The Comparison of Artificial Neural Network Models And Statistical Analysis In Determining The Types Of Freshwater Fishes Using Acoustic Descriptors

(1)

i

PERBANDINGAN MODEL JARINGAN SARAF TIRUAN

DAN ANALISIS STATISTIK DALAM PENENTUAN

JENIS IKAN AIR TAWAR

MENGGUNAKAN DESKRIPTOR AKUSTIK

ZULKARNAEN FAHMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ii

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbandingan Model Jaringan Saraf Tiruan Dan Analisis Statistik Dalam Penentuan Jenis Ikan Air Tawar Menggunakan Deskriptor Akustik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Zulkarnaen Fahmi NIM C552090081


(3)

iii

ABSTRACT

ZULKARNAEN FAHMI. The Comparison of Artificial Neural Network Models And Statistical Analysis In Determining The Types Of Freshwater Fishes Using Acoustic Descriptors. Supervised by INDRA JAYA and TOTOK HESTIRIANOTO.

Fisheries acoustic survey was one of holistic methods used to estimated the abundance of fish stocks to provide data and information for the fisheries management. Limitations of fisheries acoustic survey application that was in classifying the target backscattered acoustic energy (echo trace) into the classification of the target fishes in the species ranks. Therefore, it has developed a method of identification of fish species utilizing acoustic descriptors that can efficiently distinguish the structure of fish shoal.

In this thesis, Hydroacoustic descriptor approach categorized as Volume Backscattering (Sv), Target Strength (Ts), Area Backscattering Strength (Sa), Skewness, Kurtosis, Height, Depth And Height Relative of Fish were used to classify Mas (Cyprinus carpio), Nila (Oreochromis niloticus), and Patin (Pangasius hypothalamus). Model of artificial neural network were developed utilized architecture Backpropagation and Multi Layer Perceptron compared with Statistical method.

Results of Cluster analysis showed that the identification and classification of the carp was determined by the descriptors Height, Relative Height, Skewness and Kurtosis. Tilapia could be identified only by depth, whereas catfish classification determined by all parameters except depth. Discriminant analysis showed the results of the identification accuracy of 68.3% carp, tilapia of 79.4% and catfish could be identified with accuracy of 87.4%. Overall, discriminant analysis could distinguish three types of freshwater fish with a precision of 77.5%. Application of ANN with Backpropagation neural network model (8-30-1) obtained the optimum level of accuracy of the identification of three types of fishes at 84.8%. While the development of the Multi Layer Perceptron with ANN model (8-3-6-5-1) obtained the degree of accuracy of identification and classification of carp, tilapia and catfish at 87.5%. In this thesis concluded that the application and development of the Multi Layer Perceptron ANN gives the best accuracy rate compared with ANN Backpropagation and Statistical Analysis. Keywords : identification, acoustic descriptor, artificial neural network.


(4)

iv

ZULKARNAEN FAHMI. Perbandingan Model Jaringan Saraf Tiruan Dan Analisis Statistik Dalam Penentuan Jenis Ikan Air Tawar Menggunakan Deskriptor Akustik. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan TOTOK HESTIRIANOTO.

Survey akustik perikanan merupakan salah satu metode holistik yang digunakan untuk menduga kelimpahan stok ikan untuk menyediakan data dan informasi bagi pengelolaan sumberdaya perikanan. Keterbatasan aplikasi survey akustik perikanan yaitu dalam mengklasifikasi backscattered energy target akustik (echo trace) menjadi klasifikasi target ikan dalam tingkatan spesies. Oleh karena itu telah dikembangkan metode identifikasi spesies kawanan ikan dengan menggunakan parameter deskriptor akustik sehingga dapat membedakan secara efisien struktur dari kawanan ikan yang berbeda.

Dalam tesis ini dilakukan identifikasi dan klasifikasi ikan menggunakan ikan uji yaitu ikan Mas (Cyprinus carpio), Nila (Oreochromis niloticus), dan Patin (Pangasius hypothalamus). Parameter deskriptor akustik yang diperoleh yaitu

backscattering volume (Sv), target strength (TS), backscattering area (Sa), Skewness, Kurtosis, Tinggi, Kedalaman dan Ketinggian Relatif ikan. Permodelan Jaringan Saraf Tiruan dilakukan dengan mengembangkan arsitektur JST

Backpropagation dan Multi Layer Perceptron yang dibandingkan dengan hasil Analisis Statistik menggunakan parameter masukan deskriptor akustik.

Hasil analisis gerombol menunjukkan bahwa identifikasi dan klasifikasi ikan mas sangat ditentukan oleh deskriptor Tinggi, Ketinggian Relatif, Skewness dan Kurtosis. Ikan nila dapat diidentifikasi hanya dengan deskriptor Kedalaman, sedangkan klasifikasi ikan patin ditentukan oleh seluruh deskriptor kecuali parameter Kedalaman. Analisis diskriminan memperlihatkan hasil ketepatan identifikasi ikan mas sebesar 68,3%, ikan nila sebesar 79,4% dan ikan patin dapat diidentifikasi dengan ketepatan sebesar 87.4%. Secara keseluruhan analisis diskriminan dapat membedakan ketiga jenis ikan air tawar dengan ketepatan sebesar 77,5%.

Aplikasi Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation dengan model jaringan saraf ideal (8-30-1) diperoleh tingkat ketepatan optimum identifikasi 3 jenis ikan uji sebesar 84,8%. Sedangkan pengembangan JST Multi Layer Perceptron dengan model jaringan saraf ideal (8-3-6-5-1) diperoleh tingkat ketepatan identifikasi dan klasifikasi ikan mas, nila dan patin sebesar 87,5%. Dalam tesis ini disimpulkan bahwa aplikasi dan pengembangan JST Multi Layer Perceptron memberikan tingkat ketepatan yang paling baik dibandingkan dengan JST Backpropagation

dan Analisis Statistik.


(5)

v

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

vi

JENIS IKAN AIR TAWAR

MENGGUNAKAN DESKRIPTOR AKUSTIK

ZULKARNAEN FAHMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

vii


(8)

viii Deskriptor Akustik

Nama : Zulkarnaen Fahmi

NIM : C552090081

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Kelautan

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(9)

ix

PRAKATA

Kajian mengenai aplikasi akustik perikanan di perairan umum Indonesia baru mulai dilaksanakan pada tahun 2005 oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap. Sedangkan penggunaan metode jaringan saraf tiruan untuk identifikasi jenis ikan air tawar termasuk relatif baru.

Dengan selesainya penelitian dan tulisan tesis ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan saran yang diberikan selama masa penelitian dan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan peneliti BRPPU Palembang dan staff teknisi BRPSI Jatiluhur yang sangat membantu dalam memberikan kemudahan selama pengambilan data di lapangan.

Terima kasih pula penulis sampaikan kepada pimpinan di lingkup P4KSDI, Balitbang KP yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan Magister di IPB yang sangat berguna dalam pengembangan kapasitas keilmuan dan karir penulis.

Akhirnya dengan hati yang tulus dan penuh cinta kasih penulis sampaikan terima kasih kepada orang tua, istri (Mia Sumiati), anak (Jillan dan Fabian) dan saudara-saudara tercinta atas dukungan moral dan materil , pengertian, do’a serta kesabaran yang menyertai selama studi ini. Semoga seluruh dukungan yang diberikan bernilai ibadah dan diterima oleh Allah SWT.

Bogor, Agustus 2011


(10)

x

Penulis lahir di Bandung pada tanggal 12 November 1977, sebagai anak keenam dari pasangan Bapak Harun al Rasyid dan Ibu Djarehah Noor (alm.). Pendidikan Sekolah Dasar sampai atas ditempuh di Bandung. Setamat SMA pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan Strata-1 di Universitas Padjadjaran, Jatinangor pada Jurusan Management Sumberdaya Perairan, lulus pada tahun 2000. Penulis pernah terlibat dalam kegiatan survey topografi dan SIG untuk pemetaan lahan eksplorasi migas di Kalimantan dan Sumatera pada tahun 2001-2004.

Sejak tahun 2005, penulis mengabdi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Perikanan, Balitbang KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sampai saat ini penulis terlibat secara aktif sebagai peneliti bidang sumberdaya perikanan, khususnya kegiatan penelitian pendugaan stok ikan dengan akustik di wilayah perairan umum daratan Indonesia.

Pada tahun 2009, penulis menempuh program Magister pada program studi Teknologi Kelautan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan minat Akustik dan Instrumentasi Kelautan dengan beasiswa tugas belajar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.


(11)

xi

GLOSARI

DAFTAR ISTILAH

Akustik = Ilmu tentang suara yang mempelajari sifat

perambatan suara di dalam suatu medium.

Jaringan Saraf Tiruan = Model yang dibuat untuk simulasi sistem saraf biologi.

Deskriptor Akustik = Variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau sifat dari pantulan akustik suatu obyek Fungsi Aktivasi = Fungsi yang spesifik menentukan langkah yang harus dilakukan oleh sebuah sel setelah menerima

sinyal terbobot.

Iterasi = Pengulangan yang dilakukan untuk pemrosesan data Perambatan Balik = Metode pelatihan terbimbing dimana galat

(Backpropagation) dirambatkan balik ke lapisan dibawahnya dengan terlebih dahulu diberi bobot.

Perceptron Layar Jamak = Metode pelatihan terbimbing dimana setiap

(Multi Layer Perceptron) nilai keluaran jaringan akan selalu dibandingkan dengan target sampai diperoleh bobot dimana iterasi mencapai nilai yang sama antara keluaran dengan target yang diharapkan.


