Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal

PENGEMBANGAN PRODUK SAYURAN
TEROLAH MINIMAL

KHOIRUNISA PRAWITA SARI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Produk
Sayur Terolah Minimal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014
Khoirunisa Prawita Sari
NIM F34100016

2

ABSTRAK
KHOIRUNISA PRAWITA SARI. Pengembangan Produk Sayuran Terolah
Minimal. Dibimbing oleh AJI HERMAWAN dan SLAMET BUDIJANTO.
Produk sayuran terolah minimal merupakan salah satu solusi untuk
mengatasi masalah pengolahan sayuran. Namun, pengolahan minimal pada sayuran
segar memberikan resiko pada produk, yakni meningkatkan derajat kerusakan
bahan sehingga umur simpan produk jauh lebih pendek dari sayuran segar.
Penelitian ini mengambil tema masakan sayur sop sebagai masakan sayuran yang
paling diminati target konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
formulasi teknologi perlakuan pendahuluan untuk mempertahankan kualitas
produk sayuran terolah minimal selama penyimpanan dan mendapatkan formulasi
bumbu sebagai bahan pelengkap produk. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yakni
pengembangan produk utama, pengambangan produk pelengkap dan pengujian
prototipe produk akhir. Parameter keberhasilan pengembangan produk adalah

visual produk, tekstur, dan flavor. Hasil pengembangan produk utama yaitu
perlakuan pencelupan bahan sayuran terolah minimal pada larutan asam sitrat 200
ppm sebagai perlakuan pendahuluan yang terbaik untuk mempertahankan produk
selama penyimpanan tujuh hari yang dikemas dengan kemasan PP secara vakum
dalam lemari pendingin. Pengembangan produk pelengkap menghasilkan bumbu
masakan sop berbentuk pasta dengan komposisi dari berbagai macam bahan bumbu.
Data hasil pengujian tekstur menunjukkan terjadinya penurunan kekerasan pada
produk mulai hari penyimpanan ke-6. Hasil pengujian organoleptik pada prototipe
produk akhir menunjukkan bahwa produk sayuran terolah minimal mendapat
respon positif dari penerimaan panelis pada parameter visual (warna dan kesegaran),
rasa, flavor, dan aroma hingga penyimpanan hari ke-7.
Kata kunci : Sayuran terolah minimal, Pengembangan produk

3

ABSTRACT
KHOIRUNISA PRAWITA SARI. Product Development of Minimally Processed
Vegetables. Supervised by AJI HERMAWAN and SLAMET BUDIJANTO.
Minimally processed vegetable product is one of solutions for solving
consumer problem in processing vegetable. Meanwhile, minimally processed in

fresh vegetable had a risk such as increased deterioration. Therefore, the product
shelf life will be shorter than fresh vegetable. This research was concern about the
soup vegetable as the most wanted product which targeted consumen prefer. The
purposes of this research were to obtain pretreatment formulation technology to
maintain the quality of minimally processed vegetable product during storage. The
purpose of this research were also to get seasoning formulations as compliment of
the main product. This research consisted of three phases, which are the main
product development, the compliment product development, and testing the final
product prototype. The parameters used to evaluate the success of product
development are visual appearance of the product, texture, and flavor. The result of
the main product development is minimally processed vegetables product of
vegetables soup with additives addition in immersion solution used citric acid at
200 ppm which packed by polypropilen packaging in vacuum. This product shelf
life had reach seven days in storage at chill temperatures. The compliment product
development resulted a pasta form seasoning of the vegetable soup which consisted
kind of materials seasoning. The data result from textural test showed that product
had decreased hardness since sixth day of storage. The organoleptic test results
showed that the minimally processed vegetable product get a positive response from
the panelists acceptance at visual attributes (color and freshness), taste, flavor and
aroma of seven days shelf life in storage.

Keywords : Minimally Processed Vegetable, Product Development

4

PENGEMBANGAN PRODUK SAYURAN
TEROLAH MINIMAL

KHOIRUNISA PRAWITA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


5

Judul Skripsi : Pengembangan Produk Sayuran Terolah Minimal
Nama
: Khoirunisa Prawita Sari
NIM
: F34100016

Disetujui oleh

Dr Ir Aji Hermawan, MM
Pembimbing I

Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr.
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

6

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil
tema Technopreneurship, dengan judul skripsi Pengembangan Produk Sayuran
Terolah Minimal yang telah dilakukan dari bulan Maret hingga Juni 2014.
Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada
1. Dr Ir Aji Hermawan, MM dan Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr selaku
dosen pembimbing atas perhatian dan bimbingannya selama proses
pengerjaan tugas akhir.
2. Dr Ir Titi Chandra Sunarti, MSi, Dr Indah Yuliasih, STP, MSi, Dr Ir
Endang Warsiki, MT, dan Dr Ir Dwi Setyaningsih, MSi atas masukan dan
saran dalam proses penyelesaian tugas akhir penulis.
3. Bapak Eko Nugroho, SPt, MM yang telah banyak memberi saran,
Recognition and Monitoring Program (RAMP - IPB) yang telah

mendanai penelitian
4. Ibu Egnawati dan Ibu Suherti sebagai teknisi laboratorium DIT
Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuannya selama ini.
5. Nadhif Nabhan Rabbani dan Prayuga Deka Rusyana selaku rekan
penelitian technopreneurship atas kerjasama dan pengertiannya dalam
mengerjakan tugas akhir ini.
6. Ayahanda Supriyadi dan Ibunda Sutiawati atas doa, dukungan dan
perhatiannya selama ini.
7. Teman – teman seperjuangan Hani, Ika, Ade, Mpud, Gita, Nunu, Mpew,
Aha, Weni, Ratna, Rista, Suci, Brili, Ichul, Ichong, Tino, Egi, Ridha,
Tika, Anggun, Dina, Eja, Mawar dan semua yang tidak dapat disebutkan
satu – persatu disini.
8. Keluarga besar TIN 47 atas bantuan, kekompakkan dan kenangan
manisnya selama ini.
9. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Khoirunisa Prawita Sari


7

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODE PENELITIAN

7

Waktu dan Tempat


7

Bahan dan Alat

7

Metode

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Pengembangan Produk Utama Berbasis Sayuran

12

Pengembangan Produk Pelengkap


35

Pengujian Prototipe Produk Akhir

42

SIMPULAN DAN SARAN

50

Simpulan

50

Saran

51

DAFTAR PUSTAKA

51

LAMPIRAN

58

RIWAYAT HIDUP

76

8

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Komposisi dan nilai gizi pada umbi kentang per 100 gram
Komposisi gizi wortel per 100 gram bahan
Tipe wortel
Spesifikasi varietas buncis
Kandungan gizi kubis per 100 gram bahan segar
Penerjemahan proposisi nilai ke – 0
Perlakuan sampel dalam percobaan water blanching pada sayuran
terolah minimal
8 Komposisi bahan - bahan pada masing - masing resep yang dihasilkan
9 Resep hasil reformulasi

