lipat sebanyak 8 unit,
sehingga jumlah keseluruhan alat tangkap yang dibutuhkan sebanyak 48 unit.
Penentuan stasiun penelitian dibagi atas tiga zona pengamatan yang
terdiri dari :
• Zona A , terletak di depan hutan mangrove, tepatnya di estuari Cisanggiri.
Pada wilayah ini dipengaruhi oleh limpasan pasang air laut. Wilayah ini
memiliki tingkat salinitas yang tinggi, kecerahan tinggi , substrat lumpur dan
berpasir. Pada zona ini ditempatkan stasiun 1 yang berada di sebealah kiri
sungai dan stasiun 2 di sebalah kanan sungai.
 
 
 

 
11

 

• Zona B, terletak di wilayah tengah hutan mangrove. Penenetuan lokasi di
zona ini, karena Wilayah ini memiliki tingkat salinitas yang tinggi apabila
terlewati gerakan pasang air laut, kecerahan rendah, substrat berlumpur, dan
sedimentasi tinggi. Pada zona ini ditempatkan stasiun 3 yang berada di
sebelah kiri sungai dan stasiun 4 berada di sebelah kanan sungai.
• Zona C, terletak di wilayah bagian belakang dari hutan mangrove yang
berbatasan dengan wilayah darat. Wilayah ini memiliki kecerahan rendah,
substrat berlumpur, dan sedimentasi tinggi. Pada zona ini ditempatkan
stasiun 5, berada di sebealah kiri sungai dan stasiun 6, berada di sebelah
kanan sungai.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penilitian ini yaitu alat tangkap, kualitas
air, alat ukur dimensi yang menunjukkan ketilitian alat , dokumentasi, dan
wadah penyimpanan sampel.
Tabel 1.Alat yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Alat
Alat tangkap bubu lipat
Jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm
Botol sampel
GPS (Global Pointing System)
Hand Refraktometer
pH Meter
Termometer
Pipa Paralon
Cool box
Meteran
Kantung plastik
Kamera dijital

Kegunaan
Menangkap kepiting bakau
Mengukur dimensi ukuran panjang
Wadah sampel air
Mengukur letak geografis zona penelitian
Mengukur parameter Salinitas
Mengukur pH
Mengukur suhu air
Mengambil sampel substrat
Menyimpan sampel air, substrat, dan serasah
Mengukur Kedalaman air
Menyimpan kepiting bakau
Mendokumentasikan kegiatan penelitian

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel kepiting,
makrozoobentos, dan serasah untuk dilakukan pengamatan jenis dan
kelimpahannya serta bahan pengawet untuk mengawetkan organisme yang
diteliti pada selang waktu beberapa hari berikutnya.
Tabel 2.Bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya.
1
2
3

Bahan
Kepiting bakau
Formalin 4%
Makrozoobentos dan Serasah

Kegunaan
objek peneltian
mengawetkan kepiting bakau
Objek peneltian sebagai makanan kepiting

Metode Kerja
Vegetasi Mangrove
Data vegetasi mangrove dikelompokan pada masing-masing stasiun dalam
petak pengamatanberukuran 10 x 10 m untuk kategori pohon (diameter >10 m),
5 x 5 m untuk kategori anakan/ belta (diameter = 2 – 10 cm),dan 1 x 1 m untuk
kategori semai (diameter < 2 cm). Vegetasi mangrove pada tiap petak
 
 
 

