Forest resources conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia

(1)

KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI JAWA

BARAT DAN KALIMANTAN BARAT, INDONESIA

RITA RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Konflik-Konflik Sumberdaya Hutan Di Jawa Barat Dan Kalimantan Barat, Indonesia” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Rita Rahmawati NIM I363080031


(4)

RINGKASAN

RITA RAHMAWATI. Konflik-Konflik Sumberdaya Hutan Di Jawa Barat Dan Kalimantan Barat, Indonesia. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS KINSENG dan DUDUNG DARUSMAN.

Hutan sebagai basis livelihood manusia sudah lama terjadi sejak sejarah pertanian awal di dunia. Sepanjang sejarah menunjukkan bahwa strategi nafkah penduduk mempunyai pola-pola berbeda dipengaruhi oleh budaya dan perubahan sosial. Namun perubahan terpaksa dilakukan untuk merespon konflik yang terjadi karena masuknya kebijakan Negara mengenai pengelolaan kawasan hutan.

Dengan mengambil teladan kasus konflik di dua lokasi yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak, Provinsi Jawa Barat dan Banten, dan Hutan Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, melalui metode penelitian konstruktivisme dan pendekatan kualitatif, penulis dapat mengatakan bahwa konflik sumberdaya hutan ini selalu terjadi melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan. Setidaknya pada kasus TNGHS ada dua pihak yang berkonflik yaitu Negara dan Masyarakat adat Kasepuhan, sedangkan pada kasus Sungai Utik melibatkan banyak pihak yaitu Negara (Pemerintah Pusat), Negara (Pemerintah Daerah), Pengusaha yang berafiliasi dengan Pemerintah Pusat dan Pengusaha yang berafiliasi dengan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Konflik di TNGHS terjadi karena Negara menerbitkan kebijakan perluasan Taman Nasional, sedangkan konflik di hutan Sungai Utik terjadi karena Negara (Pemerintah Pusat) menerbitkan kebijakan Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu (IUPHHK) untuk Pengusaha, Pemerintah Daerah juga menerbitkan kebijakan Izin Usaha Perkebunan (IUP) pada kawasan yang sama.

Berdasarkan fenomena konflik di TNGHS dan Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa konflik sumberdaya hutan adalah konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. Teori Foucault digunakan untuk melihat konflik pemaknaan. Pemaknaan dipengaruhi oleh pengetahuan aktor. Pengetahuan inilah yang memberikan kekuasaan pada aktor untuk mengklaim kawasan tersebut sebagai hak miliknya dan memberikan kekuasaan untuk mengontol dan mengelola sumberdaya hutan tersebut. Untuk menganalisis konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood digunakan teori konflik Dahrendorf. Melalui analisis teori konflik Dahrendorf dapat dikatakan bahwa semakin tajam konflik sumberdaya hutan maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Masyarakat adat adalah pihak yang tersubordinasi, sedangkan Negara adalah pihak yang superordinat. Semakin Masyarakat tersubordinasi, semakin kurang otoritas, dan semakin sulit Masyarakat adat memperoleh kepentingannya atas hak akses kelola hutan maka semakin lenting Masyarakat dalam mencari berbagai dukungan untuk menyelesikan konflik.

Berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dilapangan, maka konflik smberdaya hutan pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melahirkan teori baru yaitu “Teori kelentingan sosial dalam perebutan sumberdaya hutan”. Kelentingan tersebut dipahami sebagai struggle for survival. Setiap Masyarakat mempunyai tingkat kelentingan yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kelentingan yang tinggi memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik dengan cara dialog.

Kata kunci: Kelentingan, Konflik Sumberdaya Hutan, Masyarakat Adat, Otoritas. Perubahan Kelembagaan


(5)

SUMMARY

RITA RAHMAWATI. Forest Resources Conflicts in West Java and West Kalimantan, Indonesia. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS KINSENG and DUDUNG DARUSMAN.

The role of forests as a basis of human livelihood has occurred for a long time since the world’s early agricultural history. Throughout history, it has shown that the people’s living strategy has different patterns, influenced by culture and social changes. However, changes had to be carried out to respond to conflicts that occur due to the entry of state policy on the management of forest areas.

By taking the exemplary case of conflicts in two locations, namely Mount Halimun Salak National Park (T.N.G.H.S.) located in the Bogor Regency, Sukabumi Regency and Lebak Regency, West Java and Banten Provinces, and Sungai Utik Forest, Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan Province, through constructivist research methods and qualitative approach, the author can say that these forest resource conflicts always occur involving multiple parties with multiple interests. At least in the case of T.N.G.H.S. there are two parties in conflict, namely the State and the indigenous people of Kasepuhan, whereas in the case of Sungai Utik, it involves many parties, namely the State (Central Government), the State (Local Government), businessmen who are affiliated with the Central Government and businessmen who are affiliated with the Local Government and the indigenous people of Dayak Iban in Sungai Utik. Conflicts at T.N.G.H.S. occur because the state issued a policy on the expansion of the national park, while conflicts at Sungai Utik Forest occur because the state (Central Government) issued the Business License for Timber Management (I.U.P.H.H.K.) policy for businessmen, and the Local Government also issued the Business Licence for Plantation (I.U.P.) policy in the same region.

Based on the phenomenon of conflicts in T.N.G.H.S. and Sungai Utik Forest, it can be said that conflicts of forest resources are conflicts of meaning, conflicts of tenur, conflicts of authority and conflicts of livelihood. Foucault's theory was used to see the conflict of meaning. The meaning is affected by the knowledge of the actor. This knowledge empowers the actors to claim the area as their property and gives them the power to control and to manage the forest resources. To analyze conflicts of tenur, conflicts of authority and conflicts of livelihood, the Dahrendorf conflict theory was used. Through the analysis of the Dahrendorf conflict theory, it can be said that the sharper the conflict of forest resources, the more visible the presence of the subordinated party and the other party that becomes the super ordinate. The indigenous people are the subordinated party, whereas the state is the super ordinate party. The more subordinated the people, the less the authority they have, and the more difficult the indigenous people obtain their interest on the right of access to forest management; thus the more resilient the people become in finding various supports for conflict resolution.

Based on the phenomena found on location, conflicts of forest resources in the Kasepuhan community and the Dayak Iban community of Sungai Utik gave birth to a new theory, namely “the theory of social resilience in the fight over forest resources”. The resilience is understood as a struggle for survival. Each community has a different level of resilience. Communities with high resilience enable the resolution of conflicts by way of dialogue.

Keywords: Resilience, Conflicts of Forest Resources, Indigenous People, Authority, Institutional Changes


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI JAWA

BARAT DAN KALIMANTAN BARAT, INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(8)

ii

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo, MS Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS


(9)

iii

Judul Disertasi : Konflik-Konflik Sumberdaya Hutan Di Jawa Barat Dan Kalimantan Barat, Indonesia

Nama : Rita Rahmawati

NIM : I363080031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Ketua

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Anggota

Prof. Dr. Dudung Darusman, MA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan,

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 26 April 2013 (tanggal pelaksanaan ujian disertasi)

Tanggal Lulus:

(tanggal penandatanganan disertasi oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)


(10)

(11)

v

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 ini ialah Konflik Sumberdaya Hutan.

Ucapan terima kasih yang pertama kami sampaikan kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan pendanaan selama proses studi, termasuk pendanaan penelitian, melalui Penelitian Hibah Strategi Nasional.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr, Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA dan Bapak Prof. Dr. Dudung Darusman, MA selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Didik Suharjito selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup, Bapak Dr. Soeryo Adiwibowo selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup dan terbuka, serta Bapak Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo selaku penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor (Bapak Prof. Dr. Herry Suhardianto, MSc.); Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (Bapak Dr. Arif Satria, MSi); Ketua Departemen Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (Bapak Dr. Soeryo Adiwibowo, MSc.); Ketua dan Sekretaris Program Studi Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr, dan Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA), dosen-dosen pada Program Studi Sosiologi Pedesaan atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor dengan segala fasilitasnya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Djuanda (Bapak Dr. H. Martin Roestamy, SH., MH); Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik, dan Ilmu Komunikasi (FISIKOM) Universitas Djuanda (Bapak Drs. Beddy Iriawan Maksudi, MSi) dan Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Djuanda (Ibu Dra. Euis Salbiah, MSi), atas izin studi, dukungan dan fasilitas yang diberikan.

Di samping itu, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Noriyuki TANAKA, Ph.D. dan Bapak Prof. Nobuyuki TSUJI, Ph.D. (Supervisor pada CENSUS Hokkaido University), Bapak Dr. Abdul Malik yang senantiasa memberikan semangat, bimbingan, arahan dan teman diskusi yang baik. Kepada Bapak Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dan Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat, Abah Asep, Wa Ugis, Pak Ulis, Kepala Badan TNGHS, Mbak Ratih (Staf BTNGHS), Camat Cisolok, Kepala Desa Sirna Resmi, Ape Janggut (Tuai Rumah Sungai Utik), Bapak Remang (Kades Batu Lintang), Bapak Camat Embaloh Hulu, Bang Tomo, Mbak Enno (Pegawai Statistik Kabupaten Kapuas Hulu), Bapak Vincentius Jebang (Tumenggung Dayak Iban Jalai Lintang), Pak Kanyan, LSM AMAN, Muhammad Muzayyin, S.Sos, Dra. Ginung Pratidina, MSi, Ir. Muarif, MSi, Arinda, S.Sos, Mbak Anggra, Pak Subair, Pak Sulthan dan pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses perkuliahan, pengumpulan data dan penulisan disertasi ini.