3
4
4
5
6
13
26
36
39

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka berpikir pengembangan produk sayuran terolah minimal
2 Diagram alir metode pelaksanaan pengembangan produk pelengkap
bumbu
3 Minimum viable product ke - 0
4 Larutan pati tergelatinisasi dari berbagai macam pati : (1) nutrijel, (2)
tepung beras putih, (3) pati jagung, (4) tepung tapioka, (5) pati tapioka,
(6) tepung sagu, (7) pati sagu
5 Asam askorbat sebagai antioksidan
6 Perubahan asam askorbat setelah kehilangan ion hidrogen
7 Reaksi pencoklatan enzimatis oleh enzim PPO
8 Struktur kimia asam sitrat
9 Struktur pigmen karoten
10 Struktur pigmen klorofil
11 Prototipe produk terakhir
12 Hasil formulasi bumbu (dibaca dari yang paling kiri) Resep 1, Resep 2,
dan Resep 3
13 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu yang pertama pada atribut
aroma
14 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu yang pertama pada atribut rasa

8
10
13

18
29
29
30
30
31
31
35
36
37
37

15 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu yang kedua pada atribut aroma
16 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu yang kedua pada atribut rasa
17 Resep hasil reformulasi (dibaca dari yang paling kiri) : Resep 1a, Resep
1b, dan Resep 1c
18 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu reformulasi yang pertama pada
atribut aroma
19 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu reformulasi yang pertama pada
atribut rasa
20 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu reformulasi yang kedua pada
atribut aroma

38
38
39
40
40
41

9

21 Hasil uji hedonik pemilihan resep bumbu reformulasi yang kedua pada
atribut rasa
22 Prototipe produk pelengkap bumbu
23 Hasil uji organoleptik sayuran wortel mentah selama penyimpanan
24 Hasil uji organoleptik sayuran wortel matang selama penyimpanan
25 Hasil uji organoleptik sayuran buncis mentah selama penyimpanan
26 Hasil uji organoleptik sayuran buncis matang selama penyimpanan
27 Hasil uji organoleptik sayuran kentang mentah selama penyimpanan
28 Hasil uji organoleptik sayuran kentang matang selama penyimpanan
29 Hasil uji organoleptik sayuran kubis mentah selama penyimpanan
30 Hasil uji organoleptik sayuran kubis matang selama penyimpanan
31 Grafik perubahan tekstur sayuran terolah minimal selama penyimpanan

41
42
43
43
44
44
45
46
47
47
49

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pengembangan proposisi nilai selama kegiatan pengembangan pasar
2 Diagram alir pembuatan Minimum Viable Product ke – 0
3 Diagram alir metode pembuatan larutan coating (a) dan proses pelapisan
pada sayuran terolah minimal (b) pada formulasi 1
4 Hasil formulasi larutan coating mengacu pada Gunawan (2009) dan
Budiman (2011)
5 Hasil Pengamatan produk sayuran terolah minimal formulasi 1-a dengan
aplikasi teknologi coating berbasiskan pati sagu
6 Metode pembuatan larutan coating dan hasil reformulasi coating
7 Diagram alir proses pelapisan dengan formulasi 2-a
8 Hasil Pengamatan produk sayuran terolah minimal formulasi 2-a dengan
aplikasi teknologi coating berbasiskan pati tergelatinisasi dan air tajin
9 Hasil percobaan pendahuluan blansir pada sayuran kubis
10 Diagram alir formulasi 2-b dengan perlakuan steam blanching
11 Hasil pengamatan formulasi 2-b dengan perlakuan steam blanching
12 Metode pembuatan sampel produk pada percobaan formulasi 2-c dengan
coating gel aloevera dan water blanching
13 Pembuatan larutan coating dari gel aloevera pada formulasi 2-c mengacu
pada Yuliana (2008)
14 Hasil pengamatan formulasi 2-c dengan coating gel aloevera dan water
blanching
15 Diagram alir pembuatan produk pada formulasi 2-d dengan penambahan
zat aditif
16 Hasil pengamatan formulasi 2-d dengan penambahan zat aditif

58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
73
74

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sayuran merupakan komoditas pertanian yang mudah rusak, bersifat kamba,
dan memiliki umur simpan yang pendek. Pengolahan sayuran sebagai suatu
masakan memerlukan tahapan pengolahan yang panjang, waktu yang cukup lama
dan sering dianggap tidak praktis oleh konsumen. Konsumen pada umumnya
menyimpan bahan baku sayuran yang telah dibeli di dalam lemari pendingin
sebagai persediaan bahan makanan untuk jangka waktu tertentu. Penyimpanan
dilakukan untuk mengontrol persediaan sayuran di rumah sehingga selalu ada pada
saat ingin memasak tanpa harus berbelanja sayuran setiap hari. Namun, sayuran
yang disimpan tidak memiliki umur simpan yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen. Konsumen menginginkan produk sayuran yang praktis dan memiliki
umur simpan yang panjang tanpa mengurangi kualitas kesegaran dan nutrisi
sayuran. Sebagian besar konsumen, menurut Rabbani (2014) menginginkan produk
sayuran yang dikemas dengan bumbu sehingga lebih mudah untuk dikonsumsi.
Produk sayuran terolah minimal dapat menjadi satu solusi untuk mengatasi
masalah pengolahan sayuran. Menurut He dan Luo (2007) produk sayuran terolah
minimal adalah bahan baku sayuran yang mengalami beberapa proses yaitu
pengupasan, pemotongan, pencucian, pembersihan, pengeringan dan pengemasan
tanpa mengurangi kesegaran dari sayuran. Produk sayuran terolah minimal
menyediakan kepraktisan dan kesegaran yang dibutuhkan konsumen. Namun,
pengolahan minimal memberikan resiko pada sayuran yakni meningkatkan derajat
kerusakan bahan yang diolah (Krochta et al. 1992) sehingga umur simpan produk
jauh lebih pendek dari pada sayuran segar. Selain itu Lee et al.. (2003), meyebutkan
bahwa pengolahan minimal menghasilkan produk yang mudah busuk disertai
dengan kehilangan air, kehilangan kekerasan (softening), kontaminasi mikroba,
peningkatan laju respirasi dan pencoklatan pada permukaan bahan yang diolah.
Efek pengolahan minimal tersebut menyebabkan umur simpan produk yang lebih
pendek dibandingkan sayuran segar dan penurunan kualitas sayuran baik dalam
segi visual, tekstur maupun nutrisi. Hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan
konsumen dalam melakukan pembelian seperti yang telah dikemukakan Kader
(2002). Kader (2002) mengemukakan beberapa parameter yang menjadi
pertimbangan konsumen saat melakukan pembelian sayuran terolah minimal
seperti : penampakan visual, tekstur, flavor dan nilai nutrisi produk.
Garcia dan Barret (2002) menyebutkan bahwa perlakuan pendahuluan dapat
mengurangi kerusakan sayuran terolah minimal selama penyimpanan. Perlakuan
pendahuluan yang umum dilakukan pada sayuran diantaranya dengan menginaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan, menambahkan zat aditif untuk
menurunkan kontaminasi mikroba, memperkuat struktur dinding sel sayuran,
menghentikan proses metabolisme pada sayuran dan lain – lain. Perlakuan
pendahuluan dapat diaplikasikan pada pengolahan produk sayuran terolah minimal
untuk meminimalisir resiko kerusakan akibat pengolahan sehingga umur simpan
produk bertambah. Perlakuan pendahuluan yang diaplikasikan harus sesuai dengan
karakteristik sayuran.

