School Refusal Pada Anak Sekolah Dasar

(1)

SCHOOL REFUSAL PADA ANAK SEKOLAH DASAR

SKRIPSI

Guna memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

OLEH :

NAZWA MANURUNG

021301004

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk mewujudkan tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Salah satu jalur strategis yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas itu adalah melalui pendidikan. Hal ini karena tujuan utama yang ingin dicapai oleh pendidikan adalah optimalisasi dan aktualisasi potensi manusia. Pendidikan diharapkan secara terencana dapat meningkatkan kualitas manusia dalam Ibrahim, 1993).

Pendidikan adalah salah satu hal yang penting dalam kehidupan seseorang, yang berlangsung di sepanjang kehidupan manusia, yang dapat membuat manusia tersebut dalam hal ini khususnya anak didik dapat menjadi tunas harapan bangsa yang diharapkan dapat mempertahankan eksistensi bangsa dan menjadi calon kompetitor dalam menghadapi persaingan dimasa yang akan datang. Dan yang menjadi sarana pendidikan tersebut salah satunya adalah sekolah (dalam Suryabrata, 1998).

Sekolah adalah salah satu sarana pendidikan untuk menyempurnakan perkembangan jasmani dan rohani anak. Peristiwa mulai sekolah merupakan langkah maju dalam kehidupan anak. Peristiwa ini dapat menjadi suatu peristiwa yang menegangkan, menakjubkan, yang menakutkan atau yang asing bagi anak


(3)

(dalam Sukadji, 2000). Sekolah dasar adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia.

Sekolah dasar adalah jenjang sekolah yang wajib diikuti oleh anak mulai dari usia 6 tahun (dalam Rifai, 1993). Sekolah dasar merupakan landasan bagi pendidikan selanjutnya dan bahwa siswa sekolah dasar mengalami tingkat perkembangan yang berbeda dari sekolah-sekolah tingkat selanjutnya (dalam Kumara, 1997). Ketika seorang anak telah mencapai usia sekolah, kehidupan rumahpun telah digantikan dengan kehidupan sekolah. Sekolah kemudian memiliki arti yang penting karena dapat menjadi sarana bagi pengembangan prestasi anak. Sebaliknya, sekolah dapat pula menjadi sumber masalah bagi anak. Siswa belajar melakukan kontak sosial di sekolah, melalui permainan dan pergaulannya dengan siswa lain, siswa diperkenalkan pula pada tatanan yang berlaku di lingkungannya (dalam Daud, 2003). Pada usia ini anak tidak hanya dituntut untuk mempelajari keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga diharapkan mampu bergaul dengan teman-teman sebaya dan lingkungan sekitarnya dengan cara yang positif sesuai dengan budaya tempat tinggalnya yang dapat juga kita sebut sebagai kemampuan bersosialisasi, sesuai dengan tugas perkembangannya (Mubin, 2006).

Siswa sekolah dasar umumnya berusia 6 sampai 12 tahun. Usia 6 tahun merupakan usia awal dari masa kanak-kanak akhir, menurut Hurlock (1999) masa kanak-kanak akhir dimulai pada usia 6 tahun sampai dengan usia 13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki. Menurut Rifai (1993) masa


(4)

kanak-kanak akhir merupakan masa sekolah dasar, yaitu periode perkembangan anak antara usia 6 sampai 12 tahun.

Anak usia 6 tahun sudah dianggap matang untuk belajar di sekolah dasar, tapi ternyata tidak semua anak siap untuk pergi ke sekolah. Anak bisa merasa belum siap walaupun usianya sudah mencukupi untuk masuk sekolah. Di sekolah terdapat individu-individu yang belum pernah bersamanya dalam kehidupan keluarga dan belum pernah bergaul dengannya. Pada awalnya anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan orang-orang yang ada di sekolah. Tetapi jika ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi dengan cepat (dalam Mahfuzh, 2001).

Proses mempersiapkan anak kecil untuk beradaptasi dengan sekolah, termasuk salah satu proses sosial yang sangat susah dan sekaligus sangat penting. Proses ini memerlukan kajian yang mendalam terhadap masing-masing anak dalam rangka untuk mengetahui iklim di sekitar sekolah, mengenali kebutuhan-kebutuhan yang riil dan mengamati secara mendalam semua perilaku serta upayanya dalam mengatasi berbagai kesulitan yang anak dapati di lingkungan keluarga. Ketika menuju sekolah, seorang anak membawa beban-beban emosional tertentu yang berpotensi menghalangi anak berangkat ke sekolah. Jika beban-beban emosional ini dibiarkan, akan menimbulkan beberapa tingkah laku yang tidak normal, yang salah satunya adalah school refusal (dalam Mahfuzh, 2001).

School refusal terjadi ketika anak tidak mau pergi ke sekolah atau mengalami distres yang berat berkaitan dengan kehadiran di sekolah. School


(5)

mental yang dikarakteristikkan oleh ketidaknormalan, kecemasan yang tinggi, berkenaan dengan perpisahan yang sebenarnya dari orangtua atau individu lain yang dekat dengan anak (dalam Kahn, 1981). Anak yang mengalami school refusal merasa tidak nyaman karena perasaan cemas sehingga mereka dapat kehilangan kemampuan untuk menguasai tugas-tugas perkembangan pada berbagai tahap pada masa perkembangan mereka. Secara spesifik, seorang anak yang sangat pemalu dan sangat tidak mampu berinteraksi dengan teman sebaya, tidak mungkin belajar bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain (dalam Davison, 2006).

School refusal dapat terjadi karena adanya keadaan yang membuat anak menjadi stress, seperti sibling antar saudara; kematian anggota keluarga, teman dekat atau hewan peliharaan; perubahan di sekolah, seperti guru baru, kehilangan teman; perubahan keluarga, seperti perceraian atau pernikahan kembali (dalam Kahn, 1981).

Peneliti mendapatkan beberapa data dari anak yang merupakan subjek prapenelitian yaitu A dan B, dari hasil wawancara berikut ini :

“……Di sekolahku ga’ ada yang baek... ...ga’ mau sekolah, enakan dirumah. Tapi mama bilang harus sekolah... ... ...ya aku sekolah, biar pintar. Tapi males kali pergi sekolah... ... ...ga’ bisa ketemu mama. Pernah ga’ masuk sekolah lama, enak kali... soalnya bisa jalan-jalan ama mama, papa, kakak... ...disekolah ga’ enak... ...ga’ enak... ...” (A komunikasi personal, 16 Maret 2006)

“……Sekolah enak……bisa ketemu temen-temen, tapi tugasnya banyak. Kalau ketemu teman-teman bisa main sama-sama... main kejar-kejaran...main...main deh... ... trus bisa belajar bersama... ... kan kalau saya ga’ tahu bisa tanya ama temen... ... tapi bukan saat ujian, kalau ujian ga’ boleh tanya-tanya... ... Main sama mama dan kakak di rumah kalau dah pulang sekolah, kalau ama temen ya di sekolah.…e...dirumah juga,


(6)

dekat rumah ada temen... ...ya main juga... tapi kata mama harus siap dulu Prnya... ... ” (B komunikasi personal, 16 Maret 2006)

Perbedaan yang dapat dilihat dari hasil wawancara di atas adalah anak yang pertama adalah anak yang merasa takut jika harus sendirian dan berpisah dari ibu atau orang yang dekat dengannya. Dengan kata lain anak tersebut telah mengalami penolakan terhadap sekolah (school refusal). Sedangkan anak yang kedua sama sekali tidak mengalami school refusal karena anak tersebut terlihat sangat menikmati pergi ke sekolah.

Penyebab school refusal cukup bervariasi, dalam wawancara di atas dapat dilihat bahwa penyebab anak tersebut mengalami school refusal adalah karena ia ingin selalu berada didekat ibunya karena dengan berada dekat ibunya ia merasa aman dan tidak terancam (dalam Rini, 2002). Kecemasan berpisah sering kali merupakan penyebab utama School refusal. Salah satu studi oleh Last dan Strauss (1990) menemukan bahwa 75% anak-anak yang menolak untuk sekolah disebabkan oleh kecemasan berpisah dari ibu atau orang yang terdekat dengannya (dalam Davison, 2006). School refusal juga dapat terjadi karena pengalaman negatif di sekolah, seperti mendapat cemoohan, ejekan atau pun diganggu teman-temannya. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, gendut, kurus, hitam atau takut gagal dan mendapat nilai buruk. Biasanya anak terlihat murung ketika waktu sekolah tiba, tidak bersemangat. Atau malah mengeluh sakit ketika waktu pergi sekolah tiba (dalam Rini, 2002).

Peneliti juga menanyakan pendapat seorang guru SD mengenai anak yang mengalami school refusal :


(7)

“……… karena sering tidak masuk sekolah ia jadi ketinggalan banyak pelajaran. Bukan hanya itu saya lihat ketika ia sudah mau masuk sekolah, anaknya pendiam dan ga mau bergaul dengan teman-temannya yang lain. Jadi dia cukup sulit saya rasa untuk terus mengikuti pelajaran. ……tapi kalau dibilang anaknya kurang pintar ya ga juga………” (C, komunikasi personal, 10 Mei 2006)

School refusal memiliki konsekuensi akademik dan sosial yang serius bagi anak dan dapat sangat merusak (dalam Davison, 2006). Salah satu konsekuensinya adalah anak jadi kurang bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini dikarenakan anak tidak mau berpisah dari ibu atau orang yang dekat dengannya, sehingga anak kurang bergaul dengan teman-teman sebayanya atau orang lain diluar orang yang dekat dengannya. Kurangnya sosialisasi ini secara tidak langsung mempengaruhi prestasi belajar anak, karena anak tergantung pada ibu atau orang yang dekat dengannya maka prestasi belajarnya juga tergantung pada orang-orang tersebut (dalam Rifai, 1993). Dan dampak yang paling buruk adalah anak bisa dikeluarkan dari sekolah (dropout) karena terlalu lama tidak masuk sekolah (dalam Kearney, 2001).