Ungkapan terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada suami (Bapak Firdaus Anjiance, S.Sos, MM); ayah (Bapak MH. Usman Effendi almarhum); ibu (Ibu Hj. Aah Rubaeah); anak (Mochammad Daniel Januar Firdaus) serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013 Rita Rahmawati


(12)

RIWAYAT HIDUP

Rita Rahmawati (I363080031) lahir di Cianjur tanggal 12 April 1969 adalah putri pertama dari empat bersaudara dari pasangan H. Muhammad Usman (Alm.) dan Hj. A. Rubaeah. Istri dari H. Firdaus Anjiance, S.Sos, MM dan Ibu dari Mochammad Daniel Januar Firdaus.

Pendidikan SD, SMP sampai SMA diselesaikan di Kota Cianjur Jawa Barat. Tahun 1992 lulus dari pendidikan S1 di Universitas Padjadjaran dengan mengambil program Studi Administrasi Negara. Tahun 1998 lulus program Magister (S2) di Universitas Indonesia program studi Antropologi. Tahun 2008 mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Program Studi Sosiologi Pedesaan.

Riwayat pekerjaan dimulai sejak bulam Maret 1993 diangkat menjadi dosen Kopertis Wilayah IV. Jawa Barat dengan DPK Universitas Djuanda sampai sekarang, melalui program beasiswa ikatan dinas dari Departemen pendidikan Nasional. Jabatan terakhir dalam karirnya sebagai dosen adalah jabatan akademik “Lektor Kepala” tahun 2006, dalam kepangkatan IV/b sejak tahun 2008.

Sepanjang karir menjadi dosen pernah mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan struktural, mulai dari Sekretaris Program Studi, Pembantu Dekan III, Pembantu Dekan I, Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Djuanda, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Djuanda (2006-2007) dan Direktur LPPM Universitas Djuanda (2007-2009).

Dalam karir penelitian sebagai dosen, pernah beberapa kali mendapatkan hibah dari Dirjen DIKTI, yaitu: untuk penelitian dosen muda sebanyak 2 (dua) kali, kajian wanita sebanyak 1 (satu) kali, hibah bersaing sebanyak 3 (tiga) kali dan hibah Strategis Nasional sebanyak 2 (dua) kali serta hibah Fundamental sebanyak 1 (satu) kali. Termasuk penelitian ini juga menggunakan fasilitas pendanaan dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui “Program Hibah Strategis Nasional (tahun 2009-2010).

Selama kuliah di IPB mendapat banyak kesempatan dan pengalaman akademik, dimulai sejak tahun 2010 mendapat kesempatan dikirim oleh IPB untuk pengayaan studi pustaka dari penelitian ini melalui program “sandwich like” di Center for Sustainability (CENSUS) Hokkaido University dengan pendanaan dari Dirjen DIKTI. Pada tahun 2011 memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian dalam seminar internasional “Knowledge/Culture/ Social Change International Conference” yang diselenggarakan oleh Center for Cultural Research University of Western Sydney 7-9 November 2011 melalui pendanaan DIKTI. Tahun 2012 memperoleh kesempatan kedua untuk mempresentasikan hasil penelitian pada seminar internasional “Shanghai International Conference on Social Science (SICSS-www.shanghai-ic.org), yang diselenggarakan oleh Higher Education Forum di the QUBE Hotel PuDong Shanghai, 14-17 August 2012. Tahun 2013 mendapat kesempatan mengikuti shortcourse tentang Local Governance and Rural Decentralization” yang diselenggarakan pada tanggal 11-22 Februari 2013 oleh Centre for development Innovation (CDI) Wageningen University, dengan scholarship dari Nuffic Belanda. Salah satu materi kursus tersebut memberikan pengayaan pada disertasi ini, yaitu tentang konflik sumberdaya alam dan resolusinya.


(13)

vi

DAFTAR ISI

RINGKASAN

PRAKATA v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR MATRIK x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR GRAFIK xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

DAFTAR SINGKATAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 4

1.3. Tujuan Penelitian 13

1.4. Manfaat Penelitian 13

1.5. Ruang Lingkup Penelitian 14

2 TINJAUAN PUSTAKA 15 2.1. Teori Konflik 15

2.2. Konflik Pemaknaan 24

2.3. Konflik Sumberdaya Hutan 30

2.4. Perebutan Hak dan Akses Dalam Konflik Sumberdaya Hutan 34

2.5. Penyelesaian Konflik Sumberdaya Alam 39

2.6. Dinamika Kelembagaan Dalam Sistem Sosio Ekologi Hutan 40

2.7. Otonomi Daerah Dalam Pengaturan Sumberdaya Hutan 45

2.8. Adaptasi dan Resiliense 48

3 METODE 55 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 55

3.2. Paradigma Penelitian 55

3.3. Kerangka Pemikiran 58

3.4. Hipotesis Pengarah 61

3.5. Strategi Penelitian 62

3.6. Langkah Penelitian 62

3.7. Teknik Pengumpulan Data 63

3.8. Analisis Data 64

4 SISTEM SOSIO EKOLOGI HUTAN 65 4.1. TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK: 65


(14)

vii

4.1.a. Perkembangan Status Taman Nasional Gunung Halimun Salak Dan

Implikasinya 65

4.1.b. Desa Sirna Resmi dan Masyarakat Kasepuhan 67

4.1.c. Sistem Mata Pencaharian dan Pertanian Masyarakat Kasepuhan 69

4.1.d. Pengetahuan Masyarakat Adat Kasepuhan Tentang Tata kelola Hutan 74

4.2. HUTAN SUNGAI UTIK: 78

4.2.a. Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat 78

4.2.b. Kampung Sungai Utik (Sui Utik) 79

4.2.c. Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik 81

4.2.d. Sejarah Migrasi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik 82

4.2.e. Sistem Pertanian Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik 83

4.2.f. Pengetahuan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Tentang Tata Kelola Hutan 86

4.2.g. Dusun-Dusun Di Sekitar Dusun Sungai Utik: 91

4.3. Perbandingan TNGHS Dan Sungai Utik (Analisis Fisik, Sosial, Politik) 98

4.4. Multiple Basis of Land Rights danMultiple Basis of Access 100

4.4.a. Kebijakan Pertanahan Menurut Negara 101

4.4.a.1. Kebijakan Pertanahan Pada Masa Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang 101

4.4.a.2. Kebijakan Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka 102

4.4.b. Sejarah Penguasaan Tanah Masyarakat Adat 108

4.4.b.1. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Kasepuhan 108

4.4.b.2. Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Dayak Iban 112

5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 117 5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik 117

5.1.a. Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian Hutan 118

5.1.b. Kasus Konflik Hutan Sungai Utik: Kebijakan Negara Tentang Pemanfaatan Hutan 122

5.2. Jenis Konflik: Pemaknaan, Tenurial, Authority dan Livelihood 127

5.2.a. Konflik Pemaknaan 127

5.2.b. Konflik Tenurial 130

5.2.c. Konflik Authority (Konflik Otoritas) 138

5.2.d. Konflik Livelihood 142

5.3. Kedalaman Konflik (Kebrutalan Konflik) 148

5.4. Dampak Konflik 151

5.5. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam 154

5.6. Peran LSM Dalam Konflik Sumberdaya Hutan 160


(15)

viii

6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN

HUTAN 183

6.1. Analisis Perbandingan Lembaga dan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik 183 6.2. Kebijakan Negara Tentang Pengaturan Hutan Yang Mempengaruhi

Kelembagaan Masyarakat Adat 191

6.3. Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban

Sungai Utik 193

6.4. Faktor-Faktor Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat di Kasepuhan dan

Dayak Iban Sungai Utik 201

6.5. Strategi Adaptasi Ekologi Masyarakat Dalam Rangka Keberlanjutan

Sistem Sosioekologi Hutan 206

7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK PENGUASAAN

SUMBERDAYA HUTAN 211

7.1. Teori Konflik Dahrendorf dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan

Foucault 211

7.2. Fenomena Konflik Di TNGHS dan Sungai Utik 213 7.3. Kajian Teoritik Dalam Melihat Berbagai Fenomena di TNGHS dan

Sungai Utik 222

7.4. Implikasi Teoritis 228

7.5. Implikasi Kebijakan 238

8 KESIMPULAN DAN SARAN 243

8.1. Kesimpulan 243

8.2. Saran 247

DAFTAR PUSTAKA 251

LAMPIRAN


(16)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Langkah-Langkah Penelitian 63

Tabel 2. Perkembangan Status Hutan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak 66

Tabel 3. Kondisi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung

Halimun Salak 68

Tabel 4. Aturan Yang Dibolehkan dan Dilarang Pada Masyarakat

Kasepuhan 77

Tabel 5. Luas wilayah Kampung Sungai Utik dan pembagian tataguna

lahannya 80

Tabel 6. Sejarah Perpindahan Rumah Panjae Masyarakat Dayak Sui

Utik 83

Tabel 7. Jumlah KK dan Jiwa di Tujuh Dusun Ketemenggungan Jalai

Lintang 92

Tabel 8. Kondisi Masyarakat di Sekitar Hutan Sungai Utik 94 Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun

2003. 118

Tabel 10. Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2011 146


(17)

x

DAFTAR MATRIK

Matrik 1. Matrik Perbandingan Lokasi Studi Taman Nasional Gunung

Halimun Salak Dan Hutan Sungai Utik 100

Matrik 2. Klaim Wilayah Menurut Masyarakat Adat Kasepuhan dan

Dayak Iban Sungai Utik 132

Matrik 3. Teritorialisasi Masyarakat Kasepuhan Dan Masyarakat Dayak

Iban Sungai Utik 134

Matrik 4. Analisis Perbandingan Otoritas Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (SDH) di TNGHS dan

