Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas

SINERGISME EKSTRAK Piper aduncum DAN Tephrosia vogelii
TERHADAP PENGGEREK BATANG PADI KUNING
Scirpophaga incertulas

MUHAMMAD SIGIT SUSANTO

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sinergisme Ekstrak
Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning
Scirpophaga incertulas adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014
Muhammad Sigit Susanto
NIM A34090002

ABSTRAK
MUHAMMAD SIGIT SUSANTO. Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan
Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga
incertulas. Dibimbing oleh DJOKO PRIJONO.
Padi (Oryza sativa) merupakan salah satu komoditas penting pangan dunia.
Salah satu hama penting pada tanaman padi adalah penggerek batang padi kuning,
Scirpophaga incertulas. Berbagai upaya pengendalian dilakukan untuk menjaga
produksi padi. Salah satu cara pengendalian yang dapat diterapkan adalah dengan
menggunakan insektisida nabati. Tujuan penelitian ini adalah menentukan
sinergisme ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap larva S.
incertulas. Perlakuan ekstrak P. aduncum dan T. vogelii baik secara terpisah
maupun campuran pada nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 efektif terhadap S.
incertulas. Perlakuan ini dapat menimbulkan kematian pada S. incertulas dengan

gejala kerusakan jaringan larva instar 1 pada 72 jam setelah perlakuan. Ekstrak
yang paling beracun dalam mematikan serangga uji adalah ekstrak campuran P.
aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi 1:2. LC50 dan LC95 ekstrak P.
aduncum masing-masing 0.175% dan 0.126%. Sementara itu LC50 dan LC95
ekstrak T. vogelii masing-masing 1.620% dan 2.075%. Ekstrak campuran P.
aduncum dan T. vogelii pada nisbah konsentrasi 1:1 memiliki LC50 0.056% dan
LC95 0.143%. Sementara itu ekstrak campuran tersebut pada nisbah konsentrasi
2:1 memiliki LC50 0.025% dan LC95 0.149%. LC50 dan LC95 ekstrak campuran
tersebut pada nisbah konsentrasi 1:2 masing-masing 0.016% dan 0.083%. Ekstrak
campuran pada ketiga nisbah konsentrasi lebih efektif dibandingkan dengan
ekstrak tunggalnya dan bersifat sinergis terhadap larva S. incertulas.
Kata kunci: insektisida nabati, Piper aduncum, Scirpophaga incertulas,
sinergisme, Tephrosia vogelii.

ABSTRACT
MUHAMMAD SIGIT SUSANTO. Synergism of Piper aduncum and Tephrosia
vogelii Extract Mixtures against the Yellow Rice Stem Borer Scirpophaga
incertulas. Supervised by DJOKO PRIJONO.
Rice (Oryza sativa) is one of the important staple food commodities in the
world. One of the important pests on rice is the yellow rice stem borer (YRSB)

Scirpophaga incertulas. Various control measures have been implemented to
maintain rice production. One of the alternative control techniques that can be
applied is by using botanical insecticides. The purpose of this study was to
determine the synergism between Piper aduncum and Tephrosia vogelii extracts
against YRSB larvae. P. aduncum and T. vogelii extracts, either tested separately
or in mixtures with concentration ratios of 1:1, 2:1, and 1:2, were effective against
YRSB larvae. The treatments with these extracts caused death in YRSB larvae at
72 hr after treatment in which the affected larvae showed internal tissue damage
symptom. The most toxic test material to YRSB larvae was P. aduncum and T.
vogelii extract mixture with a concentration ratio of 1:2. LC50 and LC95 P.
aduncum extract were 0.175% and 0.126%, respectively, while those of T. vogelii
extract were 1.620% and 2.075%, respectively. P. aduncum and T. vogelii extract
mixture with 1:1 ratio had LC50 0.056% and LC95 0.143%, while those with 2:1
ratio had LC50 0.025% and LC95 0.149%. LC50 and LC95 of the mixture with 1:2
ratio were 0.016% and 0.083%, respectively. P. aduncum and T. vogelii extract
mixtures at the three concentration ratios were more effective than P. aduncum
and T. vogelii extracts applied separately and synergistic to YRSB larvae.
Keywords: botanical insecticide, Piper aduncum, Scirpophaga incertulas,
synergism, Tephrosia vogelii.


©

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

SINERGISME EKSTRAK Piper aduncum DAN Tephrosia vogelii
TERHADAP PENGGEREK BATANG PADI KUNING
Scirpophaga incertulas

MUHAMMAD SIGIT SUSANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi

Nama Mahasi .. '3
NIM

Tanggal Lulus:

Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii
terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga
:ncertulas

\ Iuhammad Sigit Susanto
:\.34090002

1 e APR 2014

: Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii
terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga
incertulas
Nama Mahasiswa : Muhammad Sigit Susanto
NIM
: A34090002
Judul Skripsi

Disetujui oleh

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang
berjudul “Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap
Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas”, sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman,
Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis Bapak
Sularno dan Mamak Nuriana br Panjaitan serta adik penulis Tyas Dwi Bekti
Diningrum atas doa yang senantiasa dipanjatkan. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Ir. Djoko Prijono MAgrSc. selaku dosen pembimbing
yang telah banyak memberikan ilmu, arahan, motivasi, dan bimbingan selama ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Idham Sakti Harahap MSi. selaku
dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan
motivasi selama penulis meyelesaikan studi di Departemen Proteksi Tanaman.

Terima kasih kepada rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan
Toksikologi Serangga (Bp. Agus Sudrajat, Eka Chandra Lina, MSi., Risnawati,
MSi., Yeni Midel Pebrulita, MSi., Efy Sarce Tiven, SP., Trijanti A. Widinni
Asnan, SP., Gracia Mediana, SP., Annisa Nurfajrina, SP., Aulia Rakhman,
Wirathazia Enbya L. Chenta, dan Masaidah Cardi) atas kerja samanya. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Nadzirum Mubin, SP., Zulfahmi, SP.,
Ahmad Khoirudin Latif, SP., Ulfah Hafidzah, Yugih Tiadi Halala, SP., Bunga
Aprillia Ayuning, SP., Kavy Shobah dan Azka Lathifa Zahratu Azra, SP. atas
bantuan, dukungan, saran dan semangat yang diberikan. Terima kasih kepada
seluruh teman-teman Proteksi Tanaman 46, seluruh adik serta kakak tingkat yang
tidak bisa disebutkan satu per satu atas persahabatan dan kebersamaannya selama
ini dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Bogor, April 2014
Muhammad Sigit Susanto

