Prevalensi Infestasi Kutu Kepala (Pediculus Humanus Capitis) Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Sabang, Provinsi Aceh

PREVALENSI INFESTASI KUTU KEPALA (Pediculus humanus capitis)
DAN FAKTOR RISIKO PENULARANNYA PADA ANAK SEKOLAH
DASAR DI KOTA SABANG PROVINSI ACEH

YUNI NINDIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Prevalensi Infestasi Kutu
Kepala (Pediculus humanus capitis) dan Faktor Risiko Penularannya pada Anak
Sekolah Dasar di Kota Sabang Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Oktober 2016
Yuni Nindia
B252140081

RINGKASAN
YUNI NINDIA. Prevalensi Infestasi Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis)
pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh. Dibimbing oleh UPIK
KESUMAWATI HADI dan RISA TIURA.
Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) merupakan ektoparasit obligat
yang menginfeksi rambut dan kulit pada kepala manusia. Infestasi kutu kepala
dapat menimbulkan penyakit pediculosis capitis. Infestasi kutu kepala dapat
menyerang siapa saja dari segala kelompok umur, jenis kelamin dan juga ras.
Infestasi kutu kepala paling banyak terjadi pada anak-anak. Kutu kepala tidak
menjadi vektor penyakit, namun infestasi kutu kepala pada anak-anak dapat
menimbulkan dampak berupa terjadinya iritasi pada kulit kepala serta dapat
menimbulkan gangguan seperti berkurangnya konsentrasi belajar dan juga dapat
mengurangi kualitas tidur anak dimalam hari akibat rasa gatal. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis prevalensi, derajat infestasi dan faktor-faktor risiko
yang berkaitan dengan terjadinya penularan infestasi kutu kepala pada anak

sekolah dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh.
Penelitian ini dilaksanakan pada dua kecamatan dan pada masing-masing
kecamatan ditentukan lima sekolah yaitu 2 dua sekolah di daerah urban dan tiga
sekolah di daerah rural. Sebanyak 350 orang anak sekolah dasar diperiksa rambut
dan kulit kepala anak untuk mendiagnosa infestasi kutu kepala dengan
menggunakan sisir satu kali pakai (single use comb/disposal comb) untuk
mencegah perpindahan kutu dari satu anak ke anak yang lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala masih menjadi
masalah kesehatan pada anak sekolah dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh
dengan angka prevalensi infestasi terjadi sebesar 27.1%. Prevalensi infestasi kutu
kepala pada masing-masing sekolah bervariasi dari 9.1% – 50.0 % dengan
prevalensi infestasi yang lebih tinggi terjadi pada sekolah dasar-sekolah dasar di
Kecamatan Sukakarya (31.4%). Prevalensi infestasi kutu kepala lebih tinggi
terjadi pada anak sekolah dasar di daerah rural (27.8%) dibanding dengan anakanak sekolah dasar di daerah urban (26.6%). Infestasi kutu kepala berhubungan
erat dengan perbedaan jenis kelamin. Prevalensi infestasi kutu kepala pada anak
perempuan sebesar 48.0% dan pada anak laki-laki sebesar 7.3%. Anak perempuan
memiliki risiko 11.8 kali lipat dapat tertular infestasi kutu kepala dibandingkan
anak laki-laki. Infestasi kutu kepala ditemukan pada anak sekolah dari umur 6 –
14 tahun, namun infestasi kutu kepala tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan berdasarkan perbedaan kelompok umur. Umumnya anak-anak yang

positif terinfestasi kutu kepala sudah berada pada derajat infestasi kutu kepala
sangat aktif dan dapat ditemukan lebih dari 10 ekor nimfa atau kutu kepala yang
hidup rambut dan kulit kepalanya.
Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi infestasi kutu kepala adalah (1)
karakteristik rambut yaitu panjang rambut sebahu yang memiliki risiko 4.7 kali
lipat dan panjang rambut lebih dari sebahu yang memiliki risiko 9.7 kali lipat
lebih berisiko, (2) kebiasaan tidur bersama orang lain dapat menyebabkan anak
memiliki risiko 2.1 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala, (3) memiliki saudara
kandung yang terinfestasi dan teman yang terinfestasi kutu kepala dapat memiliki
nilai risiko masing-masing adalah 2.8 dan 2.1 kali dapat lebih berisiko, (4)

infestasi kutu kepala dalam tiga bulan terakhir berisiko sebesar 6.9 kali lipat masih
terinfestasi kutu kepala pada saat pemeriksaan, (5) tidak pernah menggunakan
obat untuk mengobati infestasi kutu kepala dapat menyebabkan anak berisiko 3.0
kali lipat masih terinfestasi kutu kepala saat pemeriksaan. Faktor ekonomi
keluarga seperti pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua, jumlah saudara
kandung serta jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah menunjukkan tidak
ada hubungan yang signifikan dengan terjadinya infestasi kutu kepala pada anak
sekolah dasar.
Kata Kunci: Anak sekolah dasar, infestasi, kutu kepala (Pediculus humanus

capitis), Kota Sabang. Aceh.

SUMMARY
YUNI NINDIA. Prevalence of Head Lice (Pediculus humanus capitis)
Infestastion among Primary Schoolchildren in Sabang City, Aceh Province.
Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI dan RISA TIURA.
Head lice (Pediculus humanus capitis) is an obligate ectoparasite that
infected human hair and scalp. Head lice infestations lead to a disease called
Pediculosis capitis. Head lice infestations occur endemically and can affect
anyone of any age group, gender and race. However, the infestations mostly occur
among children. Head lice are not vectors for any diseases, yet head lice
infestations that are not treated lead to various effects such as irritation and
nuisances such as a reduced quality of sleep in children at night due to itching.
This study aimed to analyzed head lice prevalence, infestation level and risk
factors due to head lice infestation among primary schoolchildren in Sabang City,
Aceh Province.
This study was conducted in two districts and each district selected five
primary schools consist two primary schools in urban areas and three primary
schools in rural areas. A total of 350 schoolchildren was examined to diagnose
head lice infestation by a disposable comb (single use comb) in order to avoid

transmission of lice from one student to another.
The results showed that overall head lice infestation is a common health
problem among primary schoolchildren in Sabang City. The prevalence of head
lice infestation in Sabang city was 27.1% and range 9.1 – 50.0% on each school.
The head lice prevalence was higher in schools located in Sukakarya District
(31.4%) and in schools located in rural areas (27.8) than in urban areas (26.6%).
Head lice infestation closely related to difference gender, the prevalence in girls
was higher (48.0%) than boys (7.3%). Girls have about 11.8 times of risk can be
infected head lice infestation than boys. Head lice infestation occured among
primary schoolchildren in aged 6 – 14 years olds but there was no significant
relationship based to aged of group. In general, schoolchildren with head lice
infestation could be found more than 10 nymphs and adults.
Risk factors due to head lice infestation was (1) hair characteristics; children
with hair length above the shoulder have 4.7 times of risk and hair length
extended that shoulder have 9.656 times of risk can be infected head lice
infestation (2) co-sleeping habit with other person can caused 2.1 times of risk,
(3) 2.8 time of risk if they have sibling with head lice infestation and 2.1 time of
risk if they have friends with head lice infestation, (4) head lice infestation in last
three months can caused 6.9 times of risk still infested with head lice when
examine was conducted, (5) never treatment with pediculicide can caused 3.0

times of risk still infested with head lice when examine was conducted. Family
economic factors such as parents education and parents occupation, number of
sibling and number of family members who live at home showed no significant
relationship due to the head lice infestation among primary schoolchildren.
Key words: Head lice (Pediculus humanus capitis), Infestation, primary
schoolchildren, Sabang City. Indonesia