(12)

xii

Halaman

GLOSARI ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 2

1.3. Ruang Lingkup Penelitian ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

II TINJUAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Jaringan Saraf Tiruan ... 7

2.1.1 Sel Saraf Tiruan (Artificial Neural) ... 8

2.1.2 Koneksitas Sel Saraf Tiruan (Topology) ... 9

2.1.3 Arsitektur JST Backpropagation ... 9

2.1.4 Fungsi Aktivasi JST Backpropagation ... 10

2.1.5 Aturan pembelajaran (Learning Rule) Backpropagation ... 11

2.1.6 Arsitektur JST Multi Layer Perceptron (MLP) ... 13

2.1.7 Aturan pembelajaran JST MLP ... 13

2.1.8 Proses Pengujian ... 15

2.2 Deskriptor Akustik ... 15

2.3 Ikan Air Tawar ... 16

2.3.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) ... 16

2.3.2 Ikan Nila (Oreochromisniloticus) ... 18

2.3.3 Ikan Patin (Pangasius hypothalmus) ... 20

III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.2. Bahan dan Alat ... 23

3.3 Data Akustik ... 23

3.3.1 Pengambilan Data Akustik ... 23

3.3.2 Pemrosesan Data Akustik ... 26

3.3.3 Analisis Nilai Deskriptor Akustik ... 27


(13)

xiii

3.4.1 Arsitektur JST ... 28

3.4.2 Rancangan Awal dan Pelatihan JST ... 28

3.4.3 Rancangan Akhir dan Pelatihan JST ... 30

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Pengambilan data akustik ikan ... 31

4.2. Pengambilan data kualitas air ... 34

4.3 Analisis Statistik ... 35

4.3.1 Analisis Korelasi ... 35

4.3.2 Analisis Faktor ... 36

4.3.3 Analisis Cluster ... 40

4.3.4 Analisis Diskriminan ... 41

4.4 JST Backpropagation ... 44

4.5 JST Multi Layer Perceptron ... 47

V SIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Simpulan ... 50

5.2. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(14)

xiv

Tabel 1. Pengaturan parameter untuk pengoperasian Simrad EY60 ... 24

Tabel 2. Deksriptor akustik ... 26

Tabel 3. Rangkuman nilai variance, skewness dan VMR ... 33

Tabel 4. Rangkuman nilai rataan data kualitas air ... 34

Tabel 5. Matriks korelasi antar deskriptor akustik ... 36

Tabel 6. Nilai Communalities... 36

Tabel 7. Nilai Total Keragaman (Variance) ... 38

Tabel 8. Nilai Final Cluster ... 40

Tabel 9. Nilai Test of Equality ... 41

Tabel 10. Nilai Wilk’s Lambda ... 42

Tabel 11. Nilai Matriks Struktur... 42

Tabel 12. Hasil nilai klasifikasi analisis diskriminan ... 44

Tabel 13. Nilai MSE dan %E JST-PR ... 45

Tabel 14. Hasil pengujian dan validasi JST Backpropagation ... 46

Tabel 15. Matriks Konfusi JST-PR... 47

Tabel 16. Matriks Konfusi JST-MLP ... 48


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Penelitian ... 6

Gambar 2. Susunan Sel Saraf Manusia ... 7

Gambar 3 Arsitektur JST Backpropagation ... 10

Gambar 4. Fungsi Aktivasi Sigmoid Biner ... 10

Gambar 5. Fungsi Aktivasi Sigmoid Bipolar ... 11

Gambar 6. Arsitektur JST Multi Layer Perceptron ... 13

Gambar 7. Penampang lateral dan dorsal ikan ... 24

Gambar 8. Letak dan Posisi Alat Penelitian ... 25

Gambar 9. Skema Pengukuran Deskriptor Akustik ... 27

Gambar 10. Rancangan Awal Arsitektur Backpropagation ... 29

Gambar 11. Rancangan Awal Arsitektur MLP ... 29

Gambar 12. Diagram alir Metode Penelitian... 30

Gambar 13. Hubungan target strength dan panjang total ikan ... 32

Gambar 14. Kurva distribusi normal nilai target strength ikan ... 33

Gambar 15. Grafik Biplot Deskriptor Akustik ... 39

Gambar 16. Diagram Pareto Nilai Normalize Importance of Variables ... 43

Gambar 17. Grafik MSE vs Epoch JST-PR ... 46


(16)

xvi

Lampiran 2. Pengukuran Morfometrik Ikan ... 53

Lampiran 2. Echogram Ikan ... 54

Lampiran 3. Pengukuran Kualitas Air ... 55

Lampiran 4. Citra X-Ray Ikan ... 56

Lampiran 5. Analisis Statistik ... 57


(17)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Perairan umum daratan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis ikan yang tinggi, sehingga tercatat sebagai salah satu perairan dengan mega biodiversity di Indonesia. Komisi Plasma Nutfah Indonesia melaporkan bahwa kekayaan plasma nutfah ikan di perairan umum daratan Indonesia mencapai 25% dari jumlah jenis ikan yang ada di dunia (Kartamihardja et al., 2008).

Salah satu upaya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari sebagaimana diamanatkan dalam UU No 31 Tahun 2009 tentang Perikanan, maka diperlukan data dan informasi tentang kondisi stok ikan di suatu perairan. Survey akustik menggunakan echosounder kuantitatif telah umum digunakan untuk menduga kelimpahan dan biomass ikan untuk menyediakan data dan informasi bagi pengelolaan sumberdaya perikanan (Simmonds dan MacLennan, 2005). Aplikasi hidroakustik untuk menduga stok ikan dapat memberikan data dan informasi mengenai kepadatan ikan, kedalaman dan topografi dasar perairan (Wijopriono et al., 2006).

Penelitian mengenai klasifikasi dan identifikasi target akustik ikan untuk membedakan hingga tingkat spesies masih merupakan bidang yang masih luas dan berpotensi untuk dikaji. Kesulitan identifikasi spesies dalam akustik perikanan adalah keterbatasan dalam mengklasifikasi backscattered energy target akustik (echo trace) menjadi klasifikasi target ikan dalam tingkatan spesies. Identifikasi ikan dalam pengolahan data akustik secara konvensional dilakukan dengan mengidentifikasi gema (echo) pada echogram dalam besaran target strength oleh orang yang telah terlatih dan dibandingkan dengan hasil tangkapan ikan. Metode ini sangat tergantung pada tingkat keahlian , pengalaman orang yang mengolah data akustik, dan memakan waktu yang banyak . Selain itu metode tersebut dapat menghasilkan bias yang relatif tinggi dan sulit untuk memperoleh data secara kuantitatif identifikasi sampai tingkat spesies (Charef et al., 2010).

Aplikasi jaringan saraf tiruan (JST) menjadi salah satu terobosan besar dalam upaya meningkatkan akurasi pendugaan stok ikan dengan aplikasi


(18)

hidroakustik. JST memberikan solusi dalam efisiensi, efektivitas pengolahan data akustik, bebas dari interpretasi data yang subyektif dan akurasi data yang dihasilkan dapat teruji (Jech dan Michaels, 2006). Penggunaan JST dalam indentifikasi dan klasifikasi kawanan ikan di Indonesia telah dilakukan untuk identifikasi beberapa kawanan ikan pelagis di Indonesia. Jaya dan Sriyasa (2004) membandingkan aplikasi JST dan deskriptor akustik untuk mengidentifikasi kawanan ikan di Selat Bali dengan hasil yang cukup menjanjikan walaupun dengan data pelatihan yang terbatas. Selanjutnya, penelitian untuk memperoleh permodelan JST yang memberikan tingkat ketepatan optimum dalam identifikasi kawanan ikan pelagis di Indonesia telah dilakukan dengan menggunakan masukan parameter deskriptor akustik (Muhiddin, 2007).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pada penelitian ini akan dilakukan untuk pengembangan aplikasi JST dalam identifikasi beberapa jenis ikan air tawar ekonomis penting dengan metode akustik sorot terbagi. Data dan informasi mengenai karakteristik beberapa parameter deskriptor akustik ikan air tawar diharapkan dapat mengidentifikasi, jenis ikan tawar sampai tingkatan spesies sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan akurasi pendugaan stok ikan di perairan umum Indonesia.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pendugaan stok ikan di suatu perairan dapat dilakukan dengan salah satu metode holistik, yaitu melakukan survey hidroakustik untuk dapat menduga status stok ikan secara spasial secara cepat (rapid assessment). Kendala utama dalam aplikasi pendugaan stok dengan perangkat hidroakustik kuantitatif, adalah kesulitan dalam mengidentifikasi jenis ikan yang terekam dalam echogram. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat ketelitian dalam mengestimasi kelimpahan stok ikan di perairan umum tropis yang multispesies seperti di Indonesia. Oleh karena itu, maka dikembangkan suatu metode analisis pengolahan data akustik dengan mengekstrasi parameter deskriptor akustik yang dapat membedakan setiap jenis ikan. Deskriptor akustik tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan alat bantu statistik atau program jaringan saraf tiruan sehingga dapat diperoleh parameter karakteristik jenis ikan (Gambar 1).


(19)

3

Ikan dapat diidentifikasi dengan 2 (dua) cara, yakni identifikasi ikan secara

ex-situ dan in situ. Identifikasi ikan secara ex situ atau secara taksonomi adalah suatu usaha untuk mengidentifikasi ikan dengan mengambil sampel ikan, dilihat ciri-ciri meristik dan morfometriknya (atau dilihat sampel DNA nya) serta mencocokannya dengan kunci identifikasi dan taksonomi. Identifikasi ikan secara

in situ atau secara hidroakustik adalah suatu usaha untuk mengenali atau mengidentifikasi ikan dengan gelombang suara pada suatu area tertentu, dan waktu tertentu tanpa menyentuh ikan tersebut (Fauziyah, 2005).

Penggunaan metode akustik untuk pendugaan stok sumberdaya perikanan terdapat kelebihan dan kekurangannya. Wudianto (2001) mengungkapkan beberapa kelebihan metode akustik dibanding metode lainnya antara lain : (1) metode akustik tidak tergantung pada ketersediaan data statistik perikanan seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan, (2) memiliki skala waktu yang lebih baik, (3) biaya operasional relatif rendah, (4) hasilnya memiliki ragam (variance) yang rendah untuk ketelitian yang tinggi, dan (5) memiliki kemampuan untuk mengestimasi kelimpahan absolut ikan. Adapun kekurangan metode akustik antara lain : (1) sulit dalam mengidentifikasi ikan berdasarkan spesies, (2) kurang teliti digunakan untuk sampling ikan dekat permukaan dan dasar, (3) relatif rumit dan kompleks, (4) diperlukan biaya awal yang tinggi, (5) diperlukan sampling biologi ikan dan (6) kemungkinan terjadi bias saat penentuan target strength dan kalibrasi.

Metode identifikasi spesies kawanan ikan dengan menggunakan deskriptor akustik telah lama dikembangkan sehingga dapat membedakan secara efisien struktur dari kawanan ikan pelagis yang berbeda (Diner et al., 1989; Georgakarakos dan Paterakis, 1993 dalam Muhiddin, 2007). Sistem pengolah sinyal akustik untuk identifikasi ikan dengan metode deskriptor akustik berisi program untuk transformasi citra digital, pengolahan citra digital, pengukuran dan komputasi deskriptor dan fungsi diskriminan untuk identifikasi spesies (Fauziyah, 2005).

JST merupakan suatu struktur komputasi yang dikembangkan dari sistem pemrosesan informasi pada jaringan sel saraf manusia (Lawrence, 1992). Keunggulan identifikasi dan klasifikasi ikan dengan JST yaitu memberikan hasil


(20)

yang lebih cepat, memperkecil peluang kesalahan identifikasi dan dapat menekan biaya operasi (Muhiddin, 2007). Identifikasi jenis ikan dengan JST dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu, input sinyal akustik yang terekam dalam echogram dan pemilihan deskriptor akustik yang akan digunakan dalam bentuk algoritma untuk mengidentifikasi ikan dan pemilihan arsitektur JST yang tepat untuk memberikan tingkat ketepatan yang optimum.

