Efek Antidiabetes dari Ekstrak Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap Mencit yang Diinduksi Streptozotocin

(1)

TESIS

EFEK ANTIDIABETES DARI EKSTRAK KELOPAK BUNGA

ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP MENCIT

YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN

OLEH

ROSEMARY YULIANA HUTAGAOL NIM 097014017

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EFEK ANTIDIABETES DARI EKSTRAK KELOPAK BUNGA

ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP MENCIT

YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ROSEMARY YULIANA HUTAGAOL NIM 097014017

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN TESIS PENELITIAN

Nama Mahasiswa : Rosemary Yuliana Hutagaol No. Induk Mahasiswa : 097014017

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Efek Antidiabetes dari Ekstrak Kelopak Bunga Rosela

.(Hibiscus sabdariffa L) terhadap Mencit yang Diinduksi .Streptozotocin

Tempat dan Tanggal Ujian Lisan Tesis : Medan, 25 Juli 2012

Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt. NIP 195103261978022001 NIP 195108161980031002

Medan, September 2012

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Karsono, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.


(4)

PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Rosemary Yuliana Hutagaol No. Induk Mahasiswa : 097014017

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Efek Antidiabetes dari Ekstrak Kelopak Bunga

.Rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap Mencit .yang Diinduksi Streptozotocin

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji Tesis pada hari Sabtu, tanggal 25, bulan Juli, tahun 2012

Mengesahkan: Tim Penguji Tesis

Ketua Tim Penguji : Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

Anggota Tim Penguji : Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul “Efek Antidiabetes dari Ekstrak Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Mencit Yang Diinduksi Streptozotocin” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc., (CTM)., Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Studi Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa dan menyelesaikan Program Studi Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., selaku Ketua Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Farmasi pada Farmasi Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, yang telah memberikan arahan dan bantuan bagi penulis untuk menyelesaikan Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

4. Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., dan Bapak Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt., sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, masukan, saran, dan dorongan dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas bagi penulis dalam menjalani pendidikan, penelitian, dan penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., dan Bapak Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt., sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam penyelesaian tesis ini, sehingga tesis ini semakin baik.

6. Bapak Jimmy Sirait sebagai Ketua Pengurus Yayasan TP. Arjuna Laguboti yang telah banyak memberikan bantuan Beasiswa dan sarana penelitian bagi penulis guna kelancaran bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Suami Arbaik Manurung, anak-anak Aurora, Devi, Audrin, sebagai keluarga tercinta penulis yang banyak memberikan bantuan baik dalam bentuk moril dan materil bagi penulis dalam menjalani pendidikan, penelitian, dan penyelesaian tesis ini.

8. Serta buat semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penelitian tesis ini. Kiranya Tuhan Yang Maha


(6)

Esa memberikan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Akhir kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi Ilmu Pengetahuan khususnya bagi bidang Farmasi.

Medan, Juli 2012 Penulis,

(Rosemary Yuliana Hutagaol) NIM 097014017


(7)

EFEK ANTIDIABETES DARI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP MENCIT YANG DIINDUKSI

STREPTOZOTOCIN ABSTRAK

Diabetes mellitus merupakan gejala yang dapat dikarakterisasi melalui hiperglikemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berhubungan dengan terjadinya kekurangan sekresi insulin atau aksi insulin baik secara mutlak maupun relatif. Terapi dengan menggunakan obat-obat yang beredar di pasaran selain harganya relatif lebih mahal karena penggunaanya dalam jangka waktu lama juga memiliki efek samping yang cukup besar.

Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa kelopak bunga rosela mempunyai aktivitas antidiabetes. Untuk itu telah dilakukan penelitian uji aktivitas antidiabetes ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam rangka meningkatkan pemanfaatan antidiabetes alami dari tumbuhan dan menjadi informasi yang berguna dalam pengekstraksian kelopak bunga rosela sehingga diperoleh efek antidiabetes yang optimal.

Pembuatan ekstrak kelopak bunga rosela dilakukan secara perkolasi bertingkat menggunakan pelarut n-heksan dilanjutkan dengan pelarut etil asetat, terakhir dengan pelarut etanol, kemudian masing-masing maserat dipekatkan dengan penguap vakum putar. Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antidiabetes yang terdiri dari 11 kelompok perlakuan, yaitu kelompok suspensi CMC 0,5% sebagai kontrol negatif; glibenklamid 0,65 mg/kg BB sebagai kontrol positif; ekstrak n-heksan dosis 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB dan 600 mg/kg BB; ekstrak etil asetat 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB dan 600 mg/kg BB; dan ekstrak etanol200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB dan 600 mg/kg BB yang masing-masing diberikan secara peroral satu kali sehari selama 35 hari. Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan glukometer Accu Chek dilakukan setiap tujuh hari, data yang diperoleh dianalisis secara analisis variansi kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kelopak bunga rosela terbukti dapat menurunkan KGD mencit diabetes sedangkan ekstrak n-heksan dan etil asetat tidak terbukti dapat menurunkan KGD mencit diabetes. Hasil uji

statistik (α = 0,05) menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan dan etil asetat memberikan perbedaan yang nyata dengan glibenklamid, sedangkan ekstrak etanol tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar glukosa darah mencit, yang artinya ekstrak etanol dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit diabetes.

Kata kunci : Antidiabetes, Streptozotocin, Kadar glukosa darah, kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.)


(8)

ANTIDIABETIC EFFECT OF ROSELLE CALYCES EXTRACT (Hibiscus sabdariffa L.) IN STREPTOZOTOCIN INDUCED MICE

ABSTRACT

Diabetes mellitus is a symptom that can be characterized by chronic hyperglycemia and impaired metabolism of carbohydrates, fats and proteins associated with the lack of insulin secretion or insulin action both in absolute and relative terms. Treatment with drugs distributed on the market either relatively more expensive because of its use in the long term or have considerable side effects.

Previous studies show that roselle calyces have a potent antidiabetic activity. Therefore the research of antidiabetic activity of n-hexane, ethyl acetate and ethanol extracts of roselle calyces (Hibiscus sabdariffa L.) has been conducted in order to improve the utilization of herbs and natural antidiabetic and the information can be useful in extracting roselle calyces in order to obtain the optimal antidiabetic effect.

Roselle calyces extract was made by means of stratified percolation using n-hexane as solvent followed by ethyl acetate, and the last solvent is ethanol, then the macerate respectively was concentrated by rotary vacuum evaporator. Then the test of Antidiabetic activity was conducted consisting of 11 treatment groups, ie groups of CMC suspension 0.5% as a negative control; glibenclamide 0.65 mg/kg as a positive control; n-hexane extracts of roselle calyces dose of 200 mg/kg, 400 mg/kg and 600 mg/kg; ethyl acetate extracts of roselle calyces dose of 200 mg/kg, 400 mg/kg and 600 mg/kg; and ethanol extracts of roselle calyces dose of 200 mg/kg, 400 mg/kg and 600 mg/kg, which is respectively administered orally every day. Blood glucose levels were measured by glucometer Accu Chek every seven days, the data were analyzed by analysis of variance followed by Duncan's method.

The results showed that the ethanol extract of roselle calyces proven to reduce the blood glucose levels on diabetic mice, while the n-hexane and ethyl acetate extract were not proven to reduce the blood glucose levels on diabetic

mice. The results of the statistical test (α = 0.05) showed that the extracts of n -hexane and ethyl acetate perform a real mean of difference on glibenclamide, whereas the ethanol extract did not perform significant differences with glibenclamide in lowering blood glucose levels on mice, which means that the ethanol extract can lower blood glucose levels of diabetic mice.

Key words: antidiabetic, streptozotocin, blood glucose levels, roselle calyces (Hibiscus sabdariffa L.)


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PERSETUJUAN TESIS ... iii

PENGESAHAN TESIS ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Uraian Tumbuhan ... 7

2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 7


(10)

2.1.3 Kandungan kimia ... 8

2.1.3 Khasiat dan kegunaan ... 8

2.2 Ekstraksi ... 9

2.2.1 Metode ekstraksi ... 9

2.3 Glukosa Darah ... 11

2.3.1 Kadar glukosa darah ... 11

2.3.2 Sumber glukosa darah ... 11

2.4 Pengaturan Kadar Glukosa Darah ... 13

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah ... 14

2.6 Pengukuran Kadar Glukosa Darah ... 15

2.7 Diabetes Melitus ... 16

2.7.1 Defenisi ... 16

2.7.2 Etiologi ... 17

2.7.3 Diagnosis ... 18

2.7.4 Klasifikasi etiologis DM ... 19

2.7.5 Komplikasi diabetes mellitus ... 21

2.8 Insulin ... 22

2.9 Streptozotocin ... 22

2.10 Terapi Farmakologi ... 23

2.10.1 Terapi insulin ... 23

2.10.2 Terapi dengan obat-obat hipoglikemik oral ... 24

2.10.2.1 Golongan sulfonilurea ... 24

2.10.2.2 Golongan biguanida ... 25


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Alat-alat ... 27

3.2 Bahan-bahan ... 27

3.3 Hewan Percobaan ... 28

3.4 Pengumpulan dan Pembuatan Simplisia ... 28

3.4.1 Pengumpulan bahan tumbuhan ... 28

3.4.2 Pembuatan simplisia ... 28

3.4.3 Pembuatan Ekstrak ... 29

3.5 Penapisan Fitokimia Untuk Ekstrak ... 29

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid ... 29

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid ... 30

3.5.3 Pemeriksaan saponin ... 30

3.5.4 Pemeriksaan steroid/triterpenoida ... 30

3.5.5 Pemeriksaan tanin ... 31

3.5.6 Pemeriksaan glikosida ... 31

3.6 Pembuatan Bahan Uji ... 32

3.6.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5% ... 32

3.6.2 Pembuatan suspensi ekstrak ... 32

3.6.3 Pembuatan suspensi glibenklamid ... 33

3.6.4 Pembuatan larutana streptozotocin (STZ) 1% dalam larutan NaCl 0,9% ... 33

3.7 Penggunaan Glukometer ... 34

3.7.1 Prosedur penggunaan ... 34

3.7.2 Prinsip pengukuran ... 34


(12)