 
12

 

pengamatan
p
n diidentifikaasi, diukur diameter baatangnya dann kemudiann dihitung
jumlah
j
indivvidunya untuuk tiap kateggori
Substrat
Pengambilan subbstrat dilakuukan dengaan menggunnakan pipaa paralon
berdiameter
b
5 cm dengaan tinggi 15 cm pada maasing-masingg stasiun dallam petak
pengamatan
p
n 1 x 1 m. Selanjutnya
S
sampel subbstrat di anaalisis di labooratorium
untuk
u
dihituung persentaase fraksi kaategori pasirr, liat, dan luumpur sesuaai dengan
kategorinya.
k
.
Makanan
M
Alami
Serasah
Penguumpulan serrasah dilakuukan dengann menempaatkan dua buah
b
jala
penampung
p
serasah diteempatkan pada petak pengamatan
p
10 x 10 m,, masingmasing
m
padaa tegakan maangrove yanng ada di tiapp stasiun, seelanjutnya Serasah
S
di
analisis
a
di laaboratorium untuk dihituung bobot keeringnya
Makrozoo
M
obentos
Penguumpulan maakrozoobentoos dilakukaan dengan penggalian substart
sedalam
s
15 cm pada peetak pengam
matan 1 x 1 m. Sampell dimasukann kedalam
kantung
k
plastik dan dittuangkan larrutan formallin 4%. Sam
mpel substraat dibawa
ke
k laboratorrium untuk disaring daan dianalsisiis klasifikasii jenis dan dihitung
jumlahnya
j
. Sampel yaang telah diamati, selannjutnya diaw
wetkan dalam
m larutan
formalin
f
4%
% untuk dikoleksi.
Kualitas
K
Air
A
Penguukuran param
meter suhu, pH, salinitaas dilakasannakan dilapaangan (in
situ)
s
dengan
n menggunaakan water quality cheecker, sedanngkan kedallaman air
diukur
d
denggan mengggunakan meeteran. Peng
gukuran dillakukan pada petak
pengamatan
p
n 20 x 20 m
Pengumpu
P
ulan Conto
oh Kepitin
ng Bakau
Pengambilan conntoh dilakukkan dengann Penangkaapan kepitinng bakau
digunakan
d
b
bubu
lipat berukuran
b
7 x 50 x 30 cm yanng ditempatkkan pada
70
masing-mas
m
ing stasiun sebanyak 8 unit. Penaangkapan dillakukan padda malam
hari.
h
Sebeluum penangkaapan dilaksaanakan, alat tangkapan diberi umpaan berupa
potongan
p
ik
kan kembuung, selar atau cucut. Penangkappan kepitinng bakau
dilakukan
d
paada petak peengamatan 20 x 20 m

Gambar 4. Alat Tangkap Bubu

 
 

 
13

 

Ukuran
U
Param
meter yang diiukur adalahh panjang daan lebar karaapas. Panjangg karapas
(carapace
(
l
length/
CL) merupakan panjang yang
y
diukurr secara verrtikal dari
puncak
p
fronnt sampai tep
pi coxa, sedaangkan lebarr karapas diuukur secara horizontal
h
dari
d kedua sisi antero latteral karapass (Warner, 1977).

Gambar
G
3. Skema
S
metodde pengumpulan data lappangan
An
nalisis Data
Pengelomp
P
pokkan ka
arakteristik Habitat
Pengelompokkan kemiripan antar stassiun digunakkan cluster analysis.
Proses
P
peng
gelompokk
kan karakterristik lingku
ungan antar stasiun diigunakan
analisis
a
Aveerage linkagge clusteringgdengan baantuan softw
ware Excel Stat
S Versi
2012.
2
Analisis ini digun
nakan apabilla jarak antaara kelompokk terdapat kemiripan
k
objek
o
yang merupakann jarak terdeekat dari obbjek kelomppok pertamaa dengan
kelompok
k
laainnya (Hair et al. 1998).
Ketersedia
K
aan Makan
nan Alamii
Untukk menganalisa rata-ratta produksii serasah ppada setiapp stasiun
n

digunakan
d
ruumus :
X   Xi
j i

Keterangan :
Xi = Rataa-rata produksi pada setiap traansek (g/ m2)
Xj = Bobot serasah plott ke-i pada selaang waktu terteentu (g)

Sedaangkan untuuk menganallisa kelimpaahan makrozzoobentos digunakan
d
rumus
r
:
Ni 