Muhiddin (2007) menyebutkan bahwa permodelan JST Backpropagation

dengan parameter masukan deskriptor akustik memberikan tingkat ketepatan optimum dalam identifikasi jenis kawanan ikan sebesar 70% - 100%. Charef et al. (2010) menggunakan arsitektur JST Multi Layer Perceptron (MLP) untuk mengidentifikasi kawanan ikan di Laut Cina Selatan dengan tingkat ketepatan sebesar 87.6 %, sedangkan Robotham et al. (2010) membandingkan aplikasi arsitektur JST Multi Layer Perceptron (MLP) dengan arsitektur Probabilistic Neural Network (PNN) dan Support Vector Machine (SVM). Hasil penelitian Robotham et al. (2010) menyebutkan hasil klasifikasi kawanan ikan pelagis di perairan Chili dengan menggunakan arsitektur PNN dan SVM memberikan tingkat ketepatan sebesar 89.5%, lebih baik dibandingkan dengan aplikasi arsitektur MLP yang memberikan tingkat ketepatan sebesar 79.4%.

Jenis ikan air tawar ekonomis penting yang banyak terdapat di perairan umum seperti waduk dan danau di Indonesia antara lain ikan nila (O.niloticus), ikan patin (P. hypothalmus) dan ikan mas (C. caprio) (Umar dan Kartamihardja, 2006). Keberhasilan introduksi jenis ikan air tawar di perairan umum Indonesia sangat menarik untuk dikaji sejauh mana dinamika stok ikan tersebut di habitat barunya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif karakteristik beberapa jenis ikan air tawar ekonomis penting dengan metode akustik sorot terbagi. Selanjutnya aplikasi JST dilakukan dengan menggunakan input nilai deskriptor akustik yang dikembangkan untuk identifikasi spesies dari modifikasi rumusan Charef et al. (2010). Hasil akhir penelitian ini adalah data dan informasi karakteristik beberapa jenis ikan air tawar sehingga akan bermanfaat langsung dalam usaha pengkajian stok dan pelestarian sumberdaya ikan tersebut.


(21)

5

1.3. Ruang Lingkup Penelitian Ruang Lingkup Penelitian ini adalah :

1. Pengukuran kuantitatif beberapa parameter deskriptor akustik beberapa jenis ikan air tawar (nila, patin dan mas) dengan akustik sorot terbagi yang meliputi parameter Sv, Area Backscattering Strength, Target Strength,, Skewness, Kurtosis, Ketinggian, Ketinggian relatif dan Kedalaman ikan.

2. Pengembangan dan aplikasi program JST Backpropagation dan Multi Layer Perceptron (MLP) dalam penentuan jenis ikan air tawar dengan akustik sorot terbagi berdasarkan parameter deskriptor akustik yang diperoleh.

1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengukur deskriptor beberapa jenis ikan air tawar (mas, nila, patin) dari echogram SIMRAD EY60.

2. Membandingkan program JST Backpropagation dan Multi Layer Perceptron (MLP) dengan model statistik dalam penentuan jenis ikan air tawar.

3. Menentukan karakteristik akustik ikan Mas, Nila dan Patin.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam hal :

1. Peningkatan akurasi pendugaan stok ikan dengan metode akustik di perairan umum daratan Indonesia.


(22)

(23)

II TINJUAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan Saraf Tiruan

Sistem kecerdasan buatan yang dikenal dengan istilah JST, dalam bahasa Inggris disebut artificial neural network (ANN), atau juga disebut simulated neural network (SNN), atau umumnya hanya disebut neural network (NN). JST adalah jaringan dari sekelompok unit pemroses kecil yang dimodelkan berdasarkan jaringan saraf manusia. JST merupakan salah satu sistem pemrosesan informasi yang didesain dengan menirukan cara kerja jaringan saraf manusia dalam menyelesaikan suatu masalah dengan melakukan proses belajar melalui perubahan bobot sinapsisnya (Siang, 2005).

Jaringan saraf manusia merupakan kumpulan sel-sel saraf (neuron). Neuron mempunyai tugas mengolah informasi. Komponen-komponen utama dari sebuah neuron dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Dendrit. Dendrit bertugas untuk menerima informasi.

2. Badan sel (soma). Badan sel berfungsi sebagai tempat pengolahan informasi. 3. Akson (neurit). Akson mengirimkan impuls ke sel saraf lainnya.

Gambar 2. Susunan Sel Saraf Manusia

Hubungan antara sel saraf dipengaruhi oleh bobot (weight) yang menentukan besarnya pengaruh suatu sel saraf terhadap sel saraf lainnya (Lawrence, 1992 dalam Muhiddin, 2007). Dendrit menerima sinyal dari neuron lain melalui celah sinaptik. Sinyal yang berupa impuls elektrik tersebut diperkuat/diperlemah di celah sinaptik, yang selanjutnya soma akan


(24)

menjumlahkan sinyal-sinyal yang masuk. Apabila jumlah sinyal tersebut melebihi batas ambang (threshold), maka sinyal tersebut akan diteruskan ke sel lain melalui akson.

Jaringan saraf manusia memiliki daya komputasi yang menakjubkan dimana manusia dapat mengenali sinyal input yang agak berbeda dari yang diterima sebelumnya, yang digambarkan sebagai pola aktivitas perjalanan impuls pada jaringan sel saraf, yang bekerja secara simultan (Siang, 2005).

JST dikembangkan untuk meniru sistem pemroses informasi yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan saraf manusia. JST mampu mengenali kegiatan dengan berbasis pada data. Masukan data akan dipelajari oleh JST sehingga mempunyai kemampuan untuk memberi keputusan terhadap data yang belum pernah dipelajari.

Definisi JST menurut Muhiddin (2007) antara lain sebagai berikut : 1. JST adalah jaringan kerja komputasi yang mencoba meniru kerja saraf

biologi

2. Struktur JST menyerupai struktur jaringan saraf biologi

3. Pemrosesan informasi pada setiap impuls saraf dilakukan secara paralel 4. Setiap simpul saraf pada dasarnya adalah model matematik yang dapat

digunakan untuk memproses setiap informasi yang masuk.

2.1.1 Sel Saraf Tiruan (Artificial Neural)

Sel saraf tiruan menerima sinyal keluaran dari sel saraf tiruan lain, dimana output dari sel saraf itu sendiri ditentukan oleh 3 (tiga) hal yaitu pola hubungan antar neuron, metode untuk menentukan bobot penghubung dan fungsi aktivasi (Siang, 2005). Input dari sejumlah neuron (x1,x2,…xn) melalui penghubung dengan bobot hubungan (w1,w2,…wn) akan diterima oleh neuron Y sebagai fungsi penjumlahan. Selanjutnya impuls yang diterima Y akan ditentukan oleh fungsi aktivasi. Apabila nilai fungsi aktivasi (keluaran model jaringan) lebih kuat maka sinyal akan diteruskan. Nilai tersebut juga dipakai sebagai dasar untuk merubah bobot dalam meningkatkan kualitas koneksi antar satu neuron dengan neuron lainnya.


(25)

9

Sel saraf tiruan baik berupa sel tunggal atau jamak terdiri dari parameter masukan (x), bobot (w), bias (b), masukan murni (net/n) dan fungsi transfer (F), serta keluaran yang berupa skalar (O). Bias adalah sebuah parameter saraf yang ditambahkan ke masukan yang sudah terbobot dan melewati fungsi aktivasi untuk mengaktifkan keluaran sel. Masukan murni untuk fungsi transfer F diperoleh dari penjumlahan berbobot n = x * w + b.

� = ( ∗ + ) 1 2.1.2 Koneksitas Sel Saraf Tiruan (Topology)

Pola komunikasi antar sel saraf tiruan terjadi dari sebuah sel saraf tiruan ke sebuah sel saraf tiruan penerima sinyal. Koneksitas yang terjadi antara sel-sel saraf tiruan tersebut akan menentukan tipe pemrosesan yang terjadi dalam suatu JST. Bentuk koneksi yang terjadi antar sel saraf tiruan dapat bersifat inhibitory connections (bersifat menghambat pengiriman sinyal), dan exhibitory connections

(bersifat mengirimkan sinyal ke sel saraf tiruan pada lapisan berikutnya).

2.1.3 Arsitektur JST Backpropagation

Model JST Backpropagation melatih jaringan untuk mendapatkan keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola yang digunakan selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan respon yang benar terhadap pola masukan yang serupa dengan pola yang dipakai dalam pelatihan.

JST Backpropagation memiliki beberapa unit yang ada dalam satu atau lebih layar tersembunyi. Sebagai ilustrasi pada Gambar 3 di bawah ini terdapat arsitektur JSTB (JST Backpropagation) yang terdiri dari n buah masukan (ditambah sebuah bias), sebuah layar tersembunyi yang terdiri dari p unit (ditambah sebuah bias), serta m buah unit keluaran.

Pada layar masukan terdapat sejumlah sel saraf yang berfungsi menerima informasi dari luar dalam bentuk file atau data hasil pengolahan dari program lainnya. Pada layar tersembunyi terdapat sejumlah sel saraf yang berfungsi mengolah informasi yang diterima dari layar masukan yang telah terlebih dahulu diberi bobot tertentu, sedangkan layar keluaran merupakan hasil yang diharapkan dari hasil pengolahan dari layar sebelumnya (layar tersembunyi).


(26)

Gambar 3. Arsitektur JST Backpropagation

2.1.4 Fungsi Aktivasi JST Backpropagation

Fungsi aktivasi yang dipakai dalam JSTB merupakan fungsi yang kontinyu, terdiferensiasi dan merupakan fungsi yang tidak turun. Fungsi aktivasi yang sering dipakai yaitu fungsi sigmoid biner (Gambar 4) yang memiliki interval nilai (0,1).

= 1

1 + − (2)

Gambar 4. Fungsi Aktivasi Sigmoid Biner

Fungsi lain yang dipakai adalah fungsi sigmoid bipolar (Gambar 5) yang mirip dengan fungsi sigmoid bipolar dengan interval nilai (-1,1).

= 2


(27)

11

Gambar 5. Fungsi Aktivasi Sigmoid Bipolar

2.1.5 Aturan pembelajaran (Learning Rule) JST Backpropagation

Pelatihan JSTB terdiri dari 3 tahapan yaitu fase propagasi maju, propagasi mundur dan perubahan bobot. Pada propagasi maju, sinyal masukan (xi) dipropagasikan ke layar tersembunyi menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Keluaran dari setiap unit layar tersembunyi (zj) selanjutnya dipropagasikan maju ke layar di atasnya menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan sampai menghasilkan keluaran jaringan (yk).

= +

�=1

4

= = 1

1 + − _ (5)

Berikutnya keluaran jaringan (yk) akan dibandingkan dengan target yang harus dicapai (tk). Selisih antara nilai keluaran dan target adalah kesalahan (galat) yang terjadi.

_ = +

�=1

(6)

= _ = 1

1 + − _ (7)

Sehingga selisih kesalahan/galat antara keluaran jaringan dengan target yang harus dicapai dirumuskan sebagai berikut :


(28)

Fase tahap kedua yaitu propagasi mundur, berdasarkan galat yk-tk, dihitung faktor δk yang dipakai untuk mendistribusikan kesalahan di unit yk ke semua unit tersembunyi yang terhubung langsung dengan yk. δk juga di pakai untuk mengubah bobot garis yang berhubungan langsung dengan unit keluaran. Faktor δj dihitung disetiap unit dilayar tersembunyi sebagai dasar perubahan bobot semua garis yang berasal dari unit di layar dibawahnya. Demikian seterusnya hingga semua faktor δ di unit tersembunyi yang berhubungan langsung dengan unit masukan dihitung.