2

Penjabaran di atas melatarbelakangi penelitian pengembangan produk
sayuran terolah minimal yang bertujuan mendapatkan perlakuan pendahuluan yang
sesuai untuk mempertahankan umur simpan produk dan mendapatkan bumbu
sebagai produk pelengkap yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Penelitian ini
dilakukan secara iterasi bersamaan dengan kegiatan pengembangan pasar.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menciptakan suatu produk sayuran terolah
minimal yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Tujuan tersebut dapat dicapai
dengan :
1. Mendapatkan perlakuan pendahuluan untuk mempertahankan umur simpan
produk sesuai tujuan umum
2. Mendapatkan formulasi bumbu sebagai bahan pelengkap produk
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi :
1. Produk sayuran terolah minimal yang dikembangkan adalah produk untuk
masakan sayur sop. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Rabbani (2014)
yang menyatakan bahwa sayur sop adalah jenis masakan yang paling sering
dikonsumsi oleh target konsumen produk sayuran terolah minimal.
2. Sayuran penyusun masakan sop yang dikembangkan adalah wortel, kentang,
kubis dan buncis.
3. Bahan baku sayuran yang digunakan berasal dari daerah Cipanas.
4. Bahan Kemasan yang digunakan dalam pengembangan produk ini adalah
tray Styrofoam dan plastik wrap serta plastik vakum polypropylene (PP).
5. Penyimpanan dilakukan di dalam lemari pendingin showcase dengan suhu
dingin (4 - 10°C) dan kelembaban udara (RH 80 – 90 %) berdasarkan
kebiasaan konsumen dalam menyimpan sayuran.
6. Penelitian ini mencakup pemilihan perlakuan pendahuluan yang sesuai
berdasarkan proposisi nilai produk.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Bahan Baku Utama
Bahan baku utama yang digunakan dalam membuat produk sayuran terolah
minimal dalam kemasan adalah kentang, wortel, buncis dan kubis. Pemilihan
keempat jenis sayuran tersebut berdasarkan pendapat konsumen mengenai jenis
sayuran yang biasanya terdapat dalam masakan sayur sop.
Kentang

3
Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi pada umbi
kentang per 100 gram
Bahan penyusun
Kalori (Kal)
Protein (gram)
Lemak (gram)
Karbohidrat (gram)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (gram)
Bagian yang dapat
dimakan

Kandungan gizi
83.00
2.00
0.10
19.10
11.00
56.00
0.70
0.11
17.00
77.80
85.00

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)

Kentang merupakan komoditas pertanian yang termasuk dalam jenis umbi
batang dari tanaman kentang (Solanum sp) dalam keadaan utuh bersih dan segar
(SNI 01 – 3175 - 1992). Menurut Afriyatini (1985) terdapat tiga jenis kentang yaitu
kentang kuning, kentang putih dan kentang merah. Jenis kentang yang ada
mempengaruhi bentuk fisik umbi kentang yang dihasilkan khususnya warna kulit
dan daging buah, sebagai contoh, kentang kuning memiliki warna kuning pada kulit
dan daging buah, begitu juga untuk jenis kentang putih dan merah. Kentang
merupakan salah satu sumber karbohidrat dengan kadar pati sebesar 16 – 21 %
(FAO 2008). Air merupakan komposisi utama dalam kentang dengan presentase 75
– 80 % selain unsur makronutrien karbohidrat yang telah disebutkan dan protein
sebesar 2 – 2.5 %. Komposisi dan nilai gizi pada umbi kentang menurut Direktorat
Gizi Departemen Kesehatan RI (1979) seperti yang terdapat pada Tabel 1.
Menurut Cantos et al. (2002), aktifitas enzim polifenol oksidase (PPO) pada
kentang potong menyebabkan reaksi pencoklatan enzimatis. Reaksi tersebut
menghasilkan perubahan warna cokelat pada permukaan kentang dan menurunkan
kualitas produk. Aktifitas enzim PPO meningkat ketika kentang mengalami proses
pengupasan dan pemotongan. Menurut Susanto dan Saneto (1994), reaksi
pencoklatan terjadi karena adanya kerusakan jaringan pada sayuran yang
menyebabkan reaksi antara komponen fenol yang berada dalam vakuola sel dengan
enzim polifenol oksidase yang berada di sitoplasma dan dipicu oleh paparan
oksigen dalam udara. Perubahan warna menjadi cokelat akibat adanya konversi
senyawa fenolat oleh enzim fenolase menjadi melanin atau melanoidin yang
berwarna coklat.
Wortel
Wortel merupakan komoditas pertanian berupa bagian umbi (akar tunggang)
dari tanaman wortel (Daucus carota L.) dalam keadaan utuh, segar dan bersih (SNI
01 – 3163 – 1992). Menurut Eskin (1979), kestabilan pigmen karotenoid
dipengaruhi oleh kandungan air pada bahan. Semakin banyak air pada bahan maka
pigmen karotenoid semakin stabil. Pigmen karotenoid yang stabil membuat produk
memiliki warna yang lebih cerah. Salah satu pigmen karotenoid adalah β – karoten.

4

Menurut Taylor (1980) β – karoten merupakan senyawa yang berfungsi sebagai
prekusor vitamin A yang dikenal sebagai provitamin A. Kandungan vitamin A pada
wortel tinggi yakni sebesar 12.00 SI menurut Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI (1995) seperti yang terlampir pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi gizi wortel per 100 gram bahan
Bahan Penyusun
Kalori (Kal)
Karbohidrat (gram)
Lemak (gram)
Protein (gram)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)
Air (gram)
Bagian yang dapat dimakan (%)

Kandungan gizi
42.00
9.30
0.30
1.20
39.00
37.00
0.80
12.00
0.06
6.00
88.20
88.00

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1995)

Menurut Wisudawaty (2012) wortel dapat dibedakan menjadi tiga tipe antara
lain tipe imperator, tipe cantenay dan tipe nantes dengan spesifikasi yang tertera
pada Tabel 3.
Tabel 3 Tipe wortel
Tipe
Imperator

Cantenay
Nantes

Keterangan
Bentuk bulat panjang dengan ujung
runcing seperti kerucut, memiliki akar
serabut, rasa tidak terlalu manis
Bentuk bulat panjang dengan ujung
tumpul, rasa manis
Peralihan dari tipe imperator dan
cantenay

Sumber : Wisudawaty (2012)

Buncis
Buncis merupakan tanaman jenis kacang – kacangan yang merambat
berbentuk semak atau perdu dengan nama latin Phaseolus vulgaris L.,. Varietas
buncis yang ada di Indonesia umumnya adalah varietas buncis yang dilepas oleh
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) tahun 1999 yakni varietas Horti 1,
Horti 2, Horti 3 dengan pertumbuhan merambat dan tahun 2011 yakni Balitsa 1,
Balitsa 2, dan Balitsa 3 dengan tipe pertumbuhan tegak. Adapun spesifikasi dari
masing – masing varietas seperti yang tertera pada Tabel 4.