3.8.1 Pengujian kadar glukosa normal mencit ... 35

3.8.2 Penentuan kadar glukosa darah (KGD) ... 35

3.8.3 Uji toleransi glukosa oral ... 35

3.8.4 Penginduksian diabetes ... 36

3.8.5 Uji aktivitas ekstrak ... 36

3.9 Analisis Data ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Hasil Ekstraksi ... 38

4.2 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak n-Heksan, Etil Asetat dan Etanol Kelopak Bunga Rosela ... 38

4.3 Hasil Uji Farmakologi ... 39

4.3.1 Hasil uji toleransi glukosa oral ... 41

4.3.2 Hasil Pengukuran KGD Mencit setelah Perlakuan dengan Pemberian Ekstrak n-heksan Kelopak Bunga Rosela ... 42

4.3.3 Hasil Pengukuran KGD Mencit setelah Perlakuan dengan Pemberian Ekstrak Etil Asetat Kelopak Bunga Rosela ... 48

4.3.4 Hasil Pengukuran KGD Mencit setelah Perlakuan dengan Pemberian Ekstrak Etanol Kelopak Bunga Rosela ... 52

4.4 .Hasil Pengukuran Aktivitas Ekstrak n-Heksan, Etil Asetat, dan Etanol Kelopak Bunga Rosela ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data Skrining Fitokimia Ekstrak n-heksan, Ekstrak Etil

Asetat dan Ekstrak Etanol kelopak bunga rosella ... 39 Tabel 4.2 Data Pengukuran KGD Normal dan KGD Setelah

Penginduksian STZ Dosis 55 mg/Kg BB Mencit-mencit

Percobaan ... 40 Tabel 4.3 Hasil uji toleransi glukosa oral ... 41 Tabel 4.4 Data pengukuran KGD setelah pemberian ekstrak n-heksan . 43 Tabel 4.5 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada

minggu I hingga minggu V setelah pemberian sediaan uji ekstrak n-heksan ... 45 Tabel 4.6 Data pengukuran KGD setelah pemberian ekstrak etil asetat 48 Tabel 4.7 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada

minggu I hingga minggu V setelah pemberian sediaan uji ekstrak etil asetat ... 50 Tabel 4.8 Data pengukuran KGD setelah pemberian ekstrak etanol ... 53 Tabel 4.9 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada

minggu I hingga minggu V setelah pemberian sediaan uji ekstrak etanol ... 55 Tabel 4.10 Data pengukuran KGD setelah pemberian ekstrak n-heksan,

etil asetat dan etanol ... 58 Tabel 4.11 Hasil rata-rata KGD mencit minggu I setelah pemberian

sediaan uji ... 61 Tabel 4.12 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada

minggu I setelah pemberian sediaan uji ... 61 Tabel 4.13 Hasil rata-rata KGD mencit minggu II setelah pemberian

sediaan uji ... 63 Tabel 4.14 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada

minggu II setelah pemberian sediaan uji ... 63 Tabel 4.15 Hasil rata-rata KGD mencit minggu III setelah pemberian


(14)

Tabel 4.16 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada

.minggu III setelah pemberian sediaan uji ... 65 Tabel 4.17 Hasil rata-rata KGD mencit minggu IV setelah pemberian

.sediaan uji ... 67 Tabel 4.18 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada

.minggu IV setelah pemberian sediaan uji ... 67 Tabel 4.19 Hasil rata-rata KGD mencit minggu V setelah pemberian

.sediaan uji ... 69 Tabel 4.20 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian ... 4 Gambar 2.1 Rumus bangun Streptozotocin ... 22 Gambar 3.1 Prinsip pengukuran glukosa darah dengan alat accu chek .... 34 Gambar 4.1 Grafik potensi hasil uji toleransi glukosa oral ... 42 Gamabr 4.2 Grafik yang menunjukkan KGD setelah pemberian ekstrak

n-heksan ... 44 Gambar 4.3 Diagram batang yang menunjukkan KGD setelah pemberian

ekstrak n-heksan ... 45 Gambar 4.4 Grafik yang menunjukkan KGD setelah pemberian ekstrak

etil asetat ... 49 Gambar 4.5 Diagram batang yang menunjukkan KGD setelah pemberian

ekstrak n-heksan ... 50 Gambar 4.6 Grafik yang menunjukkan KGD setelah pemberian ekstrak

etanol ... 54 Gambar 4.7 Diagram batang yang menunjukkan KGD setelah pemberian

ekstrak etanol ... 55 Gambar 4.8 Grafik yang menunjukkan KGD setelah pemberian ekstrak

n-heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol ... 59 Gambar 4.9 Diagram batang yang menunjukkan KGD setelah pemberian


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat keterangan strain mencit ... 77

Lampiran 2 Bagan alur pembuatan ekstrak ... 78

Lampiran 3 Bagan alur pengujian efek penurunan kadar glukosa darah . 79

Lampiran 4 Bagan alur pengukuran kadar glukosa darah mencit ... 80

Lampiran 5 Contoh perhitungan dosis ... 81

Lampiran 6 Alat pengukur kadar glukosa darah ... 83

Lampiran 7 Data hasil uji toleransi glukosa oral ... 84

Lampiran 8 Data kadar glukosa darah mencit selama penelitian (mg/dl) . 87

Lampiran 9 Hasil SPSS ... 91


(17)

EFEK ANTIDIABETES DARI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP MENCIT YANG DIINDUKSI

STREPTOZOTOCIN ABSTRAK

Diabetes mellitus merupakan gejala yang dapat dikarakterisasi melalui hiperglikemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berhubungan dengan terjadinya kekurangan sekresi insulin atau aksi insulin baik secara mutlak maupun relatif. Terapi dengan menggunakan obat-obat yang beredar di pasaran selain harganya relatif lebih mahal karena penggunaanya dalam jangka waktu lama juga memiliki efek samping yang cukup besar.

Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa kelopak bunga rosela mempunyai aktivitas antidiabetes. Untuk itu telah dilakukan penelitian uji aktivitas antidiabetes ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam rangka meningkatkan pemanfaatan antidiabetes alami dari tumbuhan dan menjadi informasi yang berguna dalam pengekstraksian kelopak bunga rosela sehingga diperoleh efek antidiabetes yang optimal.

Pembuatan ekstrak kelopak bunga rosela dilakukan secara perkolasi bertingkat menggunakan pelarut n-heksan dilanjutkan dengan pelarut etil asetat, terakhir dengan pelarut etanol, kemudian masing-masing maserat dipekatkan dengan penguap vakum putar. Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antidiabetes yang terdiri dari 11 kelompok perlakuan, yaitu kelompok suspensi CMC 0,5% sebagai kontrol negatif; glibenklamid 0,65 mg/kg BB sebagai kontrol positif; ekstrak n-heksan dosis 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB dan 600 mg/kg BB; ekstrak etil asetat 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB dan 600 mg/kg BB; dan ekstrak etanol200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB dan 600 mg/kg BB yang masing-masing diberikan secara peroral satu kali sehari selama 35 hari. Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan glukometer Accu Chek dilakukan setiap tujuh hari, data yang diperoleh dianalisis secara analisis variansi kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kelopak bunga rosela terbukti dapat menurunkan KGD mencit diabetes sedangkan ekstrak n-heksan dan etil asetat tidak terbukti dapat menurunkan KGD mencit diabetes. Hasil uji

statistik (α = 0,05) menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan dan etil asetat memberikan perbedaan yang nyata dengan glibenklamid, sedangkan ekstrak etanol tidak memberikan perbedaan yang nyata dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar glukosa darah mencit, yang artinya ekstrak etanol dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit diabetes.

Kata kunci : Antidiabetes, Streptozotocin, Kadar glukosa darah, kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.)


(18)

ANTIDIABETIC EFFECT OF ROSELLE CALYCES EXTRACT (Hibiscus sabdariffa L.) IN STREPTOZOTOCIN INDUCED MICE

ABSTRACT

Diabetes mellitus is a symptom that can be characterized by chronic hyperglycemia and impaired metabolism of carbohydrates, fats and proteins associated with the lack of insulin secretion or insulin action both in absolute and relative terms. Treatment with drugs distributed on the market either relatively more expensive because of its use in the long term or have considerable side effects.

Previous studies show that roselle calyces have a potent antidiabetic activity. Therefore the research of antidiabetic activity of n-hexane, ethyl acetate and ethanol extracts of roselle calyces (Hibiscus sabdariffa L.) has been conducted in order to improve the utilization of herbs and natural antidiabetic and the information can be useful in extracting roselle calyces in order to obtain the optimal antidiabetic effect.

Roselle calyces extract was made by means of stratified percolation using n-hexane as solvent followed by ethyl acetate, and the last solvent is ethanol, then the macerate respectively was concentrated by rotary vacuum evaporator. Then the test of Antidiabetic activity was conducted consisting of 11 treatment groups, ie groups of CMC suspension 0.5% as a negative control; glibenclamide 0.65 mg/kg as a positive control; n-hexane extracts of roselle calyces dose of 200 mg/kg, 400 mg/kg and 600 mg/kg; ethyl acetate extracts of roselle calyces dose of 200 mg/kg, 400 mg/kg and 600 mg/kg; and ethanol extracts of roselle calyces dose of 200 mg/kg, 400 mg/kg and 600 mg/kg, which is respectively administered orally every day. Blood glucose levels were measured by glucometer Accu Chek every seven days, the data were analyzed by analysis of variance followed by Duncan's method.

The results showed that the ethanol extract of roselle calyces proven to reduce the blood glucose levels on diabetic mice, while the n-hexane and ethyl acetate extract were not proven to reduce the blood glucose levels on diabetic

mice. The results of the statistical test (α = 0.05) showed that the extracts of n -hexane and ethyl acetate perform a real mean of difference on glibenclamide, whereas the ethanol extract did not perform significant differences with glibenclamide in lowering blood glucose levels on mice, which means that the ethanol extract can lower blood glucose levels of diabetic mice.

Key words: antidiabetic, streptozotocin, blood glucose levels, roselle calyces (Hibiscus sabdariffa L.)