Menurut Wanda P.Fremont (2003), sebanyak 1-5% anak usia sekolah mengalami school refusal dan merata terjadi pada anak laki-laki dan perempuan. Dan pada dasarnya school refusal terjadi pada setiap usia, tapi lebih sering terjadi pada usia 5-6 tahun dan 10-11 tahun. School refusal juga terjadi bukan karena adanya perbedaan sosial ekonomi.

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti ingin mengetahui lebih lanjut apa itu school refusal dan mengapa lebih banyak terjadi pada anak sekolah dasar. Penelitian ini juga diharapkan akan bisa lebih banyak lagi menggali tentang school refusal dan bagaimana gejala-gejala serta dinamika yang bisa terjadi pada


(8)

anak sekolah dasar. Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif, agar diperoleh pemahaman menurut penghayatan atau sudut pandang subjek penelitian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Irwin Deutcher (dalam Moleong, 2000) salah satu keuntungan pendekatan kualitatif adalah berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang-orang itu, yang terpenting adalah kenyataan yang terjadi sebagaimana yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang-orang itu sendiri.

Penelitian ini akan melibatkan anak sekolah dasar yang mengalami school refusal sebagai subjek penelitian dan dilakukan di kota Medan, karena peneliti adalah mahasiswa yang berada di kota Medan, sehingga akan lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian.

I.B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya maka peneliti menemukan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana sikap anak terhadap sekolah.

2. Bagaimana gejala school refusal yang ditunjukkan oleh anak, meliputi: frekuensi, durasi, intensitas, dan bentuk perilakunya.

3. Apa yang memicu sehingga anak mengalami school refusal.

4. Bagaimana respon dan sikap orangtua terhadap anak yang mengalami school refusal.


(9)

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gejala-gejala school refusal dan bagaimana dinamika school refusal tersebut pada anak sekolah dasar.

I.D. Manfaat Penelitian I.D.1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan, terutama mengenai school refusal. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai school refusal pada anak sekolah dasar atau penelitian lain yang berkaitan dengan school refusal.

I.D.2. Manfaat praktis

Penelitian ini juga diharapkan menjadi tambahan informasi dan menjadi bahan masukan bagi para orangtua, guru dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan kondisi anak sekolah yang mengalami school refusal. Melalui informasi ini orangtua dapat memahami keadaan anak, mengetahui dengan jelas gejala dan dinamika dari school refusal pada anak mereka.

I.E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan: berisikan latar belakang permasalahan, identifikasi


(10)

Bab II Landasan Teori: dalam bab ini berisi uraian beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori-teori yang menjelaskan data penelitian, yaitu teori tentang school refusal, yang didalamnya termasuk defenisi school refusal, tingkatan-tingkatan school refusal dan beberapa penyebab terjadinya school refusal.

Bab III Metode penelitian: membicarakan tentang metode penelitian kualitatif yang digunakan, metode pengumpulan data, subjek dan lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian dan prosedur analisis data. Selain itu juga memuat teknik pengambilan sampel/subjek yang digunakan dalam penelitian. Bab IV Analisa dan Interpretasi Data: berisikan gambaran umum subjek

penelitian, data wawancara dan observasi, analisa data dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan, diskusi dan saran: berisikan kesimpulan hasil penelitian, diskusi dan saran yang berhubungan dengan penelitian.


(11)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. School Refusal

II.A.1. Definisi school refusal

School Refusal adalah masalah emosional yang serius yang dihubungkan dengan akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang yang signifikan (dalam Fremont, 2003)

School refusal juga didefinisikan sebagai kriteria diagnostik dari gangguan kecemasan berpisah, kondisi mental yang dikarakteristikkan oleh ketidaknormalan, kecemasan yang tinggi, berkenaan dengan perpisahan yang sebenarnya dari orangtua, khususnya ibu atau individu lain yang dekat dengan anak tersebut atau pengasuhnya (dalam Kahn, 1981).

Menurut Kearney dan Silverman (1996), tingkah laku school refusal adalah kecenderungan anak menolak untuk menghadiri sekolah, sulit mengingat kembali dalam kelas setiap hari atau keduanya. King dan Bernstein (2001), school refusal adalah kesulitan untuk hadir di sekolah yang diasosiasikan dengan emosi stres, khususnya cemas dan depresi (dalam Kearney, 2001).

School refusal adalah karakteristik dari kondisi keengganan dan sering sama sekali menolak pergi ke sekolah pada anak yang : (1) mendapat rasa aman dan nyaman dari rumah, memilih tinggal didekat figur orangtua, khususnya selama jam sekolah; (2) menunjukkan tanda emosional yang membingungkan ketika harus pergi ke sekolah, walaupun hanya bentuk simptom fisik yang tidak


(12)

dapat dijelaskan; (3) Jelas bukan kecenderungan antisosial yang berat, tidak melakukan tindakan agresif untuk menolak pergi ke sekolah; (4) tidak mencoba merahasiakan masalah dari orangtua (dalam Berg, 1992).

School refusal yaitu menolak sekolah yang dimotifasi oleh ketakutan yang intens dan cemas (dalam Gelfand, 2003). School refusal juga didefinisikan sebagai menolak sekolah, menolak untuk tetap di kelas atau sulit tinggal di sekolah sepanjang hari (dalam Mash, 2005). School refusal didefinisikan sebagai ketakutan yang tidak rasional terhadap beberapa aspek situasi sekolah yang disertai dengan simptom fisik kecemasan atau panik ketika waktu berangkat sekolah tiba dan hasilnya ketidakmampuan untuk pergi ke sekolah (dalam Wenar, 1994).

Penelitian ini menggunakan pengertian school refusal adalah keadaan emosional anak yang takut berpisah dengan orang terdekat atau ketidakinginan anak untuk menghadiri sekolah dengan menunjukkan simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan.

II.A.2. Karakteristik school refusal

Tingkah laku school refusal dapat dilihat dari satu atau kombinasi dari beberapa karakteristik dibawah ini (dalam Kearney, 2001), yaitu :

a. Absen dari sekolah, menolak pergi ke sekolah, tidak mau pergi ke sekolah. b. Hadir di sekolah tapi kemudian meninggalkannya sebelum jam sekolah usai.


(13)

c. Hadir di sekolah tapi menunjukkan tingkah laku yang tidak diharapkan, dari tingkah laku menyendiri, tidak ingin pisah dari figure attachment-nya, agresif, tidak kooperatif sampai temper tantrum.

d. Mengemukakan keluhan fisik dan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan agar tidak pergi ke sekolah.

II.A.3. Tingkatan school refusal

Menurut Nicole Setzer Ph.D dan Amanda Salzhauer, C.S.W (dalam Setzer, 2001) ada beberapa tingkatan school refusal dari yang ringan sampai yang berat, yaitu :

1. Initial school refusal behavior

Adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan.

2. Substantial school refusal behavior

Adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu. 3. Acute school refusal behavior

Adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah. 4. Chronic school refusal behavior

Adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.


(14)

II.A.4. Penyebab school refusal

Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali mengalami school refusal. Orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap tersebut, agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat (dalam Rini, 2002). Adapun beberapa penyebab school refusal adalah :

1. Separation Anxiety (kecemasan berpisah)

Anak usia prasekolah, TK hingga awal SD tidak luput dari separation anxiety. Separation anxiety adalah kecemasan yang berlebihan ketika berpisah dari orang yang dekat dengan anak, seperti orangtua (dalam Wenar, 1994). Separation anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga yang harmonis, hangat dan akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua. Separation anxiety bisa muncul kala anak pertama sekali masuk sekolah, kala anak selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang.

2. Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan

Anak tidak mau pergi sekolah mungkin karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun diganggu teman-temannya di sekolah. Atau karena anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah serta takut pada gurunya.


(15)

3. Problem dalam Keluarga

Anak bisa menolak pergi ke sekolah karena problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar anak. Atau karena sakitnya salah seorang anggota keluarga, bisa orangtua atau kakak/adiknya, dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah.

Penelitian yang dilakukan oleh Nicole dan Amanda (dalam Setzer, 2001) menunjukkan bahwa ada empat fungsi atau alasan mengapa anak bertingkah laku school refusal, yaitu :

1. Melarikan diri dari sesuatu yang negatif (menjauh dari rasa takut atau cemas yang dihasilkan dari situasi sekolah).

2. Melarikan diri dari pengabaian sosial dan situasi evaluatif (menjauh dari ketidaknyamanan atau kecemasan melakukan kontak sosial di sekolah atau takut pada tes dan lain-lain).

3. Tingkah laku mencari perhatian.

4. Penguatan positif (positive reinforcement) yang nyata.

II.A.5. Penanganan school refusal

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah school refusal (dalam Rini, 2002), yaitu :


(16)

1. Tetap menekankan pentingnya bersekolah.

Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami school refusal adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari. Karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli, keharusan untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat mengatasi masalah school refusal, karena lambat laun keluhannya akan makin berkurang hari demi hari. Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya.

Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orangtua untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.

2. Berusahalah untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah.

Karena khawatir dengan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah atau pun


(17)

sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba tidak mau sekolah maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi ynag jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana.

Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah, kalau perlu ditemani/diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerjasama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, mengamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang/hilang, dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.


(18)

3. Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter.

Jika orangtua tidak yakin dengan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan anak. Orangtua tentu lebih peka teerhadap keadaan anaknya setiap hari, perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, keika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dsb), orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stres terhadap sekolah, atau kah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama.

4. Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah.