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PREVALENSI INFESTASI KUTU KEPALA (Pediculus humanus capitis)
DAN FAKTOR RISIKO PENULARANNYA PADA ANAK
SEKOLAH DASAR DI KOTA SABANG PROVINSI ACEH


YUNI NINDIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :

Dr drh Susi Soviana, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 ini ialah
Prevalensi Infestasi Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis) pada Anak Sekolah
Dasar di Kota Sabang, Provinsi Aceh.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada yang terhormat komisi pembimbing Ibu Prof drh Upik Kesumawati Hadi,
MS PhD dan Ibu drh Risa Tiuria, MS PhD atas bimbingan, arahan dan masukan
serta motivasi semangat yang diberikan kepada penulis selama pendidikan hingga
akhir penyelesaian studi. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Kepala
Dinas Pendidikan Kota Sabang dan Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan
Lanjutan Dinas Pendidikan Kota Sabang yang telah memberikan izin dan
mendukung pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada
seluruh Kepala Sekolah dan guru-guru dan anak-anak sekolah yang terlibat dalam
penelitian ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen di Mayor PEK
yang telah memberikan ilmunya, kepada para staf pada Bagian Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan (PEK) dan juga kepada teman-teman Pascasarjana
Program Studi PEK angkatan 2014 atas kebersamaan selama ini juga bantuan
serta motivasi yang diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Isfanda dan
Rahmat Aulia yang sudah membantu dalam pengumpulan data di lapangan, juga

kepada kak Yulidar yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk berbagi ilmu
dan pengalaman.
Ucapan terima kasih kepada suami tercinta, Wahyu yang telah memberi izin
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, yang
senantiasa selalu memberikan cinta, kasih sayang, motivasi semangat serta selalu
mendoakan untuk keberhasilan penulis. Tak lupa terima kasih kepada ayahanda
tercinta almarhum M. Djam dan Ibunda Sitti Rohana atas kasih sayang yang
selalu diberikan dan juga ibu mertua Basyariah. Terima kasih kepada abang,
kakak dan adik tercinta (Dharma Setiawan, Dharni Nuzulla, Dharli Syafriza dan
Maunida Isnin) beserta kakak, abang dan adik-adik ipar dan juga keponakankeponakan tersayang yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis.
Terima kasih juga diucapkan untuk seluruh keluarga besar penulis yang tidak
mungkin disebutkan satu persatu.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktur Politeknik
Kesehatan (Poltekkes) Aceh, Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes
Aceh dan Pusat Standarisasi, Sertifikasi dan Pendidikan Berkelanjutan Sumber
Daya Manusia Kesehatan (Pustanserdik), Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM) Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti tugas
belajar dan memperoleh pembiayaan sepenuhnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016
Yuni Nindia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

1


2 TINJAUAN PUSTAKA

3

Morfologi Kutu Kepala
Siklus Hidup Kutu Kepala
Transmisi Kutu Kepala
Dampak Infestasi Kutu Kepala
Screening Untuk Mendiagnosa Infestasi Kutu Kepala
Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pemeriksaan Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar
Penentuan Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala
Preservasi Spesimen dan Identifikasi Kutu Kepala
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kutu Kepala
Prevalensi Infestasi Kutu Kepala
Derajat Infestasi Kutu Kepala
Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala
5 SIMPULAN DAN SARAN

3
4
5
5
6
6
8
8
8
8
9
9
11
11
12
15
17
23

Simpulan
Saran

23
23

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
1

2
3
4

5

6

7

8

9

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di
Kota Sabang 2016 Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok
Umur
Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di
Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya di Kota Sabang 2016
Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di
Kota Sabang 2016 Berdasarkan Letak Lokasi Sekolah
Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square
Berdasarkan Karakeristik Rambut terhadap Prevalensi Infestasi
Kutu Kepala
Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square
Berdasarkan Perilaku Higiene Perorangan terhadap Prevalensi
Infestasi Kutu Kepala
Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square
Berdasarkan Keberadaan Saudara Kandung dan Teman bermain
yang Terinfestasi Kutu Kepala terhadap Prevalensi Infestasi
Kutu Kepala
Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square
Berdasarkan adanya Infestasi Kutu Kepala dalam Tiga Bulan
Terakhir dan Penggunaan Obat untuk pengobatan Infestasi Kutu
Terhadap Prevalensi Infestasi Kutu Kepala
Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square
Berdasarkan Jumlah Saudara Kandung dan Jumlah Anggota
Keluarga yang tinggal Serumah terhadap Prevalensi Infestasi
Kutu Kepala
Hasil Analisis Statistik Menggunakan Uji Chi-square
Berdasarkan Sosio Ekonomi Keluarga terhadap Prevalensi
Infestasi Kutu Kepala

13
14
15

17

18

19

20

21

22

DAFTAR GAMBAR
Kutu Kepala Dewasa (Pediculus humanus capitis) pada Anak
Sekolah Dasar di Kota Sabang
Telur Kutu Kepala (Nits) pada Anak Sekolah Dasar di Kota
Sabang
Derajat Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota
Sabang 2016

1
2
3

11
12
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) Penelitian
Pemeriksaan untuk Mendiagnosa Infestasi Kutu Kepala pada Anak
Sekolah Dasar di Kota Sabang
Analisis Data Menggunakan Program SPSS