� = − 1− (9) ∆ = �� (10) �_ = �

=1

(11) � =�_ 1− (12) ∆ � = �� � (13)

Fase terakhir yaitu fase perubahan bobot, dimana setelah semua faktor δ dihitung, bobot semua garis dimodifikasi bersamaan. Perubahan bobot suatu garis didasarkan atas faktor δ neuron di layar atasnya. Ketiga fase tersebut diiterasi hingga jaringan dapat mengenali pola yang diberikan yaitu jika kesalahan yang terjadi lebih kecil dari batas tolerasi yang diijinkan. Perubahan bobot garis yang menuju ke unit keluaran dirumuskan :

� = + ∆ (14) Perubahan bobot garis yang menuju ke unit tersembunyi dirumuskan :

� � = � + ∆ � (15)

Keterangan :

x

1

…. x

n : Masukan

y

1

….

y

n : Keluaran

z

1

…. z

n : Nilai lapisan tersembunyi

v

ji : Bobot antara lapisan masukan dan lapisan tersembunyi

w

kj

: Bobot antara lapisan tersembunyi dan lapisan keluaran

δ

: Galat informasi


(29)

13

2.1.6 Arsitektur JST Multi Layer Perceptron (MLP)

Model jaringan perceptron ditemukan pertama kali oleh Rosenbatt (1962) dan Minsky – Papert (1969). Perceptron merupakan salah satu bentuk jaringan sederhana, perceptron biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan suatu pola tipe tertentu yang sering dikenal dengan pemisahan secara linear (Siang, 2005).

Model JST MLP merupakan salah satu tipe arsitektur JST yang umum dan paling sederhana digunakan karena memiliki keunggulan dalam kecepatan dan ketepatan pengolahan data (Basheer,2000). JST MLP terdiri dari beberapa unit masukan (ditambah sebuah bias), x unit lapisan tersembunyi dan y unit keluaran (Gambar 6).

Gambar 6. Arsitektur JST Multi Layer Perceptron (MLP)

Arsitektur jaringan perceptron mirip dengan arsitektur jaringan Hebb. Jaringan terdiri dari beberapa unit masukan (ditambah sebuah bias), dan memiliki sebuah unit keluaran. Hanya saja fungsi aktivasi bukan merupakan fungsi biner (atau bipolar), tetapi memiliki kemungkinan nilai -1, 0 atau 1. Algoritma yang digunakan oleh aturan perceptron ini akan mengatur parameter-parameter bebasnya melalu proses pembelajaran. Fungsi aktivasinya dibuat sedemikian rupa sehingga terjadi pembatasan antara daerah positif dan negatif.

2.1.7 Aturan Pembelajaran (Learning Rule) JST MLP

Algoritma pelatihan perceptron akan membandingkan hasil keluaran jaringan dengan target sesungguhnya setiap kali pola dimasukkan. Jika terdapat perbedaan, maka bobot akan dimodifikasi.


(30)

Misalkan s sebagai vektor masukan, t adalah target keluaran, α adalah laju pemahaman, θ adalah nilai threshold. Algoritma untuk pelatihan perceptron adalah sebagai berikut :

Langkah 0 : Inisialisasi semua bobot dan bias (umumnya wi = b = 0 ). Set laju pembelajaran α ( 0 < α ≤ 1) (untuk penyederhanaan set α =1). Kemudian set epoch = 0.

Langkah 1 : Apabila vektor masukan yang respon unit keluarannya tidak sama dengan target (y ≠ t), lakukan langkah-langkah 2 – 6.

Langkah 2 : Untuk setiap pasangan (s, t), kerjakan langkah 3 – 5. Pada langkah ini epoch = epoch + 1. Epoch atau iterasi akan berhenti jika y = t atau tercapainya epoch maksimum.

Langkah 3 : Set aktivasi unit masukan xi = si (i = 1, ..., n)

Langkah 4 : Hitung respon untuk unit output :

= + (16)

= =

1 � > �

0 � − � ≤ ≤ �

−1 � < −�

(17)

Langkah 5 : Perbaiki bobot dan bias pola jika terjadi kesalahan, y ≠ t. Jika pada setiap epoch diketahui bahwa keluaran jaringan tidak sama dengan target yang diinginkan, maka bobot harus di ubah menggunakan rumus :

Δwi= α t xi = t xi (karena α = 1) (18) Bobot baru = bobot(lama) + Δwi (19)

Langkah 6 : Test kondisi berhenti, jika tidak terjadi perubahan bobot pada epoch tersebut.


(31)

15

2.1.8 Proses Pengujian

Proses pengujian merupakan tahap penyesuaian terhadap bobot yang telah terbentuk pada proses pelatihan. Algoritma untuk proses pengujian adalah sebagai berikut :

Langkah 0 : Ambil bobot dari hasil pembelajaran,

Langkah 1 : Untuk setiap vektor x, lakukan langkah 2 – 4,

Langkah 2 : Set nilai aktivasi dari unit masukan, xi = si; i=1,….,n, Langkah 3 : Hitung total masukan ke unit keluaran, Net = xiwi + b, Langkah 4 : Gunakan fungsi aktivasi, Y = f(net).

2.2 Deskriptor Akustik

Deskriptor akustik adalah variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau sifat dari hambur balik gelombang akustik. Deskriptor akustik telah banyak dikembangkan dalam mengidentifikasi karakteristik jenis ikan berdasarkan klasifikasi sinyal hidroakustik suatu kawanan ikan (Reid et al., 2000). Deskriptor yang dihasilkan dikelompokkan kedalam 5 tipe deskriptor utama yaitu :

1. Positional Descriptors, yang menjelaskan posisi kawanan ikan horizontal dan vertikal

2. Morfometrik Descriptors, yang menjelaskan morfologi ikan target

3. Energetic Descriptors, yang menjelaskan total energi akustik, nilai rataan dan variabilitas energi akustik dan pusat massa kawanan ikan.

4. School Environment Descriptors, yang menjelaskan tentang jarak terpendek dan terjauh antat perimeter kawanan ikan dengan dasar perairan 5. Biological Descriptors, deskriptor yang menjelaskan sifat-sifat unik dari

jenis ikan yang diamati.

Deskriptor akustik yang dihasilkan akan dianalisis dengan metode analisis komponen utama sehingga dapat ditentukan variabel-variabel bebas (deskriptor akustik) yang dapat berpengaruh dalam membedakan sekumpulan kawanan ikan (Haralabous & Georgakarakos, 1996).


(32)

2.3 Ikan Air Tawar

2.3.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) 2.3.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Phyllum : Chordata

Sub phyllum : Vertebrata Class : Osteichthyes Sub Class : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Cyprinus Species : Cyprinus carpio

Ikan mas berbadan panjang dengan perbandingan antara panjang total dengan tinggi badan 3 : 1 (tergantung varietas). Bila dipotong di bagian tengah badan memilki perbandingan antara tinggi badan dan lebar badan 3 : 2 (tergantung varietas). Warna tubuh ikan mas juga tergantung dari varietas, ada merah, kuning, abu-abu, kehijauan, dan ada juga yang belang.

Tubuh ikan mas terbagi tiga bagian, yaitu kepala, badan, dan ekor. Mulut, sepasang mata, hidung, dan tutup insang terletak di kepala. Seluruh bagian tubuh ikan mas ditutupi dengan sisik yang besar, dan berjenis cycloid. Pada bagian itu terlihat ada garis linea lateralis, memanjang mulai dari belakang tutup insang sampai pangkal ekor.

Mulut kecil, membelah bagian depan kepala. Sepasang mata bisa dibilang cukup besar terletak di bagian tengah kepala di kiri, dan kanan. Sepasang lubang hidung terletak di bagian kepala. Sepasang tutup insang terletak di bagian belakang kepala. Selain itu, pada bagian bawah kepala memiliki dua pasang kumis sungut yang pendek.

Ikan mas memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada, sirip perut, sirip dubur, dan sirip ekor. Sirip punggung panjang terletak di bagian punggung. Sirip dada sepasang terletak di belakang tutup insang, dengan satu jari-jari keras, dan yang lainnya berjari-jari-jari-jari lemah. Sirip perut hanya satu terletak pada perut. Sirip dubur hanya satu terletak di belakang dubur. Sirip ekor juga hanya satu, terletak di belakang, dengan bentuk cagak.

Saat ini ikan mas mempunyai banyak ras atau strain. Perbedaan sifat dan ciri dari ras disebabkan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan


(33)

17

kolam, musim dan cara pemeliharaan yang terlihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk tubuh dan warnanya. Adapun ciri-ciri dari beberapa strain ikan mas adalah sebagai berikut:

a) Majalaya : badan agak pendek dengan punggung tinggi, dinding perut tebal, warna hijau keabu-abuan, dan sisik di bagian punggung lebih gelap dibandingkan dengan sisik-sisik di bagian lainnya.

b) Punten : badan pendek, mempunyai punggung tinggi, mata agak menonjol, dan gerakan lambat dan jinak.

c) Taiwan : badan agak panjang, punggung agak bulat, sirip ekor bagian bawah dan sirip dubur bagian tepi berwarna kuning kemerahan, dan kurang jinak.

d) Kumpay : badan panjang dengan warna sisik kuning emas, kuning kemerahan, ciri khas dari ikan mas varietas ini adalah sirip-siripnya sangat panjang.

e) Sinyonya : badan panjang, mempunyai punggung pendek, ciri khas varietas ini mata pada ikan dewasa bermata sipit dan kurang menonjol, termasuk ikan mas yang jinak.

f) Merah : badan panjang dengan punggung pendek, warna merah kekuningan, dan mata agak menonjol.

g) Kancra domas : badan panjang, sisik bagian punggung berwarna gelap, warna tubuh coklat keemasan, atau coklat kemerahan, sisik-sisik kecil-kecil dan tidak teratur.

h) Kaca : badan berukuran sedang, dan sebagian badan tidak tertutup sisik, sisik hanya terdapat sepanjang garis rusuk (linea lateralis) dan dekat sirip.

2.3.1.2 Habitat

Ikan mas memijah pada saat masuknya air baru dari saluran air, telur melekat pada kakaban dan rerumputan. Di alam, ikan mas akan memijah di perairan yang dangkal, atau dimana di areal perairan yang pada musim kemarau kekeringan, sedangkan pada musim hujan tergenang. Tergenangnya areal itu akan menimbulkan bau tanah yang dapat merangsang terjadinya pemijahan.


(34)

2.3.1.3 Kebiasaan Makan

Ikan mas menyukai tempat hidup di perairan air tawar yang tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu kuat. Ikan mas dapat hidup baik pada ketinggian air 150-600 m di atas permukaan laut pada suhu 25-30 0C. Ikan mas termasuk jenis omnivora, yakni ikan yang dapat memangsa berbagai jenis makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik

Larva ikan mas lebih suka makan rotifera, protozoa, dan udang-udangan, seperti Moina sp, dan Dapnia sp. Setelah berukuran 10 cm, makan Chironomidae,

Oligochaeta, Epemenidae, Tubificidae, Molusca, dan bahan-bahan organik lainnya. Dilihat dari kebiasaan makan (feeding habit), ikan dibagi dalam tiga golongan, yaitu ikan yang biasa makan di dasar, ikan yang biasa makan di tengah perairan dan ikan yang biasa makan di permukaan.