N

i

A
Keterangan :
Ni = Kelimpahan
K
maakroozobentos jenis-i (ind/ m2)
∑Ni = Ju
umlah individu makrozoobenttos jenis-i (ind
d)
A = Luuasan Areal pengambilan
p
coontoh (m)

 
 

 
14

 

Kerapatan Jenis Mangrove

Kerapatan Jenis mangrove diukur dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Ki 

n

Keterangan :
Ki = Kerapatan mangrove jenis-i (ind/ ha)
∑ni = Jumlah individu jenis-i (ind)
A = Luasan Areal pengambilan contoh (ha)

i

A

Distribusi Individu Kepiting Bakau Parameter Kualitas Air Antar
Stasiun dan Antar Bulan

Distribusi individu kepiting bakau dan Parameter habitat diuji dengan
menggunakan analisis varians (anova) atau uji F dalam Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan bantuan SPSS versi 12. Selanjutnya dilakukan uji
lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk membandingkan nilai beda absolut dari
dua perlakuan lebih besar dari nilai BNT maka dapat disimpulkan bahwa kedua
perlakuan itu berbeda nyata pada taraf nyata α
Distribusi Ukuran Kepiting Bakau Masing-masing Jenis Antar
Umur Bulan

Distribusi Jumlah rata-rata untuk jenis kepiting bakau (Scylla serrata,
S.transquaberica, dan S.olivacea) antar umur bulan dilakukan uji analisis varian
(anova) atau uji F dalam RAK dengan bantuan aplikasi SPSS versi 12. Untuk
melihat perbedaan penyebarannya dilakukan uji lanjut BNT.
Hubungan Sebaran Jenis Kepiting Bakau Masing-Masing Kelas
Ukuran Antar Bulan Pada Setiap Stasiun

Sebaran kelas ukuran masing-masing jenis kepiting bakau antar stasiun
dan antar bulan dilakukan analisis faktorial koresponden (correspondence
analysis). Berdasarkan hasil penelitian Nazar (2002) bahwa sebaran ukuran
kepiting bakau di wilayah hutan mangrove Segara Anakan, dianalisis
menggunakan faktorial koresponden pada ketiga jenis kepiting bakau, yaitu
yang terbagi atas 3 kelompok kelas ukuran, yaitu: S. serrata berukuran kecil <
70 mm (SSk), ukuran sedang antara 70 – 100 mm (SSs), ukuran besar >100 mm
(SSb). S. tranquebarica berukuran kecil 80 mm (STb). S. olivacea berukuran kecil <
55 mm (SOk), ukuran sedang antara 55 – 65 mm (SOs), dan ukuran besar > 65
mm (SOb).

 
 
 

 
15

 

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
KarakteristikHabitat Derah Penelitian
Vegetasi Mangrove