28
29
30

1
1 PENDAHULUAN

Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) merupakan ektoparasit obligat
yang menyerang kulit kepala manusia. Kutu kepala hidup dan memperoleh
makanan, kehangatan serta kelembaban dari tubuh manusia (Yousefi et al. 2012).
Kutu kepala ditemukan di seluruh negara di dunia pada iklim yang berbeda-beda.
Infestasi kutu kepala dapat menyerang siapa saja dari segala kelompok umur, jenis
kelamin maupun ras (Doroodgar et al. 2014). Akibat infestasi kutu kepala dapat
menimbulkan penyakit yang disebut pediculosis capitis. Menurut Falgas et al.
(2008) infestasi kutu kepala paling banyak terjadi pada anak-anak.
Infestasi kutu kepala dapat menimbulkan dampak berupa iritasi pada kulit
kepala dan gangguan seperti berkurangnya konsentrasi belajar, berkurangnya
kualitas tidur di malam hari akibat rasa gatal dan gangguan sosial seperti rasa
rendah diri dan malu. Infestasi kutu kepala juga dapat menyebabkan terjadinya
anemia dan timbulnya infeksi sekunder akibat luka pada garukan karena rasa gatal
(Yousefi et al. 2012). Infestasi kutu kepala masih menjadi masalah pada
kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama pada anak-anak dengan tingkat
prevalensi 0.7 – 59% (Combescot-Lang et al. 2015), bahkan infestasi yang sangat
tinggi dilaporkan lebih dari 70% di Pakistan pada tahun 2015 (Lashari et al.
2015).
Penyakit akibat infestasi kutu kepala masih menjadi masalah dan dilaporkan
setiap tahunnya terjadi peningkatan dalam tiga dekade terakhir (Doroodgar et al.
2014), namun menurut Feldmeier and Heukelbach (2009) infestasi kutu kepala
masih dikategorikan sebagai penyakit yang terabaikan (neglected disease)
terutama pada negara miskin dan negara-negara berkembang. Infestasi kutu
kepala belum menjadi prioritas dan upaya pengendalian kutu kepala sangat jarang
dilakukan oleh masyarakat pada negara miskin dan negara yang sedang
berkembang.
Penelitian mengenai infestasi kutu kepala lebih baik jika dilakukan secara
regional karena prevalensi kutu dapat bervariasi sesuai dengan situasi sosial,
genetik dan karakteristik budaya suatu populasi (Borges and Mendes 2002).
Infestasi kutu kepala terutama pada anak-anak sekolah dasar setiap tahun
dilaporkan terjadi di berbagai negara, namun Indonesia masih sangat jarang
melaporkan tentang infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar. Infestasi kutu
kepala pada anak sekolah dasar di Yogyakarta adalah sebesar 19.6% di daerah
rural (Munusamy et al. 2014) dan sebesar 12.3% pada anak sekolah dasar di
daerah urban (Zhen et al. 2014).
Data mengenai prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah di daerah
lain belum banyak dilaporkan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa prevalensi
infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di Indonesia masih tetap ada hingga
saat ini. Kota Sabang merupakan daerah kepulauan dengan luas sekitar 122.14
Km2 yang secara administratif dibagi mejadi dua kecamatan yaitu Sukakarya dan
Sukajaya. Kota Sabang memiliki 25 sekolah dasar (SD), 5 Madrasah Ibtidaiyah
(MI) dan 1 buah sekolah dasar luarbiasa (SDLB) dengan jumlah siswa mencapai 4
444 orang anak (BPS Sabang 2015). Infestasi kutu kepala pada anak-anak sekolah
dasar di kota Sabang belum pernah dilaporkan. Mengingat dampak yang
ditimbulkan akibat infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar, maka sudah

2
saatnya dilakukan penelitian untuk mengkaji infestasi kutu kepala pada anak
sekolah dasar dan faktor risiko yang berhubungan dengan penularan infestasi kutu
kepala.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prevalensi dan derajat infestasi
kutu kepala serta menganalisis faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan
terjadinya penularan infestasi kutu kepala pada anak-anak sekolah dasar di Kota
Sabang. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan data serta gambaran
infestasi kutu kepala khususnya pada anak sekolah dasar di Kota Sabang, Provinsi
Aceh.

3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Ordo Phthiraptera dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu kutu penghisap
(sucking lice) darah yaitu sub ordo Anoplura dan kutu mengunyah (chewing lice)
yang terdiri atas tiga sub ordo yaitu Amblycera, Ishnocera dan Rhynchopthirina.
Kutu merupakan ektoparasit obligat yang memiliki inang yang spesifik. Dua
genus dari kutu penghisap yang merupakan parasit pada manusia yaitu Pthirus
dan Pediculus yang meliputi dua spesies yang penting dalam masalah kesehatan
yaitu Pthirus pubis dan Pediculus humanus. Keduanya merupakan spesies yang
penting dalam masalah kesehatan manusia. Pediculus humanus menimbulkan
masalah kesehatan yang penting dalam masyarakat yang terdiri atas dua ecotype
yaitu kutu kepala (Pediculus humanus capitis) dan kutu badan (Pediculus
humanus corporis) (Veracx and Raoult 2012).
Kutu kepala dan kutu badan memiliki anatomi yang hampir mirip,
perbedaan yang mencolok hanya pada preferensi tempat hidupnya. Kutu kepala
hidup pada rambut dan kulit kepala, meletakkan telurnya pada batang rambut,
sedangkan kutu badan bertelur pada pakaian yang jarang atau tidak dicuci dan
menghisap darah orang yang memakai pakaian tersebut (Pray 1999). Kutu kepala
dan kutu badan merupakan varietas dari satu spesies yang sama. Keduanya dapat
melakukan perkawinan (interbreeding) namun menghasilkan keturunan yang
fertil (Veracx and Raoult 2012).
Kutu badan dapat mentransmisikan tiga jenis bakteria penyebab penyakit
yaitu Rickettsia prowazekii dan Bartonella quintana dari sub kelompok
Proteobacteria dan Borrelia recurrentis dari kelompok spirocheta. Rickettsia
prowazekii menjadi agen penyebab penyakit epidemic thypus dan Borrelia
recurrentis menyebabkan louse borne relapsing fever serta Bartonella quintana
dapat menimbulkan penyakit trench fever (Howard and James 1979). Dua jenis
bakteri lain juga ditemukan dalam tubuh kutu badan yaitu Acinobacter spp. dan
Serratia marcescens namun tidak diketahui pasti apakah dapat ditularkan ke
manusia saat menghisap darah (Veracx and Raoult 2012).
Kutu kepala tidak bertindak sebagai vektor penyakit pada manusia namun
demikian dapat ditemukan adanya infeksi bakteri Bartonella quintana pada kutu
kepala (Veracx and Raoult 2012). Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) hanya
ditemukan sebagai parasit pada manusia dan tidak dapat menular ke anjing,
kucing atau hewan peliharaan lainnya (Pray 1999).