Pada umumnya para guru sudah terbiasa menangani masalah school

refusal. Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok

sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang school refusal untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi, yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di


(19)

sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.

5. Luangkan waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan anak.

Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.

Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak makin tergantung pada orangtua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

6. Lepaskan anak secara bertahap.

Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran


(20)

banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar orangtuanya ke sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Pada beberapa sekolah, orangtua/pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak senang dengan teman-temannya, maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk tidak lagi bersikap terlalu menjaga (overprotective), demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.

7. Konsultasikan pada psikolog atau konselor jika masalah terjadi berlarut-larut. Jika anak tidak dapat mengatasi school refusalnya hingga jangka waktuyang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika school refusal ini sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun dan hambatan penyesuaian diri yang serius, maka secepat mungkin persoalan ini segera dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga, namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi


(21)

oleh papanya). Untuk itulah psikolog/konselor umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi, orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak.

Jadi, persoalan school refusal seyogyanya bukanlah masalah yang serius (kecuali ada masalah kesehatan serius). Namun jika dibiarkan berlarut-larut dapat benar-benar menjadi masalah serius.

II.B. Masa Anak Sekolah

II.B.1. Definisi masa anak sekolah

Periode masa sekolah berlangsung sejak usia 6 tahun sampai 12 tahun, dimulai sejak anak melewati masa anak kecil (dalam Mubin, 2006). Menurut Munandar (1985), masa anak lanjut atau masa anak sekolah yaitu dari usia 6 tahun sampai 12-13 tahun. Masa ini juga disebut masa anak usia sekolah dasar karena pada usia ini biasanya anak duduk di sekolah dasar.

II.B.2. Ciri-ciri khas masa anak sekolah

Masa perkembangan ini oleh para pendidik disebut masa sekolah dasar, karena pada masa ini anak diharapkan memperoleh pengetahuan dasar yang dipandang sangat penting (esensial) bagi persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa dewasa. Anak diharapkan mempelajari keterampilan-keterampilan tertentu, baik kurikuler maupun ekstra kurikuler.


(22)

Keterampilan-keterampilan itu meliputi (Hurlock dalam Munandar, 1985): a. Keterampilan membantu diri sendiri

Anak harus sudah mampu makan, berpakaian, dan mandi sendiri tanpa memerlukan perhatian orangtua seperti pada masa kanak-kanak.

b. Keterampilan sosial

Anak diharapkan sudah dapat membantu orang lain. Di rumah ia membantu membersihkan tempat tidurnya, membantu membersihkan rumah, atau membantu berbelanja. Di sekolah ia membantu guru menghapus papan tulis, membagi buku-buku, membersihkan kelas dan sebagainya.

c. Keterampilan sekolah

Di sekolah anak mengembangkan keterampilan menulis, menggambar, memasak, menjahit, menggergaji dan sebagainya.

d. Keterampilan bermain

Pada usia ini anak mempelajari keterampilan-keterampilan seperti naik sepeda, berenang, main bola, main sepatu roda dan sebagainya.

Masa ini di sebut juga gang age atau masa suka berkelompok karena bagi anak usia ini peran kelompok sebaya sangat berarti baginya. Anak sangat mendambakan penerimaan oleh kelompoknya. Baik dalam penampilan perilaku maupun dalam ungkapan diri (bahasa) anak cenderung meniru kelompok sebaya. Pada masa usia sekolah dasar ini pada umumnya lebih mudah diasuh dibanding dengan sebelumnya (masa kanak-kanak) dan sesudahnya (masa remaja). Masa prasekolah dan masa remaja termasuk fase yang penuh gejolak (masa kegoncangan). Masa usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual, karena


(23)

keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman (dalam Munandar, 1985).

II.B.3. Tugas perkembangan pada masa anak sekolah

Agar dapat diterima oleh kelompok sosialnya, seorang anak harus mampu melakukan tugas-tugas perkembangan yang oleh masyarakatnya diharapkan dapat anak laksanakan pada masa perkembangan tersebut dan agar ia tidak mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas perkembangan pada tahap perkembangan berikutnya (dalam Munandar, 1985).

Tugas-tugas perkembangan anak sekolah dasar adalah sebagai berikut : a. Mengembangkan keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung. b. Mengembangkan konsep-konsep yang perlu dala kehidupan sehari-hari. c. Belajar bergaul dengan kelompok sebaya.

d. Belajar bekerja dengan kelompok sebaya. e. Mempelajari peran jenis kelamin yang sesuai. f. Belajar menjadi pribadi yang mandiri.

g. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan.

h. Mengembangkan hati nurani dan sistem nilai sebagai pedoman perilaku. i. Mengembangkan sikap terhadap kelompok dan lembaga-lembaga sosial. j. Mengembangkan konsep diri yang sehat.


(24)

II.C. Sekolah Dasar

Sekolah adalah salah satu sarana pendidikan untuk menyempurnakan perkembangan jasmani dan rohani anak. Peristiwa mulai sekolah merupakan langkah maju dalam kehidupan anak. Peristiwa ini dapat menjadi suatu peristiwa yang menegangkan, menakjubkan, yang menakutkan atau yang asing bagi anak (dalam Sukadji, 2000). Menurut Toelioe, sekolah dasar merupakan pendidikan formal yang pertama. Pendidikan formal yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang mempunyai kurikulum, sistem pengajaran, peraturan dan tujuan yang disusun secara terencana dan teerstruktural (dalam Mukhtar, 2000).

Sekolah dasar adalah jenjang sekolah yang wajib diikuti oleh anak mulai dari usia 6 tahun (dalam Rifai, 1993). Sekolah dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Sekolah dasar merupakan landasan bagi pendidikan selanjutnya dan bahwa siswa sekolah dasar mengalami tingkat perkembangan yang berbeda dari sekolah-sekolah tingkat selanjutnya (dalam Kumara, 1997).

Anak usia 6 tahun sudah dianggap matang untuk belajar di sekolah dasar, tapi ternyata tidak semua anak siap untuk pergi ke sekolah. Anak bisa merasa belum siap walaupun usianya sudah mencukupi untuk masuk sekolah (dalam Mahfuzh, 2001).


(25)

II.C.1. Kematangan sekolah

Pada awal masa anak lanjut, anak mulai masuk sekolah dasar. Masa ini merupakan batu tonggak dalam hidupnya, ditandai oleh banyak perubahan dalam sikap dan perilaku (dalam Munandar, 1985).

Bermacam-macam kriteria yang dipakai orang untuk menetapkan kapan seorang anak disebut matang untuk bersekolah. Sebenarnya dengan hanya ukuran umur 6 atau 7 tahun saja belum dianggap cukup untuk menentukannya. Kematangan itu paling tidak harus dilihat dari 4 (empat) aspek (dalam Mubin, 2006), yaitu :

a. Aspek fisik; fisik anak telah berkembang secara memadai sehingga anak memperlihatkan kesanggupannya untuk menaati secara jasmaniah tata tertib sekolah, misalnya : dapat duduk tenang dan tidak makan-makan dalam kelas dan lain-lain.

b. Aspek intelektual; apabila anak telah sanggup menerima pelajaran secara sistematis, kontinyu dan dapat menyimpan serta mereproduksikannya bila diperlukan.

c. Aspek moral; apabila anak telah sanggup untuk menerima didikan moral atau norma-norma dan dapat mematuhi atau melaksanakannya.

d. Aspek sosial; apabila anak telah sanggup untuk menyesuaikan diri dan bergaul dengan orang lain tereutama sekali dengan teman-temannya di sekolah, dan dapat pula berhubungan dengan guru atas dasar pengakuan akan kewibawaan guru.


(26)

Cepat atau lambatnya kematangan ini diperoleh anak banyak tergantung pada kesehatan fisik, sifat-sifat dasar anak dan pendidikan sebelumnya (dalam keluarga atau Taman Kanak-kanak).

II.C.2. Syarat masuk sekolah dasar

Anak-anak yang berumur enam atau tujuh tahun dianggap matang untuk belajar di sekolah dasar jika :

a. Kondisi jasmani cukup sehat dan kuat untuk melakukan tugas di sekolah. b. Ada keinginan untuk belajar.

c. Fantasi tidak lagi leluasa dan liar.

d. Perkembangan perasaan sosial telah memadai.

Ada beberapa syarat tambahan yang harus dipenuhi untuk mengikuti pelajaran, selain syarat-syarat yang telah dikemukakan di atas, yaitu :

a. Fungsi-fungsi jiwa (daya ingatan, cara berpikir, daya pendengaran) harus sudah berkembang dengan baik, karena kematangan fungsi-fungsi itu diperlukan untuk belajar membaca, menulis dan berhitung.

b. Anak telah memperoleh cukup pengalaman dalam rumah tangga untuk dipergunakan sebagai dasar bagi pengajaran permulaan karena pengajaran di sekolah berpangkal pada apa yang telah diketahui oleh anak-anak.

Kekurangan dari salah satu syarat-syarat yang disebut di atas akan menimbulkan kesukaran ketika mengikuti pelajaran di sekolah (dalam Zulkifli, 2005).


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Metode penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya. Peneliti mengharapkan dengan pendekatakan kualitatif peneliti akan bisa menggali lebih dalam tentang gejala dan dinamika school refusal. Penelitian kualitatif dapat menyampaikan dunia subjek secara keseluruhan dari perspektif subjek sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Menurut Padgett (1998) terdapat beberapa alasan mengapa menggunakan penelitian kualitatif. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bila ingin menggali suatu topik yang masih sedikit diketahui. 2. Jika sebuah topik memiliki kedalaman sensitivitas dan emosional.