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Persiapan Bahan Percobaan
Persiapan Bahan Tanaman
Persiapan Serangga Uji
Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak
Metode Pengujian
Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal
Analisis Data
Uji Toksisitas Ekstrak Campuran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Toksisitas Ekstrak Tunggal
Toksisitas Ekstrak Campuran

Pembahasan Umum
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
ix
1
1
4
4
5
5
5
5
5

6
6
6
7
7
9
9
10
12
15
15
15
16
18
20

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap mortalitas
larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan
2 Penduga parameter toksisitas dua jenis ekstrak terhadap larva instar 1
S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan
3 Pengaruh ekstrak campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii terhadap
mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan
4 Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak P. aduncum dan
T. vogelii pada tiga nisbah konsentrasi terhadap larva instar 1
S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan
5 Sifat aktivitas campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada tiga
nisbah konsentrasi terhadap larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam
setelah perlakuan

9
10
10

11

12

DAFTAR GAMBAR
1 Imago betina S. incertulas
2 Gejala larva instar 1 S. incertulas akibat perlakuan ekstrak tunggal
3 Gejala yang terjadi pada larva instar 1 akibat perlakuan dengan
campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii

6
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap mortalitas
larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan
(uji pendahuluan)

19

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas penting pangan
dunia. Menurut data FAO, Indonesia menempati urutan ketiga dalam penyediaan
beras di dunia dan lebih dari 90% penduduk Indonesia mengonsumsi beras
sebagai bahan pangan pokoknya, yakni mencapai 33.56 juta ton atau 9.66% dari
total penyediaan beras dunia. Data konsumsi beras oleh masyarakat Indonesia
pada tahun 2010 mencapai 25.7 juta ton (Pusdatin 2013). Sementara itu menurut
hasil sensus penduduk pada tahun 2010 diketahui laju pertumbuhan penduduk
Indonesia per tahun adalah 1.49% (BPS 2014). Berdasarkan data tersebut, total
konsumsi domestik beras akan terus meningkat. Kondisi ini menjadi tantangan
dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.
Organisme pengganggu tanaman (OPT), yang mencakup hama, penyakit,
dan gulma, merupakan faktor pembatas penting dalam usaha peningkatan
produksi padi di Indonesia. Hama yang hingga saat ini menjadi masalah penting
pada pertanaman padi di Indonesia adalah penggerek batang padi kuning (PBPK)
Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Crambidae). Hama ini dapat
menyerang semua fase tumbuh tanaman padi mulai fase pembibitan, fase anakan
hingga fase pembungaan. Gejala serangan S. incertulas dikenal sebagai sundep
dan beluk. Gejala sundep terjadi pada tanaman padi fase vegetatif, disebabkan
oleh larva yang menggerek di dalam pangkal batang sehingga menyebabkan daun
menggulung tidak membuka kemudian mengering, dan batang yang terserang
mati tetapi tanaman masih bisa mengompensasi serangan ini dengan munculnya
anakan baru. Gejala beluk terjadi pada tanaman padi fase generatif, disebabkan
oleh larva yang menggerek pangkal malai sehingga bulir menjadi hampa dan tidak
menghasilkan beras (Pathak dan Khan 1994).
Penggerek batang padi kuning menyebabkan kerusakan pada pertanaman
padi di beberapa negara seperti Tiongkok, Jepang, Taiwan, dan negara-negara
Asia Tenggara termasuk Indonesia. Telur S. incertulas berbentuk seperti cakram,
diletakkan berkelompok 50-150 butir per kelompok. Kelompok telur S. incertulas
ditutupi oleh sisik-sisik berwarna cokelat kekuningan, telur terbungkus rapat oleh
sisik guna melindungi kerusakan akibat faktor luar (Yunus 2012). Stadium telur
berlangsung selama 4 sampai 9 hari. Larva berwarna kekuningan dengan kepala
berwarna jingga kecokelatan. Larva terdiri atas 5 instar berlangsung selama 3
sampai 6 minggu. Pada satu batang padi umumnya hanya terdapat satu larva.
Larva dapat menyebar dengan bantuan benang sutera lalu disebarkan oleh angin.
Pupa berwarna kuning putih yang dapat ditemukan pada pangkal batang atau di
bawah permukaan tanah. Stadium pupa berlangsung selama 8 sampai 14 hari.
Imago dapat hidup selama 5 sampai 7 hari. Sayap imago jantan berwarna cokelat
terang atau kuning jerami dengan bintik-bintik hitam yang samar. Sayap imago
betina berwarna kuning jerami namun memiliki bercak hitam yang relatif lebih
jelas pada bagian tengahnya (Kalshoven 1981).
Berdasarkan data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (2013),
serangan OPT utama pada tanaman padi mencapai 420 552 ha dengan 1689 ha di
antaranya mengalami puso. Sementara itu luas serangan penggerek batang padi
pada periode yang sama mencapai 134 415 ha dengan 102 ha di antaranya