Morfologi Kutu Kepala
Kutu kepala berukuran 1 – 3 mm dan berwarna keabu-abuan. Tubuh dewasa
terdiri atas tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen. Bagian kepala berbentuk
mengerucut dan memiliki antena pendek berbentuk filiform dengan lima segmen.
Mata majemuk biasanya kurang berkembang dan bahkan tidak ada. Bagian mulut
termodifikasi menonjol terdiri atas tiga bagian yang berasal dari fusi rahang atas
(maxillary). Toraks berbentuk kecil dan menyatu, sedangkan abdomen memiliki
sembilan segmen. Tiga pasang kaki yang berkembang dengan baik yang terdiri
atas coxa, trochanter, femur, tibia dan tarsus (Marjan et al. 2015). Pada ujung
tarsus berbentuk seperti cakar untuk menggenggam pada rambut. Kutu mampu

4
bergerak dengan kecepatan hingga 23 cm per menit, namun tidak mampu terbang
ataupun melompat (Nutanson et al. 2008).
Kutu kepala berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kutu badan dan
memiliki kitin yang lebih kuat. Tubuhnya berwarna lebih gelap dengan lekukan
yang terlihat jelas pada bagian lateral antar segmen di abdomen. Perbedaan
lainnya antara kedua ecotype terlihat pada antena kutu badan yang lebih panjang
dibandingkan dengan antena pada kutu kepala. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan beradaptasi pada kegelapan. Kutu kepala lebih rentan terhadap
kelaparan dibandingkan dengan kutu badan hal ini terjadi karena kutu badan
beradaptasi untuk mampu bertahan pada pakaian yang tidak dipakai selama waktu
yang lama. Selain itu, kutu kepala memproduksi telur lebih rendah dengan
persentase telur yang menetas juga lebih rendah. Kutu kepala bergerak lebih aktif
pada suhu yang rendah (Veracx and Raoult 2012).
Penyebaran kutu kepala hanya terbatas pada daerah kulit atau rambut kepala
terutama di belakang kepala dan di dekat telinga pada anak-anak. Telur dilekatkan
pada pangkal rambut yang sangat dekat dengan kulit kepala. Karena pertumbuhan
rambut diperkirakan satu cm perbulan, maka jarak antara letak telur kutu terjauh
terhadap kulit kepala dapat menunjukkan sudah berapa lama infestasi kutu kepala
terjadi (Soviana 2006).

Siklus Hidup Kutu Kepala
Dalam hidupnya kutu kepala mengalami metamorfosis yang tidak sempurna
yang diawali dengan telur, nimfa, dan dewasa. Telur kutu disebut nits (lingsa,
jawa) (Hadi dan Soviana 2010). Jumlah telur yang dihasilkan oleh satu ekor induk
kutu dapat mencapai 10 – 300 butir telur selama hidupnya Kutu betina bertelur 6 –
8 butir per hari yang dilekatkan pada rambut inangnya dengan perekat khusus
yang disebut cement Telur berbentuk oval dan memiliki operculum pada bagian
ujungnya. Telur berwarna putih keabu-abuan, mengkilap atau putih keperakan.
Telur diletakkan pada batang rambut pada jarak 2 – 4 mm dari kulit kepala
(Abdulla 2015; Marjan et al. 2015).
Setelah kawin kutu kepala betina dewasa akan menghasilkan telur yang
terbungkus cangkang (nits) dan diletakkan pada batang rambut. Telur akan
menetas 7 – 12 hari kemudian dan berkembang menjadi nimfa dan dewasa yang
terjadi dalam 9 – 15 hari. Siklus perkembangan kutu kepala dari telur sampai
menghasilkan telur kembali terjadi dalam waktu sekitar 3 minggu (Finlay and
MacDonald 2008).
Selama masa inkubasi telur membutuhkan iklim yang lembab dan hangat
pada inang. Suhu yang optimal untuk perkembangan telur yaitu antara 29 – 32 0C.
Telur akan menetas menjadi nimfa yang merupakan bentuk miniatur dari dewasa
tetapi memiliki organ reproduksi yang belum sempurna. Stadium nimfa akan
mengalami tiga kali molting dari nimfa instar satu, dua dan tiga. Nimfa instar tiga
akan berubah menjadi kutu dewasa yang mencapai ukuran maksimal sekitar 4.5
mm. Perkembangan kutu kepala pada inang mulai dari telur sampai menjadi
dewasa pada negara tropis hanya membutuhkan sekitar dua minggu. Kutu jantan
dan betina menghisap darah inangnya setiap waktu sejak stadium nimfa hingga
dewasa (Marjan et al. 2015).

5
Nimfa berkembang menjadi kutu dewasa setelah mengalami tiga kali
molting dalam 8 – 10 hari setelah menetas. Nimfa instar pertama berukuran 400 –
600 µm, nimfa instar kedua 700 – 900 µm dan nimfa instar akhir dapat mencapai
ukuran 1000 – 1400 µm. Perbedaan juga tampak terlihat pada morfologi dan
anatomi mulut pada nimfa instar kedua dan nimfa instar ketiga yaitu adanya
perkembangan bagian mulut agar dapat menghisap darah. Cakar pada tarsi
berkembang dengan baik pada nimfa instar ketiga (Marjan et al. 2015).
Kutu kepala dewasa mampu hidup selama 23 – 30 hari (Marjan et al. 2015).
Setelah kawin kutu betina dewasa akan menghasilkan telur yang terbungkus
cangkang (nits) dan diletakkan pada batang rambut. Siklus perkembangan kutu
kepala dari telur sampai menghasilkan telur kembali terjadi dalam waktu sekitar 3
minggu (Finlay and MacDonald 2008). Pada pemeliharaan di laboratorium kutu
dapat berkembang baik dan mencapai kematangan seksual pada suhu 23 0C dan
28 0C. Perkembangan kutu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
pencahayaan di dalam ruangan, karena ketika moulting nimfa sangat sensitif
terhadap cahaya dan bisa mati (Marjan et al. 2015).

Transmisi Kutu Kepala
Kutu kepala merupakan crawling insect, tidak dapat melompat maupun
terbang (Devore et al. 2015). Penularan kutu rambut terutama terjadi akibat
kontak antara inang seperti anak-anak yang tidur bersama pada satu ranjang atau
saling bergantian menggunakan sisir yang terkontaminasi rambut berkutu
(Soviana 2006). Mekanisme utama dalam transmisi kutu kepala terjadi melalui
kontak langsung antara inang ke inang dan melalui benda mati. Transmisi melalui
benda mati dapat terjadi karena: 1). rambut yang mengandung kutu kepala atau
telurnya jatuh; 2). tiupan angin; 3). gerakan statis dan 4). kontak dengan kutu yang
jatuh dan merangkak di lantai (Lee et al. 2005).
Stadium kutu dewasa, nimfa dan juga telur bisa berpindah menuju inang
baru. Transmisi tersebut dapat terjadi karena adanya kondisi tekanan misalnya
saat inang melakukan grooming. Pada situasi tertekan, kutu dapat melakukan
pergerakan dengan cepat menjauh dari bagian yang mengalami gangguan. Kutu
mudah bisa copot dan jatuh karena tiupan angin, menyisir, handuk atau juga
transfer pasif saat dua bahan berdekatan. Pada semua stadium kutu kepala cukup
aktif bergerak, hanya instar 1 menunjukkan kecenderungan sangat kurang
bergerak berpindah dari satu inang ke inang yang lain. Kutu kepala dewasa adalah
yang paling berperan dalam memulai kasus infestasi kutu kepala yang baru.
Tindakan pengendalian difokuskan pada mengendalikan stadium dewasa (Lee et
al. 2005).