3. Mengharapkan mendapatkan “pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan menciptakan arti darinya.

4. Mengharapkan bisa memasuki “kotak hitam” dari program atau intervensi. 5. Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam mengumpulkan


(28)

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam meneliti school refusal pada anak sekolah dasar adalah untuk menggali suatu topik yang masih sedikit diketahui. Peneliti juga ingin mengetahui mengapa subjek yaitu anak sekolah dasar mengalami school refusal. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

Selain itu, penelitian kualitatif memungkinkan peneliti untuk memahami cara subjek menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara berpikir mereka (Taylor dan Bogdan dalam Moleong, 2001). Peneliti berusaha masuk ke dalam dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan yang muncul. Hasil dari pendekatan tersebut, diperoleh apa saja gejala-gejala dari school refusal dan bagaimana dinamikanya serta kenapa bisa terjadi pada anak sekolah dasar.

III.B. Subjek, Informan dan Lokasi Penelitian III.B.1. Subjek penelitian

Subjek penelitian untuk penelitian kualitatif adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan bisa memberikan sebanyak mungkin data yang dibutuhkan. Penelitian ini akan melibatkan anak sekolah dasar yang mengalami


(29)

school refusal yang bersedia untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Dengan persetujuan yang sudah diperoleh maka peneliti bisa mengatur waktu dan tempat untuk melakukan observasi dan wawancara (Gay & Airasian, 2003).

Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa subjek dalam penelitian ini adalah anak sekolah dasar yang telah bersedia dan setuju untuk terlibat dalam penelitian ini. Peneliti juga harus meminta persetujuan dari orangtua anak tersebut karena anak tersebut masih dibawah umur. Dalam penelitian ini akan ada prosedur yang harus dilakukan peneliti dan diketahui oleh subjek. Prosedur ini adalah sebagai etika yang harus dijalankan dalam sebuah penelitian. Kerahasiaan (Confidentiality), kepada subjek akan disampaikan bahwa nama subjek akan disamarkan dengan tujuan agar identitas subjek bisa terjaga, sehingga subjek tidak perlu membatasi informasi yang akan diberikan dalam penelitian ini. Selain kerahasiaan, kepada subjek juga akan diberitahukan tujuan penelitian secara umum, peran dan aktivitas yang diharapkan dari subjek serta resiko yang mungkin ada dalam penelitian ini. Pemberitahuan ini disebut dengan informed consent (Gay & Airasian 2003).

III.B.1.a. Karakteristik subjek penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi anak sekolah dasar di kota Medan dengan alasan memberikan kemudahan bagi peneliti dalam menemukan sampel. Terdapat dua karakteristik subjek dalam penelitian ini, kedua karakteritik ini dipilih dengan alasan bahwa kedua karakteristik ini sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu menggali lebih dalam bagaimana school refusal terjadi pada anak


(30)

sekolah dasar. Adapun yang menjadi karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Anak sekolah dasar, karena menurut Wanda P.Fremont (2003) school refusal terjadi pada setiap usia, tapi lebih sering terjadi pada usia 5-6 tahun dan 10-11 tahun.

2. Mengalami School Refusal, yang diketahui dari skala yang diisi oleh subjek. Dimana skala tersebut berisikan aitem-aitem yang menggambarkan karakteristik-karakteristik dari school refusal.

III.B.1.b. Jumlah subjek penelitian

Penelitian kualitatif tidak mementingkan jumlah subjek penelitian, yang terpenting dalam penelitian kualitatif adalah subjek yang bisa memberikan sebanyak mungkin informasi yang ingin didapatkan. Waktu, biaya, kemampuan partisipan, ketertarikan partisipan dan faktor lain yang mempengaruhi banyaknya sampel menjadi hal yang harus diperhatikan dalam mengambil sampel penelitian (Gay dan Airasian, 2003). Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah dua orang. Kedua orang subjek ini adalah seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Dengan pertimbangan dapat melihat perbedaan yang terjadi pada anak laki-laki dan perempuan. Karena itu diambil jumlah subjek dari jenis kelamin yang berbeda.


(31)

III.B.2. Informan penelitian

Peneliti akan melibatkan informan dalam penelitian ini yang bisa memberikan informasi bahwa anak sekolah dasar tersebut mengalami school refusal. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dekat dengan subjek, yaitu orangtua/pengasuh subjek dan guru-gurunya.

III.B.3. Lokasi penelitian

Berdasarkan karakteristik subjek sebelumnya bahwa yang menjadi subjek penelitian adalah anak sekolah dasar yang mengalami school refusal. Dan penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Hal ini dikarenakan Kota Medan adalah salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki banyak penduduk dengan beragam aktivitas dan beragam pula masalah yang dihadapi dan salah satu masalah tersebut adalah masalah anak. Dan juga dikarenakan peneliti adalah mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) sehingga akan memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian. Penelitian ini dilakukan di sekolah dan di rumah masing-masing subjek penelitian.

III.C. Prosedur Pengambilan Sampel

Teknik sampling penelitian kualitatif memfokuskan pada fleksibilitas dan kedalaman daripada probabilitas dan generalisasi matematis. Sampel penelitian berfungsi untuk memperoleh kedalaman dan kekayaan bukan pada representatifnya. Prosedur pengambilan sampel juga merupakan sebuah proses interaktif dimana sampel mungkin diperoleh berdasarkan pertanyaan yang muncul


(32)

dan yang terpenting adalah memperoleh sampel yang bisa memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Penelitian kualitatif menekankan inquiry mendalam dalam penelitian yang tujuannya untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dengan pertisipan yang relatif sedikit dalam seting tunggal (Gay dan Airasian, 2003).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory based/operasional construct sampling), yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Kriteria sampel telah ditentukan sebelumnya dalam karakteristik sampel berdasarkan teori, studi-studi sebelumnya dan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu peneliti ingin menggali lebih dalam bagaimana gejala dan dinamika school refusal pada anak sekolah dasar.

Peneliti akan memperoleh subjek berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory based/operasional construct sampling), dengan melakukan wawancara singkat dan melakukan pengisian skala terlebih dahulu. Hasil wawancara dan pengisian skala akan menunjukkan subjek tersebut memenuhi karakteristik sampel, yaitu anak sekolah dasar yang mengalami school refusal. Setelah melalui wawancara dan pengisian skala lalu ditentukan apakah subjek tersebut yang akan menjadi subjek penelitian yang bisa memberikan sebanyak mungkin informasi yang dibutuhkan dan bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini.


(33)

III.D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Hal ini sesuai dengan pendapat Padgett (1998) yang mengatakan bahwa ada tiga bentuk dasar metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yaitu (a) observasi, (b) wawancara dan (c) analisis dokumen. Namun, analisis dokumen tidak dijadikan metode pengumpulan data dikarenakan hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan dan dari segi efektifitas, maka observasi dan wawancara yang digunakan sebagai metode pengumpulan data.

III.D.1. Observasi

Observasi adalah aspek penting bagi banyak ilmu pengetahuan dan telah memainkan peran penting dalam perkembangan psikologi sebagai suatu disiplin ilmu (Minauli, 2002). Observasi dipilih sebagai salat satu alat pengumpulan data dikarenakan observasi memiliki kekuatan utama, yaitu dapat diamati secara langsung dan tepat. Selain itu tidak ada penundaan waktu antara munculnya respon dengan pernyataan dan pencatatannya. Di dalam observasi subjek tidak perlu memberi respon dengan menyusun kata-kata atas stimulus yang disajikan dengan kata-kata (Wilkinson, dalam Minauli, 2002).

Observasi dalam penelitian ini adalah naturalistic observation atau observasi dalam latar alamiah, dalam hal ini adalah sekolah dimana subjek berada. Selain dengan latar alamiah observasi yang dilakukan adalah observasi non partisipan, dimana peneliti tidak turut ambil bagian dalam kegiatan subjek (Moleong, 2000).


(34)

Adapun tujuan observasi dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripisikan setting atau lokasi penelitian, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian yang dilihat dari perspektif subjek yang terlibat di dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 2001). Observasi yang digunakan juga harus tetap pada fokus penelitian, yaitu menggali lebih dalam tentang school refusal. Sehingga yang akan menjadi latar observasi hanya pada lingkungan sekolah tempat subjek, sedangkan di luar lingkungan sekolah tidak akan diobservasi dengan alasan keterbatasan peneliti yang memang tidak mungkin terus mengikuti subjek kemanapun mereka pergi.

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), data hasil observasi menjadi penting karena :

1. Peneliti akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konteks hal-hal yang diteliti.

2. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif.

3. Mengingat individu yang telah sepenuhnya terlibat dalam konteks hidupnya sering mengalami kesulitan merefleksikan pemikiran mereka tentang pengalamannya, observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh partisipan atau subjek penelitian sendiri kurang disadari.


(35)

4. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka pada saat diwawancarai.

5. Jawaban terhadap pertanyaan akan diwarnai oleh persepsi selektif individu yang diwawancarai. Berbeda dengan wawancara, observasi memungkinkan peneliti bergerak lebih jauh dari persepsi selektif yang ditampilkan oleh subjek penelitian ataupun pihak-pihak lain.

6. Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap instropeksi terhadap penelitian yang dilakukannya. Kesan dan perasaan pengamat akan menjadi bagian dari data yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomena yang diteliti.

Observasi digunakan dalam penelitian ini sebagai salah satu metode untuk mengumpulkan data untuk mengungkap gejala dan dinamika dari school refusal yang terjadi. Observasi juga dilakukan saat melakukan wawancara dengan subjek, yang akan diobservasi adalah perilaku nonverbal subjek.

III.D.2. Wawancara

Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang


(36)

diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Wawancara digunakan sebagai metode pengumpulan data karena dengan wawancara peneliti bisa menggali respon subjek untuk memperoleh pengalaman dan perasaan subjek secara lebih mendalam. Selain itu, dengan wawancara peneliti juga bisa menilai sikap, minat, perasaan, fokus, dan nilai-nilai yang dimiliki subjek daripada hanya dengan mengandalkan observasi (Gay & Airasian, 2003). Aspek yang ingin diungkap dari wawancara ini adalah aspek kognitif dan afektif dari subjek yang mengalami school refusal, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di dalam identifikasi permasalahan penelitian.