2
mengalami puso. Di Indonesia penggerek batang merupakan hama kedua terluas
serangannya setelah hama tikus. Rata-rata serangan tahun 1997-2007 mencapai
84 952 ha. Serangan tersebar di seluruh provinsi dengan intensitas serangan
berfluktuasi dari 0.5% sampai 90% (Suharto dan Sembiring 2007).
Penggerek batang padi kuning S. incertulas menyebabkan kerugian ekonomi
yang tinggi pada tanaman padi terutama di sentra-sentra pertanaman padi.
Pengurangan hasil panen oleh S. incertulas di Asia berkisar 2%-5%. Penggerek
batang padi kuning umumnya lebih sering ditemukan daripada penggerek batang
padi putih. Dominasi penggerek batang padi kuning atas penggerek batang padi
putih mencapai 90% pada tanaman padi yang ditanam serempak maupun tidak
serempak (BB Padi 2012). Untuk itu, diperlukan tindakan yang tepat untuk
mengendalikan hama tersebut.
S. incertulas merupakan hama yang sulit untuk dikendalikan karena fase
larva merusak tanaman padi dengan cara menggerek batang padi dan hidup di
dalam batang. Perilaku larva dalam menggerek batang padi berlangsung saat pagi
hari awal yang langsung menggerek ibu tulang daun menuju ke arah batang. Pada
tanaman inang fase vegetatif, bila anakan padi yang terserang mati larva dapat
pindah ke anakan yang lainnya. Menjelang berpupa larva akan menggerek menuju
pangkal batang padi. Imago bersifat nokturnal dan tertarik cahaya lampu
(Kalshoven 1981).
Upaya pengendalian terhadap serangan hama dan penyakit tanaman terus
dilakukan dalam rangka menjaga produksi tanaman. Menurut Undang-Undang
No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, aplikasi pestisida dalam
suatu sistem pengendalian merupakan tindakan atau alternatif terakhir yang
dilakukan bila cara pengendalian lain tidak efektif. Saat ini tindakan pengendalian
yang banyak dilakukan adalah tindakan pengendalian dengan menggunakan
insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik yang tidak bijaksana dapat
menimbulkan dampak negatif termasuk terjadinya resistensi hama terhadap
insektisida yang sering digunakan sehingga akhirnya populasi hama sulit
dikendalikan.
Dalam mengantisipasi dampak negatif penggunaan insektisida sintetik
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang sistem pengendalian hama
terpadu (PHT). Melalui sistem PHT, pelaksanaan pengelolaan hama dan penyakit
tanaman dilakukan dengan menerapkan teknik pengendalian hama yang
berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan bahan-bahan alami.
Pengendalian hama dengan memanfaatkan potensi sumber daya hayati seperti
insektisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dapat
diterapkan. Insektisida nabati memiliki kelebihan di antaranya relatif mudah
terurai di alam, relatif aman terhadap organisme bukan sasaran, dapat dipadukan
dengan komponen PHT lainnya, tidak cepat menimbulkan resistensi hama bila
digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, komponen-komponen ekstrak dapat
bersifat sinergis, dan beberapa insektisida nabati dapat disiapkan secara sederhana
dengan menggunakan peralatan yang dimiliki petani (Dadang dan Prijono 2008).
Insektisida nabati merupakan insektisida yang berbahan aktif senyawa
metabolit sekunder tumbuhan yang mampu memberikan satu atau lebih aktivitas
biologi baik pengaruh pada aspek fisiologi maupun tingkah laku hama tanaman,
seperti penghambatan aktivitas makan dan peneluran, penghambat pertumbuhan
dan perkembangan serangga, dan kematian, serta memenuhi syarat-syarat untuk

3
digunakan dalam pengendalian hama tanaman, seperti efektif, efisien, dan aman
(Dadang dan Prijono 2008). Dua jenis tumbuhan yang saat ini sudah diketahui
memiliki aktivitas insektisida ialah buah sirih hutan Piper aduncum (Piperaceae)
dan daun kacang babi Tephrosia vogelii (Fabaceae). Syahroni (2013) melaporkan
bahwa ekstrak P. aduncum dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 0.225%
mengakibatkan mortalitas larva Crocidolomia pavonana sebesar 73% pada 24 jam
setelah perlakuan (JSP). Hasyim (2011) melaporkan bahwa fraksi aktif ekstrak
heksana buah sirih hutan mengandung dilapiol sebagai komponen utama (68.8%)
dan memiliki LC50 terhadap larva instar 2 C. pavonana sebesar 364.672 ppm.
Cara kerja dilapiol terhadap metabolisme serangga adalah menghambat berbagai
proses oksidasi di dalam sel yang dikatalisis oleh enzim polisubstrat
monooksigenase (PSMO). Proses oksidasi tersebut sering terjadi pada senyawa
yang bersifat racun di dalam sel yang mengakibatkan penurunan daya racun
senyawa tersebut. Terhambatnya aktivitas enzim PSMO dapat mengakibatkan
terjadinya penumpukan senyawa beracun di dalam sel yang selanjutnya dapat
mengakibatkan kematian sel.
Boeke et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak T. vogelii dapat digunakan
sebagai repelen terhadap kumbang Callosobruchus maculatus dan serbuk daunnya
menyebabkan imago mati sebelum meletakkan telur dan telur yang sudah
diletakkan tidak berkembang menjadi imago. Wulan (2008) melaporkan bahwa
fraksi heksana daun T. vogelii dapat mengakibatkan kematian, memperlambat
perkembangan, dan menghambat makan pada larva C. pavonana. Ekstrak daun
dan biji T. vogelii dilaporkan bersifat insektisida, antifeedant, dan repelent
terhadap ulat krop kubis C. pavonana, kumbang daun Henosepilachna sparsa,
dan ulat Plutella xylostella (Prakash dan Rao 1997).
Hagemann et al. (1972) melaporkan bahwa daun T. vogelii memiliki
kandungan bahan aktif utama rotenon. Kandungan rotenon tersebut semakin
meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Rotenon bersifat sebagai racun
respirasi sel dengan cara menghambat transfer elektron dalam NADH-koenzim
ubikuinon reduktase (kompleks I) dari sistem transpor elektron di dalam
mitokondria. Rotenon menyekat menyekat pemindahan elektron dari Fe-S ke
koenzim ubikuinon sehingga menghambat proses respirasi sel dan menurunkan
produksi ATP, akibatnya aktivitas sel terhambat dan serangga manjadi lumpuh
dan mati (Hollingworth 2001).
Selain digunakan secara tunggal, beberapa ekstrak tanaman juga dapat
diaplikasikan dalam bentuk ekstrak campuran. Nailufar (2011) melaporkan bahwa
campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada 3 nisbah konsentrasi, yaitu 1:1,
1:5, dan 5:1, bersifat sinergistik kuat terhadap larva instar 2 C. pavonana.
Sementara itu Nurfajrina (2014) mendapatkan hasil serupa, yaitu campuran
ekstrak T. vogelii dan P. aduncum pada nisbah konsentrasi 1:1 juga bersifat
sinergistik terhadap larva C. pavonana. Sifat sinergistik campuran ekstrak P.
aduncum dan T. vogelii kemungkinan disebabkan oleh komponen utama ekstrak
P. aduncum yaitu dilapiol yang memiliki gugus metilendioksifenil sehingga dapat
bersifat sinergis (Bernard et al. 1995; Scott et al. 2008). Dilapiol dapat
menghambat aktivitas enzim PSMO dalam mikrosom dari sel-sel saluran
pencernaan ulat penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis, sehingga enzim
pemetabolisme senyawa asing tersebut tidak dapat menguraikan bahan aktif
insektisida lain yang dicampurkan (Bernard et al. 1990).