Hutan Sungai Utik 140

Matrik 5. Perbedaan Otoritas Antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak

Iban 141

Matrik 6. Kepentingan Antar Aktor Dalam Penguasaan Sumberdaya

Hutan di TNGHS dan Sungai Utik 148

Matrik 7. Kedalaman Konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik. 149 Matrik 8. Karakteristik Konflik di Sungai Utik dan Taman Nasional

Gunung Halimun Salak 166

Matrik 9. Resolusi Konflik Pada kawasan TNGHS dan Hutan Sungai

Utik 168

Matrik 10. Karakteristik Masyarakat Kasepuhan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Dayak Iban di Hutan Sungai

Utik 185

Matrik 11. Analisis Kelembagaan Adat versus Negara (Modern) Pada

TNGHS 189

Matrik 12. Analisis Kelembagaan Adat Versus Negara (Modern) Pada

Hutan Sungai Utik 190

Matrik 13. Perubahan Status Taman Nasional dan Dampaknya Pada

Masyarakat Sekitar Hutan 192

Matrik 14. Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan

Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik 194

Matrik 15. Faktor-Faktor Kekuatan Eksternal Pengukuh Legitimasi

Kuasa Adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik 202 Matrik 16. Bentuk Konflik Pada Kawasan TNGHS dan Sungai Utik 218 Matrik 17. Perbedaan Karakteristik Lokasi TNGHS dan Sungai Utik

dan Bekerjanya Berbagai Fenomena Teoritis 223 Matrik 18. Indikator Kelentingan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak

Iban Sungai Utik 228

Matrik 19. Asumsi-Asumsi Yang Membedakan Kelentingan

Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai


(18)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. The Dialectical Causal Imagery (Sumber Turner, 1998:168) 20

Gambar 2. Kerangka Penelitian 61

Gambar 3. Sejarah Masyarakat Kasepuhan Dan Penguasaan Lahan 215 Gambar 4. Sejarah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Dan


(19)

xii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Kondisi hutan Selama Tahun 1989-2008 (Sumber: BTNGHS,


(20)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Pengertian Istilah 261

Peta Taman Nasional Gunung Halimun Salak 271

Peta Kabupaten Kapuas Hulu 272

Peta Kampung Sungai Utik 273


(21)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

Halaman AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara 150,160,161,162,163,168

Amdal Analisa Dampak Lingkungan 126

BPKH Bina Produksi Kehutanan 99

BKSDA Balai Konservasi Sumberdaya Alam 216,238

BPS Badan Pusat Statistik 145

BTNGHS Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak

117,120,121,139,142,148, 149,154,160, 168,169,171,172,174, 175,180

CAGH Cagar Alam Gunung Halimun 65

CSIADCP Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Program

1

DA Demontrative Activity 163

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 104

DR Dana Reboisasi 125

Ha Hektar 2, 118,119

HPH Hak Pengusahaan Hutan 3,5,8,178,179,180

HTI Hutan Tanaman Industri 2,146

ICA Imperative Coordinated Association (Asosiasi Imperatif Terkoordinasi)

18,20,22

IGO Inlandshe Gemeente Ordonantie 101

IGOB Inlandshe Gemeente Ordonantie Biutengewsten

101,102

IIUPH Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan 125,126

IPPA Izin Pengusahaan Pariwisata Alam 170,172

IPH Izin Pemanfaatan Hutan 2

IUP Izin Usaha Perkebunan 117,126

IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

117,122,123,124,126,154, 155,165,168,178,179

Kadat Kepala Adat 82

Kades Kepala Desa 82

Kadus Kepala Dusun 82

Kepmensos Keputusan Menteri Sosial 107

Keppres Keputusan Presiden 4

KUD Koperasi Unit Desa 71

LEI Lembaga Ekolabeling Indonesia 163,168

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat 126,153,154,160,161,162, 163,168,169,172,180

mdpl meter di atas permukaan laut 67

Menhut Menteri Kehutanan 123,125,129,160,177

Menhutbun Menteri Kehutanan dan Perkebunan 79


(22)

xv

MKK Model Kampung Konservasi 160,172,173,174

MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat 156,157

NIT Negara Indonesia Timur 101

NTB Nilai Tambah Bruto 144

PDB Produk Domestik Bruto 145,146

Pemda Pemerintah Daerah 170

PETI Penambangan Emas Tanpa Izin 170

PHKA Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

98

PP Peraturan Pemerintah 5,7,8,135,144,145,147,158

PSDH Penerimaan Provisi Sumberdaya Hutan

125

RI Republik Indonesia 5

RPTN Rencana Pengelolaan Taman Nasional 172

RPTNGHS Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

170

RTRK Rencana Tata Ruang Kawasan 169

SABAKI Kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul

153,160

SCBFM sustainable community Based Forest Management

126,163

SD Sekolah Dasar 81

SDA Sumberdaya Alam 140,159

SK Surat Keputusan 118,123,125,126,136,160

SMP Sekolah Menengah Pertama 81

SMA Sekolah Menengah Atas 81

SPTNW Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah

66

TK Tidak Diketahui 83,94

TNGH Taman Nasional Gunung Halimun 65,66

TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun Salak 12,117,118,119,120,121,1 27,130,132,133,134,135,1 37,138,139,140,141,142,1 47,148,149,151,152,153,1 54,157,159,160,168,169,1 70,171,172,173,174,175,1 76

TPTI Tebang Pilih Tanam Indonesia 123

UU Undang-Undang 5,6,7121,129,130,131,132,

142,143,147,155,156,157, 158,159,161,166,176,178


(23)

1

1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Hutan dalam beberapa dekade terakhir menjadi salah satu sumber konflik di Indonesia. Konflik sumberdaya hutan tersebut melibatkan berbagai aktor, baik antara masyarakat adat versus negara, masyarakat adat versus pengusaha (swasta), maupun antara negara dengan negara. Konflik terjadi karena kebijakan negara tentang hutan, baik untuk pelestarian maupun pemanfaatan hutan.

Konflik sumberdaya hutan yang diakibatkan kebijakan negara tentang pelestarian hutan, antara lain contohnya: penyingkiran rakyat pesisir bukit karena pembangunan Taman Nasional Kerinci Seblat di Jambi; penutupan akses Masyarakat Desa Klakah dan Jurang Ombo di Boyolali Jawa Tengah untuk memanfaatkan Hutan Lindung Gunung Merapi; tersingkirnya kegiatan pertanian ladang oleh warga pedesaan di sekitar Hutan Lindung/ Hutan Wisata Kali Pancur di Salatiga; penyingkiran Masyarakat Suku Amungme karena pembangunan Taman Nasional Lorenz di Irian, konflik tanah Pulo Panggung di Lampung yang menyebabkan rakyat tersingkir karena lahan mereka dinyatakan sebagai hutan lindung dan suaka marga satwa; pemindahan Masyarakat Adat Katu dari dalam Taman Nasional Lore Lindu melalui proyek “the Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project” (CSIADCP) (lihat Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik akibat kebijakan pelestarian hutan tersebut selalu menghadapkan masyarakat dan negara.

Konflik sumberdaya hutan yang diakibatkan karena kebijakan negara dalam pemanfaatan hutan melibatkan aktor pengusaha yang mendapatkan hak pemanfaatan hutan dari negara. Oleh karena itu, dalam kasus pemanfaatan hutan, konflik terjadi dalam dua level. Pada level kebijakan, konflik terjadi antara masyarakat dengan negara. Adapun pada level grassroot, konflik terjadi antara pengusaha dengan masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat non adat. Konflik sumberdaya hutan antara pengusaha dengan masyarakat adat, antara lain contohnya: konflik Masyarakat Tabbeyan dan Sentosa serta beberapa desa lain di Kecamatan Demta, Namboran, Bonggo, Urunumguay, dan Kaureh dengan PT. YLS yang memperoleh konsesi di wilayah mereka; tahun 1989-1990, konflik


(24)

2

terjadi antara masyarakat adat di Dusun Senaru, Desa Senaru Lombok Barat dengan PT. TBA yang mendapatkan izin pemanfaatan hutan (IPH) dan dilanjutkan dengan izin pengembangan hutan tanaman industri (HTI) seluas 500 hektar (ha); tahun 1992, konflik terjadi antara Masyarakat Dayak Bahau di Mutalibak Kecamatan Long Hubung Kutai Kalimantan Timur dengan PT. LPT yang membangun HTI di wilayah adat; tahun 1993 terjadi 2 (dua) kasus perlawanan yang dilakukan masyarakat terhadap HTI yakni Masyarakat Sugapa di Tapanuli Utara yang tanahnya diserobot oleh PT IIU, serta Masyarakat Jelmusibak di Kalimantan Timur; tahun 1994 terdapat 6 kasus yakni konflik yang melibatkan Masyarakat Benakat di Muara Enim dan Masyarakat Bayat di Musi Banyuasin, keduanya di Provinsi Sumatera Selatan; kasus Masyarakat Sandai, Empurang dan Semandang Kanan di Ketapang Provinsi Kalimantan Barat serta kasus Masyarakat Dayak Pasir di Kalimantan Timur; tahun 1995, terjadi 3 (tiga) kasus yakni konflik yang melibatkan Masyarakat Palawe di Musi Rawas, Masyarakat Babat dan Sungai Ibul di Muara Enim, keduanya di Sumatera Selatan serta kasus Kota Baro di Aceh Besar (lihat, Fuad dan Maskanah, 2000).