5

Tabel 4 Spesifikasi varietas buncis
Varietas

Horti 1

Horti 2

Horti 3

Balitsa 1

Balitsa 2

Balitsa 3

Spesifikasi
Bobot per satu
Umur panen
Keterangan
buncis (gram) (Hari setelah panen)
9.5 – 10
52 - 54
Berwarna hijau, bulat
massif (tidak berongga),
ujung agak melengkung,
bekas tangkai putik
lurus, manis (4.3 brix),
panjang 16 – 18 cm,
lebar 0.9 cm dan
berserat halus
9.4 – 10
53 – 57
Berwarna hijau, bulat
massif (tidak berongga),
relatif lurus, manis (4
brix), panjang 15.3 - 17
cm, lebar 0.9 cm dan
berserat halus
8.6 – 9
55 - 58
Berwarna hijau, bulat
massif (tidak berongga),
agak melengkung di
ujung seperti pancing,
panjang 15.5 – 17.25
cm, rasanya manis (4.3
brix), berserat halus
10 - 15
53 - 55
Bewarna hijau, lurus,
agak manis, panjang 15
– 16 cm, lebar 0.7 – 0.8
cm tekstur halus
8 - 10
47 - 48
Bewarna hijau muda,
berbentuk lurus, agak
manis, panjang 16 -17
cm, lebar 0.6 – 0.7 cm
dan tekstur halus
5–7
48 - 50
Bewarna hijau tua,
bentuk
agak
melengkung,
agak
manis, panjang 14 – 15
cm, lebar 0.9 – 1.0 cm
dan tekstur halus

Sumber : Balitsa 2013

Penelitian ini menggunakan buncis yang memiliki kriteria seperti buncis varietas
balitsa 2. Hal ini disebabkan konsumen lebih menyukai buncis dengan warna hijau
muda dengan tekstur yang halus.
Menurut Ugen et al. (2011) buncis mengandung beberapa makronutrien
penting seperti globulin protein (20 – 28 %), energi (32 %), dan serat (56 %), serta
beberapa mikronutrien seperti zat besi (70 mg/Kg), zn (33 mg/Kg) dan vitamin A.

6

Selain itu menurut Cahyono (2007), buncis juga mengandung gum dan pektin yang
berguna untuk menurunkan gula darah, dan lignin yang dapat mencegah kanker
usus besar dan payudara. Kadar serat kasar yang tinggi dalam buncis mampu
melancarkan pencernaan dan membuang racun yang ada di dalam tubuh (Cahyono
2007).
Kubis
Menurut SNI 01 – 3174 – 1992, kubis segar merupakan kumpulan daun –
daun yang masih menempel pada batang dan membentuk telur/ krop berasal dari
tanaman kubis (Brassica oleoraceae LINN). Berdasarkan varietasnya, kubis terbagi
menjadi dua golongan yaitu golongan bulat dan golongan pipih. Penelitian ini
menggunakan kubis dengan varietas bulat. Hal ini disebabkan kubis dengan varietas
bulat memiliki struktur bahan yang lebih kuat sehingga akan lebih tahan lama saat
disimpan. Adapun kandungan nutrisi kubis menurut Direktorat Gizi Depkes RI
(1981) dan Food Nutrition Research Center, Manila (1964) seperti yang tersaji pada
Tabel 5.
Tabel 5 Kandungan gizi kubis per 100 gram bahan segar
Komposisi Gizi
Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Abu (g)
Serat (g)
Fosfor (mg)
Kalsium
Zat besi (mg)
Natrium (mg)
Niasin (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1981)

Kubis putih
25.0
1.7
0.2
5.3
0.7
0.9
26
64
0.5
8
0.3
75
0.1
62
91 – 93

7

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Organoleptik dan Laboratorium
Instrumen Departemen Teknologi Industri Pertanian serta Technopark Kampus IPB
Dramaga Bogor mulai dari Bulan Maret 2014 hingga Juni 2014.

Bahan dan Alat
Bahan baku utama yang digunakan adalah komoditas sayuran wortel, kentang,
kubis, dan buncis yang didapatkan dari perkebunan sayuran di daerah Cipanas,
Jawa Barat. Bahan pelengkap yang digunakan selama kegiatan formulasi dan
pengujian diantaranya adalah bawang merah, bawang putih, rempah – rempah,
bumbu dapur, plastik vakum PP, air, asam askorbat, garam dapur, lada bubuk, gula
pasir, penyedap rasa, asam sitrat, potasium sorbat, Carboxymethylcellulosa (CMC),
gliserol, minyak kedelai, pati sagu, minyak sawit (minyak goreng) dan lidah buaya.
Alat yang digunakan adalah refrigator show case bersuhu 4 – 10 °C, mesin steam
blanching, vacuum sealer, blender, termometer, RH meter, stirrer, mixer, blower,
sendok stainless steel, dan pisau.
Metode
Penelitian yang dilakukan dibagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama adalah
tahap pengembangan produk utama berbasis sayuran. Tahap kedua adalah
melakukan formulasi produk pelengkap. Tahap ketiga adalah melakukan pengujian
prototipe produk akhir. Korelasi tahapan penelitian yang dilakukan dengan hasil
pengembangan pasar hingga menghasilkan prototipe dan pengujian prototipe akhir
dapat dilihat dalam kerangka berpikir pengembangan produk pada Gambar 1.
Prototipe produk yang mencerminkan hasil pengembangan produk berdasarkan
pengembangan pasar disebut sebagai minimum viable product (MVP) (Blank dan
Dorf 2012).

