Penyerap Oksigen Dan Zat Antipencoklatan Sebagai Penghambat Perubahan Warna Singkong Terolah Minimal

PENYERAP OKSIGEN DAN ZAT ANTIPENCOKLATAN
SEBAGAI PENGHAMBAT PERUBAHAN WARNA
SINGKONG TEROLAH MINIMAL

DIKI DANAR TRI WINANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penyerap Oksigen dan
Zat Antipencoklatan sebagai Penghambat Perubahan Warna Singkong Terolah
Minimal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Diki Danar Tri Winanti
NIM F152130291

RINGKASAN
DIKI DANAR TRI WINANTI. Penyerap Oksigen dan Zat Antipencoklatan
sebagai Penghambat Perubahan Warna Singkong Terolah Minimal. Dibimbing
oleh EMMY DARMAWATI dan RIZAL SYARIEF.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk hidup sehat, semakin
banyak orang yang memilih pangan fungsional sebagai makanan konsumsi seharihari. Salah satu sumber bahan pangan fungsional adalah singkong. Singkong
merupakan sumber karbohidrat yang memiliki indeks glikemik rendah. Bahan
pangan berindeks glikemik rendah diketahui aman dikonsumsi oleh penderita
obesitas, diabetes, kanker, dan penyakit jantung. Namun, singkong yang dijual di
pasaran kebanyakan masih berbentuk mentah tanpa pengemasan yang menarik.
Sedangkan konsumen yang sadar kesehatan umumnya merupakan kalangan
menengah ke atas yang menginginkan produk yang praktis, higienis, aman
dikonsumsi, dan nilai gizinya terjaga. Hal itu menjadi tantangan tersendiri dalam
penanganan pascapanen dan pengolahan singkong.
Teknologi proses minimal dapat menjadi salah satu solusi permasalahan

tersebut. Kendala dari singkong yang diolah secara minimal yaitu terjadinya
perubahan warna permukaan singkong menjadi kecoklatan setelah dilakukan
pengupasan kulit dan pemotongan bahan. Perubahan warna singkong menjadi
kecoklatan disebabkan oleh reaksi enzimatis polifenol oksidase (PPO).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh penyerap
oksigen, zat antipencoklatan, dan kombinasi keduanya terhadap perubahan warna
pada permukaan singkong terolah minimal. Bahan yang digunakan antara lain
singkong manggu dengan umbi berwarna putih dan berumur 7 bulan setelah
tanam, zat antipencoklatan berupa asam sitrat (AS) 1% (b/v) dan asam askorbat
(AA) 1% (b/v), serta penyerap oksigen berbahan baku serbuk besi 1.7 g
perkemasan. Singkong yang telah dikupas kulit luar dan kulit dalamnya dicuci
kemudian direndam dalam zat anti pencoklatan. Singkong yang sudah direndam,
ditiriskan secara cepat dan dikemas dalam plastik polietilen (PE) 0.09 mm. Berat
singkong setiap kemasan yaitu 500 g. Variasi perlakuan pengemasan yaitu dengan
menambahkan penyerap oksigen ke (+PO) dalam kemasan dan tanpa penyerap
oksigen (-PO). Singkong terolah minimal yang sudah dikemas kemudian disimpan
pada suhu 27 oC, 10 oC, dan 5 oC hingga sampel rusak. Parameter mutu yang
diukur antara lain warna, indeks pencoklatan, total fenol, pH, total padatan terlarut
(TPT), total HCN, tekstur (kekerasan), dan sifat sensoris (warna, tekstur, dan
aroma). Data diolah dengan analisis variansi (ANOVA) pada p < 0.05 dan uji

beda nyata Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan p < 0.05. Uji
pembobotan menggunakan weighed property indices.
Hasil terbaik adalah singkong terolah minimal dengan kombinasi
perlakuan asam askorbat 1% yang dikemas dengan penambahan penyerap oksigen
dan disimpan pada suhu 5 oC. Perubahan warna dapat dicegah hingga 96 jam.
Nilai mutu dari hasil tersebut pada akhir penyimpaanan yaitu warna L 84.45; a* 0.09; b* 11.38; kenaikan indeks pencoklatan 4.48%; TPT 4.20 obrix; dan tekstur
kekerasan 0.37 N m-2.
Kata kunci: asam askorbat, asam sitrat, pencoklatan, penyerap oksigen, singkong