Konflik sumberdaya hutan antara pengusaha dengan masyarakat non adat, antara lain contohnya: konflik akibat adanya klaim PT. SK terhadap sekitar 100 ha tanah warga di Kecamatan Dampelas Sojol yang telah ditanami coklat oleh masyarakat; konsesi perkebunan PT. H di Dataran Napu, Kabupaten Poso menyebabkan hilangnya tanah warga (masyarakat lokal) beberapa desa di sekitar daerah tersebut; perampasan tanah masyarakat oleh PT. PTPN XIV di Tomata; dan PT. HIP mencaplok lahan penduduk Desa Pomayagon di Kecamatan Momunu untuk dijadikan areal kelapa sawit (lihat Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik antara pengusaha dengan masyarakat non adat umumnya terjadi karena adanya tumpang tindih klaim atas tanah yang diperuntukkan bagi perkebunan.

Belajar dari pengalaman hasil penelitian sebelumnya, konflik sumberdaya hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa peneliti menyebutkan, antara lain:

1. Menurut Blaikie (1985) bahwa kebanyakan sistem pengelolaan hutan di dunia ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem negara bahkan memperparah kemerosotan hutan


(25)

3 karena makin merunyamkan kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Hasil kontra-produktif demikian sebagian disebabkan oleh tata hukum dan keorganisasian gaya kolonial yang masih mendominasi pengelolaan hutan oleh negara.

2. Negara kolonial dan negara masa kini sering mengambil alih kawasan hutan yang luas untuk perkebunan, atau untuk proyek pembangunan besar yang merampas dan mencampakkan sistem hak-hak kepemilikan tanah yang sudah lebih dulu ada dan menetapkan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumberdaya. Sering kali pengambil-alihan ini diberi alasan pembenar dalam klaim bahwa perubahan itu demi kepentingan bersama bagi kemaslahatan sebesar-besarnya (lihat Peluso, 2006).

3. Menurut Gautam et al (2000) dan Sembiring (2002), bahwa hutan digunakan sebagai kendaraan politik. Konsesi hutan yang diberikan secara tidak transparan kepada sejumlah kecil perseorangan atau perusahaan yang sangat berpengaruh dan memiliki kedekatan dengan kekuasaan.

4. Hutan sebagai instrumen ampuh bertumbuhnya kekuasaan ekonomi dan politik di tangan sejumlah orang. Pada tahun 1998, 12 Perusahaan yang erat terkait dengan elit politik dan militer mengendalikan sekitar 60 juta hektar konsesi hutan di Indonesia (McCarthy, 2000a).

5. Tumpang tindih wilayah kebijakan hak pengusahaan hutan (HPH), dan izin penebangan skala 100 hektar. Tumpang tindih wilayah kebijakan tersebut terjadi karena kawasan hutan yang masih berkayu menjadi incaran para pemilik HPH, dan masuk dalam rencana tebang mereka, sementara izin penebangan skala 100 hektar juga memilih areal yang kayunya banyak, mudah dikeluarkan dan tidak jauh dari kawasan pemilik izin (lihat Contreras-Hermosilla dan Fay, 2006).

6. Tumpang tindih antara areal hutan lindung dengan konsesi hutan HPH serta tarik menarik kepentingan antar instansi sektoral dalam menentukan peruntukkan suatu wilayah hutan. Contoh konflik yang terjadi di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya tumpang tindih antara areal hutan lindung dengan konsesi hutan HPH serta tarik menarik kepentingan antar instansi sektoral dalam menentukan peruntukkan suatu wilayah hutan. Di Poso


(26)

4

Sulawesi Tengah tercatat adanya izin perkebunan seluas 8600 ha dari Pemerintah Daerah Kabupaten bagi PT SK, padahal kawasan tersebut merupakan hutan lindung (lihat Fuad dan Maskanah, 2000).

7. Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di hutan juga melibatkan persoalan overlapingnya tata aturan kelembagaan yang ada dalam pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, antara lain: keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang sekarang sudah diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) membuat pengelolaan sektor kehutanan menjadi semakin tidak jelas; sebuah keputusan presiden/Keppres (Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional) menetapkan bahwa urusan menyangkut penguasaan dan kepemilikan atas tanah berada di bawah kewenangan pemerintah pusat sementara UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan otonomi kepada kabupaten untuk membuat keputusan menyangkut urusan-urusan pertanahan, termasuk penyelesaian konflik (lihat Sembiring, 2002).

8. Memberikan Departemen Kehutanan kewenangan utama menetapkan batas, fungsi dan kawasan hutan. Tetapi, pemerintah daerah tidak selalu menghormati kewenangan tersebut, sebagian karena keputusan menteri tidak memiliki status hukum untuk mengubah keputusan-keputusan tingkat lokal (Effendi, 2002).

Berdasarkan kasus-kasus konflik sumberdaya hutan di Indonesia dan pendapat para peneliti sebelumnya, maka penyebab konflik sumberdaya hutan antara lain karena: kebijakan negara dibidang kehutanan telah menegasikan keberadaan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar hutan; tumpang tindih kepemilikan hutan negara dengan masyarakat; dan tumpang tindih kebijakan antar instansi sektoral dan tumpang tindih kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Konflik tersebut melibatkan banyak pihak dengan bnyak kepentingan.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam perspektif historis, periode waktu penguasaan kawasan hutan oleh negara tidaklah sama dengan periode waktu penguasaan kawasan hutan oleh


(27)

5 masyarakat. Negara sebagai sebuah entitas sosial politik, keberadaan dan eksistensinya secara resmi baru diakui sejak diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tahun 1945. Penetapan status kawasan hutan negara baru dilakukan pada tahun 1970 sejak diundangkannya secara resmi Undang-Undang (UU) RI Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Sementara itu, keberadaan masyarakat khususnya masyarakat adat sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun hak penguasaan masyarakat adat atas tanah tersebut tidak diakui oleh negara karena tidak memiliki surat-surat resmi.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 mengatur bahwa semua tanah harus didaftarkan, dan lahan tanpa judul diasumsikan milik negara. Hal tersebut bermakna bahwa tanah tanpa surat-surat resmi diasumsikan menjadi milik negara. Sementara itu, hak-hak adat tradisional untuk mengontrol sumberdaya hanya diakui sejauh tidak bertentangan dengan hukum nasional.

Hak masyarakat hukum adat (MHA) untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Pasal 2 Ayat 4, bahwa: “Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”. Namun demikian, Pasal 2 Ayat 4 tersebut tidak ditindak-lanjuti dengan peraturan yang lebih rendah untuk operasionalisasinya. Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari Pasal 2 Ayat 4 UUPA tersebut berakibat pada keterbatasan hak dari MHA. MHA hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pasal 1 Keputusan Menteri Kehutanan No. 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal HPH.


(28)

6

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, BAB IX tentang Masyarakat Hukum Adat, Pasal 67 bahwa: “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak, yaitu: melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Selanjutnya, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah. Namun dalam prakteknya, hak-hak masyarakat adat ini menjadi tidak diakui manakala berbenturan dengan kepentingan negara. Hal ini tentu saja akan menempatkan negara dan masyarakat pada suatu kondisi konflik tenurial sumberdaya hutan. Konflik dan sengketa tenurial tersebut berkenaan dengan adanya perjuangan hak MHA dalam mengakses sumberdaya hutan, dan kepemilikan lahan. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan hasil hutan.

Pada saat negara (pemerintah) mengeluarkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, akan berhadapan dengan dilema dimana hutan juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat lokal. Isu-isu penggunaan lahan diantara banyak pihak, termasuk konsesi, perkebunan, kawasan lindung dan masyarakat subsisten, selalu berada pada situasi konflik. Banyak masyarakat adat menggantungkan hidupnya pada hutan, salah satu contohnya masyarakat yang bergantung pada hutan di pedalaman kalimantan secara kolektif disebut sebagai orang-orang Dayak (lihat mackinnon, Hatta, Halim, & Mangahik, 1997; Wadley, Pierce Colfer, & Hood, 1997).

Penetapan aturan hukum yang baru untuk tata guna tanah dan sumberdaya hutan oleh negara (selaku pemegang kuasa hutan secara de jure) selain menegasikan keberadaan masyarakat lokal, juga menghadirkan keberadaan aktor lain (pengusaha), sehingga konflik sumberdaya hutan melibatkan banyak aktor dan kepentingan. Konflik tersebut bukan hanya terjadi karena benturan kekuasaan dan kewenangan atas penguasaan sumberdaya hutan, tetapi juga karena adanya


(29)

7 perbedaan interpretasi, pemahaman dan pemaknaan mengenai sumberdaya hutan di Indonesia antara berbagai aktor dan kepentingannya.

Selanjutnya, perilaku setiap aktor yang berkepentingan terhadap hutan ditentukan oleh pemaknaan aktor tersebut terhadap hutan yang bersumber dari rasionalitas mereka. pemaknaan hutan oleh negara, berbeda dengan pemaknaan oleh pengusaha dan masyarakat lokal. Dalam memaknai hutan, negara dihadapkan pada dua kepentingan yang kontradiktif. Pertama, kedudukan negara (suatu birokrasi) akan makin canggung ketika ia juga masih dibebani mandat peningkatan kesejahteraan atau pembangunan sosial ekonomi (Bunker, 1985; Peluso, 2006). Kedua, mandat manapun yang dominan, birokrat dan petugas negara berkepentingan memelihara tatanan sosial yang secara ekonomis dan politis menguntungkan mereka (Skocpol, 1979; Robinson, 1986).