4
Ekstrak P. aduncum dan T. vogelii belum pernah diuji terhadap penggerek
batang padi kuning. Berdasarkan beberapa hal di atas, perlu dilakukan pengujian
untuk mengetahui manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan ekstrak P.
aduncum dan T. vogelii. Penggunaan kedua bahan tersebut baik dengan aplikasi
terpisah maupun dalam bentuk campuran dapat menjadi alternatif pengendalian
yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan sinergisme ekstrak P. aduncum dan T.
vogelii terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas di laboratorium.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tingkat keefektifan ekstrak P. aduncum dan T. vogelii serta campuran kedua
ekstrak tersebut sebagai alternatif pengendalian yang efektif dan ramah
lingkungan.terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor (IPB). Kegiatan penelitian dilakukan dari April 2013 sampai dengan
Februari 2014.
Persiapan Bahan Percobaan
Persiapan Bahan Tanaman
Padi ‘Ciherang’ yang berumur 40-50 hari setelah tanam (HST) diperoleh
dari petani di desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Bagian
tanaman padi yang digunakan adalah pangkal batang yang berongga. Sebelum
digunakan untuk pengujian, batang padi yang diperoleh dari lapangan dibersihkan
dan dipotong-potong dengan ukuran 4 cm dari pangkal batang.
Persiapan Serangga Uji
Sebelum dilakukan perlakuan terhadap serangga uji, serangga terlebih
dahulu diidentifikasi untuk memastikan bahwa serangga yang digunakan adalah
Scirpophaga incertulas. Identifikasi serangga dilakukan dengan cara mengamati
ciri morfologi telur serangga dengan bantuan buku Insect Pests of Rice (Pathak
dan Khan 1994).
Telur S. incertulas yang diperoleh dari lahan petani di desa Tegal Sawah,
Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang dibawa ke laboratorium dan
dirawat hingga menetas. Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke batang padi
muda sebagai tempat hidup dan makanan sementara selama 24 jam. Larva instar 1
yang berumur 24 jam setelah menetas digunakan untuk pengujian.
Serangga uji yang didapatkan dari lapangan memiliki ciri morfologi yang
sama berdasarkan buku Insect Pests of Rice (Pathak dan Khan 1994). Telur S.
incertulas dibungkus oleh sisik-sisik berwarna jingga kecokelatan yang berasal
dari ovipositor imago betina. Hal serupa juga dilaporkan oleh Yunus (2012) yang
menyatakan bahwa kelompok telur S. incertulas ditutupi oleh sisik-sisik berwarna
cokelat kekuningan, telur terbungkus rapat guna melindungi kerusakan akibat
faktor dari luar. Selain telur, ciri-ciri S. incertulas juga dapat diamati pada larva.
Saat baru keluar dari telur larva umumnya jarang makan secara bersamaan
(gregarius). Larva umumnya menyebar menuju ujung daun (ke arah atas) sebagian
lain akan mulai menggerek daun muda. Sekitar 75% larva akan menetas namun
biasanya hanya 10% yang mencapai tahap dewasa (Pathak dan Khan 1994).
Bagian kepala berwarna lebih gelap, kontras dengan bagian abdomen yang terlihat
berwarna lebih muda.
Selain mengamati ciri-ciri yang terdapat pada telur dan larva juga dilakukan
pengamatan terhadap imago (Gambar 1). Pada saat pengambilan telur di lapangan
terdapat banyak serangga imago betina S. incertulas di sekitar pertanaman yang
mengalami serangan penggerek batang padi kuning. Ciri-ciri yang terdapat pada
imago tersebut sama seperti yang dijelaskan dalam buku Insect Pests of Rice
(Pathak dan Khan 1994). Pada bagian tengah kedua sayap imago betina terdapat

6
bintik hitam yang jelas. Ciri ini merupakan ciri khas yang hanya terdapat pada S.
incertulas sehingga dapat membantu proses identifikasi serangga uji.

0.6 cm

a

0.6 cm

b

Gambar 1 Imago betina S. incertulas. (a) Imago betina S. incertulas (Pathak dan
Khan 1994), (b) imago betina S. incertulas yang diperoleh dari
lapangan.
Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak
Insektisida nabati yang digunakan untuk pengujian adalah ekstrak buah P.
aduncum dan daun T. vogelii. Buah P. aduncum diperoleh dari hutan sekitar
kampus IPB Dramaga Bogor, sedangkan daun T. vogelii yang digunakan berasal
dari Kawasan Agropolitan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur.
Buah P. aduncum dan daun T. vogelii dipotong kecil-kecil lalu
dikeringanginkan. Setiap sampel digiling menggunakan blender hingga menjadi
serbuk, kemudian diayak menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0.5 mm.
Serbuk sampel tersebut masing-masing sebanyak 200 g direndam dalam etil asetat
dengan perbandingan 1:8 (w/v). Perendaman diulang sebanyak tiga kali (Nailufar
2011). Rendaman tersebut diaduk dan dibiarkan selama sekurang-kurangnya 24
jam. Cairan hasil rendaman disaring menggunakan corong kaca yang dialasi
kertas saring Whatman No. 41 diameter 185 mm dan ditampung dalam labu
penguap. Hasil saringan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada
suhu 50 ºC dan tekanan 240 mbar sehingga diperoleh ekstrak kasar. Setiap ekstrak
yang diperoleh disimpan dalam lemari pendingin pada suhu ± 4 0C hingga saat
digunakan untuk pengujian (Nihlatussania 2012).
Metode Pengujian
Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal
Pengujian ekstrak tunggal dilakukan melalui dua tahap, yaitu uji
pendahuluan dan uji lanjutan. Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui
konsentrasi yang akan digunakan pada uji lanjutan. Pada uji pendahuluan, ekstrak
P. aduncum dan T. vogelii masing-masing diuji pada konsentrasi 0.5%, 0.25% dan
0.1% yang pada setiap perlakuan digunakan 30 serangga uji. Pengujian dilakukan
dengan menggunakan metode celup batang. Setiap ekstrak dicampur dengan
pelarut metanol dan pengemulsi Tween 80 dengan perbandingan 5:1 (v/v)
[konsentrasi akhir 1.2%], kemudian ditambahkan akuades sehingga didapatkan
suspensi dengan konsentrasi yang diinginkan. Semua suspensi ekstrak dikocok
dengan menggunakan pengocok ultrasonik agar ekstrak tersuspensikan secara
merata di dalam air. Sebagai larutan kontrol digunakan akuades yang hanya