Secara administrasi hutan mangrove Cibako merupakan bagian dari
kawasan pesisir Samudera Indonesia, terletak di wilayah Sancang, Kabupaten
Garut. Luas hutan mangrove Cibako kurang lebih 65,4 Ha yang ditumbuhi
vegetasi mangrove Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Avicenia
marina, Sonetaria alba, Aegiceras corniculatum, Ceriops tagal, Bruguirea
gymnorhiza, dan Nypa fruticants. Daratan Sancang sangat dipengaruhi oleh
angin laut.Curah hujan rata-rata 1.695 - 2.570 mm pertahun dengan jumlah hari
hujan 124 – 178 hari(BKSDA Wilayah V Jawa Barat, 2008).Keberadaan
mangrove di wilayah pantai Cibako ini hampir memiliki kesamaan vegatasi
mangrove di Segara Anakan yang juga merupakan kawasan perairan pantai
selatan jawa. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Murni (1995) yang
menemukan 11 jenis vegetasi mangrove di Segara Anakan, diantaranya
Soneratia Alba, Nypa fructicants, Rhizophora sp, Ceriops tagal, Aegiceras
corbiculatum, Avicenia sp, Hibiscus tiliaceus, Widelia Biforia, Sarcolabus
globsus,Acanthus iricifolius.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa vegetasi mangrove
jenis R.apiculata, R.mucronata, A.marina, dan S.alba ditemukandi kawasan
terdepan hutan mangrove.B.gymnorhyzadan A.corniculatum ditemukandi
wilayah bagian tengah dan belakang hutan mangrove. C.tagal ditemukan di
kawasan tengah hutan mangrove.
Pada stasiun 1 dan 2 dominan ditumbuhi oleh jenis R.apiculata dengan
kerapatan 370 ind/ha dan 520 ind/ha dan R.mucronata dengan kerapatan 290
ind/ha dan 330 ind/ha.Jenis vegetasi mangrove lainnya yang ditemukan di
stasiun 1 dan 2 adalah S.alba dengan kerapatan 120 ind/ha dan 180 ind/ha dan
Avicenia marina dengan kerpatan 130 ind/ha dan 150 ind/ha. Total kerapatan
mangrove di stasiun 1 dan 2 yang berada di depan hutan mangrove adalah 910
ind/ha dan 1180 ind/ha (Tabel 3). Menurut Pramudji (2003) mengungkapkan
bahwa Famili Rhizophoraceae berada di kawasan muara yang berjarak 10-75 m
dari garis pantai yang merupakan zonasi terdepan setalah vegetasi A.marina
dan S.alba, dimana habitatnya hidup pada Substrat yang masih berupa lumpur
lunak dengan kadar salinitas yang agak rendah.Mangrove pada zona ini masih
tergenang pada saat air pasang. Hal lain juga senada dengan Noor (1999)
mengungkapkan bahwa jenis R.apiculata biasanya ditemukan pada daerah
bersubstrat lumpur halus dan dalam, tergenang pada saat pasang normal, tidak
menyukai substrat lebih keras yang bercampur pasir. Biasanya tingkat
dominansi dapat mencapai 90% dari vegetasi yangtumbuh disuatu lokasi,
menyukai juga perairan surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar
secara permanen. Keberadaan Jenis S.alba dan A.marina yang berasosiasi
dengan Rhizophora sp di stasiun 1 dan 2, diduga karena jenis tersebut masih
toleran dengan habitat substrat yang berlumpur yang bercampur pasir dan tidak
toleran dengan air tawar. Hal ini sejalan dengan pendapat Pramudji (2003)
bahwa vegetasi S.alba dan A.alba terletak paling luar dari hutan yang
berhadapan langsung dengan laut yang hidup di substrat lumpur lembek dan
 
 
 

 
16

 

kadar salinitas tinggi. Jenis mangrove tersebut memilliki perakaran yang kuat
untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses
penimbunan sedimen.
Pada stasiun 3 dan 4 dominan ditumbuhi B.gymnorhiza dengan
kerapatan 230 ind/ha dan 280 ind/ha. Jenis vegetasi lainnya yang tumbuh di
stasiun 3 dan 4 adalah C.tagal dengankerapatan 90 ind/ha dan 150 ind/ha dan
A.corniculatum yang merupakan jenis mangrove tambahan dengan kerapatan
180 ind/ha dan 240 ind/ha. Total kerapatan mangrove di stasiun 3 dan 4 yang
berada di wilayah tengah hutan mangrove adalah 500 ind/ha dan 670 ind/ha
(Tabel 3). B gymnorhyza biasanya hidup pada substrat lumpur, pasir, dan liat
yang banyak ditemukan di daerah pinggir sungai yang kurang terpengaruh air
laut. Jenis mangrove tersebut mampu hidup di berbagai kondisi salinitas dari
yang rendah dan tinggi hingga air laut, dengan berbagai tingkat penggenangan
hutan bakau. Noor (1999) menyatakan bahwa Brugueira gymnorhiza dominan
pada hutan mangrove yang berbatasan dengan daratan.Jenis tersebut tumbuh
diareal dengan salinitas rendah dan kering, dengan tanah yang memi