Bagi Indonesia sendiri, peran negara dalam kehutanan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8), yang selanjutnya diperbaharui dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8), yang selanjutnya diperbaharui dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Indonesia mengatur mengenai pengurusan hutan. Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan hutan tersebut dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan, yang mencakup: perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan pengawasan. Berdasarkan UU tersebut, negara memandang hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi.


(30)

8

Selanjutnya menurut Pasal 18 PP No. 6 Tahun 2007 disebutkan bahwa hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2) bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi.

Selain aktor negara, ada juga kelompok yang melulu berkepentingan dengan hutan sebagai sumber ekonomi, antara lain pengusaha pemegang hak penguasaan hutan (HPH) dan industriawan kayu, pejabat pemerintah yang mengelola instansi perindustrian, perdagangan, pertambangan, transmigrasi, pemukiman penduduk dan mereka yang ingin mengeksploitasi hutan demi kayu, tanah atau bahan mineral di bawahnya. Kelompok ini memaknai hutan sebagai komoditas ekonomi dan alat perjuangan politik. Beberapa pengusaha memperoleh hak penguasaan hutan karena memiliki keterkaitan politik dengan pemerintah pusat yang berkuasa. Dalam prakteknya, hukum dan peraturan yang berlaku menjadi diabaikan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa 84% konsesi hutan telah melanggar berbagai hukum yang berlaku sepanjang pertengahan 1990-an dan pembalakkan liar secara sistematik terjadi bahkan di kawasan-kawasan Taman Nasional terkemuka – Gunung Leuser, Tanjung Puting dan Kerinci Seblat – tanpa tindakan hukum yang jelas terhadap pelanggarnya (Environmental Investigation Agency, 1999; Environmental Investigation Agency dan Telapak Indonesia 2001; Barber dan Schweithelm 2000; World Bank 2001). Sepanjang tahun-tahun tersebut, sekitar 70% hasil hutan adalah hasil kegiatan illegal dan deforestasi telah menyapu sekitar 65 juta hektar – 2,2 kali luas Italia (World Bank 2001; FAO 2001; FWI/GFW 2002). Dapat dikatakan, perkiraan laju deforestasi sepanjang 1994-1997 adalah 1,7 juta hektar per tahun (FWI/GFW 2002). Begitu kayu yang berharga diekspolitasi, tanah yang ditinggalkan berikut sumberdaya hutannya diklasifikasikan sebagai hutan yang telah rusak yang dapat digunakan untuk


(31)

9 perkebunan skala besar atau tujuan penggunaan lainnya. Fenomena tersebut merupakan senyawa ampuh dalam mendorong deforestasi dan degradasi hutan (Barber, Johnson dan Hafild 1994).

Lain lagi dengan kelompok yang berkepentingan dengan kelestarian hutan. Kelompok tersebut antara lain: para pemeduli keanekaragaman hayati, pengelola jamu dan obat-obatan, pengelola banjir, air tanah dan pencegah erosi, pemeduli ekoturisme, pejabat instansi lingkungan hidup, departemen kesehatan, para peneliti atau umumnya mereka yang memetik manfaat dari hutan yang utuh. Selanjutnya, ada aktor masyarakat lokal yaitu kelompok yang berkepentingan dengan hutan sebagai habitat tempat hidup, tempat berburu, tempat bercocok tanam secara alami dan sumberdaya kehidupan spiritual. Hutan memberi masyarakat lokal makanan alami, lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan. Hutan diolah di bawah ambang batas kemampuan pembaharuan diri hutan sebagai sumber alam yang bisa diperbaharui. Masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan umumnya memiliki tradisi dan adat yang khas berkenaan dengan pengaturan hutan. Selanjutnya dalam tulisan ini disebut masyarakat adat.

Beberapa studi mengenai masyarakat adat menunjukkan adanya pemaknaan yang khas atas hutan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Pandya dalam Dentan (1994) pada Masyarakat Andaman, bahwa Masyarakat Andaman memaknai lingkungan dan sikap mereka terhadap lingkungan berdasarkan pada keberadaan ritual Ongee, yaitu menghubungkan keberadaan manusia dengan dunia kebaikan dan kejahatan roh leluhur. Roh dan manusia adalah bagian dari sebuah siklus. Orang-orang berkomunikasi dengan roh-roh melalui ritual “Ongee” Ritual Ongee tersebut menunjukkan adanya pemaknaan budaya atas lingkungan alam, sehingga pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan harus sejalan dengan nilai budaya yang didasarkan atas keberadaan roh nenek moyang.

Selain itu, pada setiap masyarakat adat, memiliki pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang berkenaan dengan pelestarian nilai-nilai ekologis. Misalnya Rathakette et al. (1984) dalam penelitiannya di Thailand mengemukakan bahwa masyarakat lokal dan aturan tabu berkenaan dengan hutan keramat yang dipercaya sebagai tempat hunian makhluk halus pelindung desa (Phipulu), sehingga terlarang untuk dieksploitasi memberikan dampak positif


(32)

10

pada konservasi dan pelestarian hutan. Atmadja (1993) juga menemukan fenomena yang sama di Bali, di mana desa adat dengan seperangkat kepercayaan masyarakatnya berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial untuk tetap menjamin kelestarian sumberdaya di kawasan hutan wisata Sangeh. Baik Rathakette et al. (1984) maupun Atmadja (1993) melihat aspek kepercayaan masyarakat sebagai variabel yang determinan terhadap perilaku mereka dalam mengelola dan memanfaatkan hutan (lihat Rahmawati, 2007a). Studi-studi di atas menunjukkan adanya pemaknaan hutan sebagai nilai budaya yang bersifat ekologis. Melalui kepercayaan terhadap hal-hal gaib dan roh nenek moyang inilah, masyarakat adat melestarikan hutannya.

Studi yang dilakukan oleh Huber dan Zent di Venezuela Timur, Edel Man di Kosta Rika, Jones di Bolivia, dan Reed di Paraguay dalam Mitchell (1996) menunjukkan bahwa penduduk asli (indigineous people) adalah orang-orang yang hanya untuk hidup dalam harmoni dengan lingkungan alam. Bedoya dan Durham dalam Mitchell (1996) membandingkan tiga kelompok adat dari Peru timur dengan tingkat deforestasi yang bervariasi. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun laju kehilangan tanah tradisional untuk pemukiman merupakan faktor penting, masing-masing kelompok juga memiliki sejarah yang berbeda dari keterlibatan dengan uang tunai, upah buruh, dan pembelian komoditas. Reed dalam Mitchell (1996) memberikan contoh yang mencolok tentang keanekaragaman tersebut. Sekalipun masyarakat tersebut sering dipandang sebagai pemburu dan peramu, namun mereka mengambil bagian dari sejarah sebagai petani.

Dengan membandingkan keberadaan masyarakat non adat dan adat, baik di Venezuela, Paraguay, sebelum atau dalam penjajaran Indian Maya di Guatemala dengan petani mestizo di Honduras dan Kosta Rika, Mitchell (1996) menunjukkan bahwa masyarakat adat tersebut memandang pentingnya melindungi hutan dan menjamin kelangsungan hidup ekonomi dan budaya kelompok-kelompok adat. Dengan demikian lingkungan (sumberdaya hutan) memiliki makna yang beragam bagi masyarakat (khususnya masyarakat adat) yaitu makna ekonomi, budaya dan ekologis.


(33)

11 Studi Rathakette et al. (1984) di Thailand, Atmadja (1993) di Bali (hutan Sangeh), Huber dan Zent di Venezuela Timur, Edel Man di Kosta Rika, Jones di Bolivia, dan Reed di Paraguay menunjukkan bahwa ketika masyarakat adat masih memegang teguh nilai-nilai adat, maka hutan relatif lestari. Kepentingan masyarakat adat untuk memanfaatkan hutan sebagai nilai ekonomi masih terbatas hanya sekedar untuk bertahan hidup bukan untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Sekalipun hutan dianggap sebagai basis livelihood, namun keberadaan hutan untuk tetap lestari tetap yang utama.

Pentingnya hutan bagi masyarakat adat dapat dilihat dari penjelasan mccarthy (2000b) yang menyatakan bahwa pengaturan adat yang berkaitan dengan sumberdaya lokal memberikan kerangka untuk transformasi konversi hutan-hutan asli menjadi kebun bukit di perbatasan hutan. Dengan pentingnya kebun tetap meningkatkan produksi tanaman dari waktu ke waktu, aturan adat telah berfokus pada melindungi hak-hak petani miskin di kebun. Namun pada saat yang sama, hutan di sekitarnya tetap penting untuk mata pencaharian desa, yang merupakan cadangan lahan pertanian yang tersedia untuk generasi masa depan petani dan menyediakan produk-produk hutan yang berharga. Penjelasan ini menunjukkan bahwa fungsi hutan bagi masyarakat adat merupakan basis nafkah (livelihood) mereka dimana hutan dapat dikonversi menjadi kebun, namun hutan juga tetap dijaga kelestariannya untuk digunakan bagi kemanfaatan masyarakatnya. Namun demikian, dalam memanfaatkan hutan, masyarakat adat tidak memandang hutan sebagai komoditas, melainkan hanya digunakan untuk kepentingan sendiri yang kehidupannya serba terbatas.