7
mengandung pelarut metanol dan pengemulsi Tween 80 5:1 (v/v) dengan
konsentrasi 1.2% (Abizar dan Prijono 2010).
Tanaman padi yang digunakan berumur 40-50 HST, berasal dari sawah di
Cikarawang Bogor dan pertanaman padi di rumah kaca kebun percobaan
Cikabayan IPB. Potongan batang padi berukuran 4 cm dicelupkan dalam suspensi
ekstrak sesuai dengan konsentrasi tertentu yang telah ditentukan sampai basah
merata, kemudian dikeringanginkan di atas kertas stensil. Batang kontrol dicelup
dalam larutan kontrol. Setiap potong batang perlakuan dan batang kontrol
diletakkan secara terpisah dalam nampan plastik 16-sel kemudian ke dalam setiap
sel dari nampan tersebut dimasukkan satu larva instar 1 S. incertulas. Nampan
plastik tersebut selanjutnya ditutup rapat agar larva uji tidak keluar. Untuk setiap
perlakuan digunakan 30 larva. Larva dibiarkan makan selama 72 jam. Jumlah
larva yang mati diamati dan dicatat pada 72 jam setelah perlakuan (JSP).
Pada uji lanjutan, ekstrak P. aduncum dan T. vogelii masing-masing diuji
pada 6 taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga
uji antara 15% dan 95%, yang ditentukan berdasarkan uji pendahuluan di atas.
Taraf konsentrasi ekstrak P. aduncum yang diuji ialah 0.10%, 0.23%, 0.36%,
0.49%, 0.62%, dan 0.75%, sementara ekstrak T. vogelii diuji pada taraf
konsentrasi 0.08%, 0.20%, 0.30%, 0.40%, 0.50%, dan 0.60%. Cara perlakuan
pada uji lanjutan sama seperti uji pendahuluan, tetapi pada uji lanjutan jumlah
larva yang digunakan untuk setiap perlakuan adalah 40 larva.
Analisis Data
Penelitian ini dilakukan di laboratorium dengan asumsi seluruh faktor yang
digunakan bersifat homogen, sehingga rancangan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap. Penduga parameter toksisitas ditentukan dengan metode
probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987).
Uji Toksisitas Ekstrak Campuran
Ekstrak P. aduncum dan T. vogelii juga diuji dalam bentuk campuran pada
nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 (w/w) dengan 6 taraf konsentrasi yang
ditentukan berdasarkan hasil pengujian toksisitas ekstrak tunggal. Enam taraf
konsentrasi yang diuji ialah 0.020%, 0.035%, 0.055%, 0.075%, 0.105%, dan
0.140%. Cara pengujian dan waktu pengamatan pada uji ekstrak campuran sama
seperti pada uji toksisitas ekstrak tunggal. Data mortalitas 72 JSP diolah dengan
analisis probit menggunakan program POLO-PC seperti di atas.
Sifat aktivitas campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii dianalisis
dengan menghitung indeks kombinasi pada taraf LC50 dan LC95. Indeks
kombinasi (IK) pada taraf LCx tersebut dihitung dengan rumus berikut (Chou dan
Talalay 1984):
LCx1(cm)
IK =

LCx2(cm)
+

LCx

1

LCx1(cm)
+

LCx

2

LCx2(cm)
x

LCx

1

LCx2

LCx1 dan LCx2 masing-masing merupakan LCx ekstrak P. aduncum dan
ekstrak T. vogelii yang diujikan pada pengujian terpisah; LCx1 (cm) dan LCx2 (cm)
masing-masing merupakan LCx ekstrak T. vogelii dan ekstrak P. aduncum dalam
campuran yang mengakibatkan mortalitas x (misal 50% dan 95%). Nilai LCx

8
tersebut diperoleh dengan cara mengalikan LCx(cm) campuran dengan proporsi
konsentrasi ekstrak dalam campuran.
Kategori sifat interaksi campuran adalah sebagai berikut (diadaptasi dari
Gisi 1996):
a. bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat sinergistik kuat;
b. bila 0.5 ≤ IK ≤ 0.77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah;
c. bila 0.77 < IK ≤ 1.43, komponen campuran bersifat aditif;
d. bila IK > 1.43, komponen campuran bersifat antagonistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Toksisitas Ekstrak Tunggal
Secara umum, baik perlakuan dengan ekstrak P. aduncum maupun ekstrak
T. vogelii pada keenam taraf konsentrasi dapat mematikan serangga uji antara
40% dan 95% (Tabel 1). Pada konsentrasi 0.10%, ekstrak P. aduncum dapat
mematikan serangga uji hingga 40%. Ekstrak P. aduncum pada kisaran
konsentrasi 0.23%-0.75% dapat mematikan serangga uji sebesar 62.5%-90%.
Pada taraf konsentrasi 0.08%, ekstrak T. vogelii sudah mengakibatkan kematian
serangga uji sampai 50%. Pada kisaran konsentrasi 0.20%-0.60% ekstrak T.
vogelii dapat mematikan serangga uji sebesar 60%-95%. Secara umum terlihat
bahwa tingkat kematian serangga uji meningkat dengan makin tingginya
konsentrasi ekstrak (Tabel 1).
Tabel 1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap
mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan
Jenis ekstrak

Konsentrasi (%, w/v)

Persentase kematian larva

Piper aduncum

Kontrol
0.10
0.23
0.36
0.49
0.62
0.75

7.5
40.0
62.5
70.0
75.0
85.0
90.0

Tephrosia vogelii

Kontrol
0.08
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60

7.5
50.0
60.0
65.0
72.5
77.5
95.0

Berdasarkan hasil analisis probit diketahui bahwa LC50 dan LC95 ekstrak P.
aduncum masing-masing 0.175% dan 1.620%, sementara LC50 dan LC95 ekstrak
T. vogelii masing-masing 0.126% dan 2.075% (Tabel 2). Data tersebut
menunjukkan bahwa ekstrak T. vogelii lebih beracun 1.4 kali lipat dibandingkan
dengan ekstrak P. aduncum pada taraf LC50, tetapi pada taraf LC95 ekstrak P.
aduncum lebih beracun 1.3 kali lipat daripada ekstrak T. vogelii terhadap larva
instar 1 S. incertulas.
Gejala yang terlihat pada serangga uji adalah tubuh yang lunak, mudah
hancur dan berair (Gambar 2). Gejala ini terlihat pada serangga uji yang mati
hampir pada semua perlakuan. Sebagian larva sudah mengeluarkan cairan tubuh
pada saat diamati sehingga yang tersisa hanya bagian kulit luar dari larva.
Sebagian besar larva yang mati saat perlakuan ditemukan dalam keadaan

10
berwarna gelap dan mengerut. Pada saat pengamatan 72 JSP, sebagian besar larva
berada di dalam jaringan batang dan hanya sebagian kecil yang terdapat pada
permukaan luar batang.
Tabel 2 Penduga parameter toksisitas dua jenis ekstrak terhadap larva instar 1 S.
incertulas pada 72 jam setelah perlakuan
Jenis ekstrak
a ± GBa
b ± GBa
LC50 (%)
LC95 (%)
Piper aduncum
1.288 ± 0.182 1.702 ± 0.326
0.175
1.620
Tephrosia vogelii
1.216 ± 0.201 1.353 ± 0.320
0.126
2.075
a

a:intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit. GB: galat baku.