8

Gambar 1 Kerangka berpikir pengembangan produk sayuran terolah minimal
Pengembangan Produk Utama
Pengembangan produk utama adalah kegiatan pengolahan bahan baku
sayuran menjadi produk sayuran terolah minimal. Konsep pengembangan produk
yang dilakukan termasuk dalam kegiatan riset aksi. Menurut Saunders et al. (2009),
riset aksi adalah kegiatan diagnosa, perencanaan, tindak langsung dan evaluasi
dalam menemukan masalah di masyarakat untuk kemudian dijadikan inputan dalam
pengembangan produk. Metode ini merupakan metode yang memanfaatkan umpan
balik dari pasar sebagai input dari pengembangan produk dan berjalan secara
sinergis satu sama lain.
Nilai – nilai yang harus dicapai dan terkandung di dalam produk berdasarkan
hasil pengembangan pasar dituangkan dalam bagian proposisi nilai (value
proposition) yang terdapat dalam model bisnis kanvas (BMC). Proposisi nilai
merupakan salah satu bagian dari Sembilan bagian lain yang terdapat dalam konsep
BMC (Osterwalder dan Pigneur 2012). Komponen proposi nilai atau value
proposition menjadi inputan utama bagi pengembangan produk dari hasil umpan
balik pasar dalam hal formulasi produk yang dikembangkan. Proposisi nilai

9

merupakan kesatuan, atau gabungan manfaat – manfaat yang ditawarkan
perusahaan kepada konsumen. Proposisi nilai yang didapatkan selama kegiatan
pengembangan pasar dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil formulasi dari
kegiatan pengembangan produk dalam penelitian ini disebut sebagai minimum
viable product (MVP). Berdasarkan penelitian Rabbani (2014), sayuran sop
menjadi tema masakan utama yang sering dikonsumsi masyarakat. Sehingga dalam
penelitian ini, pengembangan produk hanya dilakukan pada produk sayuran terolah
minimal untuk masakan sayuran sop.
Kegiatan pengembangan produk utama dimulai dengan merumuskan suatu
ide mengenai produk berbahan baku sayuran yang kira – kira merupakan solusi dari
permasalahan target konsumen. Ide tersebut kemudian diubah menjadi bentuk
MVP-0 yang mengandung proposisi nilai ke-0. Proposisi nilai ke-0 masih berupa
perkiraan nilai yang belum teruji kebenarannya di target konsumen. Kegiatan
pengujian masalah pada target konsumen dalam pengembangan pasar dilakukan
untuk mengetahui proposisi nilai yang sebenarnya dibutuhkan konsumen. Sehingga
pada kegiatan pengujian masalah dihasilkan proposisi nilai yang baru yang disebut
sebagai proposisi nilai-1. Proposisi nilai-1 menjadi acuan baru untuk melakukan
formulasi produk, artinya produk yang dikembangkan harus memiliki unsur – unsur
manfaat yang terkandung dalam proposisi nilai-1. Formulasi produk dilakukan
dengan melakukan uji coba untuk memilih perlakuan pendahuluan yang paling
sesuai dalam mempertahankan kualitas produk. Perlakuan pendahuluan dikatakan
sesuai jika dapat mempertahankan kualitas produk berdasarkan parameter visual.
Parameter visual digunakan menjadi parameter kritis yang menentukan
keberhasilan formulasi karena parameter visual (warna, kesegaran) merupakan
parameter utama yang dipertimbangkan konsumen dalam membeli produk sayuran
terolah minimal (Kader 2002).
MVP-1 kemudian dihasilkan dari hasil kegiatan formulasi-1. Selanjutnya
MVP-1 diuji dalam kegiatan pengujian solusi. Pengujian solusi dilakukan untuk
mengetahui apakah MVP-1 adalah prototipe produk yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen seperti yang tergambar pada proposisi nilai-1. Masukan target konsumen
selama pengujian solusi menjadi masukan untuk perbaikan prototipe. Formulasi
dilakukan berulang – ulang hingga menghasilkan produk yang sesuai dengan
kebutuhan target konsumen. Parameter visual, yang merupakan parameter kritis
konsumen dalam melakukan pembelian produk, digunakan untuk mengeleminasi
formula yang diuji-cobakan. Kegiatan formulasi produk dihentikan jika telah
menghasilkan produk yang memenuhi parameter visual selama waktu penyimpanan.
Produk tersebut disebut sebagai prototipe produk akhir. Prototipe produk akhir
kemudian diuji berdasarkan parameter penerimaan konsumen yang lain, seperti
yang telah disebutkan Kader (2002).
Pengembangan Produk Pelengkap
Pengembangan produk pelengkap berupa bumbu dilakukan berdasarkan
rekomendasi target konsumen pada kegiatan pengujian solusi ke-1. Bumbu yang
dibuat disesuaikan dengan tema masakan yaitu sayur sop. Bumbu dibuat
menggunakan rempah – rempah untuk menambah cita rasa produk sehingga
menjadi nilai tambah tersendiri bagi produk di mata konsumen. Bentuk bumbu yang
diformulasikan disesuaikan dengan masa simpan produk utama yang berkisar tujuh

10

hari yakni berbentuk pasta. Kegiatan pengembangan produk pelengkap bumbu
dilakukan melalui beberapa tahap seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir metode pelaksanaan pengembangan produk pelengkap bumbu
Berdasarkan pengujian solusi yang dilakukan oleh Rabbani
(2014),sebanyak 70 % dari seluruh target konsumen membutuhkan bumbu dalam
produk. Hal tersebut mendasari dilakukannya pengembangan produk pelengkap
bumbu sayur sop. Kegiatan pengembangan produk pelengkap dimulai dengan
melakukan formulasi bumbu dengan cara trial and error. Selanjutnya beberapa
formula bumbu yang dihasilkan dari kegiatan tersebut diuji secara organoleptik
untuk memilih formula yang terbaik. Formula yang terpilih disebut sebagai MVP1. Uji organoleptik yang dilakukan diulang untuk meyakinkan proses pemilihan