Pemaknaan masyarakat adat atas hutan menunjukkan adanya dua katagori, yaitu masyarakat yang masih memaknai hutan sebagai makna budaya dan ekologis (sekalipun ada juga makna ekonomi tapi sifatnya terbatas) dan masyarakat yang nilai-nilai budaya ekologisnya sudah tergerus digantikan dengan budaya materialis yang memandang hutan sebagai makna ekonomi. Penggerusan nilai-nilai adat masyarakat adat tersebut disebabkan adanya benturan dengan pemaknaan hutan oleh negara dan swasta.

Dengan melihat berbagai pandangan peneliti sebelumnya, dapat dikatakan bahwa hutan hari ini dimaknai dalam beberapa kerangka rasionalitas, yaitu:


(34)

12

politik, ekonomi, kesehatan/ lingkungan dan sosial budaya oleh para aktor. Masing-masing aktor mempunyai pemaknaan masing-masing, dimana masyarakat mempunyai pemaknaan hutan sebagai nilai-nilai sosial budaya dan sumber ekonomi subsisten dimana keberadaan masyarakat lokal tersebut sangat tergantung dari ketersediaan sumberdaya hutan. Negara memiliki pemaknaan politik dan ekonomi kapitalis yang bermuara pada kepentingan pasar, sedangkan pengusaha memandang hutan sebagai komoditas yang bernilai ekonomis yang berorientasi profit atas desakan pasar kapitalis.

Konflik sumberdaya hutan terjadi karena perbedaan pemaknaan atas hutan, baik konflik sumberdaya hutan antara negara dengan masyarakat, atau negara dengan negara yang melibatkan pemerintah daerah atau negara dengan negara yang melibatkan pihak perusahaan swasta atau antara perusahaan swasta yang dibackup oleh negara melawan masyarakat. Konflik tersebut selalu berujung pada pelumpuhan masyarakat yang hidup dan tergantung pada hutan tersebut sejak lama, jauh sebelum ada kebijakan negara tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan.

Kasus-kasus konflik sumberdaya hutan banyak terjadi di Indonesia baik karena kebijakan negara tentang pelestarian hutan, maupun karena kebijakan negara untuk pemanfaatan hutan. Konflik terjadi karena Indonesia sebagai negara yang kaya dengan hutan juga memiliki berbagai macam masyarakat adat yang hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Dari sekian banyak mayarakat adat yang sedang menghadapi konflik sumberdaya hutan, Masyarakat Kasepuhan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi salah satu contoh masyarakat adat yang sampai saat ini sedang dalam kondisi konflik tenurial kawasan hutan menghadapi negara dalam konteks pelestarian hutan, sementara itu Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik Putussibau Kapuas Hulu Kalimantan Barat menjadi salah satu contoh konflik masyarakat dengan negara yang melibatkan pengusaha dalam konteks pemanfaatan hutan.

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah digambarkan di atas dan dengan mengambil teladan kasus Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) kebijakan pemerintah dibidang kehutanan baik untuk pelestarian hutan


(35)

13 maupun pemanfaatan hutan telah menegasikan keberadaan hak hidup masyarakat adat, menempatkan masyarakat adat pada kondisi konflik, baik konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah, maupun konflik antara masyarakat adat dan pengusaha; (2) konflik sumberdaya hutan terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan pemaknaan atas sumberdaya hutan antara berbagai aktor; (3) konflik yang terjadi antara berbagai pihak (pemerintah, pengusaha dan masyarakat) telah menyebabkan guncangan yang cukup hebat bagi masyarakat terutama mengancam livelihood mereka di satu sisi, dan terjadinya deforestasi di sisi yang lain. sementara itu perubahan nafkah, kelembagaan, norma, pengetahuan dan budaya hingga tatanan kependudukan menyertai terjadinya perubahan tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana masyarakat adat tersebut merespon konflik sumberdaya hutan yang menghilangkan akses mereka terhadap sumberdaya hutan sebagai sumber livelihood mereka dan tetap bertahan dalam kondisi konflik.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis konflik sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat adat, negara (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) dan pengusaha (yang terlibat akibat kebijakan pemerintah pusat maupun kebijakan pemerintah daerah).

2. Untuk mengetahui dan menganalisis dinamika kelembagaan adat dalam memperjuangkan kepentingannya terhadap sumberdaya hutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu sosiologi, khususnya menyangkut pengayaan teori konflik dalam sistem sosioekologi hutan. Selain kegunaan teoritis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan praktis bagi pemerintah selaku pemegang kebijakan untuk dapat memahami masyarakat adat sekitar hutan dengan berbagai kelembagaan tata kelola hutannya, sehingga kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dibuat oleh pemerintah dapat sinergis dengan kepentingan dan kelembagaan tata kelola hutan menurut masyarakat adat yang


(36)

14

sudah ada sejak dulu, sehingga kebijakan pemerintah (kepentingan pemerintah) untuk mengelola dan memanfaatkan hutan tidak bertentangan dengan kepentingan dan kelembagaan Masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan hutan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan kajian konflik antara kelembagaan adat dan negara dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang memiliki dimensi luas, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut:

1. Konflik sumberdaya hutan antara berbagai aktor (masyarakat adat, negara dan pengusaha) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 2. Dinamika kelembagaan adat dalam merespon kebijakan negara tentang

pengelolaan dan pemanfatan hutan.

Berdasarkan ruang lingkup tersebut maka outline disertasi ini dirancang sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN BAB 2 KERANGKA TEORI BAB 3 METODOLOGI

BAB 4 PROFIL SISTEM SOSIAL

BAB 5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB 6 DINAMIKA KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN

BAB 7 REFLEKSI TEORITIK TENTANG KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN


(37)

15

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Konflik

Teori konflik berpandangan bahwa sistem sosial terbentuk sebagai respon atas konflik yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Raho (2007) bahwa teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.

Kemunculan teori konflik merupakan reaksi atas berbagai kritik terhadap teori struktural fungsional. Menurut Ritzer dan Goodman (2004), bahwa Teori konflik muncul sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik terhadap fungsionalisme struktural. Oleh karena itu teori konflik dapat dikatakan sebagai antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat, sedangkan teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial.

Selanjutnya Ritzer dan Goodman (2004) mengemukakan bahwa fungsionalisme struktural melihat harmoni dari norma-norma dan nilai-nilai, teori konflik melihat paksaan, dominasi, dan kekuasaan. Menanggapi kedua teori tersebut, Dahrendorf melihat kedua teori sebagai teori yang menangani situasi yang berbeda, tergantung pada fokus penelitian. Menurut Dahrendorf, fungsionalisme berguna untuk memahami konsensus sementara teori konflik tepat untuk memahami konflik dan pemaksaan.

Teori konflik berasal dari berbagai sumber, seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel (lihat Ritzer dan Goodman, 2004). Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori ini tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalnya. Menurut Ritzer dan Goodman (2004), teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya. Seperti fungsionalis, ahli teori


(38)

16

konflik berorientasi ke studi struktur dan institusi sosial. Sedikit sekali pemikiran teori konflik yang berlawanan secara langsung dengan fungsionalis.

Antitesis terbaik dari teori konflik ditunjukkan oleh karya Dahrendorf (1958, 1959). Melalui karya Dahrendorf, pendirian teori konflik sejajar dengan teori fungsionalis. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik yang dibedakan dari teori fungsionalis, sebagai berikut:

1. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada

dalam keadaan berubah secara seimbang, tetapi menurut teori konflik (khususnya Dahrendorf), masyarakat setiap saat tunduk pada perubahan.

2. Fungsionalis menekankan pada keteraturan dalam masyarakat, sedangkan

teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial.

3. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam

menjaga stabilitas, sedangkan teori konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan.

4. Fungsionalisme cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh

norma, nilai dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Dengan kata lain, teori konflik melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat.

5. Fungsionalisme memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai

bersama masyarakat. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (lihat Ritzer dan Goodman, 2004).

Menurut Turner (1998) Dahrendorf adalah orang pertama yang mengemukakan teori konflik modern yang mendapatkan sambutan dari khalayak luas. Pada akhir 1950-an, Ralf Dahrendorf terus-menerus menyatakan bahwa skema Parsonian, dan fungsionalisme pada umumnya, menyajikan sebuah visi masyarakat yang terlalu konsensual, terpadu, dan statis, dengan istilahnya "utopia". Untuk meninggalkan utopia, Dahrendorf menawarkan saran berikut:

さBerkonsentrasi pada masa depan tidak hanya pada masalah kongkrit tetapi pada

masalah yang melibatkan penjelasan dalam hal kendala, konflik dan perubahan”


(39)

17 involve explanations in term of constraint, conflict and change. This second face of society may aesthetically be rather less pleasing than the social system-but, if all sociology had to offer were an easy escape to utopian tranquility, it would hardly be worth our efforts). Untuk menghindari utopia, selanjutnya Dahrendorf

(dalam Turner, 1998) menjelskan “To escape utopia, therefore, requires that a

one-sided conflict model be substituted for the one-sided functional model. Although this conflict perspective was not considered by Dahrendorf to be the only face of society, it was seen as a necessary supplement that will make amends for the past inadequacies of functional theory”.

Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah-satu konsensus, yang lain adalah konflik, tergantung waktu (lihat Turner, 1998; Ritzer dan Goodman, 2004). Oleh karena itu teori sosiologi harus dibagi ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sementara teoritisi konflik harus menelaah konflik kepentingan dan kohesi yang menyatukan masyarakat di bawah tekanan-tekanan tersebut. Dahrendorf mulai dengan, dan sangat dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural. Ia menyatakan bahwa menurut fungsionalisme sistem sosial dipersatukan oleh kerjasama sukarela, atau oleh konsensus bersama, atau oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik (atau teoritisi koersi)

masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian,

posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf pada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor penentu konflik sosial sitematis (lihat Ritzer dan Goodman, 2004). Lebih lanjut Ritzer dan Goodman (2004:154) mengemukakan bahwa Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial yang lebih besar yang jadi inti tesisnya adalah bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu.