SUMMARY
DIKI DANAR TRI WINANTI. Oxygen Absorber and Antibrowning Agent for
Inhibition of Color Changes in Minimally Processed Cassava. Supervised by
EMMY DARMAWATI and RIZAL SYARIEF.
Along with the increasing awareness of healthy living, many people are
choosing a functional food as a daily food consumption. One source of functional
food ingredient is cassava. Cassava is a source of carbohydrates that have a low
glycemic index. Foodstuffs with low glycemic indexed known safe for
consumption by people with obesity, diabetes, cancer, and heart disease.
However, cassava is sold in the market still mostly raw-form without attractive
packaging. While the health conscious consumer is generally an upper middle

class who want products that are practical, hygienic, safe, and nutritional value is
maintained. It can be a challenge in post-harvest handling and processing of
cassava.
Minimal process technology is one solution to these problems. Constraints
of cassava minimally processed, namely a color change to brown cassava surface
after peeling and cutting material. Cassava color changes to brown is becaused of
the enzymatic reaction of poliphenol oxydase (PPO).
The purpose of this study was to examine the effect of oxygen absorber,
anti-browning agent, and a combination of both to discoloration on the surface of
cassava minimally processed. Materials used include cassava var. manggu with
white bulbs and aged 7 months after planting, substance anti-browning form of
citric acid (AS) 1% (w/v) and ascorbic acid (AA) 1% (w/v), as well as oxygen
absorber raw material iron powder 1.7 g package. Cassava peeled, washed, and
soaked in anti-browning agent then drained quickly and packed in polyethylene
(PE) plastic bag (0.09 mm thickness). Cassava weight of each package was 500 g.
The variations of packaging treatment by adding oxygen absorber (+PO) and
without oxygen absorber (-PO). Minimally processed cassava stored at 27 °C, 10
°C and 5 °C until the sample was broken. Quality parameters measured include
color, browning index, total phenols content, pH, total soluble solids (TSS), total
HCN content, texture (hardness), and sensory properties (color, texture, and

aroma). The data were processed by analysis of variance (ANOVA) at p < 0.05
and a real difference test Duncan's Multiple Range Test (DMRT) with P 5, aseton sianohidrin
didekomposisi menjadi aseton dan hidrogen sianida (HCN) atau asam biru.
Akumulasi HCN menyebabkan warna permukaan singkong berubah menjadi biru
gelap (Sanchez et al. 2013a).

Gambar 1 Reaksi perubahan linamarin menjadi HCN (Sanchez 2013a)
Menurut BPOM RI (2014), HCN dapat menjadi racun bila dikonsumsi melebihi
kadar 50 ppm. Berdasarkan kadar HCN pula, singkong dikelompokkan menjadi dua

5

jenis yaitu singkong pahit dan singkong manis. Singkong pahit adalah yang
mengandung kadar HCN tinggi (>50 mg per kg bahan). Sedangkan singkong manis
adalah yang mengandung kadar HCN rendah (25.7 oC
(Essers et al. 1966). Singkong manis dimanfaatkan untuk konsumsi langsung misalnya
dengan dimasak menjadi kudapan.
Beberapa varietas singkong konsumsi yang banyak dikenal masyarakat antara lain
singkong manggu, cimanggu, apuy, adira, mentega, menti, dan baros kencana.
Berdasarkan penelitian Rahman et al. (2015), singkong manggu memiliki kadar pati

paling tinggi (15 – 22%) dibandingkan dengan varietas lokal lainnya. Singkong varietas
manggu juga memiliki kadar skopoletin yang tinggi yaitu 16.55 mg per kg bobot kering
dan dalam bentuk tepung hasil penyawutan 6.94 mg per kg bobot kering (Herlina dan
Nuraeni 2015). Menurut Aviana dan Pohan (2012), pengolahan singkong dapat
menurunkan persentase kandungan skopoletin. Pengolahan menjadi keripik singkong
dapat mempertahankan skopoletin hingga 5.77%, tepung mocaf 97.10%, dan singkong
kukus 72.35%.
Umbi singkong dalam bentuk ruah memiliki umur simpan 3-4 hari. Kerusakan
pascapanen singkong yang umumnya terjadi yaitu kerusakan primer dan kerusakan
sekunder. Kerusakan primer singkong disebabkan karena reaksi kimia pada singkong
akibat adanya luka pada saat pemanenan atau pengolahan. Kerusakan ini berupa
perubahan warna dan pelunakan tekstur (Sanchez et al. 2013a). Reaksi perubahan
warnanya disajikan pada Gambar 2. Sedangkan kerusakan sekunder dipicu oleh
pertumbuhan mikrobia (Isamah 2003, 2004). Kerusakan ini dapat diminimalisir dengan
penyimpanan pada suhu 2 – 7 oC (Watkins 2003).