Dampak Infestasi Kutu Kepala
Saat menghisap darah kutu akan menginjeksikan cairan saliva agar terjadi
vasodilatasi. Cairan saliva dapat memberikan respon pada inang berupa rasa gatal
(pruritus). Feses kutu juga dapat menimbulkan iritasi pada kulit kepala akibat
menggaruk saat timbul rasa gatal, bahkan dapat menyebabkan infeksi pada kulit

6
kepala namun umumnya tidak menimbulkan morbiditi (Hansen 2004). Infeksi
sekunder dapat diperparah dengan adanya mikroba maupun jamur. Pada akhirnya
dapat membentuk kerak berwarna gelap (hiperkeratinasi) dan penebalan di
permukaan kulit kepala terutama pada tempat-tempat predileksi kutu. Tanda khas
pada permukaan kulit kepala ini dikenal sebagai Vagabond’s disease.
Keberadaan kutu kepala dapat menimbulkan gangguan emosional,
menimbulkan masalah dalam status sosial di kelas serta mengganggu kemampuan
belajar baik pada anak anak maupun orang dewasa (Hansen 2004). Infestasi kutu
kepala juga dapat menyebabkan kekurangan zat besi dan anemia. Menurut Speare
et al. (2006) pada anak yang terinfestasi kutu dewasa sekitar 30 ekor dapat
kehilangan darah sekitar 0.008 ml perhari. Hal ini dapat berpotensi menimbulkan
terjadinya anemia dan kekurangan zat besi.
Di negara Amerika Serikat konsekuensi akibat infestasi kutu kepala dapat
mempengaruhi hubungan sosial dan kehadiran anak-anak ke sekolah. Sekolahsekolah umumnya memberlakukan peraturan “no nits policies”. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengontrol infestasi kutu kepala di sekolah. Anak anak yang
terbukti terinfestasi kutu tidak diizinkan hadir dan bersekolah sampai benar-benar
bebas dari infestasi kutu kepala. Kebijakan tersebut dapat menyebabkan anakanak kehilangan kesempatan berharga untuk mengikuti pelajaran di sekolah
(Hansen 2004; Falagas et al 2008). Kebijakan ini bukan hanya berlaku di
Amerika, namun hampir di seluruh sekolah pada negara-negara berkembang telah
menerapkan kebijakan “no nit policies” seperti Canada, Vancouver, Australia, dan
Jerman.

Screening untuk Mendiagnosa Infestasi Kutu Kepala
Kriteria standar untuk mendiagnosa infestasi kutu kepala adalah dengan
mengidentifikasi dan menemukan adanya kutu dan telur kutu yang masih hidup di
rambut dan kulit kepala. Penggunaan sisir serit adalah cara yang paling efektif
untuk mendeteksi kutu hidup dan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan
pemeriksaan manual atau visual saja. Bila ditemukan adanya kutu yang hidup
selama pemeriksaan menunjukkan bahwa infestasi kutu aktif sedangkan bila
hanya dijumpai telur kutu yang kosong menunjukkan infestasi telah terjadi
sebelumnya (Degerli et al. 2012).
Menurut Feldemeier (2010) diagnosa infestasi kutu kepala dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan secara visual pada rambut dan kulit kepala atau
dengan menggunakan sisir kutu (serit) baik dalam keadaan basah ataupun kering.
Pemilihan metode yang digunakan tergantung dari tujuan pemeriksaan yang akan
dilakukan, apakah untuk mendeteksi infestasi kutu kepala yang aktif, melihat
keberadaan tahap perkembangan, melihat ada tidaknya telur kutu atau hanya
untuk mengidentifikasi lama waktu infestasi. Untuk mengidentifikasi
perkembangan kutu kepala dilakukan dengan melakukan pengamatan visual pada
lima titik predileksi yaitu pada rambut, kulit kepala, pelipis, di belakang telinga
dan tengkuk (tingkat keakuratan 80 – 90%).
Metode yang optimal untuk mendiagnosa kutu kepala yang aktif yaitu
dengan menggunakan sisir kutu (serit) basah dengan tingkat keakuratan 90%
bahkan pada anak-anak dengan tingkat infestasi kutu yang rendah (Feldemeier

7
2010). Menurut Mumcuoglu et al. (2001) pemeriksaan yang dilakukan dengan
cara menyisir rambut empat kali lebih efektif dan dua kali lebih cepat untuk
mendiagnosa infestasi kutu kepala. Pemeriksaan secara visual secara langsung
tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosa keberadaan kutu kepala yang aktif.

Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala
Review sistematis dan meta-analisis yang dilakukan oleh Moosazadeh et al.
(2015) terhadap data-data laporan prevalensi infestasi kutu kepala di Iran dan di
negara-neraga lain disimpulkan bahwa ada banyak faktor yang dapat berpengaruh
terhadap terjadinya infestasi kutu kepala pada anak-anak sekolah dasar. Faktor –
faktor yang mempengaruhi terjadinya infestasi kutu kepala pada anak sekolah
dasar diantaranya adalah:
1 Panjang rambut (8 dari 14 penelitian melaporkan hubungan yang
signifikan antara panjang rambut dengan infestasi kutu kepala)
2 Penggunaan bersama (sharing) personal hygiene items (8 dari 15
penelitian memperlihatkan hasil yang signifikan pada anak-anak yang
menggunakan sisir bersama)
3 Tingkat pendidikan ibu (27 penelitian melaporkan bahwa risiko terjadinya
infestasi kutu kepala lebih tinggi pada anak-anak yang memiliki ibu yang
berpendidikan rendah)
4 Tingkat pendidikan ayah (21 dari 27 penelitian melaporkan adanya
hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah dengan risiko
terjadinya infestasi kutu kepala)
5 Pekerjaan ayah (19 penelitian memperlihatkan hubungan yang signifikan
antara pekerjaan ayah dengan infestasi kutu kepala)
6 Pekerjaan ibu (23 penelitian memperlihatkan hubungan yang signifikan).
Lima penelitian melaporkan bahwa pada anak-anak yang memiliki ibu
tidak bekerja (ibu rumah tangga) dan ayah bekerja berisiko tinggi
terinfestasi kutu kepala dan pada 14 penelitian juga melaporkan bahwa
risiko infestasi kutu kepala yang tinggi juga terjadi pada anak-anak yang
memiliki ayah dan ibu tidak bekerja.
7 Jumlah anggota keluarga (17 dari 22 penelitian memperlihatkan adanya
risiko infestasi kutu yang lebih tinggi terjadi pada anak yang tinggal rumah
yang memiliki anggota keluarga yang banyak)
8 Higiene perorangan; yaitu akses untuk kamar mandi (7 penelitian
melaporkan terjadi infestasi yang tinggi pada anak-anak yang tidak
memiliki kamar mandi di rumah) dan frekuensi mandi (14 penelitian
melaporkan infestasi kutu yang tinggi terjadi pada anak-anak yang jarang
mandi dalam seminggu.