11

formula. MVP-1 kemudian direformulasi untuk memperbaiki formula awal
berdasarkan masukan dari panelis. Hasil formula yang telah direformulasi
kemudian diuji organoleptik kembali hingga menghasilkan MVP-2.
Pengujian Prototipe Produk Akhir
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui umur simpan produk sehingga
produk masih diterima konsumen. Kriteria penerimaan konsumen dalam membeli
produk sayuran terolah minimal menjadi parameter dalam melakukan pengujian.
Menurut Kader (2002), parameter yang menjadi penilaian konsumen dalam
menentukan kualitas produk buah dan sayuran potong segar adalah penampakan
visual, tekstur, flavor dan nilai nutrisi produk. Sehingga pengujian yang dilakukan
terdiri dari pengujian organoleptik dan pengujian tekstur. Pengujian organoleptik
yang dilakukan pada produk terbagi menjadi dua yakni uji organoleptik pada
produk sebelum dimasak, dan uji organoleptik pada produk setelah dimasak. Hal
ini disebabkan konsumen melakukan penilaian terhadap produk dalam keadaan
mentah saat melakukan pengujian dan menilai secara organoleptik saat dikonsumsi.
Pengujian dilakukan selama masa penyimpanan yaitu pada hari ke–0, 2, 4, 6, 8, dan
10. Pengujian organoleptik dilakukan di dalam Laboratorium Organoleptik
Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB. Uji organoleptik yang dilakukan
adalah uji penerimaan konsumen yakni uji hedonik dengan atribut penilaian berupa
kecerahan warna, kekerasan tekstur, penerimaan flavor/ aroma dan kesegaran
secara menyeluruh pada produk sebelum dimasak. Atribut penilaian pada uji mutu
hedonik untuk produk yang telah dimasak pada umumnya sama kecuali atribut
kesegaran secara menyeluruh digantian dengan atribut rasa.
Pengukuran tekstur dilakukan terhadap sampel produk mentah menggunakan
penetrometer digital (Penetrometer Precision) yang terdapat pada Laboratorium
Instrumen Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB dengan pengulangan
sebanyak 15 kali. Data yang dihasilkan adalah rataan data kedalaman jarum
penetrometer saat menekan ke dalam produk selama waktu tertentu selama masa
penyimpanan. Semakin besar angka yang didapatkan menandakan tekstur produk
yang diuji semakin lunak (Rosenthal 1999). Menurut Garcia dan Barret (2002),
sayuran terolah minimal mengalami penurunan kekerasan pada tekstur selama masa
penyimpanan. Secara genetik, masing- masing jenis sayuran memang memiliki
tekstur yang berbeda – beda namun faktor eksternal juga mempengaruhi tekstur
sayuran seperti struktur dinding sel, turgor sel, kandungan air, dan komponen
biokimia yang dikandung. Faktor eksternal tersebut mengalami perubahan selama
masa simpan sehingga turut mempengaruhi tekstur sayuran yang disimpan.
Menurut Kader (2002), tekstur termasuk salah satu parameter penerimaan
konsumen terhadap produk. Berdasarkan hal tersebut pengujian tekstur menjadi
penting sebagai data kuantitatif yang membandingkan korelasi antara penerimaan
konsumen terhadap atribut tekstur (kekerasan) dalam uji organoleptik. Prosedur
pengukuran mengacu pada penelitian Yuliana (2008) dalam mengukur tekstur pada
kentang potong. Pengukuran dilakukan pada dua titik yang berbeda pada setiap
sampel. Menurut Yuliana (2008), nilai kekerasan diukur sebagai jarak penembusan
jarum penetrometer dalam waktu 5 detik dan dinyatakan dalam satuan mm/detik.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan Produk Utama Berbasis Sayuran
Minimum Viable Product – 0
Kegiatan pengembangan produk yang dilakukan diawali dengan menuangkan
ide produk yang akan dibuat ke dalam proposisi nilai ke – 0. Minimum Viable
Product – 0 atau MVP – 0 merupakan perkiraan solusi untuk target konsumen
dalam menghadapi masalah dalam mengonsumsi sayuran. MVP – 0 merupakan
prototipe produk yang terdiri dari tiga komponen yaitu sayuran terolah minimal
penyusun masakan sop (buncis, kubis, wortel, kentang, dan daun seledri), bahan
pelengkap (sosis sapi), dan bumbu masakan sop bubuk yang dikemas secara
terpisah. MVP – 0 yang dibuat merupakan produk sayuran terolah minimal dengan
tema masakan sop. Hal tersebut berdasarkan penelitian Rabbani (2014) yang
menyebutkan bahwa sayuran sop merupakan sayuran yang paling diminati oleh
target konsumen produk sayuran terolah minimal.
Selain masalah ketidakpraktisan dalam mengonsumsi sayuran, sayuran segar
yang selama ini dikonsumsi masyarakat juga memiliki berbagai kelemahan.
Menurut Balitbang Pertanian Jakarta (2011), sayuran yang masuk ke wilayah DKI
Jakarta sebagian besar telah mengalami kerusakan sehingga tingkat loss komoditi
sayuran sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan karena masih berlangsungnya
aktivitas hidup sayuran (pernapasan, transpirasi, dan pengeluaran panas),
penanganan yang kurang baik dalam pemanenan, penampungan, pengemasan,
pengangkutan, penyimpanan, paparan oksigen, cahaya, suhu yang tinggi dan lain –
lain (Munarso 2005). Misalnya komoditas sayuran kubis segar ditemukan memiliki
kadar air 73 – 83 %, tingkat kerusakan 1.7 – 17.2 %, total mikroba 1.8 – 2.0 x 106
CFU/ml dan residu pestisida mencapai 0.02 – 0.03 mg/kg bahan (Munarso 2005).
Kadar air kubis segar seharusnya sebesar 91 – 93 % (Direktorat Gizi Depkes RI
1981). Hal tersebut menunjukkan selama proses distribusi pada sayuran kubis telah
terjadi proses transpirasi yakni pengeluaran air dari jaringan tumbuhan (Santoso
2006).
Berdasaran hal tersebut penulis menambahkan tiga proposisi nilai lain yang
diperkirakan adalah kebutuhan konsumen yang harus dipenuhi produk yakni
higienis, nilai gizi lebih tinggi dan tahan lama. Adapun unsur dari proposisi nilai
ke-0 tersebut adalah praktis, higienis, nilai gizi lebih tinggi dan tahan lama. Adapun
hasil dari penerjemahan proposisi nilai terdapat pada Tabel 6.

13

Tabel 6 Penerjemahan proposisi nilai ke – 0
No. Proposisi nilai
1. Praktis

2.

Higienis

3.

Nilai gizi lebih
tinggi

4.

Tahan lama

Penerjemahan
Produk dapat disajikan dengan mudah tanpa
harus melakukan kegiatan pengolahan seperti
pengupasan, pencucian, dan pemotongan.
Produk yang dihasilkan aman dimakan tanpa
mengandung mikroorganisme yang dapat
membahayakan kesehatan serta memiliki
penampilan yang bersih.
Produk
yang
dihasilkan
diharapkan
mengandung nilai nutrisi yang tetap dan
terjaga dibandingkan dengan sayuran pada
umumnya yang nutrisinya telah terdegradasi
selama proses distribusi dan penjajaan.
Produk yang dihasilkan diharapkan dapat
bertahan lebih lama selama penyimpanan
tanpa mengalami penurunan kualitas yang
berarti (masih dapat diterima konsumen)

Hasil penerjemahan tersebut kemudian dijadikan acuan untuk membuat
prototipe produk yang akan dikembangkan sehingga tercipta minimum viable
product (MVP) ke – 0 seperti yang tertera pada Gambar 3.

Gambar 3 Minimum viable product ke – 0
Perwujudan nilai praktis pada produk yakni dengan melakukan pengolahan
pada bahan baku utama produk (sayuran) dengan pengolahan minimal. Menurut
Shewfelt (1987), teknologi pengolahan minimal merupakan seluruh operasi pada
produk bahan pangan segar (buah dan sayur) seperti pencucian, sortasi, pengupasan,
pemotongan/ pengirisan dan pembuangan biji yang tidak mempengaruhi kualitas
produk dari keadaan segarnya. Bahan utama sayuran dalam prototipe produk
dikenai proses pencucian, sortasi pengupasan, dan pemotongan. Aplikasi teknologi
pengolahan minimal ini diharapkan dapat mewujudkan nilai praktis pada proposisi
nilai. Selanjutnya, perwujudan nilai higienis adalah dengan melakukan kegiatan
pencucian. Pencucian bahan dengan air dapat menghilangkan kotoran yang kasat
mata. Pengemasan sayuran terolah minimal dilakukan dengan menggunakan plastik
polipropilen (PP) dan dikemas dengan tipe pengemasan flow packaging. Hal ini