Gambar 2 Reaksi pencoklatan enzimatis PPO (Mesquita & Queiroz 2013)
Perubahan warna permukaan singkong menjadi kecoklatan terjadi karena adanya
reaksi enzimatis PPO (Sanchez et al. 2013b). Pengupasan dan pemotongan singkong
menyebabkan dinding sel pada jaringan vaskuler singkong terbuka. Akibatnya, enzim

polifenol oksidase (PPO) yang sudah tersedia secara alamiah di dalam jaringan

6

singkong mulai keluar dari dalam sel. Enzim PPO bereaksi dengan O2 yang tersedia di
udara mengkatalis reaksi hidroksilasi senyawa monofenol o-difenol (peristiwa
cresolase). O-difenol kemudian dikatalis oleh PPO dan O2 membentuk o-quinon
(peristiwa catecolase). Dalam waktu singkat o-difenol dan o-quinon dihidroksilasi
membentuk senyawa trifenolase berupa melanin yang membentuk warna kecoklatan
(Mesquita dan Queiroz 2013).
Singkong secara alami juga memiliki enzim katalase yang dapat membantu
melindungi jaringan dari kerusakan pascapanen. Namun, masih diperlukan perlakuan
lain untuk mencegah kerusakan termasuk perubahan warna vaskuler. Caranya dapat
dengan inaktivasi enzim PPO, penambahan inhibitor enzim, atau dengan
menghilangkan substrat pemicu reaksi misalnya oksigen (Ohlsson 2000).
Pengolahan Minimal Produk Segar
Teknologi pengolahan minimal pangan adalah salah satu metode pengawetan
bahan pangan segar dengan meminimalisir pengolahan agar tidak merusak nilai gizinya
(Ohlsson 2000). Batasan dari pengolahan ini yaitu ketika proses fisiologis seperti
kondisi segarnya masih terjadi. Oleh karena itu, kerusakan sifat fisik dan kimia produk

harus ditekan karena perubahan yang kecil sangat berpengaruh terhadap mutu bahan
segar (Gil dan Kader 2008). Dengan pengolahan minimal, bahan segar menjadi produk
yang siap saji dan praktis namun mutunya tetap dapat dipertahankan, susut hasil dapat
dikurangi, dan nilai tambahnya dapat ditingkatkan.
Ada empat jenis perlakuan untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang
umur simpan dalam pengolahan minimal pangan antara lain (1) pengolahan minimal
dengan menggunakan panas; (2) pengolahan minimal tanpa menggunakan panas; (3)
pengemasan dengan atmosfer termodifikasi; dan (4) penambahan zat pengawet alami
(Ohlsson 2000). Tahapan pengolahan minimal yang umum dilakukan antara lain
pengupasan, pemotongan, perlakuan untuk mempertahankan mutu, dan pengemasan.
Contoh pengolahan minimal pada bahan segar dilakukan oleh Rocculi (2007)
terhadap kentang dengan pelapisan menggunakan larutan campuran asam sitrat dan Lsistein serta pelapisan dengan campuran asam sitrat dan asam askorbat oleh Limbo
(2006, 2007). Adapula pelapisan asam askorbat dan aloe vera terhadap stroberi oleh
Sovgar (2016) untuk mencegah kerusakan warna dan tekstur produk akibat aktivitas
mikrobia.
Cara yang paling sederhana untuk menekan laju kerusakan bahan hasil pertanian
segar seperti singkong terolah minimal adalah dengan penyimpanan pada suhu rendah.
Namun, hasil yang lebih baik didapatkan dengan menerapkan konsep Hurdle dimana
beberapa perlakuan dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik (Goyeneche
2014). Seperti pada penelitian Kartal et al. (2012) yang mengkombinasi pengemasan

dengan plastik mikroperforasi dengan penyerap oksigen terhadap stroberi terbukti dapat
mencegah perubahan warna lebih baik daripada hanya satu perlakuan saja.
Upaya lain untuk mempertahankan mutu produk yang terolah minimal dilakukan
dengan modifikasi kemasan. Pengemasan menggunakan plastik transparan yang telah
disesuaikan komposisi udaranya dapat mempertahankan kesegaran bahan segar. Dengan
permeabilitas jenis pengemas yang telah disesuaikan dengan kebutuhan bahan segar
terhadap udara, respirasi dan metabolisme dapat dikendalikan. Kemasan juga dapat
memberi kesan bahwa produk dalam keadaan segar jika dapat dilihat secara langsung.
Pencantuman logo yang menarik seperti pada produk buah potong (Muhadjir 2010)
akan lebih meyakinkan konsumen untuk membeli produk tersebut.