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus merupakan gejala yang dapat dikarakterisasi melalui hiperglikemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berhubungan dengan terjadinya kekurangan sekresi insulin atau aksi insulin baik secara mutlak maupun relatif (Schoenfelder, et al., 2006). Terapi insulin dan obat-obat hipoglikemik oral menawarkan kontrol glikemik yang efektif, tetapi terapi insulin memiliki kelemahan seperti ketidakefektifan dengan pemberian secara oral, waktu paruhnya singkat, kebutuhan akan pendinginan secara langsung, dan dapat terjadi hipoglikemia yang fatal pada kasus kelebihan dosis (Anuradha, et al., 2001). Oleh karena itu diperlukan pencarian suatu senyawa yang memiliki aktivitas antidiabetes yang digunakan secara oral. Penggunaan antidiabetes oral terbatas karena efek samping yang merugikan termasuk reaksi hematologikal, kutan dan gastrointestinal, koma, hipoglikemik dan gangguan fungsi hati dan ginjal. Zat-zat tersebut juga tidak tepat digunakan selama kehamilan (Alarcon, et al., 2000).

Banyak tumbuh-tumbuhan dalam pengobatan herbal tradisional yang dipercaya mempunyai aktivitas hipoglikemik. Pustaka yang tersedia mengindikasikan bahwa terdapat lebih dari 800 spesies tumbuhan yang menunjukkan aktivitas hipoglikemik (Rajagopal, et al., 2008). Organisasi kesehatan dunia merekomendasikan pengujian aktivitas tumbuh-tumbuhan di mana pengobatan yang aman sulit didapatkan (WHO, 1980). Studi-studi terdahulu telah menunjukkan bahwa kandungan kimia yang diisolasi dari tumbuhan telah


(20)

digunakan untuk pencegahan dan pengobatan kanker, penyakit jantung, diabetes mellitus, dan tekanan darah tinggi (Waltner, et al., 2002).

Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) tumbuh di seluruh bagian dunia dan telah digunakan sebagai minuman kesehatan di banyak negara seperti Australia, India, Myanmar, Thailand, Senegal, Prancis, Gambia, Nigeria, Yunani, Saudi Arabia, Sudan, Amerika latin, Panama, Indonesia, Malaysia, Cina, dan lain-lain. Kandungan kimia yang bersifat antioksidatif dalam Hibiscus sabdariffa L. yang sangat tinggi yaitu antosianin, flavonoid dan polifenol memiliki efek kardioprotektif, mengurangi oksidasi LDL secara in vitro dan mengurangi kadar kolesterol serum darah mencit dan kelinci (Tzu, et al., 2007), mempunyai efek hipokolesterolemik (Chen, et al., 2003) serta efek anti-oksidatif dan hepatoprotektif (Dahiru, et al., 2003). Kadar antioksidan yang tinggi pada kelopak rosela dapat menghambat efek merusak radikal bebas. Beberapa penyakit kronis yang sering ditemui saat ini sebagian besar disebabkan oleh paparan terhadap radikal bebas yang berlebihan, diantaranya kerusakan ginjal, diabetes melitus, jantung koroner, hingga penyakit kanker (Babalola, 2001).

Penelitian yang dilakukan oleh Wang, et al., (2011) dan Omotuyi, et al., (2010) membuktikan bahwa rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci diabetes yang diinduksi dengan streptozotocin di mana rosela meningkatkan aktivitas enzim katalase dan glutation. Dalam percobaan histologikal, rosela menyebabkan diuresis osmosis dalam tubulus renal proximal hewan diabetes (Wang, et al., 2011).

Penelitian tentang aktivitas ekstrak air dan ekstrak etanol kelopak bunga rosela sangat banyak dilakukan, hanya sedikit penelitian yang meneliti ekstrak


(21)

n-heksan dan sangat jarang meneliti ekstrak etil asetat kelopak bunga rosela. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti tertarik meneliti kandungan ekstrak n-heksan, etil asetat, dan ekstrak etanol yang diperoleh melalui teknik ekstraksi perkolasi bertingkat di mana kandungan dari kelopak bunga rosela dipisahkan menurut kelarutannya, kemudian dilakukan pengujian terhadap aktivitas masing-masing ekstrak dalam menurunkan kadar glukosa darah (KGD) mencit-mencit diabetes yang telah diinduksi dengan streptozotocin (STZ) dalam berbagai dosis pemberian ekstrak dan juga membandingkan aktivitas ketiga ekstrak tersebut dengan glibenklamid. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi yang berguna dalam pengekstraksian kelopak bunga rosela sehingga diperoleh efek antidiabetes yang optimal.


(22)

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap mencit-mencit diabetes yang diinduksi oleh streptozotocin (STZ). Pada penelitian ini terdapat dua variabel antara lain ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dan glibenklamid sebagai variabel bebas dan kandungan kimia dan juga kadar glukosa darah mencit (mg/dl) sebagai variabel terikat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian

Variabel Terikat Variabel Bebas

Ekstrak etil asetat rosel Ekstrak etanol

rosela Ekstrak n-heksan

rosela

Glibenklamid

KGD (Kadar glukosa darah) mencit (mg/dl) Mencit

Diabetes Streptozotocin


(23)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah:

a. apakah ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, dan etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai efek antidiabetes terhadap mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ)?

b. apakah ada aktivitas yang signifikan antara ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dibandingkan dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar glukosa darah mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ)?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

a. ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, dan etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai efek antidiabetes terhadap mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ).

b. ada aktivitas yang signifikan antara ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dibandingkan dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar glukosa darah mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ).


(24)

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk:

a. mengetahui efek antidiabetes ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, dan etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ).

b. mengetahui efek ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dibandingkan dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar glukosa darah mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ).

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bahwa ekstrak kelopak bunga rosela dapat digunakan sebagai antidiabetes dan sebagai panduan pemilihan pelarut yang paling sesuai agar diperoleh aktivitas hipoglikemik yang optimal. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar bagi tahap penelitian lebih lanjut pada hewan yang tingkatannya lebih tinggi sehingga kedepannya diharapkan ekstrak kelopak bunga rosela dapat masuk kedalam golongan obat fitofarmaka.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan spesies dari Hibiskus alami dunia tropis yang memiliki tiga jenis warna kelopak yaitu hijau, merah dan merah tua. Kelopak berwarna merah dan merah tua diekstraksi dan diberi pemanis untuk menghasilkan minuman penyegar, sedangkan kelopak dan daun yang berwarna hijau digunakan untuk membuat sup sayuran.

Rosela merupakan tumbuhan tahunan, herba semak dengan struktur berkayu, tinggi 2-2,5 m; daunnya berjari tiga sampai lima, dengan panjang 8-15 cm. Bunganya berdiameter 8-10 cm, putih hingga kuning pucat dengan noda merah pada dasar di setiap lembaran bunga, memiliki kelopak dan kelopak palsu (epikaliks) berdaging gemuk pada dasarnya; 1,5-2 cm lebarnya; tumbuh hingga 3-3,5 cm; berdaging dan merah terang seperti buah matang (Plotto, 2009).

2.1.1 Sistematika tumbuhan Sistematika tumbuhan rosela: Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Malvales Suku : Malvaceae Marga : Hibiscus


(26)

2.1.2 Nama lain (Sinonim)

Sinonim : Abelmoschus cruentus Bertol, Hibiscus digitatus Cav.,

..Hibiscus gossypiifolius Mill., Hibiscus sanguineus Griff.,

..Sabdariffa rubra Kostel Nama umum : Rosela

Nama daerah : Asam Paya, Asam Kumbang atau Asam Susur (Melayu); Merambos Hijau (Jawa tengah); Kesew Jawed dan Asam Rejang (Sumatera Selatan); Asam Jarot (Padang).

2.1.3 Kandungan kimia

Kelopak bunga rosela mengandung protein, serat, dan asam askorbat. Kandungan mineral dari kelopak rosela antara lain kalsium, magnesium, kalium, natrium, besi dan seng (Babalola, 2001). Kandungan kimia rosela yang lain antara lain: Asam hidroksisitrat, asam hibiskus, asam klorogenik, mirisetin-3-arabinogalaktosida, quersetin-3-sambubiosida, asam 5-O-kaffeoilshikimat, quersetin-3-rutinosida, quersetin-3-glukosida, kaempferol-3-O-rutinosida, N-feruloiltiramin, kaempferol-3-(p-koumarilglukosida), quersetin, delphinidin-3-sambubiosida, sianidin-3-sambubinosida, 7-hidroksikumarin (Rodriguez, et al., 2009).

2.1.4 Khasiat dan kegunaan

Kelopak bunga rosela dapat mengatasi berbagai macam penyakit, di antaranya: antioksidatif, antimutagenik, antikanker, hipolipidemik, protektif hati (Tzu, et al., 2007), antihipertensif, retensi garam pada urin (Hussaini, 2004), hipokolesterolemik (Habibullah, 2007), pengobatan terhadap infeksi saluran kencing (Anonim, 2010).


(27)

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh matahari langsung (Ditjen POM, 1979).

2.2.1 Metode Ekstraksi

Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara: a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia yang paling sederhana, menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan atau (kamar) (Depkes, 2000). Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia dalam 75 bagian cairan penyari (pelarut) (Depkes, 1986).

b. Perkolasi

Percolare berasal dari kata “colare”, artinya menyerkai dan “per” = through, artinya menembus (Syamsuni, 2006). Dengan demikian, perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator di mana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan (Syamsuni, 2006). Prosesnya terdiri dari tahapan


(28)

pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Depkes, 2000).

Keuntungan dari metode perkolasi ini adalah proses penarikan zat berkhasiat dari tumbuhan lebih sempurna (Agoes, 2007).

c. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).

d. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontiniu) pada temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50o

e. Infudasi C.

Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur pemanasan air (bejana infus diatas penangas air mendidih), temperatur terukur (96-98o

f. Dekoktasi

C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes, 2000).

Dekoktasi adalah ekstraksi dengan metode infus yang dilakukan selama 30 menit dengan temperatur titik didih air.


(29)

2.3 Glukosa Darah

2.3.1 Kadar glukosa darah

Kadar glukosa darah merupakan parameter utama untuk menilai metabolisme karbohidrat. Contoh khas adalah penyakit diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat sehingga kadar glukosa meningkat melebihi ambang normal (Henry dan Howanitz, 1996).