8
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional study yang dilaksanakan
pada bulan Februari – April 2016 pada 10 sekolah dasar di dua kecamatan di Kota
Sabang, Provinsi Aceh. Lima sekolah dasar ditentukan pada masing-masing
kecamatan yang terdiri atas dua sekolah dasar di daerah urban (berada di sekitar
ibukota kecamatan dan merupakan sekolah dasar favorit) dan tiga sekolah dasar di
daerah rural (berada jauh dari ibukota kecamatan/di daerah pesisir). Jumlah siswa
yang diperiksa yaitu sebanyak 350 orang yang ditentukan dari besar populasi
dengan menggunakan rumus Cochran (Cochran 1991; Sastroasmoro dan Ismael
2014). Jumlah siswa pada masing-masing sekolah ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah siswa di sekolah tersebut.

Pemeriksaan Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar
Pemeriksaan dilakukan di ruangan terpisah antara siswa laki-laki dan
perempuan. Setiap anak diperiksa dengan menggunakan sisir satu kali pakai
(single use comb/disposal comb) untuk menghindari berpindahnya kutu dari satu
anak ke anak yang lain. Pemeriksaan kutu kepala dilakukan selama 5 menit di
dalam ruangan yang memiliki cahaya penerangan yang baik. Rambut terlebih
dahulu disisir dengan menggunakan sisir biasa agar tidak kusut dan acak-acakan
serta untuk memudahkan dalam pemeriksaan. Rambut yang lebat dan cenderung
kering dan kusut disisir dengan sisir yang memiliki kerapatan lebih jarang supaya
tidak menimbulkan rasa sakit saat disisir. Anak dengan gangguan serta kelainan
rambut dan kulit kepala tidak dilibatkan sebagai sampel dalam penelitian ini.
Seluruh bagian rambut diperiksa secara seksama terutama di pelipis,
tengkuk dan belakang telinga. Anak yang yang dinyatakan positif terinfeksi kutu
kepala yaitu apabila ditemukan satu telur kutu kepala yang hidup di dekat kulit
kepala atau bila ditemukan setidaknya satu ekor nimfa atau kutu kepala dewasa
(Pollack et al. 2000). Jumlah telur kutu yang masih hidup hanya dihitung secara
visual. Untuk memperoleh kutu kepala dewasa dan nimfa yang masih aktif
dilakukan dengan menyisir rambut menggunakan sisir serit kutu selama 3 – 5
menit.
Menurut Gutierrez et al. (2012) karakteristik rambut yang perlu
diperhatikan dalam kaitan terjadinya infestasi kutu kepala adalah 1). jenis rambut
yaitu lurus, bergelombang (ikal) atau keriting; 2). ketebalan rambut yaitu tebal,
sedang atau tipis; dan 3). panjang rambut yaitu pendek (diatas kerah dan telinga),
sedang (diatas bahu), panjang (lebih dari bahu). Karakteristik rambut tersebut
ditentukan secara visual.

Penentuan Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala
Survei epidemiologi dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi faktor risiko
infestasi kutu kepala. Data yang dikumpulkan yaitu mengenai jenis kelamin, usia,

9
karakteristik rambut. Pengumpulan data lainnya dilakukan dengan menggunakan
form pendataan yang meliputi variabel umur, jenis kelamin, tingkat kelas belajar,
tempat tinggal, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah saudara
kandung, jumlah anggota keluarga dalam satu rumah, kebiasaan tidur dan
penggunaan barang bersama yaitu sisir. Umur anak dikelompokkan menjadi 3
kelompok yaitu umur 6 – 8 tahun , 9 – 11 tahun, 12 – 14 tahun.
Preservasi Spesimen dan Identifikasi Kutu Kepala
Spesimen kutu yang diperoleh di lapangan dikumpulkan dan dimasukkan
kedalam botol koleksi yang sudah diisi alkohol 70%. Spesimen dibawa ke
Laboratorium Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Dramaga
Bogor untuk dibuat spesimen kaca dan diidentifikasi.
Pembuatan slide preparat dilakukan dengan menggunakan metode Hadi dan
Soviana (2010). Koleksi kutu kepala yang dikumpulkan dalam alkohol 70%
dibilas dengan menggunakan aquades dan dimasukkan kedalam tabung reaksi
yang berisi KOH 10%. Tabung dipanaskan namun tidak sampai mendidih agar
kitin kutu menipis. Kutu kemudian dibilas dengan air sampai bersih dan bila
abdomen masih menggembung maka ditusuk dengan jarum atau ditekan secara
perlahan supaya isinya dapat dikeluarkan.
Proses dehidrasi bertahap dilakukan dengan menggunakan alkohol 70%,
85% dan 95%. Pada masing-masing fase dehidrasi dilakukan sekitar 10 menit.
Selanjutnya proses clearing dilakukan setelah tahap dehidrasi dengan merendam
kutu kedalam minyak cengkeh selama 15 – 30 menit dan dilanjutkan mencuci
dengan menggunakan larutan xylol. Jika pada pencucian pertama kali terlihat
berkabut, xylol dibuang dan diganti dengan larutan yang baru. Spesimen yang
sudah bersih kemudian diletakkan pada object glass yang telah diberi canada
balsam dan ditutup dengan cover glass. Kemudian slide dimasukkan kedalam
inkubator atau dibiarkan pada suhu ruangan selama 7 – 10 hari agar canada
balsam mengeras.
Identifikasi kutu kepala dilakukan dengan menggunakan monograph kunci
identifikasi kutu Ferris (1935) dan Tuff (1977), serta kunci identifikasi bergambar
(Stojanovich and Pratt dalam CDC [tahun tidak diketahui]).