7

Masalah yang dihadapi dalam pengolahan minimal bahan segar adalah terjadinya
perubahan fisiologis yang tidak diinginkan karena rusaknya sel bahan akibat
pengupasan dan pemotongan. Singkong yang dikupas akan mengalami perubahan warna
dalam waktu 3 – 4 jam. Selanjutnya akan terjadi peningkatan laju respirasi, transpirasi,
dan produksi etilen serta reaksi pencoklatan. Selain itu, permukaan buah yang dipotong
rawan untuk digunakan mikrobia sebagai media pertumbuhan (Muhadjir 2010).
Penyerap Oksigen

Penyerap oksigen banyak digunakan di industri makanan sebagaimana
penggunaan sistem nitrogen dan pengemasan vakum utuk memperpanjang umur simpan
produk (Maxis 2012). Sistem ini digunakan untuk menyerap oksigen residu setelah
dilakukan proses pengemasan. Prinsipnya yaitu dengan merekayasa komposisi udara
dalam kemasan secara terus-menerus selama penyimpanan. Oleh karena itu teknik ini
disebut sebagai kemasan aktif. Penyerap oksigen komersil dapat menyerap kurang dari
0.01% oksigen residu. Aplikasi penyerap oksigen dapat dikombinasikan dengan atau
tanpa kemasan MAP. Namun, efektifitasnya akan lebih baik jika dikombinasikan
dengan kemasan atmosfer termodifikasi pasif atau kemasan vakum (Realini dan Marcos
2014).
Penyerap oksigen dibuat berdasarkan prinsip oskidasi besi (Fe2+). Bahan-bahan
yang sering digunakan sebagai penyerap oksigen antara lain bubuk besi dan asam
askorbat (Aday et al.
2011). Penyerap oksigen juga dapat menggunakan
mikroorganisme seperti Bacillus amyloliquefaciens ID9698 (Anthierens et al. 2011) dan
Kocuria varians dan Pichia subpelliculosa (Altieri et al. 2004) yang diperangkap dalam
kemasan plastik polimer.
Penyerap oksigen dapat bekerja untuk meminimalisir reaksi oksidasi selama
penyimpanan produk sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Reaksi oksidasi
yang dihambat misalnya pembentukan asam lemak bebas akibat oksidasi lemak,

oksidasi vitamin C, dan perubahan warna pada daging secara enzimatis (Realini dan
Marcos 2014). Kemampuannya dalam mengurangi oksigen reduksi dalam kemasan
dapat digunakan secara efektif pada produk buah dan sayur (Kartal et al. 2012). Salah
satu penelitian dengan penyerap oksigen pada buah-buahan dilakukan oleh Aday et al.
(2011) pada komoditas stroberi untuk mempertahankan kenampakan dan
memperpanjang umur simpan produk.
Reaksi kimia penyerapan oksigen (Realini dan Marcos 2014) disajikan pada
skema berikut:
 Penyerap oksigen dari serbuk besi
Fe
 Fe2+ + 2 e½ O2 + H2O + 2 e
 2 OHFe2 + 2 OH Fe(OH)2
Fe(OH)2 + ¼ O2 + ½ H2O  Fe(OH)3
 Penyerap oksigen dari asam askorbat
AA + 2 Cu2+
 DHAA + 2 Cu+ + 2 H+
2 Cu+ + 2 O2
 2 Cu2+ + 2 O2+
2+
2 O2 + 2 H + Cu
 O2 + H2O2 + Cu2+
H2O2 + Cu2+ + AA
 Cu2+ + DHAA + 2 H2O
diringkas menjadi:
AA + ½ O2
 DHAA + H2O2