Ikan mas termasuk ikan yang memiliki kebiasaan di berbagai bagian perairan, di permukaan air, di tengah perairan, dan juga di dasar perairan. Namun ikan mas dewasa lebih cenderung pemakan dasar (bottom feeder) dengan mengaduk-ngaduk dasar perairan.

2.3.2 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 2.3.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Phyllum : Chordata

Sub-phyllum : Vertebrata Kelas : Osteichtes Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoide Familia : Cichlidae Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Nila berbadan panjang dengan perbandingan antara panjang dan tinggi badan 2 : 1. Kemudian jika dipotong di bagian tengah dari tubuhnya memiliki perbandingan antara tinggi dan tebal badan 4 :1. Jadi nila merah bisa dikatakan berbadan gepeng.


(35)

19

Tubuh nila merah terbagi tiga bagian, yaitu kepala, badan dan ekor. Ketiganya memiliki perbandingan satu banding dua banding satu. Mulut, mata, hidung dan tutup insang terdapat pada kepala. Mulut kecil membelah bagian depan kepala. Sepasang mata besar berada di bagian atas kepala. Sepasang lubang hidung kecil berada di depan mata. Tutup insang menutup sebagian belakang kepala.

Ikan nila termasuk ikan bersisik. Sisik berjenis ctenoid menutup seluruh permukaan badan. Pada bagian itu melekat warna. Warna nila berwarna macam, ada yang berwarna pink, ada yang berwarna albino, ada yang albino bercak merah, dan ada juga yang pink bercak hitam.

Nila memiliki lima buah sirip, yaitu sirip dada, sirip venteral, sirip ekor, sirip dubur, dan sirip punggung. Sirip punggung memanjang mulai dari belakang tutup insang hingga pangkal ekor. Sirip dada sepasang dengan kecil dan memanjang. Sirip perut juga sepasang, tetapi kecil dan pendek. Sirip anus agak panjang. Sirip ekor membulat.

2.3.2.2 Habitat

Habitat alami ikan nila terdapat di danau-danau. Ikan nila tidak menyukai badan perairan yang mengalir seperti sungai. Meskipun begitu, ikan nila menyukai lingkungan yang terdapat kandungan oksigen yang tinggi. Dalam lingkungan dengan oksigen yang tinggi, ikan nila dapat bernafas baik dan mengambil makanan yang cukup cepat. Sedangkan dalam lingkungan dengan kandungan oksigen rendah, ikan nila tidak bisa bernafas dengan baik, dan mengambil makanan perlahan-lahan. ikan nila sangat toleran pada salinitas yang tinggi, tetapi tidak dapat memproduksi telur, sperma dan tidak dapat bertelur.

2.3.2.3 Kebiasaan makan

Ikan nila termasuk omnivora atau ikan pemakan segala, baik tumbuhan maupun hewan. Kebiasaan itu tergatung umurnya. Pada saat larva, setelah habis kuning telur, nila merah suka dengan phytoplankton. Besar sedikit atau saat benih sangat suka dengan zooplankton, seperti Rotifera sp, Impusoria sp, Daphnia sp,


(36)

Moina sp and Cladocera sp. Setelah dewasa sangat suka dengan cacing, seperti cacing tanah, cacing darah dan tubifex.

Atas dasar kebiasaan tempat makan, ikan nila merah adalah tipe ikan floating feeder. Ikan ini akan bergerak cepat ketika diberi pakan tambahan. Meski begitu, terkadang nila merah juga bersifat bottom feeder, yaitu memakan pada dasar perairan, pematang dan pada benda lainnya. Tetapi tidak sampai mengaduk-ngaduk atau merusak pematang seperti ikan mas.

2.3.3 Ikan Patin (Pangasius pangasius) 2.3.3.1 Klasifikasi dan Morfologi Filum : Chordata,

Sub Filum : Vertebrata, Kelas : Pisces, Sub Kelas : Teleostei, Ordo : Ostariophysi, Sub Ordo : Siluroidei, Famili : Pangasidae, Genus : Pangasius,

Spesies : Pangasius pangasius

Selain klasifikasi di atas, ada juga para ahli yang menglasifikasi lain, seperti Patin Siam dengan nama latin Pangasianodon hypophthalmus. Ikan patin bertubuh panjang dengan perbandingan panjang dan tinggi sekitar 4 : 1. Bila dipotong secara vertikal, Patin Siam bertubuh pipih dengan perbandingan tinggi dan lebar sekitar 3 : 1. Dengan perbandingan seperti itu ikan patin bertubuh tipis, atau tidak bulat, seperti ikan lele. Tanda khas lainnya adalah ikan patin berpugung lurus, mulai dari punggung sampai pangkal ekor.

Tidak seperti ikan mas dan nila, ikan tak bersisik, sehingga yang nampak hanya kulitnya saja. Namun kulit patin tidak halus seperti lele, tetapi agak kasar. Pada bagian itu terlihat warna tubuhnya. Warna tubuh patin seperti terbagi dua, yaitu punggung berwarna hijau, abu-abu gelap, sedangkan bagian perut berwarna putih perak. Pada bagian itu terdapat dua garis, garis pertama memanjang dari kepala sampai ke pangkal ekor, sedangkan garis kedua memanjang dari kepala sampai ke ujung sirip dubur.

Tubuh ikan patin terbagi tiga bagian, yaitu kepala, badan dan ekor. Kepalanya kecil, dan gepeng dengan batok kepala yang keras. Mata yang kecil,


(37)

21

hidung yang kecil, mulut yang bercelah lebar dengan dua pasang sungut maksila dan mandibula, atau kumis. Inilah yang menjadi ciri khas catfish (ikan berkumis seperti kucing). Pada rongga mulut mempunyai gigi palatin yang terpisah dari tulang vomer. Tutup insang tidak terlalu besar, menutup bagian kepala.

Patin bersirip lima, yaitu sebuah sirip punggung (dorsal fin), sebuah ekor (caudal fin), sebuah sirip dubur (anal fin), sepasang sirip perut (ventral fin) dan sepasang sirip dada ( pectoral fin). Sirip punggung kecil dan pendek, berada tepat di atas perut. Sirip dubur panjang, kurang lebih sepertiga dari panjang tubuhnya, dan berjari-jari sirip 29 – 33. Selain kelima sirip, Patin memiliki adipose fin yang letaknya di belakang sirip punggung seperti halnya pada kelompok piranha.

Patin Siam dan Patin Lokal dapat dibedakan dari bentuk tubuh, bentuk sirip punggung, patil pada sirip dada. Patin Siam bertubuh lebih panjang dari Patin Lokal, tetapi memiliki sirip punggung dan memiliki patil yang lebih pendek. Atau Patin Lokal lebih pendek, hampir menyerupai tubuh ikan betutu. Selain itu, patin siam berdaging agak kuning. Sedangkan Patin Lokal berdaging putih dan rasanya lebih enak.

2.3.3.2 Habitat

Ikan patin umumnya hidup di air tawar dan payau dengan aliran air yang tenang, terutama di sungai-sungai berlumpur atau berpasir. Kadang-kadang ikan ini masuk ke dalam rawa yang berdekatan dengan sungai besar. Ikan ini hidup subur di sungai, danau, waduk dan kolam. Penyebaran ikan patin meliputi Thailand, Burma, India Taiwan, Malaysia, Semenanjung Indocina, Sumatra dan Kalimantan. Ikan patin termasuk ikan dasar, hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah. Habitatnya di sungai-sungai yang tersebar di Indonesia, India, dan Myanmar. Jenis ikan patin di Indonesia cukup banyak, diantaranya Pangasius polyuranodon (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rius, riu, lancang), Pangasius micronemus (wakal, riu scaring) Pangasius nasutus

(pedado) dan Pangasius nieuwenhuisl (lawang).

Ikan patin mempunyai daya tahan tubuh yang tinggi terhadap amonia dan buangan nitrogen lainnya dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan buatan, seperti dalam sangkar terapung. Ikan ini juga mempunyai daya reproduksi,


(38)

benihnya dapat ditangkap di sungai-sungai besar dan baik untuk dikembangkan sebagai ikan kultur.

2.3.3.3 Kebiasaan makan

Ikan patin dilihat dari kebiasaan makanan (food habbit), di habitat alami dan pada masa fase cenderung bersifat karnivora. Di dalam kolam-kolam pemeliharaan ikan ini bersifat omnivora, yaitu memakan segala macam pakan baik jasad-jasad hewani maupun nabati, misalnya macaM-macam buah-buahan dari tumbuhan pinggir sungai, biji-bijian, udang (Crustacea), Molusca, Copepoda, Ostracoda, Cladosera, Isopoda, Amphipoda, cacing dan sisa-sisa organisme lainnya.

Jenis makanan yang dapat dimakan larva berumur sekitar 4 – 5 hari adalah organisme renik berupa plankton. Mula-mula larva ikan memakan plankton nabati (phytoplankton) yang berukuran 100 – 300 mikron, misalnya Brachionus calicyflorus, Synchaeta sp, Notholca sp, Polyarthra platiptera, Hexartha mira, Brachionus falcatus, Asplanchna sp, Chonchilus sp, Filina sp, Brachionus angularis, Karatella cochlearis dan Keratella quadrata. Larva ikan patin cenderung memangsa hewan-hewan kecil lain yang hidup di permukaan sediment atau yang melayang-layang di air, seperti larva insekta dan larva Crustacea. Selain itu ikan patin dikategorikan sebagai ikan "bottom feeder".


(39)

III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi atas pengumpulan data, pengolahan data dan pelaporan hasil kegiatan.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a) Scientific EchosounderSimrad EY-60 frekuensi 120 kHz (ES120-7C)

b) Jaring berbentuk kerucut dengan diameter alas 1 meter dan tinggi 5 meter. Bahan jaring terbuat dari PVC (polyvinylchoride) dengan ukuran mata jaring 0,5 cm, sehingga diupayakan ikan tidak merasa stress selama masa pengambilan data.

c) Ikan air tawar yaitu ikan nila (O. niloticus), ikan mas (C. caprio), dan ikan patin (P. hypothalmus).