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara dalam penelitian ini dibuat berdasarkan pada karakteristik-karakteristik dan gejala-gejala dari school refusal.

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat


(37)

tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).

Penelitian ini mewawancarai subjek dan orang-orang yang dekat dengan subjek. Hal ini dilakukan karena subjek masih belum cukup dewasa, sehingga harus menambah data dari orang yang mengetahui keadaannya, yaitu orang-orang yang dekat dengannya baik orangtua/pengasuh atau pun gurunya.

III.D.3. Alat bantu pengumpulan data

Menurut Gay dan Airasian (2003) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara, lembar observasi dan skala untuk menegakkan diagnosa apakah subjek tersebut benar mengalami school refusal.

III.D.3.a. Alat perekam (tape recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Dengan adanya alat perekam ini, hasil wawancara juga merupakan data yang utuh karena sesuai dengan yang disampaikan subjek dalam wawancara. Penggunaan alat perekam ini dilakukan


(38)

dengan seijin subjek. Selain itu penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subjek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

III.D.3.b. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data nantinya. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Pedoman wawancara dalam penelitian ini terdapat dalam lampiran.

III.D.3.c. Lembar observasi

Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi yang berupa checklist. Checklist digunakan untuk mengklasifikasikan dan mengukur frekuensi dan atau durasi dari perilaku selama periode observasi


(39)

(dalam Minauli, 2002). Checklist dalam penelitian ini berisikan karakteristik-karakteristik dari school refusal. Apabila subjek terdapat memiliki salah satu atau lebih karakteristik tersebut diberi tanda checklist (√) dan dilihat seberapa banyak frekuensinya selama observasi dilakukan. Lembar observasi dalam penelitian ini terdapat dalam lampiran.

III.D.3.d. Skala

Metode skala digunakan karena data yang ingin diukur berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).

Azwar (2000) mengemukakan kebaikan-kebaikan skala dan alasan-alasan penggunaannya, yaitu:

1. Pertanyaan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan subjek sendiri yang tidak disadari.

2. Skala digunakan untuk mengungkap suatu atribut tunggal.

3. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang sesungguhnya diungkap dari pertanyaan skala.

Skala ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkah laku school refusal yang telah atau sedang dialami oleh subjek penelitian. Tingkah laku school refusal subjek diukur berdasarkan karakteristik dari school refusal dengan menggunakan 40 aitem pertanyaan langsung yang terdiri dari 4 (empat) pilihan jawaban, yaitu “tidak pernah (TP)”, “pernah (P)”, “jarang (J)”, “sering (S)”. Skala ini disajikan


(40)

dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: S=4, J=3, P=2, TP=1, sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: TP=4, P=3, J=2, S=1.

Tabel 1

Blue-Print Skala School Refusal

Karakteristik Aitem Jumlah

Menolak pergi ke sekolah F = 3, 11, 23, 27, 39 10 UF= 1, 21, 28, 30, 38

Hadir di sekolah tapi kemudian meninggalkannya

F = 12, 19, 25, 31, 36 10 UF= 5, 9, 14, 33, 40

Hadir di sekolah tapi menunjukkan tingkah laku yang tidak diharapkan

F = 4, 13, 22, 34, 37 10 UF= 2, 10, 16, 20, 26

Mengeluh baik fisik maupun bukan fisik agar tidak sekolah

F = 7, 8, 17, 18, 24, 10 UF= 6, 15, 29, 32, 35

Skala school refusal yang terdiri dari 40 aitem dengan 4 (empat) pilihan jawaban yang bergerak dari 1 sampai 4 diperoleh mean hipotetik sebesar 100 dengan standar deviasi sebesar 20. Berdasarkan skor hipotetik yang diperoleh dari skala school refusal, maka dibuat kategorisasi nilai berdasarkan norma (Azwar, 2000) dengan rumus :

Tinggi = XMean1

 

SD

Sedang = Mean1

 

SDXMean1

 

SD Rendah = XMean1

 

SD


(41)

Kriteria kategori untuk school refusal dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2

Kategorisasi Norma Nilai School Refusal

Rentang Nilai Kategorisasi

 

SD Mean

X  1

 

SD X Mean

 

SD Mean1   1

 

SD Mean

X  1

Tinggi Sedang Rendah

Nilai yang diperoleh subjek I dari pengisian skala yang telah dilakukan pada tanggal 6 Agustus 2007 adalah 83 dan nilai yang diperoleh subjek II dari pengisian skala yang telah dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2007 adalah 84. Berdasarkan rumus kategori di atas maka kedua subjek berada pada kategori sedang. Skala kedua subjek penelitian ini terdapat dalam lampiran.

III.E. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2000). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.

III.E.1 Tahap pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:


(42)

1. Mengurus surat perijinan

Peneliti terlebih dahulu meminta surat ijin dari atasan peneliti sendiri dan orang ataupun lembaga yang berwenang memberikan surat ijin bagi pelaksanaan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti meminta surat ijin kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU).

2. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan school refusal Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan school refusal dan anak sekolah dasar, kemudian menguraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan school refusal berdasarkan teori yang relevan. 3. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

4. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang subjek sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya untuk menjadi subjek, mengisi skala dan mengumpulkan informasi tentang calon subjek tersebut.

5. Membangun rapport

Setelah memperoleh kesediaan dari subjek penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah itu peneliti dan subjek penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu, wawancara dan persyaratan yang lain yang diajukan kedua belah pihak.


(43)

III.E.2. Tahap pelaksanaan penelitian

Setelah diadakan kesepakatan maka peneliti mulai melakukan wawancara dan observasi, namun sebelumnya peneliti membina rapport agar subjek penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing. Wawancara akan dilakukan di tempat yang subjek anggap nyaman. Wawancara dilakukan di sekolah dan di rumah subjek penelitian. Percakapan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir dengan persetujuan dari subjek.

III.E.3. Tahap pencatatan data

Untuk memudahkan pencacatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dan observasi dimulai, peneliti meminta ijin kepada subjek untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut.

III.F. Prosedur Analisis Data

Data kualitatif tidak berbentuk angka, tapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto) ataupun bentuk-bentuk non angka lainnya (Poerwandari, 2001). Data dalam penelitian ini adalah rekaman hasil wawancara yang dituangkan dalam transkrip verbatim dan lembar observasi.

Berdasarkan penjelasan Moleong dan Poerwandari (dalam Irmawati, 2002), prosedur analisa data penelitian kualitatif adalah :


(44)

1. Mencatat data dalam bentuk teks.

2. Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok permasalahan yang ingin dijawab.

3. Melakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data.

4. Mengidentifikasi tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul. 5. Menulis hasil akhir.

Berdasarkan tahap-tahap di atas, peneliti melakukan prosedur berikut: 1. Menuliskan hasil wawancara dalam bentuk transkrip verbatim.

2. Memilah data yang relevan dengan pokok permasalahan.

3. Melakukan koding pada data yang telah relevan dengan pokok permasalahan. 4. Interpretasi atau analisa data dari masing-masing subjek.


(45)

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

IV.A. Analisa Data IV.A.1. Subjek 1 IV.A.1.a. Identitas diri

Nama : Ali

Kelas : I SD

Usia : 7 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Urutan Kelahiran : Anak ke 5 dari 7 bersaudara Pekerjaan Ayah : Tukang Sampah

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga

IV.A.1.b. Latar belakang keluarga dan pendidikan

Ali adalah anak ke lima dari tujuh bersaudara, dengan ayah yang sehari-harinya bekerja sebagai seorang tukang sampah dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Di rumah Ali tinggal bersama kedua orangtuanya, seorang nenek, satu orang kakak laki-laki, tiga orang kakak perempuan dan dua orang adik perempuan. Keluarga Ali tinggal dirumah yang berbentuk persegi, yang kira-kira berukuran 5 X 5 meter persegi, tanpa ada sekat dan ruangan lain, kamar mandi berada di luar rumah tepat di depan rumahnya. Ali tidak pernah mengikuti


(46)

pendidikan (taman kanak-kanak) sebelumnya, Ali hanya pernah tidak jadi sekolah tahun lalu karena tidak mau berpisah dari neneknya.

IV.A.1.c. Hasil observasi

Perkenalan pertama peneliti dengan Ali dilakukan di sekolah Ali pada tanggal 6 Agustus 2007 pukul 08.30 WIB, setelah terlebih dahulu meminta ijin dan mencari informasi dari kepala sekolah dan guru wali kelasnya. Setelah peneliti mendapat informasi dari kepala sekolah dan gurunya, barulah peneliti berkenalan secara langsung dengan Ali. Peneliti berkenalan dengan Ali setelah peneliti meminta ijin kepada gurunya untuk membawanya ke kelas lain yang kosong. Dalam kelas kososng yang hanya berukuran 3 X 5 meter persegi dengan 10 meja dan 20 kursi untuk siswa serta satu meja dan satu kursi untuk guru, hanya ada Ali dan peneliti, dan itu membuat Ali sepertinya malu dan segan menjawab pertanyaan peneliti, hampir semua pertanyaan peneliti hanya dijawab anggukan atau gelengan. Sehingga peneliti meminta kepada neneknya untuk masuk juga ke dalam kelas.

Ali adalah anak SD kelas I yang memiliki tinggi badan  100 cm, berat badan  19 kg dan saat itu Ali memakai seragam putih merah yang lengkap dengan dasi dan tali pinggangnya. Ali juga memakai sepatu hitam dengan kaos kaki putih dan rambutnya pendek tertata rapi. Sedangkan nenek Ali adalah seorang nenek yang berusia 73 tahun yang memiliki tinggi badan  145 cm, berat badan  50 kg. Nenek Ali memakai baju kaos berwarna hijau muda, polos dan berkerah dengan bawahan rok berwarna krem dengan motif berbunga-bunga.