Analisis Data
Prevalensi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar
Prevalensi infestasi kutu kepala diukur berdasarkan persentase jumlah anak
sekolah dasar yang positif terinfestasi kutu kepala dibagi dengan total jumlah anak
sekolah dasar yang diperiksa.
Derajat Infestasi Kutu Kepala
Derajat infestasi dikategorikan sebagai tingkat 1 = bila tidak ditemukan
adanya infestasi kutu kepala, tingkat 2 = bila ditemukan adanya cangkang telur

10
kutu yang kosong atau mati lebih dari satu di rambut, tingkat 3 = bila ditemukan
ada infestasi kutu baru dengan probabilitas kutu aktif yang rendah, yaitu bila
ditemukan 1 – 10 telur kutu kurang dari 1 cm dari kulit kepala dan tidak
ditemukan telur kutu yang kosong atau tahap perkembangan lainnya. Tingkat 4 =
bila ditemukan kutu baru dengan probabilitas kutu aktif yaitu ditemukan lebih dari
10 telur kutu hidup pada rambut kurang dari 1 cm dari kulit kepala dan tanpa telur
yang kosong atai tanpa tahap perkembangan lainnya, tingkat 5 = bila ditemukan
infestasi kutu kepala aktif, yaitu ditemukan lebih dari 10 telur kutu yang hidup
kurang dari 1 cm dari kulit kepala dan ditemukan kutu dalam tahap perkembangan
nimfa maupun dewasa (Catala et al. 2005).
Faktor Risiko Infestasi Kutu Kepala
Uji statistik dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan dari
variabel yang diteliti (umur, jenis kelamin, karakteristik rambut, higiene
perorangan, pendidikan dan pekerjaan orang tua, jumlah saudara kandung, dan
jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah) sebagai faktor risiko terjadinya
infestasi kutu kepala. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji statistik chisquare. Taraf signifikansi yang digunakan 95% dan nilai kemaknaan 5%. Analisis
multivariat menggunakan logistic regression untuk menampilkan nilai odds ratio
(OR).

11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kutu Kepala
Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) berbentuk pipih dorsoventral
dengan tiga bagian tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen dengan ukuran 2
2.7 mm. Kutu dewasa berwarna keabu-abuan, memiliki antena pendek berbentuk
filiform dengan lima segmen. Kutu memiliki tiga pasang kaki yang berkembang
dengan baik yang terdiri atas coxa, throcanter, femur, tibia dan tarsus. Panjang
kaki depan, tengah dan belakang hampir sama panjang. Ujung tarsus berbentuk
seperti cakar (claws) yang berfungsi untuk menggenggam pada batang rambut
(Gambar 1).
Perbedaan jantan dan betina tampak pada bentuk abdomen jantan yang lebih
ramping dengan bagian ujung abdomen yang membulat. Abdomen betina lebih
besar dengan ujung membentuk seperti huruf v. Kutu kepala jantan memiliki alat
kelamin yaitu aedeagus (penis). Kutu kepala betina memiliki terminal portion
yang disebut gonopod dan uterine gland. Uterine gland mengeluarkan cairan
cement seperti lem yang berfungsi untuk melekatkan telur pada rambut agar tidak
mudah lepas. Telur berwarna putih keabu-abuan, mengkilap atau putih keperakan
dan berbentuk oval. Pada bagian ujung telur memiliki operculum (Gambar 2)
yang akan membuka pada saat telur menetas.
Morfologi dan ukuran kutu yang diperoleh dalam penelitian ini tidak
berbeda dengan morfologi kutu yang dalam penelitian lainnya (Marjan et al.
2015; Abdulla 2015). Menurut Marjan et al. (2015) kutu dewasa memiliki
urukuran 1- 3 mm. Bentuk nimfa hampir sama dengan kutu dewasa, perbedaanya
hanya tampak pada ukuran abdomen karena adanya peningkatan segmen
abdomen. Kutu tidak mampu terbang ataupun melompat, namun mampu bergerak
cepat dengan kecepatan hingga 23 cm per menit (Nutanson et al. 2008). Telur
diletakkan pada batang rambut pada jarak 2 – 4 mm dari kulit kepala dan dapat
melekat erat pada rambut karena cairan cement. Pada operculum terdapat
aeropyles yang dibutuhkan untuk respirasi embrio (Abdulla 2015).

1

a

2

a

b
b
c

d

Gambar 1 Kutu kepala dewasa (Pediculus humanus capitis) pada anak sekolah dasar di Kota
Sabang (menggunakan optilab dengan perbesaran mikroskop 1000x).
(1) Jantan, (2) Betina, (a) Claws, (b) Spirakel, (c) Penis dan (d) Gonopod

12

a

b
Gambar 2 Telur Kutu Kepala (nits) yang masih hidup pada rambut anak sekolah dasar di Kota
Sabang (menggunakan optilab dengan perbesaran mikroskop 100x).
(a) operculum, (b) cement

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala
Hasil pemeriksaan langsung untuk mendiagnosa infestasi kutu kepala pada
350 orang anak sekolah dasar di Kota Sabang diperoleh 95 orang anak positif
terinfestasi kutu kepala dengan angka prevalensi infestasi sebesar 27.1%. Hal ini
menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala masih menjadi masalah kesehatan pada
anak-anak sekolah dasar di Kota Sabang.
Angka prevalensi infestasi kutu kepala dalam penelitian ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta yaitu sebesar
12.3% (Zhen 2014) dan 19.6% (Munusamy 2014). Infestasi kutu kepala juga
dilaporkan menjadi masalah kesehatan pada anak-anak sekolah dasar di berbagai
negara di dunia dengan angka prevalensi bervariasi mulai dari 0.7 – 59% bahkan
dapat dijumpai dengan infestasi yang sangat tinggi yaitu lebih dari 70%
(Combescot-Lang et al.2015; Lashari et al. 2015). Laporan prevalensi infestasi
kutu kepala pada anak-anak sekolah dasar dari manca negara dalam lima tahun
terakhir diantaranya yaitu sebesar 0.7% terjadi pada daerah Kashan Iran Tengah
(Doroodgar et al. 2014); 1.12% dari total 1771 siswa yang diperiksa pada anakanak sekolah dasar di daerah rural Sirjan, Iran Selatan (Yousefi et al. 2012); 8.8%
dilaporkan terjadi pada anak sekolah dasar di Iran Moosazadeh et al (2015); pada
daerah timur Bangkok, Thailand angka infestasi pada anak sekolah terjadi sebesar
23.32% (Rassami and Soonwera 2012); 42.7% di Bahia Blanca Argentina
(Guiterrez et al. 2012) dan infestasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 74.24% tejadi
pada anak sekolah di Pakistan (Lashari et al. 2015).
Prevalensi infestasi kutu kepala ditemukan lebih tinggi terjadi pada anak
perempuan (48.0%) dibandingkan anak laki-laki (7.3%), sebagaimana tersaji pada
Tabel 1. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan terjadinya infestasi kutu kepala (p < 0.05).