2.3.2 Sumber glukosa darah

a) Karbohidrat dalam makanan (glukosa, galaktosa, fruktosa)

Karbohidrat dalam makanan terdapat dalam bentuk polisakarida, disakarida, dan monosakarida. Karbohidrat dipecah oleh ptyalin dalam saliva di dalam mulut. Enzim ini bekerja optimum pada pH 6,7 sehingga akan dihambat oleh getah lambung ketika makanan sudah sampai di lambung. Dalam usus halus, amilase pankreas yang kuat juga bekerja atas polisakarida yang dimakan. Ptyalin saliva dan amilase pankreas menghidrolisis polisakarida menjadi hasil akhir berupa disakarida, laktosa, maltosa, sukrosa.

Laktosa akan diubah menjadi glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase. Glukosa dan fruktosa dihasilkan dari pemecahan sukrosa oleh enzim sukrase. Sedangkan enzim maltase akan mengubah maltosa menjadi 2 molekul glukosa. Monosakarida akan masuk melalui sel mukosa dan kapiler darah untuk diabsorbsi di intestinum. Masuknya glukosa ke dalam epitel usus tergantung konsentrasi tinggi Na+

Glukosa diangkut oleh mekanisme ko-transpor aktif natrium- glukosa di mana transpor aktif natrium menyediakan energi untuk mengabsorbsi glukosa melawan suatu perbedaan konsentrasi. Mekanisme di atas juga berlaku untuk


(30)

galaktosa. Pengangkutan fruktosa menggunakan mekanisme yang berbeda yaitu dengan mekanisme difusi fasilitasi (Ganong, 2003). Unsur-unsur gizi tersebut diangkut ke dalam hepar lewat vena porta hati. Galaktosa dan fruktosa segera dikonversi menjadi glukosa di dalam hepar (Murray, et al., 2003).

b) Glukoneogenesis

Glukoneogenesis merupakan istilah yang digunakan untuk semua mekanisme dan lintasan yang bertanggung jawab atas perubahan senyawa non karbohidrat menjadi glukosa atau glikogen. Proses ini memenuhi kebutuhan tubuh atas glukosa pada saat karbohidrat tidak tersedia dengan jumlah yang cukup di dalam makanan. Substrat utama bagi glukoneogenesis adalah asam amino glukogenik, laktat, gliserol, dan propionat. Hepar dan ginjal merupakan jaringan utama yang terlibat karena kedua organ tersebut mengandung komplemen lengkap enzim-enzim yang diperlukan (Murray, et al., 2003).

c) Glikogenolisis

Mekanisme penguraian glikogen menjadi glukosa yang dikatalisasi oleh enzim fosforilase dikenal sebagai glikogenolisis. Glikogen yang mengalami glikogenolisis terutama simpanan di hati, sedang glikogen otot akan mengalami deplesi yang berarti setelah seseorang melakukan olahraga yang berat dan lama. Di hepar dan ginjal (tetapi tidak di dalam otot) terdapat enzim glukosa 6-fosfatase, yang membuang gugus fosfat dari glukosa 6-fosfat sehingga memudahkan glukosa untuk dibentuk dan berdifusi dari sel ke dalam darah (Murray, et al., 2003).


(31)

2.4 Pengaturan Kadar Glukosa Darah

Pengaturan kadar glukosa darah yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatik yang merupakan kesatuan proses metabolisme berupa produksi insulin dari sel ß pankreas dan kerja hepar dalam proses glikogenesis, glukoneogenesis, dan glikolisis (Guyton dan Hall, 1997).

Insulin ialah suatu polipeptida dengan BM kira-kira 6000, terdiri 51 asam amino, dan tersusun dalam 2 rantai, rantai A dan rantai B yang dihubungkan jembatan disulfida (Tony dan Suharto, 2005). Insulin disintesis oleh sel ß-pankreas. Kontrol utama atas sekresi insulin adalah sistem umpan balik negatif langsung antara sel ß-pankreas dengan konsentrasi glukosa dalam darah. Peningkatan kadar glukosa darah seperti yang terjadi setelah penyerapan makanan secara langsung merangsang sintesis dan pengeluaran insulin oleh sel ß pankreas (Sherwood, 1996).

Insulin akan menurunkan kadar gula darah dengan cara membantu uptake glukosa ke dalam otot dan jaringan lemak, penyimpanan glukosa sebagai glikogen dalam hati, dan menghambat sintesis glukosa (glukoneogenesis) di hati (Sheidel, 2001). Efek hormon insulin secara keseluruhan adalah mendorong penyimpanan energi dan meningkatkan pemakaian glukosa (Sacher dan Mc Phernon, 2004).

Fungsi hati dalam pengaturan kadar glukosa darah tidak lepas dari pengaruh insulin. Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat yaitu:

- Mengubah fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa

- Menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen pada saat tubuh mengalami kelebihan glukosa


(32)

- Mengubah glikogen menjadi glukosa untuk dibebaskan ke dalam darah pada saat tubuh mengalami kekurangan glukosa

- Melakukan proses glukoneogenesis (mengubah asam amino dan gliserol menjadi glukosa) pada saat glikogen yang tersimpan sudah habis dan kadar gula darah menurun

- Mengubah glukosa menjadi lemak untuk disimpan

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah - Enzim

Glukokinase penting dalam pengaturan glukosa darah setelah makan (Murray, et al., 2003).

- Hormon

Insulin bersifat menurunkan kadar glukosa darah. Glukagon, GH, ACTH, glukokortikoid, epinefrin, dan hormon tiroid cenderung menaikkan kadar gula darah, dengan demikian mengantagonis kerja insulin (Murray, et al., 2003).

- Sistem gastrointestinal

Gangguan pada sistem gastrointestinal dapat mengurangi absorbsi karbohidrat di usus dan menurunkan glukosa darah (Sherwood, 1996). - Stres

Hampir semua jenis stres akan meningkatkan sekresi ACTH oleh kelenjar hipofise anterior. ACTH merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol. Kortisol ini yang akan meningkatkan pembentukan glukosa (Guyton dan Hall, 1997).


(33)

- Asupan karbohidrat

Penurunan dan peningkatan asupan karbohidrat (pati) mempengaruhi kadar gula dalam darah (Sherwood, 1996).

2.6 Pengukuran Kadar Glukosa Darah

Glukosa darah dapat ditentukan dengan berbagai cara, baik secara kimiawi maupun secara enzimatik. Prinsip penentuannya didasari pada kemampuan glukosa untuk mereduksi ion anorganik seperti Cu2+

1) Metode Kondensasi Gugus Amin

atau Fe(CN). Secara umum glukosa darah dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu:

Prinsip: aldosa dikondensasi dengan orto toluidin dalam suasana asam akan menghasilkan larutan berwarna hijau setelah dipanaskan. Kadar glukosa darah ditentukan sesuai dengan intensitas warna yang terjadi, diukur secara spektrofotometri (Widowati, dkk., 1997).

2) Metode enzimatik

Glukosa dapat ditentukan secara enzimatik, misalnya dengan penambahan enzim glukosa oksidase (GOD). Dengan adanya oksigen atau udara, glukosa dioksidasi oleh enzim menjadi asam glukoronat disertai pembentukan H2O2.

Dengan adanya enzim peroksidase (POD), H2O2 akan membebaskan O2

3) Metode Reduksi

yang mengoksidasi akseptor kromogen yang sesuai serta memberikan warna yang sesuai pula. Kadar glukosa darah ditentukan berdasarkan intensitas warna yang terjadi, diukur secara spektrofotometri (Lucie, dkk., 1997).

Prinsip: kadar glukosa darah ditentukan secara reduksi dengan menggunakan suatu oksidan ferisianida yang direduksi menjadi ferosianida oleh


(34)

glukosa dalam suasana basa dengan pemanasan. Kemudian kelebihan garam feri dititrasi secara indometri (Widowati, dkk., 1997).

Penentuan glukosa secara reaksi reduksi kurang spesifik dibanding cara enzimatik, terutama bila dalam darah terdapat bahan yang dapat mereduksi misalnya kreatinin, asam urat, dan gula-gula lain selain glukosa (manosa, galaktosa, dan laktosa) yang akan memberikan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi daripada kadar glukosa yang sebenarnya. Sebagai pedoman dpat diperkirakan bahwa hasil penentuan glukosa secara reduksi akan memberikan hasil 3,6-10,8 mg% lebih tinggi daripada cara enzimatik. Perbedaan ini akan lebih besar lagi bila terdapat peningkatan kreatinin dan asam urat (Suharmiati, 2003). 4) Metode Pemisahan Glukosa

Glukosa dipisahkan dalam keadaan panas dengan antron atau timol dalam suasana asam sulfat pekat. Glukosa juga dapat dipisahkan secara kromatografi, tetapi pemisahan glukosa dengan cara ini jarang dilakukan (Widowati, dkk., 1997).

2.7 Diabetes Melitus 2.7.1 Definisi

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang manifestasinya berupa hiperglikemik, glukosuria dan meningkatnya pemecahan protein yang sering timbul ketosis dan asidosis (Santoso, 1993). Diabetes melitus adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi, dan polifagi, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa = 126 mg/dl atau postprandial = 200 mg/dl atau glukosa sewaktu = 200 mg/dl). Bila DM tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme lemak dan protein, dan


(35)

resiko timbulnya gangguan mikrovaskuler atau makrovaskuler meningkat (Tony dan Suharto, 2005).

2.7.2 Etiologi

Dari beberapa penelitian terbukti bahwa diabetes melitus mempunyai etiologi yang heterogen, di mana berbagai lesi akhirnya dapat mengakibatkan insufisiensi insulin. Jenis-jenis gangguan yang dianggap sebagai etiologi diabetes melitus:

a. Kelainan fungsi atau jumlah sel-sel beta yang bersifat genetik

Determinan genetik dianggap sebagai faktor penting pada kebanyakan penderita diabetes. Pada pasien-pasien yang menderita diabetes melitus insulin dependen, determinan genetik ini dinyatakan oleh peningkatan atau penurunan frekuensi antigen histokompabilitas tertentu (HLA) dan respon imunitas abnormal yang akan mengakibatkan pembentukan auto-antibodi sel pulau Langerhans. Pada penderita diabetes melitus insulin dependen, penyakit mempunyai kecenderungan familial yang kuat. Penyakit ini sering menyerang anak-anak, remaja, dan dewasa dari keluarga yang sama secara autosom dominan. Kelainan yang diturunkan ini dapat langsung mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan menyebarkan rangsangan sekretoris atau serangkaian langkah kompleks yang merupakan bagian dari sintesis atau pelepasan insulin. Besar kemungkinan keadaan ini meningkatkan kerentanan individu yang terserang penyakit tersebut terhadap kegiatan faktor-faktor lingkungan di sekitarnya, termasuk virus atau diet tertentu.