8

Zat Antipencoklatan
Zat antipencoklatan (antibrowning agent) adalah senyawa-senyawa yang
digunakan pada pengolahan pangan untuk mencegah reaksi pencoklatan secara oksidasi
maupun enzimatis. Jenis-jenis zat antipencoklatan yang umum digunakan pada
teknologi pengolahan minimal antara lain asam askorbat, asam sitrat, benzoat, dan sulfit
(Ohlsson 2000; Gil dan Kader 2008). Namun penggunaan sulfit sangat dibatasi karena
memberikan dampak buruk bagi kesehatan (Ohlsson 2000). Contoh lainnya yaitu
sodium nitroprusid 0.5 mM (Yang et al. 2010) atau dengan asam salisilat (Luo 2012)
untuk menghambat pencoklatan pada rebung, penggunaan larutan campuran asam sitrat
dan L-sistein terhadap kentang (Rocculi 2007), perendaman asam sitrat 0.3% dengan
suhu 50 oC selama 3 menit pada lobak (Goyeneche et al. 2014), perendaman nanas
potong dalam asam askorbat 0.05 mol l-1 dan asam sitrat 0.05 mol l-1 selama 2 menit
(Gonzalez 2004), dan perendaman kalsium sitrat 0.4% dengan suhu 60 oC selama 1
menit pada terong (Barbagallo 2012).
Zat antipencoklatan yang digunakan pada penelitian ini ada dua jenis yaitu asam
askorbat dan asam sitrat. Profil dari dua jenis asam tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asam askorbat
Asam askorbat (AA) umum digunakan sebagai zat antipencoklatan pada kisaran
konsentrasi 0.5 – 4 % (Sogvar et al. 2016). Batas aman penggunaan asam askorbat pada
makanan yang diperbolehkan oleh BPOM RI yaitu 200 mg per kg bahan atau 25 ppm.
Asam askorbat berfungsi sebagai antioksidan yang mencegah reaksi oksidasi.
Asam askorbat bekerja dengan cara mereduksi o-quinon sehingga o-quinon kembali
berubah menjadi bentuk o-difenol (Gil dan Kader 2008). Dengan demikian, reaksi
pembentukan trifenol (melanin) yang menyebabkan warna coklat dapat dihambat.
Struktur kimia asam askorbat disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kimia asam askorbat
Perendaman dengan asam askorbat terbukti efektif mengurangi pembentukan oquinon oleh PPO dan komponen fenolik lainnya (Hutchings 1999). Namun, pengaruh
asam askorbat sebagai antioksidan hanya terjadi ketika dilakukan perlakuan.
Kemampuan penghambatan asam askorbat terhadap pembentukan o-quinon akan
berangsur-angsur berkurang seiring dengan semakin menipisnya jumlahnya selama
penyimpanan. Artinya, asam askorbat dapat mempertahankan kualitas komersial produk
terolah minimal dalam satu kisaran waktu tertentu (Jang dan Moon 2011).
2. Asam sitrat
Asam sitrat (AS) adalah asam organik lemah yang dapat diproduksi masal
dengan memanfaatkan metabolisme Aspergilus niger. Batas aman penggunaan asam

9

sitrat pada makanan yang diperbolehkan oleh BPOM RI adalah 3 g per kg bahan.
Struktur kimia asam sitrat disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur kimia asam sitrat
Asam sitrat juga merupakan zat antipencoklatan yang efektif menghambat
aktifitas PPO. Cara kerjanya yaitu dengan melepaskan Cu2+ sebagai kofaktor sisi aktif
enzim PPO. Ion Cu2+ akan bereaksi dengan O2 membentuk grup oxo. Enzim PPO
kemudian menjadi inaktif dan pembentukan o-quinon menjadi terhambat (Rocculi 2007;
Gil dan Kader 2008; Elhady 2014). Selain itu asam sitrat dapat mencegah autooksidasi
asam askorbat (Hutchings 1999; Rocculi et al. 2007) dan berfungsi sebagai asidulan
untuk menurunkan pH bahan (Hutchings 1999; Gil dan Kader 2008).

3 METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah singkong varietas manggu
dengan umbi berwarna putih berumur 7 bulan setelah tanam yang dipanen dari Desa
Cikarawang, Bogor. Diameter singkong yang digunakan rata-rata 3 cm sehingga mudah
dikemas. Zat antipencoklatan yang diaplikasikan berupa asam sitrat (AS) dan asam
askorbat (AA) dalam bentuk serbuk. Masing-masing asam dilarutkan dalam air dengan
konsentrasi 1% (b/v). Bahan pengemas singkong berupa kantong plastik polietilen (PE)
ketebalan 0.09 mm. Penyerap oksigen yang digunakan adalah penyerap oksigen
komersil berbahan baku serbuk besi seberat 1.7 g perkemasan dan kapasitas penyerapan
50 ml O2 perhari.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain chromameter Minolta CR400 untuk mengukur warna L a* b*, pH meter untuk mengukur tingkat keasaman,
digital refractometer portable untuk mengukur total padatan terlarut, dan universal
testing machine (UTM) WDW 10E dengan probe silinder berdiameter 5 mm untuk
mengukur kekerasan. Alat untuk mengukur laju respirasi antara lain gas analyzer IRA
107 dan portable oxygen tester POT-101 Shimadzu untuk menghitung konsentrasi O2
dan CO2, stoples kaca (volume 3310 ml) sebagai respiration chamber. Penyimpanan
sampel dilakukan dalam ruangan suhu 27 oC serta chilling room suhu 10 oC dan 5 oC.