a

0.1 cm

b

0.1 cm

Gambar 2 Gejala larva instar 1 S. incertulas akibat perlakuan ekstrak P. aduncum
(a) dan ekstrak T. vogelii (b).
Toksisitas Ekstrak Campuran
Seperti halnya pada perlakuan dengan ekstrak tunggal P. aduncum dan T.
vogelii, perlakuan dengan campuran ekstrak P. aduncum dan ekstrak T. vogelii
pada 3 nisbah konsentrasi mengakibatkan kematian larva S. incertulas yang makin
meningkat dengan makin tingginya konsentrasi ekstrak campuran tersebut (Tabel
3). Campuran ekstrak pada nisbah konsentrasi 1:1 dapat mematikan lebih dari
50% serangga uji pada konsentrasi 0.075%. Campuran ekstrak P. aduncum dan T.
vogelii pada nisbah konsentrasi 2:1 dan 1:2 lebih efektif daripada campuran 1:1
karena pada taraf konsentrasi terendah, yaitu 0.020%, campuran 2:1 dan 1:2 dapat
Tabel 3 Pengaruh campuran esktrak P. aduncum dan T. vogelii terhadap
mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan
Persentase kematian larva pada perlakuan campuran ekstrak
Konsentrasi
P. aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi
(%, w/v)
1:1
2:1
1:2
Kontrol
0.020
0.035
0.055
0.075
0.105
0.140

7.5
17.5
27.5
32.5
87.5
90.0
92.5

7.5
55.0
62.5
67.5
80.0
95.0
100

5.0
65.0
75.0
90.0
92.5
97.5
100

11
mematikan lebih dari 50% serangga uji. Campuran ekstrak 2:1 dan 1:2 dapat
mematikan semua serangga uji pada konsentrasi tertinggi yaitu 0.140% (Tabel 3).
Gejala yang terlihat pada larva instar 1 S. incertulas setelah 72 JSP akibat
perlakuan dengan ekstrak campuran pada dasarnya sama dengan gejala yang
disebabkan oleh perlakuan ekstrak tunggal (Gambar 3).

a

0.1 cm

b

0.1 cm

c

0.1 cm

Gambar 3 Gejala yang terjadi pada larva 1 S. incertulas akibat perlakuan dengan
campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii. (a) Larva berair dan
berbau tidak sedap, (b) larva menjadi kering karena kehilangan cairan
tubuh, dan (c) larva mudah hancur.
Berdasarkan hasil analisis probit diketahui bahwa LC50 campuran ekstrak P.
aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 berturut-turut
0.056%, 0.025%, dan 0.016%, sementara nilai LC95-nya berturut-turut 0.143%,
0.149%, dan 0.083% (Tabel 4). Data tersebut menunjukkan bahwa pada taraf
LC50, campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada ketiga nisbah konsentrasi
lebih beracun 3.13-10.94 kali lipat dibandingkan dengan ekstrak tunggal P.
aduncum dan lebih beracun 2.25-7.87 kali lipat dibandingkan dengan ekstrak
tunggal T. vogelii. Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa di antara
ketiga nisbah konsentrasi, campuran ekstrak dengan nisbah konsentrasi 1:2
merupakan campuran ekstrak yang paling beracun terhadap larva S. incertulas.
Tabel 4 Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak P. aduncum dan T.
vogelii pada tiga nisbah konsentrasi terhadap larva instar 1 S. incertulas
pada 72 jam setelah perlakuan
Nisbah
konsentrasi
1:1
2:1
1:2
a

a ± GBa

b ± GBa

LC50 (%)

LC95 (%)

5.043 ± 0.705
3.409 ± 0.505
4.132 ± 0.624

4.023 ± 0.598
2.133 ± 0.378
2.299 ± 0.442

0.056
0.025
0.016

0.143
0.149
0.083

a: intersep regresi probit, b: kemiringan regresi probit, GB: galat baku.

12
Berdasarkan hasil perhitungan indeks kombinasi pada taraf LC50, campuran
ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada ketiga nisbah konsentrasi bersifat
sinergistik kuat (Tabel 5). Indeks kombinasi terbaik terdapat pada campuran
ekstrak P. aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi 1:2. Pada taraf LC95,
campuran ekstrak yang paling baik sifat aktivitasnya adalah campuran dengan
nisbah 1:2 (sinergistik lemah), sedangkan pada nisbah lainnya campuran bersifat
aditif. Selain itu, campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii 1:2 juga paling
beracun terhadap larva S. incertulas (LC50 dan LC95 paling rendah, Tabel 4)
sehingga campuran tersebut paling berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Tabel 5 Sifat aktivitas campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada tiga
nisbah konsentrasi terhadap larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam
setelah perlakuan
Nisbah
Indeks kombinasi
Sifat aktivitas campuran
konsentrasi
LC50
LC95
LC50
LC95
1:1
2:1
1:2

0.415
0.155
0.123

1.214
1.198
0.670

Sinergistik kuat
Sinergistik kuat
Sinergistik kuat

Aditif
Aditif
Sinergistik lemah

Pembahasan Umum
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan ekstrak P. aduncum
dan T. vogelii baik secara terpisah maupun dalam bentuk campuran dapat
mengakibatkan kematian larva S. incertulas yang makin meningkat dengan makin
tingginya konsentrasi uji. Perlakuan dengan ekstrak P. aduncum dan T. vogelii
masing-masing pada konsentrasi 0.62% dan 0.60% telah dapat mematikan 80%
serangga uji sehingga kedua ekstrak tersebut dipandang berpotensi baik untuk
digunakan sebagai insektisida nabati. Dadang dan Prijono (2008) menyatakan
bahwa insektisida nabati yang diekstrak dengan pelarut organik dikatakan
memiliki potensi yang baik bila pada konsentrasi ≤ 1% sudah dapat
mengakibatkan mortalitas serangga uji ≥ 80%.
Pada taraf LC50, ekstrak T. vogelii lebih beracun 1.4 kali lipat daripada
ekstrak P. aduncum. Perbandingan pada taraf LC95 menggambarkan kondisi yang
berkebalikan dengan perbandingan pada taraf LC50. Pada taraf LC95, ekstrak P.
aduncum (LC95 1.620%) lebih beracun 1.3 kali lipat dibandingkan dengan ekstrak
T. vogelii (LC95 2.075%). Perbedaan pola toksisitas kedua ekstrak tersebut
mungkin disebabkan oleh perbedaan kecepatan kerja senyawa aktifnya seiring
dengan peningkatan konsentrasi ekstrak. Hal ini terlihat dari kemiringan garis
regresi probit pada ekstrak P. aduncum yang lebih curam dibandingkan dengan
ekstrak T. vogelii. Semakin curam kemiringan garis regresi, penambahan
konsentrasi dalam jumlah yang sama akan mematikan serangga uji dalam proporsi
yang lebih banyak dibandingkan ekstrak dengan garis regresi yang lebih landai.
Pencampuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui sifat aktivitas campuran kedua ekstrak jika
diaplikasikan secara bersamaan. Selain itu pencampuran insektisida nabati
biasanya dimaksudkan untuk meningkatkan keefektifan atau meningkatkan
spektrum aktivitas insektisida nabati sehingga beberapa jenis hama dapat
dikendalikan sekaligus. Pencampuran tersebut juga dapat mengatasi keterbatasan