(47)

Nenek memakai sandal jepit dan rambutnya yang setengah berwarna hitam dan setengah lagi berwarna putih diikat satu dibelakang kepalanya.

Setelah Ali duduk dan neneknya juga ikut duduk disebelahnya, peneliti duduk dihadapan keduanya dan mulai memperkenalkan diri dan menjelaskan pada nenek dan Ali maksud dan tujuan peneliti menemui mereka. Setelah mereka mengerti, peneliti meminta kesediaan mereka untuk mau memberikan informasi yang peneliti butuhkan.

Sebelum peneliti mewawancarai Ali dan neneknya terlebih dahulu peneliti meminta kesediaan Ali untuk mau mengisi skala agar lebih memastikan lagi apa benar Ali mengalami school refusal atau tidak. Skala tersebut dibacakan dan diisi oleh peneliti berdasarkan informasi yang diberikan Ali.

Selesai dengan pengisian skala Ali kembali ke kelasnya, sedangkan neneknya dan peneliti tetap dikelas tersebut. Peneliti dan nenek Ali menjadwal kapan waktu yang tepat dan dimana wawancara akan dilakukan, dan peneliti bertanya sedikit tentang keseharian Ali baik di rumah maupun di sekolah. Setelah mendapat jadwal wawancara, peneliti berterima kasih atas waktunya dan mohon pamit pada nenek Ali.

Dua hari setelah itu tepatnya pada tanggal 8 Agustus 2007 peneliti datang lagi ke sekolah Ali. Tapi kali ini peneliti berusaha agar Ali maupun neneknya tidak mengetahui kehadiran peneliti agar observasi yang dilakukan dalam setting yang alamiah dan peneliti tidak berpartisipasi didalamnya. Ali berada di dalam kelas dengan seragam yang sama seperti kemarin dan terlihat rapi. Kelas Ali kira-kira berukuran 5 X 6 meter persegi. Di dalam kelas ada empat baris dan empat


(48)

kolom meja yang menghadap papan tulis dan satu meja guru yang membelakangi papan tulis. Kelas Ali memiliki satu pintu dengan banyak jendela disamping kiri dan kanannya. Ali duduk bersama teman laki-lakinya dimeja barisan ketiga dan kolom kedua dari pintu kelas.

Ali belajar seperti teman-temannya yang lain dan terlihat tidak berbeda dari anak lain yang tekun menulis apa yang disuruh oleh ibu guru. Tapi lama kelamaan peneliti menyadari Ali terlihat sangat lambat menulisnya dibanding teman-temannya. Ali banyak menggunakan penghapus dan setelah selesai menulis satu huruf Ali sering melihat punya temannya yang ada disamping kiri dan kanannya dan sekali-sekali melihat punya temannya yang ada dibelakangnya. Sehingga Ali tertinggal banyak dari temannya dan itu terlihat jelas ketika istirahat. Ketika lonceng berbunyi anak-anak yang sudah menyelesaikan tulisannya diperbolehkan istirahat, pergi jajan dan bermain di luar kelas dan yang belum selesai belum boleh keluar. Ali adalah salah satu anak yang masih ada dalam kelas ketika lebih dari setengah anak di kelas Ali sudah beristirahat dan bermain. Ali keluar dari kelas untuk beristirahat setelah hampir waktu istirahat habis dan Ali adalah anak terakhir yang keluar.

Ketika keluar dari kelas Ali langsung menghampiri neneknya yang hari itu juga tetap ada dikursi dekat kantin menunggui cucunya. Nenek memakai baju kemeja bermotif bunga-bunga warna-warni dengan rok berwarna hijau, pakai sandal jepit dan ramput diikat seperti biasanya. Begitu Ali datang mendekat, nenek langsung bertanya kenapa lama keluarnya, Ali hanya senyum dan menunduk lalu menarik tangan nenek menuju ke kantin. Tidak lama kemudian Ali


(49)

keluar dari kantin dengan memegang beberapa potong gorengan lalu duduk di kursi dengan neneknya. Sambil memakan gorengan yang dipegangnya, Ali mengamati anak-anak lain yang bermain disekitarnya, tapi Ali terlihat tidak ingin bermain dengan anak-anak lain.

Walaupun Ali belakangan keluar untuk istirahat tapi Ali punya banyak waktu untuk istirahat, jajan dan bermain karena walau sudah bunyi lonceng Ali masih bisa berada di luar kelas sampai gurunya datang. Setelah gurunya datang Ali langsung masuk ke kelas dan meninggalkan neneknya tanpa mengatakan apa-apa pun. Ali kembali belajar seperti tadi pagi dan neneknya dengan sabar duduk menunggu sampai Ali pulang.

Keesokan harinya pada tanggal 9 Agustus 2007 peneliti melakukan observasi seperti sebelumnya, dan Ali terlihat sama seperti sebelumnya di dalam kelas. Nenek juga masih menunggui Ali ditempat yang sama, di kursi dekat kantin. Nenek memakai pakaian yang sama seperti kemarin, baju bermotif bunga berwarna-warni dengan rok berwarna hijau, pakai sandal jepit dan rambut diikat. Tapi hari ini sedikit berbeda dengan sebelumnya, peneliti menampakkan diri setelah lonceng istirahat berbunyi. Peneliti mendatangi nenek Ali yang menyambut peneliti dengan senyuman, lalu kami berdua duduk bersama menunggu Ali yang belum keluar walaupun lonceng sudah berbunyi.

Setelah Ali keluar, dia terlihat malu ketika melihat peneliti duduk bersama neneknya, Ali hanya berdiri di depan pintu kelasnya. Neneknya datang menjemput Ali dan mengajaknya duduk diantara neneknya dan peneliti. Peneliti ingin memulai wawancara tapi ternyata Ali masih sama, seperti pertama kali kami


(50)

bertemu dan bicara, hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan saja. Akhirnya peneliti berusaha dengan sambil melakukan rapport kembali. Tapi tetap saja jawaban yang diberikan hanya anggukan dan gelengan. Hanya ada beberapa pertanyaan yang akhirnya membuat Ali bicara, walaupun hanya satu atau dua kata. Setelah cukup lama dan jam pulang sekolah hampir tiba, peneliti mohon pamit pada Ali dan neneknya.

Keesokannya pada tanggal 10 Agustus 2007 peneliti melakukan observasi lagi, seperti dua hari yang lalu. Dan hasilnya juga hampir sama dengan dua hari yang lalu. Hanya bedanya ketika Ali keluar untuk beristirahat, setelah jajan bersama neneknya Ali terlihat bermain bersama seorang temannya. Mereka berlari bersama dan bermain kartu juga, mereka terlihat sangat senang. Setelah lelah berlari-lari, Ali kembali pada neneknya meminta minum dan duduk bersama neneknya. Selebihnya pada hari itu sama dengan dua hari yang lalu.

Tabel 3

Jadwal Observasi Subjek 1

No Tanggal Observasi Waktu Observasi Tempat Observasi 1 6 Agustus 2007 08.30 – 09.30 WIB Di Sekolah Subjek 2 8 Agustus 2007 08.30 – 11.00 WIB Di Sekolah Subjek 3 9 Agustus 2007 08.30 – 11.00 WIB Di Sekolah Subjek 4 10 Agustus 2007 08.30 – 10.30 WIB Di Sekolah Subjek


(51)

IV.A.1.d. Hasil wawancara

Tabel 4

Jadwal Wawancara Subjek 1

No Tanggal Wawancara Waktu Wawancara Tempat Wawancara 1 7 Agustus 2007 09.00 – 10.00 WIB Di Sekolah Subjek 2 9 Agustus 2007 09.00 – 10.30 WIB Di Sekolah Subjek 3 11 Agustus 2007 09.00 – 11.00 WIB Di Rumah Subjek 4 20 November 2007 09.00 – 10.30 WIB Di Sekolah Subjek

1. Bagaimana sikap anak terhadap sekolah.

Perasaan yang Ali rasakan ketika mau pergi ke sekolah adalah rasa senang, karena Ali bisa jajan di sekolah.

“...senang...” (S1.W1/b.141)

“...senang....kalau mau sekolah.” (S1.W1/b.143)

“(mengangguk)...senang...bisa sekolah.” (S1.W1/b.312)

“...senang....bisa jajan (tersenyum).” (S1.W1/b.314)

“Ya...menurut opung dia senang ke sekolah.” (FAS1.W1/b.130)

“Ya tau aja. Kalau kami mau pergi dia langsung pegang tangan opung, dia yang narik-narik opung biar cepat pergi. Jadi opung rasa dia cukup senang untuk pergi ke sekolah.”

(FAS1.W1/b.132-135)

Disekolah Ali punya banyak kegiatan, pada saat pelajaran didalam kelas, Ali membaca dan menulis bersama temannya.


(52)

“Belajar.” (S1.W1/b.182)

“...eee....membaca,...menulis,...nyanyi....” (S1.W1/b.184)

“....baca...na...ni...nu...ne...no.” (S1.W1/b.203)

“ ....nulis...yang udah dibaca.” (S1.W1/b.209)

Ketika guru bertanya dan menyuruh Ali untuk menulis dipapan tulis, Ali maju dan mencoba menulis tapi kalau tidak bisa Ali tidak takut dihukum gurunya karena teman yang lain juga dihukum.