10

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan dan
Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem (TMB), Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB pada bulan Mei – Agustus 2015. Analisis biokimia dilakukan
di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Prosedur Penelitian
Penelitian terdiri dari empat tahapan yaitu persiapan sampel, pengolahan minimal,
penyimpanan, dan pengukuran respon. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar
5. Persiapan sampel berupa umbi singkong manggu segar dimulai dari proses sortasi di
lahan ketika panen pada waktu pagi hari. Sortasi dilakukan untuk memilih umbi
singkong yang berdiameter 3 cm, utuh, dan tidak terserang hama. Pengangkutan
singkong dilakukan dengan karung plastik pada suhu ruang. Jeda waktu antara panen
hingga pengolahan tidak lebih dari 6 jam agar singkong terjamin kesegarannya.
Pengolahan minimal singkong dimulai dengan pengupasan kulit luar hingga
kulit dalam singkong. Kemudian, dilakukan pengecilan ukuran sehingga singkong
berbentuk tabung berdiameter 3 cm dan panjang 9 cm. Ukuran ini dipilih karena mudah
dalam pengemasan, pengolahan, dan konsumsi. Singkong dicuci dengan air bersih
untuk menghilangkan noda yang menempel. Selama pengupasan dan pemotongan,
dilakukan perendaman singkong dalam air untuk mencegah perubahan warna menjadi
kecoklatan. Singkong yang sudah dipotong kemudian direndam dalam bak terbuka
berisi larutan asam askorbat (AA) 1% (b/v), bak larutan asam sitrat (AS) 1% (b/v), dan
bak air (K) sebagai kontrol. Konsentrasi zat antipencoklatan tersebut merupakan
konsentrasi terbaik yang didapatkan dari penelitian pendahuluan. Seluruh permukaan
singkong harus dipastikan terendam larutan agar tidak ada permukaan yang mengalami
pencoklatan. Perendaman dilakukan dalam bak perendaman selama 30 menit
berdasarkan perlakuan waktu perendaman terbaik pada penelitian pendahuluan. Larutan
perendam yang digunakan dalam keadaan hangat (±60 oC) hingga suhunya menurun
menyesuaikan suhu ruang dengan tujuan membantu melarutkan HCN yang terkandung
dalam umbi singkong. Dengan demikian, perubahan warna permukaan singkong selain
pencoklatan dapat diminimalisir, misalnya berubah menjadi biru gelap akibat akumulasi
HCN.
Singkong yang sudah direndam kemudian ditiriskan secara cepat. Setelah itu,
singkong ditimbang 500 g untuk dikemas dalam kantong plastik PE. Variasi
pengemasan yang dilakukan adalah dengan penambahan 1 sachet penyerap oksigen
(+PO) dalam kantong plastik sedangkan perlakuan lain tidak dilakukan penambahan
penyerap oksigen (-PO). Ukuran dimensi plastik yaitu 15 × 15 cm. Headspace yang
diberikan sekitar 5 cm. Digunakan hand sealer untuk menutup ujung kantong plastik.
Rancangan kemasan disajikan pada Gambar 6.
Singkong terolah minimal disimpan dalam ruangan suhu 27 oC serta dalam
chilling room suhu 10 oC dan 5 oC. Pengukuran respon dilakukan setiap 48 jam terhadap
sampel perkemasan. Setiap perlakuan diuji sebanyak 3 kali ulangan percobaan.

11

Mulai
Pengupasan singkong

Pemotongan singkong terkupas berbentuk
tabung diameter 3 cm panjang 9 cm
Perendaman singkong dalam air selama proses
pengupasan dan pemotongan

Perendaman dalam air
30 menit (kontrol)

Perendaman dalam
AS 1% 30 menit

Perendaman dengan AA 1%
30 menit

Penimbangan singkong 500 g perkemasan

Pengemasan dengan kantong
plastik PE -PO

Penyimpanan
27 oC

Pengemasan dengan kantong
plastik PE +PO

Penyimpanan
10 oC

Penyimpanan
5 oC

Pengukuran respon
setiap 48 jam

Data indeks pencoklatan, warna (kecerahan), total
fenol, pH, total padatan terlarut (TPT), kadar HCN,
kekerasan, sifat sensoris (warna, aroma, tekstur,
kesukaan)

Analisis Data

Selesai

Gambar 5 Tahapan proses penelitian singkong terolah minimal

12
Headspace 5 cm
Penyerap oksigen
15 cm
Singkong

15 cm

Gambar 6 Rancangan dan foto kemasan singkong terolah minimal
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 faktor yaitu
jenis zat antipencoklatan, penyerap oksigen, dan suhu penyimpanan. Setiap
perlakuan dilakukan tiga kali ulangan percobaan. Model umum rancangan
percobaan tersebut sebagai berikut:
Yijk = µ + Ai + Bj + Ck + (ABC)ijk+ Ɛijk

(1)

taraf:
i = suhu 27 oC, 10 oC, 5 oC,
j = air, asam sitrat, asam askorbat
k = tanpa penyerap oksigen, dengan penyerap oksigen
dimana:
Yijk
= Pengamatan kondisi optimum singkong terolah minimal yang
memperoleh kombinasi perlakuan pada taraf ke-i dari faktor suhu, taraf
ke-j dari faktor perendaman, dan taraf ke-k dari faktor penyerap oksigen
µ
= Rataan umum
Ai
= Pengaruh taraf ke-i dari faktor suhu
Bj
= Pengaruh taraf ke-j dari faktor perendaman
Ck
= Pengaruh taraf ke-k dari faktor penyerap oksigen
(ABC)ijk = Interaksi pengaruh taraf ke-i dari faktor suhu, taraf ke-j dari faktor
perendaman, dan taraf ke-k dari faktor penyerap oksigen
Ɛijk
= Pengaruh acak pada kombinasi pengaruh taraf ke-i dari faktor suhu,
taraf ke-j dari faktor perendaman, dan taraf ke-k dari faktor penyerap
oksigen