Menurut Turner (1998), model yang muncul dari teori Dahrendorf ini disebut sebagai perspektif konflik dialektis, yang masih merupakan salah satu upaya terbaik untuk menggabungkan wawasan dari Marx dan (sampai batas


(40)

18

tertentu) Weber dan Simmel menjadi seperangkat proposisi teoritis. Dahrendorf

percaya bahwa proses pelembagaan melibatkan penciptaan "Imperative

Coordinated Association”/ asosiasi imperatif terkoordinasi" (disingkat ICA) dengan kriteria tidak ditentukan, mewakili peran organisasi yang berbeda. Organisasi ini (ICA) ditandai oleh hubungan kekuasaan, dengan beberapa kelompok peran yang memiliki kekuatan untuk mengekstrak konformitas dari orang lain. Menurut Turner (1998) Dahrendorf agak samar pada titik ini, tapi tampaknya bahwa setiap unit dari kelompok sosial kecil atau organisasi formal untuk sebuah komunitas atau seluruh masyarakat bisa dianggap sebagai ICA untuk tujuan analisis jika sebuah organisasi peran menampilkan perbedaan kekuasaan.

Selanjutnya menurut Turner (1998), pada saat yang sama, bagaimanapun, kekuasaan dan otoritas adalah sumberdaya yang langka dimana sub kelompok dalam ICA menunjukkan persaingan dan bertempur. Mereka dengan demikian merupakan sumber utama konflik dan perubahan dalam pola-pola pelembagaan. Meskipun peran dalam ICA memiliki berbagai tingkat kekuasaan, setiap ICA tertentu dapat ditandai sebagai dua tipe dasar peran, yaitu peran yang berkuasa (superordinate) dan yang dikuasai (subordinat). Kelompok (cluster) peran yang berkuasa memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo, dan kelompok yang dikuasai memiliki minat dalam mendistribusikan kekuasaan atau otoritas. Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan yang bertentangan ini meningkat, hasilnya bahwa ICA terpolarisasi ke dalam dua kelompok konflik, masing-masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam sebuah kontes untuk mendapatkan otoritas di ICA, sehingga membuat konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Pada gilirannya, redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam kondisi tertentu. Polarisasi yang terus menerus ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas ini menjadi sebuah realitas sosial yang menandai siklus konflik otoritas yang tak berujung.

Sebagaimana Merton memandang fungsi laten dan manifest, Dahrendorf

mengidentifikasi kepentingan laten dan manifest, atau kepentingan yang disadari


(41)

19

kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan

kepentingan laten maka dalam setiap sistem sosial yang terkoordinasi itu terkandung kepentingan laten yang sama, yang disebut kelompok kuasi yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai. Menurut Ritzer and Goodman (2004), hubungan antara kedua konsep itu merupakan masalah utama bagi teori konflik dalam mengemukakan adanya tiga jenis kelompok: kelompok kuasi, kelompok kepentingan, dan kelompok konflik.

Lebih lanjut Turner (1998) menyebutkan bahwa model Dahrendorf memiliki kesamaan dengan model Marx, dalam mengungkapkan rantai sebab-akibat dari peristiwa-peristiwa yang menyebabkan konflik dan reorganisasi struktur sosial. Hubungan dominasi dan penaklukan menciptakan suatu oposisi

kepentingan "obyektif". Kesadaran atau kesadaran (awareness or consciousness)

melalui penundukkan dari kepentingan oposisi terjadi dalam kondisi specifiable

tertentu. Dalam kondisi lain kesadaran baru ditemukan mengarah kepada organisasi politik dan kemudian, kelompok tertindas yang terpolarisasi tersebut bergabung dalam menghadapi konflik dengan kelompok dominan, hasil dari konflik akan mengantarkan pada terbentuknya pola baru dari organisasi sosial. Pola baru organisasi sosial ini akan memiliki di dalamnya hubungan dominasi dan penaklukan yang berangkat dari urutan peristiwa yang menyebabkan konflik dan kemudian mengubah pola organisasi sosial. Hubungan dialektik menurut Marx dan Dahrendorf, dapat digambarkan dalam gambar 1.


(42)

20

Gambar 1. The Dialectical Causal Imagery (Sumber Turner, 1998:168) Marxian analytical categories Social organization Relations of domination and subjugation Objectives opposition of interest Consciousness of objective opposition of interests by the Subjugated Polarization into dominant and subjugated populations Violent conflict Social reorganization Marxian empirical categories Ownership of property Domination of propertied social classes over other classes Opposition of social classes over distribution of propertiy and power Growing class consciousness or nonpropertied class Politicization of subjugated class and polatization of society into two classes Revoluti onary class conflict Redistribution or property and power

Considered nonproblematic Intervening empirical conditions

Dahrendo rf’s empirical categories Legitimatized role relationship in ICAs Dichotomous authority relations of dominant and subordinate roles Opposed quasi groups Growing awareness of opposed threats

Creations of a conflict group

conflict Redistribution of authority in ICAs


(43)

21 Berdasarkan gambar 1 (lihat Turner, 1998: 167-168) menguraikan gambaran kausal Marx dan Dahrendorf. Baris atas pada gambar berisi kategori-katagori analisis Marx, dinyatakan dalam bentuk yang paling abstrak. Dua baris lainnya masing-masing menentukan kategori empiris dari Marx dan Dahrendorf. Menurut

Turner (1998) bahwa “ The empirical categories of the Dahrendorf scheme differ greatly from those of Marx, but the form of analysis is much the same because each considers as nonproblematic and not in need of causal analysis the empirical conditions of social organization, the transformation of this organization into relations of domination and subjugation, and the creation of opposed interests.

Analisis kausal untuk kedua model empiris tersebut (Marx dan Dahrendorf) dimulai dengan mengelaborasi kondisi-kondisi yang menyebabkan tumbuhnya kesadaran kelas (Marx) atau kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara kelompok kuasi (Dahrendorf), kemudian analisis bergeser ke penciptaan kelas politik "for itself" (Marx) atau "kelompok konflik" yang sesungguhnya (Dahrendorf). Akhirnya, penekanan berfokus pada munculnya konflik diantara kelas yang terpolarisasi dan dipolitisasi (Marx) atau kelompok-kelompok konflik (Dahrendorf).

Dahrendrof mendasarkan teorinya pada perspektif Marx modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konskuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Teori konflik Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori Marx. Marx berpendapat bahwa kepemilikan dan kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu-individu yang sama. Namun menurut Dahrendorf bahwa tidak selalu pemilik sarana-sarana juga bertugas sebagai pengontrol. Dahrendrof berpendapat (lihat Kinseng, 2013) bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor penting, dan bukanya kepemilikan alat produksi. Dalam tahap awal kapitalisme, maka mereka yang memiliki alat produksi mengontrol penggunaanya, tetapi ini tak berarti ada hubungan intristik antara kepimilikan dan pengontrolanya

Selanjutnya dengan menyitir pendapat beberapa ahli, Kinseng (2013) menjelaskan bahwa berbeda dengan Marx, Dahrendorf berpendapat bahwa


(44)

22

kepemilikan alat produksi hanya merupakan salah satu faktor yang menjadi sumber konflik. Menurut Dahrendorf, sumber konflik yang sesungguhnya adalah kekuasaan atau otoritas. Kepemilikan alat produksi merupakan salah satu bentuk dari faktor determinan kelas dan konflik yang lebih umum, yakni otoritas. “Authority is the more general social relation”, kata Dahrendorf (1963:137).

Selanjutnya dikatakan bahwa “The authority structure of entire societies as well as particular institutional orders within societies (such as industry)...is the structural determinant of class formation and class conflict” (Dahrendorf, 1963:136). Dahrendorf berpandangan bahwa ada kecenderungan yang melekat pada masyarakat untuk berkonflik; karena mereka yang memiliki kekuasaan akan mengejar kepentingannya, sementara yang tidak memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua pihak ini bertentangan.

Itulah yang menjadi sumber konflik. Oleh sebab itu, bagi Dahrendorf “Power is a lasting source of friction” (Wallace and Wolf, 2006:122).

Bagi Dahrendorf pembagian kewenangan (otoritas) adalah kunci untuk memahami konflik sosial. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Otoritas diciptakan oleh harapan beberapa jenis tindakan yang terkait dengan posisi tertentu, termasuk subordinasi orang lain dan subordinasi kepada orang lain. Berbagai posisi kekuasaan ada dalam asosiasi. Garis kesalahan yang bermunculan di sekitar lokus adalah persaingan wewenang menghasilkan kelompok yang saling bertentangan. Konflik antara kelompok-kelompok ini meliputi interaksi mereka, dengan hasil bahwa otoritas sering ditantang dan menjadi renggang (lihat Ritzer and Goodman , 2004).

Selanjutnya Turner (1998) membuat abstraksi dari teori konflik Dahrendorf ini dalam bentuk proposisi, sebagai berikut:

I. Konflik kemungkinan besar terjadi jika anggota ‘kuasi grup’ dalam ICA

menyadari kepentingan objektif mereka dan membentuk grup konflik, yang pada gilirannya berkaitan dengan:

A. Kondisi teknis organisasi, yang tergantung pada

1. Pembentukan kepemimpinan di dalam ‘kuasi grup’


(45)

23

B. Kondisi politik, tergantung apakah kelompok dominan mentolerir

pengorganisasian kelompok yang berlawanan kepentingannya

C. Kondisi sosial, yang tergantung pada

1. Kesempatan bagi anggota kuasi grup untuk berkomunikasi

2. Kesempatan untuk merekrut anggota

II. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial tersebut, semakin

intens konflik yang terjadi.