14

dilakukan berdasarkan produk sayuran terolah minimal beku yang telah beredar di
pasaran. Pengemasan flow packaging dilakukan dengan mengikut sertakan udara di
dalam kemasan untuk dikemas.
Proposisi nilai untuk nilai ‘tahan lama’ diwujudkan dengan mengaplikasikan
teknik pembekuan pada produk. Hal tersebut didasarkan pada Simplot (2009)
bahwa pembekuan sayuran dapat memperpanjang umur simpan sayuran terolah
minimal karena pada keadaan beku, mikroorganisme yang terkandung dalam
produk berada pada masa dorman. Masa simpan produk sayuran beku dapat
mencapai 12 bulan (Wells 2014). Selain itu pada keadaan beku, kandungan nutrisi
pada produk seperti vitamin C, A, dan B tidak mudah rusak karena terhindar dari
panas yang dapat merusak komponen vitamin. Sehingga proposisi nilai ‘nilai gizi
lebih tinggi’ dapat tercapai dibandingkan dengan produk sayuran segar. Proses
pembekuan produk dilakukan setelah produk dikemas lalu dimasukkan ke dalam
freezer. Produk dikemas menggunakan plastik PP dan di- seal dengan
menggunakan hand sealer agar paparan oksigen menurun dibandingkan dengan
sayuran segar yang tidak dikemas. Hal tersebut mengacu pada pernyataan He dan
Luo (2007) bahwa oksigen yang bereaksi dengan enzim dan komponen fenolik
yang terdapat dalam sayuran terolah minimal dapat menyebabkan penurunan
kualitas sayuran terolah minimal akibat reaksi pencoklatan enzimatis.
Minimum Viable Product – 1
Kegiatan pengembangan produk selanjutnya merupakan kegiatan formulasi
prototipe baru atau MVP – 1. MVP – 1 merupakan perbaikan dari prototipe produk
sebelumnya yakni MVP – 0. Perbaikan yang dilakukan mempertimbangkan
masalah – masalah yang dihadapi target konsumen secara nyata berdasarkan
kegiatan pengembangan pasar (pengujian masalah). Komposisi dan jenis sayuran
yang digunakan untuk membuat produk sayur terolah minimal berubah namun tema
masakan sayur sop tidak berubah karena sebagian besar konsumen
memprioritaskan sayur sop sebagai masakan sayur yang sering dikonsumsi sehari
– hari. Sebelumnya pada MVP – 0 sayuran yang digunakan ada lima jenis yaitu
kentang, wortel, kubis, buncis dan daun seledri. Pada MPV – 1 sayuran daun seledri
tidak digunakan karena pengolahan yang harus dilakukan cukup sulit dan
konsumen tidak memprioritaskan jenis sayuran tersebut.
Sayuran kentang yang digunakan adalah kentang kuning yang berukuran
sedang dengan spesifikasi kualitas sesuai dengan SNI 01 – 3175 – 1992. Pemilihan
kentang kuning berdasarkan masukan dari konsumen pada saat pengujian masalah.
Konsumen menginginkan kentang yang bewarna kuning cerah sehingga dipilih
kentang kuning yang berasal dari Cipanas. Kentang mimiliki kandungan
karbohidrat hingga 19 %. Kandungan karbohidat pada kentang membuat kentang
mudah ditumbuhi mikroorganisme.
Wortel yang dipilih adalah wortel dengan tipe cantenay yang memiliki
bentuk bulat panjang dengan ujung tumpul dan rasa manis. Hal ini disebabkan tipe
cantenay akan menghasilkan potongan – potongan wortel yang seragam dengan
rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tipe lain sehingga kualitas produk
seragam dan biaya produksi dapat dikontrol. Wortel memiliki karakteristik dinding
sel yang kuat karena memiliki kandungan kalsium yang cukup tinggi (39 mg/100
g). Kandungan pigmen karoten berwujud β karoten membuat warna orange tampak
dominan pada wortel. Pigmen karotenoid bersifat non polar sehingga tidak larut

15

dalam air. Namun kestabilan pigmen karotenoid dipengaruhi oleh keadaan air pada
bahan (Eskin 1979).
Sayuran kubis yang dipilih adalah kubis yang bulat dengan ukuran sedang
(500 – 1600 g) berdasarkan SNI 01 – 3174 – 1992. Kubis yang bulat memiliki
lembaran daun kubis yang lebih kokoh sehingga selama proses pengolahan tidak
mudah layu dibandingkan kubis yang pipih. Kubis memiliki struktur daun yang
mengandung kadar air yang tinggi hingga 93 %. Hal ini mengakibatkan kesegaran
kubis dan kenampakkan tekstur kubis sangat bergantung pada kandungan air. Selain
itu bentuk daun kubis yang memiliki permukaan yang luas membuat kubis dapat
mengalami transpirasi yang mudah.
Buncis yang dipilih adalah buncis varietas Balitsa 2 yang memiliki ciri – ciri :
bewana hijau muda, berbentuk lurus, agak manis, memiliki panjang 16 – 17 cm
dengan lebar 0.6 – 0.7 cm, dan tekstur permukaan halus (Balitsa 2013). Pemilihan
buncis varietas ini juga didasarkan pada masukan konsumen pada saat pengujian
masalah yang menginginkan buncis yang memiliki potongan seragam dan lurus.
Buncis memiliki kadar serat yang tinggi hingga 56 %. Tingginya kadar serat pada
buncis dapat menjadi nilai tambah produk sayuran terolah minimal karena serat
dapat melancarkan proses pencernaan. Buncis memiliki kandungan pigmen klorofil
yang dominan sehingga tampak bewarna hijau. Kandungan serat yang tinggi pada
buncis mempengaruhi struktur dinding sel buncis yakni menjadi kuat dan tebal
sehingga buncis tahan terhadap transpirasi. Namun kandungan polifenol pada
buncis dapat membuat buncis mengalami pencoklatan pada jaringan di permukaan
ujung - ujung buncis bekas proses pemotongan.
Kegiatan pengujian masalah memberikan inputan baru terhadap
pengembangan produk yakni pada perubahan proposisi nilai ke – 0 menjadi
proposisi nilai ke – 1 yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun tahap pengolahan
bahan baku menjadi produk sayuran terolah minimal terlampir pada Lampiran 2.
Nilai ‘tahan lama’ pada proposisi nilai ke -0 sebelumnya menjadikan produk yang
dikembangkan harus dapat bertahan dalam penyimpanan dalam waktu yang lama
(mencapai 12 bulan) dengan teknologi pembekuan. Hal tersebut didasarkan pada
perkiraan jenis produk berbasis sayuran yang diinginkan konsumen Indonesia
dewasa ini yang memiliki gaya hidup modern seperti di Negara maju. Berdasarkan
survey pasar yang dilakuan oleh CBI European Union (EU) (2009), jumlah
konsumsi buah dan sayuran beku pada tahun 2008 di seluruh Negara yang
tergabung dalam EU mencapai 5.6 juta ton dimana total konsumsi sayuran beku
sebesar 75 % dari volume tersebut. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa
produk sayuran beku sangat prospektif dan memungkinkan mengalami hal yang
sama bila dipasaran di Indonesia. Namun, sebagian besar target konsumen
Indonesia yang diwawancarai pada kegiatan pengujian masalah menolak produk
sayuran beku karena mengkhawatirkan adanya penurunan nilai nutrisi pada produk
dan penggunaan bahan pengawet yang tidak sesuai aturan Depkes.
Berdasarkan penelitian Rabbani (2014) produk sayuran beku dianggap tidak
sehat oleh konsumen karena memiliki masa simpan yang terlalu lama. Menurut
Rabbani (2014) sebagian besar target konsumen juga memiliki kebiasaan
berbelanja setiap minggu. Kebiasaan konsumen tersebut mendasari penetapan masa
simpan yang ingin dicapai produk yang dihasilkan yakni bertahan hingga waktu
penyimpanan 7 hari (1 minggu). Hal ini disebabkan tujuh hari merupakan interval
konsumen dalam melakukan pembelian produk. Berdasarkan alasan tersebut pula,