13
Tabel 3 Rancangan percobaan singkong terolah minimal
Perendaman
Asam sitrat

Penyerap Oksigen

Tanpa penyerap oksigen
Dengan penyerap oksigen
Asam askorbat Tanpa penyerap oksigen
Dengan penyerap oksigen
Kontrol
Tanpa penyerap oksigen
Dengan penyerap oksigen

27
S 27 -PO
S 27 +PO
A 27 -PO
A 27 +PO
K 27 -PO
K 27 +PO

Suhu (oC)
10
S 10 -PO
S 10 +PO
A 10 -PO
A 10 +PO
K 10 -PO
K 10 +PO

5
S 5 -PO
S 5 +PO
A 5 -PO
A 5 +PO
K 5 -PO
K 5 +PO

Pengukuran Respon
Laju Respirasi
Laju respirasi dihitung untuk mengetahui jumlah oksigen yang dibutuhkan
oleh singkong selama penyimpanan. Tahapan pengukuran laju respirasi
(Hasbullah 2008) disajian pada Gambar 7.
Mulai
Pemilihan sampel singkong terolah minimal
Penimbangan sampel ± 500 g
Pengukuran volume sampel
Pemasukan sampel ke dalam stoples berukuran
3310 ml
Penutupan dan perapatan stoples dengan
malam
Penyimpanan pada suhu
27 oC, 10 oC, 5 oC
Pengukuran konsentrasi O2 dan CO2 setiap
24 jam sekali
Data konsentrasi gas O2 dan CO2

Analisis data

Selesai
Gambar 7 Diagram alir pengukuran laju respirasi singkong terolah minimal

14
Persamaan laju respirasi singkong kupas dihitung dengan rumus:
(2)
Dimana :
R
= laju respirasi (ml kg-1 jam-1),
V
= volume bebas wadah (ml),
w
= bobot singkong (kg),
x1, x2
= konsentrasi gas waktu ke-1 dan ke-2
t1, t2
= waktu ke-1 dan ke 2 (jam)
Vs
= volume stoples (ml)
db
= densitas singkong (kg ml-1)
Warna
Pengukuran warna dilakukan untuk mengetahui penurunan mutu singkong
terolah minimal dari aspek warna permukaan secara obyektif. Warna singkong
diukur dengan chroma meter minolta. Nilai warna L a* b* dibandingkan antar
sampel selama penyimpanan (Li et al. 2011).
Indeks Pencoklatan
Indeks pencoklatan perlu diketahui untuk melihat perubahan warna
singkong terolah minimal menjadi kecoklatan. Menurut Li et al. (2011) dan
Marpaung et al. (2015) penentuan indeks pencoklatan dihitung berdasarkan nilai
warna L a* b* dengan rumus sebagai berikut:
(3)
dimana:
(4)

Total Fenol
Analisis total fenol berdasarkan metode Folin-Ciocalteu (Singleton dan
Rossi 1965) dengan penambahan 0.5 ml metanol, 2.5 ml aquades, dan 2.5 ml
reagent Folin-Ciocalteau 50% pada sampel singkong sebanyak 100 – 150 mg.
Setelah pereaksian selama 5 menit, ditambahkan 2 ml Na2CO3 7.5% pada
campuran. Hasilnya divorteks kemudian diinkubasi selama 15 menit pada suhu 45
o
C. Sampel diukur absorbansinya pada panjang gelombang 765 nm dengan
spektrofotometer UV-VIS. Total fenol dihitung dengan rumus:
(5)
dimana:
C = konsetrasi fenolik (nilai x dari regresi linier asam galat)
V = volume ekstrak yang digunakan (ml)
fp = faktor pengenceran
g = berat sampel yang digunakan (g).