13
Tabel 1
Variabel

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota
Sabang 2016 Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur.
Jumlah siswa yang
diperiksa

Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
Total
2 Kelompok Umur
6–8
9 – 11
12 – 14
Total

Jumlah yang
positif

Prevalensi
(%)

Nilai p
0.00*

1

171
179
350

82
13
95

48.0
7.3
27.1

145
173
32
350

41
47
7
95

28.3
27.2
21.9
27.1

0.54

Ket: * Signifikan pada taraf 95%

Anak perempuan di Kota Sabang umumnya menggunakan kerudung saat
berada di sekolah. Penggunaan kerudung (jilbab) mungkin dapat membatasi
transmisi kutu kepala dari satu anak perempuan ke temannya saat berada di
sekolah, namun transmisi kutu kepala dapat terjadi pada saat bermain diluar jam
sekolah. Kondisi rambut dan kulit kepala cenderung menjadi lebih lembab karena
saat berkerudung dan menggunakan kerudung pada saat rambut masih basah
setelah keramas dapat menjadikan rambut sebagai tempat yang disenangi kutu
untuk berkembang. Kebiasaan anak perempuan juga lebih sering melakukan
kontak yang lebih dekat, senang bermain dan tidur bersama-sama dan bertukar
aksesoris rambut dengan teman atau saudaranya dan juga memiliki rambut yang
lebih panjang diduga dapat menjadi jalur transmisi infestasi kutu kepala. Anak
laki-laki lebih jarang melakukan kontak saat bermain dibandingkan anak
perempuan.
Hal ini serupa dengan laporan di Yogyakarta, menurut Zhen (2014) infestasi
kutu kepala lebih banyak terjadi pada anak perempuan. Hal yang sama juga
dilaporkan terjadi di manca negara (Moosazadeh et al. 2015). Menurut Rassami
and Soonwera (2012) anak perempuan memiliki kebiasaan bermain bersama
teman-temannya dalam kelompok kecil dan lebih sering mengalami kontak lebih
dekat bersama temannya (head to head contact). Head to head contact merupakan
jalur aktif untuk terjadinya transmisi kutu kepala sedangkan penularan pasif dapat
terjadi pada penggunaan bersama aksesoris seperti sisir dan jepit rambut.
Prevalensi infestasi berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa
infestasi lebih banyak terjadi pada anak dalam kelompok umur 6 – 8 tahun, namun
tidak memperlihatkan perbedaan dengan kelompok umur lainnya. Anak-anak
diatas umur 5 tahun biasanya sudah bisa melakukan aktivitas mandi dan mencuci
rambut sendiri, namun diduga masih kurang memperhatikan dengan baik aspek
higiene perorangan. Uji chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara kelompok umur dengan terjadinya infestasi kutu kepala (p >
0.05).
Menurut Akturk et al. (2012) epidemiologi infestasi kutu kepala sering
terjadi pada anak umur 4 – 14 tahun dengan kelompok umur yang banyak
terinfestasi kutu kepala adalah pada umur 7 – 13 tahun. Di Sivas Turki infestasi
lebih tinggi dilaporkan terjadi pada anak umur 6 – 12 tahun dengan infestasi yang

14
tertinggi dijumpai pada anak umur 9 tahun (Degerli et al. 2012). Menurut Azni
(2014) tingkat infestasi meningkat seiring bertambahnya usia dan kenaikan kelas.
Masalah higiene perorangan terutama mandi dan mencuci rambut pada anak
perempuan yang masih kecil biasanya masih berada dalam pengawasan orang tua
khususnya ibu, namun seiring bertambahnya umur pengawasan tersebut semakin
berkurang. Hal ini menyebabkan infestasi kutu kepala lebih tinggi ditemukan pada
anak-anak yang lebih besar.
Uji statistik menggunakan model regresi logistik menunjukkan bahwa jenis
kelamin berperan sebagai faktor risiko terjadinya infestasi kutu kepala (Sig <
0.05) dengan nilai Odds Ratio (OR) sebesar 11.8 (Lampiran 3.3). Hal ini diartikan
bahwa anak perempuan berisiko 11.8 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala
dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun infestasi kutu kepala yang lebih
tinggi pada anak perempuan bukan mutlak didasari karena adanya perbedaan jenis
kelamin, akan tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya.
Beberapa laporan infestasi kutu kepala pada anak sekolah dasar di luar
negeri juga menemukan hasil yang tidak jauh berbeda. Anak perempuan memiliki
risiko yang lebih tinggi dapat tertular infestasi kutu kepala lebih tinggi
dibandingkan dengan anak laki-laki. Di negara Turki anak perempuan di kota
Izmir berisiko 3.14 kali lipat (Karakus et al. 2014) dan anak-anak perempuan di
daerah Koaceli berisiko 4.99 kali lipat (Akturk et al. 2012). Di Iran anak-anak
perempuan lebih berisiko 5.5 kali lipat dapat terinfestasi kutu kepala di
bandingkan anak laki-laki (Moosazadeh et al. 2015) dan di Thailand anak
perempuan 40 kali lipat lebih berisiko (Rassami and Soonwera 2012).
Prevalensi infestasi kutu kepala pada anak sekolah di Kecamatan Sukakarya
adalah sebesar 31.4% dan 22.2% di Kecamatan Sukajaya sebagaimana tersaji
pada Tabel 2. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan bahwa infestasi kutu kepala
masih menjadi masalah pada masing-masing sekolah dengan angka prevalensi
infestasi yang bervariasi dari 9.1% – 50.0 %.
Tabel 2

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di
Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya Kota Sabang 2016.

Siswa yang diperiksa
L
P
Kecamatan Sukakarya
SD Neg A
32
35
SD Neg B
31
24
SD Neg C
11
13
SD Neg D
8
8
SD Neg E
14
12
Total
96
92
Kecamatan Sukajaya
SD Neg F
19
18
SD Neg G
14
19
SD Neg H
17
13
SD Neg I
26
19
SD Neg J
7
10
Total
83
79

Nama Sekolah

Siswa terinfestasi
L
P

Total siswa
terinfestasi

Prevalensi
(%)

0
3
2
0
2
7

17
17
7
8
3
52

17
20
9
8
5
59

25.4
36.4
37.5
50.0
19.2
31.4*

2
0
1
1
1
5

9
3
4
9
6
31

11
3
5
10
7
36

29.7
9.1
16.7
22.2
41.2
22.2*

Ket: L: Laki-laki; P: Perempuan
*
Angka prevalensi pada masing-masing kecamatan

15
Tabel 3

Prevalensi Infestasi Kutu Kepala pada Anak Sekolah Dasar di Kota
Sabang 2016 Berdasarkan Letak Lokasi Sekolah.
Infestasi
Prevalensi
Variabel
Total
Nilai p
(%)
Negatif
Positif
Urban
192
141
51
26.6
0.88
Rural
158
114
44
27.8
Total
350
255
95

Menurut Rassami and Soonwera (2012) prevalensi infestasi dapat