3.3 Data Akustik

3.3.1 Pengambilan Data Akustik

Pengambilan data akustik pada ikan air tawar dilakukan secara in situ

dengan metode pengukuran aspek dorsal (vertical fixed beaming), dimana ikan ditempatkan pada jaring (net cage) yang telah dimodifikasi agar tingkat stress ikan dapat dikurangi akibat terbatasnya ruang gerak. Pengambilan data akustik untuk tiap jenis ikan sebanyak 5 ekor dengan panjang yang berbeda berlangsung 2 sampai 3 hari/jenis ikan atau setara memperoleh kurang lebih 6.000 pola kawanan yang terdeteksi oleh akustik (Lampiran 1). Setelah itu, ikan diukur panjang total (TL) dan berat untuk setiap ukuran untuk memperoleh hubungan panjang-beratnya. Selain itu diukur pula lebar penampang dorsal (B) dari masing-masing ikan yang diuji (Gambar 7). Untuk memperoleh data hubungan bentuk gelembung renang (swimbladder) ikan dengan nilai backscattering (σbs) maka dilakukan pengambilan foto rontgen ikan (foto X-Ray).


(40)

Gambar 7. Penampang lateral dan dorsal ikan

Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan alat scientific echosounder SIMRAD EY-60 split beam dengan frekuensi tranducer 120 kHz (ES120-7C) yang memiliki sudut tranmisi (half beam width) 7o dan dioperasikan dengan pulse duration 0.128 ms. Jaring ikan ditenggelamkan sedalam kurang lebih 5 meter, dan posisi tranducer ditempatkan 0.5 meter di bawah permukaan air (Gambar 8). Pengaturan parameter akustik selama pengambilan data tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaturan parameter untuk pengoperasian Simrad EY60

Parameter Nilai

Frequency 120 KHz

Pulse Duration 0.128 ms

Power transmit 50 watt

SV threshold -70 dB

TS threshold -80 dB


(41)

25


(42)

3.3.2 Pemrosesan Data Akustik

Sinyal akustik yang terekam dalam echogram selanjutnya diolah untuk mengubah raw data dengan perangkat lunak Echoview 4.8. Data yang dihasilkan dari pemrosesan data berupa matriks data akustik (MDA) yang terdiri dari matriks data target strength dan backscaterring volume (Sv). Selanjutnya setiap file memuat MDA dianalisis dengan menggunakan deskriptor akustik yang dikembangkan untuk identifikasi spesies dari modifikasi rumusan Charef et al.

(2010) seperti tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Deksriptor akustik menurut Charef et al. (2010) yang telah dimodifikasi

Deskriptor akustik Formula Hitungan Energetik

Sv (dB) 10 log10�

σsv = volume backscattering coefficients

TS (dB) 10 log10�

σbs = backscattering cross section

Sa (dB) 10 log

10

� � 2

Sa = area backscattering strength, Ψ = equivalent beam angle (steradians), R = range (m)

Skewness �3

( )2 dimana �3=

( − )3 �

−1 ( −2) jika n=3; 0 jika n<3

Ei = Energi akustik sampel ke-i,

En = Energi akustik sampel ke-n,

ESD = Standar deviasi energi akustik

Kurtosis ( + 1)

−1 −2 ( −3)

�− 4

3 −2 ( 123) Morfometrik

Tinggi (m) � ��� � � ℎ = � � � ℎ��− � � �

� ��� = � ��� � � ℎ − � 2

c = Kecepatan suara di air (m/s), γ = panjang pulsa (ms)

Bathymetrik

Kedalaman (m) �

�=1 ;

Di = Kedalaman pada sampel i , n = Σ sampel

Ketinggian Relatif (m) � � ��� � � + ( � ��� /2)


(43)

27

Gambar 9. Skema Pengukuran Deskriptor Akustik

3.3.3 Analisis Nilai Deskriptor Akustik

Analisis data statistik digunakan untuk mencari keeratan hubungan antar parameter deskriptor akustik dengan Analisis Faktor , mengelompokkan sampel ikan dengan nilai deskriptor akustik berdasarkan ukuran kemiripan (simmilarity) atau ketakmiripan (dissimilarity) dengan Analisis gerombol (Clusterring Analysis), dan Analisis Diskriminan (Discriminant Factor Analysis) unuk mengelompokkan individu ke dalam suatu obyek kelas berdasarkan sekumpulan peubah-peubah bebas (Fauziyah, 2005).

Hasil analisis parameter deskriptor akustik menjadi pembanding dengan hasil yang diperoleh dari aplikasi JST Backpropagation dan MLP. Berdasarkan rekomendasi hasil penelitian Muhiddin (2007) aplikasi JSTB berbasis data deskriptor akustik disarankan untuk menguji terlebih dahulu nilai deskriptor yang diperoleh secara statistik agar dalam tingkat pembelajaran JST diperoleh hasil yang optimal parameter deskriptor yang signifikan dapat membedakan antara jenis ikan yang diuji cobakan.


(44)

3.4 Jaringan Saraf Tiruan 3.4.1 Arsitektur JST

JST yang dipakai dalam penelitian ini yaitu tipe JSTB dengan 1 lapisan tersembunyi dengan 8 unit masukan, 1 lapisan tersembunyi, dan 3 unit keluaran. JSTB dipakai menggunakan model JST-PR (Pattern Recognition) dengan metode pelatihan scale conjugate gradient. Apabila jaringan telah memahami pola yang diberikan maka JST menguji keseluruhan data nilai deskriptor akustik yang diberikan. Proporsi perbandingan antara jumlah sampel pembelajaran dan sampel uji sebesar 70 : 30.

Adapun JST MLP yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 8 unit masukan, 4 unit tersembunyi dan 3 unit keluaran. JST MLP menggunakan aturan pembelajaran terbimbing untuk pembanding hasil yang diperoleh dari arsitektur JST Backpropagation.

3.4.2 Rancangan Awal dan Pelatihan JST

Nilai deskriptor akustik yang diperoleh masih dalam bentuk riil, oleh karena itu perlu dilakukan konversi nilai-nilai deskriptor akustik yang diperoleh dari bilangan riil menjadi bilangan biner atau bipolar.

Formula untuk merubah bilangan riil menjadi bilangan biner/bipolar dalam JST dilakukan dengan rumus transformasi linier :

= − ( − )

− + (20) dimana , x' = bilangan biner/bipolar

x = bilangan riil a = data minimum b = data maksimum

Untuk menjalankan JSTB, mula-mula dilakukan penghitungan unit masukan keseluruhan yang sudah diboboti dengan bias. Setelah itu nilai tersebut diaktivasi dengan fungsi sigmoid biner dan bipolar agar dapat terkirim pada lapisan diatasnya (feed forward ). Apabila galat yang diperoleh masih besar dari

learning rate, maka dilakukan backpropagation untuk merubah bobot sehingga pada setiap lapisan diperoleh hasil yang diharapkan.


(45)

29

Gambar 10. Rancangan Awal Arsitektur Backpropagation

Pada pelatihan JST MLP, iterasi terus dilakukan untuk semua data uji sampai diperoleh bobot dimana nilai keluaran sama dengan nilai target yang ditentukan, selanjutnya nilai bobot yang diperoleh digunakan untuk menguji data secara keseluruhan.

Gambar 11. Rancangan Awal Arsitektur MLP 3.4.3 Rancangan Akhir dan Pelatihan JST

Apabila telah diperoleh hasil pelatihan JST dalam rancangan awal, maka nilai bobot baru untuk setiap lapisan dirubah menjadi nilai bobot yang sama dengan hasil dari perancangan awal. Setelah itu hasil dari masing-masing


(46)

arsitektur JST dibandingan dengan hasil perhitungan nilai deskriptor secara analitik (statistik).


(47)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengambilan data akustik ikan

Data akustik yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) jenis ikan yaitu ikan mas, nila dan patin masing-masing sebanyak 5 ekor. Pengambilan data dilakukan menggunakan instrumen akustik bim terbagi (Simrad 120 kHz) pada bulan Januari, 2011 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur.

Ikan mas yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai rataan panjang total sebesar 30,86 cm dengan nilai rataan berat sebesar 440 gram. Panjang total ikan nila yang digunakan memiliki nilai rataan sebesar 29,40 cm, dengan nilai rataan berat sebesar 615 gram. Sedangkan panjang total ikan patin dalam penelitian ini memiliki nilai rataan sebesar 36,98 cm dengan nilai rataan berat sebesar 394 gram. Rangkuman ukuran morfometrik ikan uji dapat dilihat pada lampiran 1.

Hubungan nilai rataan target strength ikan mas dibandingkan dengan panjang total ikan memiliki koefisien korelasi sebesar (R2 = 0,996) dengan nilai rataan target strength untuk 1.910 sampel data sebesar -52,14 dB ± 4,50. Nilai rataan target strength untuk panjang total minimum ikan mas 26,3 cm yang memiliki berat 250 gram sebesar -63,72 dB, sedangkan nilai rataan target strength

panjang total maksimum ikan mas 37 cm dengan berat 800 gram sebesar -52,58 dB (Gambar 12).

Nilai korelasi hubungan target strength dan panjang total untuk ikan nila dengan jumlah sampel data yang sama diperoleh sebesar (R2 = 0,859) dengan nilai rataan target strength sebesar -60,79 dB ± 2,87. Panjang total minimum ikan nila sebesar 23,5 cm dengan berat 313 gram memiliki nilai rataan target strength

sebesar -68.30 dB dan panjang total maksimum sebesar 38,5 cm dengan berat 1.073 gram memiliki nilai rataan target strength sebesar -59,62 dB (Gambar 12).

Nilai rataan target strength ikan patin diperoleh sebesar -56,63 dB ± 4,22 dengan koefisien korelasi sebesar (R2 = 0,837). Ikan patin dengan panjang total minimum 31,5 cm dengan berat 235 gram memiliki nilai rataan target strength


(48)

sebesar -63,70 dB, sedangkan untuk panjang total maksimum 45 cm dengan berat 748 gram memiliki nilai rataan target strength sebesar -55,80 dB (Gambar 13).

Gambar 13. Hubungan target strength dan panjang total ikan

Ikan mas (C. caprio) adalah jenis ikan yang memiliki gelembung renang dengan 2 ruangan (2-chamber), sedangkan ikan nila (O. niloticus) dan ikan patin (P. pangasius) adalah jenis ikan yang hanya memiliki 1 ruangan gelembung renang (1- chamber). Perbedaan tipe gelembung renang ini sangat mempengaruhi terhadap nilai backscattering cross section, skewness, variance dari deskriptor target strength ikan.

Menurut Frouzova et al. (2011) perbedaan tipe gelembung renang dapat dilihat salah satunya dari parameter variance dan skewness dari nilai target strength yang diperoleh. Distribusi normal nilai target strength ikan mas menunjukkan nilai keragaman (variance) sebesar 45,10 dengan nilai rataan target strength sebesar -52,14 dB, sedangkan nilai keragaman ikan nila dan patin masing-masing sebesar 25,15 dan 22,53 dengan nilai rataan target strength sebesar -60,79 dB dan -56,63 dB. Begitu pula dengan nilai skewness ikan mas diperoleh sebesar 0,74, sedangkan ikan nila dan patin sebesar 0,32 dan 0,43 (Gambar 14).


(49)

33

Gambar 14. Kurva distribusi normal nilai target strength ikan

Selain nilai variance dan skewness, analisis indeks sebaran data atau dikenal dengan Fano factor diperoleh nilai indeks VMR (variance mean ratio) untuk ketiga jenis ikan uji berada pada interval 0 sampai 1 dengan nilai VMR masing-masing sebesar 4,85e-05 (mas), 3,13e-06 (nila), dan 1,52e-05 (patin), sehingga dapat dikatakan sebaran data yang diperoleh berada dibawah nilai rata-rata (under dispersed).

Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa nilai target strength ikan yang hanya memiliki 1 ruangan gelembung renang memiliki nilai keragaman yang lebih rendah daripada ikan yang memiliki 2 ruangan gelembung renang. Selain itu ikan yang memiliki 2 ruangan gelembung renang akan memiliki nilai target strength yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan yang hanya memiliki 1 ruangan gelembung renang. Sedangkan untuk kedua tipe gelembung renang tersebut memiliki nilai VMR yang sama (Tabel 3).

Tabel 3. Rangkuman nilai variance , skewness dan VMR Jenis

Ikan

Type

Swimbladder Variance Skewness VMR Mas 2- chambered > 50 > 0.5 0 < VMR< 1 Nila 1- chambered < 50 < 0.5 0 < VMR< 1 Patin 1- chambered < 50 < 0.5 0 < VMR< 1


(50)

4.2 Pengambilan data kualitas air

Data kualitas air yang diukur selama pengambilan data akustik meliputi parameter suhu, oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman (pH). Pengambilan data kualitas air dilakukan dalam selang waktu 4 jam dari permukaan sampai dasar jaring (0-5 m).

Suhu air yang terukur selama penelitian berkisar antara 26,62oC – 28,08oC dengan nilai rataan sebesar 27,34 oC. Suhu yang tertinggi terdapat pada kedalaman 3 meter, sedangkan suhu yang terendah terukur pada kedalaman 1 meter. Kadar oksigen terlarut tercatat pada interval 5,05 ppm – 5,79 ppm dengan nilai rataan sebesar 5,46 ppm. Sedangkan derajat keasaman yang terukur berkisar antara 7,51 – 8,07 dengan nilai rataan 7,80. Kadar pH air menunjukkan semakin ke dasar semakin basa, sedangkan oksigen terlarut menunjukkan nilai yang tertinggi pada kedalaman 2 meter selanjutnya menurun dengan bertambahnya kedalaman. Tabel 4 memperlihatkan rangkuman nilai rataan pengukuran kualitas air.

Tabel 4. Rangkuman nilai rataan data kualitas air

Kedalaman pH DO Suhu

0 7,61 ±0,04 5,34 ±0,03 27,10 ±0,24 1 7,63 ±0,07 5,05 ±0,09 26,62 ±0,31 2 7,51 ±0,07 5,79 ±0,18 27,14 ±0,25 3 7,95 ±0,17 5,61 ±0,28 28,08 ±0,27 4 8,05 ±0,07 5,52 ±0,19 27,62 ±0,33 5 8,07 ±0,11 5,47 ±0,30 27,49 ±0,24

Hasil pengukuran kualitas air selama pengambilan data akustik, menggambarkan bahwa kondisi faktor lingkungan tidak menunjukkan anomali yang dapat menimbulkan stress terhadap ikan uji yang akan berpengaruh terhadap nilai akustik yang diperoleh. Hasil pengamatan kualitas air yang yang tercantum pada tabel 4 menunjukkan waduk Ir. H. Djuanda memiliki daya dukung lingkungan yang baik bagi pertumbuhan ikan dengan ketersediaan oksigen terlarut yang tinggi.


(51)

35

4.3 Analisis Statistik

Data akustik yang tersimpan dalam format echogram dianalisis menggunakan program pengolahan Echoview versi 4.8. Data yang diperoleh kemudian diekstraksi menggunakan metode Region Analysis untuk menghasilkan parameter deskriptor akustik untuk setiap pola kawanan (shoaling) ikan uji. Data yang dianalisis sebanyak 116 echogram, masing-masing 56 file echogram ikan nila, 40 file echogram ikan mas dan 20 file echogram untuk ikan patin.

Deskriptor akustik yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari 8 variabel yang terbagi dalam 3 kategori yaitu deskriptor morfometrik (Tinggi), batimetrik (Kedalaman dan Ketinggian Relatif) dan energetik (Sv, TS, Sa, Skewness dan Kurtosis).

4.3.1 Analisis Korelasi

Analisis korelasi dilakukan untuk menjelaskan keeratan hubungan antara variabel deskriptor akustik yang dinyatakan dengan besar kecilnya koefisien korelasi. Pada sub bab ini akan dibahas hubungan antara deskriptor secara keseluruhan.

Tabel 5 memperlihatkan hampir seluruh variabel deskriptor akustik memiliki korelasi satu sama lain kecuali untuk variabel tinggi kawanan ikan (H) terhadap posisi ketinggian terhadap dasar perairan (Ketinggian Relatif) dan variabel target strength (Ts) terhadap sebaran data (Kurtosis). Variabel kedalaman (Depth) berkorelasi secara negatif terhadap nilai Sv dan TS, artinya bahwa semakin dalam posisi kawanan ikan akan memberikan nilai Sv dan TS yang semakin kecil. Disisi lain nilai Sa kawanan ikan memberikan korelasi positif terhadap nilai Sv dan TS, sehingga dapat dikatakan semakin besar nilai Sa akan memberikan nilai Sv dan TS yang besar pula. Selain itu nilai Sa berkorelasi negatif secara signifikan terhadap ketinggian kawanan ikan terhadap dasar (Ketinggian Relatif), dimana hal ini dapat dijelaskan bahwa nilai Sa akan semakin besar bila posisi kawanan ikan semakin dekat ke permukaan. Namun posisi kawanan ikan terhadap dasar perairan tidak menentukan pengaruh perubahan tinggi kawanan ikan begitu pula ukuran sebaran data yang diperoleh tidak memberikan pengaruh terhadap nilai target strength yang diperoleh.


(52)

Tabel 5. Matriks korelasi antar deskriptor akustik

Correlations

Deskriptor Tinggi Kedalaman Ketinggian

Relatif Skewness Kurtosis Sv TS Sa

Tinggi 1

Kedalaman 0,074** 1

Ketinggian

Relatif -0,025 -0,765

**

1

Skewness 0,499** -0,039** 0,153** 1

Kurtosis 0,330** -0,041** 0,153** 0,868** 1

Sv 0,084** -0,660** 0,445** 0,185** 0,109** 1

Target

strength -0,158

**

-0,676** 0,480** 0,067** 0,022 0,879** 1

Sa 0,062** -0,286** -0,031* -0,.041** -0,106** 0,668** 0,555** 1 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

4.3.2 Analisis Faktor

Analisis Faktor dilakukan untuk melihat variabel deskriptor akustik yang mencirikan tiap kawanan ikan uji. Analisis ini digunakan untuk mendistribusikan pembobotan pada komponen utama dengan mereduksi dimensi data sehingga mampu menjelaskan sebesar mungkin keragaman data yang dijelaskan oleh variabel deskriptor akustik. Hasil analisis faktor dapat dijelaskan melalui hasil

communalities, total varians explains, dan rotated component matrix. Tabel 6. Nilai communalities

Communalities

Deskriptor Initial Extraction

Tinggi 1,000 0,549

Kedalaman 1,000 0,855

Ketinggian Relatif 1,000 0,872

Skewness 1,000 0,912

Kurtosis 1,000 0,822

Sv 1,000 0,927

Target strength 1,000 0,858

Sa 1,000 0,889

Extraction Method: Principal Component Analysis.


(53)

37

Communalities menunjukkan jumlah varians dari variabel deskriptor akustik yang dapat dijelaskan oleh komponen factor yang terbentuk dalam analisis faktor.Semakin besar nilai communalities, maka semakin erat hubungannya dengan faktor yang terbentuk. Hasil analisis menunjukkan nilai communalities setiap deskriptor > 0.5 sehingga analisis komponen utama dapat dilakukan untuk setiap variabel deskriptor. Nilai communalities yang tinggi sebesar 0,912 dan 0,927 yang diperoleh oleh variabel Skewness dan Sv dapat menjelaskan keeratan hubungan diatas 90%, sedangkan variabel Tinggi hanya dapat menjelaskan keeratan hubungan kurang dari 55% (0,549) dan variabel lainnya dapat menjelaskan keeratan hubungan antara 80% - 90% (Tabel 6).

Total Variance dapat menjelaskan dasar jumlah faktor yang diperoleh. Hasil analisis diperoleh untuk nilai eigenvalues di atas 1 ( > 1) diperoleh dengan 3 faktor. Dengan tiga factor, angka eigenvalues masih di atas 1, sebesar 1,238. Namun untuk 4 faktor angka eigenvalues sudah di bawah 1, sebesar 0,703 sehingga proses analisis factor berhenti pada 3 faktor saja. Dari 3 faktor yang terbentuk diperoleh nilai total varians kumulatif sebesar 83,457%. Varians faktor pertama diperoleh sebesar 40,859%, varians factor kedua diperoleh sebesar 27,216% dan varians faktor ketiga diperoleh nilai sebesar 15,473% (Tabel 7).


(54)

Tabel 7. Nilai Total Keragaman (Variance)

Total Variance Explained

Component

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings

Rotation Sums of Squared Loadings

Total % of

Variance

Cumulative

% Total

% of Variance

Cumulative

% Total

% of Variance

Cumulative %

1 3,269 40,859 40,859 3,269 40,859 40,859 2,289 28,617 28,617

2 2,177 27,216 68,074 2,177 27,216 68,074 2,207 27,589 56,205

3 1,238 15,473 83,547 1,238 15,473 83,547 2,187 27,342 83,547

4 0,703 8,790 92,337

5 0,261 3,264 95,601

6 0,169 2,118 97,719

7 0,104 1,297 99,017


(55)

39

Gambar 15. Grafik Biplot Deskriptor Akustik

Komponent matrik hasil rotasi memperlihatkan distribusi variabel yang lebih jelas dan nyata dengan cara memperbesar faktor loading setiap deskriptor. Komponen pertama terdiri dari variabel deskriptor bathimetrik yaitu Ketinggian Relatif dan Kedalaman. Komponen kedua terdiri dari 3 deskriptor energetik yaitu Sv, Area Backscattering strength dan target strength, sedangkan komponen ketiga terdiri dari deksriptor morfometrik yaitu tinggi kawanan ikan dan deskriptor energetik yaitu Skewness dan Kurtosis (Gambar 15).

Berdasarkan hasil analisis faktor maka dapat disimpulkan sesuai klasifikasi deskriptor akustik (Reid et. al, 2000) kawanan ikan dapat dibedakan berdasarkan pengelompokkan jenis deskriptor (batimetrik, energetik dan morfometrik). Namun pada hasil penelitian ini deskriptor morfometrik yang diperoleh (tinggi kawanan ikan) tidak dapat dibedakan secara jelas dengan kelompok deskriptor energetic (skewness dan kurtosis). Hal ini karena bentuk kawanan (shoaling) ikan uji tidak memberikan pola yang jelas seperti halnya gerombolan (schooling) ikan laut.