15
Kadar HCN
Penghitungan total sianida dilakukan dengan cara spektofotometri UVVIS tanpa destilasi. Preparasi sampel dengan pelumatan 10 g singkong dalam 100
ml aquades kemudian disaring dengan kertas Whatman No.40. Hasilnya sebanyak
20 ml dicampurkan 4 ml buffer fosfat dan 2 ml kloramin-T kemudian didiamkan
selama 2 menit. Setelah itu ditambahkan 5 ml asam barbiturat dan piridin.
Dilakukan homogenisasi dan pendiaman larutan selama 8 menit hingga warna
stabil. Absorbansi larutan dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 578 nm.
pH
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui perubahan keasaman sampel
selama penyimpanan. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter
terhadap sampel singkong yang sudah diparut. Pengukuran dilakukan pada suhu
ruang.
Total Padatan Terlarut (TPT)
Total padatan terlarut diukur untuk mengetahui perubahan nutrisi singkong
terolah minimal selama penyimpanan. Peneraan total padatan terlarut
menggunakan digital refractometer portable. Singkong diparut terlebih dahulu
untuk diambil ekstraknya yang ditera dengan refractometer.
Kekerasan
Pengukuran kekerasan dilakukan untuk mengetahui susut mutu singkong
terolah minimal selama penyimpanan secara obyektif. Tekstur diukur pada setiap
potong singkong di setiap ulangan perlakuan. Kekerasan (N) diuji dengan
menekan bagian tengah singkong menggunakan universal testing machine dengan
probe berbentuk silinder diameter 5 mm. Data dinyatakan dalam newton (N m-2).
Sifat Sensoris
Digunakan 17 panelis tidak terlatih (6 pria dan 11 wanita) untuk
mengevaluasi perubahan atribut warna, aroma, tekstur, serta tingkat kesukaan
konsumen terhadap singkong terolah minimal setiap 48 jam penyimpanan. Setiap
sampel disajikan dalam bentuk segar dalam kemasan plastik PE secara acak
dengan kode yang berbeda. Penilaian dilakukan dengan angka 0 – 3 yang
merepresentasikan baik buruknya mutu sampel yang diuji antara lain:
 warna : 0 = gelap, 1 = kusam, 2 = cerah, 3 = sangat cerah
 aroma : 0 = sangat asam, 1 = asam, 2 = segar, 3 = sangat segar
 tekstur: 0 = sangat lunak, 1 = lunak, 2 = keras, 3 = sangat keras
 kesukaan: 0 = sangat tidak suka, 1 = tidak suka, 2 = suka, 3 = sangat suka
Analisis Data
Hasil penelitian diuji dengan analisis variansi (ANOVA) pada p < 0.05.
untuk menguji beda nyata antar perlakuan, digunakan Duncan Multiple Range
Test (DMRT) dengan p < 0.05. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan
percobaan dan pengambilan data secara duplo. Hasil dinyatakan dalam rata-rata.
Penarikan kesimpulan dengan uji pembobotan weighed property indices.

16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Mutu
Laju Respirasi
Laju respirasi singkong terolah minimal pada berbagai suhu selama
penyimpanan 120 jam disajikan pada Gambar 8. Laju respirasi tertinggi
didapatkan pada suhu penyimpanan 27 oC dengan rata-rata konsumsi 17.16 ml O2
kg-1 jam-1 dan produksi 33.85 ml CO2 kg-1 jam-1. Pada penyimpanan suhu 10 oC
didapatkan rata-rata konsumsi 4.12 ml O2 kg-1 jam-1 dan produksi 5.99 ml CO2 kg1
jam-1. Laju respirasi yang paling rendah didapatkan pada singkong terolah
minimal yang disimpan pada suhu 5 oC dengan mengkonsumsi 3.39 ml O2 kg-1
jam-1 dan produksi 2.54 ml CO2 kg-1 jam-1.

27 oC O2
27 oC CO2
10 oC O2
10 oC CO2
5 oC O 2
5 oC CO2

Gambar 8 Laju respirasi singkong terolah minimal pada suhu penyimpanan 27
o
C, 10 oC, dan 5 oC
Gambar 8 menunjukkan bahwa suhu memberi pengaruh nyata terhadap
laju respirasi. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan Ohlsson (2000)
bahwa pendinginan adalah cara pengawetan yang paling sederhana dan dapat
mempertahankan kesegaran produk. Laju respirasi pada suhu 27 oC secara statistik
berpengaruh nyata (p < 0.05) dibandingkan dengan laju respirasi pada suhu 10 oC
maupun 5 oC, sedangkan antar dua variasi suhu dingin tersebut secara statistik
tidak tampak pengaruh yang nyata (p > 0.05).
Semakin tinggi laju repirasi maka semakin cepat pula metabolisme yang
terjadi pada singkong yang menyebabkan singkong lebih cepat mengalami
kerusakan. Salah satu contoh kerusakannya adalah pelunakan tekstur. Semakin
tinggi laju respirasi maka pelunakan tekstur menjadi semakin cepat. Suhu dingin
(10 oC dan 5 oC) dapat menurunkan laju respirasi singkong. Artinya, laju

17
deformasi akibat metabolisme dapat ditekan. Umur simpan singkong menjadi
lebih lama.
Produ