III. Semakin terkait distribusi otoritas dan rewards satu sama lain

(superimposed), semakin intens konflik yang terjadi.

IV. Semakin rendah mobilitas antara kelompok superordinat dan subordinat,

semakin intens konflik yang terjadi.

V. Semakin tidak terpenuhi kondisi teknis, politis, dan sosial, semakin brutal

konflik yang terjadi.

VI. Semakin deprivasi distribusi rewards kelompok yang tertindas itu distribusi

rewards bergeser dari absolut ke relatif, semakin brutal konflik yang terjadi.

VII. Semakin rendah kemampuan kelompok yang bertikai untuk membangun

kesepakatan aturan main, semakin brutal konflik yang terjadi.

VIII. Semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan

reorganisasi yang terjadi.

IX. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan

reorganisasi yang terjadi.

Berdasarkan proposisi abstrak model Dahrendorf tersebut, maka dapat dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan organisasi sosial. Semakin intens atau keras konflik, maka semakin besar perubahan organisasi yang terjadi. Semakin sulit dipertemukannya kondisi-kondisi teknis, politik dan sosial dari kelompok-kelompok konflik maka semakin sulit pula konflik tersebut diselesaikan.

Lebih lanjut Turner (1998) menjelaskan bahwa secara formal Dahrendorf menguraikan tiga tipe intervensi kondisi-kondisi empiris:

a. Pertama, kondisi organisasi yang mempengaruhi transformasi dari

kelompok-kelompok kuasi laten kedalam kelompok konflik yang manifest (nyata);


(1)

270 melakukan aktivitas/kegiatan adat istiadat. Makanya rumah panjae untuk orang Iban tetap dipertahankan, dan ini adalah suatu aset budaya.

49

Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau sistem teknik bercocok

tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam,

memelihara tanaman dan memanen (Bab 1 Pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007).

50

Tembawang dalam bahasa Indonesia dan Inggris, "timawokng" di Salako, dan

variasi pada nama-nama dalam bahasa Dayak lainnya (Peluso, 2005). Mereka

menandai tembawang atau tembawai dalam bahasa Dayak Iban (situs hidup

bekas rumah panjang atau gubuk ladang) dengan pohon-pohon buah-buahan.

Namun tetap meninggalkan tiang pancang sebagai tanda kalau ditempat

tersebut adalah tembawai/ tembawang.

51

Usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin

pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang

telah ditentukan.


(2)

271

PETA TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

Gambar Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Sumber: Balai

Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2010

INDONESIA

P. JAWA

TNGHS


(3)

PETA KABUPATEN KAPUAS HULU

Gambar Peta Wilayah Kabupaten Kapuas Hulu (Sumber: Kabupaten Kapuas

Hulu Dalam Angka, 2011)


(4)

273

PETA KAMPUNG SUNGAI UTIK

Gambar Peta Kampung/ Dusun Sungai Utik (Sumber: Peta Partisipatif Milik

Kampung Sungai Utik, 2008)


(5)

RINGKASAN

RITA RAHMAWATI. Konflik-Konflik Sumberdaya Hutan Di Jawa Barat Dan Kalimantan Barat, Indonesia. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS KINSENG dan DUDUNG DARUSMAN.

Hutan sebagai basis livelihood manusia sudah lama terjadi sejak sejarah pertanian awal di dunia. Sepanjang sejarah menunjukkan bahwa strategi nafkah penduduk mempunyai pola-pola berbeda dipengaruhi oleh budaya dan perubahan sosial. Namun perubahan terpaksa dilakukan untuk merespon konflik yang terjadi karena masuknya kebijakan Negara mengenai pengelolaan kawasan hutan.

Dengan mengambil teladan kasus konflik di dua lokasi yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak, Provinsi Jawa Barat dan Banten, dan Hutan Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, melalui metode penelitian konstruktivisme dan pendekatan kualitatif, penulis dapat mengatakan bahwa konflik sumberdaya hutan ini selalu terjadi melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan. Setidaknya pada kasus TNGHS ada dua pihak yang berkonflik yaitu Negara dan Masyarakat adat Kasepuhan, sedangkan pada kasus Sungai Utik melibatkan banyak pihak yaitu Negara (Pemerintah Pusat), Negara (Pemerintah Daerah), Pengusaha yang berafiliasi dengan Pemerintah Pusat dan Pengusaha yang berafiliasi dengan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Konflik di TNGHS terjadi karena Negara menerbitkan kebijakan perluasan Taman Nasional, sedangkan konflik di hutan Sungai Utik terjadi karena Negara (Pemerintah Pusat) menerbitkan kebijakan Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu (IUPHHK) untuk Pengusaha, Pemerintah Daerah juga menerbitkan kebijakan Izin Usaha Perkebunan (IUP) pada kawasan yang sama.

Berdasarkan fenomena konflik di TNGHS dan Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa konflik sumberdaya hutan adalah konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. Teori Foucault digunakan untuk melihat konflik pemaknaan. Pemaknaan dipengaruhi oleh pengetahuan aktor. Pengetahuan inilah yang memberikan kekuasaan pada aktor untuk mengklaim kawasan tersebut sebagai hak miliknya dan memberikan kekuasaan untuk mengontol dan mengelola sumberdaya hutan tersebut. Untuk menganalisis konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood digunakan teori konflik Dahrendorf. Melalui analisis teori konflik Dahrendorf dapat dikatakan bahwa semakin tajam konflik sumberdaya hutan maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Masyarakat adat adalah pihak yang tersubordinasi, sedangkan Negara adalah pihak yang superordinat. Semakin Masyarakat tersubordinasi, semakin kurang otoritas, dan semakin sulit Masyarakat adat memperoleh kepentingannya atas hak akses kelola hutan maka semakin lenting Masyarakat dalam mencari berbagai dukungan untuk menyelesikan konflik.

Berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dilapangan, maka konflik smberdaya hutan pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melahirkan teori baru yaitu “Teori kelentingan sosial dalam perebutan sumberdaya hutan”. Kelentingan tersebut dipahami sebagai struggle for survival. Setiap Masyarakat mempunyai tingkat kelentingan yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kelentingan yang tinggi memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik dengan cara dialog.

Kata kunci: Kelentingan, Konflik Sumberdaya Hutan, Masyarakat Adat, Otoritas. Perubahan Kelembagaan


(6)

SUMMARY

RITA RAHMAWATI. Forest Resources Conflicts in West Java and West

Kalimantan, Indonesia. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN, RILUS

KINSENG and DUDUNG DARUSMAN.

The role of forests as a basis of human livelihood has occurred for a long time since the world’s early agricultural history. Throughout history, it has shown that the people’s living strategy has different patterns, influenced by culture and social changes. However, changes had to be carried out to respond to conflicts that occur due to the entry of state policy on the management of forest areas.

By taking the exemplary case of conflicts in two locations, namely Mount Halimun Salak National Park (T.N.G.H.S.) located in the Bogor Regency, Sukabumi Regency and Lebak Regency, West Java and Banten Provinces, and Sungai Utik Forest, Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan Province, through constructivist research methods and qualitative approach, the author can say that these forest resource conflicts always occur involving multiple parties with multiple interests. At least in the case of T.N.G.H.S. there are two parties in conflict, namely the State and the indigenous people of Kasepuhan, whereas in the case of Sungai Utik, it involves many parties, namely the State (Central Government), the State (Local Government), businessmen who are affiliated with the Central Government and businessmen who are affiliated with the Local Government and the indigenous people of Dayak Iban in Sungai Utik. Conflicts at T.N.G.H.S. occur because the state issued a policy on the expansion of the national park, while conflicts at Sungai Utik Forest occur because the state (Central Government) issued the Business License for Timber Management (I.U.P.H.H.K.) policy for businessmen, and the Local Government also issued the Business Licence for Plantation (I.U.P.) policy in the same region.

Based on the phenomenon of conflicts in T.N.G.H.S. and Sungai Utik Forest, it can be said that conflicts of forest resources are conflicts of meaning, conflicts of tenur, conflicts of authority and conflicts of livelihood. Foucault's theory was used to see the conflict of meaning. The meaning is affected by the knowledge of the actor. This knowledge empowers the actors to claim the area as their property and gives them the power to control and to manage the forest resources. To analyze conflicts of tenur, conflicts of authority and conflicts of livelihood, the Dahrendorf conflict theory was used. Through the analysis of the Dahrendorf conflict theory, it can be said that the sharper the conflict of forest resources, the more visible the presence of the subordinated party and the other party that becomes the super ordinate. The indigenous people are the subordinated party, whereas the state is the super ordinate party. The more subordinated the people, the less the authority they have, and the more difficult the indigenous people obtain their interest on the right of access to forest management; thus the more resilient the people become in finding various supports for conflict resolution.

Based on the phenomena found on location, conflicts of forest resources in the Kasepuhan community and the Dayak Iban community of Sungai Utik gave birth to a new theory, namely “the theory of social resilience in the fight over forest resources”. The resilience is understood as a struggle for survival. Each community has a different level of resilience. Communities with high resilience enable the resolution of conflicts by way of dialogue.

Keywords: Resilience, Conflicts of Forest Resources, Indigenous People, Authority, Institutional Changes