“...maju.” (S1.W1/b.219)

“(mengangguk)...nulis di papan tulis.” (S1.W1/b.221)

“...bisa, tapi (menunduk)...” (S1.W1/b.223)

“...pernah ga’ bisa.” (S1.W1/b.227)

“...di...hukum.” (S1.W1/b.231) “...disuruh berdiri.” (S1.W1/b.233)

“...di...depan kelas.” (S1.W1/b.237)

“...teman yang lain juga dihukum.” (S1.W2/b.455)

“(menggeleng) ga’ takut,...kan ada teman (tersenyum).” (S1.W2/b.457-458)


(53)

“Tau, si Ali pernah dihukum sama gurunya (sambil tertawa).” (FAS1.W1/b.173-174)

“Ya karena ga’ bisa membuat apa yang disuruh gurunya.” (FAS1.W1/b.177-178)

Ketika istirahat, Ali lebih banyak menghabiskan waktunya bersama nenek neneknya daripada dengan teman-temannya.

“....istirahat...sama opung.” (S1.W1/b.255)

“....lebih suka...sama opung.” (S1.W1/b.283)

“Ya...biasa anak-anak jajan, kalau dah jajan main sebentar. Ga’ bisa lama kan dia lama keluarnya, dah habis setengah jam istirahat baaru dia keluar, paling hanya sempat jajan, ga’ main.”

(FAS1.W1/b.231-235)

“kadang sendirian, kadang ada temannya satu yang opung nampak, teman sebangkunya opung rasa.”

(FAS1.W1/b.237-239)

Kalau sudah waktunya pulang, Ali dan neneknya langsung pulang, Ali tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktunya bersama temannya.

“Pulang....” (S1.W1/b.295)

“...mau cepat pulang.” (S1.W1/b.299)

“Ya kalau pulang sama opung.” (FAS1.W1/b.244)

“Ya biasanya langsung pulang, mungkin karena dah lapar. Kalau main sih biasanya dah di rumah.”

(FAS1.W1/b.247-249)

Sekolah adalah tempat belajar agar bisa jadi orang yang pintar. Ali bersikap seperti layaknya anak lain terhadap sekolah, tidak ada masalah.


(54)

“...sekolah, ...tempat belajar...supaya....bisa pintar.” (S1.W4/b.646-647)

2. Bagaimana gejala school refusal yang ditunjukkan oleh anak, meliputi: frekuensi, durasi, intensitas, dan bentuk perilakunya.

Ali akan tetap mau pergi sekolah dan mau tetap tinggal disekolah asalkan ada nenek yang menemani dan menungguinya sampai pulang sekolah.

“...ga’...opung ga’ pulang...nunggui Ali.” (S1.W1/b.79-80)

“...kalau opung bisa ngantar....sekolah.” (S1.W1/b.111)

“Ya gimana ya, dia maunya diantar sama opung, ya udah daripada ga’ sekolah opung antar aja.”

(FAS1.W1/b.118-119)

“Iya, ga’ mau dia sekolah kalau ga’ opung antar. Nangis aja tu kerjanya kalau ga’ diantar opung.”

(FAS1.W1/b.123-124)

Selama ini Ali tidak pernah merasakan sakit fisik apapun ketika akan pergi sekolah.

“...ga’ pernah...sakit.” (S1.W2/b.507)

“E...kalau seingat opung Ali ga’ pernah sakit kalau mau pergi ke sekolah. Ya paling sakit demam aja baru ga’ sekolah.”

(FAS1.W1/b.138-140)

Ali pernah mengeluh tidak mau pergi sekolah karena neneknya tidak bisa mengantar dikarenakan sakit, tapi hanya terjadi sekali dalam tahun ajaran ini.

“....ya....pernah ga’ sekolah.” (S1.W2/b.494)

“...ga’ mau sekolah....ga’ diantar opung.” (S1.W2/b.498)


(55)

“E...pernah Ali bilang dia ga’ mau pergi ke sekolah, soalnya opung ga’ bisa ngantar, opung lagi sakit waktu itu.”

(FAS1.W2/b.271-273)

Perasaan Ali terhadap sekolah tidak ada yang negatif, karena Ali punya teman dan guru yang baik. Ali hanya takut kalau tidak diantar opung ke sekolah.

“(mengangguk)...senang...bisa sekolah.” (S1.W1/b.312)

“...temannya baik, ...gurunya juga.” (S1.W1/b.354)

“...takut...kalau ga’ ada opung.” (S1.W1/b.367)

Ali hanya ingin neneknya mengantar dan menungguinya selama ia sekolah atau sampai pulang sekolah setiap hari. Ali tidak ingin berpisah dengan neneknya ketika berada dilingkungan sekolah.

“Ga’ (dengan suara yang keras)...opung nunggui Ali.” (S1.W1/b.179-180)

“(mengangguk)...ga’ mau pisah sama opung.” (S1.W3/b.580)

“Ga’, ga’ nangis dia kalau opung yang ngantar ke sekolah.” (FAS1.W1/b.126-127)

3. Apa yang memicu sehingga anak mengalami school refusal.

Ali paling dekat dengan neneknya, karena itu hampir semua kegiatan hariannya dilakukan bersama neneknya. Baik di rumah maupun di sekolah.

“...pergi sekolah sama opung....” (S1.W1/b.75)

“...(mengangguk) belajar,...sama opung.” (S1.W1/b.116)


(56)

“...opung nemenin belajar...” (S1.W1/b.119)

“....diajarin opung juga (sambil tersenyum).” (S1.W1/b.121)

“...main sama opung.” (S1.W1/b.163)

“....jajan.” (S1.W1/b.257) “...sama opung.” (S1.W1/b.259)

“Ya langsung pergi ke sekolah, Ali sama opung.” (FAS1.W1/b.109)

“Ya kalau pulang sama opung.” (FAS1.W1/b.244)

Penyebab Ali mengalami school refusal adalah karena Ali merasa takut pada seorang guru disekolahnya sehingga menyebabkan Ali tidak ingin berpisah dari neneknya.

“...takut...bu guru.” (S1.W3/b.525)

“...galak.” (S1.W3/b.529)

“...suka...marah.” (S1.W3/b.531)

“....bu guru...galak.” (S1.W3/b.541)

“...suaranya...besar.” (S1.W3/b.543)

“Ya ....dah terkenal galaknya, banyak murid yang takut sama ibu itu.” (FAS1.W2/b.337-338)


(57)

“Kayaknya...ga’ pernah dimarahi, Ali kan anaknya pendiam ga’ ribut dikelas, jadi ga’ kena marah.”

(FAS1.W2/b.340-342)

“Opung rasa karena suara ibu itu besar, kuat gitu kalau ngomong. Jadi si Ali takut lihat ibu itu. “

(FAS1.W2/b.344-345)

4. Bagaimana respon dan sikap orangtua terhadap anak yang mengalami school refusal.

Respon nenek Ali ketika pertama kali diberitahu kalau Ali mengalami school refusal adalah berusaha menyangkal, tapi setelah dijelaskan mau menerima dan ingin tahu bagaimana mengatasinya.

“Tapi Ali terus sekolah kok. Ga’ pernah nya dia ga’ sekolah kecuali sakit.” (FAS1.Rapport/b.21-22)

“Iya sih, kayaknya memang cuma Ali yang ditunggui sampai pulang. Tapi kalau diantar, hampir semua temannya juga diantar kok.”

(FAS1.Rapport/b.35-37) “Bahaya ga’ itu?” (FAS1.Rapport/b.43)

Langkah yang pernah dilakukan nenek Ali untuk mengatasi school refusalnya adalah dengan terus mengantar dan menunggui Ali sampai Ali berani pergi sendiri atau bersama kakak dan temannya.

“Apa ya... selama ini dengan ngantar dan nemenin Ali kayak gini udah bisa kayaknya. Jadi opung ga’ buat apa-apa lagi.”


(58)

IV.A.2. Subjek 2 IV.A.2.a. Identitas diri

Nama : Aini

Kelas : VI SD

Usia : 11 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Urutan Kelahiran : Anak ke 4 dari 6 bersaudara Pekerjaan Ayah : Wiraswasta

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga

IV.A.1.b. Latar belakang keluarga dan pendidikan

Aini adalah anak keempat dari enam bersaudara, dengan ayah yang sehari-harinya bekerja wiraswasta dan ibunya hanya ibu rumah tangga. Ibu kandung Aini sudah lama meninggal, ibunya yang sekarang adalah ibu tirinya. Aini punya satu orang kakak laki-laki, dua orang kakak perempuan dan dua orang adik. Di rumah Aini tinggal bersama kedua orangtuanya, tiga orang kakak dan dua orang adik, seorang nenek, paman dan bibi. Keluarga Aini tinggal di rumah yang sederhana namun terlihat asri karena ada beberapa tanaman di halaman depan. Aini tidak pernah mengikuti pendidikan apa pun sebelum masuk sekolah dasar.


(59)

IV.A.1.c. Hasil observasi

Peneliti berkenalan dengan Aini di sekolahnya pada tanggal 20 Agustus 2007 setelah mendapat ijin dan informasi dari kepala sekolah dan guru wali kelasnya. Peneliti berkenalan dengan Aini diruang kepala sekolah, setelah Aini dipanggil dari kelasnya. Ruang kepala sekolah kira-kira berukuran 2 X 3.5 meter persegi dan didalamnya terdapat satu meja, tiga kursi, satu lemari, satu jam dinding, dan satu papan tulis.

Aini adalah anak SD kelas VI yang memiliki tinggi badan  120 cm, berat badan  24 kg dan saat itu Aini memakai seragam putih merah tanpa dasi dan tali pinggang. Aini juga memakai sepatu hitam dengan kaos kaki putih dan rambutnya pendek tertata rapi. Aini terlihat manis walaupun pada kulit leher, tangan dan kakinya terlihat ada benjolan-benjolan kecil berwarna merah tua.