(36)

b. Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi dan integritas sel ß

Beberapa faktor lingkungan dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pada individu yang rentan. Faktor-faktor tersebut ialah:

- Agen yang dapat menimbulkan infeksi, seperti virus cocksackie B dan virus penyakit gondok.

- Diet pemasukan kalori, karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan.

- Obesitas - Kehamilan

c. Gangguan sistem imunitas

- Autoimunitas disertai pembentukan sel-sel antibodi antipankreatis dan akhirnya akan menyebabkan kerusakan sel-sel pankreas insulin.

- Peningkatan kepekaan terhadap kerusakan sel beta oleh virus. d. Kelainan aktivitas insulin

Pengurangan kepekaan terhadap insulin endogen juga dapat menyebabkan diabetes. Mekanisme ini terjadi pada pasien penderita kegemukan dan diabetes. Alasan akan gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin mungkin pengurangan jumlah tempat-tempat reseptor insulin yang terdapat dalam membran sel yang responsif terhadap insulin atau gangguan glikolisis intrasel (Santoso, 1993).

2.7.3 Diagnosis

Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan dengan adanya gejala khas berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (Mansjoer, 2000).


(37)

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa = 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) diperlukan untuk memastikan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat (Mansjoer, 2000).

2.7.4 Klasifikasi etiologis DM

American Diabetic Association (1997) sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah:

1. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 disebut juga diabetes melitus tergantung insulin (insulin-dependent diabetes mellitus/IDDM), adalah diabetes yang disebabkan oleh gangguan autoimun di mana terjadi penghancuran sel-sel ß-pankreas penghasil insulin. Pasien biasanya berusia dibawah 30 tahun, mengalami onset akut. Penyakit ini tergantung pada terapi insulin, dan cenderung lebih mudah mengalami ketosis (Rubenstein, 2007).

2. Diabetes melitus tipe 2

Bentuk yang lebih sering dijumpai, meliputi sekitar 90% pasien yang menyandang diabetes. Pasien diabetes khasnya menderita obesitas, dewasa dengan usia lebih tua dengan gejala ringan sehingga penegakan diagnosis bisa saja


(38)

baru dilakukan pada stadium penyakit yang sudah lanjut, seringkali setelah ditemukannya komplikasi seperti retinopati atau penyakit kardiovaskuler. Insensitivitas jaringan terhadap insulin (resistensi insulin) dan tidak adekuatnya respon sel ß pankreas terhadap glukosa plasma yang khas, menyebabkan produksi glukosa hati berlebihan dan penggunaannya yang terlalu rendah oleh jaringan. Ketosis tidak sering terjadi karena pasien memiliki jumlah insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis. Walaupun pada awalnya bisa dikendalikan dengan diet dan obat hipoglikemik oral, banyak pasien yang akhirnya memerlukan insulin tambahan, sehingga menjadi penyandang diabetes tipe 2 yang membutuhkan insulin (Rubenstein, 2007).

3. Diabetes tipe lain

A. Defek genetik fungsi sel beta:

- Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1, 2, 3 - DNA mitokondria

B. Defek genetik kerja insulin C. Penyakit eksokrin pancreas

- Pankreatitis

- Tumor/ pankreatektomi - Pankreatopati fibrokalkulus

D..Endokrinopati: akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, dan hipertiroidisme

E. Karena obat/ zat kimia

- Vacor, pentamidin, asam nikotinat - Glukokortikoid, hormon tiroid


(39)

- Tiazid, dilantin, interferon a, dan lain-lain F. Infeksi: rubela kongenital, sitomegalovirus

G. Penyebab imunologi yang jarang: antibodi antiinsulin

H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, dan lain- lain (Mansjoer, 2000).

4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

Sebagian besar wanita yang mengalami diabetes saat hamil memiliki homeostasis glukosa yang normal pada paruh pertama kehamilan dan berkembang menjadi defisiensi insulin relatif selama paruh kedua, sehingga terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia menghilang pada sebagian besar wanita setelah melahirkan, namun mereka memiliki peningkatan risiko menyandang diabetes tipe 2 (Rubenstein, 2007).

2.7.5 Komplikasi diabetes melitus

Komplikasi diabetes melitus (DM) secara bermakna mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, demikian juga dihubungkan dengan kerusakan ataupun kegagalan fungsi beberapa organ vital tubuh seperti pada mata maupun ginjal serta sistim saraf. Penderita DM juga berisiko tinggi mengalami percepatan timbulnya aterosklerosis, yang selanjutnya akan menderita penyakit jantung koroner, penyakit vaskuler perifer dan stroke, serta kemungkinan besar menderita hipertensi ataupun dislipidemia maupun obesitas. Banyak faktor risiko yang berperan dalam mekanisme terjadinya komplikasi kardiovaskuler ini, diantaranya hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia, dan hiperinsulinemia. Hiperglikemia merupakan salah satu faktor terpenting dalam patogenesis komplikasi kronik, khususnya vaskuler diabetik. Hiperglikemia memperantarai


(40)

efek merugikan melalui banyak mekanisme, karena glukosa dan metabolitnya banyak digunakan dalam sejumlah jalur metabolisme (Hardiman, 2006).

2.8 Insulin

Insulin merupakan protein kecil yang mengandung dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Disintesis sebagai protein perkusor yang mengalami pemisahan proteolik untuk membentuk insulin dan peptide C keduanya disekresi oleh sel β-pankreas. Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh hormon lain dan mediator autonomik. Sekresi insulin dipacu karena kadar glukosa dalam darah meningkat dan difosfolirasi

dalam sel β-pankreas.

Gejala hipoglikemia merupakan reaksi samping yang paling serius dan umum dari kelebihan dosis insulin. Diabetes jangka lama sering tidak memproduksi sejumlah hormon yang menghalangi pengaturan insulin (glukagon, epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan) yang secara normal memberikan pertahanan efektif terhadap hipoglikemia reaksi samping lainya berupa klipodistrofi dan reaksi alergi (Price dan Wilson, 2006).

2.9 Streptozotocin

Gambar 2.1. Rumus bangun streptozotocin

Streptozotocin (STZ; N-nitro turunan glukosamin) merupakan antibiotik spektrum luas dan bahan kimia sitotoksik yang khususnya toksik pada sel-sel beta pankreas penghasil insulin pada mamalia. Induksi pada percobaan diabetes dalam


(41)

mencit menggunakan streptozotocin sangatlah umum dan mudah digunakan. Injeksi streptozotocin mengacu pada pengrusakan sel-sel beta Langerhans. Secara klinis, gejala-gejala diabetes terlihat jelas pada mencit dalam 2-4 hari dengan injeksi intravena tunggal atau injeksi intraperitoneal 40-60 mg/kg BB STZ. memahami perbedaan strain dalam aktivitas diabetogenik STZ sangatlah penting untuk penggunaan zat diabetik ini dalam model-model hewan yang berbeda (Abeeleh, et al., 2009).

2.10 Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi meliputi pengobatan dengan insulin atau dengan obat-obat hipoglikemia oral. Obat hanya perlu diberikan jika pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Penurunan berat badan merupakan tindakan yang sangat penting dalam pengendalian diabetes dan harus dilakukan secara intensif terlepas dari obat yang diberikan (Handoko dan Suharto, 1995).

2.10.1 Terapi insulin

Penderita DM tipe 1 sering kali memerlukan insulin eksogen untuk mengatasi keadaan hiperglikemia. Kebanyakan penderita tipe 2 tidak memerlukan insulin eksogen untuk kelangsungan hidupnya tetapi insulin eksogen hanya digunakan untuk mencapai kesehatan optimum. Pada beberapa pasien, insulin digunakan sebagai alternatif dari terapi hipoglikemik oral. Diperkirakan sebanyak 20% dari jumlah penderita diabetes tipe 2 di Amerika Serikat diobati dengan menggunakan insulin (Katzung, 2001).


(42)

2.10.2 Terapi dengan obat-obat hipoglikemik oral

Obat-obat ini berguna dalam pengobatan pasien diabetes tidak tergantung insulin (NIDDM) yang tidak dapat diperbaiki hanya dengan diet. Pasien yang sudah lama menderita diabetes mungkin memerlukan suatu kombinasi obat hipoglikemik dan insulin untuk mengontrol hipoglikemiknya.

2.10.2.1 Golongan Sulfonilurea

Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk: (a) merangsang pelepasan insulin dari sel-β pankreas, (b) mengurangi kadar glukagon dalam serum, dan (c) meningkatkan peningkatan insulin pada jaringan target dan reseptor. Obat-obat ini terikat pada protein serum, dimetabolisme oleh hati dan di ekskresikan oleh hati atau ginjal. Kontra indikasi pemakain obat-obat ini adalah pada pasien insufiensi hati atau ginjal karena ekskresi obat tersebut terlambat, mengakibatkan akumulasi dan dapat menimbulkan hipoglikemia (Mycek, 2001).

Obat-obat utama yang sering digunakan adalah: a. Tolbutamid

Diserap secara cepat dalam saluran cerna, kadar obat dalam darah minimum dicapai setelah 5-8 jam pemberian oral masa kerja relative pendek.

b. Klorpropamid

Diserap secara cepat dalam saluran cerna, kadar maksimum obat didalam darah dicapai dalam 2-4 jam setelah pemberian oral dan efeknya hilang setelah 24 jam. Aktivitasnya 6 kali lebih besar dari tolbutamid.

c. Gliklazid

Diserap secara cepat dalam saluran cerna, kadar maksimum obat dalam darah dicapai dalam 2-4 jam setelah pemberian oral


(43)

d. Glibenklamid

Khasiat hipoglikemiknya kira-kira 100 kali lebih kuat daripada tolbutamida. Kerjanya dapat bertahan sampai 24 jam. Pengobatan jangka pendek meningkatkan sekresi insulin dari sel-β pankreas. Pengobatan jangka panjang meningkatkan efek insulin terhadap jaringan perifer dan penurunan glukosa darah dari hati.

e. Glipizid

Merupakan turunan dari sulfonylurea dengan efek antidiabetes yang kuat. Mempunyai waktu paruh yang lebih pendek sehingga kurang menyebabkan hipoglikemia yang serius dibandingkan glibenklamid (Katzung, 2001).