(56)

4.3.3 Analisis Cluster

Analisis Cluster dilakukan untuk mengelompokkan ikan uji berdasarkan kesamaan karakteristik deskriptor akustik yang diperoleh. Nilai deskriptor yang diperoleh akan diklasifikasikan menggunakan metode non hirarki sehingga parameter deskriptor yang berada dalam satu cluster akan memiliki kemiripan satu sama lain (Santoso,2002).

Hasil analisis cluster menggunakan metode K-means Cluster diperoleh dari proses iterasi untuk mengelompokkan 5730 sampel diperoleh jarak minimum antar pusat cluster adalah 18,091 pada iterasi ke-25. Adapun hasil akhir dari proses clustering dijelaskan berikut ini :

Tabel 8. Nilai Final Cluster Final Cluster Centers

Deskriptor Cluster

Mas Nila Patin

Zscore: Tinggi 0,55346 -0,08636 0,09888

Zscore: Kedalaman -1,03217 0,64276 -0,73706

Zscore: Ketinggian Relatif 26,31494 -0,58021 0,65581

Zscore: Skewness 0,97181 -0,27982 0,32068

Zscore: Kurtosis 0,53970 -0,23440 0,26873

Zscore: Sv -0,27529 -0,63991 0,73427

Zscore: Target strength -0,24706 -0,62954 0,72236

Zscore: Sa -20,19531 -0,29921 0,34411

Hasil keluaran akhir dari analisis cluster, pada cluster 1 variabel Tinggi, Ketinggian Relatif, Skewness dan Kurtosis memiliki nilai di atas rata-rata, sedangkan variabel lainnya memiliki nilai di bawah rata-rata total sampel. Cluster 2 hanya variabel Kedalaman yang memiliki nilai di atas rata-rata, sedangkan pada cluster 3 justru sebaliknya hanya variabel deskriptor Kedalaman yang berada di bawah rata-rata sampel (Tabel 8). Menurut Santoso (2002), nilai z-score menentukan kekuatan terhadap pembentukan cluster, jika nilai z-score semakin besar dan bernilai positif maka deksriptor tersebut berpengaruh semakin kuat terhadap kelompoknya, begitu pula sebaliknya jika z-score bernilai negatif.

Berdasarkan kedelapan deskriptor yang diuji dengan analisis cluster dapat disimpulkan bahwa kekuatan pembentuk cluster 1 (Ikan Mas), ditentukan oleh deskriptor Tinggi, Ketinggian Relatif, Skewness dan Kurtosis. Pembentukan


(57)

41

Cluster 2 (Ikan nila) hanya ditentukan oleh deskriptor Kedalaman, sedangkan pembentukan Cluster 3 (Ikan patin) ditentukan oleh hampir seluruh deskriptor akustik kecuali descriptor Kedalaman.

4.3.3 Analisis Diskriminan

Analisis diskriminan bertujuan untuk mengklasifikasikan suatu individu atau observasi ke dalam kelompok yang saling bebas (mutually exclusive/disjoint) dan menyeluruh (exhaustive ) berdasarkan sejumlah variabel penjelas. Asumsi

yang digunakan dalam analisis diskiminan pada penelitian ini adalah : (a) Variabel deskriptor akustik harus berdistribusi normal dan (b) Matriks

varians-covarians variabel deskriptor akustik harus berukuran sama.

Tabel 9. Nilai Test of Equality Tests of Equality of Group Means

Deskriptor Wilks'

Lambda F df1 df2 Sig.

Zscore: Tinggi 0,956 131,835 2 5727 0,000

Zscore: Kedalaman 0,749 957,512 2 5727 0,000

Zscore: Ketinggian Relatif 0,818 639,083 2 5727 0,000

Zscore: Skewness 0,809 675,687 2 5727 0,000

Zscore: Kurtosis 0,900 317,301 2 5727 0,000

Zscore: Sv 0,925 232,761 2 5727 0,000

Zscore: Target strength 0,848 512,251 2 5727 0,000

Zscore: Sa 0,907 293,028 2 5727 0,000

Tabel 9 di atas berfungsi untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok ikan uji untuk setiap variabel deskriptor akustik. Jika nilai Sig. > 0,05, berarti tidak ada perbedaan antar grup, begitu pula sebaliknya bila nilai Sig. untuk F test < 0,05 (Santoso, 2002). Dari table 1 di atas diperoleh nilai setiap deskriptor akustik berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %. Hal ini berarti seluruh deskriptor akustik yang digunakan dalam penelitian ini dapat membedakan secara nyata setiap kelompok ikan uji.


(1)

Lampiran 3. Pengukuran Kualitas Air

1.

Derajat Keasaman (pH)

Depth 01.00 WIB 05.00 WIB 09.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB 21.00 WIB

0 7,62 7,65 7,65 7,63 7,58 7,56

1 7,72 7,67 7,64 7,64 7,64 7,50

2 7,37 7,51 7,56 7,54 7,54 7,53

3 8,09 8,14 8,02 7,94 7,84 7,68

4 7,93 8,03 8,09 8,13 8,09 8,04

5 8,10 8,14 8,14 8,18 7,97 7,90

2.

Oksigen terlarut (mg/L)

Depth 01.00 WIB 05.00 WIB 09.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB 21.00 WIB

0 5,38 5,31 5,37 5,32 5,35 5,31

1 5,10 5,16 5,02 5,10 5,03 4,91

2 6,10 5,90 5,75 5,72 5,66 5,61

3 6,07 5,76 5,63 5,54 5,34 5,35

4 5,71 5,68 5,66 5,48 5,42 5,21

5 5,62 5,76 5,77 5,36 5,30 5,02

3.

Suhu (

o

C)

Depth 01.00 WIB 05.00 WIB 09.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB 21.00 WIB

0 27,60 27,10 27,10 27,10 27,00 26,90

1 27,10 26,80 26,80 26,60 26,30 26,30

2 27,60 27,30 27,10 27,00 27,10 26,90

3 28,20 28,60 28,20 28,00 27,90 27,90

4 28,20 27,80 27,50 27,50 27,30 27,40


(2)

Lampiran 4. Citra X-Ray Ikan

a.

Citra X Ray ikan Mas lateral aspect (kiri) dan dorsal aspect (kanan)

b.

Citra X Ray ikan Nila lateral aspect (kiri) dan dorsal aspect (kanan)


(3)

Lampiran 5. Analisis Statistik

Analisis Faktor

Correlation Matrix

Tinggi Kedalaman Ketinggian Relatif

Skewness Kurtosis Sv Target strength

Sa

Tinggi 1 0.074 -0.025 0.499 0.33 0.084 -0.158 0.062

Kedalaman 0.074 1 -0.765 -0.039 -0.041 -0.66 -0.676 -0.286 Ketinggian

Relatif -0.025 -0.765 1 0.153 0.153 0.445 0.48 -0.031 Skewness 0.499 -0.039 0.153 1 0.868 0.185 0.067 -0.041 Kurtosis 0.33 -0.041 0.153 0.868 1 0.109 0.022 -0.106 Sv 0.084 -0.66 0.445 0.185 0.109 1 0.879 0.668 Target

strength -0.158 -0.676 0.48 0.067 0.022 0.879 1 0.555 Sa 0.062 -0.286 -0.031 -0.041 -0.106 0.668 0.555 1

KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy.

0.64 Bartlett's Test of

Sphericity

Approx. Chi-Square

34,938.13

df 28

Sig. 0

Rotated Component Matrix

Component

1 2 3

Ketinggian Relatif

0.93 -0.006 0.081 Kedalaman -0.856 -0.347 0.035 Sa -0.073 0.939 -0.038

Sv 0.49 0.817 0.138

Target strength

0.591 0.712 -0.04 Skewness 0.121 -0.003 0.947 Kurtosis 0.168 -0.109 0.884 Tinggi -0.229 0.133 0.692


(4)

Analisis Cluster

Initial Cluster Centers

Cluster

1 2 3

Zscore: Tinggi 0.55 0.18 -0.88 Zscore: Kedalaman -1.03 -1.66 -1.09 Zscore: Ketinggian

Relatif

26.31 0.42 2.03 Zscore: Skewness 0.97 -0.55 6.87 Zscore: Kurtosis 0.54 -0.66 14.12

Zscore: Sv -0.28 4.41 0.43

Zscore: Target strength -0.25 3.65 0.89

Zscore: Sa -2.20 3.30 -1.83

Final Cluster Centers

Cluster

1 2 3

Zscore: Tinggi 0.55 -0.09 0.1 Zscore: Kedalaman -1.03 0.64 -0.74 Zscore: Ketinggian

Relatif

26.31 -0.58 0.66 Zscore: Skewness 0.97 -0.28 0.32 Zscore: Kurtosis 0.54 -0.23 0.27

Zscore: Sv -0.28 -0.64 0.73

Zscore: Target strength -0.25 -0.63 0.72

Zscore: Sa -2.2 -0.3 0.34

ANOVA

Cluster Error

F Sig. Mean

Square df

Mean

Square df

Zscore: Tinggi 24.61 2 0.992 5,727.00 24.815 0 Zscore: Kedalaman 1,357.55 2 0.526 5,727.00 2,579.60 0 Zscore: Ketinggian

Relatif

1,435.19 2 0.499 5,727.00 2,875.30 0 Zscore: Skewness 257.49 2 0.91 5,727.00 282.823 0 Zscore: Kurtosis 180.571 2 0.937 5,727.00 192.653 0 Zscore: Sv 1,345.97 2 0.53 5,727.00 2,538.11 0 Zscore: Target strength 1,302.68 2 0.545 5,727.00 2,388.36 0 Zscore: Sa 297.394 2 0.896 5,727.00 331.731 0


(5)

Analisis Diskriminan

Eigenvalues Function Eigenvalue % of

Variance

Cumulative %

Canonical Correlation

1 0.87 60.05 60.05 0.68

2 0.58 39.95 100 0.60

Wilks' Lambda Test of Function(s)

Wilks' Lambda

Chi-square df Sig.

1 through 2 0.34 6171.72 16 0

2 0.63 2602.91 7 0

Functions at Group Centroids

Kode Ikan

Function

1 2

mas -1.306 0.129 nila 0.516 -0.987 patin 0.790 0.858

Classification Resultsa

Kode Ikan Predicted Group Membership

Total Mas Nila Patin

Original Count Mas 1304 303 303 1910

Nila 128 1516 266 1910

Patin 128 164 1618 1910

% Mas 68.3 15.9 15.9 100.0

Nila 6.7 79.4 13.9 100.0 Patin 6.7 8.6 84.7 100.0 a. 77.5% of original grouped cases correctly classified.


(6)

Lampiran 6. Source Code Jaringan Saraf Tiruan

Source Code JST

Backpropagation

load input_biner.txt

load biner.txt

p=input_biner'; t=biner';

net = newpr(p,t,30); net=train(net,p,t);

[Y,Pf,Af,e,perf]=sim(net,p);

Source Code JST

Multi Layer Perceptron

load input_biner.txt

load biner.txt

p=input_biner'; t=biner';

net=newff(p,t,[3,6,5]); net.trainParam.lr = 0.5; net.trainParam.goal = 0; net=train(net,p,t);