13
bahan baku insektisida nabati di tingkat petani karena tumbuhan sumber
insektisida nabati tidak selalu terdapat melimpah di setiap daerah (Dadang dan
Prijono 2008).
Baik pada taraf LC50 maupun LC95, campuran ekstrak P. aduncum dan T.
vogelii dengan nisbah konsentrasi 1:2 paling beracun dan paling sinergis terhadap
larva S. incertulas, diikuti campuran dengan nisbah konsentrasi 2:1 dan campuran
dengan nisbah konsentrasi 1:1. Sifat sinergistik campuran ekstrak P. aduncum dan
T. vogelii kemungkinan disebabkan oleh komponen utama ekstrak P. aduncum
yaitu dilapiol yang bersifat sebagai sinergis insektisida (Bernard et al. 1995; Scott
et al. 2008).
Hasyim (2011) melaporkan bahwa komponen utama dalam fraksi aktif
ekstrak buah P. aduncum adalah dilapiol. Senyawa tersebut mengandung gugus
metilendioksifenil (MDF) yang merupakan ciri senyawa yang bekerja sebagai
penghambat enzim polisubstrat monooksigenase (PSMO) (Metcalf 1967; Perry et
al. 1998). Enzim PSMO berperan menurunkan daya racun senyawa toksik di
dalam sel dengan cara mengoksidasi berbagai jenis senyawa racun dari luar tubuh
dan limbah metabolisme di dalam tubuh serangga, sehingga apabila aktivitasnya
terganggu penguraian senyawa racun dalam tubuh serangga akan terhambat (Scott
et al. 2008). Terhambatnya enzim PSMO dapat mengakibatkan penumpukan
senyawa atau metabolit toksik di dalam tubuh serangga yang akhirnya dapat
mengakibatkan kematian (Bernard et al. 1995). Dalam kaitannya dengan dampak
sinergis, terhambatnya enzim penurun daya racun senyawa asing tersebut
mengakibatkan senyawa aktif dalam ekstrak T. vogelii yang dicampurkan tidak
terurai dan dapat tetap bekerja. Pada nisbah konsentrasi 1:2, komponen utama
ekstrak P. aduncum kemungkinan dapat menyebabkan penghambatan maksimal
terhadap aktivitas enzim PSMO sehingga senyawa aktif T. vogelii dapat terhindar
dari penguraian oleh enzim tersebut dan dapat tetap bekerja menyerang bagian
sasaran.
Wulan (2008) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii memiliki efek
racun perut dan sedikit efek kontak terhadap larva Crocidolomia pavonana. Daun
T. vogelii ini mengandung senyawa aktif rotenon dan senyawa rotenoid lain
seperti deguelin dan tefrosin (Delfel et al. 1970). Rotenon bekerja lambat dalam
membunuh serangga tetapi dapat menyebabkan serangga segera berhenti makan.
Alat mulut serangga kadang-kadang menjadi lumpuh sehingga serangga berhenti
makan dan mati kelaparan. Rotenon bekerja sebagai racun respirasi sel, yaitu
menghambat transfer elektron dalam NADH-koenzim ubikuinon reduktase
(kompleks I) pada sistem transpor elektron yang terjadi di dalam mitokondria.
Terhambatnya proses respirasi sel akan menurunkan produksi ATP yang
merupakan sumber energi, sehingga aktivitas sel akan terhambat dan serangga
menjadi lumpuh dan mati (Hollingworth 2001). Berbagai bentuk gejala yang
ditemukan pada serangga uji saat pengamatan tampaknya disebabkan oleh
kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh cara kerja senyawa aktif kedua ekstrak
uji.
Semua perlakuan ekstrak, baik ekstrak tunggal maupun ekstrak campuran,
tidak menimbulkan fitotoksisitas pada potongan batang padi yang digunakan
untuk perlakuan. Hal ini tecermin dari tidak adanya perbedaan warna maupun
perubahan bentuk antara batang kontrol dan batang yang diberi perlakuan. Dengan
memerhatikan keefektifan terhadap serangga uji dan ketiadaan efek fitotoksik

14
terhadap batang padi, dapat dikemukakan bahwa ekstrak P. aduncum dan T.
vogelii memiliki potensi yang baik untuk digunakan sebagai insektisida nabati
terhadap S. incertulas. Aplikasi insektisida nabati ini di lapangan dapat dilakukan
dengan memerhatikan daur hidup dan perilaku S. incertulas. Aplikasi insektisida
nabati ini lebih baik dilakukan sesaat setelah telur menetas menjadi larva instar 1.
Pada masa ini diharapkan larva akan memakan bagian daun, tulang daun dan
sebagian batang yang sudah terkena insektisida nabati. Namun insektisida nabati
ini masih memiliki banyak keterbatasan di antaranya belum diketahui potensi efek
sistemiknya pada tanaman sehingga belum bisa mengendalikan larva yang
terdapat di dalam batang.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Campuran ekstrak buah Piper aduncum dan daun Tephrosia vogelii pada
nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 lebih beracun daripada ekstrak tunggalnya
dan bersifat sinergis terhadap larva penggerek batang padi kuning, Scirpophaga
incertulas. Urutan toksisitas campuran ekstrak tersebut pada taraf LC50 dari yang
paling beracun terhadap larva S. incertulas ialah campuran ekstrak dengan nisbah
1:2, 2:1, dan 1:1. Selain efektif terhadap serangga uji, campuran ekstrak P.
aduncum dan T. vogelii, tidak fitotoksik terhadap batang padi yang digunakan
dalam pengujian. Dengan demikian, campuran ekstrak tersebut, khususnya
dengan nisbah konsentrasi 1:2, berpotensi untuk digunakan sebagai alternatif
pengendalian terhadap larva S. incertulas.
Saran
Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk menguji sifat sistemik
campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada tanaman padi. Selain itu,
campuran ekstrak tersebut perlu dievaluasi di lapangan untuk mengetahui
keefektifannya terhadap hama sasaran dan keamanannya bagi organisme bukan
sasaran, khususnya musuh alami.