2.10.2.2 Biguanida

Biguanida berbeda dari sulfonilurea karena tidak merangsang sekresi insulin. Resiko hipoglikemia lebih kecil daripada obat-obat sulfonilurea. Contoh golongan ini adalah metformin. Obat ini bekerja terutama dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati, sebagian besar dengan menghambat glukoneogenesis. Penggunaan jangka panjang dapat mempengaruhi absorbsi vitamin B12. Kontra indikasi obat ini pada insufisiensi ginjal dan hati (Mycek, 2001).

2.10.2.3 Golongan penghambat α-glukosidase

Contoh dari golongan obat ini adalah akarbosa telah disetujui pemakainya per-oral sebagai obat aktif pada pengobatan penderita NIDDM dan sebagai tambahan memungkinkan dengan insulin pada IDDM. Akarbosa menghambat α glukosidase pada vili-vili usus sehingga menurunkan absorbsi glukosa. Tidak


(44)

seperti obat oral hipoglikemik lainya, akarbosa tidak merangsang pelepasan insulin dari pankreas (Mycek, 2001).


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat eksperimental yaitu dilakukan pengujian efek antidiabetes ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, dan etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap mencit yang diinduksi streptozotocin (STZ). Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat, etanol kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.), glibenklamid sebagai variabel bebas dan kadar glukosa darah mencit (mg/dl) sebagai variabel terikat. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan meliputi pengambilan dan pengolahan sampel, penapisan fitokimia (pemeriksaan alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, dan tanin), pembuatan ekstrak, preparasi hewan percobaan, dan pengujian efek antidiabetes. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi USU dan Akademi Farmasi Yayasan T.P. Arjuna, Laguboti, Sumatera Utara.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, alat pemanas air, aluminium foil, blender, glukometer dan glukotest strip (Accu chek), kertas saring, mortir dan stamfer, neraca hewan, neraca kasar, neraca listrik, oral sonde, Syringe (Terumo).

3.2 Bahan-bahan

Bahan tumbuhan yang digunakan adalah kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.), streptozotocin (Merck Sdn Bhd). Semua bahan kimia yang digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas pro analisa yaitu CMC


(46)

(Carboxy Metil Cellulose), etanol 96%, n-heksan, etil asetat, Na sitrat, asam asetat, amoniak, HCl, pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, H2SO4, FeCl3

3.3 Hewan Percobaan

, serbuk Mg, kloroform, pereaksi Liebermen-Bouchardat, asetat anhidrida, glibenklamid (Indofarma), larutan NaCl 0,9%.

Penelitian ini menggunakan hewan uji mencit jantan strain BALB/C berumur 3-4 bulan dengan bobot antara 25-35 gram. Sebelum dilakukan percobaan mencit terlebih dahulu dipelihara selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan dengan lingkungannya.

3.4 Pengumpulan dan Pembuatan Simplisia 3.4.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang masih segar berwarna merah dan cukup tua yang diperoleh dari Pasar I Kampung Tapanuli, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

3.4.2 Pembuatan simplisia

Sampel kelopak bunga rosela yang masih segar dikumpulkan, dibersihkan (disortasi basah), dicuci dengan air sampai bersih, kemudian ditiriskan lalu disebarkan, setelah itu dikeluarkan bijinya, lalu kelopak ditimbang sebagai berat basah. Kemudian kelopak dikeringkan dengan cara dikering-anginkan sampai kelopak kering dan rapuh, berat kelopak yang kering ditimbang. Kemudian disimpan di tempat yang terlindung dari sinar matahari.


(47)

3.4.3 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dilakukan secara perkolasi bertingkat. Prosedur pembuatan ekstrak: sebanyak 1 kg serbuk simplisia dibasahi dengan n-heksan dan dibiarkan selama 3 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam alat perkolator, lalu dituang cairan penyari n-heksan sampai semua simplisia terendam dan terdapat selapis cairan penyari diatasnya, mulut tabung perkolator ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dan dibiarkan tetesan ekstrak mengalir dengan kecepatan perkolat diatur 1 ml/menit, perkolat ditampung. Perkolasi dihentikan sampai tetesan ekstrak jernih (tidak berwarna), dan diambil setetes ekstrak dikeringkan maka tidak akan meninggalkan noda, kemudian dipekatkan dengan alat rotary evaporator. Ampas dikeringkan lalu diekstraksi dengan menggunakan pelarut berturut-turut etil asetat dan etanol dengan prosedur yang sama dengan di atas (Ditjen POM, 1986).

3.5 Penapisan Fitokimia Masing-masing Ekstrak 3.5.1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 1 gram ekstrak n-heksan ditambahkan 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk uji alkaloid sebagai berikut:

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah 2 tetes larutan pereaksi Meyer akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman.


(48)

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff, akan terbentuk endapan merah atau jingga.

Alkaloid positif jika terdapat endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan diatas (Ditjen POM, 1995). Dilakukan percobaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol.

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 g ekstrak n-heksan dilarutkan dalam 10 ml air panas, didihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966). Dilakukan percobaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol.

3.5.3 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 gram ekstrak n-heksan dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995). Dilakukan percobaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol.

3.5.4 Pemeriksaan steroid/triterpenoida

Sebanyak 1 gram ekstrak n-heksan dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi


(49)

Liebermann-Bouchardat). Timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida, sedangkan warna merah, merah muda, atau ungu menunjukkan adanya triterpenoida (Harborne, 1987). Dilakukan percobaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol.

3.5.5 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 gram ekstrak n-heksan disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Ditjen POM, 1995). Dilakukan percobaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol.

3.5.6 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 gram ekstrak n-heksan disari dengan 30 ml campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari denga 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkan dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut: 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Mollish. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cincin berwarna ungu


(50)

pada batas kedua cairan menunjukkan glikosida (Ditjen POM, 1995). Dilakukan percobaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol.

3.6 Pembuatan Bahan Uji

3.6.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%

Sebanyak 500 mg CMC, ditaburkan dalam cawan porselen yang berisi 10 ml air suling panas. Didiamkan selama 30 menit hingga diperoleh massa yang transparan. Setelah itu digerus sambil diencerkan dengan sedikit air suling. Kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer yang telah dikalibrasi 100 ml. Volumenya dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml.

3.6.2 Pembuatan suspensi ekstrak

Masing-masing ekstrak yang diperoleh dari n-heksan, etil asetat dan etanol, dibuat dengan cara menimbang 600 mg ekstrak kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.), digerus di dalam lumpang, ditambahkan suspensi CMC sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen, lalu dimasukkan dalam labu tentukur 10 ml dan dicukupkan volumenya sampai garis tanda. Suspensi ekstrak tersebut dibuat sebagai larutan induk, yang kemudian diencerkan untuk mendapatkan konsentrasi suspensi ekstrak yang berbeda-beda. Suspensi ekstrak untuk uji diberikan dengan volume yang sama.

Volume cairan yang dapat diberikan peroral pada mencit adalah 1% dari bobot mencit. Takaran konversi dosis dari manusia ke mencit adalah 0,0026. Dosis kelopak bunga rosela yang digunakan adalah dosis yang biasa dipakai masyarakat, yaitu 3-4 kuntum bunga rosela (± 10 gram). Maka dosis untuk mencit:


(51)

Pada penelitian ini dosis ekstrak yang diberikan pada mencit-mencit diabetes dibuat dalam tiga kelompok uji yaitu:

Kelompok uji I: Dosis rendah/dosis 1 = 200 mg/kg BB Kelompok uji II: Dosis sedang/dosis 2 = 400 mg/kg BB Kelompok Uji III: Dosis tinggi/dosis 3 = 600 mg/kg BB

3.6.3 Pembuatan suspensi glibenklamid

Ditimbang glibenklamid sebanyak 0,65 mg, digerus di dalam lumpang, ditambahkan suspensi CMC sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen, lalu dimasukkan dalam labu tentukur 10 ml dan dicukupkan hingga mencapai batas tanda.

Dosis terapi glibenklamid pada manusia adalah 5 mg. Takaran konversi dosis dari manusia ke mencit, yaitu: 0,0026 x 5 mg = 0,013 mg = 1000/20 x 0,013 = 0,65 mg/kg BB

3.6.4 Pembuatan larutan streptozotocin (STZ) dalam larutan NaCl 0,9% Sebanyak 55 mg streptozotocin (STZ) dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 ml kemudian dicukupkan dengan larutan NaCl 0,9%.

Streptozotocin adalah senyawa yang dihasilkan dari Streptomyces acromogenes yang merupakan suatu senyawa nitroso urea analog glukosa. Streptozotocin mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan keton. Dalam penelitian digunakan sebagai penginduksi diabetes pada hewan coba. Obat

ini mempunyai spesifitas yang tinggi terhadap sel β. penyuntikan secara intraperitoneal dosis 40-60 mg/kg BB, dosis tunggal akan menyebabkan hiperglikemia setelah 2-4 hari (Abeeleh, et al., 2009).


(52)

3.7 Penggunaan Glukometer 3.7.1 Prosedur penggunaan

Alat yang digunakan untuk mengukur KGD adalah Glukometer Accu Chek. Hasil pengukuran secara otomatis akan terbaca ketika strip dimasukkan dan akan mati ketika strip dicabut. Dengan menyentuhkan setetes darah ke strip melalui aksi kapiler. Ketika wadah terisi penuh oleh darah, alat akan mengukur kadar glukosa darah.