Setelah Aini duduk, peneliti mulai memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan bertemu dengan Aini dan meminta kesediaannya untuk mengisi skala yang dibawa peneliti. Peneliti menjelaskan apa dan bagaimana mengisi skala tersebut, dan setelah Aini mengerti peneliti memberikan skala dan pulpen padanya, Aini langsung mengisi skalanya. Aini terlihat sibuk mengisi dan bibirnya terlihat komat-kamit membaca skala, Aini hanya bertanya dua kali selama mengisi skala.

Beberapa menit kemudian Aini sudah selesai mengerjakan semua pernyataan yang ada dalam skala, lalu menyerahkan skala dan pulpen pada peneliti. Sebelum Aini kembali ke kelasnya, peneliti menanyakan kesediaannya untuk diwawancarai. Peneliti juga membuat jadwal bersama Aini kapan dan


(60)

dimana akan dilakukannya wawancara tersebut. Setelah memperoleh kesepakatan barulah Aini kembali kekelasnya dan peneliti pun berterima kasih serta mohon pamit pada kepala sekolah.

Keesokan harinya pada tanggal 21 Agustus 2007 peneliti datang ke sekolah Aini dengan maksud untuk melakukan observasi tapi ternyata Aini tidak masuk sekolah. Jadi peneliti memutuskan untuk datang lagi lain hari. Akhirnya peneliti melakukan observasi setelah empat hari dari pertemuan pertama tepatnya pada tanggal 24 Agustus 2007. Observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi dalam setting alamiah dan peneliti tidak berpartisipasi didalamnya, jadi peneliti berusaha agar Aini tidak mengetahui kedatangan dan kehadiran peneliti.

Aini berada didalam kelas ketika peneliti datang, Aini memakai seragam putih merah sama seperti biasanya. Kelas Aini kira-kira berukuran 5 X 7 meter persegi dengan empat kolom dan lima baris meja yang menghadap papan tulis dan satu meja buat guru yang membelakangi papan tulis. Terdapat sekitar 40 orang siswa dalam kelas dengan seorang guru. Aini duduk pada kolom kedua dari pintu kelas dibaris ketiga. Kelas Aini memiliki satu pintu di sebelah kanan kelas dan beberapa jendela disisi kirinya.

Aini duduk dengan teman perempuannya dan terlihat asyik menulis pelajaran yang disuruh guru. Tapi Aini terlihat tidak begitu serius mengerjakan apa yang disuruh guru, karena sesekali Aini dan teman sebangkunya tertawa dengan suara yang pelan dan juga mengajak teman yang dibelakangnya untuk bicara dan tertawa juga.


(1)

penanganan yang dijelaskan dalam Rini (2002), yaitu lepaskan anak secara bertahap.

Sedangkan langkah yang diambil oleh nenek Aini hanya berusaha memahami Aini dan memberikannya perhatian yang lebih. Nenek Aini juga menjalankan langkah pertama penanganan school refusal yang diungkapkan oleh Rini (2002), yaitu tetap menekankan pentingnya sekolah. Nenek Aini tidak selalu memberikan ijin pada Aini untuk tidak sekolah dan menjelaskan pada Aini bahwa sekolah penting dan jika tidak sekolah ia akan ketinggalan pelajaran.

V.B. Diskusi

Pada sub bab ini akan diutarakan hal-hal tambahan yang ditemukan di lapangan penelitian, sekiranya patut dijadikan bahan diskusi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap kedua subjek dalam penelitian ini ditemukan bahwa kedua subjek mengalami rasa takut terhadap guru mereka masing-masing, yang menyebabkan subjek 1 tidak ingin lepas atau terus menempel pada figure attachmentnya sedangkan subjek 2 tidak ingin masuk sekolah kalau ada pelajaran guru yang ia takuti. Rasa takut terhadap guru termasuk sebagai penyebab school refusal yang kedua yaitu pengalaman negatif di sekolah (dalam Rini, 2002).

Pengalaman sekolah sebelumnya bisa membuat seorang anak mengalami school refusal, terlihat seperti yang dialami Ali (subjek I). Ali sebelumnya sudah dimasukan ke sekolah setahun yang lalu, saat usianya 6 tahun, oleh neneknya. Pertama kali masuk sekolah Ali mendapat pengalaman buruk yang membuatnya takut, yaitu bertemu dengan guru yang dianggapnya galak. Rasa takut pada


(2)

gurunya menyebabkan Ali takut ke sekolah sehingga Ali batal sekolah tahun lalu. Masuk sekolah tahun ini juga masih menimbulkan rasa takut dalam diri Ali dan tidak ingin berpisah dari neneknya.

V.C. Saran

V.C.1. Saran praktis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami school refusal masih bisa terus sekolah asalkan orangtua dan guru mau bekerjasama untuk mengetahui penyebabnya dan membantu anak yang mengalami school refusal untuk dapat mengatasi masalahnya. Dengan mengetahui penyebab anak mengalami school refusal sedini mungkin akan semakin cepat pula masalah school refusal yang dialami anak teratasi.

Dalam penelitian ini kedua subjek mengalami school refusal disebabkan karena rasa takut terhadap gurunya masing-masing, oleh karena itu peneliti menyarankan kepada para guru agar mau memahami anak didiknya dengan lebih mendalam lagi dan menggunakan metode pengajaran yang lebih baik serta mengembangkan sifat-sifat pengajar yang menggambarkan suri tauladan.

V.C.2. Saran penelitian lanjutan

Saran untuk penelitian selanjutnya ialah peneliti harus memiliki keterampilan mewawancarai karena dapat mempengaruhi penggalian informasi secara signifikan, sehingga kesiapan peneliti sebagai pewawancara sangat diperlukan.


(3)

Peneliti lain dapat meneliti tentang hal lain dari anak yang mengalami school refusal, seperti melihat beda dari setiap tingkatan school refusal, atau melihat perbedaan anak school refusal ditinjau dari sosial ekonomi dan budaya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2000). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Banister, P. (1994). Qualitative methods in psychology a research guide.

Buckingham: Open University Press.

Berg, Ian. (1997). School refusal. Proquest. [online] http://proquest.umi.com/pqdweb. Diakses pada 25 April 2006.

Daud, Lukman; Ismarli Muis. (2003). Profil masalah siswa sekolah dasar, studi dengan menggunakan Teachers Refort Forms (TRF) pada SD Perguruan Islam Athirah Makassar. Intelektual, Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, vol 1 no.2, Sept 2003.

Davison, Gerald C; john M.Neale; Ann M.Kring. (2006). Psikologi abnormal (Edisi ke-9). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Fremont, Wanda P. (2003). School refusal in children and adolescents. Proquest. [online] http://www.findarticles.com/p/articles/mi m3225/is 8 68/ai 108993941/pg 1-4. Diakses pada 4 Maret 2006.

Gay, L.R., & Airasian.P., (2003). Educational research: competencies for analysis & aplication (7th ed). New Jersey : Merril Prentice Hall.

Gelfand, Donna. M & Clifford. J. Drew. (2003). Understanding child behavior disorders (Fourth Edition). Belmont, CA, USA : Thomson Wadsworth. Hurlock, Elizabeth B. (1999). Perkembangan anak (Edisi keenam). Jakarta :

Erlangga.

Ibrahim, M. D. (1993). Seminar pendidikan nasional. Makalah. Malang: Universitas Merdeka.

Irmawati. (2002). Pola pengasuhan dan motivasi berprestasi pada Suku Bangsa Batak Toba dan Melayu. (Tesis). Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana UI. Kahn, Jack. (1981). Unwillingly to school. New York : Pergamon Press.

Kearney, Christopher A. (2001). School refusal behavior in youth a functional approach to assessment and treatment. Washington, DC: American Psychological Association.


(5)

Kumara, Amitya; Budi Andayani. (1997). Keterampilan mengarang siswa sekolah dasar suatu studi eksplorasi. Jurnal Psikologi. Tahun XXIV no.1, Juni 1997. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Mahfuzh, Syaikh M. Jamaluddin. (2001). Psikologi anak dan remaja muslim. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.

Mash, Eric. J & David A.Wolfe. (2005). Abnormal child psychology (Third Edition). Belmont, CA, USA : Thomson wadsworth.

Minauli, Irna. (2002). Metode observasi. (Cet.I). Medan: USU Press.

Moleong, L.J.Dr.MA. (2000). Metodologi penelitian kualitatif (Cet.13). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mubin, Drs, M.Ag & Ani Cahyadi. (2006). Psikologi perkembangan. Jakarta : Quantum Teaching (PT. Ciputat Press Group).

Mukhtar, Desvi Yanti. (2000). Kreativitas siswa sekolah alam dan sekolah dasar biasa. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Munandar, S.C. Utami. (1985). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak

sekolah. Jakarta : PT. Gramedia.

Padgett, D.K. (1998). Qualitative methods in social work research challenges and rewards. London: Sage Publications.

Poerwandari, Kristi. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Rifai, Melly Sri Sulastri. (1993). Tugas-tugas perkembangan dalam rangka

bimbingan perawatan anak. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Rini, Jacinta F. (2002). School refusal. E-psikologi, [online] http://www.e-psikologi.com/ANAK/101002.htm. Diakses pada 16 januari 2006.

Setzer, Nicole Ph.D & Amanda Salzhauer, C.S.W. (2001). Understanding school

refusal [online] http://www.aboutourkids.org/aboutour/articles/refusal.html. Diakses

pada 31 maret 2006.

Stewart, Charles. J & Cash, W.B,. (2000). Interviewing: Principles and practices. USA: McGraw Hill Company.


(6)

Sukadji, Soetarlinah. (2000). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (L.P.S.P3.) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Suryabrata, Sumadi. (1998). Psikologi pendidikan. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Wenar, Charles. (1994). Developmental psychopathology from infancy through adolescence (Third Edition). New York : McGraw Hill, Inc.

Zulkifli, Drs. (2005). Psikologi perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.