16

proposisi nilai ‘tahan lama’ berubah menjadi ‘kesegaran yang terjaga selama
penyimpanan’ yang berakibat berubahnya teknologi yang diaplikasikan. Aplikasi
teknologi pembekuan dan penyimpanan sayur secara beku digantikan dengan
penyimpanan dalam keadaan dingin (chill) pada suhu 4 – 10 °C. Kisaran suhu
tersebut merupakan kisaran suhu lemari pendingin yang menjadi tempat
penyimpanan sayuran oleh konsumen (Rabbani 2014). Menurut Syarief (1989),
pendinginan adalah penyimpanan produk pangan pada suhu 0 – 10°C. Pendinginan
ditujukan untuk mengurangi kelayuan karena kehilangan air, menghambat laju
reaksi kimia (enzimatis) pada produk buah dan sayuran segar, menghambat lau
pertumbuhan mikroba sehingga umur simpan produk lebih lama.
Selain mempertimbangkan persepsi konsumen, tidak semua jenis sayuran
dalam produk sayuran terolah minimal bertema masakan sayur sop dapat dibekukan.
Sayuran kubis memiliki struktur dinding sel yang tipis dan pipih yang menyusun
permukaan daun yang lebar. Kubis mengandung air hingga 93 % dari seluruh berat
totalnya. Hal ini menunjukkan bahwa water activity menjadi faktor yang sangat
kritis bagi sayuran kubis. Kandungan air yang sangat besar di dalam kubis membuat
kubis mudah mengalami freezing injury selama proses pembekuan. Freezing injury
merupakan fenomena yang terjadi ketika bahan yang banyak mengandung air
dibekukan. Air bebas yang terkandung dalam bahan membentuk kristal – kristal es
yang besar dan tidak beraturan sehingga merusak struktur dinding sel dan serta
jaringan kubis (FAO 2010). Sehingga pada saat thawing, kristal – kristal es tersebut
mencair lalu keluar dari dinding sel dan membuat dinding sel yang telah rusak
kehilangan banyak air. Akibatnya sayuran tampak layu dan tidak segar. Freezing
injury tidak terjadi pada sayuran kentang dan wortel. Hal tersebut disebabkan
kentang dan wortel memiliki struktur dinding sel yang kuat dan elastis sehingga
mampu mentolerir pembentukan Kristal – Kristal es saat proses pembekuan
berlangsung.
Proposisi nilai selanjutnya yang mengalami perubahan adalah ‘higienis’ yang
berubah mejadi ‘bersih’. Menurut KBBI (2014), bersih dapat didefinisikan menjadi
bebas dari kotoran dan tidak tercemar kotoran. Sedangkan higienis dapat
didefinisikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan atau sesuai dengan ilmu
kesehatan, bersih, dan bebas penyakit. Perubahan nilai tersebut didasarkan pada
kebutuhan konsumen yakni hanya membutuhkan produk sayuran yang bersih.
Sebagian besar target konsumen yang diwawancarai menilai bahwa ‘higienis’
dianggap akan membuat produk menjadi lebih mahal. Selain itu, proposisi nilai
‘higienis’ mengharuskan produk tersertifikasi dalam hal cemaran m.o yang dapat
menyebabkan penyakit. Namun keterbatasan standar yang berlaku di Indonesia
mengenai produk sayuran terolah minimal khususnya mengenai cemaran m.o
membuat kegiatan sertifikasi terhambat. Sedangkan pada saat produk sayuran
terolah minimal dimasak oleh konsumen, bakteri yang diduga hidup pada produk
sayuran terolah minimal telah mati pada suhu pemasakkan. Menurut Franzetti dan
Galli (1999) mikroba yang terdapat dalam sayuran terolah minimal ada dua jenis
yakni mikroba yang terdapat secara alami pada sayuran dan mikroba akibat
kontaminasi selama pengolahan. Berdasarkan literatur tersebut pula, mikroba yang
umum terdapat dalam produk adalah jenis bakteri gram negatif berbentuk batang
diantaranya adalah Pseudomonas, Enterobacter dan Erwinia.
Proses pencelupan sayuran setelah dipotong - potong ke dalam larutan
pembersih buah dan sayur merek x dilakukan untuk menjaga nilai ‘bersih’ di dalam

17

produk. Proses ini diharapkan dapat meminimumkan jumlah cemaran m.o dalam
produk. Cairan pembersih digunakan dengan takaran 1 sendok makan per liter air
sesuai petunjuk pemakaian. Penggunaan larutan pembersih buah dan sayur merek
x dipilih karena cairan tersebut sudah komersial dan aman digunakan pada produk
sayuran terolah minimal dibandingkan dengan penggunaan larutan senyawa bisulfit
dan klorin sebagai larutan anti mikroorganisme (Kismaryanti 2007).
Proposisi nilai yang lain adalah perubahan ‘nilai gizi lebih tinggi’ menjadi
‘meminimalisir pengurangan kandungan nutrisi’. Perubahan nilai ini dilakukan
karena proposisi nilai sebelumnya tidak relevan dengan kenyataan. Menurut He dan
Luo (2007) pengolahan terhadap sayuran dapat menurunkan kandungan nutrisi
sayuran sehingga sayuran terolah minimal justru memiliki resiko kehilangan nutrisi
yang lebih banyak dibandingkan dengan sayuran segar. Aplikasi teknologi
perlakuan pendahuluan yang diaplikasikan ditujukan untuk meminimalisir
pengurangan kandungan nutrisi selama pengolahan dan penyimpanan produk
sayuran terolah minimal.
Kegiatan pengembangan produk selanjutnya untuk menghasilkan MVP – 1
dilakukan dengan mengacu pada proposisi nilai ke – 1. Seperti yang telah
disebutkan pada Bab Pendahuluan, Kader (2002) mengemuk