3.7.2 Prinsip pengukuran

Konsentrasi glukosa dalam sampel uji diukur dengan metode amperometrik: glukosa dioksidasi pada daerah reaktif pada strip uji oleh dehidrogenasi glukosa (dioksidoreduktase glukosa), selama hal tersebut terjadi heksasianoferat (III) direduksi menjadi heksasianoferat (II). Heksasianoferat (II) yang dihasilkan kemudian direoksidasi oleh salah satu elektroda-elektroda yang mengandung palladium. Arus elektron yang sebanding dengan konsentrasi glukosa pada sampel, yang kemudian diukur oleh pengukur ACCU-CHEK. Prinsip pengukuran ini diilustrasikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Prinsip pengukuran glukosa darah dengan alat Accu Chek Glukosa Glukonolakton

Glukosa Dehidrogenasi

PQQ PQQH2

Ferosianida(II) Ferosianida(III) Arus

Elektroda Palladium e-


(53)

3.8 Pengujian Kadar Glukosa Darah Mencit 3.8.1 Pengujian kadar glukosa normal mencit

Sebelum diberikan perlakuan, kadar glukosa darah mencit diukur terlebih dahulu, yaitu mencit dipuasakan selama 18 jam. Kemudian berat badan ditimbang dan diukur kadar glukosa darah (KGD) puasa dengan cara mengambil darah melalui vena bagian ekor yang dilukai menggunakan alat suntik. Darah yang keluar disentuhkan pada Glukostrip yang terpasang pada Glukotest. Alat akan langsung bekerja secara otomatis, angka yang tampil pada layar alat dicatat sebagai kadar glukosa darah (mg/dl).

3.8.2. Penentuan kadar glukosa darah (KGD)

Sebelum percobaan dilakukan, mencit dipuasakan (tidak makan tetapi tetap minum) selama 18 jam, lalu ditimbang berat badan mencit masing-masing dan diberi tanda pada ekor. Kemudian masing-masing mencit diukur kadar glukosa darah puasa. Ekor mencit dibersihkan dengan alkohol, lalu diambil darahnya melalui pembuluh darah vena dibagian ekor yang ditusuk dengan jarum suntik. Darah yang keluar disentuhkan pada glukotest strip yang telah terpasang pada alat glukometer Accu Chek dan dibiarkan alat mengukur kadar glukosa darah secara otomatis. Angka yang tampil pada layar alat dicatat sebagai kadar glukosa darah (mg/dl).

3.8.3 Uji toleransi glukosa oral

Pada metode toleransi glukosa oral ini, 48 ekor mencit diaklimatisasi terlebih dahulu sebelum dilakukan eksperimental. Kemudian dibagi menjadi 8 kelompok dan dipuasakan selama 18 jam (air minum tetap diberikan). Kelompok 1 diberikan CMC 0,5% sebagai kontrol negatif, kelompok 2 diberikan


(54)

glibenklamid 0,65 mg/kg BB sebagai kontrol positif, kelompok 3,4,5 diberikan larutan ekstrak etanol masing-masing 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB, 600 mg/kg BB dan kelompok 6,7,8 diberikan ekstrak etil asetat masing-masing 200 mg/kg BB, 400 mg/kg BB, dan 600 mg/kg BB. Satu jam setelah perlakuan diberikan larutan glukosa dosis 500 g/10 ml sebanyak 0,2 ml kepada masing-masing kelompok. Satu jam setelah pemberian sediaan (jam ke-0) segera dilakukan pengambilan darah mencit melalui vena ekor, dan pengambilan darah diulangi setiap pada menit ke-30, 60, 90, dan 120. Darah yang diambil diukur dengan menggunakan glukometer Accu Chek.

3.8.4 Penginduksian diabetes

Mencit yang akan diinduksi diabetes dipuasakan selama 18 jam (air minum tetap diberikan), diinjeksi dengan larutan streptozotocin secara intraperitoneal dengan dosis 55 mg/kg BB. Pada hari ke-3 ditentukan kadar glukosa darah mencit, dianggap diabetes jika kadar glukosa darahnya >200 mg/dl.

3.8.5 UJi aktivitas ekstrak

Uji antidiabetes dilakukan terhadap masing-masing ekstrak yaitu ekstrak n-heksan, etil asetat, dan etanol yang dibuat dengan 3 dosis yaitu 200 mg, 400 mg dan 600 mg ekstrak, masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor mencit, yaitu: Kelompok 1: kelompok kontrol, mencit yang telah diabetes diberikan suspensi

CMC 0,5%.

Kelompok 2: kelompok kontrol positif, mencit yang telah diabetes diberikan pembanding glibenklamid 0,65 mg/kg BB.

Kelompok 3: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak n-heksan kelopak bunga rosela dosis 200 mg/kg BB.


(55)

Kelompok 4: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak n-heksan kelopak bunga rosela dosis 400 mg/kg BB.

Kelompok 5: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak n-heksan kelopak bunga rosela dosis 600 mg/kg BB.

Kelompok 6: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak etil asetat kelopak bunga rosela dosis 200 mg/kg BB.

Kelompok 7: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak etil asetat kelopak bunga rosela dosis 400 mg/kg BB.

Kelompok 8: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak etil asetat kelopak bunga rosela dosis 600 mg/kg BB.

Kelompok 9: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak etanol kelopak bunga rosela dosis 200 mg/kg BB.

Kelompok 10: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak etanol kelopak bunga rosela dosis 400 mg/kg BB.

Kelompok 11: kelompok mencit yang telah diabetes diberikan ekstrak etanol kelopak bunga rosela dosis 600 mg/kg BB.

Pemberian perlakuan dimulai setelah hewan uji positif diabetes, yang dilakukan setiap hari di mana setiap selang tujuh hari diadakan pengukuran kadar glukosa darah. Pengujian dihentikan sampai salah satu kelompok pengujian memiliki kadar glukosa darah normal.

3.9 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis variansi (ANAVA) pada tingkat kepercayaan 95%. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS (Statiscal Product and Service Solution) versi 16.


(56)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Ekstraksi

Ekstraksi kelopak bunga rosela dilakukan secara perkolasi bertingkat menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan etanol, dengan maksud agar kandungan kimia yang terdapat dalam kelopak bunga rosela dapat dipisahkan berdasarkan kelarutannya dengan sempurna dalam cairan penyari. Hasil dari 1000 g serbuk simplisia diperoleh total ekstrak 74,2 g (7,42%) di mana ekstrak n-heksan yang diperoleh sebanyak 28,4 g, ekstrak berwarna hijau pekat; ekstrak etil asetat 12,6 g, ekstrak berwarna hijau; dan ekstrak etanol 33,2 g, ekstrak berwarna merah kehitaman.

4.2 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak N-heksan, Ekstrak Etil Asetat dan Ekstrak Etanol Kelopak Bunga Rosela

Kandungan kimia dari kelopak bunga rosela dipisahkan berdasarkan kelarutannya dengan menggunakan teknik perkolasi bertingkat. Tahap ekstraksi dimulai dengan menggunakan pelarut non polar yaitu n-heksan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan pelarut semi polar yaitu etil asetat, terakhir dengan menggunakan pelarut polar yaitu etanol. Tabel 4.1 menunjukkan kandungan kimia yang terdapat pada masing-masing ekstrak kelopak bunga rosela.


(57)

Tabel 4.1 Data Skrining Fitokimia Ekstrak n-heksan, Ekstrak Etil Asetat dan Ekstrak Etanol kelopak bunga rosela

Skrining fitokimia n-heksan Etil Asetat Etanol

Alkaloid - + +

Steroid + - -

Saponin - - +

Tanin - + +

Glikosida - + +

Flavonoida - + +

Ekstrak n-heksan positif mengandung steroid; ekstrak etil asetat positif mengandung alkaloid, tannin, glikosida, dan flavonoid; dan ekstrak etanol positif mengandung alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan flavonoid.

Menurut Brahmachari (2011), kandungan bioflavonoida seperti epigalokatekin-3-galat yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan memiliki efek yang menyerupai insulin. Pemberian oral secara rutin bioflavonoida terhadap hewan-hewan diabetes dapat menurunkan glukosa plasma, meningkatkan kadar insulin, merangsang sekresi insulin dan merangsang pembentukan glikogen dalam sel-sel otot.

4.3. Hasil Uji Farmakologi

Pada pengujian antidiabetes yang digunakan sebagai penginduksi adalah streptozotocin karena streptozotocin memiliki efek merusak pada sel-sel beta pankreas penghasil insulin pada mamalia. Injeksi streptozotocin mengacu pada pengrusakan sel-sel beta Langerhans. Secara klinis, gejala-gejala diabetes terlihat jelas pada mencit dalam 3 hari dengan injeksi STZ dosis 55 mg/kg BB secara intraperitoneal.

Setelah beradaptasi selama dua minggu, mencit diberikan pakan dengan jenis dan jumlah yang sama, mencit dipuasakan selama 18 jam, diukur KGD


(58)

normalnya. Pada hari yang sama mencit diinduksi dengan STZ dosis 55 mg/Kg BB, hari ketiga setelah penginduksian, mencit dipuasakan selama 18 jam, diukur KGD-nya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data Pengukuran KGD Normal dan KGD Setelah Penginduksian STZ Dosis 55 mg/Kg BB Mencit Percobaan (n=6) setelah dipuasakan selama 18 jam

Kelompok Perlakuan

Kadar Glukosa Darah (mg/dl) rata-rata ± SD

Sebelum induksi Sesudah induksi

kel. CMC 0,5% 78,33 ± 4,84 326,50 ± 24,44

kel. Glibenklamid 71,67 ± 3,67 314,00 ± 18,56 kel. ekstrak n-heksan 200 mg/kg BB 78,50 ± 4,51 324,17 ± 20,72 kel. ekstrak n-heksan 400 mg/kg BB 75,17 ± 7,00 326,50 ± 49,28 kel. ekstrak n-heksan 600 mg/kg BB 75,67 ± 6,28 304,83 ± 15,82 kel. ekstrak etil asetat 200 mg/kg BB 78,67 ± 5,75 320,83 ± 33,87 kel. ekstrak etil asetat 400 mg/kg BB 79,83 ± 10,80 324,33 ± 20,49 kel. ekstrak etil asetat 600 mg/kg BB 76,67 ± 3,72 315,67 ± 14,83 kel. ekstrak etanol 200 mg/kg BB 74,33 ± 6,56 309,33 ± 19,05 kel. ekstrak etanol 400 mg/kg BB 74,00 ± 8,15 303,00 ± 24,33 kel. ekstrak etanol 600 mg/kg BB 76,17 ± 4,62 303,33 ± 14,14

Penelitian yang dilakukan oleh Arora, et al., (2009) dengan membandingkan dosis pemakaian STZ untuk menginduksi diabetes pada mencit menunjukkan bahwa efek pemberian injeksi tunggal streptozotocin dosis 180 mg/kg BB pada mencit albino swiss setelah satu minggu pemberian telah menaikkan glukosa darah sampai > 500 mg/dl; sementara dengan dosis 100 mg/dl, tidak ada seekor mencit pun yang mengalami diabetes; dan dengan dosis 40 mg/dl telah menaikkan glukosa darah > 190 mg/dl. Streptozotocin merupakan penginduksi diabetes yang baik dalam penelitian diabetes. Pemberian dosis yang berbeda dari streptozotocin menghasilkan tipe diabetes yang berbeda pula. Dosis streptozotocin 70-250 mg/kg BB sangat merusak pada lima sel pankreas dalam 24 jam pemberian, sehingga menghasilkan mencit DM tipe 1. Pemberian dosis


(59)

rendah streptozotocin dalam beberapa hari pertama menghasilkan mencit DM tipe 2 dan dalam perkembangannya menghasilkan mencit DM tipe 1.