DAFTAR PUSTAKA
Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji Tephrosia
vogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L.
(Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Crambidae). JHPT Trop. 10(1):1-12.
[BB Padi]. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Pengendalian hama
penggerek batang padi [Internet]. Subang (ID): Balai Besar Padi; [diunduh
2012 Nov 26]. Tersedia pada: http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/
in/berita/hasil-hasil-penelitian/510-perpenggerek-batang.
Bernard CB, Arnason JT, Philogène BJR, Lam J, Waddell T. 1990. In vivo effect
of mixtures of allelochemicals on the life cycle of the European corn borer,
Ostrinia nubilalis. Entomol Exp Appl. 57(1):17-22.
Bernard CB, Krishnamurty HG, Chauret D, Durst T, Philogene BJR, SanchezVindas P, Hasbun C, Poveda L, Roman LS, Arnason JT. 1995. Insecticidal
defenses of Piperaceae from the Neotropics. J Chem Ecol. 21(6):801-814.
Boeke SJ, Barnaud C, Loon JJAV, Kossou DK, Huis AV, Dicke M. 2004.
Efficacy of plant extracts against the cowpea beetle, Callosobruchus
maculatus. Int J Pest Manage. 50(4):251-258.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Laju pertumbuhan penduduk menurut provinsi
[Internet]. Jakarta (ID): BPS; [diunduh pada 2014 Mar 05]. Tersedia pada:
http://bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab
=2.
Chou TC, Talalay P. 1984. Quantitative analysis of dose-effect relationships: the
combined effects of multiple drugs or enzyme inhibitors. Adv Enzyme Regl.
22(3):27-55.
[CRIDA] Central Research Institute for Dryland Agriculture. 2013. Rice yellow
stem borer, Scirpophaga incertulas (Walker) [Internet]. Hyderabad (IN):
Central Research Institute for Dryland Agriculture; [diunduh pada 2013 Mar
21]. Tersedia pada: http://www.crida.in:8080/naip/accordion/ysb/accordion_
ysb_clip_image006.jpg.
Dadang, Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan
Pengembangan. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Institut
Pertanian Bogor.
Delfel NE, Tallent WH, Carlson DG, Wolff IA. 1970. Distribution of rotenone
and deguelin in Tephrosia vogelii and separation of rotenoid-rich fractions.
J Agric Food Chem. 18(3):385-390.
[Ditlin Tanaman Pangan] Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2013. Luas
serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) utama pada tanaman padi
tahun 2011 dan tahun 2012. Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah.
Jakarta (ID): Ditlin Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian.
Gisi U. 1996. Synergistic interaction of fungicides in mixtures. Phytopathology.
86(11):1273-1279.
Hageman JW, Pearl MB, Higgins JJ, Delfel NE, Earle FR. 1972. Rotenon and
deguelin in Tephrosia vogelii at several stages of maturity. J Agric Food
Chem. 20(4):906-908.

17
Hasyim DM. 2011. Potensi buah sirih hutan (Piper aduncum) sebagai insektisida
botani terhadap larva Crocidolomia pavonana [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Hollingworth RM. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitrochondrial oxidative
phosphorylation. Di dalam: Krieger R, Doull J, Ecobichon D, Gammon D,
Hdgson et al., editor. Handbook of Pesticide Toxicology. Vol 2. San Diego
(US): Academic Press. hlm 1169-1227.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
LeOra Software. 1987. POLO-PC User’s Guide. Petaluma (US): LeOraSoftware.
Metcalf RL. 1967. Mode of action of insecticide synergists. Annu Rev Entomol.
12:229-256.
Nailufar N. 2011. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii
(Leguminosae) dan buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap larva
Crocidolomia pavonana [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nihlatussania S. 2012. Keefektifan insektisida nabati dengan dua metode ekstraksi
yang berbeda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurfajrina A. 2014. Kesesuaian ekstrak Piper spp. (Piperaceae) untuk
meningkatkan toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii terhadap ulat krop kubis,
Crocidolomia pavonana [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pathak MD, Khan ZR. 1994. Insect Pests of Rice. Los Baňos (PH): International
Rice Research Institute.
Perry AS, Yamamoto I, Ishaaya I, Perry RY. 1998. Insecticides in Agriculture and
Environment: Retrospects and Prospects. Berlin (DE): Springer-Verlag.
Prakash A, Rao J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton (US):
CRC Press.
[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Beras. Buletin
Konsumsi Pangan. 4(2):16-17.
Scott IM, Jensen HR, Philogene BJR, Arnason JT. 2008. Piper spp.
(Piperaceae) phytochemistry, insecticidal activity and mode of action.
Phytochem Rev. 7: 65-75.
Suharto H, Sembiring H. 2007. Status Hama Penggerek Batang Padi di
Indonesia. Subang (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Syahroni YY. 2013. Aktivitas insektisida campuran ekstrak buah Piper aduncum
(Piperaceae) dan Sapindus rarak (Sapindaceae) terhadap larva
Croccidolomia pavonana [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wulan RDR. 2008. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii Hook. F.
(Leguminosae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Pyralidae) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yunus M. 2012. Kehidupan Scirpophaga incertulas dan peran Trichogamma
japonicum sebagai pengendali populasi [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas
Gadjah Mada.

19

LAMPIRAN

19

LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap
mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah
perlakuan (uji pendahuluan)
Jenis ekstrak

Konsentrasi (%, w/v)

Persentase kematian larva

Piper aduncum

Kontrol
0.10
0.25
0.50

6.67
43.33
50.00
66.67

Tephrosia vogelii

Kontrol
0.10
0.25
0.50

6.67
56.67
90.00
96.67

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara
pada tanggal 10 Desember 1991 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Bapak Sularno dan Ibu Nuriana. Penulis menyelesaikan pendidikan
sekolah menengah atas di SMA Swasta Al Ulum Medan pada tahun 2009 dan
pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan
sebagai penunjang soft skills diri. Beberapa aktivitas kemahasiswaan dalam
lingkup kampus yang diikuti penulis di antaranya Gugus Displin Asrama TPB
IPB, Pasukan Pengibar Bendera IPB, Pramuka IPB, Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Pertanian. Penulis juga menjalankan amanah sebagai Presiden
mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2013 sekaligus menjadi
perwakilan mahasiswa dalam struktur Majelis Wali Amanat IPB pada tahun 20132014.