4.3.1 Hasil uji toleransi glukosa oral

Tabel 4.3 dan Gambar 4.1 menunjukkan potensi CMC 0,5%, glibenklamid, ekstrak etanol kelopak bunga rosela 200, 400, 600 mg/kg BB, dan ekstrak etil asetat 200, 400, 600 mg/kg BB dalam menurunkan kadar glukosa darah mencit dengan menggunakan metode Toleransi Glukosa Oral (TGO).

Tabel 4.3 Data hasil uji toleransi glukosa oral

Kelompok perlakuan KGD (mg/dl)

0' 30' 60' 90' 120' CMC 0,5% 77.00 176.00 164.33 159.33 153.00 Glibenklamid 61.00 156.00 125.00 109.67 61.33 etanol D1 (200 mg/kg BB) 105.00 161.67 135.67 117.00 95.00 etanol D2 (200 mg/kg BB) 82.33 166.67 131.33 111.00 87.00 etanol D3 (200 mg/kg BB) 79.33 188.00 157.33 118.67 97.00 etil asetat D1 (200 mg/kg BB) 61.33 148.00 144.67 134.00 122.00 etil asetat D2 (200 mg/kg BB) 71.67 117.33 97.67 89.00 71.33 etil asetat D3 (200 mg/kg BB) 70.00 144.00 137.67 128.00 111.00


(60)

Gambar 4.1 Grafik potensi hasil uji toleransi glukosa total

Berdasarkan Tabel 4.3 dan Gambar 4.1 tampak bahwa perlakuan dengan pemberian glibenklamid, ekstrak etanol kelopak bunga rosela 200, 400, 600 mg/kg BB mempunyai potensi untuk menurunkan KGD (kadar glukosa darah), hal ini tampak dari besarnya area di bawah kurva dengan pemberian ekstrak etanol 200, 400, 600 mg/kg BB dibandingkan dengan pemberian CMC 0,5% sebagai kontrol negatif, dan ekstrak etil asetat 200, 400, 600 mg/kg BB.

4.3.2 Hasil Pengukuran KGD Mencit Setelah Perlakuan dengan Pemberian Ekstrak n-heksan Kelopak Bunga Rosela

Masing-masing kelompok mencit diabetes diberi perlakuan yaitu kelompok dengan pemberian suspensi CMC 0,5% sebagai kontrol negatif, kelompok dengan pemberian glibenklamid sebagai kontrol positif, kelompok dengan pemberian ekstrak n-heksan 200 mg/kg BB, kelompok dengan pemberian

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

0' 30' 60' 90' 120'

KGD

(

m

g

/d

l)

CMC 0,5% Glibenklamid etanol D1 etanol D2


(61)

ekstrak n-heksan 400 mg/kg BB, kelompok dengan pemberian ekstrak n-heksan 600 mg/kg BB. Hasil pengukuran KGD mencit ditunjukkan pada Tabel 4.4, Gambar 4.2, dan Gambar 4.3.

Tabel 4.4 Data pengukuran KGD setelah pemberian ekstrak n-heksan

Kelompok Perlakuan

Kadar Glukosa Darah (KGD) mg/dl Normal Diabetes

minggu I

minggu II

minggu III

minggu IV

minggu V kel. CMC 0,5% 78,33 326,50 326,83 329,17 332,33 334,17 336,33 kel. Glibenklamid 71,67 314,00 267,50 213,17 137,50 110,00 76,17 kel. ekstrak n-

heksan D1 78,50 324,17 325,50 324,67 318,83 312,33 306,17 kel. ekstrak

n-heksan D2 75,17 326,50 343,83 342,33 340,00 336,67 316,17 kel. ekstrak n-

heksan D3 75,67 304,83 303,83 297,17 294,33 287,83 282,17

Ket: D1 = dosis 200 mg/kg BB D2 = dosis 400 mg/kg BB D3 = dosis 600 mg/kg BB

Berdasarkan Tabel 4.4 tampak bahwa pemberian ekstrak n-heksan kelopak bunga rosela dalam berbagai dosis menunjukkan efek yang sangat rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberi glibenklamid, di mana kelompok dengan pemberian glibenklamid memberikan efek penurunan KGD yang sangat baik. Ini berarti bahwa ekstrak n-heksan 200 mg, 400 mg, dan 600 mg tidak mempunyai aktivitas antidiabetes.


(62)

Gambar 4.2. Grafik yang menunjukkan KGD setelah pemberian ekstrak n-heksan Ket: D1 = dosis 200 mg/kg BB

D2 = dosis 400 mg/kg BB D3 = dosis 600 mg/kg BB

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

normal diabetes M I M II M III M IV M V

KGD

(

m

g

/d

l)


(63)

Gambar 4.3. Diagram batang yang menunjukkan KGD setelah pemberian ekstrak n-heksan

Ket: D1 = dosis 200 mg/kg BB D2 = dosis 400 mg/kg BB D3 = dosis 600 mg/kg BB

Tabel 4.5 Hasil uji beda rata-rata Duncan terhadap KGD mencit pada minggu I hingga minggu V setelah pemberian sediaan uji ekstrak n-heksan

Minggu KGD

Duncan

I

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Glibenklamid 6 2.6750

N-heksan 600 mg/kg BB 6 3.0383

N-heksan 200 mg/kg BB 6 3.2550 3.2550

CMC 0,5% 6 3.2683 3.2683

N-heksan 400 mg/kg BB 6 3.4383

Sig. 1.000 .194 .299

0 50 100 150 200 250 300 350 400

normal diabetes M I M II M III M IV M V

KGD

(

m

g

/d

l)


(64)

II

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Glibenklamid 6 2.1317

N-heksan 600 mg/kg BB 6 2.9717

N-heksan 200 mgkg BB 6 3.2467 3.2467

CMC 0,5% 6 3.2917 3.2917

N-heksan 400 mg/kg BB 6 3.4233

Sig. 1.000 .067 .305

III

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Glibenklamid 6 1.3750

N-heksan 600 mg/kg BB 6 2.9433

N-heksan 200 mg/kg BB 6 3.1883 3.1883

CMC 0,5% 6 3.3233

N-heksan 400 mg/kg BB 6 3.4000

Sig. 1.000 .144 .229

IV

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Glibenklamid 6 1.1000

N-heksan 600 mg/kg BB 6 2.8783

N-heksan 200 mg/kg BB 6 3.1233 3.1233

CMC 0,5% 6 3.3417

N-heksan 400 mg/kg BB 6 3.3667

Sig. 1.000 .124 .147

V

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Glibenklamid 6 76.1667

N-heksan 600 mg/kg BB 6 2.8217

N-heksan 200 mg/kg BB 6 3.0617 3.0617

N-heksan 400 mg/kg BB 6 3.1617

CMC 0,5% 6 3.3633


(1)

8. KGD mencit pemberian sediaan uji etanol

Minggu I

Test of Homogeneity of Variances

KGD

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.771 4 25 .554

ANOVA

KGD

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 21027.133 4 5256.783 13.687 .000

Within Groups 9601.667 25 384.067

Total 30628.800 29

KGD

Duncan

kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Etanol 600 mg/kg BB 6 2.4800

Glibenklamid 6 2.6750 2.6750

Etanol 400 mg/kg BB 6 2.7667 2.7667

Etanol 200 mg/kg BB 6 2.9200

CMC 6 3.2683


(2)

Minggu II

Test of Homogeneity of Variances

KGD

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.714 4 25 .591

ANOVA

KGD

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 64967.867 4 16241.967 41.360 .000

Within Groups 9817.333 25 392.693

Total 74785.200 29

KGD

Duncan

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Etanol 600 mg/kg BB 6 1.9700

Glibenklamid 6 2.1317 2.1317

Etanol 400 mg/kg BB 6 2.2283 2.2283

Etanol 200 mg/kg BB 6 2.4483

CMC 6 3.2917


(3)

Minggu III

Test of Homogeneity of Variances

KGD

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.727 4 25 .582

ANOVA

KGD

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 149599.533 4 37399.883 91.740 .000

Within Groups 10191.833 25 407.673

Total 159791.367 29

KGD

Duncan

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Glibenklamid 6 1.3750

Etanol 600 mg/kg BB 6 1.4383

Etanol 400 mg/kg BB 6 1.8083

Etanol 200 mg/kg BB 6 1.9933

CMC 6 3.3233


(4)

Minggu IV

Test of Homogeneity of Variances

KGD

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.293 4 25 .300

ANOVA

KGD

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 233111.467 4 58277.867 245.195 .000

Within Groups 5942.000 25 237.680

Total 239053.467 29

KGD

Duncan

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Etanol 600 mg/kg BB 6 89.8333

Glibenklamid 6 1.10002

Etanol 400 mg/kg BB 6 1.27832

Etanol 200 mg/kg BB 6 1.50502

CMC 6 3.34172


(5)

Minggu V

Test of Homogeneity of Variances

KGD

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.610 4 25 .060

ANOVA

KGD

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 307037.333 4 76759.333 400.442 .000

Within Groups 4792.167 25 191.687

Total 311829.500 29

KGD

Duncan

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Etanol 600mg 6 67.6667

Glibenklamid 6 76.1667 76.1667

Etanol 400mg 6 87.6667

Etanol 200mg 6 1.1467

CMC 6 3.3633


(6)